Hari itu di café. Itu bukan hari di mana Toneri memutuskan untuk mendapatkan Hinata menggunakan cara apa pun, tapi hari itu adalah di mana hatinya terluka dan dia merasa sedih.

"Di café hari itu, ketika kau beritahu aku kalian memutuskan untuk menikah."

Hinata spontan mencoba mengingat hari yang Toneri singgung. "Cafe?" Matanya mengerjap sebelum menatap kosong ke depan, mulai menerawang hari yang Toneri sebutkan.

.

.

.

Disclaimer : Demi apapun, Naruto bukan punya saya, punya Masashi Sensei, saya hanya pinjam saja.

Pandangan Pertama

(Hati hati typo, tulisan mendadak hilang, OOC, AU dan lain-lain. Udh usahain sebagus mungkin)

by Authors03

.

.

Chapter 04

.

.

FLASHBACK

"Huft!" Hinata memasuki cafe dengan meniup nafas, dia menyapu ujung kepala yang sedikit basah karana hujan dadakkan sembari menggelap alas flastshoes di atas keset welcome. Setelahnya, matanya mulai mencari-cari seseorang dan senyuman hadir dikala berhasil menemukan pria itu di salah satu meja yang tersusun di samping dinding yang digantikan oleh kaca.

Hinata melambai sebentar dan berjalan memghampiri pria yang sudah menyadari kedatangannya itu. "Hujan tiba-tiba turun deras, untung aku sudah dekat," kata Hinata sembari mengambil duduk di depan pria itu, meja keramik memisahkan mereka.

"Syukurlah," kata pemuda itu sembari menyodorkan sapu tangan bewarna coklat.

"Terima kasih, Toneri," ucap Hinata sembari menerima kain tipis itu. Dia gunakan untuk menggelap wajah yang sedikit basah, mereka bersama-sama menatap keluar kaca bening. "Aku pikir Naruto tidak akan datang karena hujan."

Mereka tidak bertemu untuk hal penting, hanya makan siang bersama seperti yang sering mereka lakukan. "Haruskah aku meneleponnya? Dia akan datang jika aku memintanya," tawar Toneri.

Hinata menatap Toneri dan tersenyum kecut. "Kau benar. Naruto akan datang bila temannya memintanya datang, tapi dia akan beralasan hujan terlalu deras bila aku yang memintanya datang bahkan ketika dia punya mobil, payung dan jas hujan."

Hinata tidak membual dan itu adalah kenyataan. Naruto sudah seperti itu di awal mereka berpacaran sampai detik ini. Hinata mencoba memakluminya mengingat ini juga bukan pertemuan penting. Tiba-tiba Hinata tergelak kecil, mengingat hal-hal lucu bersama Naruto. "Aku bertanya padanya apa dia akan menerobos badai untukku, dia bilang dia akan … setelah badainya berhenti. Aku jengkel dengan jawabannya tapi dia manusia yang logis."

"Kalau aku, aku akan menembus badai itu hanya dengan jas hujan untukmu." Toneri menarik kedua sudut bibirnya menampilkan senyuman tipis. Dalam hati, dia berterima kasih pada hujan yang telah menahan Naruto hingga mereka bisa duduk hanya berdua, itu adalah hal yang hampir tidak pernah terjadi karena Hinata selalu memastikan Naruto ada di mana pun. "Kalian benar-benar akan menikah?" Toneri sudah sedari tadi ingin melontarkan pertanyaan itu, akhirnya bisa dia lakukan setelah kata-katanya dianggap guyonan oleh sang lawan bicara.

Hinata menilai raut wajah Toneri sebentar sebelum menanggapi, "itu rencananya. Mengapa? Kau terlihat lebih ragu dariku." Hinata terkekeh setelah ejekan kecilnya.

"Tidak ... hanya kau selalu mengeluh soal Naruto." Toneri ingat semua hal yang Hinata pernah katakan soal Naruto dan karena itu binggung mengapa Hinata malah ingin menikahinya. "Kau sendiri bilang kalian sudah terlahir berseberangan. Kalian tidak pernah cocok atau memiliki kesukaan yang sama bahkan untuk hal kecil pun. Kau suka pasta sementara Naruto suka indomie. Aku hanya penasaran mengapa kau tetap bersamanya."

Hinata tergelak geli mendengar penjelasan Toneri, cara Toneri berbicara membuatnya terdengar seperti anak kecil yang sedang melontarkan protes. "Hm ... aku pikir alasanku tidak akan pernah berubah. Aku menyukai Naruto karena dia pria baik. Bahkan ketika dia hanya punya kebaikan dan tidak bisa memberi semua yang aku inginkan, aku tetap akan memilihnya. Aku tidak ingin menyakiti hatinya." Sebut Hinata baik atau bodoh karena di awal menerima Naruto sebagai kekasih, dia telah menerima semua kekurangan dan ketidakbahagiaan hanya untuk satu alasan, dia tidak sanggup menyakiti hati Naruto.

"Bahkan ketika ada seorang pria yang mencintaimu lebih dari dia? Ketika pria itu lebih tampan dan kaya dan akan memberimu segalanya? Kau yakin kau tidak akan berpaling hanya karena kau tidak mau menyakiti Naruto yang baik hatinya?"

"Huum. Mungkin aku akan menyesal tapi aku tetap tidak ingin berpaling." Hinata selalu berkata jujur kepada Toneri karena merasa hanya Toneri yang bisa menerima pendapatnya secara baik, berbeda dengan Naruto yang kemungkinan besar akan tersinggung.

"Bahkan jika kau jatuh cinta pada orang lain? Bagaimana jika itu terjadi? Kau benar-benar tidak akan melakukannya? Maksudku, bagaimana jika kau tidak bahagia? Selama ini kau adalah orang yang selalu mencoba mengerti sementara Naruto bahkan tidak berusaha keluar dari zona amannya untukmu."

Hinata menanggapi dengan senyuman tipis. Di dalam otaknya, tidak ada yang berubah tidak peduli seperti apa Toneri memberinya pilihan. "Aku hanya akan meninggalkan Naruto kalau dia selingkuh. Hanya itu."

"Hanya itu ...?" Toneri berusaha menyembunyikan rasa kecewa, dia tahu betul bahwa Naruto selingkuh adalah hal yang mustahil. "Bahkan jika ... benar-benar ada lelaki yang siap menggantikan tempat Naruto?"

Suara Toneri terlalu pelan, tidak sampai di telinga Hinata. "Kau terlalu mencemaskan kami," kata Hinata sembari tersenyum geli. "Kami akan baik-baik saja. Naruto sangat mencintaiku, dia tidak akan membiarkan aku tersiksa."

Namun, Toneri melihatnya secara berbeda. Naruto tidak pernah berusaha keras karena Hinata selalu mengerti dan Hinata selalu sedih karena Naruto tidak bisa menjadi pasangan yang dia inginkan. Meski pada akhirnya Hinata memutuskan dia akan bertahan, Toneri menjadi orang yang sulit menerima kenyataan di sini. Hinata pantas mendapatkan pria yang lebih baik dari Naruto, itu yang Toneri pikirkan.

"Kau benar-benar mencintainya? Maksudku, kau bersamanya setelah semua hal hanya karena kau mudah kasihan dan tidak mau menyakiti siapa pun. Apalagi Naruto hidup sendiri. Dia tidak punya orangtua atau sodara, kau yakin menikahinya benar-benar tulus dari hatimu?"

"Itu adalah pilihanku," jawab Hinata, ekpresi wajahnya begitu yakin.

Toneri tidak puas pada jawaban Hinata, sebaliknya sangat menolak cara berpikir Hinata. "Oke, sekarang bayangkan, bagaimana jika kau bertemu pria lain yang lebih segalanya terlebih dulu sebelum Naruto?" Toneri terdengar tak sabar, menambahkan, "contoh saja, sebut pria itu adalah aku. Bila kita terlebih dulu bertemu sebelum kau dan Naruto. Mungkinkah kau akan memilihku?"

Hinata tidak langsung menjawab tapi menjaga kontak mata tetap terkunci. Toneri melihat sedikit keraguan, sepertinya Hinata tengah menimbang di antara menjawab jujur atau berbohong. "Aku akan memilihmu." Pada akhirnya dia menjawab sesuai kata hatinya. "Kau ingat aku pernah berkata kau adalah teman terbaik yang pernah aku kenal? Aku suka caramu menanggapi pembicaraan yang aku bawa, aku suka ketika kau mendengarkan dan aku hanya suka kau memperhatikan hal-hal kecil. Kau adalah semua yang tidak bisa Naruto lakukan tapi kau tidak menyukaiku." Hinata mengakhiri kata-katanya dengan kekehan kecil. "Bahkan jika iya, aku tetap akan memilih Naruto."

"Hanya karena kau terlebih dulu mengenalnya ...," gumam Toneri. "Ini tidak adil ..." Hinata begitu keras kepala, membuat Toneri tidak berani dengan serius mengungkap bahwa dia mencintainya, ingin menggantikan tempat Naruto dan memperlakukannya seribu kali lebih baik.

"Aku mungkin mengeluh terlalu banyak padamu, haha …" Hinata tertawa kikuk sembari mengelus tengkuk yang tak gatal. "Kau mungkin lelah mendengar ocehanku soal Naruto tapi terima kasih karena kau tidak pernah mengadu."

"Kau pikir aku akan mengadu? Tentu saja tidak! Naruto akan tersinggung dan aku tidak mau kau bertengkar dengannya," ketus Toneri, berusaha keras untuk terlihat ceria dan baik-baik saja padahal hatinya sudah bagaikan kaca yang retak dan hancur berantakan.

"Terima kasih," ucap Hinata tulus, kemudian memalingkan wajah ke langit gelap yang masih meneteskan jutaan air hujan.

Ekpresi wajah Toneri berubah lirih ketika Hinata tidak lagi menatapnya. Cukup lama dia terdiam sebelum bergumam, "jika Naruto menyakitimu atau membuatmu menangis, aku tidak akan memaafkannya. Aku akan mempertaruhkan segalanya untuk menyeretmu keluar dari rumahnya."

Hinata melirik sejenak dan hanya tersenyum penuh ejek, menggangap kata-kata Toneri tidak lebih dari candaan dan seolah memberitahu bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi. Hinata kembali menatap keluar, tapi Toneri tidak tertarik pada hujan ataupun langit. Semua yang ingin dia lihat selalu adalah wajah cantik Hinata. Perempuan manis nan menyenangkan untuk dipandang, si murah senyum, sedikit kekanakan, keras kepala dan selalu penuh semangat. Sayangnya sedikit tidak pandai dalam memilih pasangan hidup.

TO BE CONTINUE.