—Disclaimer—

Highschool DxD – Ichiei Ishibumi

[Demise]

Present by Mizkevna


Her Partner in Crime


[Bagian 1]

.

Tahun baru hanya tinggal menunggu waktu.

Saat itu teman-temannya merencanakan untuk mengunjungi kuil bersama, seperti yang selalu mereka lakukan beberapa tahun ini…

Lavinia tersenyum senang mendengarnya, tapi dia tidak langsung memutuskan untuk ikut. Dia masih ada sesuatu yang belum dipastikan.

Lavinia tahu, teman-temannya saat ini mungkin sedang bertanya-tanya akan perubahan sikapnya belakangan ini. Dia tahu dia egois tapi dia benar-benar ingin tahu 'hal itu' dengan pasti.

Jadi, dia mengunjungi sebuah kediaman yang sudah pernah sebanyak dua kali dia sambangi. Dia juga sudah mengabari pihak lain kalau dia akan datang berkunjung hari ini, dan pihak lain tidak keberatan.

Kalau bisa dia juga ingin mengajaknya liburan bersama pada hari tahun baru.

Lavinia tersenyum—menekan bell. Menunggu di depan pintu dengan perasaan sedikit gugup di hati.

Tempat ini agak di pinggiran kota.

Tak butuh waktu lama suara klek pintu dibuka. Dari balik pintu, sebuah kepala bersurai hitam dengan beberapa fringe menyembul.

—Seorang wanita muda yang cantik bermata ruby dibalik kacamata bulat itu mengernyitkan kening melihat tamunya.

"Hm? Mamma Mia~ Reni. Silakan masuk."

Lavinia tertawa geli, merasa lucu mendengar ungkapan yang berasal dari negaranya itu, dan wajah tanpa ekspresi gadis itu menambah nilai plus kelucuannya di mata Lavinia.

"Aku bukan Ibu kamu, lho. Tapi permisi, Shia."

Setelah dibukakan pintu Lavinia pun masuk ke dalam atas seizin pemilik rumah. Begitu pintu ditutup—.

(ʘ言ʘ)!?

"Kenapa diam saja? Ayo masuk."

Lavinia tersentak, lamunannya buyar melihat gadis bersurai hitam itu telah melepaskan alas kakinya entah sejak kapan—berdiri menunggu di koridor.

"Humm. Oke." Lavinia mengangguk, tersenyum teduh, menyembunyikan perasaan tidak enak di dalam hati. Ketika dia melepaskan boot ber-hak tinggi yang dia pakai, dan merapikan benda itu, matanya melihat-lihat sekitar.

Tidak ada alas kaki lainnya selain miliknya dan milik Shia.

'Apa aku terlalu khawatir? Tapi—'

—Perasaan tidak bisa dijelaskan yang barusan dia rasakan itu nyata. Dia sudah berkunjung kesini sebanyak dua kali tapi dia belum pernah menemui perasaan aneh seperti tadi.

Melihat sang pemilik rumah menunggunya, dia pun segera mengenyahkan kekhawatiran itu.

Namun begitu dia menginjakkan kakinya pada lantai kayu—, lagi-lagi perasaan yang sama seperti yang dia rasakan sebelumnya pun menerjang lagi. Tidak. Bisa dibilang bahkan ini lebih kuat dari sebelumnya.

Dia merasakan kalau tubuhnya meremang, kulit kepalanya pun terasa kesemutan. Dingin namun tenang. Seperti ada yang mengawasi dirinya dari kehampaan.

Di tengah-tengah keragu-raguannya, tiba-tiba Lavinia dikejutkan oleh sebuah tangan hangat dan lembut yang memegang tangannya.

"Kamu kelamaan. Aku sedang memasak, kalau ditinggalkan terlalu lama akan gawat. Ayo."

Lavinia pun hanya bisa pasrah saat dirinya diseret. Di setiap langkahnya, semakin ia pergi lebih dalam, sensasi tidak nyaman itu semakin menguat.

"Duduk disini. Aku mau menyelesaikan urusan di dapur dulu."

"Eh? Ada yang bisa aku bantu?"

"Duduk saja!"

(ꏿ﹏ꏿ;)

Gadis itu menekan bahu Lavinia, memaksanya duduk di sofa merah dalam ruang tamu. Tanpa ba-bi-bu langsung melenggang pergi ke dapur.

Lavinia tidak menyangka—, dia adalah penyihir kelas tertinggi tapi dengan mudahnya dipaksa duduk begitu saja. 'Tenaga Shia tidak normal!'

Lavinia duduk dengan perasaan gugup. Tidak masalah kalau dirinya ditinggal—. Tapi, diam tanpa berbuat apa-apa saat tuan rumah sibuk, tidak dibolehkan membantu, dia merasa tidak nyaman.

Belum lagi—. Ruang tamu itu cukup luas, tidak jauh dari tempat Lavinia duduk, ada seseorang yang sedang melakukan peregangan.

Seorang wanita cantik di awal usia 20-an, berkulit putih mulus dan bersih tak bernoda, memiliki iris biru aqua memancarkan kemilau ketenangan seakan mengejek dunia. Rambut birunya diikat ponytail tinggi, dimana bagian poni depan sebatas alisnya terbelah dua dengan dua juntai rambut masing-masing membingkai wajah cantiknya. Bulu-bulu matanya yang panjang nan lentik. Dia memakai celana jersey panjang berwarna abu-abu dan sport bra putih, memperlihatkan kulit bagian perut langsingnya yang putih mulus.

Wanita cantik tersebut tidak memperhatikan Lavinia sama sekali, sebaliknya, Lavinia sedikit merasa ngeri saat melihatnya—. Perasaan tidak nyaman dan tidak bisa dijelaskan yang Lavinia rasakan sebelumnya ternyata itu berasal dari wanita cantik berambut biru aqua tersebut.

Bahkan saat tidak memperdulikan kehadiran Lavinia saja, Lavinia dapat merasakan tekanan abnormal wanita cantik berambut biru itu. Dia merasa kalau kesemutan di kepalanya menjadi lebih kuat.

Pada saat ini Lavinia dikejutkan dengan suara Shia yang setengah berteriak berasal dari dapur—

"Nenek! Aku membuat Chongqing yang tidak terlalu pedas karena kehabisan bubuk cabai! Bagaimana ini!?"

Lavinia bertanya-tanya, siapa yang dia panggil nenek? Hanya ada dua orang di ruang tamu—

"Lakukan sesuatu tentang itu."

"Haaa! Kamu sangat memaksa!"

'Whooaaah! Wanita cantik itu neneknya Shia!?'

Lavinia terkejut, wanita muda yang dia sendiri akui sangat cantik itu, wanita seksi yang sudah selesai melakukan peregangan dan berjalan sambil menenteng botol air mineral kemudian duduk di sofa, dipisahkan oleh meja persegi, tepat di depannya itu adalah neneknya Shia!

Itu sulit dipercaya. Padahal keduanya terlihat seperti seumuran—.

(ꏿ﹏ꏿ;)

Tekanan abnormal itu semakin nyata! Lavinia tidak tahu harus apa dihadapkan situasi seperti ini. Dia merasa terancam tetapi dia tidak bisa begitu saja menganggap 'neneknya Shia' adalah ancaman—seorang musuh.

Karena saat mereka duduk berhadap-hadapan yang terpisah jarak kurang dari tiga meter saja, wanita cantik itu masih terlihat acuh. Kalau dia boleh jujur, Lavinia sedikit tersinggung karena wanita cantik itu seperti sengaja mengabaikan keberadaannya.

Lavinia juga merasa canggung dengan situasi yang tidak jelas ini. Dia biasanya cepat akrab dengan seseorang yang baru ditemuinya. Tapi, wanita cantik di depannya seperti memasang sebuah dinding yang sangat tinggi dan tebal, membuat orang lain yang ingin mendekatinya harus berpikir berkali-kali.

Dia wanita dengan aura sombong dan angkuh yang sangat cocok dengan kecantikannya!

Beruntunglah Lavinia, karena tidak lama kemudian Shia muncul dari dapur sambil mendorong kereta makanan.

"Diam saja dan jangan lakukan apapun."

Itu adalah apa yang dikatakan Shia yang memicingkan mata ruby miliknya saat Lavinia baru saja hendak berdiri, berpikir untuk membantunya merapikan meja.

"Maaf merepotkan~."

Pada akhirnya Shia hampir selesai menyiapkan hidangan yang tampak mewah, memindahkan semua dari kereta makanan dan menatanya di meja.

"Ini dia. Chongqing 'Super' pedas kesukaan Guru datang."

Terakhir, Shia menyajikan seporsi piring besar hidangan khas China kepada wanita berambut biru tersebut sambil tersenyum pongah.

Lavinia menelan ludahnya sendiri. Bukannya dia juga ingin, justru dia takut ketika melihat warna makanan itu tampak sangat merah! Itu terlihat menyeramkan dalam artian lain.

Dia tak bisa membayangkan rasa makanan itu seperti apa. Itu pasti pedas gila!

Makanan lainnya juga tampak merah tapi tidak semerah milik wanita berambut biru itu.

"Karena aku pikir Reni akan penasaran jadi aku juga menyisihkan sedikit Chongqing 'Super' pedas kesukaan Guru untukmu. —Ini. Tingkat pedasnya hanya setengah dari milik Guru."

Sepiring kecil daging ayam cincang krispi yang dibumbui hingga merah membara pun tersaji di depan Lavinia. Aroma pedas menyengat langsung menusuk indra penciumannya.

"Te-Terima kasih."

Lavinia tampak berkaca-kaca. Sialan! Matanya terasa perih hanya karena uap panas yang keluar dari makanan itu!

"Kalau kamu tidak suka, tidak apa-apa. Jangan terlalu dipaksakan."

Ahh! Shia-sama yang baru-baru ini dia kenal tampak seperti malaikat saat ini. Meski dirinya penyihir kelas tertinggi, dia masihlah manusia. Lavinia tidak yakin akan seperti apa nantinya pencernaannya setelah memakan makanan yang terlihat 'menyeramkan' itu!

"—Itu tidak sopan."

Lavinia berkedip bingung, mata birunya sudah berair tapi tetap memaksa menatap ke depan. Soalnya dia tidak menyangka kalau wanita itu, wanita cantik yang sejak awal dia datang tidak bicara apa-apa atau bahkan peduli padanya, tiba-tiba saja berkata begitu.

Seperti yang Lavinia duga, suaranya terdengar merdu namun teramat dingin pada saat yang sama.

"Tapi Guru. Orang normal tidak akan memakan 'hidangan neraka' ini seperti kamu. Reni juga bukan orang yang memiliki budaya yang sama seperti kita."

Shia menunjukkan pendapatnya dengan jujur, wajahnya terlihat blank.

Lavina pun kaget karena pembuat makanan merah membara itu sendiri juga menyebutnya hidangan neraka. Dan dia juga baru menyadari kalau Shia mengubah panggilannya ke wanita berambut biru itu sejak tadi. Lalu, bicara soal budaya mereka, dia jadi mengerti. Sepertinya menolak sesuatu yang sudah diberikan adalah sikap yang buruk.

"Tetap tidak sopan."

(..눈‸눈)

Melihat keduanya bertukar sedikit kata, Lavinia yang sadar kalau itu karena dirinya jadi merasa bersalah. Dan melihat wanita yang Shia panggil Guru itu, dia tampak sangat menikmati 'hidangan neraka' dengan wajah yang terlihat biasa-biasa saja.

"Aku baik-baik saja. Aku pikir masakan buatan Shia pasti sangat lezat!"

Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri—.

"……..Begitu, ya."

Lagipula Shia bilang tingkat kepedasannya hanya setengah dari yang dimiliki wanita berambut biru itu. Jadi setidaknya Lavinia pikir itu pasti baik-baik saja……. Mungkin?

…. Iya kan?

.

.

.

.

.

.

Kan?


[Bagian 2]

.

'Kacau! Itu tidak baik-baik saja!'

Lavinia berdiri di depan wastafel, menatap wajahnya di cermin; pipinya memerah merona, hidungnya tak mau berhenti meneteskan liquid jernih. Dia masih merasakan sensasi terbakar di lidah dan panas di tenggorokannya sampai sekarang.

Dia menyesal telah berpikir kalau dirinya akan baik-baik saja saat ingin menyantap hidangan neraka itu. Faktanya, walaupun rasanya sangat sangat enak tetapi rasa pedasnya bukan untuk dikonsumsi manusia!

Itu hidangan neraka sungguhan!

Pada cobaan pertama, perasaannya rumit! Itu sangat enak! Tapi pedasnya keterlaluan! Pada percobaan kedua, Lavinia ingin sekali berhenti memakan hidangan neraka itu tapi dia merasa harus menghabiskannya! Dia bisa merasakan tekanan tak berdasar datang entah dari mana! Dia tahu siapa yang melakukan itu, seseorang sengaja mencegah dirinya untuk berhenti!

Shia-san juga melihatnya dengan pandangan kasihan, Lavinia merasa sedikit tersentuh. Tapi senyumnya yang menyembunyikan keinginan untuk tertawa segera mengkhianati perasaan bahagia Lavinia!

Saat di meja makan, Shia memberitahukannya kalau wanita cantik berambut biru itu adalah guru masa kecilnya sekaligus walinya——.

"Kamu harus lebih berhati-hati dalam memilih teman."

———Lavinia tersenyum masam.

"Itu sebabnya Guru tidak punya teman."

"Aku punya."

"Haa, tentu saja cuma satu."

"….Jangan tidak sopan."

"Atchatchaaaaacaa! Sakit Guw-ruuh!!"

"Segera hubungi Aku kalau ada masalah."

"Uuuuh! Aku bukan anak bermasalah, tau."

"Bicara apa kamu? Kamu selalu menangis saat masih kecil karena terlibat banyak masalah."

"Tapi aku bukan anak kecil la—atchachacaa! Berhenti mencubit pipiku!"

"Kamu seperti nyamuk yang sekali tepuk langsung mati."

"Nenek tak berperasaan!"

Lavina yang masih dalam kondisi kewalahan setelah menghadapi siksaan yang bernama hidangan neraka itu, sayup-sayup mendengar percakapan kedua orang itu di ruang tamu.

Walaupun tampak dingin kepada orang asing, wanita itu sepertinya sangat peduli kepada Shia.

Meski penampilannya terlihat sepantaran tapi usia sebenarnya sudah kepala tiga. Hanya saja ada sesuatu yang tidak biasa tentangnya.

#-#-#

Seperempat jam berlalu, dia kembali ke ruang tamu. Hanya ada Shia disana, sedang duduk di sofa sambil mengelus-elus pipinya yang telah berubah warna menjadi merah.

"Mamma mia~ Reni. Kamu baik-baik saja?"

Lavinia tersenyum canggung. Kalau dibilang baik-baik saja, sepertinya tidak. Tapi kalau dia bilang dirinya tidak baik-baik saja akan terlalu berlebihan juga.

"Itu pengalaman yang luar biasa." jadi itulah jawaban yang menurutnya paling tepat.

"Seharusnya kamu tidak perlu mendengarkan omongan nenek kejam itu."

Melihat Shia yang mengeluh sambil mengelus pipinya, Lavinia terkikik geli lalu menggeleng kepala pelan. "Tidak apa-apa. Aku tidak boleh menolak, kan?"

"Begitu, ya." Shia mengangguk, melanjutkan. "Jadi itu salahku sudah memberikan hidangan neraka itu padamu?"

"Eeh, ehh? Tidak, bukan begitu!" Lavinia salah tingkah, dia tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu. "Maksudku…"

"Tidak apa. Aku sudah terbiasa melakukannya. Orang yang melihat nenek memakan hidangan neraka akan penasaran dan biasanya aku akan memisahkan sedikit, tentu dengan kepedasan yang lebih normal. Mungkin?"

'Aku pikir dia mau meminta maaf.' pikir Lavinia, sedikit lega. Dia akan tidak nyaman kalau Shia tiba-tiba meminta maaf, lagipula dia juga tidak tahu kalau situasinya akan jadi seperti itu.

"By the way. Kenapa Shia memanggilnya Nenek? Awalnya kupikir dia beneran neneknya Shia."

Itu salah satu hal yang tidak Lavinia mengerti dan sejak tadi membuatnya penasaran. Tetapi, melihat reaksi Shia yang menatapnya seperti melihat orang bodoh, Lavinia tersenyum kikuk.

"Wanita cantik di negara ini akan marah kalau dipanggil nenek. Sedangkan wanita di negara kami akan menerimanya dengan bangga—. Itu seperti… cara memanggil orang yang sangat kita hormati."

Untungnya, Shia tidak mengatakan sesuatu yang kejam dan justru memberinya penjelasan yang cukup masuk akal. Tidak. Lavinia terkejut.

"A-Aku baru tahu! Ada kebenaran dibalik itu!"

"Itu bohong."

(ꏿ﹏ꏿ)?

"Walaupun kamu terlihat seperti wanita yang pintar, tidak kusangka ternyata kamu mudah percaya omongan orang."

.

.

.

"...….…Kenapa kata-katamu terdengar jahat?"

"….….….….Salahku."

Keduanya terkunci dalam keheningan selama beberapa saat, sampai akhirnya itu dipecahkan oleh Lavinia.

"Apa itu lelucon dari negara asalmu juga?" dia bertanya dengan senyum maklum, walaupun hatinya benar-benar tertohok oleh kata-kata Shia sebelumnya.

"Itu benar. Maaf. Aku lupa kalau kita tidak tahu satu sama lain."

Meskipun permintaan maaf Shia benar-benar tulus tetapi kata-katanya setelahnya sungguh tidak bisa dipercaya. Lavinia merasa lebih sakit hati dibandingkan dari yang sebelumnya—.

Itu benar.

Mereka tidak benar-benar mengenal satu sama lain.

Dia tidak mengenal Shia—bukan. Tapi Xia.

Mereka dipertemukan karena suatu hal.

Lavinia tidak tahu apakah Xia tahu tujuannya mendekatinya. Sementara dia tahu kalau Xia ada hubungannya dengan orang itu, apakah Xia juga tahu hubungan Lavinia dengan orang itu?

Itulah alasan kenapa dia tidak mau mendengar Xia meminta maaf kepadanya. Dia hanya, tidak yakin.

Tujuannya mendekati Xia bukan untuk mencari "teman" melainkan untuk mencari petunjuk mengenai orang itu.

Shia adalah seseorang yang baik, meski kesan pertama pada pertemuan mereka tidak cukup baik, tetapi Shia benar-benar memberikannya makanan dan membiarkannya menginap. Hari pertama mereka 'kenal' pun Shia mengajaknya mencari makan di restoran dan mentraktirnya.

Selama dua hari itu, mereka saling berbincang seru tentang banyak hal.

Shia mungkin terlihat dingin di luar, tetapi dia sebenarnya orang yang aktif dan fasih ketika diajak ngobrol. Dia akan mempertimbangkan perasaan lawan bicara, dan selalu berinisiatif untuk membuat waktu yang dia habiskan bersamanya akan terasa menyenangkan.

Sedangkan dirinya—Lavinia………………..

.

"Kamu sudah tahu kalau aku mempunyai maksud lain saat mendekatimu?"

Dia ingin mengkonfirmasi, Lavinia berharap itu benar. Dia menatapnya serius. Meminta belas kasih.

"Si vis pacem parabellum."

"Permisi?" Lavinia tidak tahu apa hubungannya adagium terkenal itu dengan pertanyaannya.

Shia menoleh, memberinya tatapan yang tidak asing. Tatapan yang sama seperti pertemuan pertama mereka—tatapan yang sulit diartikan.

"Jika kamu mendambakan perdamaian maka bersiap-siaplah menghadapi perang—. Itulah bagaimana caraku dibesarkan. Aku tahu kamu mendengarkan kata-kata nenek kejam itu. Dia selalu memberitahuku untuk berhati-hati saat menjalin hubungan."

…………… Lavinia kehilangan kata-kata. Setelah mendesah sebentar, Shia melanjutkan.

"Bagaimanapun, aku dibesarkan untuk pandai dalam berbisnis. Kamu tahu, 'hubungan diatas kemampuan' adalah siklus yang terus terulang di setiap perusahaan di sana. Saling menipu, saling menjatuhkan di belakang layar, namun harus selalu tersenyum saat di hadapan mitra kerja—. Luar biasa, bukan? Aku sudah terbiasa dengan 'Dunia Palsu' semacam itu."

Shia berdiri, berhadap-hadapan muka dengan Lavinia. Biru sapphire dan merah ruby. Kedua pasang mata yang berbeda itu beradu tatapan, berusaha saling menembus pertahanan satu sama lain.

"Aku tidak tahu apa tujuan kamu mendekatiku. Tapi, Aku tidak akan membiarkan diriku jatuh!"

Itu adalah sebuah deklarasi menantang secara terang-terangan.

Mata Lavinia bergetar.

Shia tersenyum tipis, ekspresi seriusnya luntur diganti dengan wajah 'ramah' seraya menjauh dari Lavinia.

Lavinia memandang gerak-gerik gadis bersurai hitam itu—, Shia mengambil sebuah fur winter hitam yang digantung di gantungan, kemudian memakainya.

"Kamu pernah mendengarnya; mata adalah cerminan jiwa—. Reni? Mata birumu biasanya sangat tenang. Itu terlalu menyeramkan untuk orang yang lembut sepertimu memiliki hal-hal yang tidak cocok dengan sifatmu."

Getaran mata Lavinia semakin hebat.

Dia tidak menyangka ada orang—! Kenapa dari semua orang—! Kenapa harus orang yang dia dekati dengan maksud tertentu—!

Shia yang sudah memakai fur winter kembali mendekat.

"Nenek itu akan memukulku kalau aku tidak mengolah tubuh setelah makan. —Mau keluar bersama?"

.

.

"….….….Kenapa?"

Lavinia tidak mengerti. —Kenapa harus Shia yang bisa memahaminya!?

"Kenapa? Aku tidak tahu. Tapi…"

'Kamu bohong!'

"Orang-orang mungkin berpikir kalau kamu orang yang mempunyai 'punggung yang selalu lurus' karena 'cermin' itu. Itu seperti aku bagaimana melihat diriku di cermin, dan bagaimana orang lain melihat diriku; akan ada perbedaan sudut pandang, mau bagaimanapun."

"Jangan bercanda denganku! Apa sebenarnya yang ingin kamu katakan!?"

"Aku tidak tahu."

.

.

"….….….….….….A–Apa?"

"Kamu memiliki mata yang luar biasa. Sayang sungguh sayang. Kamu hanya ingin orang lain melihatmu tapi kamu tidak mau melihat orang lain. Dasar, wanita egois yang serakah."

Liquid bening mengalir tanpa terkendali. Dua bola mata biru itu tetap memiliki cahaya yang sangat menyilaukan.

Lavinia menangis tanpa suara.

Shia tersenyum teduh, mengusap cairan yang membasahi pipi gadis pirang di hadapannya.

"Dengar, Reni. Sesulit apapun masalah yang kamu temui, seberat apapun hidup yang kamu jalani, seburuk apapun masa lalu yang kamu miliki. Akan selalu ada 'seseorang' yang tanpa kita sadari, menyayangi kita sepenuh hati."

Lavinia terenyuh. Dia terhanyut dalam buaian kata yang menyejukkan. Air matanya tak dapat dibendung namun bibirnya bergetar mengulas senyum.

Itu adalah kata-kata terindah yang pernah dia dengar tanpa bisa disangkal.

"Ka-Kamu…."

"Hmmm?"

"Kamu… Shia…"

"Memang siapa lagi?"

"Apa kamu ingin bilang kalau… 'seseorang' itu adalah Shia?"

Lavinia tersenyum gugup. Shia pun tersenyum sinis.

"Kamu kepedean."

"Kenaapaaa kamu begitu kejammm, siih!?"

"Begitulah caraku dibesarkan."

Lavinia merengek, tetapi kemudian dia tertawa tanpa mampu menahan senyum bahagia. Dia tidak tahu, kapan terakhir kali dia melakukan itu. Seolah-olah beban berat di pundaknya berkurang begitu banyak.

Meski dia tahu Shia adalah orang yang kejam, bahkan kepada dirinya sendiri, Lavinia sangat bersyukur bisa sedikit mengenalnya lebih jauh, lebih banyak, dan lebih baik lagi.

.

.

.

.

—TBC—