Halilintar mengira hari ini akan berjalan sangat lambat baginya, karena hari ini sekolah diliburkan dan besok sudah memasuki hari pertama bulan puasa. Meskipun sekolahnya libur selama dua hari dalam rangka menyambut bulan Ramadhan, beberapa guru di sekolah tetap memberikan tugas tambahan untuk dikerjakan di rumah. Untungnya bagi Halilintar, tugas yang diberikan oleh guru-guru tidak terlalu sulit, dan untuk tugas yang sulit pun sudah dia cicil kerjakan sejak dua hari sebelum libur. Seharusnya, Halilintar bisa memulai pagi ini layaknya pagi di hari libur seperti biasanya, yaitu melakukan ibadah sholat subuh, menyapu kamar tidur dia dan orang tuanya, menyiram tanaman, dan menyiapkan makanan untuk sarapan. Namun, ada hal lain di pagi hari ini yang tadi membangunkan Halilintar dari tidurnya secara tiba-tiba…
Adiknya yang masih berusia 8 bulan itu menangis dengan sangat keras.
BoBoiBoy © Monsta Studio
Alternate Universe - Elementals as Siblings, slight OOC, typos, etc.
Halilintar terperanjat sebelum buru-buru bangun dari kasurnya dan segera berlari menuju sumber suara tangis sang adik. Rasa paniknya tidak hilang saat ia menemukan secarik kertas kecil tertempel pada pintu kamar orang tuanya yang bertuliskan:
Ibu pergi belanja sebentar, tolong jaga Duri.
Kelayakan Halilintar sebagai seorang kakak akan diuji di sini. Tentu, Halilintar adalah seseorang yang bertanggung jawab dan bisa diandalkan, tapi ia rasa jika ujian kelayakan menjadi kakak adalah harus menjaga adiknya yang masih berusia 8 bulan itu seorang diri, ia tidak yakin bisa lulus ujian tersebut. Sejak ibunya mengandung Duri, Halilintar selalu berkontribusi dalam meringankan beban orang tuanya dengan lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah, seperti mencuci pakaian yang dulunya dilakukan oleh sang ibu. Setelah adik lahir pun, tidak banyak hal yang berubah di samping orang tuanya yang lebih mengalihkan perhatian mereka pada Duri daripada hal lain, dan Halilintar tidak pernah merasa keberatan akan hal itu. Sesekali Halilintar membantu membuatkan bubur untuk sang adik, atau membantu mencuci botol-botol susu bayi menggunakan mesin khusus agar botol-botol tersebut tetap steril. Akan tetapi, Halilintar belum pernah mengurus Duri secara langsung lantaran ia merasa merawat bayi membutuhkan suatu keterampilan khusus serta tangan yang lembut; dua hal yang ia rasa tidak ia miliki. Meskipun begitu, keadaan sekarang memaksa Halilintar untuk setidaknya mencoba menenangkan Duri yang sedang menangis.
"Shh cup cup.. Berhenti menangis ya Duri.. Ibu sebentar lagi pulang," Halilintar ragu-ragu mulai mengayunkan kasur bayi Duri secara perlahan, berharap sang adik mau berhenti menangis. Alih-alih, tangisan Duri justru semakin keras. Halilintar menggaruk kepalanya kebingungan dan frustasi. Ia mulai membayangkan apa yang akan ia lakukan bila ia berada di posisi orang tuanya. Kalau ingatannya tidak salah, Halilintar sering melihat ibunya menggendong Duri yang sedang menangis sambil mengalunkan nyanyian lagu nina-bobo, dan tidak lama kemudian Duri akan berhenti menangis. Mungkin itu yang harus dilakukan Halilintar sekarang, tetapi ia belum pernah menggendong bayi sebelumnya. Bagaimana kalau nanti Duri terjatuh karena Halilintar tidak cukup kuat menggendongnya?
Namun, memandangnya saja juga tidak akan membuat Duri berhenti menangis. Halilintar mengumpulkan seluruh tekad dan tenaganya, lalu meletakkan satu tangan di bagian leher dan kepala Duri untuk menopang, sedangkan satu tangannya lagi diletakkan di bagian bawah tubuh Duri. Ia mengangkat Duri dari kasurnya dan meletakkan Duri sedikit di bawah dadanya. Ternyata, Duri tidak seberat yang Halilintar kira, setidaknya tidak seberat karung beras yang biasa ia angkut. Baru kali ini juga Halilintar melihat wajah adiknya yang bulat dan menggemaskan itu secara dekat dan jelas. Belum mulai dinyanyikan, Duri sudah berhenti menangis mendapati dirinya tiba-tiba diangkat oleh sang kakak. Ia mengerjapkan mata bulatnya, badannya menggeliat tidak nyaman di tangan Halilintar. Merasakan hal ini, Halilintar mencoba mengganti posisi Duri agar duduk di pinggangnya, lalu ia letakkan satu lengannya di sekeliling tubuh Duri. Duri mulai merasa nyaman ditandai dari tubuhnya yang sudah tidak banyak bergerak, tetapi tatapannya masih belum lepas dari Halilintar. Merasa diamati, Halilintar balas tersenyum lembut kepada Duri, "Adik kecil kenapa pagi-pagi sudah menangis?" ia bertanya sembari memainkan tangan Duri yang masih mungil.
Halilintar tidak pernah mengerti bagaimana suasana hati seorang bayi bekerja, seperti bagaimana Duri yang tadi masih menangis sangat keras, setelah diangkat dan digendong olehnya langsung berhenti menangis. Bahkan, sekarang Duri sedang tertawa kecil karena keasyikan tangan mungilnya yang dimainkan oleh Halilintar. Satu tangan lainnya berusaha meraih wajah Halilintar dan menyentuh pipi Halilintar, lalu Duri mengeluarkan suara dari mulut kecilnya,
"A-bam!"
Halilintar terperangah. Ia tidak tahu kalau bayi seusia Duri sekarang ini sudah bisa mengeluarkan kata-kata meskipun pelafalannya belum jelas. Dalam kepalanya, Halilintar bertanya pada dirinya sendiri, apakah barusan Duri berusaha memanggilku "abang"?
"Iya, Duri. Ini abang, A-bang Ha-li," dua kata terakhir diucapkan secara perlahan, dan dengan tangan kosongnya Halilintar membuat gestur menunjuk pada diri sendiri. Duri berhenti tertawa dan kembali menatap Halilintar dengan bingung, raut wajahnya pun kini juga berubah menjadi agak kusut, ia seperti kesulitan memproses apa yang baru saja dikatakan kakaknya. Untuk beberapa saat Halilintar kira adiknya itu akan menangis lagi, ia buru-buru menghapus jejak air mata yang membekas di pipi Duri, "Ah, terlalu susah ya."
Namun, tidak lama kemudian raut wajah Duri kembali berubah. Pupil matanya melebar, ia menepuk kedua telapak tangannya dan memekik kegirangan, "A-bam Ha-yi!"
Halilintar kembali dikejutkan dengan perubahan ekspresi dan reaksi dari sang adik. Matanya sedikit berkaca-kaca lantaran terharu mendengar adiknya yang meskipun belum lancar berbicara itu tetap berusaha mengucapkan namanya. Di saat yang bersamaan, Halilintar tertawa kecil atas upaya Duri yang lucu dan menggemaskan itu. Ia terlalu asyik menghibur Duri hingga tidak menyadari ibunya yang sudah pulang itu tengah berdiri mengamati mereka berdua dari celah pintu yang sedikit terbuka.
Ibu mengetuk pintu kamar perlahan, berusaha untuk tidak mengejutkan kedua putranya, "Assalamu'alaikum, Hali sudah bangun? Eh, Duri juga?" Alisnya terangkat ketika mendapati si kecil yang sedang berada dalam dukungan lengan sang kakak.
Halilintar menoleh ke asal suara tersebut, "Wa'alaikumus salam," jawabnya sambil menghampiri sang ibu. Dengan hati-hati ia menyerahkan Duri ke lengan sang ibu yang sudah terbuka, "Tadi Duri terbangun dan tiba-tiba menangis keras sekali, Bu."
"Hmm.. Tidak seperti biasanya.." Ibu mengelus lembut kepala Duri sembari meletakkan punggung tangannya pada kening si kecil. Setelah memastikan suhu badan Duri yang masih normal, Ibu meletakkan tangannya pada pundak Halilintar, "Hali, tolong turunkan belanjaan dari mobil, ya. Habis itu bantu Ibu siapkan makanan untuk Duri, mungkin dia menangis tadi karena sudah lapar," pinta sang ibu.
Halilintar menganggukkan kepalanya. Ia baru saja ingin membalikkan badannya saat raut wajah Duri yang tiba-tiba berubah itu menarik perhatiannya. Alis Duri berkerut, bibir mungilnya dimajukan, satu tangan yang sebelumnya menggenggam erat pundak sang ibu kini dibentangkan ke depan, seperti berusaha meraih kakaknya yang hendak beranjak meninggalkan ruangan.
"Hmph..! Abam Hayi!"
Halilintar tertegun. Kalau ia tidak salah menilai, adiknya itu ingin ia tetap tinggal di ruangan ini. Sang ibu pun juga tidak kalah terkejut, kedua matanya membelalak seperti baru saja melihat penampakan mahluk halus. Melihat ekspresi Ibu yang tidak biasa itu, Halilintar segera mengangkat Duri dari lengan sang ibu dan bertanya, "Ada apa, Bu? Ibu baik-baik saja?"
Masih dalam keadaan terkejut, Ibu perlahan mengangkat tangan ke depan mulutnya yang terbuka, "B-barusan itu.. Kata-kata pertama Duri.."
Halilintar dan Ibu saling bertukar tatapan, lalu sama-sama mengamati Duri yang sedang terkekeh sembari memainkan ujung lengan kaos Halilintar. Merasa diamati, Duri berhenti sejenak dari aktivitasnya lalu melingkarkan kakinya di sekeliling pinggang Halilintar, kemudian menyodorkan wajah mungilnya ke pipi Halilintar secara tiba-tiba.
Senyuman tipis terukir pada wajah Halilintar. Ia spontan membalas gerakan adiknya itu dengan memberi kecupan pada kening Duri yang sekarang tertawa kegirangan. Sementara itu, Ibu diam-diam sudah mengeluarkan ponsel dari saku untuk mengabadikan momen dua buah hatinya yang belum tentu terjadi setiap saat. Ibu tidak sabar untuk menceritakan momen ini pada Ayah saat ia sudah pulang nanti.
