—Disclaimer—
Highschool DxD - Ichiei Ishibumi
[Demise—]
Present by @Mizkevna
Xia : Her Attention
23:04
Entah apa yang dipikirkan sehingga Lavinia bisa berada di dalam rumah seseorang yang tak dikenalnya begitu saja, dan dihadapkan pada sebuah momen absurd.
Duduk disebuah kursi yang menghadap meja penuh makanan khas China. Memang dia tak pilih-pilih soal makanan, berpikir bahwa tidak hanya dibiarkan masuk secara cuma-cuma, dia juga disuguhi makanan yang cukup menggoda, beberapa diantaranya ada yang belum pernah dia makan.
Selain itu dia diberikan aspirin, juga. Mungkin kepalanya terbentur sesuatu, kata si pemilik rumah.
"Jangan cuma memandangnya terus. Dingin tidak enak rasanya. Makanlah." Wanita itu berbicara tanpa mengendurkan sedikitpun ketegasan di wajah. Diantara kedua tangan yang ditangkupkan di depan mukanya, dia memegang sepasang sumpit. Untuk beberapa saat diam, lalu kemudian mulai mengambil nasi dan meletakkannya di sebuah mangkuk.
Dia mulai mencomot makanan disana-sini menggunakan sumpit tanpa memperdulikan atensi sepasang iris biru safir milik seseorang di seberang mejanya.
Mau tidak mau Lavinia pun mulai mengambil bagian dari makanan di hadapannya. Sumpit terlalu sulit baginya, dia tak terbiasa memakai alat makan yang satu ini.
23:21
"Kau boleh menggunakan kamar di sebelah sana. Sebaiknya, malam ini kau menginap lah disini."
Sebuah pembuka percakapan setelah cukup lama keduanya saling diam. Si pemilik rumah, tak mengalihkan atensinya dari sebuah buku yang dia baca. Yap, dia duduk di sofa sambil membaca buku berjudul [Diamond Heart].
Sebuah lensa bulat bertengger manis diatas hidung mungilnya.
Secangkir teh herbal tersaji diatas meja, ada aroma terapi mengudara berasal dari cangkir tersebut.
"Hum, terimakasih. Tapi, sebaiknya aku pergi. Maaf malam-malam begini sudah membuat kamu repot-repot mengurusiku." menjawab dengan sopan diiringi rasa segan, Lavinia tak mau berada disini lebih lama. Jujur, hatinya merasa tidak tenang.
Mendengar jawaban itu, sang pemilik rumah dengan kalem menutup bukunya. Diam-diam melepas lensa yang dikenakannya.
Sepasang iris rubi indah dan tersembunyi itu mengerling, beralih menatap gadis blonde di seberang meja sana. Dia mengendurkan raut tegas yang sampai beberapa detik lalu masih terpatri di wajahnya.
"Apa disini tidak nyaman?"
Mendengar pertanyaan itu Lavinia inginnya menyangkal dengan sopan, hanya saja dia tidak diberi kesempatan bicara oleh si pemilik rumah.
"Kamu tak terlihat seperti orang Jepang. Aku sudah bertanya sebelumnya. Apa kamu disini karena tersesat atau semacamnya?"
Lavinia tersenyum tipis mendengar terselip sedikit nada khawatir dalam suara si pemilik rumah. Cara bicaranya pun berubah, sedikit melembut daripada sebelumnya.
"Sebenarnya, aku memang bukan orang Jepang. Aku punya beberapa tugas bersama rekan-rekanku disini. —Ngomong-ngomong, kalau mereka memang orang Jepang."
Tentu saja dia memang bukan orang Jepang. Berbeda dengan Tobi-kun dan Natsu-chan, dan yang lainnya, yang mana mereka aslinya orang Jepang. Dan juga, dia bukan orang yang tersesat atau semacamnya.
"Itu terdengar rumit."
"Yah?"
"Pasti berat rasanya berada jauh dari rumah. Negara ini memang cukup indah ya, tetapi perasaan rindu pada kampung halaman akan membuatmu terus berpikir untuk kembali ke tempat yang disebut rumah."
Lavinia terdiam, kata-kata pemilik rumah tadi seolah meresap ke dalam jiwanya. Ada cukup banyak persamaan dari satu hal dan hal lain. —Itu benar, kalau saat ini, dirinya jauh dari keberadaan mereka. Sebenarnya, hidupnya saat ini tidak terlalu buruk sama sekali. Akan tetapi dia tak mampu membohongi perasaan yang membuncah dalam dirinya, bagaimana caranya, atau masih memungkinkankah bagi dirinya, untuk bisa kembali ke kehidupannya seperti yang lalu.
"Kamu benar."
"Aku agaknya sedikit paham, karena aku pun bukan orang Jepang."
"Hee, kamu bukan orang Jepang juga?" jujur Lavinia sedikit terkejut, sebenarnya dia tidak terlalu dapat membedakan mana yang orang Jepang dan mana yang bukan. Yang jelas, mereka berbeda dengan orang-orang eropa dari segi penampilan fisik pada umumnya, walaupun sama-sama homosapien.
Juga, tak ia sangka pemilik rumah tampaknya orang yang cukup berterus terang, tidak seperti impresi awalnya.
"Yah, kau tahu? Kalau bukan karena kampus-ku berada di negara ini, aku tidak pernah kepikiran sama sekali untuk berkunjung kesini sebelumnya."
"Jadi begitu ya." Lavinia bergumam pelan, itu menjelaskan alasan kenapa pemilik rumah bersimpati padanya.
"Maaf terlambat memperkenalkan diri. Aku— namaku Reni."
Walau sempat ragu namun pada akhirnya dia membuat keputusan kecil. Memperkenalkan dirinya bukan sebagai Lavinia melainkan Reni bukankah tidak termasuk dalam kebohongan kan?
Ia hanya berharap tak menimbulkan masalah yang tidak perlu. Tapi, Lavinia merasa sedikit gugup di dalam, entah karena apa Mungkin saja karena tatapan penuh perhitungan dari sang pemilik rumah saat ini.
Dirinya merasa sedang di observasi...!?
Suasana jadi senyap, bagi Lavinia terasa agak pengap. Akhirnya, itu berlalu setelah hampir satu menit. Pemilik rumah tersenyum. Kalau diperhatikan lagi, senyumnya agak aneh dan terlihat seperti sebuah seringaian.
"Sepertinya aku juga lupa memperkenalkan diri. Kau bisa memanggilku, Xia."
Sang pemilik rumah—Xia, memejamkan mata den menghirup nafas. Dia terlihat tersenyum puas. Dan, Lavinia tak melewatkan hal itu, dia cukup yakin pada apa yang dilihatnya—gadis di depannya agak aneh[1].
Gadis beriris rubi itu—Xia berdiri. Piyama merah dengan list putih yang dipakainya terlihat sedikit kebesaran untuk ukuran tubuhnya.
"Seperti yang aku bilang sebelumnya. Untuk malam ini menginap saja."
"Kamu sangat baik, Shia-san[2]." Lavinia tersenyum seraya berpikir—'sampai-sampai mau mengulangi kata-kata sebelumnya.' Itu jadi semakin aneh kalau dipikirkan lebih jauh.
00:04
Lavinia mengelap wajahnya dengan handuk sambil memandangi dirinya di cermin wastafel. Aneh, pikirnya. Sebenarnya dia tak merasa perlu membasuh wajahnya, berkat inisiasi dari Shia-san entah mengapa dia jadi merasa kalau ini keharusan untuk dilakukan.
Wanita itu mengoceh soal perawatan wajah dan bla bla bla, mengatakan; kalau tak boleh ada satu titik kotoran debu pun tertinggal di wajah seorang perempuan.
'Itu tidak baik!' Uh, Lavinia bergeleng kepala berusaha menyingkirkan pikirannya barusan. Sepertinya dia sudah sedikit ketularan pola pikir remeh semacam itu.
Well, dirinya seorang penyihir kelas atas. Jadi, dia tak pernah benar-benar merawat dirinya dengan baik hanya untuk terlihat cantik. Dia cukup percaya diri hanya dengan penampilan sederhana[3].
"Sudah selesai?"
Lavinia mengangguk dan berkata "iya" untuk menanggapi pertanyaan retoris itu. Shia-san bahkan menunggunya di ambang pintu. Dia terlalu perhatian untuk orang yang baru saja ditemuinya.
Ada satu set piyama berwarna putih dengan motif kucing-kucing kecil di lengan wanita itu.
"Aku akan meletakan ini di dalam, kamarmu di sebelah sana. Ini belum pernah aku pakai, tapi aku masih punya banyak."
"Terimakasih."
Xia menghendikkan bahu acuh, lalu kemudian berbalik. —Lavinia menatap kepergian gadis itu dengan ekspresi rumit. Dia masih tidak mengerti, kenapa malah berakhir jadi seperti ini.
Kenapa dia harus bertemu, dan menginap di rumah seorang gadis, gadis yang dilihatnya malam kemarin bercengkrama dengan orang itu.
Dia membutuhkan obat penenang. Semua ini mendadak membuat kepalanya sakit.
.
.
.
.
'... ...Shishou.'
..
.
.
—TBC—
.
.
.
Ket:
[1] Tingkahnya sus...
[2] Lavinia agak blepotan nyebut nama Xia jadi Shia_(?).
[3] sebenernya dia terlalu gak peduli.
