Tujuan Toneri adalah merebut buku dari tangan Deidara, bagaimana pun harus dia dapatkan atau Deidara akan membunuh teman-temannya. "Kau serius menolak kebaikan hatiku?" Deidara kecewa meski tahu dirinya tidak bersungguh-sungguh ingin membiarkan Toneri hidup. Dia hanya butuh bantuan membuat satu kelompok besar sampai tidak membutuhkan mereka lagi.
"Berikan buku itu padaku, Deidara!" Toneri menendang tangan Deidara dan menyebabkan buku itu melambung tinggi. Dia meloncat untuk mengapainya, tapi ditarik oleh Deidara. Deidara menyambar buku itu di saat Toneri tersungkur.
Toneri mengeluarkan kekuatan dari telapak tangan dan berhasil menjatuhkan Deidara ketika mengenai punggungnya. Buku tadi terpental jauh ke bawah lemari pajangan di pinggir koridor. "Kau keparat!" Deidara memukul lantai sebelum bangkit, dia menyerang Toneri dan melupakan buku itu.
Toneri melepas tinju, tapi Deidara berhasil menangkis. Dia mengeluarkan tenaga langsung ke perut Toneri sebagai balasan. Toneri terpental dan terjatuh setelah menabrak vas bunga di samping lemari pajangan. Dia tidak sempat merintih kesakitan, dikejutkan oleh buku yang terjatuh tadi sangat dekat dengannya.
Toneri mengulurkan tangan tapi Deidara menendang perutnya dan memunggut buku itu lebih dulu. Akan membuang waktu dan tenaga untuk terus berkelahi, jadi Deidara membawa lari buku itu. "Berhenti, Deidara!" Toneri berdiri dan menyusul tapi perintah dari seseorang menghentikannya.
"Berhenti!" Suara tak asing itu membuat Toneri berbalik untuk mencari asal suara. Dia buru-buru menunduk hormat ketika melihat sang empu.
.
.
.
Disclaimer : Demi apapun, Naruto bukan punya saya, punya Masashi Sensei, saya hanya pinjam saja.
BENTENG KELEMAHAN
(Hati hati typo, tulisan mendadak hilang, OOC, AU dan lain-lain. Udh usahain sebagus mungkin)
Benteng Kelemahan by Authors03
.
.
Chapter 05
.
.
.
.
"Yang Mulia, Minato. Maafkan bila saya telah membuat keributan," sesal Toneri. Dia bukan hanya membuat keributan tapi kekacauan dan merusak benda di istana.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Minato. Toneri diam tidak tahu bagaimana cara menjawab. Toneri harus menyusul Deidara sebelum dia gunakan apa pun yang dia tahu dari buku itu. Awalnya Toneri tidak ingin berbicara tapi berpikir mungkin raja sebelumnya bisa membantu. Jadi, dia jujur mengungkap, "Sang raja memberikan buku yang seharusnya menjadi rahasia kepada seseorang dan saya sedang mengejarnya."
Minato terkejut bukan main, tidak menyangka Naruto sanggup melakukannya. Tidak ada sedikitpun keraguan bahwa dia menginginkan semua orang untuk mati demi menyembuhkan sakit hatinya. "Yang Mulia, maafkan saya bila bersikap lancang tapi saya harus bertanya."
Toneri mendekat sebelum melanjutkan, "Kita harus melakukan sesuatu untuk mengecah terjadinya hal buruk. Semua orang ketakutan dan raja begitu kuat, kami tidak bisa melakukan apa pun kecuali satu."
"Kau ingin mengalahkannya menggunakan kelemahannya?" tebak Minato dan Toneri ragu-ragu mengganguk.
"Maafkan saya untuk mengatakannya, Yang Mulia, tapi kita harus melakukan sesuatu sebelum tempat ini berubah menjadi benteng kematian."
Minato setuju dengan berat hati, bagaimana pun satu nyawa tidak bisa dibandingkan dengan dua ratus jiwa. "Ikut aku." Minato tidak langsung berbicara tapi membawa Toneri menuju perpustakaan raksasa di ujung koridor bagian timur. Mereka duduk berhadapan, meja panjang bewarna merah memisahkan. Minato memberitahu, "Naruto tidak memiliki kelemahan."
Toneri tidak mengerti, dia mengernyitkan dahi mempertanyakan, "Apa maksudnya? Semua orang bahkan raja memiliki kelemahan. Mustahil beliau tidak memilikinya."
"Itu tidak akan berhasil." Hanya jawaban mengecewakan yang bisa Minato berikan. "Kelemahan Naruto ada pada dirinya sendiri. Kau tidak bisa melakukan apa pun bahkan ketika aku memberitahumu."
"Aku tidak mengerti." Toneri mengatup bibir penuh kekecewaan, menunggu Minato untuk lebih banyak berbicara tapi tidak dia lakukan.
"Hanya itu yang bisa aku katakan." Andai Minato bisa melakukan sesuatu untuk menjinakkan amarah Naruto, kenyataannya dia tidak bisa. Dia menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi dan tetap mengetahui apa kelemahan Naruto tidak akan membantu. "Maafkan aku karena tidak bisa membantu tapi aku akan memikirkan cara untuk menyelesaikan masalah ini." Toneri tak berdaya mendengar apa yang Minato katakan, dia tidak menanggapi dan hanya diam termenung.
Minato menambahkan, "Sebaiknya kau pergi, Naruto tidak menerima siapa pun memasuki istana."
Toneri berat hati mengganguk, mau tidak mau berdiri dan menundukkan kepala. "Terima kasih karena sudah mendengarkanku, Lord." Dia meninggalkan perpustakaan raksasa itu tanpa tenaga dan kepala tertunduk.
Mata Toneri terpejam sejenak dan dia berhenti ketika menyadari terdapat sepasang sepatu hitam yang bersih dan mengkilat indah di depan mata. Toneri mengangkat kepala untuk mencari tahu siapa sang empu, tapi malah dikejutkan oleh cengkraman keras yang menutup setengah wajah bagian bawahnya.
"Siapa rajamu?" Lelaki itu bertanya, pandangan biru langitnya menusuk langsung ke bola mata Toneri selayaknya pisau. "Kau memasuki istanaku dan Minato adalah orang pertama yang kau temui?" Dia membanting Toneri ke lantai dan menginjak dadanya, menyebabkannya merintih kesakitan. "Di mana sopan santunmu?" Sikap Toneri membuat Naruto merasa direndahkan, jelas dia tidak akan melepaskannya begitu saja.
Beberapa prajurit muncul menggelilingi mereka sebelum menundukkan kepala. Naruto memberi perintah, "Bawa keparat ini ke penjara bawah tanah dan beri dia pelajaran karena telah berani menghinaku."
Toneri tidak bisa melawan, tidak katakan apa pun atau membela diri karena menyakini semua itu sia-sia. Dia pasrah diseret dan perhatian Naruto pecah ketika melihat Minato yang baru saja meninggalkan perpustakaan. Mereka saling melempar pandang dan Naruto menjadi orang pertama yang menoleh. Dia pergi setelah berkata, "Kau akan terus hidup untuk melihat semuanya sampai aku dapatkan Shion kembali." Semua perbuatan keji itu adalah satu-satunya cara yang bisa Naruto pikirkan untuk membalas ayahnya yang telah mencabik-cabik hatinya.
Sementara itu, Hinata duduk termenung di depan meja rias dan menatap bayangannya melalui cermin. Kiba dan Sakura di belakangnya menatap hal yang sama. "Bisa aku tebak mimpimu jauh lebih buruk hari ini," duga Kiba dan Hinata mengganguk sekali sebagai respon.
"Seseorang meminta tolong." Hinata menutup telinganya, merasa gila karena bisa melihat Toneri menjerit meminta tolong dari balik cermin. Penjara tempat dirinya terkurung terbakar. Itu bukan terbakar tapi sengaja dibakar setelah dia disiksa setengah mati dan dilempar ke dalam sana.
"Hinata," panggil Sakura, keadaannya setengah mematung.
"Aku tahu aku gila. Tolong biarkan aku," pinta Hinata sembari memejamkan mata untuk menenangkan diri, tapi itu bukan tujuan Sakura memanggil.
Kiba dan Sakura mengganga lebar, mata membulat dan lupa bagaimana cara berkedip. "Seseorang itu nyata." Bagaimana cara mengatakan mereka berpikir mata dan otak mereka pun sudah rusak? Mereka berdua melihat lelaki yang Hinata singgung muncul di dalam cermin meja rias yang sudah tiga puluh menit Hinata tatap tanpa jeda.
"Seseorang?" Hinata membuka mata, melihat Toneri berusaha membuka gembok pada besi sel itu.
"Tolong!" Dia menjerit dan terbatuk-batuk dibuat asap yang menjadi semakin tebal di belakangnya. "Tolong, siapa pun!" Toneri berhenti saat melihat kemunculan seseorang. "Aku mohon tolong aku!" Siapa perempuan asing itu dan bagaimana caranya mendatangi tempat ini tidak penting, yang jelas adalah Toneri mengharapkan bantuan atau dia akan mati.
"Tolong, aku mohon!" Lagi-lagi Toneri memohon tapi perempuan itu tidak bergerak, berdiri diam bagaikan patung dan menatap kosong ke arahnya. "Tolong aku!" Toneri kehabisan kesabaran. Dia mengulurkan tangan melalui sela-sela sel besi dan menarik pakaian perempuan itu.
"Kyaaaaah!"
"Hinata!" Kiba dan Sakura menjerit, mata melebar seperti akan copot saat menyaksikan dengan kedua mata mereka sendiri, Hinata baru saja ditarik masuk oleh kedua tangan yang dipenuhi darah.
"Hinata!" Kiba menyentuh cermin di depannya tapi semua yang bisa dia lihat adalah dirinya sendiri dan Sakura "Ini gila." Sakura membekap mulut saat Kiba mempertemukan kontak mata, mereka berubah menjadi si bisu yang tidak tahu bagaimana cara berbicara.
Memang siapa yang bisa membicarakan hal tidak logis itu? Seseorang baru saja muncul di cermin dan menarik Hinata masuk ke dalamnya. "Tampar aku," pinta Kiba. Sakura tidak ragu melayangkan tangan dan memberinya pukulan yang sangat keras hingga ruangan pun bergema.
Kiba meringis kesakitan menyentuh pipinya yang memerah. Dia menyesali permintaan bodohnya tapi cermin meja rias kembali menyita perhatian. Punggung kaku Kiba mencair saat dirinya dengan syok bergumam …, "Hinata … tidak gila …, tapi kita yang gila."
TO BE CONTINUE …
Hi, guys!
Naruto dan Hinata bakal perdana bertemu ngegehehe. Ada yang bisa tebak akan seperti apa pertemuan mereka?
Sampai jumpa di bab selanjutnya.
Lope you, guys.
