"Hinata! Hinata, please keluar!" Kiba memindahkan meja rias ke tengah-tengah ruangan dengan bantuan Sakura. Mereka menyentuh cermin itu dan memohon, tapi tidak ada Hinata melainkan wajah panik mereka. "Please, Hinata!" Mereka berdua memutari meja rias tiga kali dan Hinata masih tidak ada.

"Kita mati! Kita benar-benar akan mati!" Sakura menjerit horor, jantungnya akan meledak mencemaskan Hinata. "Bagaimana cara mengeluarkan Hinata dari dalam sana?!" Dia menjambak rambut dan menangis tanpa air mata.

"Haruskah aku pecahkan cerminnya?" Hanya itu yang bisa Kiba pikirkan. Memecahkan cermin dan masuk ke dalamnya untuk mengeluarkan Hinata tapi Sakura tidak setuju.

"Kita tidak boleh melakukan hal secara sembrono. Selama Hinata masih di dalam sana, cermin itu harus utuh."

Tok, tok, tok … suara ketukan pintu selayaknya palu yang menghancurkan jantung Kiba dan Sakura. Mereka mamatung sepenuhnya dengan mata terbelalak. Ketika suara ibu Hinata terdengar, jantung mereka bagaikan meledak. "Hinata, kalian baik-baik saja di dalam sana?"

.

.

.

Disclaimer : Demi apapun, Naruto bukan punya saya, punya Masashi Sensei, saya hanya pinjam saja.

BENTENG KELEMAHAN

(Hati hati typo, tulisan mendadak hilang, OOC, AU dan lain-lain. Udh usahain sebagus mungkin)

Benteng Kelemahan by Authors03

.

.

Chapter 06

.

.

.

.

Hinata mengerjap mata, termenung cukup lama sampai yakin dirinya benar-benar telah berpindah lokasi. Hinata menatap tangan yang dipenuhi darah yang mencengkram pakaiannya dan menjerit histeris. Dia menarik tubuhnya menjauh dan terjatuh karena tak sengaja menyenggol kakinya sendiri.

"Siapa kau?! Mengapa aku ada di sini?" Hinata menatap horor, menyeret tubuhnya menjauh dari Toneri karena tidak dapat menahan hawa panas yang membesar.

"Tolong buka gembok ini atau aku akan mati!" Toneri berfokus pada prioritasnya yaitu keluar dari penjara sebelum terbakar habis. Dia menunjuk kunci yang tergantung tidak jauh di depan sel, memohon, "tolong ambil kunci itu dan bukakan sel ini, aku mohon!"

Hinata berbalik menatap kunci yang Toneri tunjuk. Persetan dengan apa yang sedang terjadi, dia punya nyawa untuk diselamatkan. Buru-buru Hinata berdiri, mengambil kunci itu dan menerobos asap. Dia kesulitan menahan hawa panas apalagi menemukan kunci yang cocok dari beberapa kunci yang ada. Hinata terbatuk-batuk, meski begitu akhirnya berhasil membuka gembok sel.

Toneri mendorong pintu sel itu sampai terbuka. Dia menerjang Hinata, memeluknya dan membawanya menjauh dari sel. Mereka berdua terjatuh setelah tidak ada lagi asap, Toneri yang tertindih meringis kesakitan menahan hantaman sikut Hinata pada ulu hatinya. "Maafkan aku!" ucap Hinata, buru-buru menjauhi Toneri dan membantunya duduk.

Mereka pergi tidak jauh dari penjara, masih di wilayah bawah tanah yang sama. Tidak ada pengawal karena belum pernah ada tahanan sebelumnya. Toneri adalah yang pertama. Mereka berdua duduk berdampingan, sama-sama meraup pasokan oksigen guna menenangkan diri.

"Terima kasih," ucap Toneri setelah puas bernafas lega. "Aku sudah pasti mati kalau kau tidak ada." Api itu sangat dekat dari punggungnya, beruntung Hinata membuka pintu tepat waktu.

"Jangan-jangan api adalah kelemahanmu?" Ragu-ragu Hinata menebak dan Toneri mengganguk setelah beberapa detik terdiam.

"Itu adalah rahasia. Jangan pernah membicarakannya." Seharusnya Toneri tidak mengaku, tapi entah mengapa dia melakukannya.

"Aku tidak akan melakukannya," klaim Hinata. "Ini tidak seperti aku ingin seseorang untuk mati."

Jika benar begitu, Toneri berterima kasih. Dia bisa bernafas lega berkat Hinata. "Omong-omong, aku tidak pernah melihatmu sebelumnya?" Toneri mengalihkan pembicaraan. "Bagaimana bisa kau masuk ke tempat ini?" Meski tidak banyak prajurit terlihat, istana tetap dijaga dengan baik dan tidak ada siapa pun boleh memasuki bawah tanah, tapi Hinata Layla tiba-tiba berdiri di depannya.

"Seharusnya aku yang bertanya." Hinata membawa pembicaraan ke arah yang ingin dia lakukan sedari awal. "Bagaimana bisa aku ada di sini? Kau menarikku kemari."

"Aku menarikmu?" Toneri mengernyitkan dahi, mengoreksi, "aku melihat kau berdiri seperti patung di depan sel dan mengabaikan aku. Aku menarikmu karena ingin kau membantuku." Andai Toneri tidak terdesak, dia akan meminta Hinata untuk lari alih-alih membantu.

"Ini gila." Hinata menyentuh kepalanya yang sakit, menebak-nebak bagaimana bisa Toneri melihatnya berdiri di depan sel sementara dia sedang bersama teman-temannya di kamar. Ini tidak logis dan tidak bisa dijelaskan. "Sekarang bagaimana caraku keluar dari tempat ini?"

"Kau hanya perlu melewati jalan yang kau ambil sebelumnya dan kembali ke kelasmu atau asmara." Toneri berusaha membantu, tidak tahu bahwa mereka tidak sedang memikirkan hal yang sama. "Tapi sepertinya aku tidak bisa meninggalkan penjara," tambah Toneri, menyita perhatian Hinata dan membuatnya mempertemukan kontak mata.

"Apa maksudmu?"

"Kekuatan raja menggelilingi istana. Aku pikir kecuali penjara karena tidak pernah ada siapa pun di sini sebelumnya. Jika aku keluar dari bawah tanah, dia akan tahu aku telah menerobos keluar dari penjara," terang Toneri.

Hinata terdiam sejenak, speechless dibuat informasi penting itu. "Artinya aku pun terjebak," gumannya frustasi.

"Benar." Toneri menebak, "Naruto akan menyadari seseorang telah memasuki bawah tanah tanpa izin tapi aku lihat tidak ada prajurit yang datang yang artinya dia tidak menyadari keberadaanmu, tapi bagaimana bisa? Bagaimana cara kau sampai di sini?"

Hinata mengaku, "aku tidak datang dari mana pun. Ini sulit dijelaskan, aku berada di lokasi yang lain sebelumnya dan tiba-tiba kau menarikku masuk melalui cermin."

Otak Toneri menyangkut, tidak mengerti apa yang sedang Hinata bicarakan. Namun, itu tidak penting karena banyak hal gila yang tidak bisa dijelaskan di dunia. Dia berusaha mengerti tanpa membuat Hinata menghabiskan waktu menjelaskan keadaan. "Jadi, mengapa kau pun terjebak? Kau tidak dihukum, kau punya alasan untuk pergi dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Jangan cemaskan aku. Aku akan tetap di sini dan kembali ke sel setelah api padam, jadi tidak akan ada yang curiga kalau kau telah membebaskan aku."

"Bukan itu masalahnya." Hinata putus asa menjelaskan, "aku sering bertemu Naruto di dalam mimpi. Sulit menjelaskan bagaimana karena terjadi begitu saja dan dia sangat membenciku. Dia mencariku selama ini dan jika dia tahu aku di sini, aku akan mati."

Toneri mengerti tidak ada dari semua penjelasan Hinata yang sulit dipahami, terdengar tidak benar apalagi masuk akal. Meski begitu, dia tidak mencoba meragukannya dan menggangap hal itu benar terjadi. "Kau tidak bisa mati bila dia tidak mengetahui kelemahanmu." Toneri mengingatkan. "Naruto telah memberikan buku berisi kelemahan kita kepada seseorang, jadi kau akan baik-baik saja."

"Masalahnya aku tidak berasal dari tempat ini." Hinata semakin kebinggungan. Toneri sama sekali tidak mengerti bahkan ketika dia berusaha untuk mengerti. "Semua hal adalah kelemahanku. Tidak seperti kalian, aku akan mati bila dia menikamku dengan pisau."

Lagi-lagi Toneri dibuat binggung, tapi tetap konsisten berusaha memahami masalah Hinata. "Kita tidak bisa selamanya di sini. Mungkin aku bisa membantumu meninggalkan istana?"

Hinata menaruh ribuan harapan pada kata-kata Toneri, menatapnya dalam dan bertanya, "Kau punya ide?"

"Ini ide gila yang akan sangat menyakitkan, tapi aku tidak bisa mati, bukan?" Toneri tersenyum kikuk sembari mengelus tengkuknya yang tak gatal. "Anggap saja membantumu kembali ke akademi adalah balasanku karena kau sudah menyelamatkan aku."

Toneri sukarela menawarkan diri dan menyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja, tapi Hinata cemas. Sialnya Hinata tidak punya pilihan. Bersembunyi di akademi lebih baik daripada di dalam istana, pikirnya.

Mereka berdua kompak tersentak, kontak mata dan pembicaraan disela oleh suara bel berbunyi. Toneri bergumam, "Itu pasti Deidara ... dia membunuh seseorang." Ada amarah dan penyesalan di wajah Toneri, dia berusaha menyembunyikannya dan fokus pada apa yang harus dilakukan. "Pastikan kau berhati-hati dengannya." Dia berdiri dan mengulurkan tangan ke arah Hinata. "Aku akan mengalihkan perhatian Naruto. Hitung sampai seratus dan keluar dari sini."

TO BE CONTINUE …

Hi, guys.

Bye guys.