Mau tidak mau Hinata menggangukkan kepala, menerima bantuan Toneri. Dia meraih tangan Toneri dan membiarkan lelaki itu membantunya berdiri dalam satu kali tarikkan. "Tolong berhati-hati," pinta Hinata, kecemasan di wajahnya membuat Toneri tersenyum hangat.
"Kau akan menjadi orang pertama yang aku temui setelah aku kembali ke akademi, jadi jangan cemas." Dia pergi setelah perintah, "mulai menghitung."
Hinata melakukannya, begitupula dengan Toneri. Dia membokong dua prajurit yang menjaga di dekat pintu keluar dan berlari ke ruang singgahsana.
"Lima puluh tujuh." Hinata meremas tangan di depan dada, memejamkan mata erat tanpa berhenti berhitung atau berdoa.
.
.
.
Disclaimer : Demi apapun, Naruto bukan punya saya, punya Masashi Sensei, saya hanya pinjam saja.
BENTENG KELEMAHAN
(Hati hati typo, tulisan mendadak hilang, OOC, AU dan lain-lain. Udh usahain sebagus mungkin)
Benteng Kelemahan by Authors03
.
.
Chapter 07
.
.
.
.
Toneri ngos-ngosan, dia membuka pintu besar di depannya setelah puas mengambil nafas. Naruto duduk di kursi singgahsana, menopang pipi dan menatap lurus ke arahnya. Dia telah menyadari apa yang Toneri lakukan, satu detik setelah membokong dua prajuritnya, tapi dia hanya duduk dan menunggu untuk tahu apa yang coba Toneri lakukan. Tidak menyangka dia akan datang dengan pandangan gagah berani.
Toneri menyusuri karpet. Naruto mengangkat kepala dan memperbaiki posisi duduk menjadi lebih tegak, berkata, "sangat menyebalkan ketika kau tidak bisa membunuh seseorang dengan mudah'kan?" Naruto frustasi setelah banyak gagal membunuh karena hal gila yang disebut kelemahan. Mengapa itu perlu? Mengapa semua orang tidak bisa mati saja dan malah menyulitkannya?
"Tidakkah dirimu berpikir itu adalah ketentuan hidup yang masuk akal?" tanya Toneri kembali. Naruto mengangkat sebelah alis sebagai tanda tanya dan sang lawan bicara melanjutkan, "karena bila tidak, tempat ini akan dipenuhi oleh mayat."
Naruto menyunggingkan senyuman miring, seolah puas mendengar pernyataan yang benar. "Jika aku bisa membunuh kalian semudah membalik telapak tangan, akan aku tumpuk mayat kalian di satu tempat dan membangun gunung." Kata-katanya menggerikan, Toneri tidak mengerti bagaimana bisa Naruto menjadi seperti itu. Namun, abaikan karena dia tidak datang untuk membahas betapa kejamnya sang raja
"Rajaku." Toneri menundukkan kepala, mengalihkan pembicaraan, "maafkan aku karena telah menerobos keluar dari penjara."
"Kau melakukannya untuk datang kemari dan minta maaf?"
"Tidak, Lord."
"Lalu, apa alasanmu melakukannya?"
"Seratus!" Hinata membuka mata dan berlari sesuai perintah Toneri. Sialnya, terlambat sudah untuk mengingat bahwa dia melupakan hal paling penting yaitu meminta petunjuk jalan. Ini hari pertama Hinata di istana, dia tidak tahu harus pergi ke mana setelah keluar dari wilayah bawah tanah.
Hinata berhenti ketika melihat dua orang prajurit berjalan dari sisi kanan ke kiri. "Bagaimana cara keluar dari tempat ini?" Istana sangat luas dan memiliki banyak pintu dan lorong. Hinata kebinggungan dan kehabisan waktu. Setelah puas menebak, dia berbelok ke kiri mengikuti prajurit tadi.
"Beri kami kesempatan untuk memperbaiki apa yang salah," pinta Toneri. Dia tidak banyak tahu apa yang terjadi selain Naruto kehilangan seseorang dan menginginkan orang itu untuk kembali. Toneri hanya bisa memanfaatkan sedikit pengetahuan itu. Apa pun harus dia lakukan selama Naruto tidak berfokus pada kekuatannya dan berakhir merasakan kehadiran seorang perempuan asing mencoba keluar dari istana.
"Apa yang bisa kau perbaiki?" Emosi Naruto terpancing, harapan yang hendak Toneri berikan menghadirkan perasaan sakit dan takut akan usaha berakhir sia-sia.
"Dirimu tidak mungkin lupa tempat apa ini, Lord. Kita memiliki semua sihir dan kehebatan yang tidak dimiliki orang lain. Kita punya pengetahuan yang paling banyak dari kerajaan lain dan jika kita berusaha, kita akan menemukan setidaknya satu cara."
Naruto berdiri setelah sepuluh detik termenung. Toneri berusaha tetap tenang, masih berdiri dengan kokoh di tempatnya sampai Naruto mendekat dan berhenti tepat di hadapannya. "Tidak ada hal seperti itu," kata Naruto ketika menyentuh pundak Toneri. Dia menatap dalam matanya bagaikan sebilah pisau. "Pernahkah kau menebak-nebak apa yang telah aku lakukan selama satu tahun terakhir diam dan memohon? Kau tidak tahu sejauh apa usahaku, dan kau kemari dengan ide bodoh itu?"
Emosi Naruto meluap, dia mencengkram leher Toneri dan membuatnya terdorong mundur. "Apa kau sedang meremehkanku?" Naruto terprovokasi atas tindakkan Toneri, berpikir bagaimana bisa dia sangat berani menyarankan sesuatu tanpa tahu sejauh apa Naruto telah berusaha. "Kau berpikir aku diam selama satu tahun ini hanya untuk mengunci diriku dan tidak melakukan apa pun?"
Naruto telah mencoba semua hal, dari A sampai Z, dari atas sampai bawah, barat sampai timur, semua tanpa terkecuali dan tidak ada satu pun cara yang berhasil. Naruto putus asa. Karena itu dia menyakiti orang lain agar mereka merasakan sakit yang sama dan berharap kegilaan itu bisa mengobati lukanya atas kehilangan.
"Lord!" Toneri kesulitan bernafas, dia menarik tangan Naruto tapi cengkraman lelaki itu bagaikan batu besar. "Ugh!!!" Toneri tidak ingin mati, cengkraman Naruto tidak sedikitpun melonggar.
"Sekarang semua orang membuatku marah. Aku—" Naruto dijeda oleh pintu ruangan yang tiba-tiba terbuka. Hinata berpikir itu adalah pintu keluar karena ukurannya yang besar, tidak menyangka dia malah bertatap muka dengan Naruto dan tak sengaja melihat Toneri sekarat di cengkramannya.
Naruto tersentak hingga pegangannya pada leher Toneri spontan terlepas dan menyebabkannya terjatuh. Toneri menyentuh lehernya yang memerah, berbalik menatap siapa yang sedang Naruto tatap dan dikejutkan oleh keberadaan Hinata yang tidak diharapkan. Perempuan itu membeku dengan nafas yang menyangkut di kerongkongan, bahkan tidak mengedipkan mata yang mulai mengering.
"Kau …" Naruto tidak bergerak karena meragukan matanya sendiri bahwa itu benar-benar adalah Hinata yang selama ini dia cari sementara Hinata terlalu syok untuk sanggup mempercayai kesialan hari ini.
"Hinata!" sebut Toneri, membuat Hinata mengalihkan pandangan dari Naruto untuk menatapnya. "Lari, Hinata!" perintahnya, spontan membuat Hinata mengambil langkah mundur dan melarikan diri. Dia bergerak lebih cepat dari yang dia sanggup, nasibnya tidak baik karena Naruto memiliki reflek yang bagus.
Naruto melupakan Toneri detik itu juga dan berlari menyusul Hinata. "Oh, sial!" Toneri buru-buru menyusul, keluar dari ruangan singgahsana dan kehilangan jejak. "Ternyata dia serius." Toneri bergumam lemah, tidak habis berpikir bagaimana bisa Hinata tidak bercanda soal Naruto sangat membenci dan ingin membunuhnya. Toneri menatap sekitar, menebak-nebak ke mana mereka pergi dan memutuskan untuk berbelok ke kanan.
"Aku perintahkan kau untuk berhenti!" Naruto terlalu terkejut sampai melupakan semua hal termaksud kekuatan. Dia berlari seperti manusia biasa, mengejar Hinata yang berlari semakin kencang berbelok ke barat. Nafas Hinata seperti akan putus dibuat lelah tapi itu alasan gila untuk berhenti. Hinata menoleh sejenak dan matanya terbelalak menyadari Naruto tidak ada lagi di belakangnya.
Naruto ingat pada kekuatan, dia menggunakannya untuk berpindah di depan Hinata dan terlambat sudah ketika Hinata menyadarinya. Hinata mengembalikan pandangan ke jalan dan kakinya terlambat mengerem. Dia berakhir dengan menabrak Naruto. Pemuda itu tetap berdiri tegak, tidak bergeser satu inci pun setelah tabrakkan keras itu sementara Hinata terpental dan berakhir tersungkur.
Andai Hinata memasuki kisah romantis, tabrakkan itu akan berakhir indah di mana Naruto menangkap tubuhnya dan memulai acara tatap-tatapan. Sayang ini merupakan kisah horor. Naruto memunculkan pedang di udara, mencengkram pegangannya erat dan mengarahkan ujung tajam itu pada wajah Hinata.
Hinata malang hanya bisa gemetar ketakutan dan sembarangan berbicara, "kau tahu pedang itu tidak bisa membunuhku." Hinata tidak ingin mati, berharap Naruto tidak akan menusuknya saat tahu itu akan menjadi usaha sia-sia. Hanya itu yang bisa dia lakukan setelah lari tampak mustahil.
"Aku tahu," kata Naruto, tenang dan mematikan. Naruto ingat betul hanya sebuah kelemahan yang bisa digunakan untuk membunuh. "Tapi rasanya tetap menyenangkan bisa melihatmu kesakitan!" Dia menghunus pedang tepat pada jantung Hinata dan memutarnya untuk menyakitinya lebih banyak lagi.
TO BE CONTINUE …
Hi, guys
Gimana-gimana pertemuan perdana mereka ini awokwkw aku kasihan sama Hinata tapi aku pasti sudah gila karena ada sedikit rasa di mana aku pikir itu sangat lucu.
Btw maaf ya aku udh berhari-hari ga up. Aku sekarang sudah menikah, surprise! Ehehe ada jadwal di mana aku sibuk ini dan itu. Tapi aku usahakan untuk rajin update karena aku pun pengen cepat cepat nyelesaikan kisah ini dan berlanjut pada kisah baru yang udh ga sabar ingin aku tunjukkan.
Sekian dan bye bye
