Setelah kejadian itu, Sasori semakin tenggelam didalam kasus Sakura, dia bertekat menangkap Kabuto yang juga merupakan dalang dari kejadian yang menimpa Gaara. Hal itu diketahui dari hasil rekaman cctv dan kesaksian Sakura yang dapat mengenali wajah Kabuto walau tertutup masker. Setelah kejadian itu juga Sakura menjadi semakin tertutup dan kekerasan yang ia terima disekolah semakin parah dan para guru akhirnya memilih menutup mata atas kejadian itu. Membiarkan kejadian itu terjadi. Hanya Ino yang setia menemani Sakura walau dirinya juga menjadi dijauhi oleh orang-orang disekolah tetapi Ino tidak peduli.
"Sampai jumpa besok Ino." ucap Sakura berpisah dengan Ino didepan gerbang sekolah itu.
"Kau yakin pulang sendiri?" ucap Ino cemas.
"Aku tidak apa-apa. Aku harus langsung pergi bekerja." ucap Sakura meyakinkan Ino.
"Kabari aku jika sudah sampai. Kabari aku juga jika kau butuh sesuatu ok?" ucap Ino meyakinkan Sakura, gadis itu terlihat sangat berantakan. Tubuhnya semakin kurus dan lingkar matanya yang semakin menghitam.
"Tentu." ucap Sakura berjalan menjauh.
"Ayolah Gaara, sekali-kali ikut main bersama kami." segerombolan laki-laki berjalan keluar dari area kampus mereka itu.
"Hah.. Aku ketinggalan satu semester dari kalian dan harus mengejar itu Kankuro." ucap pria berambut merah itu enggan.
"Kau tertinggal 2 semesterpun pasti tetap bisa mengejar kami." ucap pria berbadan tambun itu.
"Itu tidak mungkin Chouji." elak Gaara.
"Bagaimana dengan rehabmu? Apa kau benar-benar berhenti jadi pemain baseball?" tanya Kankuro lagi.
"Kalau aku tidak berhenti, aku tidak akan mengambil jurusan ini dan berhenti dari kampus yang sebelumnyakan?" ucap Gaara kesal.
"Bukankah kau ditawarkan untuk menjadi asisten disana?" tanya Chouji yang ingat akan berita itu.
"Aku masih belum bisa menerima kenyataan aku tidak bisa bermain dan lagi menjadi asisten akan membuatku semakin membenci baseball karena tidak bisa bermain dan hanya bisa menjadi orang yang menonton dan memberikan saran dari pinggir lapangan." ucap Gaara jujur.
"Aku dengar pelakunya sudah ketahuan tetapi sulit untuk menangkapnya. Lalu target sebenarnya bukan kaukan? Kalau saja diwaktu itu kau tidak berjalan bersama gadis yang menyebabkanmu cedara mungkin sekarang kau sudah menjadi pemain baseball yang sangat sukses." komentar Kankuro.
"Hentikan. Jangan membahas dia lagi. Aku sangat membencinya." ucap Gaara penuh rasa benci.
"Maafkan aku." ucap Kankuro merasa tidak enak.
"Sudahlah ayo kita makan saja. Aku sudah lapar." ucap Chouji memegang perutnya yang berbunyi itu.
"Aku dengar food court di supermarket Yamanaka ada yang baru. Bagaimana?" tawar Chouji.
"Hah.. Baiklah." Gaarapun mengalah dan ikut pergi makan malam bersama dua temannya itu.
Ketiganya memasuki area food court itu, Gaara yang tidak terlalu lapar lebih memilih untuk membeli kopi didekat area kasir. Saat minumannya telah jadi, ia berniat menghampiri teman-temannya tetapi pandangan Gaara tertuju pada keributan yang cukup menyita perhatian itu. Terlihat seorang ibu-ibu yang tengah memarahi seorang karyawan disana. Memaki gadis berambut pink itu tanpa ampun bahkan tidak segan-segan melayangkan tamparan kewajah gadis itu sembari sesekali memukuli tubuh gadis itu. Gadis itu hanya tertunduk meminta maaf, tidak melawan sama sekali. Pemandangan itu seakan mengingatkan Gaara pada kejadian yang tidak jauh berbeda dengan kejadian itu. Tetapi kali ini tidak ada yang membela gadis itu, semua diam dan hanya menonton saja.
"Saya minta maaaf." ucap gadis itu membungkuk meminta maaf, enggan mengangkat kepalanya.
"Minta maaf? Bagaimana jika aku terluka karena perbuatanmu?!" maki wanita itu masih tidak terima.
"Saya sungguh minta maaf." ucap gadis itu kembali membungkuk, bukannya merasa puas kali ini kekasih dari wanita itu yang melayangkan tamparan keras kewajah gadis itu. Sukses membuatnya jatuh terduduk menghantam rak-rak minuman hingga beberapa minuman kaleng itu jatuh berserakan, beberapa ada yang rusak hingga minuman kaleng itu membasahi lantai.
"Tch, orang yang bekerja tidak becus sepertimu harusnya dipecat saja!" maki wanita itu belum juga puas.
"Maafkan saya." ucap gadis itu buru-buru berdiri. Setelah puas memaki dan memukuli gadis itu akhirnya kedua pasangan itu pergi meninggalkannya, semua orangpun kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing.
"Cepat cuci mukamu dan bereskan itu semua. Aku akan memotong uang gajimu untuk menutupi minuman kaleng yang rusak." perintah seorang wanita dengan tag manager dibajunya pada gadis itu.
"Baik senpai." jawab gadis itu berlalu pergi sambil menunduk memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah agar tidak mengotori lantai supermarket. Tetapi langkahnya terhenti saat menyadari seseorang berdiri dihadapannya. "Maafkan saya." ucap gadis itu mengangkat kepalanya untuk kembali meminta maaf pada orang yang hampir ia tabrak itu.
"Sakura.." gumam Gaara memandang gadis yang berdiri dihadapannya itu.
"Se.. Senpai.. Kenapa.. Ma.. Maafkan aku." ucap Sakura bergetar ketakutan melihat pria itu, rasa bersalah menjalar disekujur tubuhnya, ia merasa mual. Segera ia kabur dari sana, ketakutan.
"Kenapa lama sekali?" tanya Kankuro melihat Gaara yang menghampiri meja mereka itu.
"Tidak apa-apa." jawab Gaara seadanya.
"Apa kau mengenal karyawan supermarket itu?" tanya Chouji mewakili Kankuro yang melihat semua kejadian itu.
"Tidak." jawab Gaara dingin. Tidak lama makanan keduanyapun datang, Kankuro dan Chouji menikmati makan malam mereka itu, sedangkan Gaara menyibukkan diri dengan laptopnya sambil sesekali meneguk kopinya. Setelah selesai, ketiganya meninggalkan tempat itu.
"Dimana rasa sombongmu yang dulu itu? Sekarang kau hanya bisa diam tidak melawan." terdengar suara segerombolan gadis berseragam sekolah itu dari samping area supermarket, mengerubungi satu gadis yang hanya duduk diam, membiarkan anak sekolahan itu membully-nya.
"Itu.. Karyawan yang tadikan." ucap Kankuro melihat dari jauh gadis pink itu. Gadis itu terlihat berantakan dan membiarkan segala perlakuan anak-anak itu padanya.
"Ayo pergi." ucap Gaara enggan melihat itu.
"Hentikan." ucap gadis pink itu muak dengan perlakuan yang ia terima.
"Kau taukan apa yang akan terjadi?" tantang gadis berambut merah itu.
"Aku sudah tidak peduli Karin." ucap gadis itu mendorong Karin dan pergi dari sana.
"Kau!"
"Lalu.. Berhentilah bertindak konyol dan membuat sepupumu itu menyelesaikan masalah yang kau buat." saran gadis itu berlalu pergi.
-seminggu kemudian-
"Wah, kasus ini masih belum terpecahkan?" ucap Chouji menghampiri Gaara yang sibuk dengan laptopnya, menatap layar tv disana.
"Kasus apa?" tanya Gaara penasaran.
"Kau sungguh tidak tau?" tanya Kankuro kaget.
"Aku punya banyak tugas dan tidak punya waktu untuk melihat berita yang itu-itu saja." jawab Gaara datar.
"Gadis yang kita lihat di supermarket seminggu yang lalu. Yang dihajar habis-habisan oleh ibu-ibu itu." ucap Chouji mengingatkan.
"Ada apa dengannya?" tanaya Gaara.
"Sudah 5 hari semenjak dia diculik dari rumahnyakan. Apa kau tidak melihat berita sama sekali?" ucap Chouji menambah volume tv dirumahnya itu.
"Apa?" Gaara memandang layar tv itu intens.
"Korban berusia 17 tahun diduga diculik dikediamannya jam 2 dini hari. Hal ini diperkuat dengan laporan dari tetangga korban yang mendengar suara gaduh dikediaman korban. Saat polisi sampai di TKP kondisi apartement itu berantakan dan terlihat beberapa bentuk perlawanan sebelumnya dari korban. Sampai saat ini polisi masih mencari saksi dan barang bukti untuk membantu menemukan korban." ucap bembawa acara itu yang kemudian beralih membacakan berita selanjutnya. Melihat itu Gaara termenung dan mencoba mencerna semuanya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Chouji menatap Gaara yang mendadak diam itu.
"Aa.. Un.." jawab Gaara menyadarkan dirinya dan kembali berkonsentrasi dengaan laptopnya.
"Aku tau kau sibuk tapi sesekali kau harus melihat berita. Dari sana kau juga bisa dapat info untuk bahan perkuliahan terbarukan." saran Kankuro.
"Akan aku pertimbangkan." jawab Gaara enggan.
-sementara itu dikantor polisi-
"Sasori-senpai. Ah.. Lihat ruangan ini." gumam gadis berambut kuning kecoklatan itu memasuki ruang seniornya itu. Ruangan itu berantakan, berkas-berkas dimana-mana.
"Jangan sentuh berkas itu. Ada apa kau kemari Temari?" tanya Sasori tajam, mengalihkan pandangannya dari layar komputernya.
"Atasan memanggil kita." ucap Temari mengingatkan.
"Hah.. Apa lagi ini." gerutu Sasori kesal, bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dari ruangannya bersama Temari tidak lupa mengunci pintu ruangannya itu.
"Permisi pak." ucap Temari memasuki ruangan pimpinan kepolisian itu.
"Masuklah." ucap pria paruh baya itu.
"Ada apa anda memanggil kami kesini Danzo-san?" tanya Sasori to the point.
"Kau tidak berubah ya. Selalu tidak sabaran." ucap Danzo menatap keduanya bergantian
"Jadi?" Sasori enggan menanggapi komentar atasannya itu.
"Kasus penculikan Haruno Sakura." ucap Danzo spontan menarik perhatian Sasori yang awalnya enggan mendengarkan.
"Kami masih mendalaminya pak." jawab Temari cepat, ia tau pasti atasannya itu tidak akan puas dengan kinerja mereka yang terkesan lambat untuk sekedar mendapatkan info yang berguna tentang keberadaan gadis SMA itu.
"Tutup dan lupakan kasus itu. Fokuslah memecahkan kasus ini." ucap Danzo melemparkan sebuah dokumen kemejanya.
"Ini.. Kasus stalking anak duta besar? Bukankah kasus ini sudah selesai pak?" tanya Temari bingung.
"Muncul pelaku lain. Pelaku kali ini mengintai dan mengancam keluarganya." terang Danzo.
"Bukankah Hyuuga-san bisa menyewa bodyguard tambahan saja untuk anaknya itu?" ucap Sasori kesal.
"Apa kau ingin membuat public menjadi tidak percaya pada polisi?" ucap Danzo membentak Sasori.
"Tapi kasus penculikan ini jika tidak cepat diselesaikan, kemungkinan korban bisa ditemukan dengan selamat menjadi hilang!" teriak Sasori kesal.
"Anak itu sudah ditemukan di Kobe, dia hanya kabur dari rentenir. Apa kau masih mau mengusut kasus kecil ini?!" bentak Danzo naik pitam.
"Kobe? Rentenir? Itu tidak masuk akal!" ucap Sasori masih tidak setuju dengan keputusan Danzo.
"Suka tidak suka kasus ini sudah ditutup. Sekarang focus saja pada kasus Hyuuga Hinata." ucap Danzo mengusir keduanya keluar dari ruangannya.
"Tch.." Sasori berusaha menahan amarahnya dan berlalu pergi dari ruangan itu, mengikuti Temari yang sudah lebih dulu kabur dari ruangan itu.
"Sasori, aku peringatkan kau untuk tidak coba-coba mengusik lagi kasus ini dibelakangku. Jika masih nekat kau akan mendapat sangsi keras." ancam Danzo mengetahui niat Sasori itu, menghentikan langkah Sasori yang sudah akan keluar dari ruangan itu.
"Senpai.. Tunggu." ucap Temari menahan tangan Sasori yang akan pergi menuju kantornya itu.
"Apa lagi?!" bentak Sasori kesal.
"Lihat." ucap Temari menunjuk tv yang berada di ruang istirahat itu.
"Saya minta maaf sudah menyebabkan kegaduhan. Saya minta maaf." ucap gadis bersurai pink yang wajahnya sedikit tertutup topi itu melakukan jumpa pers bersama anggota kepolisian Kobe itu.
"Danzo-san tidak berbohong. Kasus ini memang harus ditutup dan kita harus focus pada kasus baru." saran Temari.
"Apa kau sedang bercanda Temari? Kau mengenalnya bukan baru kemarin dan kau percaya dia berurusan dengan rentenir? Anak yang gelisah jika berhadapan dengan pria dewasa yang tidak ia kenal?" ucap Sasori sarkas.
"Tetapi hal itu bukannya tidak mungkin tidak terjadi senpai. Dalam waktu 2-3 bulan seseorang bisa berubah." elak Temari.
"Aku mengerti kau masih tidak bisa memaafkannya karena kecelakaan yang terjadi pada adikmu. Bahkan kecelakaan itu bukan karena kesalahannya, tetapi aku tidak menyangka kau akan termakan omong kosong ini!" gumam Sasori pergi dari sana, memasuki kantornya dengan membanting pintu.
"Ada apa? Kenapa Sasori-san terlihat sangat kesal?" tanya pria berambut coklat panjang itu.
"Aa.. Kasus Haruno Sakura resmi ditutup. Sepertinya senior tidak setuju." terang Temari pada pria itu.
"Aa.. Kasus Haruno yang kabur dari rentenir itu?" ucap pria itu memastikan.
"Benar. Hah.. Karena dia sudah ditemukan dan sudah melakukan klarifikasi juga tidak ada yang bisa kita lakukan selain menutup kasus itu." jawab Temari.
"Lalu kali ini kalian akan ditugaskan pada kasus apa?" tanya pria itu penasaran.
"Kasus sepupumu, Hyuuga Hinata. Aku turut prihatin keluargamu harus menghadapi stalker gila seperti itu, Neji." ucap Temari menepuk pundak pria itu.
"Terima kasih Temari-san." ucap Neji.
"Bagaimana keadaan Hinata?" tanya Temari penasaran.
"Dia berusaha kuat, tetapi aku tau dia selalu cemas." jawab Neji mengingat keadaan sepupunya itu.
"Itu pasti sangat berat terlebih sebentar lagi dia akan menghadapi ujian akhir." ucap Temari prihatin.
"Untuk saat ini dia harus langsung pulang setelah sekolah selesai, jika ada tugas kelompok juga akan disuruh untuk mengerjakan dirumah saja." terang Neji.
"Wah, aku akan sangat tersiksa kalau seperti itu. Tidak bisa kemana-mana." ucap Temari.
"Hahaha.. Tapi dia cukup sabar dan tangguh. Dia menjalaninya dengan baik." jawab Neji santai.
Selama seminggu Sasori diam-diam tetap menyelediki kasus Sakura dengan tetap mengusut kasus Hinata itu. Setiap kembali kekantornya, Sasori akan mengurung diri diruang pribadi didalam kantornya itu. Fokus mencari bukti apapun dan sekecil apapun itu untuk memecahkan kasus Sakura. Hingga akhirnya sebuah email masuk ke handphonenya malam itu menguatkan perasaannya bahwa Sakura selama ini belum ditemukan.
"Sasori? Kenapa kau tergesa-gesa?" tanya pria berambut hitam panjang itu menatap Sasori memasuki kantornya dengan terburu-buru.
"Aku bisa mempercayaimukan?" ucap Sasori menatap intens pria itu.
"Tenangkan dirimu dan coba jelaskan dengan perlahan." ucap pria itu memberikan sebotol air mineral dari mini pantry diruangannya itu.
"Jawab aku Itachi." ucap Sasori memburu, tidak peduli pada botol air mineral itu.
"Tentu, tapi ini tentang apa?" ucap Itachi cepat.
"Sakura.. Dia belum ditemukan. Danzo membayar artis untuk berpura-pura menjadi Sakura dan melakukan jumpa pers itu." terang Sasori.
"Bagaimana bisa kau seyakin itu?" tanya Itachi lagi. Walau sebenarnya ia sudah curiga saat jumpa pers yang dilakukan kepolisan Kobe itu.
"Aku tau kau menyadarinya. 30 menit tanpa luka dibibirnya? Itu sangat hebat." ucap Sasori, ia menyadari kebiasaan yang paling mencolok tetapi sering tidak diperhatikan orang-orang. Sakura akan selalu mengigit kecil bibirnya ketika ia gelisah dan dibawah tekanan yang besar. Jumpa pers adalah hal yang paling dibenci Sakura dan selalu menjadi tekanan terbesar yang membuatnya gelisah, bahkan saat melakukan jumpa pers disetiap kemenangannya dalam perlombaan Kyudo. Ditengah wawancara yang hanya berlangsung 10 menit saja Sakura selalu melukai bibirnya karena kebiasaan buruknya itu, jadi bagaimana mungkin dia bisaa duduk tenang selama 30 menit dalam jumpa pers klarifikasi itu tanpa melukai bibirnya sedikitpun.
"Hargh.. Bukankah Danzo-san sudah melarangmu mengusik kasus ini?" ucap Itachi mengingatkan.
"Dan kau berpikir aku akan mematuhi pria tua bangka itu?" tanya Sasori menatap Itachi sarkas.
"Ya itu tidak mungkin, jadi kau butuh apa?" ucap Itachi yang tau betapa keras kepalanya Sasori apalagi jika menyangkut Sakura. Sasoripun menjelaskan semua hal yang selama ini ia selidiki secara diam-diam pada Itachi serta rencananya malam itu.
"Aku mohon bantuanmu." ucap Sasori lagi.
"Kau gila! Itu rencana bunuh diri. Jika benar yang kau katakan maka kasus ini harus diketahui pimpinan." ucap Itachi lagi.
"Pimpinan mana yang bisa kau percaya? List itu hanya sebagian yang bisa aku ungkap. Kita tidak tau siapa lagi mata-mata diantara kita." ucap Sasori dingin.
"Tapi Sasori bagaimana dengan istrimu? Dia bisa pingsan jika mendengar niatan nekatmu ini. Apalagi dia sedang hamil tua." nasehat Itachi.
"Itachi.. Aku hanya akan minta tolong sekali ini saja. Aku mohon bantu aku untuk terakhir kalinya." pinta Sasori.
"Hah.. Baiklah." ucap Itachi mengalah.
"Terima kasih." ucap Sasori tersenyum.
"Kembalilah dengan selamat. Jangan sampai aku harus menggunakan ini." ucap Itachi menatap safetybox mini yang diserahkan Sasori padanya itu.
"Tentu, kau tenang saja." ucap Sasori yakin. Meninggalkan ruangan Itachi itu.
Siapa yang menyangka kalau malam itu adalah malam terakhir Itachi berbincang dengan sahabatnya itu. Setelah malam itu Itachi tidak mendengar apapun dari Sasori, terlebih tiba-tiba saja keluar pengumuman bahwa Sasori dikirim keluar negeri untuk membantu menyelesaikan kasus disana. Hal itu cukup aneh bagi Itachi yang tau rencana Sasori.
"Nii-chan, aku butuh… Ada apa denganmu?" ucap pria yang memasuki ruang kerja Itachi dikediamannya itu.
"Tidak apa-apa. Kau butuh apa Sasuke?" tanya Itachi segera menutup laci mejanya yang berisi safetybox mini dari Sasori itu.
"Kaa-san bilang kau meminjam buku sejarahku." ucap Sasuke menghampiri Itachi.
"Aa.. Benar. Ini.. Terima kasih." ucap Itachi mengembalikan buku sejarah itu pada Sasuke.
"Memangnya kau butuh apa dari buku sejarah anak SMA?" tanya Sasuke curiga, membalik cepat halaman bukunya itu.
"Ada beberapa yang ingin aku pastikan saja." ucap Itachi cepat.
"Memangnya info apa yang bisa kau dapatkan dari buku sejarah anak SMA, bukankah internet lebih akurat dan update? Aku tau kau menyembunyikan sesuatu, melihat sudah 2 minggu ini kau bertingkah aneh." ucap Sasuke tiba-tiba.
"Apa maksudmu?" tanya Itachi bingung.
"Kau terlihat ragu-ragu. Aku tidak tau apa itu tapi kau yang aku kenal tidak pernah ragu melakukan sesuatu yang kau anggap benar. Lalu berhentilah mengarang alasan tidak masuk akal seperti itu dan katakan saja padaku kau butuh apa." ucap Sasuke sukses mengagetkan Itachi.
"Hah.. Aku tidak tau harus memujimu atau memarahimu." komentar Itachi hanya bisa menghela nafas karena adiknya menyadari gelagat tidak biasanya itu.
"Kalau sudah selesai bertingkah aneh, keluarlah. Kaa-san sudah menyiapkan makan malam." ucap Sasuke berlalu pergi dari ruang kerja Itachi itu.
"Aa.. Un.. Aku akan segera kesana." jawab Itachi.
-skip time-
"Sakura? Hei.. Kau sudah sadar? Aku akan panggilkan dokter." Ucap pria itu buru-buru menekan tombol pemanggil perawat itu.
"Di.. mana.." racau Sakura.
"Kau berada dirumah sakit.. Tenanglah.. Semuanya sudah aman." Ucap pria itu berusaha menenangkan Sakura.
"Nii-chan.. Dimana Sasori nii-chan." Ucap Sakura mencari keberadaan Sasori tetapi kesadarannya kembali menurun.
Selama satu bulan masa pemulihan, Sakura terus menanyakan keberadaan Sasori kepada Itachi dan beberapa polisi yang bergantian melakukan penjagaan didalam kamar rawat Sakura itu, tetapi tidak ada satupun yang mau membuka mulut. Hingga akhirnya, dihari persidangan Kabuto. Sakura dihadirkan disana sebagai korban dan saksi untuk memberikan kesaksian. Dipersidangan itu Sakura ditemani Itachi dan sahabatnya, Ino.
"Dengan ini, pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa Kabuto tanpa ada kemungkinan banding." ucap ketua hakim mengetok palu parsidangan yang berlangsung selama 3 bulan itu.
"Pada akhirnya kau melukai senpaimu hingga merebut masa depannya dan juga membunuh nii-chanmu yang berharga itu. Jika kau menurutiku maka tidak seharusnya ada korban." ucap Kabuto saat berjalan melewati Sakura.
"A.. Apa?" Sakura kaget mendengar ucapan Kabuto itu.
"Kau lupa? Hahahaha.. Kau itu pembunuh. Kalau kau menahan saja semuanya sampai akhir dia tidak akan mati karena melindungimu! Kaulah pembunuh yang sebenarnya!" teriak Kabuto tertawa didalam ruang sidang itu.
"Tidak.. Nii-chan tidak mungkin… TIDAK!" jerit Sakura, jeritan itu sangat memilukan dan mengiris perasaan siapapun yang mendengarnya.
"Sakura.. Hei tenangkan dirimu." Ucap Itachi yang mendampingi Sakura selama sidang itu.
"Nii-chan! Semua salahku Itachi-san.. Aku membunuh Sasori-nii.. Aku pembunuh" jerit Sakura histeris.
"Apa yang kalian tunggu?! Cepat bawa dia pergi dari sini!" perintah Itachi kesal.
"Sakura.. Tenanglah.." ucap Ino berusaha menenangkan Sakura, memeluk erat gadis rapuh itu.
"Tidak Ino.. Nii-chan.. Nii-chan!" jerit Sakura meronta-ronta.
"Tenanglah Sakura.. Tenanglah." Ucap Ino ikut menangis melihat keadaan Sakura.
"KEMBALIKAN NII-CHAN PADAKU! KEMBALIKAN!" jerit Sakura.
"Sakura tenanglah ya.. Aku mohon." Ucap Ino berusaha menenangkan Sakura.
"Tapi Ino.."
"Ga-Gaara-Senpai?" Ino cukup kaget melihat pria berambut merah yang dulunya mengatakan tidak ingin lagi melihat Sakura itu hadir diruang sidang, memeluk gadis itu erat.
"Tenanglah Sakura.." ucap Gaara berusaha menenangkan gadis itu.
"Lepaskan aku!" teriak Sakura memberontak, tidak ingin bersentuhan dengan pria itu.
"Sakura maafkan aku."
"Lepas! Bukankah kau yang bilang tidak mau berurusan denganku lagi?! Lepaskan aku!" teriak Sakura memberontak.
"Senpai." Ino yang melihat itu terpaksa menarik Gaara untuk mau melepaskan Sakura.
"Ino.. Ino.. Aku tidak mau melihatnya." isak Sakura memeluk Ino erat.
"Ino aku.."
"Senpai, jangan." pinta Ino. Melihat itu Gaara hanya bisa menunduk, tenggorokannya terasa tercekat.
"Ino, hubungi aku jika dia butuh bantuan." pinta Gaara.
"Aku tau senpai." ucap Ino mengangguk. Melihat itu Gaarapun memilih menjauh dan hanya melihat Sakura dibawa pergi oleh Ino dan Itachi.
Sakura yang merasa hancur dan tidak ada yang memihak dirinya menjadi sangat tertutup. Hanya Ino yang satu-satunya terus berada disisi Sakura, menguatkan gadis itu agar mau kembali kesekolah. Semuanya terasa berat bagi Sakura, terlebih bisik-bisik dari seluruh penjuru sekolah dan orang-orang yang melihatnya dijalan terus berputar-putar dikepalanya. Ia sudah mati rasa dan lelah.
"Dia bermuka tebal sekali. Masih berani datang kesekolah setelah mencelakai Gaara-senpai dan membunuh seorang detektif muda." bisik-bisik dilorong kelas itu. Sakura hanya menunduk tidak bisa menatap siapapun, iapun hanya duduk diam dibangkunya hingga kelas selesai.
"Sakura-chan kau baik-baik saja?" tanya gadis bersurai indigo itu.
"Menjauh darinya Hinata atau kau bisa terkena kesialan juga!" ucap gadis berambut merah itu menarik gadis indigo itu menjauh.
"Hal seperti itu tidak mungkin terjadi Karin-chan." ucap Hinata menenangkan Karin, kembali mendekati Sakura.
"Kau ternyata pembunuh berdarah dingin ya. Kenapa kau tidak mati saja? Bukankah kau dulu senang menyayat pergelangan tanganmu itu? Kenapa malah membunuh orang tidak berdosa itu?" bisik Hinata ditelinga Sakura, meletakkan cutter dimeja Sakura. "Sakura-chan? Apa yang kau lakukan? Berhenti!" teriak Hinata menatap Sakura yang mengambil cutter itu, mengarahkannya kelehernya.
"Apa yang kau lakukan?!" teriak Karin menatap kaget Sakura. Kejadian itu berlangsung dengan cepat, Hinata mencoba mengambil cutter itu dari tangan Sakura dan tidak sengaja malah menggores telapak tangannya.
"A.. Aku tidak.." Sakura tersadar dari apa yang ia lakukan.
"Hinata-chan?" Naruto dan Sasuke yang baru saja kembali dari ruang guru itu cukup kaget melihat Hinata dengan tangan berlumuran darah.
"Naruto-kun.." Hinata menatap ngeri telapak tangannya yang berlumuran darah.
"Tidak.. Ini tidak seperti yang.." ucapan Sakura terhenti saat mendapatkan tatapan hina dari Naruto.
"Kami tau kau berduka tetapi hal itu tidak menjadi alasan untuk menyerang Hinata ataupun orang lain!" maki Naruto membuat Sakura memucat dan terdiam.
"Aku sungguh tidak.. Ugh.." Sakura yang mencoba menjelaskan akhirnya malah terdorong jatuh setelah Naruto yang lewat membawa Hinata menuju UKS sengaja menyenggol Sakura hingga terjatuh.
"Apa-apaan ini! Anakku terluka dan kalian ingin aku diam dan melupakannya!" Hardik kepala keluarga Hyuuga itu.
"Pak.. Kenjadian itu murni kecelakaan." Terang kepala sekolah mencoba menjelaskan.
"Hanya karena dia yatim piatu hal itu bukan menjadi alasan untuk dia bisa bebas setelah melukai orang lain!" maki Hiashi.
"Ma.. Maafkan aku." Ucap Sakura menunduk ketakutan.
PLAK!
"PAK!" kepala sekolah yang melihat Hiashi menampar Sakura keras segera menghentikan Hiashi.
"Kau akan mengganti rugi biaya pengobatan anakku!" maki Hiashi sebelum membawa Hinata pergi dari sana.
"Kau akan aku pastikan sengsara." Bisik Hinata ketelinga Sakura yang kemudian membungkuk undur diri pergi dari sana mengikuti ayahnya.
Sakurapun melewati masa SMA dengan berat, setelah tamat dari SMA itu, Sakura menghilang begitu saja. Tidak ada seorangpun yang tau keberadaan gadis itu.
TBC
