Naruto tidak membela Hinata melainkan menyiksa. Betapa jahat Naruto. Darah Hinata mendesir, dia mengepalkan tangan menahan amarah dan umpatan yang telah memenuhi rongga mulut. Naruto mengulang, "jangan berani kau atau siapa pun menyentuhnya." Dia membuatnya sangat jelas dan tegas dan semakin pula Hinata menaruh benci.
Hinata tidak dalam posisi untuk melawan, dia melirik buku di tangan kiri Deidara dan melihat kesempatan untuk menyambarnya. Hinata buru-buru melarikan diri sementara Naruto mendorong Deidara pada bagian dada, menghentikannya dikala berniat mengejar.
.
.
.
.
Disclaimer : Demi apapun, Naruto bukan punya saya, punya Masashi Sensei, saya hanya pinjam saja.
BENTENG KELEMAHAN
(Hati hati typo, tulisan mendadak hilang, OOC, AU dan lain-lain. Udh usahain sebagus mungkin)
Benteng Kelemahan by Authors03
.
.
Chapter 17
.
.
Mereka saling melempar pandangan dan Naruto bergeser satu menit kemudian dan menghilang begitu saja. Akhirnya Deidara bisa mengeluarkan ekpresi panik dan marah yang sedari tadi tertahan. Dia berbalik melihat Toneri terkapar setelah dikeroyok, menjerit, "ikut aku!" Perintah itu bukan untuk Toneri tapi orang-orangnya di sekitar pria itu.
Deidara buru-buru menyusul Hinata, meninggalkan Toneri. "Ke mana dia pergi?!" Deidara panik, Naruto membuang waktunya terlalu lama menyebabkan dirinya kehilangan jejak Hinata dan buku yang diambil. Deidara menunjuk kiri, memberi perintah, "temukan Hinata dan ambil bukuku kembali!" Tiga orang pergi ke kiri sementara dua yang lain berbelok ke kanan mengikuti Deidara.
Hinata lari ke mana saja yang dia bisa, mengitari wilayah dorm tanpa melepaskan pandangan dari buku yang berhasil dia ambil dari Deidara. Hinata mencari nama seseorang dan akhirnya berhasil menemukannya di lembaran ke sepuluh. Dia menutup buku itu dan mengamati sekitar.
"Kau!" Hinata memanggil ketika melihat seseorang mengintip dari balik dinding. Buru-buru dia menghampiri, menarik bajunya sebelum orang itu sempat melarikan diri. "Kau bisa mengeluarkan api dari tanganmu?" Lelaki itu menggeleng sebagai jawaban dan itu menyebabkan dia menjadi tidak berguna.
"Berhenti, Hinata!" Hinata panik mendengar Deidara menyebut namanya dari kejauhan, dia menoleh, sementara lelaki di dekatnya sudah terlebih dulu melarikan diri. "Aku bilang berhenti!" Deidara menjerit, mengejar dikala Hinata ikut melarikan diri.
"Sial!" Hinata ingin membakar buku itu tapi tidak ada api. Untuk mengecah Deidara mendapatkan buku itu kembali, dia merobek satu per satu halaman menjadi bagian kecil tapi itu memakan terlalu banyak waktu dan tidak efektif.
"Berhenti!" Deidara berlari semakin kencang, ditinggal oleh Hinata yang mengambil belokkan.
Hinata menemukan kerumunan memasuki gudang di belakang dorm untuk bersembunyi. Beruntungnya dia berhasil masuk sebelum pintu itu tertutup.
Hinata mengambil alih dan mengunci pintu dari dalam, sempat menakuti semua orang karena kemunculan dadakkan, membuat mereka berpikir dia adalah Deidara. Semua orang bernafas lega tahu ketakutan itu sia-sia. "Siapa yang bisa mengeluarkan api?" tanya Hinata, terkesan buru-buru. "Ini sangat penting, siapa saja!" Dia menjerit dan akhirnya salah satu dari sepuluh orang itu mengangkat tangan.
Mereka semua dikejutkan oleh pintu yang didobrak kasar dan suara Deidara terdengar. "Buka pintu ini atau aku akan membunuhmu, keparat!" Suara garang Deidara menakuti semua orang.
Hinata mengabaikannya dan melangkah menghampiri perempuan yang tadinya mengangkat tangan. Dia meminta, "keluarkan api sekarang!" Perempuan itu menurut dengan banyak pertanyaan di dalam benak, dia mengulurkan tangan dan api menyala di atas telapak tangannya.
Hinata reflek menoleh, mencemaskan pintu yang akan segera pecah karena Deidara menendangnya. Mengabaikan itu, Hinata membawa buku itu mendekati api, jantungnya berdetak semakin kencang karena tebal buku itu menyebabkannya tidak terbakar dengan cepat.
Pintu lagi-lagi didobrak dan perlahan pecah. Semua orang panik tanpa mengeluarkan suara, bersama-sama menelan ludah dan memohon agar pintu itu tidak terbuka.
Harapan mereka sia-sia. Satu kali dorongan penuh tenaga berhasil memecahkan pintu dan membukanya. Beruntung waktu yang Hinata butuhkan untuk membakar buku itu sudah cukup. Api menyala semakin besar membuat Hinata melempar buku itu ke lantai sebelum melukai tangannya sendiri.
"Tidak!" Deidara menjerit, buru-buru menghampiri dan memadamkan api menggunakan tapak sepatu. Deidara menginjak buku itu sampai berhasil memadamkan api tapi sudah terlambat. Dia memunggut benda rapuh itu tanpa bisa menyelamatkannya, semuanya berubah menjadi hitam dan tidak ada satu pun tulisan tersisa.
Deidara mengertakkan gigi dan rahangnya perlahan menggeras. Dia menggepalkan tangan meremas buku itu dan membantingnya ke tanah. Amarah yang ditunjukkan menakuti semua orang terutama Hinata, membuatnya spontan mengambil langkah mundur. Hinata menelan ludah, berusaha terlihat kuat dan tidak terdominasi.
"Aku akan membunuhmu, sialan!" Deidara mejerit keras, dia menarik kerah pakaian Hinata dan melototinya dari jarak dekat. Tinggi badan Deidara menyebabkan Hinata sedikit berjinjit. Semua orang yang ada di ruangan mengambil kesempatan itu untuk mejauh tapi mereka tidak bisa meninggalkan ruangan karena tiga teman Deidara menghalangi pintu.
Deidara mengangkat tinggi tinjunya tapi Hinata menghentikannya hanya dengan menyebutkan satu nama." Naruto melihat apa yang kau lakukan." Naruto tidak melihat tapi dia akan tahu dari pancaran kekuatan yang menyebar.
Tinju Deidara yang berhenti di samping pipi Hinata bergetar hebat, dia berusaha menahan diri jangan sampai melakukan kesalahan dengan mengabaikan perintah Naruto, tapi kepalan tangannya sudah terlalu erat, dia menyakiti telapak tangannya sendiri.
"Aku membantumu dan ini balasannya?" Deidara tidak bisa meredakan amarahnya begitu saja, dia menyesal telah membantu Hinata. Deidara menarik kerah baju Hinata menggunakan dua tangan, membuat dia semakin berjinjit. "Tanpa buku itu, aku tidak bisa membunuh siapa pun dan aku akan mati sebagai gantinya!" Dia menjerit di akhir kalimat, tepat pada wajah Hinata.
"Lepaskan dia, Dei!" Suara itu milik Toneri yang akhirnya berhasil menyusul, tapi bukan dia yang membuat Deidara melonggarkan cengkraman melainkan kemunculan Minato. Kehadiran tak terduga lelaki itu membuat teman-teman Deidara buru-buru meninggalkan pintu masuk.
Mata Hinata membesar, secarik harapan menyempil kala Minato menatapnya. "Tuan Minato!" Hinata menepis tangan Deidara dan berlari ke arahnya. "Aku perlu bicara denganmu!"
"Aku tahu," jawab Minato. "Toneri sudah memberitahu aku, tapi kita tidak bisa berbicara di sini."
"Ikut aku, Hinata." Toneri menarik tangan Hinata dan pergi bersama Minato, meninggalkan lokasi yang mendadak hening.
"Keparat itu!" Deidara menggertak gigi dan mengepalkan kedua tangan.
Toneri membawa Hinata dan Minato menuju gudang yang sudah lama tidak terpakai, lokasinya berlawanan dari gudang sebelumnya. Tempat itu sudah lama tidak digunakan, bahkan telah dilupakan. Ukurannya lebih besar bahkan bisa disebut ruko tak berpenghuni.
"Aku menggunakan kekuatanku untuk menutup tempat ini, jadi Naruto tidak bisa merasakan kehadiran kita."
Itu adalah kekuatan Toneri dan kata-katanya benar adanya. Ekpresi wajah Naruto berubah ketika keberadaan Hinata dan ayahnya tetiba lenyap dan tidak terjangkau.
Toneri menyibak rambut sembari menghela nafas lega. "Aku berusaha menghindari tempat ini tapi aku tidak punya pilihan bila tujuanmu adalah menghabiskan waktu berbicara kepada tuan Minato," katanya.
"Tunggu. Mengapa kau perlu itu? Maksudku, mengapa kau gunakan kekuatanmu untuk menutup tempat ini?" tanya Hinata penasaran.
"Ah ... aku sudah melakukannya dari setahun yang lalu. Sebenarnya aku berharap bisa menggunakan kekuatanku untuk melindungimu, tapi aku hanya bisa melakukannya setelah meruntuhkan pelindung ini tapi aku tidak bisa."
"Kenapa?" tanya Hinata lagi. "Kau tidak pernah bersembunyi di tempat ini, mengapa kau melindungi tempat ini?"
"Ini bukan untukku tapi seseorang."
"Seseorang?"
Toneri mengganguk. "Ayo, aku tunjukkan." Dia berjalan memasuki tempat itu, tepatnya salah satu ruangan yang terdapat di ujung lorong sembari menjelaskan, "satu tahun lalu, aku tak sengaja bertemu seorang perempuan. Dia tak sadarkan diri dan menilai dari kondisinya, sepertinya dia kehilangan jiwanya."
Hinata mengikuti Toneri menghampiri bed single di sudut ruangan. Ragu-ragu menatap perempuan yang dia tatap dan detik itu juga dunia Hinata seolah berhenti. Bukan hanya Hinata tapi Minato.
Toneri melanjutkan, "aku memang tak tahu siapa dia tapi memikirkan penyihir jahat bisa mencuri tubuhnya dan melakukan kejahatan membuatku cemas. Maka dari itu, aku menyembunyikannya sembari menunggu jiwanya kembali."
Minato syok. Dia dan Hinata saling melempar pandangan yang sulit diartikan. Toneri yang menyadarinya menatap tanda tanya. "Mengapa wajahmu menjadi pucat?"
Hinata menatapnya sebelum memberitahu, "Toneri, dia adalah Shion." Shion yang Hinata tahu telah mati dan seharusnya tidak terkapar di depan matanya. Namun, itu benar-benar adalah Shion. Warna kulitnya sama cerah seperti ketika Hinata melihatnya dan bibir serta wajahnya pucat. Dia adalah mayat tapi tidak ada yang berubah dari penampilannya bahkan setelah satu tahun meninggal.
Toneri tidak banyak bereaksi, berpikir telinganya tidak bekerja dengan benar setelah dikeroyok tadi. Dia mengulang, "dia adalah Shion? Shion pujaan hati Naruto yang telah mati?" Hinata mengganguk perlahan dan Minato melakukan hal yang sama ketika Toneri menatapnya.
Toneri tertegun. Mulutnya sedikit terbuka dan nafasnya tidak mengalir. "Kalian bercanda." Toneri sulit percaya dan menyangka bahwa perempuan itu adalah perempun yang selalu Hinata bicarakan!
Minato memberitahu, "aku meminta orang kepercayaanku untuk menyembunyikan tubuhnya tapi mereka diserang secara tiba-tiba. Selama ini aku mencarinya, tidak menyangka dia ada di sini. aku lega dia baik-baik saja--"
"--tapi ..." Hinata menelan ludah. Dia dan Minato saling melempar pandangan dan seolah mengerti perasaan satu sama lain. 'Oh, sial.' Batin Hinata menjerit.
"Aku lega tapi juga cemas." Minato mengatakan apa yang ada di dalam kepalanya. Dirinya tidak pernah merasakan takut tapi hari ini, sebutir keringat menetes dari pelipisnya. Suasana tiba-tiba terasa dingin dan horor hingga membuat bulu kuduknya meremang. "Aku anggap kita telah sepakat."
"Sepakat soal?" tanya Toneri yang tidak mengerti sementara Hinata mengganguk sebagai persetujuan.
Raut wajah Minato sangat serius dikala menjawab, "sepakat bahwa Naruto tidak akan pernah tahu soal ini atau dia akan menggila."
"..."
"..."
TO BE CONTINUE.
Guysssssssssss bye bye
See u di next bab
