*Click*
Suara shutter kamera sukses untuk membuat seorang gadis bersurai keunguan mendelik.
Ia mengarahkan pandangannya ke arah sumber suara itu, dan mendapati seorang pria bersurai pirang yang sepantaran dengannya tengah memfotonya tanpa seizinnya.
Raut cemberut karena kesal ia tunjukkan pada wajahnya, sambil berjalan cepat mendekati pria itu.
"Siapa Kau? Kenapa Kau memotretku seenaknya?" tanya gadis itu sedikit menaikkan nada suaranya namun dengan ucapan yang masih halus.
"A...Ah... Maafkan aku, tapi tidak mungkin aku akan membiarkanmu melakukan itu kan?" balas pria itu.
Sang gadis sedikit terkejut dan memiringkan kepalanya heran.
"J...Jangan bilang..."
"Kau mau melompat kan?"
"E...eh?!"
Gadis itu sedikit tersenyum dan tertawa kecil karena tak tahan menahan tawanya. Ia tak menyangka hanya karena ia tengah bersandar dengan agak tidak wajar pada pagar pembatas jembatan, sambil menunjukkan raut sedihnya, ia akan disangka mau melakukan hal yang tidak-tidak.
Wajah pria itu memerah, "Habisnya, Kau memasang ekspresi seperti itu, jadi kupikir dengan memotretmu diam-diam Kau akan sedikit terdistraksi..." jelasnya.
"Tapi tetap saja lain kali jangan memotret orang asing seperti itu!" omelan kecil dari gadis itu terdengar seperti suara anak kucing lucu yang sedang merengek.
Pria itu tersenyum pasrah, "Iya, iyaaa. Ngomong-ngomong, Kau mau lihat hasil fotonya?"
"Aaaa...Ah! Tentu!"
Disodorkannya kamera milik pria itu, hasil fotonya jauh di luar dugaan gadis itu. Bukan karena ia sempat meremehkan orang yang memotretnya diam-diam ini, tapi karena memang hasilnya indah, sangat indah.
Langit sore yang bertepatan dengan momen matahari terbenam menyinari gadis itu dari arah samping, membuat surai keunguannya seakan-akan terbalut oleh cahaya-cahaya keemasan. Wajahnya terlihat seakan kesepian, namun bibirnya terlihat tersenyum, sebuah ekspresi yang tak dapat bisa digambarkan dengan kata-kata.
"Sa...Sangat bagus!!! Aku suka!!!" seru gadis itu pelan sambil terkagum-kagum.
"Terima kasih. Oh ya, kita belum berkenalan. Aku Deidara, mahasiswa jurusan teknik nuklir angkatan 25. Dan Kau...?"
"N...Namaku Hinata, jurusan astronomi angkatan 26! M...Maaf, berarti seharusnya aku memanggilmu 'kak'?"
"Ah, tidak perlu. Lagipula kita cuma beda setahun, kan? Santai saja denganku," seru Deidara dengan ramahnya.
"Oh ya, ngomong-ngomong sedang apa Kau di sini? Bukannya hari ini semua jurusan pulang cepat karena ada acara wisuda?" tanya Deidara sambil ikut menyandarkan tubuhnya pada pinggir jembatan tersebut.
"A...Aku hanya... Sedang ingin sendiri... U...um, tadinya!!!" ucapan Hinata ia ubah dengan cepat. Ia merasa tidak enak jika seakan-akan mengusir Deidara.
"Ada masalah?" tanya Deidara sedikit memiringkan kepalanya.
Tatapan dalam Deidara yang menyandarkan punggungnya kebelakang, sedangkan Hinata yang berada di sebelahnya melipat kedua sikunya pada tiang pembatas itu, membuat keduanya sempat bertatapan cukup lama.
"I..Iya, sedikit," gadis itu menundukkan kepalanya pelan.
"Boleh aku tahu?"
"Kenapa Kau harus tahu?"
"Karena aku penasaran, hehe"
Hinata menghela napas pasrah dan tersenyum kecil.
"Aku baru saja putus dengan pacarku"
"Hah? Kau punya pacar?" tanya Deidara dengan nada sedikit meledek.
"Yahhh, Kau memang cantik sih..." ucapan spontan itu sukses membuat wajah Hinata sedikit memerah.
"Apa, sih..."
"Maaf, maaf hahaa. Lanjutkan ceritamu, kenapa Kalian bisa putus?"
"Soalnya ternyata kita tidak bisa bersama"
"Hahh...?"
"Y...Ya, Kau paham kan. Keluarga kami berbeda, um... Kau tau kan istilah kalau cari pasangan itu harus yang setara, Kau mengerti kan maksudkuuuu!" ujar Hinata sedikit gemas tidak ingin blak-blakan mengatakan bahwa ia dengan mantannya tidak selevel
"Maksudmu Kau tidak bisa bersamanya karena Kau orang kaya dan dia miskin?"
"Bukan begituuuu!!!!"
Deidara pun tertawa lepas. Puas sekali ia menjahili gadis sebaya disampingnya ini.
"Menurut kakakku, adikku, keluargaku, dia terlalu main-main di kuliahnya. Padahal kalau Kau tau kak Hidan dari jurusan ilmu komunikasi, walaupun dia anak motor dan suka nongkrong, prestasi dia juga banyak, tuh!" seru Hinata sedikit mengotot yang membuat Deidara kembali tertawa kecil karena gemas.
"Oh? Kau berpacaran dengan Hidan?"
"Eh, Kau kenal?"
"Hadehh, lagipula bagaimana Hidan yang slengean itu bisa berpacaran dengan anak sepolos seanggun ini sihhh?!! Jelas keluargamu tidak akan merestuinya lah Hinataaaaa"
"Iya, dia teman SMAku dulu, kita juga satu kost-an sekarang. Mau titip salam?"
"Nggak, tuh! Buat apa," ujar Hinata kembali cemberut.
"Lagipula kami pisah baik-baik kok, kalau bertemu kami juga masih sering menyapa," jelas Hinata kembali.
"Jadi sekarang Kau single nih?"
Hinata mengangguk polos.
Tak lama mereka berbincang, walaupun keduanya baru saja mengenal satu sama lain akibat kesalahpahaman yang tak disengaja, cukup membuat Hinata menyadari bahwa mengobrol dan menceritakan isi hatinya pada Deidara terasa cukup nyaman. Tak terasa waktu sore yang cukup lama mereka habiskan di jembatan itu.
Sebelum mereka berpisah, Deidara sedikit menahan langkah Hinata. Mengisyaratkan untuk berhenti sebentar.
"Hinata... Maukah Kau menjadi model fotoku?"
"Eh? Tapi aku tidak terlalu mahir dalam berpose..."
"Tapi aku sangat suka ekspresimu itu—"
Ucapan Deidara terpotong melihat Hinata yang tersenyum hangat memandangnya. Ia sedikit menjadi salah tingkah.
"A...Ah, maksudku... Kau boleh menolak jika Kau mau tentunya. Hanya saja aku sangat suka melihat hasil foto tadi dan Kau yang sama indahnya dengan langit sore hari ini—"
Deidara kembali terdiam dengan sendirinya. Lagi-lagi ia kelepasan.
"Jadi, apa Kau mau?"
Deidara tidak pernah menyangka ajakannya itu akan diterima dengan hangat oleh Hinata, gadis yang baru saja ditemuinya secara tidak sengaja.
"Un, ya! Aku mau!"
Mungkinkah ini takdir?
.
*
.
"Hinata, hari ini Kau kelas sampai jam berapa?"
"Aku kelas sampai jam setengah lima sore, huhu TT kenapa kak Dei?"
Beberapa hari sudah terlewati sejak pertemuannya dengan Deidara. Mereka sudah bertukar SNS dan entah bagaimana mereka jadi semakin dekat karena sering bertukar cerita lucu, sedih, bahkan hal-hal acak yang tiba-tiba saja terpikirkan oleh mereka berdua.
Keduanya semakin dekat satu sama lain, mungkin bisa dibilang mereka hanya bersahabat sekarang, tidak lebih.
Tapi apa benar 'hanya'?
"Nanti aku ke fakultasmu ya, Kau pasti belum makan kan? Aku bawakan nasi goreng, nih"
"Kok kak Dei bisa tau TT jangan repot-repot kak!!!"
"Kebiasaan, Kau selalu meng-skip makan siang setiap hari rabu karena jadwal padatmu itu, kan!"
"Yaudah, deh... Terima kasih banyak kak Dei "
Sore hari pun tiba, Hinata yang keluar dari kelasnya pun bergegas ke arah gerbang depan mencari keberadaan kakak tingkatnya itu.
"Kak Dei dimana ya... Daritadi gak kelihatan.."
"DOR!"
"AAAAAHHH"
Deidara pun langsung tertawa lepas setelah mengagetkan Hinata dengan tiba-tiba muncul dan menepuk pundaknya, apalagi melihat ekspresi kaget Hinata yang tengah celingak-celinguk mencarinya itu. Tentu tawanya sontak berhenti ketika Hinata mengomelinya yang justru membuat Deidara membuatnya semakin lucu
.
*
.
"Ini, nasi gorengmu!" seru Deidara sambil menyodorkan bungkusan yang dipegangnya.
"Terima kasih banyak, kak!!!"
"Sudah kubilang jangan panggil aku kak!"
Kini mereka berdua duduk di atas kursi kayu dengan meja kecil berbentuk bundar di hadapannya.
Hinata pun memakan nasi goreng itu dengan cepat, sampai beberapa kali ia tersedak dan cegukan. Bukan Deidara namanya kalau tidak meledek adik tingkat kesayangannya itu.
"Hei, pelan-pelan makannya, gimana kalau Kau nanti tersedak lalu mati?"
"Kak Dei jangan aneh-aneh, dong!" gerutu Hinata sembari kembali memakan nasi gorengnya.
Setelah ia selesai makan, mereka kembali mengobrol sampai malam. Tentu tidak sampai jam kampus ditutup tentunya.
"Hinata, coba Kau berdiri di sini!" seru Deidara.
"Di sini?"
"Iya! Coba Kau tatap ke arah bulan dan tersenyum sedikit"
Hinata pun langsung mengerti. Deidara ingin memotretnya. Sudah cukup sering ia difoto oleh Deidara seperti ini. Ia pun mencoba untuk sedikit tersenyum dengan alami, namun ia merasa senyumannya sedikit aneh karena ia tidak biasa difoto sambil pura-pura tersenyum. Biasa Deidara hanya mengambil foto candid-nya.
"Senyumnya yang natural, donggg," ledek Deidara.
"Aku sudah mencobaa!"
"Hnnn, coba pikirkan hal-hal menyenangkan, misalnya Kau dapat ip bagus, dipuji dosen, atau apa gitu? Sayang nih, bulannya lagi sangat bagus"
"A...Apa yaa..." Hinata sedikit kehabisan ide dan sedikit panik. Ia tidak ingin mengacaukan hasil tangkapan kamera Deidara.
"Coba pikirkan Hidannnnn! Ayooo, pikirkan mas mantan!" ledek Deidara, sengaja agar membuat Hinata tertawa.
"A...Apa, sih!!"
"Kalau begitu, coba bayangkan orang yang Kau suka ada di hadapanmu sekarang!"
"E...eh?"
Seketika semburat merah muncul di wajah polos Hinata, senyuman akibat salah tingkah, malu, namun yang jelas itu adalah senyuman termanis Hinata yang pernah Deidara lihat.
Melihatnya, Deidara sempat terbeku sekejap. namun niat awalnya untuk memotret Hinata kembali dan segera mengarahkan kameranya dan mengabadikan momen yang menurutnya langka tersebut.
*click*
Deidara pun segera melihat hasil fotonya, ia terkesima melihat senyuman termanis milik Hinata yang berada di bawah sinar bulan hingga ia terus terdiam melihat foto itu.
Ia memang sudah sering memotret Hinata. Bahkan sebelum ia mengenal Hinata, ia juga sudah sangat sering memotret momen-momen indah lainnya, baik pria maupun wanita, ekspresi senang maupun sedih, namun apa ini?
"Kak Dei, aku juga mau lihat!" seru Hinata sambil berlari kecil ke arah tempat Deidara berdiri.
"W...Wow, sudah kuduga hasil fotomu tidak akan pernah gagal, Kak Dei!" seru Hinata terkagum-kagum.
"K...Kak Dei?"
Deidara tidak bergeming.
"Kak Dei!" sontak panggilan tersebut membuyarkan Deidara dari lamunannya.
"Ah, iya. Maaf, ada apa Hinata? Kau suka?"
"Tentu saja, aku suka sekali!!!! Terima kasih banyak Kak Dei!"
Melihat senyuman riang Hinata, membuat jantung Deidara berdebar dengan kencang, namun perasaannya aneh. Seharusnya ia senang melihat senyuman manis Hinata pada hasil fotonya itu. Akan tetapi sejak ia memotret Hinata tadi, sesuatu terus mengganggu pikirannya.
"Itu adalah senyuman terindahmu yang pernah aku lihat. Tapi siapa yang ada di dalam pikiranmu ketika aku memintamu untuk membayangkan dirimu berada di hadapan orang yang Kau suka?"
"Mungkinkah itu... Aku?"
Deidara tersenyum pede sedikit.
"Gila... Kau cantik sekali di sini, Hinataa, benar-benar seperti bidadari," ujar Deidara sambil sedikit melebih-lebihkan pujiannya dengan berpura-pura kaget.
"T..Tapi, kan hasil foto ini Kak Dei yang ambil! Pasti karena Kak Dei jago, lah!"
"Alasan, kubilang Kau cantik ya cantik! Valid, no debat! Gimana kalau kubilang Kau adalah orang termanis dari semua temanku yang pernah aku temui?"
"A...Apa...?"
Deidara langsung membungkan mulutnya sendiri. Rasanya ia sedikit kelepasan mengekspresikan isi hatinya.
"... Lupakan"
"Kak Dei bilang apaa?" kali ini Hinata lah yang menggodanya.
"T...tidak, hn..." Deidara langsung membuang mukanya, menyembunyikan wajahnya yang sudah sangat memerah.
Tanpa ia sadari, ia telah jatuh hati pada Hinata.
.
*
.
"Kak Dei"
"Ya?"
Hinata dan Deidara kini sedang berada di tempat fakultas Deidara. Terkadang Deidara yang menghampirinya, dan terkadang sebaliknya. Memang tidak setiap hari mereka bertemu karena terkadang mereka ada urusan masing-masing atau pergi dengan teman tongkrongan mereka, tapi setidaknya setiap hari Rabu mereka selalu berjanjian untuk bertemu.
"Kalau aku punya pacar, itu berarti kita tidak boleh sering-sering bertemu, ya?"
Deg
"Pertanyaan macam apa itu Hinata?" tanya Deidara berusaha untuk sambil setengah bercanda. Ia sangat tidak suka dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Hinata, entah apa alasannya.
"Kau punya pacar?" tanya Deidara. Walaupun nada bicaranya terdengar biasa saja, perasaan dingin dan menusuk dapat tergambarkan dari ucapannya.
Hinata menggeleng.
Tanpa Deidara sadari, ia menghela napas lega.
"Memangnya kenapa Kau tiba-tiba menanyakan hal seperti itu? Membuatku kaget saja, aku hampir jantungan, tahu!" omel Deidara.
"Hanya saja... Umm... Ada seseorang yang sepertinya aku suka, hehe..."
"...Siapa, Hinata?"
Deidara kembali menghentikan kegiatan makan siangnya. Ia mencoba untuk tetap tenang.
"Lagipula apa hubungannya kalau Kau punya pacar dengan bertemu denganku? Bisa-bisa saja, bukan? Kenapa itu jadi masalah?"
"Ya, tapi kan bukannya tidak etis kalau aku masih menemui pria lain padahal aku suka memiliki seorang kekasih?"
"Pria lain, katanya..."
"Kalau Kak Dei perempuan, sih... Kita tidak masalah!"
"Kalau begitu lebih baik aku jadi perempuan saja agar bisa bersamamu selamanya!"
Seperti sebuah kebiasaan, lagi-lagi Deidara kelepasan, membuat Hinata terdiam atas perkataannya tersebut.
"Lagipula belum tentu orang yang Kau suka itu pasti menyukaimu dan mau jadi pacarmu juga, bukan? Sudahlah, jangan terlalu pede Hinataaa"
"Kak Deiiii!!!!" sifat gemas Hinata atas kejahilan Deidara pun muncul kembali. Inilah sifat Hinata yang paling Deidara suka.
"Bagaimana dengan Hidan? Rasanya Kau belum lama putus dengannya"
"Itu sudah lama kak, sudah satu tahun yang lalu!"
Memang benar, kini Deidara sudah berada di tingkat akhir dan Hinata berada di tingkat 3. Waktu cepat sekali berlalu sejak saat mereka pertama kali bertemu.
"Memangnya Kau ini sedang suka dengan siapa? Cepat beritahu aku!" seru Deidara sedikit mengomel, nemun sebenarnya ia sedang serius.
"Siapa orang itu, Hinata?"
"Siapa?"
"Kumohon, cepat katakanlah!"
"Kumohon, beritahu aku!"
"Unnn, nanti Kau juga akan tau, kak!" seru Hinata sedikit menjahili Deidara.
"Ehehehe, aku duluan! Ada kelas jam 2 nanti, dadahhh!!!" seru Hinata sembari meninggalkan Deidara yang masih penuh akan pertanyaan yang belum dijawabnya.
.
*
.
"Hinata?"
Pandangan Deidara seakan tidak percaya. Untuk apa Hinata berada di gedung fakultasnya? Biasanya kalau ingin bertemu dengannya, pasti mereka janjian sebelumnya. Terlebih, ini hari Sabtu. Ia tau betul Hinata tidak ada kelas pada hari itu.
"Apa dia ada urusan? Tapi itu benar Hinata, kan? Untuk apa dia ada di sini?"
Deidara mencoba mengikuti gadis yang diduganya Hinata itu dengan perlahan. Ia mengamati gadis itu dari kejauhan.
Mata lavender itu, rambutnya yang panjang keunguan, tas ransel coklat dengan gantungan kucing yang selalu dibawanya, tidak salah lagi itu benar Hinata.
Hinata terlihat berbincang dengan seseorang, matanya berbinar-binar. Senyuman hangat khasnya terlukis di wajahnya, ia terlihat sangat senang, ia terlihat bahagia.
Tak jarang Hinata terlihat sedikit melompat-lompat kecil dalam perjalanannya bersama orang tersebut, menunjukkan sedikit sisi kekanakannya yang tak sengaja ia tunjukkan ketika merasa terlalu senang.
Sisi lain menggemaskan Hinata yang Deidara kira selama ini hanya ditunjukkan kepadanya, kini terlihat ditunjukkan bersama orang lain. Bersama pria lain lebih tepatnya.
Debaran kencang kini kembali dirasakan oleh Deidara, namun kali ini berbeda. Debaran itu terasa sakit. Amat sakit hingga ia tak yakin apakah ia bisa menyebutnya sebagai amarah atau tidak. Lebih tepatnya pertanyaan "mengapa?" yang terus menghantui pikirannya.
Hatinya kembali terasa seakan tertusuk ketika melihat tangan mungil Hinata, yang biasa ia sentuh untuk mengarahkan pose Hinata saat ia foto, sedang menggenggam tangan pria itu dengan hangat.
Tangan itu yang selama ini ingin ia genggam. Kalimat "Harusnya itu aku" terus berputar di dalam benaknya.
Dari kejauhan, Deidara mengamati pria itu. Seorang pria yang sangat amat tak asing di lingkungannya. Seorang pria bersurai hitam pekat, wajah tampan yang menjadi impian semua wanita di sana untuk menjadi kekasihnya, sosok idaman yang sangat terkenal di kampusnya.
Uchiha Itachi.
Ya, siapa yang tak kenal dia? Seorang mahasiswa tampan dan berprestasi yang seharusnya sudah bisa lulus dalam waktu 3.5 tahun, namun akan menyelesaikan studinya dalam waktu 4 tahun hanya karena ia merasa belum puas dengan data yang ia kumpulkan pada skripsinya.
Seorang jenius yang tampan, Uchiha Itachi.
"Ya, siapakah aku kalau dibandingkannya?" pikir Deidara.
"Sudahlah, jangan bersifat kekanakan. Ayo hampiri saja dan pura-pura tidak tau apa-apa," gumamnya.
Deidara pun memberanikan langkahnya untuk berjalan tepat di depan mereka berdua. Tentu Hinata yang melihat Deidara tersenyum riang ke arahnya. Suasana hatinya sedang sangat indah, tak lain tak bukan karena ia sedang bersama Itachi.
"Kak Dei!!!" panggilnya.
"Senyuman itu..."
Deidara kembali membuyarkan lamunannya. "Hinata, tumben Kau ada di sini. Ada urusan apa?"
"A...ah, aku cuma sedang... Um, mau ketemu Itachi saja, ya kan?" ujar Hinata dengan polosnya sambil menatap ke arah Itachi dengan hangat.
"O...oh? Begitu?" balas Deidara sedikit canggung.
"Jadi, Itachi ini pacarmu, nih?"
Pertanyaan spontan Deidara membuat wajah Hinata langsung memerah. Ia terlihat kaget. Tentu ia tak pernah menyangka Deidara akan bertanya secara blak-blakan seperti ini.
Deidara yang melihat Hinata yang menjadi gugup justru seketika menjadi cemas.
"Kenapa Hinata tidak bereaksi apa pun?"
"Apa perkataanku barusan keterlaluan?"
"Bagaimana jika Hinata marah lalu meninggalkanku?"
"Bagaimana jika—"
Itachi tentunya tidak memberikan jawaban. Ia mengerti bahwa pertanyaan tersebut ditujukan pada Hinata.
"Kak Dei, sebenarnya aku..."
"Tidak, Hinata. Tolong jangan lanjutkan perkataanmu"
"Aku tidak bermaksud untuk menyembunyikannya darimu, tapi..."
"Tidak, kumohon. Hinata, hentikan"
"I...Itachi sangat baik jadi ia mengerti tentang bagaimana aku denganmu kak, tapi..."
"Hinata, jangan..."
"K...Kak Dei benar, sekarang aku berpacaran dengan kak Itachi!" seru Hinata sambil merangkul lengan Itachi pelan.
"Maaf aku baru memberitahumu kak Dei, tapi aku bingung bagaimana menceritakannya. Aku malu..."
"Ah, tuh kan"
"Deidara, kumohon jangan menangis"
"Hei t*lol, jangan menangis di hadapan Hinata"
"Ini bukan salah Hinata, hanya aku yang terlambat"
"Ya, hanya aku yang terlambat"
"Aku tidak akan pernah mendapatkan senyumanmu itu, bahkan sejak awal sekalipun"
"A...Ah, begitu ya. Tidak apa-apa, kok! Ngomong-ngomong Kalian serasi sekali, bilang padaku kalau kapan-kapan Kalian mau kufoto berdua!"
"Sialan Deidara, kenapa Kau mengatakan itu?"
"Eh sungguh?! Bolehkah?! Kak Itachi, seperti yang sering kukasih lihat, hasil foto kak Dei itu memang sangat-sangat keren, bukan?!"
"Hinata..."
"Jangan marah kalau aku akan sering menghubungimu lagi, lho kak Dei!"
"Kau bahkan memujiku di depan pacar barumu itu tanpa henti"
"Ah, Hinata, Itachi, aku baru ingat sepertinya aku ada urusan, dahhh! Oh ya, salam kenal Itachi, sebenarnya kita sempat kenal waktu satu kelompok saat ospek kan? Haha, senang bertemu denganmu lagi!" seru Deidara dengan cepat sambil menutupi wajahnya dengan brosur yang sejak tadi dipegangnya.
Ia pun berlari dengan cepat, rasanya Hinata tidak pernah melihat Deidara seterburu-buru seperti itu.
Itachi memandang punggung Deidara yang perlahan menghilang dari tempat mereka berdiri, ia paham. Deidara sedang menangis.
.
*
.
"Hoi, Dei. Kau kenapa?" ujar Sasori, seorang teman baik Deidara yang berasal dari jurusan seni yang memiliki kamar tepat di sebelah Deidara.
Sejak pulang, Deidara terus menyembunyikan wajahnya di balik bantal. Menolak untuk bicara pada siapapun, bahkan Hidan yang merupakan teman nongkrongnya sekalipun.
"Kau menangis? Dasar cengeng"
Itachi memandang punggung Deidara yang perlahan menghilang dari tempat mereka berdiri, ia paham. Deidara sedang menangis.
.
*.
"Kau tidak tau apa-apa, Danna"
"Ya mana bisa aku tau masalahmu kalau Kau hanya diam dan menangis seperti anak kecil?"
Setelah mulai mengatur napasnya, ia pun mulai berani untuk menunjukkan wajahnya tersebut.
"Gila, Kau terlihat sangat kacau"
Benar ucapan Sasori, rambut panjang Deidara yang acak-acakan, serta mata yang terlihat memerah dan membengkak, benar-benar bukan seperti Deidara.
"Memangnya Kau sehabis putus cinta, hah?"
Anggukan Deidara membuat Sasori menghela napasnya panjang.
"Siapa namanya?"
"Hyuuga Hinata anak astronomi 26"
"Bukan, maksudku lelakinya"
"Itachi"
Mendengar nama "Itachi" Sasori langsung mengangguk-angguk mengerti. Memang seterkenal itu lah Itachi di angkatan mereka.
"Mereka jadian, Danna. Hanya saja aku yang terlambat mengungkapkan perasaanku pada Hinata.
Bahkan Hinata menyembunyikannya dariku karena dia pikir itu adalah sebuah surprise dimana aku juga akan ikut senang mendengarnya. Yah, I don't deserve her"
Sasori pun menepuk pundah Deidara pelan.
"Hei, Kau masih belum terlambat t*lol. Kau punya dua pilihan, Kau mengakui perasaanmu padanya dari sekarang karena mereka belum lama jadian agar ia tau isi hatimu, atau lebih baik Kau diam saja dan sembunyikan perasaanmu selamanya"
"Kau tentu tidak mau jadi perusak hubungan orang, kan?" lanjut Sasori.
"Ya, aku tau"
"Sudahlah, awalnya aku malah berharap Kau jadi begini karena masalah yang lebih berat. Ternyata hanya karena masalah cewek?"
"Bicaramu gampang sekali Danna, memangnya sudah berapa kali Kau pacaran selama kuliah ini?"
"Hmmm, enam?"
"Dasar sinting"
.
*
.
"Hei, Dei. Ada yang mencarimu"
"Siapa?"
"Itachi"
Deidara yang kini menghabiskan makan siangnya bersama Sasori terkejut mendengar nama itu.
"Kau kenal Itachi?"
"Iya, aku mengenalnya. Tadi ia mengirim chat katanya ia ingin bertemu denganmu nanti jam 4 sore"
"T...tunggu! Danna, Kau tidak memberitahu apapun tentang Hinata kepadanya, kan?!"
"Kau pikir teman macam apa aku?"
Walaupun Sasori memang cukup br*ngsek yang ganti-ganti pacar, tapi Deidara tau betul dia orang yang dapat ia percaya sepenuhnya ketika menyangkut rahasia.
"Kau tidak membuat masalah, kan Dei?"
"Tentu tidak!"
.
*
.
Itachi melambaikan tangannya dari jauh.
Deidara menghampirinya dengan langkah kaki yang berat. Ada apa tiba-tiba seorang Itachi, seorang yang tidak terlalu dikenalnya, seorang yang merupakan pacar orang yang disukainya, memanggilnya tiba-tiba seperti ini.
"Yo, ada apa?" tanya Deidara dengan santainya. Meskipun saat ini napasnya terasa berat. Ia harap bukan tentang Hinata yang ingin dibicarakannya.
"Ini tentang Hinata"
"Ah, sial..."
"Ada apa dengan Hinata? Kalian bertengkar, hn?"
"Bukan itu. Aku tau Kau menyukainya, kan?"
Deidara mengerutkan alisnya sedikit. Ia tak habis pikir untuk apa Itachi menanyakan pertanyaan semacam itu. Meledeknya?
"Ya, tapi aku tidak berniat sama sekali untuk mengganggu hubungan Kalian, kok. Memangnya kenapa?"
"Waktu Kau memergoki kami saat itu, aku tau Kau menangis"
"Y...Ya, lalu?" Deidara sedikit terkejut karena Itachi saat itu yang hanya diam saja, ternyata sepeka itu dengan situasi yang terjadi.
"Sebaiknya Kau beritahu saja perasaanmu pada Hinata. Aku akan mendukungmu"
"H...Hah? Apa maksudmu? Kau ingin aku merusak hubungan Kalian?"
"Hah... Bukan begitu. Karena aku tau betapa sakitnya perasaan semacam itu, bodoh. Aku tau persis perasaan ketika Kau merasa terlambat dan tidak bisa melakukan apa-apa terhadap hal itu lagi. Asal Kau tau, Hinata yang menolakku"
Deidara sedikit membulatkan matanya. Kini ia paham. Sangat paham. Itachi sangat cocok dengan Hinata. Itachi adalah pasangan serasi bagi seorang Hyuuga Hinata yang baiknya bagaikan malaikat. Bukan dia.
"Hinata menolakku sekitar, dua kali? Kemarin kita jadian itu karena untuk ketiga kalinya akhirnya ia menerimaku"
Dalam hatinya, Deidara sedikit terkekeh. Seorang Itachi? Ditolak dua kali oleh Hinata? Rasanya ia ingin tertawa sedikit sekarang membayangkan seorang gadis polos seperti Hinata, menolak seorang pangeran Uchiha yang sempurna, namun ia tau ini bukan saatnya ia bercanda.
"T...Tunggu, Hinata tidak pernah cerita padaku kalau ada Kau yang sudah lama suka padanya. Bagaimana aku bisa percaya ceritamu itu?"
"Itu karena Hinata selama ini menyukaimu, bodoh"
"Apa..."
Pria bersurai pirang itu kembali terdiam. Hinata? Menyukainya? Sejak kapan? Kenapa ia tidak tahu? Haruskah ia senang dan segera mengungkapkan perasaannya pada Hinata sekarang? Tapi bukannya ia sekarang sudah bersama Itachi? Apa yang harus ia lakukan?
Lupakan semua pertanyaan itu, berarti selama ini dia dan Hinata saling menyukai? Setidaknya sebelum Hinata akhirnya suka pada Itachi.
"Maafkan aku Hinata, sepertinya aku harus mengatakan ini pada Deidara," ujar Itachi kepada dirinya sendiri.
"Ia menyukaimu, tepat sejak Kau pertama muncul di hidupnya, tapi Hinata takut melukaimu karena fakta bahwa ia baru saja putus dengan Hidan. Dia tidak mau dianggap yang tidak-tidak karena terlalu cepat untuk menyukai seseorang lagi"
"Jadi, aku akan menerima apapun jawaban Hinata nanti. Kalau Kau masih ingin mengungkapkan perasaan padanya, aku tidak akan menghalangimu. Jika Hinata bahagia, aku pun akan ikut bahagia" lanjut Itachi.
"Apa-apaan ini... Hinata, Kau benar-benar memilih orang yang tepat. Orang sebaik Itachi— Ah, bukan. Orang sepertiku tak layak mendapatkan Hinata. Bisa-bisanya orang sebaik ini..."
Deidara berusaha untuk mengatur napasnya. Napasnya kini sangat berat. Berat sekali.
"Hinata, You're really an angel. You deserve him, not me"
"Kalau dia orangnya, aku bisa apa?"
.
*
.
"Kak Dei!" panggil Hinata sedikit melambaikan tangannya di hadapan kakak tingkat sekaligus sahabatnya itu.
"Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"
"A...Ah, b..begini..."
Hinata menatapnya serius. Tentu tidak biasanya seorang Deidara yang biasa sangat berisik, sangat suka menjahilinya, tiba-tiba menjadi sangat pendiam seperti ini.
"Sepertinya, lebih baik kita tidak sesering ini bertemu"
"Eeeeehhh?!! Kenapaaa"
"Maksudku, meskipun Itachi mengizinkan, seperti katamu waktu itu sepertinya tidak etis kan kalau Kau tetap jalan dengan 'pria lain' sepertiku?"
"T...Tapi kan saat itu aku tidak tau kalau pacarku akan seorang Itachi yang sangat pengertian seperti iniii!"
"Yeah, Hinata. You really deserve him, not me"
"Tapi kan tetap saja..."
"Yasudah kalau begitu. Tapi kalau kuchat, Kau tetap harus membalasnya, ya kak!" seru Hinata yang kemudian disambut oleh anggukan Deidara.
"It hurts so bad. But this is the best i can do, right?"
.
*
.
"KAK DEI!"
"KAK DEIIII!"
Teriakan Hinata dari kejauhan, beserta napasnya yang terdengar terengah-engah, mencuri perhatian seorang Deidara yang baru saja hendak pulang dari tempatnya.
Ia melihat Hinata dari jarak sekitar 5 meter, keadaannya terlihat kacau. Napasnya terengah-engah, air mata dengan deras mengalir di pipinya. Sakit bukan main yang ia rasakan ketika melihatnya.
"Hinata... Apa... Apa yang terjadi?!"
"KAK DEI!!!!!!"
Hinata segera berlari ke arahnya seperti orang kesetanan, namun langkahnya sangat lemas. Ia segera memeluk erat sosok seniornya itu dan menenggelamkan wajahnya. Ia terus menangis sambil memeluk Deidara seolah tak ingin ia lepaskan.
Deidara terkejut bukan main atas perlakuan tiba-tiba Hinata tersebut. Hinata tidak pernah memeluknya, apalagi memeluknya sangat erat sampai terasa sedikit sesak seperti ini. Haruskah ia senang? Apakah Hinata sekarang menyukainya?
Dengan hati-hati, Deidara membalas pelukannya. Tidak mengerti apa yang terjadi pada gadis yang disukainya ini, yang pasti sepertinya bukan hal baik. Tapi satu hal yang membuat ia senang sekarang, fakta bahwa Hinata memeluknya.
"I...Itachi..."
Mendengar nama itu, buyar semua pikiran Deidara yang baru saja berpikir bahwa Hinata memeluknya karena dirinya. Ada apa dengan Itachi? Apa Itachi melukainya? Perlukah ia mencari kemudian menghajar Itachi sekarang juga?
Tentu Deidara sudah siap dengan berbagai skenario semacam Itachi telah berbuat yang tidak-tidak kepada Hinata, atau Itachi telah berselingkuh, atau semacamnya, namun lagi-lagi ia disadarkan oleh kenyataan ketika gadis dalam pelukannya tersebut mulai angkat bicara.
"Itachi... Itachi kecelakaan..."
"Apa?"
Ya, gadis ini menangis bukan karena menginginkan dirinya. Melainkan karena orang lain.
.
*
.
.
"Selamat lulus, kak Dei! Ayo!!!! Kali ini giliran aku yang memotretmu!"
Seruan riang gadis bersurai keunguan itu membuat Deidara semakin gemas karenanya.
Hari ini merupakan wisuda kelulusan angkatannya, termasuk Itachi, Sasori, juga Hidan. Acara yang bergelar di aula besar milik kampus mereka membuka acara ini kepada adik-adik tingkat yang ingin memberi selamat kepada kakak-kakak mereka.
"Aku yang lulus, tapi sepertinya Kau yang sangat girang hari ini, Hinata"
"Tentu saja! Kak Dei terlihat sangat keren menggunakan toga itu! Lagipula hari ini giliranku yang akan setia memegang kamera untuk memotretmu!"
"Hei Kau, Kalian mau kufoto bersama?" ucapan Sasori yang tiba-tiba datang mengagetkan Hinata sedikit.
"Bolehkah?!!!" Dengan girang, Hinata pun memberikan kameranya, yang sebenarnya milik Deidara kepada Sasori.
Ia segera menggeret Itachi ke sampingnya untuk berfoto bersama.
"Kak Dei, sedang apa di situ? Ayo, sini ikut!" panggil Hinata.
"Eh, aku?"
"Iya, Kau pikir siapa lagi di sini makhluk bawel bernama Deidara yang lulus tahun ini?"
Ledekan kecil Hinata membuat Deidara sedikit mengembungkan pipinya.
Mereka pun mengambil posisi siap untuk difoto oleh Sasori. Hinata di tengah dengan lengan kirinya tengah menggandeng Itachi, dan lengan kanannya yang sedikit dijahili oleh Deidara sehingga jari Hinata seakan membentuk jari tengah.
"Kak Dei!!! Kalau orang lihat pasti dikira aku yang tidak-tidak!!!!"
"Hahahahah, siapa suruh Kau terlalu fokus untuk bucin di sisi kirimu itu!"
"Kak Dei!!!!"
.
*
.
"Kak Dei, Kau akan melanjutkan studimu di luar?"
"Iya, Kau baik-baik ya di sini. Toh, ada Itachi kan"
"T...Tapi kak Dei kan cuma ada satu..."
Ujung dari ucapan Hinata menjadi sedikit pelan.
"P...Pokoknya hati-hati kak, jangan lupakan aku! Kau harus membalas chat-ku pokoknya!"
Deidara sedikit terkekeh mendengar ucapan Hinata. Mereka yang kini berada di luar aula gedung tengah berdua saja, Itachi memberi mereka waktu itu bicara.
"Kenapa, Hinata? Kau sebegitu takutnya kehilangan aku? Kadang Kau ini seperti lupa kalau Kau sudah punya pacar, Kau kan sudah punya Itachi sekarang yang pasti akan selalu ada untukmu. Tak ada yang perlu Kau khawatirkan, Hinata"
"T...Tapi, kan..."
"Tapi?"
"T...Tapi, kan... Kak Dei jauh lebih berharga untukku..."
Mata aquamarine Deidara membulat. Hinata, apa Kau sadar dengan apa yang baru saja Kau katakan?
"Sahabat, lebih berharga daripada pacar, b..bukan?"
Deidara pun menepuk pelan ujung kepala Hinata. Yang dikenakan perlakuan tentu dia saja, justru matanya terlihat berkaca-kaca. Ia seakan se-tidak rela itu untuk berpisah dengan Deidara.
Deidara menatap mata lavender itu dalam-dalam. Ia menarik dan menghela napasnya pelan.
"Kau memang seorang malaikat, Hinata. Itu sebabnya aku menyukaimu"
.
*
.
"And now, you can kiss your bride"
Suara tepuk tangan meriah memenuhi aula mewah berhiaskan bunga putih dan lavender itu. Sebuah ikatan perjalinan kasih antara sang manik lavender dan onyx telah terjadi di hadapan ratusan orang yang hadir di sana.
"Deidara, Kau tidak apa-ap—"
"Jangan ajak aku bicara, Danna! Kau tau aku harus mengabadikan momen ini, bukan?" seru Deidara dengan cepat mengarahkan kameranya pada sepasang bintang pada hari ini selayaknya seorang pro.
Bukan Deidara namanya kalau hasil jepretannya sangat-sangat layak untuk dia dijuluki memiliki skill dewa. Bahkan hasil foto mentahannya saja sudah sangat layak untuk menjadi aset perusahaan besar.
Memotret momen pernikahan gadis yang disukainya, bukan Deidara namanya kalau tidak menerima permintaan Hinata untuk menjadi fotografer pribadi mereka pada saat paling bahagia dalam hidupnya.
Memang orangtua Hinata dan Itachi sudah menyewa banyak fotografer profesional untuk mengabadikan momen tersebut, namun permintaan khusus Hinata tak dapat ditolak oleh siapapun untuk hari bahagianya.
Semua orang yang mendengar kisah diantara mereka mungkin akan berpikir bahwa Hinata sangat keji karena tidak memikirkan perasaan Deidara. Tetapi Deidara lah yang menawarkan diri, dan Hinata juga ingin orang yang mengabadikan momen paling penting dalam hidupnya adalah salah satu orang yang sangat ia sayangi dalam kehidupannya itu, tak lain adalah Deidara.
Berkali-kali Sasori memastikan akan keputusan Deidara sebelumnya, namun keputusannya temannya itu sudah bulat dan tak dapat diubah.
"Ini akan jadi terakhir kalinya aku memotret Hinata, Danna," ucap Deidara pelan setelah kembali berada di samping Sasori.
"Kau tidak menyesal, kan?"
"Untuk apa? Aku senang melihat Hinata bahagia"
"Hah... Rasanya baru saja kemarin Kau menangis seperti anak kecil karena ditolak cintanya, Dei," ledek Sasori pelan.
"Kau sudah bersikap dewasa sekarang, aku bangga"
Ucapan Sasori tak dihiraukan oleh Deidara yang tengah memandang ke arah sepasang pengantin tersebut dari kejauhan. Ia seakan terlarut dalam benaknya ketika melihat mereka.
"Dei?"
"Ah ya, Danna. Karena tugasku sudah selesai, sebelum kita pulang ayo kita mengucapkan selamat kepada mereka! File fotonya hanya tinggal kuberikan ke Itachi nanti"
"Oh? Baiklah"
Saat naik ke atas panggung dan bertatapan langsung dengan gadis yang sampai sekarang masih disukainya, Deidara terlihat mengeluarkan secarik kertas.
"Kak Dei!!!!! Terima kasih banyak sudah datang! Maaf aku merepotkanmu!!!!"
"Tidak apa-apa Hinata. Lagipula tidak mungkin kan aku melewatkan momen bahagia sahabatku sendiri?"
Mengatakan kata hanya "sahabat" terus melukai kembali hatinya, tapi tentu Deidara sudah semakin terbiasa dengan hal itu.
"Hinata, untukmu," ucap Deidara sembari memberikan secarik kertas tersebut kepada Hinata.
Sebenarnya Deidara tidak ingin Hinata langsung membalikkan lembaran kertas kecil tersebut. Tapi tingkah polos yang tak dapat diprediksi tersebut membuat Hinata melihat langsung apa yang ada di atas lembaran kertas polaroid tersebut.
Sebuah potret dirinya di bawah langit senja, bersandar pada pinggir jembatan, wajah tenang yang misterius dengan senyum tipis namun dengan raut wajah yang kesepian.
Potret seorang dirinya saat ia pertama kali bertemu dengan Deidara.
"Ini akan menjadi terakhir kalinya aku memotretmu, Hinata"
"Cahayaku, yang bersinar terang yaitu dirimu pada hari bahagiamu ini"
"Sekarang, Kau tidak perlu lagi seseorang yang akan memberikanmu cahaya untuk bersinar, Kau lah yang akan bersinar dengan cahayamu sendiri Hinata"
"Kau akan bersinar pada jalanmu sendiri, jalan di mana kehadiranku yang mungkin hanya memberikan sepercik cahaya dalam hidupmu sudah tidak akan ada lagi"
"Oh ya, dan mulai sekarang tentu bukan aku lagi yang akan terus mengingatkanmu untuk makan siang tepat waktu di hari rabumu yang sibuk itu"
"Selamat atas pernikahanmu, Hinata. Aku mencintaimu"
"—dari 'hanya' sahabatmu, Deidara"
.
.
.
.
"Selamat tinggal"
.
.
.
Hidup kadang memang tidak semulus yang kita kira, seperti halnya yang dirasakan Deidara. Padahal kalau dia lebih cepat, mungkin saja orang yang akan berada di samping Hinata di dalam gedung serba putih itu adalah dirinya, bukan Itachi.
.
Penyesalan akan selalu datang belakangan, tapi siapa yang salah? Deidara saja tidak akan tau kalau Hinata menyukainya kalau bukan dari Itachi.
.
Andai saja Hinata tidak mengenal Deidara, maka ia juga tidak akan mengenal Itachi karena ia mengenalnya sejak sering datang ke gedung tempat Deidara berada.
.
Siapa yang salah? Tidak ada.
.
Meskipun menyakitkan, namun Deidara harus menerima bahwa faktanya mereka memang tidak ditakdirkan untuk bersama, namun setidaknya ia adalah orang yang membuat Hinata bahagia, meskipun kini sosok Itachi lah yang bersamanya.
FIN
.
.
.
Huaaaa intinya di sini Deidara adalah cahaya yang datang membawa kebahagiaan ke hidup Hinata. Hinata yang akhirnya bertemu Itachi, secara tidak langsung itu semua karena ia awalnya bertemu Deidara.
.
Ketika Hinata akhirnya menikah dengan Itachi, Deidara merasa bahwa tugasnya sebagai pembawa cahaya tersebut sudah selesai, dan akhirnya rela untuk melepaskan Hinata untuk bersinar (berbahagia) dengan cahayanya sendiri (bersama Itachi).
.
Hinata juga adalah cahaya bagi hidup Deidara, meskipun pada akhirnya takdir mereka hanyalah saling menerangi satu sama lain sehingga mereka akan menemukan cahaya mereka sendiri.
.
.
.
.
.
.
Please kindly leave a review karena akan sangat membantu! Thank You!
