Hinata tidak sempat meringis, rasa sakit luar biasa itu mematikannya dalam sekejap. Naruto mencabut pedang, menyebabkan tubuh Hinata terjatuh. Matanya terpejam dan tubuhnya berubah menjadi buliran-buliran cahaya yang indah dan menghilang di udara.
Suara lonceng yang terdengar berhasil mengejutkan, Naruto tidak menyangka dirinya bisa membunuh Hinata sangat mudah setelah menunggu lama. Padahal Naruto tidak memiliki niat melakukannya mengingat perempuan itu telah menyiksa pikirannya satu tahun terakhir. "Kelemahannya adalah pedang?" Naruto melihat tidak ada darah di pedang, sekarang menyesal karena dia seharusnya tidak melakukannya. Seharusnya Hinata tetap hidup agar Naruto bisa menginterogasinya tapi sudah terlambat untuk menyesal.
"Hinata …" Toneri berhenti berlari setelah menemukan Naruto. Jarak mereka tidak terlalu dekat, dia dapat menebak apa yang terjadi saat melihat pedang di tangan rajanya. "Hinata …," gumam lelaki itu lirih.
.
.
.
Disclaimer : Demi apapun, Naruto bukan punya saya, punya Masashi Sensei, saya hanya pinjam saja.
BENTENG KELEMAHAN
(Hati hati typo, tulisan mendadak hilang, OOC, AU dan lain-lain. Udh usahain sebagus mungkin)
Benteng Kelemahan by Authors03
.
.
Chapter 08
.
.
.
.
Kiba dan Sakura kembali ke kamar setelah berhasil menenangkan keadaan dengan menipu ibu Hinata. Mereka berjalan tanpa tenaga, menutup pintu menggunakan punggung dan menjerit, "Hinata!" Sakura membuka mata lebar-lebar kala menemukan perempuan itu terkapar di atas lantai, dekat meja rias.
"Hinata!" Kiba menopang sebagian tubuh Hinata dan menepuk-nepuk pipinya guna membangunkan.
"Oh, tidak! Apa dia sudah mati?" Hinata sangat tenang sampai tidak terlihat seperti bernafas, membuat Sakura menempelkan telinga ke bagian dadanya untuk mengecek kondisi jantung. "Masih berdetak!" Sakura cemas dan lega di waktu bersamaan, dia menepuk-nepuk kasar pipi Hinata sampai menerima respon.
"Hinata, buka matamu!" pinta Kiba sembari menguncang tubuh Hinata lebih keras lagi sampai matanya perlahan terbuka.
"Hinata!" Sakura menangis dan menjerit histeris melihat Hinata akhirnya tersadar. Kiba membantu Hinata untuk duduk dan Sakura memeluknya erat. "Hinata, aku pikir aku akan kehilanganmu lagi! Kau benar-benar membuat aku gila. Huaaaa!" Keras suara Sakura mulai menyakiti telinga Hinata, tapi nyawanya yang belum terkumpul sempurna membuatnya tidak bisa banyak merespon.
"Apa maksudmu dengan kehilangan aku lagi …?" Suara Hinata pelan. Dia menyentuh bagian dada, memastikan bahwa dirinya benar-benar baik-baik saja setelah tikaman menyakitkan yang sampai membuatnya tidak bisa menjerit itu.
Punggung kaku Hinata melunak, tidak tahu haruskah merasa lega atau senang karena ternyata nyawanya masih utuh. Perhatiannya tersita saat menyadari Kiba menyenggol lengan Sakura dengan pandangan kritik. "Apa maksudnya itu?" Rasa penasaran membesar membuat Hinata menatap Sakura dan Kiba secara bergantian. "Apa yang kalian sembunyikan dariku?"
Sakura dan Kiba tidak berniat menyembunyikan apa pun. Mereka hanya tidak mau mengatakannya dan sekarang terpaksa mengaku, "ibumu meminta kami untuk tidak pernah membahasnya karena tidak ingin membuatmu cemas, Hinata."
"Apa hal yang akan membuat aku cemas itu?"
Kiba mendengus, tidak berpikir bisa merahasiakannya lagi setelah Sakura berhasil memancing rasa penasaran Hinata. Ragu-ragu dia memberitahu, "kau tidak ingat. Setahun yang lalu kau tenggelam dan koma selama satu minggu di rumah sakit."
Hinata tersentak, bertanya-tanya entah bagaimana dirinya sama sekali tidak mengingat peristiwa itu. Hinata berpikir keras, mencoba menggali memory lama dan menyadari suatu hal. "Aku baru saja sadar kalau aku tidak mengingat apa pun." Hinata hanya bisa mengingat nama ibu dan ayahnya, itu pun karena mendengarnya dari mulut ibunya setelah terbangun dari koma. Juga, Hinata tidak ingat selama apa dia telah berteman bersama Sakura dan Kiba kalau tidak mereka beritahu.
Sakura menjelaskan, "kita bermain di dekat air terjun hari itu. Kau meloncat dari atas dan kepalamu membentur batu. Kami terlambat menyadarinya tapi beruntung, kami berhasil menemukanmu."
Kiba melanjutkan, "Sakura memberimu nafas buatan dan itu berhasil tapi kau tidak sadarkan diri. Kami membawamu ke rumah sakit dan kau terbangun satu minggu kemudian tanpa mengingat apa pun. Dokter bilang itu hanya amnesia ringan, kau akan mendapatkan ingatanmu kembali tapi tidak bisa dipastikan kapan."
"Dan setelah itu, mimpi buruk selalu datang padaku." Sekarang semuanya menjadi jelas di benak Hinata. Dia menebak, "semua ini pasti ada hubungannya." Bahkan ketika tidak masuk akal sekalipun, Hinata percaya kejadian itu membawanya ke suatu tempat.
"Apa maksudmu, Hinata?" tanya Sakura. "Apa yang kau pikirkan?"
Hinata tidak tahu, dia belum selesai berpikir karena kepingan puzzle yang seharusnya membentuk sebuah jawaban belum terkumpul sepenuhnya. "Aku tidak yakin tapi rasanya seperti aku berhasil memikirkan sesuatu." Kemudian tatapan Hinata menajam, dia menguncang pundak Sakura dan menjerit, "seharusnya kau beritahu aku dari awal!"
"Aku tidak bermaksud menyembunyikannya," kata Sakura membela diri. "Kejadian itu sangat buruk, kami tidak ingin kau cemas." Sakura bahkan berterima kasih pada mimpi buruk yang selalu menghantui Hinata karena itu memecah fokusnya, menyebabkannya tidak memiliki waktu untuk mengingat apa pun terutama mengapa dia hilang ingatan, tapi semuanya malah menjadi semakin buruk, membuat Sakura menyesali rasa terima kasihnya kepada sang mimpi buruk.
"Semua mimpi burukku berawal dari hari itu, Sakura." Hinata menatap tak percaya, berkomentar, "sekarang aku tahu mengapa kalian hanya mendengarkan ketika aku beritahu aku selalu bermimpi buruk sampai rasanya seperti gila. Sungguhkah kalian berpikir aku telah gila karena benturan keras hari itu?"
Kiba menggaruk tenguk yang tak gatal sembari menghindari kontak mata, dengan kikuk menanggapi, "yah … aku tidak bermaksud buruk tapi itu bukan masalah untuk menjadi gila. Bagaimana pun kita adalah teman."
Sakura menyentuh tangan Hinata untuk merebut perhatian, dengan pelan berbicara, "kami tidak menanggapmu gila tapi berpikir mungkin itu adalah efek dari kecelakaan hari itu."
Kiba menambahkan, "Itu dua jam yang lalu sebelum kau tiba-tiba ditelan oleh cermin. Ini masih sulit dipercaya tapi sekarang kami tahu bahwa kau tidak gila."
"Aku pun begitu," gumam Hinata, masih syok dan sulit menalar bagaimana bisa semua mimpi buruknya menjadi nyata dan dia bahkan muncul di tempat itu. "Aku berusaha menerima kenyataan bahwa aku telah gila dan semuanya malah berubah menjadi nyata.
"Apa pun itu, yang penting adalah kau baik-baik saja." Sakura mengalihkan topik pembicaraan. "Kita tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi bahkan setelah melihat dengan mata kita sendiri, hanya …" Dia menunjuk cermin meja rias sebelum melanjutkan, "tolong jauhi cermin itu. Aku tidak ingin kau ditelan lagi. Kau tahu betapa aku mencemaskanmu? Aku menjerit seperti orang gila dan jantungku seperti sudah meledak."
"Aku sudah mati, Sakura," ungkap Hinata. "Naruto menikam jantungku dan membunuhku."
"Dua menit setelah bertemu denganmu?" tebak Kiba dan Hinata mengganguk pasrah.
"Dia tidak bercanda. Dia membunuh aku detik itu juga ketika kami bertemu." Hinata terjeda singkat, mengingat rasa sakit yang teramat menggerikan. "Aku berubah menjadi buliran cahaya dan menghilang di udara dan tiba-tiba aku kembali ke sini." Hinata seharusnya senang dan lega tapi ada hal yang janggal yang tidak bisa diabaikan.
"Jika itu benar-benar terjadi, mungkinkah kau tidak akan bertemu dia lagi?" tebak Sakura, nada bicaranya bersemangat. "Maksudku, tidakkah itu memungkinkan? Kau sudah mati di tempat itu."
Hinata mengharapkan hal yang sama. "Mungkin kau benar," gumamnya. "Aku tidak tahu bagaimana bisa aku masih hidup dan kembali, tapi aku sangat lega aku baik-baik saja. Aku berharap mimpi burukku berakhir dengan kematian itu."
Hinata sangat menantikannya. Malam itu, dia tidur dengan harapan yang luar biasa besar dengan mengingat rasa sakit ketika ditikam. Hinata berdoa untuk tidur nyenyak hanya satu kali tapi harapan kecil itu hancur bagaikan cermin yang dipecahkan.
Satu menit setelah terlelap, lagi-lagi Hinata melihat ruangan gelap nan kosong dan Naruto di balik kaca bening. Naruto telah terkejut lebih dari tiga kali hari itu dan sekarang dia merasakan perasaan itu sekali lagi. Dia mengernyitkan dahi, berjalan mendekati kaca untuk melihat Hinata dari jarak paling dekat yang dia bisa.
"Bagaimana mungkin …?" tanya Naruto dengan kebinggungan di wajahnya. "Aku melihat kau berubah menjadi buliran cahaya dan menghilang ke angkasa. Bagaimana bisa kau muncul di dalam mimpiku?"
TO BE CONTINUE
Hi, guys
Bye, guys
