BoBoiBoy © Monsta

Sunshine After the Rain © Roux Marlet

Alternate Universe, Family, Friendship, Hurt/Comfort, Angst

BoBoiBoy's elemental siblings (septuplet)

Sequel of "Through the Darkness" & "Harapan yang Menyingsing"

.

.

.

.

.

Chapter 3: The Ultimate Chess Match

.

.

.

.

.

Vertigo kumat di tengah malam hari Minggu adalah malapetaka. Esoknya adalah Senin; dan, seperti sebagian besar orang pekerja maupun mahasiswa, Senin adalah hari yang menyebalkan bagi Halilintar. Namun, alasannya bukan karena kemalasan laten sesudah hari libur; berhubung kampus mereka libur di hari Jumat saja. Sabtu dan Minggu tetap ada jadwal kuliah, jadi alasannya sudah pasti bukan karena malas (lagipula Halilintar bukan pemalas).

"Ya, ampun. Bener-bener, deh. Satu sakit, semua ikut ngerasain, the power of septuplet, maybe? Solar jatuh, kamu muntah-muntah, sekarang Kak Hali juga kumat. Jangan-jangan, sehabis ini, Ice yang sakit. Amit-amit, ya, Allah. Dan, kamu tahu nggak, Gem? Kak Hali itu, kalau vertigonya kumat, rewelnya bisa ngalahin bayi!"

Halilintar menggeram pelan di tempat tidurnya. Dari balik mata yang terpejam, dia bisa mendengar Taufan bergerak di kursi belajarnya, sepertinya menoleh ke arahnya, dan semakin memelankan suara yang sebetulnya sudah sangat pelan, hampir sepelan desau angin di luar jendela.

"Eh, orangnya denger, tahu?! Jangan-jangan, telinga Kak Hali ada detektor jarak jauhnya? Oh, iya. Bener juga. Kamu inget nggak, Gem, dulu kita pernah latihan—"

"Fan, aku denger semua," potong Halilintar, masih sambil memejamkan mata. "Hemat pulsamu, ngomong seperlunya."

"Ish. Ini, 'kan, pakai wifi kampus, Kak!" Taufan akhirnya bersuara dengan volume normal.

"Wifi kampus itu buat belajar. Bukan buat telepon saudara di kampung halaman."

"Iya, deh, iya, Kak Hali. Gempa, sudah dulu, ya. Sehat-sehat kalian, terutama kamu. Jangan sakit lagi, meskipun kalau kamu sakit, itu ujian yang bagus buat Blaze dan Duri, sih. Mereka bisa diandalkan, ya? Uuuh, terharunya Kak Taufan." Kalimat itu disusul suara menyedot hidung yang keras sekali.

"Taufan …." Halilintar sengaja melemaskan buku-buku jarinya sampai berbunyi berderak.

"Iyaaaa, ampun, Kak Hali! Beneran, Gem. Aku tutup teleponnya, ya. Assalamualaikum."

Ada helaan napas panjang sebelum Taufan merepet,

"Kak Haliii! Kenapa, sih, kamu harus vertigo waktu aku ada deadline makalah tengah malam?!"

"Nggak ada hubungannya," dengus Halilintar. "Dan jangan teriak, kepalaku makin sakit."

"Yang begadang siapa, yang sakit siapa, huh? Manja banget pula, kalau jadi pasien?!" balas Taufan sambil berbenah di mejanya dengan berisik.

"Idih, aku juga nggak minta kamu beliin sup ayam pagi-pagi buta," sahut Halilintar lemas, tenaganya masih belum pulih.

"Mana mungkin aku biarin Kak Hali nggak makan sesuatu yang anget-anget habis muntah?"

Sudah jam setengah lima pagi, Taufan sudah menjalankan salat Subuh sendirian karena Halilintar masih terkapar lemas sejak tengah malam tadi. Dan ini adalah hari Senin. Tiap hari Senin, kelas Halilintar mengadakan simulasi persidangan yang mau tak mau pasti membawa memori hari itu kembali. Makanya Halilintar sebal pada hari Senin. Kalau bisa, dia bakalan skip simulasi itu setiap minggu. Tapi dia tak bisa, karena kalau tidak ikut serta mata kuliah yang satu itu, mana bisa dia dapat gelar sarjana hukum?

"Yaaa, terima kasih, ya, udah beliin sup." Si sulung membuka mata perlahan. Lampu kamar masih padam, hanya ada lampu dari meja belajar adiknya. Taufan sepertinya begadang semalaman demi menyelesaikan tugas makalahnya. "Fan ... tadi aku mimpi—"

"Udah, mendingan Kak Hali tidur lagi sebentar, biar nanti kuat ikut simulasi sidang."

Halilintar menutup mulutnya. Suara Taufan terdengar lelah di pendengarannya, meski dia tak bisa melihat wajah si anak nomor dua. Taufan kalau sedang lelah pasti bicaranya jadi tajam dan menyambar ini-itu meski bukan bermaksud jahat.

"Masih pusing, Kak?" Taufan balik badan, sekarang kedengaran tak enak hati. "Sori, aku bener-bener belum tidur semalaman, jadi mending kita sama-sama diam aja, ya?"

Halilintar bergumam mengiyakan dan menarik selimutnya merapat. Dalam sisa pusaran dalam kepalanya, Halilintar ingat mimpinya tadi berhubungan dengan kabar yang dia dan Taufan terima kemarin sore, pada hari Minggu.

"Aku lagi nggak mood dengerin apa pun itu mimpinya Kak Hali. Nanti malam aja ceritanya, ya."

Halilintar bergumam lagi, setuju. Dia membuka mata sedikit saat mendengar Taufan naik ke tempat tidur.

"Kamu mau tidur jam segini?" Halilintar bertanya setengah mencela.

"Aku belum tidur semalaman, Kak," ulang Taufan, terdengar kesal. "Aku pasang alarm buat jam enam."

Halilintar sebetulnya masih ingin berceramah, tapi ditahannya mulutnya. Dia pun meraih ponsel untuk memasang alarm, jaga-jaga kalau Taufan nanti tidak terbangun … tapi saat melihat layar ponselnya yang terang, Halilintar jadi pusing lagi dan memilih memejamkan mata lagi. Jam enam pagi nanti, apalagi kalau hari Senin, suara kamar-kamar mahasiswa di sekitar mereka pasti penuh keributan. Jadi, pasti mereka akan terbangun juga mendengar suara itu.

Belakangan ini, Halilintar merasa pendengarannya menajam. Entah itu karena Taufan yang suka mendengarkan audiobook undang-undang dengan suara paling minimal (dalihnya tidak mau mengganggu Halilintar belajar) atau karena Taufan yang menelepon sambil bisik-bisik (alasannya sama). Apa pun itu, penyebabnya karena Taufan. Halilintar tidak suka Taufan menyembunyikan sesuatu darinya, tapi Taufan selalu menyampaikan apa pun topik pembicaraannya di telepon dan kepada siapa dia berbicara. Harusnya Halilintar tidak perlu securiga itu, tapi dia jadi terlatih menajamkan pendengaran setiap kali Taufan ada di kamar.

Sejak mulai kuliah di jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan, Taufan belajar setiap hari dengan menggebu-gebu, menulis banyak catatan dan mengulang banyak rekaman audio karena Taufan tipe pembelajar auditori, makanya sampai lama tidak ada yang tahu bahwa dia sebetulnya punya photographic memory. Bahkan sewaktu dulu masih sekolah, level rajin yang sedemikian belum pernah dilihat Halilintar pada diri si nomor dua. Halilintar tahu ambisi baru Taufan dan alasannya memilih jurusan kuliah yang sama sekali asing.

Ada luka yang tak bisa diabaikan. Sama seperti dalam diri Halilintar.

Maskmana dan Amato bekerja keras di ibukota untuk mengusut tuntas kasus kejahatan yang terjadi di bulan Mei 2021. Mereka bersama kepolisian Malaysia dan interpol melacak seluruh jaringan perdagangan anak dan jual-beli narkoba di berbagai negara Asia Tenggara serta berhasil meringkus beberapa di antaranya. Ratusan anak laki-laki berusia 12-17 tahun dibebaskan dan ditampung lembaga sosial dari berbagai daerah, semuanya adalah korban kelaknatan Vargoba.

Kemarin, hari Minggu, ada kabar bahwa Vargoba mati di penjara setelah infeksi paru-paru berkepanjangan, komplikasi dari penyakit AIDS yang dideritanya. Ada kabar lain bahwa hukuman Ayu Yu dikurangi lagi dari lima tahun menjadi tiga tahun, yang artinya hanya kurang beberapa bulan lagi, kemudian dia akan menjalani rehabilitasi mental dan sepenuhnya menjadi anggota interpol.

Orang seperti Vargoba sudah sepantasnya mati, demikian pendapat orang-orang yang tahu tentang kasus mengerikan itu.

Soal Ayu Yu … baik Halilintar maupun Taufan sama-sama punya pemikiran campur aduk terhadap mantan perawat itu.

"Apa pun yang dia lakukan setelahnya, nggak peduli dia juga ikut menolong Solar saat kritis … dia sudah telanjur bikin Solar trauma pada perempuan sampai sebegitunya …."

Tadi malam, Halilintar yang sedang main catur melawan diri sendiri tak berkomentar apa-apa atas pendapat Taufan. Mereka sudah diceritai oleh Ice tentang insiden di kelas Solar hari Jumat lalu.

"Ya, ampun. Kasihan Solar," gumam Taufan miris. "Mana bisa dia punya pacar kalau seperti itu terus?"

Halilintar tak suka mendengarnya, dia menuding sambil tangannya menggenggam sebuah pion hitam. "Taufan, itu kejauhan."

"Tapi, Kak Hali juga setuju, 'kan? Solar itu juga populer di kalangan cewek-cewek waktu sekolah dulu."

"Menurutku, pacaran bakal jadi hal terakhir yang dipikirkan Solar dengan kondisi saat ini." Halilintar melirik tajam, menggeser pion itu maju selangkah. "Dan harusnya juga untukmu, Taufan bin Amato."

"Aku udah nggak tergila-gila sama Yaya, Kak!" Taufan agak defensif.

Justru Taufan yang mendeklarasi hal itu membuat Halilintar jadi cemas. Dia dan semua saudaranya tahu ketertarikan Taufan terhadap kawan perempuannya itu sejak dahulu … dan sekarang dia malah bilang begitu?

"Taufan, apa yang kamu rencanakan?" Halilintar menyipitkan mata.

"Rencana apa?"

"Kamu berhenti mengejar Yaya."

"Yah, nanti saja kalau aku sudah siap dan mapan, akan kulamar langsung."

"Bukan itu maksudku."

"Lalu?"

"Apa yang ada di pikiranmu sekarang?"

Taufan terdiam. Biru laut menatap balik merah rubi di wajah yang identik. Si biru mengalihkan pandangan duluan. "Aku nggak terima Vargoba mati begitu saja."

"Terus, kamu mau apa?"

Ada jeda panjang sekali lagi. "Aku nggak tahu."

Halilintar menggeser pion putih dan menggantinya dengan pion hitam yang pertama. "Vargoba sudah mendapat hukumannya. Dia sudah dicambuk dan membayar denda, dan dia mati di dalam penjara karena penyakit laknat. Bukannya itu sudah lebih baik daripada langsung ditembak mati?"

"Apa yang dia buat ke Solar nggak bisa dimaafkan."

"Orang itu juga memang nggak merasa bersalah, apalagi minta maaf. Kita nggak perlu maafin dia."

"Semua ini gara-gara Retak'ka," gumam Taufan, suaranya menajam tiba-tiba. "Dia yang punya semua ide gila itu. Termasuk menyuruh Ayu Yu—"

"Retak'ka juga sudah dapat hukuman."

"Hanya dicambuk, dipenjara, dan dipaksa bayar denda? Aku mau orang itu hancur, Kak." Taufan menatap sang kakak dengan sorot berapi-api. "Dia sudah membuat Solar hancur—kita semua hancur karena dia!"

"Lalu apa definisimu dengan 'hancur' ini?" balas Halilintar yang juga ikut terbawa emosi. "Kamu mau apa?! Retak'ka nggak punya keluarga dan balas dendam apa pun bentuknya jelas bukan solusinya!"

"Aku juga nggak tahu, Kak!" Taufan mulai menangis karena sedih dan marah. "Selama ini kupikir ada hukuman lain yang lebih berat daripada itu semua, kupikir Ayah dan Paman Maskmana bisa membuat balasan yang lebih pantas untuk para penjahat itu!"

"Dan kamu kecewa karena nggak mendapatkannya?" simpul Halilintar sambil melipat tangan di depan dada, papan caturnya terabaikan.

Taufan menghela napas sambil menyeka air mata.

"Terus kamu mau menyerah?"

Sang adik tidak menjawabnya, malah mengalihkan topik. "Aku ada tugas makalah malam ini."

Halilintar juga tidak mendesaknya lebih jauh dan kembali menatap papan hitam-putih. "Ya, sana kerjakan."

Taufan malah tertegun. "Udah, gitu aja, Kak?"

"Kamu mau aku gimana?" Si sulung mengernyit, mulai meraih kuda hitam.

"Kak Hali sendiri, sebagai korban dan saksi, kamu nggak apa-apa dengan keputusan hakim waktu itu?"

Halilintar menarik napas. "Coba pikir baik-baik, Fan. Duduk tenang, berpikir. Memangnya kita yang sekarang bisa apa?"

Taufan terdiam sambil duduk. Sampai lama, keduanya tak ada yang bersuara lagi.

Halilintar memindahkan kuda hitam itu dengan lajur seperti huruf L. "Dulu, waktu Blaze dan Ice habis diculik, kamu bisa ingetin aku untuk jangan bertindak bodoh."

Taufan mengusap wajahnya dengan sebelah tangan dan mengangguk.

"Kamu tahu, Ayah senang dengan pilihanmu untuk kuliah. Kamu mau mengikuti jejaknya jadi politisi. Kelak, kalau kamu sudah punya kuasa di dalam pemerintah, barulah kamu bisa berbuat sesuatu, seperti Ayah dulu mengesahkan peraturan hukuman mati untuk pengedar narkoba. Impianmu bagus, Fan. Jangan sampai emosi sesaat menghancurkan itu."

Dalam hati, Taufan juga senang mendengar hubungan Halilintar dan ayah mereka semakin baik. Namun, masih ada rasa yang menghantui ….

"Mungkin seharusnya aku nggak menulis untuk Solar," ucap si nomor dua.

Halilintar mengernyit lagi karena topik berubah mendadak.

"Tulisan itu menghancurkan Solar, Kak." Taufan menatap sang kakak dengan mata berkaca-kaca. "Tulisan itu yang membuat Solar hampir bunuh diri lagi waktu masuk sekolah yang terakhir. Kalau masih ada yang kusesali, maka itu satu hal—"

"Tapi Solar sendiri yang mau tulisan itu dibaca banyak orang," potong Halilintar. "Tujuan Solar menulis itu bukan untuk menarik simpati orang, tapi ternyata itu yang terjadi, dan Solar nggak menyukainya."

"Simpati yang salah tempat," keluh Taufan. "Tapi sudah telanjur. Tulisannya sudah ada di internet dan di surat kabar lokal edisi yang itu."

Keduanya sama-sama teringat hari ketika Solar mencoba bunuh diri di sekolah. Halilintar marah sekali pada Ice dan Duri yang teledor membiarkan Solar sendirian di perpustakaan, tapi akhirnya dia minta maaf pada keduanya dan menyesali emosi sesaatnya. Tengah malam itu, ibu mereka kembali dari kamar Solar, sedangkan Tok Aba tidur di sana menemani si cucu bungsu.

Mereka diberi tahu bahwa Solar mendengar bisik-bisik orang di sekolah yang sok kasihan kepadanya … anak jenius bernasib tragis … seram sekali, jadi korban pemerkosaan … kena HIV pula … astaga, dia sampai kena HIV, ya? … jadi lumpuh dan nggak bisa apa-apa … mau baca buku saja susah … cuma bantuin ambil buku nggak akan ketularan, 'kan? … untung saja kita bukan saudara atau teman dekatnya … omong-omong bagaimana dengan Fang, apa dia juga terseret masalah ini, kasihan juga dia ….

Rasa kasihan yang hanya di permukaan, bukan murni peduli, karena kalau orang betul-betul peduli seharusnya paham ada hal-hal yang tidak sepantasnya diucapkan di depan (atau di belakang) orang yang sedang ditimpa musibah. Masih ditambah stigma yang berkelok di sana-sini antara fakta dan mitos tentang penyakit yang diderita Solar seumur hidup.

Harga diri Solar diterjang sampai hancur berkeping-keping gara-gara omongan beberapa orang di belakang punggungnya hari itu. Maka, usulan Blaze agar Solar tidak perlu datang ke sekolah lagi adalah solusi yang jitu.

"Kalau ada yang bisa disalahkan, seharusnya orang-orang itu di sekolah. Kalau mereka nggak bisa atau nggak mau bantu, lebih baik diam." Halilintar mendengus. "Sesekali orang harus mikir dulu sebelum bicara."

"Benar, Kak."

"Nah, sudah. Sana, kerjakan makalahmu."

"Iya, Kak. Ngomong-ngomong, pion putihmu terselip satu giliran. Kuda hitammu sudah jalan dua kali berturut-turut barusan."

"Oh."

Sehabis percakapan itu, Halilintar membereskan papan caturnya dan Taufan mengerjakan makalahnya. Si sulung memang ikut klub catur di kampus, karena kegiatan itu mengasah otaknya untuk menyusun strategi. Bukan hanya Taufan yang punya ambisi. Halilintar juga tidak mau menyerah sampai kejahatan dihukum dan kebenaran ditegakkan seadil-adilnya, tapi dia harus mengenali bidak-bidak yang ada dalam genggaman. Dia dan Taufan saat ini hanya mahasiswa. Bahkan ayah mereka yang sudah lama bekerja di pemerintahan tidak bisa berbuat lebih. Lagipula, apa lagi memangnya yang bisa dilakukan terhadap para pelaku kejahatan itu?

Memang pahit, tapi, mereka masih bisa berusaha agar kejahatan yang serupa itu tidak terjadi lagi di kemudian hari. Pengawasan terhadap peredaran narkoba? Komisi perlindungan anak dan remaja? Semuanya itu peran orang-orang pemerintah, dan baik Halilintar maupun Taufan sekarang ini giat belajar agar bisa menjadi bagian dari para abdi negara yang melindungi semua warga semacam itu.

Si sulung pergi tidur duluan dengan angan-angan itu, kemudian mendapat mimpi dan kumat vertigonya di tengah malam.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Kalian harus peka terhadap sekitar."

Dua tahun yang lalu, Amato melatih anak-anaknya untuk bela diri. Halilintar dan Taufan sudah punya teknik yang baik sehingga bisa ikut mengajari yang lain, sedangkan Gempa dan Blaze baru mendapat dasar-dasarnya dari kedua saudara yang tertua. Mereka berempat latihan rutin tiap sore hari bahkan sampai sesudah kelulusan.

Ice dan Duri diajari dari nol oleh Amato, tapi Halilintar menambahkan latihannya sendiri. Keduanya sedang berdiri di hadapan ayah mereka dalam pose kuda-kuda dan Halilintar mengendap-endap di belakang Duri—kemudian menjegal kakinya keras-keras. Duri berteriak kaget dan Halilintar menangkap adiknya itu sebelum terjengkang ke tanah.

"Kamu nggak mendengarku, Duri?" tanya Halilintar, yang juga mendongak ke arah Ice yang sama terkejutnya. "Ice, bukannya kamu sering meditasi? Itu bagus untuk melatih kepekaan. Jangan-jangan, seringnya kamu tidur dalam posisi bersila?"

Halilintar membantu Duri berdiri tegak lagi selagi Ice garuk-garuk kepala.

"Umm, sebetulnya Duri dengar, tapi fokus ke Ayah."

"Nggak melihatku berjalan mengitari kalian barusan?"

Ice mengangguk dan Duri menggeleng.

"Ice, kamu lihat?" tanya Halilintar. "Kenapa diam aja?"

"Kupikir Kak Hali nggak akan nyerang dari belakang," jawab Ice lugas.

"Refleksmu lambat." Halilintar mendengus. "Duri juga, sama saja. Gimana kalau kalian diserang orang jahat kayak tadi?"

"Halilintar," tegur Amato sambil menghela napas.

"Jadi, ini sebetulnya pelajaran apa, sih?" tanya Taufan dari jauh.

"Belajar jadi peka!" sahut Halilintar. Kemudian, dia melempar sebuah batu seukuran telapak tangan ke arah Gempa dengan mendadak, yang berhasil menangkapnya meski nyaris luput, karena posisinya yang ada di samping dari arah lemparan Halilintar.

"Bagus, Gem!" puji si sulung. "Kamu sudah makin peka, rupanya."

"Emang kayak gebetan Kak Taufan, enggak peka?" celetuk Blaze usil, mentang-mentang dia dan Taufan di pinggir halaman dan hanya menonton.

"Oi! Apa hubungannya?!" balas Taufan. Dalam sedetik yang krusial, si nomor empat telah menyambar ponsel di tangan Taufan, yang segera mengejar si adik yang tertawa-tawa.

"Kak Taufan enggak peka! Hahaha! Sini, kuintip sebentar isi chat-mu!"

"Blaze! Kembalikan!"

"Eh?" Gempa menoleh, baru beberapa detik kemudian menyadari siapa yang dimaksud, dan Halilintar berhasil melempar batu mengenai lengannya karena perhatiannya teralih.

"Aw! Sakit, Kak!"

Siapa yang paling tidak peka sebetulnya?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Seharusnya banyak duduk bermain catur dan menyimak rekaman kuliah Taufan membuat kepekaan telinga Halilintar makin tajam. Tapi nyatanya, dia tidak terbangun waktu kamar-kamar di sekitar ingar-bingar.

Senin pagi itu cukup menghebohkan untuk dua kembaran tertua, yang meski tinggal di asrama mahasiswa, tetap harus menempuh jarak yang cukup jauh ke kelas masing-masing. Biasanya mereka bisa jalan santai lewat tangga.

"Kak Hali! Kita harus naik lift atau kita bakalan telat!" Taufan berteriak sambil lari-lari.

"Ish. Sekarang tahu, 'kan, kenapa Atok melarang kita tidur lagi sehabis salat Subuh?!" Halilintar mendengus di balik masker, ikut berlari sepanjang aula gedung utama kampus.

"Yaaa masalahnya aku nggak tidur semalaman, Kak!"

"Iya, Taufan, kamu udah bilang itu berkali-kali."

"Buruan, Kak!" Taufan makin keras berteriak melihat pintu lift di kejauhan yang terbuka, sedang akan menutup.

Keduanya berlari sekencang-kencangnya dan berhasil melesat masuk. Pintu lift tertahan sebentar karena mendeteksi adanya gerakan, kemudian menutup sepenuhnya.

Halilintar terengah di balik masker. Lari-lari begitu membuatnya pusing lagi, untung Taufan memeganginya dan Halilintar menyandarkan punggung ke dinding. Sang adik menekan tombol yang dituju. Sejurus kemudian, terdengar bunyi denting dan pintu membuka di lantai tiga.

"Bye, Kak Hali!"

Halilintar melambaikan tangan kanannya. Sebagian besar mahasiswa turun di lantai itu juga, tersisa Halilintar dan dua mahasiswa lain, yang lalu turun di lantai lima. Hanya Halilintar yang akan naik ke lantai delapan, tapi saat pintu lift menutup di lantai lima, ada guncangan kecil.

Ada gempa bumi? batin si sulung. Guncangan itu berhenti, namun lampu di dalam lift jadi padam. Bilik itu gelap gulita dan Halilintar merasakan jantungnya serasa meloncat.

Tenang, tenang … dalam kondisi begini, harus tetap tenang …. Halilintar mencoba mengingat materi safety briefing di awal masa orientasi kampus, tapi degup jantungnya menggila dan kakinya terasa lemas. Dia merosot perlahan, air matanya jatuh ke tangan yang gemetar. Halilintar menarik napas, terlalu kencang … dia semakin pusing, teringat akan mimpinya semalam, dan juga seolah dirinya kembali ke masa lalu dalam bilik kecil dan gelap yang itu, dengan Solar menangis kesakitan di sampingnya ….

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRRGHHH!"

Halilintar menjerit sampai suaranya serak. Satu menit terasa seperti satu abad ketika lampu kembali menyala dan lift bisa bergerak lagi. Pintu lift terbuka di lantai enam, lantai yang terdekat, dan Halilintar belum bisa bergerak dari posisinya yang berjongkok.

"Kak Hali!"

Seseorang memanggil namanya dan menubruknya.

Taufan?

"Tolong, kakakku sakit!" Suara itu berseru-seru. "Bantu aku bawa dia! Ke sana, ke teras terbuka!"

Sekujur badan Halilintar lemas dan kebas, hanya samar-samar saja dia merasakan beberapa orang membawanya ke kursi teras lantai enam. Taufan mengipasinya dengan buletin kampus dan Halilintar berangsur-angsur menemukan kesadarannya.

"Taufan?" gumam si sulung sambil berusaha duduk.

"Kak, ini, minum teh dulu."

Halilintar menerima teh hangat itu dan menyesapnya sedikit. Gemetarnya sudah mereda. "Bukannya kamu tadi turun di lantai tiga?"

"Aku naik tangga darurat." Napas Taufan memang terdengar berantakan, begitu pula rambutnya.

"Gimana kamu bisa tahu liftnya berhenti di lantai enam?"

"Huff. Aku lihat lantai yang dituju berikutnya cuma lima dan delapan. Huff." Taufan masih berusaha mengatur napasnya. "Gempanya tadi kira-kira dua puluh detik sejak aku turun, jadi mestinya belum sampai ke lantai delapan."

Halilintar terdiam.

"Di lantai lima, aku ketemu dua mahasiswa yang tadi naik bareng kamu. Jadi pasti liftnya sudah on the way naik dari lantai lima … dan betul saja, liftnya berhenti di lantai enam."

"Kamu dan ingatan fotografismu," gumam Halilintar sembari tersenyum lemah. "Makasih, Fan … gimana kelasmu? Kamu terlambat, nih."

Taufan tiba-tiba memeluk kakaknya, membuat Halilintar kaget.

"Kak Hali … maaf, kamu sendirian di dalam lift waktu gempa tadi …."

Halilintar tak sanggup berkata-kata.

"Maaf, harusnya aku tahu, kamu nggak bisa naik lift karena klaustrofobia …."

"Udah, Fan."

"Maafin Taufan, Kak …."

"Iya, dimaafkan."

"Aku akan dengerin apa mimpi Kak Hali semalam."

Halilintar mengernyit. "Oi. Kamu ada kelas. Aku juga."

"Kak Hali masih lemas, 'kan? Aku temani sampai kamu kuat jalan, entah ke kelas, entah pulang ke asrama."

Halilintar tidak bisa membantah. Bergerak sedikit saja dia masih merasa pusing.

"Ayo, mumpung aku mau mendengarkan mimpimu. Siapa tahu Halilintar bin Amato dicium seorang putri cantik jelita dalam mimpi?"

Tangan Halilintar sudah terangkat, kepengin menjitak adiknya itu, tapi urung. Cengiran jahil di wajah Taufan memudar sedikit, netra birunya memancarkan kecemasan, seolah sedang menduga-duga mimpi apa yang membuat si sulung vertigo.

"Jangan-jangan, ada yang mau meninggal?" Taufan berseloroh, teringat bakat unik kakaknya dan ingat juga bahwa dahulu si sulung melihat Ice hampir meninggal sewaktu koma dan membuat vertigonya juga kumat, tapi Halilintar menggeleng.

"Di mimpiku semalam … Dokter Qually sedang bertanding catur melawan malaikat maut."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

To be continued.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Author's Note:

Terinspirasi dari sebuah lukisan yang menggambarkan seorang dokter vs malaikat maut ketika sedang menolong pasien kritis.

Semoga malam ini Roux sempat upload sesuatu di medsos, yaitu dua video promosi untuk serial ini! Dibagi jadi dua bagian: 4 cerita utama dan 4 cerita sampingan. Selamat menyimak kalau sudah mengudara nanti!

Halaman medsos Roux bisa dicek di sini: linktr. ee/ st. sisiliahandoyo(hilangkan spasi)

Akhir kata,

Selamat Paskah bagi yang merayakannya! Selamat melanjutkan ibadah puasa bagi yang menjalankannya!

[31 Maret 2024]

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Ice bin Amato tersentak bangun, dini hari Minggu. Kamarnya masih gelap dan kedengaran suara napas Solar yang teratur di ranjang sebelah. Si anak nomor lima mengeluh pelan atas mimpinya yang terasa nyata barusan.

Bukan lagi terasa nyata, melainkan memang pernah nyata terjadi di masa lalu. Ice memejamkan mata dan membatin, barangkali tumpukan tugas kuliahnya dan diskusinya dengan Solar semalam yang membuat dia bisa memimpikan Ayu Yu dan kejahatan yang pernah dilakukan mantan perawat itu terhadap dirinya.

Semuanya itu sudah jauh di belakang, begitu pikir Ice, tapi ketika kilas balik itu menerpanya dalam tidur yang lelah, rupanya Ice juga sama rapuhnya. Dia gemetaran, teringat pada hari dirinya dan Blaze diculik dan dilecehkan, termasuk saat Ice dipaksa untuk meminum cairan memabukkan itu—ada Ayu Yu yang mencekokinya, Gogobi yang menahannya untuk duduk, dan Retak'ka yang tertawa-tawa di atasnya.

Setetes, dua tetes air mata jatuh ke atas bantal.

"Ya, Allah …."

Ice bergumam pelan-pelan, tidak mau membuat Solar terbangun. Bantal paus miliknya ada dalam pelukan Solar, memang dipinjamkannya agar sang adik bisa tidur nyenyak, jadi Ice merangkul lengannya sendiri dan terisak tanpa suara sambil memandangi si bungsu yang masih terlelap di ranjang seberang. Pandangan Ice kemudian jatuh di kotak obat-obatan di atas nakas Solar. Air matanya semakin membanjir.

Puas menangis, Ice bangkit dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi untuk berwudu. Dia bersujud sampai azan Subuh berkumandang.

Solar bergerak di tempat tidurnya saat azan terdengar. Ice beranjak, mendekati adiknya, dan membangunkannya untuk salat.

"Pagi, Solar." Ice tersenyum sembari mengusap-usap kepala si bungsu, yang sedang menggosok matanya.

Dalam kantuknya, Solar balas tersenyum dan itu sudah cukup bagi Ice.

Solar bertahan hidup, itu sudah lebih dari cukup bagi mereka semua.

Ice tahu bahwa kemarin, saat Solar minta untuk ditemani, pikiran buruk untuk mengakhiri hidup itu hinggap kembali dalam benak sang adik. Ada petunjuk tak terucapkan, sinyal permintaan tolong dari Solar yang sempat putus asa sekali lagi, dan Ice tidak pergi ke mana-mana sampai Solar jatuh tertidur.

Mungkin Ice bukan yang paling peka dalam hal bela diri, tapi dia memang pilihan terbaik untuk mendukung Solar agar kembali mencintai diri.