—Disclaimer—

Highschool DxD - Ichiei Ishibumi

[Demise—]

Present by @Mizkevna


Gloom : Her Grief


21:34

Di sudut sebuah bar yang sedang trending dan sering dikunjungi anak muda, terlihatlah aura suram berkumpul mengitari seseorang. Seorang gadis yang duduk menyendiri, memanggu dagu diatas meja. Terkadang dia menelungkupkan wajah, namun lebih seringnya dia menghela nafas berkali-kali.

"Ada apa dengannya, Tobi?"

Salah seorang gadis bertanya, dia memiliki rambut berwarna coklat muda yang diikat kembar. Sosoknya memiliki tubuh yang ramping dan menggairahkan, dengan kedua 'oppai' yang terlihat cukup besar. Dia duduk di salah satu kursi dekat meja bartender.

By the way, dia juga cukup akrab dengan si pemilik bartender yang dipanggilnya 'Tobi' itu.

"Aku tidak tahu. Dia sudah begitu sejak datang dua jam lalu."

Si pemilik bar, Tobi, adalah lelaki muda yang cukup tampan dengan mata abu-abu gelap dan rambut hitamnya yang kelam namun berkilau. Tobi, menjawab pertanyaan itu disertai senyuman kikuk. Terlepas dari semua itu, dia tak henti mengelap secangkir gelas dengan penuh perasaan memakai sebuah kain dibalik meja bartender. By the way, dia pemilik sekaligus bartender di SLASH Dog Bar ini.

"Tak ada pengunjung lain?"

"Aku sengaja menutupnya, setelah melihat tingkah tidak jelas—." Tobi mendadak menghentikan ucapannya, ketika seseorang yang sedang mereka bicarakan tiba-tiba saja muncul di dekat mereka. Gadis itu tampak merogoh sesuatu dari saku furwinternya lalu kemudian meletakkannya diatas meja bar.

"Ini uangnya, Tobi-kun."

"Bukankah kamu tidak perlu membayarnya? Lagian kamu itu singer kita disini." ia sedikit tidak mengerti sebenarnya. Dan Tobi melihat gadis yang sebelumnya dikelilingi aura suram kini seperti gadis 'teduh' yang dia kenali.

Namun. . .

"Aku melupakan sesuatu. Jadi aku pergi dulu ya. Natsu-chan, Tobi-kun."

Dan gadis blonde itupun melenggang begitu saja tanpa menunggu respon dari kedua orang yang disebut namanya. Meninggalkan keduanya dalam keheningan dan keheranan.


22:13

Melintasi khayalak ramai, melalui gang-gang gelap, dan berhenti ketika ada lampu merah menyala bagi pejalan kaki. Meski dia berjalan dengan sempoyongan, dia tak perlu khawatir akan tersesat, menabrak seseorang atau sesuatu, apalagi sampai tertabrak. Itu hampir mustahil untuk seorang penyihir kelas tinggi sepertinya.

Lavinia Reni, hanya ingin berjalan mengikuti kemana kakinya akan membawa. Tak perlu dipikirkan. Karena memang pikirannya saat ini sedang melayang ke hari kemarin dan pagi hari tadi.

Dia Hanya bisa merasa jijik pada diri sendiri.

Semenjak malam kemarin pikirannya jadi kosong. Semua itu tidak terasa nyata, dia tak percaya kalau apa yang dilihatnya kemarin itu adalah suatu kebenaran. Namun, seolah dia ditabrak truk pengangkut sampah, kenyataan pahit pun menghantamnya dengan kears-keras.

Dia melihatnya. Dia menemukannya. Orang itu, bersama seorang gadis, bercengkrama santai di sisi jalan suatu daerah.

Lavinia ingin memanggilnya, orang itu, ingin sekali rasanya dia berlari ke arahnya, lalu mendekatinya, dan berbicara dengannya, kemudian 'melompat' ke dalam dekapannya. Pikirannya memerintah untuk melakukan semua itu, dan hatinya pun memanas seolah menyetujui.

Namun. . .

Suaranya malah tercekat, tak mau keluar. Dia tidak berharap pita suaranya mengkhianati perasaannya saat itu. —Nafasnya tersendat-sendat. Keringat dingin mulai membanjiri punggung dan kepalanya.

Kakinya memandek, dan menularkan getaran ke seluruh tubuhnya. Kedua kakinya seolah dipaku, tertanam, berakar dimana tempat dia berdiri. Hanya bisa memandangi orang itu dari kejauhan, dengan perasaan gemetar tak karuan.

Dia takut!

Dia hanya bisa terdiam bisu, lalu kembali, dan menangis tanpa suara sepanjang malam di kamar penginapannya.

Pikiran, mental dan juga hatinya terguncang. Dia mengabaikan kondisi fisiknya, dan berdiri menghadap cermin. Menatap lamat-lamat ke pantulan dirinya yang terlihat mengerikan. Ia tak bergeming, tetap berdiri hingga pagi pun menjelang.

Dan, Lavinia semakin merasa jijik kepada diri sendiri. Mengingat beta menyedihkannya dia, sampai-sampai berdelusi tentang seseorang yang juga telah meninggalkannya tanpa kata pasti. Glenda. Orang yang dia anggap sudah seperti Ibu ke-duanya. Juga orang ketiga, setelah orang itu, dan kedua orang tuanya. —Mereka yang tanpa hati meninggalkannya seorang diri, dan harus menanggung perasaan sepi di dunia yang menyakitkan ini.

Lavinia berhenti melangkahkan kedua kaki, ia menunduk dan termenung. Ingin rasanya dia menyerah. Mengakhiri semua penderitaan ini dengan cepat. Namun apalah daya, dia tidak berani. Terlalu takut untuk mengakhiri hidup dalam ketidakpastian penuh kebohongan ini.

Lavinia terlalu larut dalam renungan. Dia pun tidak sadar... atau lebih tepatnya tidak peduli pada sekitarnya. Untuk saat ini saja, dia ingin ada seseorang yang memahaminya, mengerti dirinya dengan pasti. Tak apa, walau hanya sebuah sandiwara sekalipun.

Tapi itu mustahil!

Dia sudah cukup lama berbohong kepada rekan atau teman seperjuangannya. Menipu diri sendiri. Menutupi luka. Membalut semua kesedihannya dengan senyuman lembut bak sinar mentari di pagi hari. Dia merasa hampir mencapai batasnya. Dia sudah tidak sanggup lagi.

Semua ini terlalu menyakitkan.

"Hei, Onee-san yang disana! Apa kau tersesat atau semacamnya?"

Lavinia sedikit tersentak ketika mendengar suara feminim, yang sepertinya memanggil dirinya, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Mengusik pikirannya.

"Aku baik-baik saja." dengan suara lemah namun dingin Lavinia menjawab. Ia berharap orang itu tidak mencampuri urusannya lebih dari itu.

"Kau tidak akan baik-baik saja! Ini sudah mau akhir tahun. Jangan berdiri di depan rumah orang juga! Kau akan kedinginan nanti!"

Itu tidak mungkin. Dia tidak akan kedinginan, mau sedingin apapun cuaca diluar sini. Tentu saja. Lagipula, dia adalah [Ice Princess]! Akan tetapi, mendengar kekesalan yang terselip di setiap kata suara feminim itu, mau tidak mau Lavinia pun menegakan kepalanya.

Dia menoleh, menemukan si empunya suara yang terlihat seumuran dengannya. Seorang perempuan cantik yang berdiri di belakang pagar rumah sambil menyilangkan kedua tangan rampingnya di dada.

Dia memiliki sepasang mata yang agak sipit, yang menyembunyikan sepasang manik rubi indah dibalik sana. Fitur wajahnya yang berbentuk hati (heart face) serta kulit putihnya yang mulus bak porselen. Dan juga, dia seorang perempuan yang memiliki kesan tegas dari raut mukanya.

Dengan surai hitam serta beberapa fringe warna merah panjang sebahu yang dibiarkan tergerai. Menambah kesan nakal.

Huuh, dia wanita yang sangat cantik dengan pesona yang unik. Tegas, kuat, liar namun bermartabat.

Lavinia kehilangan kata-kata.

Orang-orang yang mengetahui siapa dirinya mungkin akan memanggil [Ice Princess]. Tak diragukan lagi kalau itu bukan sekedar nama semata. Julukan itu memang cocok untuk dia yang mampu 'mengendalikan cuaca' hingga ke titik beku. Dia memang memiliki bakat lain selain 'membekukan' segala hal. Hanya saja, dia memang terspesialisasi dalam membuat semuanya menjadi es. Oleh karena itulah dia, sebelumnya, dengan tegas berpikir kalau dia tidak mungkin akan merasa kedinginan—.

Namun, lagi-lagi, kenyataan justru berkata sebaliknya.

"Masuklah. Tidak baik bagi wanita sepertimu keluar malam-malam sendirian. Apalagi saat sedang musim dingin seperti ini."

Lavinia tidak hanya merasa kedinginan. —Dia sungguh terdiam dan membeku, bagaikan patung es. —Patung Es yang dipahat penuh kehati-hatian dengan nilai seni yang sangat rumit.

. .

.

.

—TBC—


Ano hito: "Next cuuy! Jangan kasih kendor!"

Mizkevna: "Ampuun! Laaariii! Selamatkan diriii!"