Bencana APTX 4869
(Lanjutan Di Sisimu Sampai Akhir)
By : pipi_tembam
"Aku tahu! Jawabannya adalah..." Terdengar suara seorang gadis kecil yang kegirangan ketika melihat ibunya berjalan ke halaman belakang. Gadis itu berlari untuk memeluk ibunya, "Okasan!"
"Eh?" ibunya menggendong gadis kecil tersebut, "Ada apa?" tanyanya pada putrinya.
"Yang selalu bersinar tidak peduli siang, sore maupun malam. Itu adalah dirimu Okasan! Kau bersinar sepanjang waktu," gadis itu mengecup pipi ibunya.
"Ah, Otosan pasti memberimu teka-teki lagi ya?" Shiho menatap putrinya penuh sayang.
"Ehm," Akemi Kudou menggangguk senang.
"Semakin hari dia semakin pintar saja," seorang pria mendekati mereka.
"Otosan!" Akemi memanggil ayahnya.
"Besok aku akan memberikan teka-teki yang lebih sulit," Shinichi menepuk lunak kepala putrinya. Dia sangat menyayangi Akemi yang penampilannya persis seperti Shiho sewaktu tubuhnya mengecil. Hanya saja dia versi riang gembira tanpa tsunderenya.
"Oh ayolah, cukup untuk hari ini. Aku telah membuat stoberi cake kesukaanmu," Shiho berkata pada Akemi.
"Horeee! Kau benar-benar ibu terbaik di dunia ini!" seru Akemi.
"Oi, oi, cuma untuk Akemi? Kau tidak membuat kue kesukaanku?" Shinichi merajuk.
Shiho tersenyum pada suaminya, "Jangan khawatir, aku juga sudah membuatkan cheesecake kesukaanmu,"
Shinichi membalas senyumnya seraya merangkulnya, "Kau yang terbaik," gumamnya seraya mengecup pipi Shiho.
Shiho terkekeh, "Betapa beruntungnya aku memiliki dua pengguda di rumah ini,"
Mereka tertawa bersama sembari berjalan masuk ke dalam rumah.
Tidak lama setelah Shinichi lulus dari Harvard, ia menikahi Shiho. Setahun kemudian mereka dianugerahi seorang bayi perempuan yang diberi nama Akemi Kudou. Entah bagaimana, kata 'Akemi' keluar begitu saja dari bibir Shiho ketika bayinya baru lahir. Shinichi pun menyetujui nama itu. Sekarang Akemi sudah berusia lima tahun. Dia sama seperti ibunya yang memiliki rambut kemerahan dan mata besar. Namun keceriaannya diwarisi dari ayahnya. Kepintarannya gabungan dari kedua orang tuanya. Dia mencintai misteri, matematika dan pengetahuan. Kepandaiannya melebihi anak-anak seusianya.
Kantor agensi detektif Shinichi berkembang pesat. Ia selalu menerima banyak kasus dimana sekarang ia tidak bisa menanganinya semua hingga ia memperkerjakan beberapa detektif hebat dan staf-staf untuk mengurusnya. Sementara Shiho yang memiliki amnesia permanen tidak bisa bekerja lagi sebagai ilmuwan. Bahkan dirinya sendiri tidak pernah tahu bahwa dia mantan ilmuwan. Sekarang ia mengajar matematika untuk sebuah sekolah dasar. Shinichi terkadang menceritakan perihal kasus-kasus yang dihadapinya kepada istrinya. Shiho meski amnesia namun instingnya masih tajam dan bisa memberikan beberapa ide. Namun ketika kasusnya terlalu sulit, sakit kepalanya akan kembali. Ketika itu terjadi, Shinichi mengingatkannya untuk berhenti.
"Maafkan aku Shiho. Aku sering tanpa sadar menceritakan semua permasalahanku padamu," kata Shinichi suatu malam ketika Shiho mendapat serangan sakit kepala.
"Tidak apa-apa," sahut Shiho seraya tersenyum sambil sedikit meringis, "Aku senang kau mau menceritakannya padaku seakan aku sering melakukannya dulu,"
"Ya kau sering melakukannya sebelum kecelakaan," Shinichi menghela napas, "Aku harus mengingatkan diriku sendiri sebelum menyakitimu,"
Jika sudah seperti itu, Shiho akan memeluk pinggang suaminya dan memberikan kecupan ringan di bibirnya, "Tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja," bisiknya.
Shinichi membalas pelukannya erat seraya balas berbisik, "Aku hanya tidak mau kehilanganmu lagi,"
"Tentu saja tidak. Aku akan berada di sisimu sampai akhir,"
"Aku mencintaimu Shiho,"
"Aku juga mencintaimu Shinichi,"
.
.
.
.
.
"Kami akan sampai kira-kira jam tujuh pagi," terdengar Shiho berbicara dengan Profesor Agasa di telepon pada suatu pagi.
"Ok, oke aku akan menjemput kalian," sahut Profesor Agasa.
"Tidak perlu Otosan. Kami tidak mau merepotkanmu. Sebaiknya kau cek berat tubuhmu. Jika ada sedikit saja overload, aku akan membuatkan jadwal diet superketat untukmu. Kau akan kuawasi selama liburan musim panas Akemi," Shiho memperingatkan.
Kasihan Hakase... Shiho amnesia atau tidak, dia tetap mengawasinya diet... Shinichi nyengir dalam hati sambil merapikan dasinya.
"Oke, aku harus kerja sekarang. Sampai ketemu besok lusa," Shiho menyudahi pembicaraan di telepon kemudian menghela napas seraya menggerutu, "Apa yang harus kulakukan? Setiap kali aku membuatkan jadwal diet untuknya, dia malah tambah gemuk,"
"Biarkan saja, setiap kali kau menyuruhnya diet, setiap itu pula dia akan diam-diam mencuri makan," kata Shinichi.
"Tidak, aku tidak bisa. Dia bisa sebesar balon udara jika aku membiarkannya," sahut Shiho seraya menghampiri suaminya untuk membantunya merapikan dasi.
"Oke oke, santai. Hari ini adalah terakhir kali kita bekerja sebelum pergi ke Jepang. Kau seharusnya tidak stress dengan berat tubuh ayahmu. Ini pertama kalinya juga untuk Akemi liburan musim panas di Jepang. Kita harus menikmatinya,"
"Lihat siapa yang bicara. Kau yakin kita bisa menikmati liburan musim panas tanpa mendengar teriakan wanita, Tantei-San? Kau kan magnet mayat," Shiho mengangkat sebelah alisnya.
Shinichi terkekeh salah tingkah, "Tentu kita akan menikmatinya," kemudian ia meraih pinggang Shiho.
"Eh?" Shiho mengerjap.
"Kita akan menikmatinya sampai aku sukses membuatmu hamil lagi," Shinichi nyengir menggoda.
"Oh tidak!" protes Shiho.
"Kenapa? Kau tidak mau memberikan Akemi adik laki-laki atau perempuan?" Shinichi berkata penuh harap.
"Aku tidak yakin apakah aku siap untuk menambah satu detektif lagi," Shiho teringat Akemi yang sangat antusias dan penuh rasa ingin tahu. Ia seringkali lelah menjawab semua pertanyaannya.
"Hati-hati akan perkataanmu," goda Shinichi, "Aku akan membuatmu melahirkan sebelas detektif seperti tim sepakbola..." kemudian ia mengecupnya penuh nafsu.
Shiho menanggapinya dengan sama bernafsunya sebelum perlahan menjauhkan diri, "Kita baru melakukannya semalam. Masih belum puas?"
"Aku tidak pernah puas akan dirimu,"
Mereka berciuman lagi.
"Cukup... Kita akan terlambat..." pinta Shiho setengah hati.
"Okay dear. Kita lanjut lagi nanti malam,"
"Setuju," Shiho nyengir.
Keluarga Kudou akhirnya tiba di Jepang. Sudah kurang lebih enam tahun sejak terakhir kali Shinichi dan Shiho ke Jepang sebelum mereka menikah. Sekarang Shinichi percaya Shiho sudah cukup stabil untuk bertemu dengan teman-teman lama mereka. Mereka reuni di sebuah restoran bersama Ran, Sonoko dan keluarga mereka. Ran telah menikah dengan Tomoaki Araide dan memiliki seorang putra bernama Ichiro Araide yang dua tahun lebih tua dari Akemi. Sonoko menikah dengan Makoto dan sekarang tengah hamil anak pertama, usia kandungannya sudah empat bulan.
"Kyaaaa... Lama tidak bertemu Tantei-San! Ya ampun sudah sembilan tahun!" teriak Sonoko riang ketika melihat Shinichi.
"Ah ya dan kau tidak pernah berubah," Shinichi nyengir.
"Dan siapa gadis kecil ini?" Sonoko menunduk menghadap Akemi.
"Ah ini putri kami, Akemi Kudou," Shinichi mengenalkan seraya menepuk kepala putrinya.
"Senang bertemu dengan anda," Akemi menyapa dalam bahasa Jepang yang lancar.
"Huaaaa kawaiii! Aku harap bayiku selucu dia nanti!" ujar Sonoko seraya mengelus-elus perutnya.
"Meski dia tinggal di Amerika tapi bahasa Jepangnya masih bagus," Ran berkata kagum pada Shinichi. Ketika ia melihat Akemi, ia teringat akan Ai Haibara.
"Tentu saja, dia tidak boleh melupakan budaya kita," sahut Shinichi.
"Apakah mereka teman-teman SMA kita seperti yang kau ceritakan itu?" tanya Shiho yang berbisik di telinga suaminya.
"Ehm," Shinichi menganguk.
"Aku tidak pernah melihat fotonya,"
"Yeaaah di album yang lain," Shinichi menyeringai.
"Apa kabarmu Shiho-Chan?" Ran menyapa Shiho. Dia sangat bersyukur dapat bertemu Shiho. Terakhir kali ia melihat Shiho sewaktu masih dalam keadaan koma di rumah sakit. Ketika ia mendengar Shiho akhirnya sadar, ia sangat lega meski Shiho harus kehilangan ingatannya. Sekarang ketika ia melihat Shiho, ia merasakan keajaiban. Shiho terlihat cantik, pandai dan elegan. Tidak ada bekas-bekas pernah koma pada dirinya.
"Kabarku baik, Mouri-San," Shiho membalas sapaannya, ia tidak mengerti akan tatapan Ran yang berkaca-kaca terhadap dirinya.
Makan malam itu berlangsung dengan lancar. Shinichi telah memperingatkan Ran dan Sonoko tentang kondisi Shiho, agar mereka dapat berhati-hati ketika bercerita tentang masa lalu. Suami-suami mereka juga sudah mengerti. Mereka hanya berbincang-bincang ringan. Akemi dan Ichiro dengan cepat menjadi akrab satu sama lain.
"Chiro-Chan berjanji untuk menemaniku bermain selama liburan musim panas ini," Akemi berkata pada ayahnya ketika mereka berjalan kembali ke rumah.
"Oh ya?" Shinichi menunduk menatap putrinya.
"Uhm. Bolehkah Otosan?"
"Tentu saja boleh. Tapi jangan lupa mengajak kakek untuk pergi bersamamu, oke?"
"Oke!"
Kemudian Shinichi menatap Shiho yang hanya terdiam setelah pergi dari restoran.
"Kau baik-baik saja Shiho?" tanya Shinichi.
"Eh?" Shiho menatap Shinichi, "Aku baik-baik saja,"
"Ada sesuatu yang mengganggumu?"
"Aku hanya tidak mengerti kenapa Mouri-San memandangku seperti itu? Dia terlihat menahan tangis sewaktu melihatku,"
"Aku mengerti. Terakhir kali dia melihatmu dalam keadaan koma. Karena itulah mungkin dia sekarang merasa bahagia dan terharu karena kau baik-baik saja,"
"Apakah kita berempat benar-benar dekat sewaktu SMA?"
"Ah ya, kita cukup dekat," Shinichi mulai merasa tidak nyaman.
"Enam tahun lalu sewaktu kita kemari, kenapa kita tidak ketemuan?"
"Kau baru sadar dari koma dan masih bingung. Aku tidak mau menambah kebingunganmu,"
"Aku mengerti,"
Shinichi menghela napas perlahan, merasa investigasi Shiho sudah berakhir. Namun perkiraannya salah.
"Lalu bagaimana dengan detektif cilik? Kemana mereka? Kalau dilihat dari foto sepertinya kita juga cukup dekat,"
"Jujur saja, aku tidak tahu dimana mereka. Setelah lulus SD kita semua pindah sekolah, berpisah dan perlahan-lahan hilang kontak,"
"Oh ya?"
"Kau tidak percaya?"
Shiho tersenyum, "Tentu saja aku percaya. Aku hanya bertanya, jangan cemberut begitu,"
"Aku akan memberi hukuman untukmu nanti malam," Shinichi menunjukan seringai berbahaya.
"Aku tidak dengar itu," Shiho juga menyeringai.
.
.
.
.
.
Ini saatnya, pikir Shiho, waktu yang tepat untuk membersihkan rumah. Mereka sudah meninggalkan rumah ini selama enam tahun. Ada banyak debu dan laba-laba di tiap sudutnya. Shinichi keluar rumah lebih cepat hari ini karena Inspektur Megure meminta bantuannya untuk menyelidiki kasus yang sulit. Akemi jalan-jalan dengan Profesor Agasa dan Ichiro Araide. Dan sekarang me time nya sebagai ibu rumah tangga adalah membersihkan rumah. Ia memulainya dari perpustakaan.
Shiho mengerjap ketika melihat buku-buku itu. Sebagian besar adalah buku misteri. Dia sungguh tidak mengerti kenapa suaminya begitu ketagihan tentang sesuatu berbau misteri. Lalu sekarang, putri mereka mewarisi deduksi itu dari ayahnya.
Shiho mendorong sebuah tangga kayu dan mulai membersihkan dari atas. Ketika ia membersihkan sebua baris buku, ia kaget karena ada barisan dimana bukunya terdorong ke dalam. Shiho mengernyit, ia tidak tahu di perpustakaan ini ada kotak rahasianya. Keingintahuannya mengalahkannya.
"Aku pulang," kata Shinichi ketika ia tiba dirumah sore hari setelah menyelesaikan investigasi. Ia berjalan ke ruang tamu untuk menemui istrinya, namun kemudian ia tertegun.
Shiho berdiri disana seraya menatap jendela besar. Di meja kecil sebelah sofa terdapat beberapa album dan USB dengan label APTX 4869. Shinichi tidak habis pikir bagaimana Shiho bisa menemukannya. Shinichi telah menyembunyikannya dengan baik di kotak rahasia di perpustakaan. Tapi itulah Shiho, yang selalu bisa membaca gelagatnya meski dia dalam keadaan amnesia atau tidak.
"Shiho..." Shinich memanggilnya ragu-ragu.
Shiho menatapnya dengan tajam. Sekian lama Shinichi tidak pernah melihat tatapan tajamnya seperti itu. Ia nyaris yakin, Shiho telah mendapatkan ingatannya kembali ketika Shiho tiba-tiba mendekatinya dan menamparnya.
"Shiho?" Shinichi menyentuh pipi bekas tamparan itu.
"Kau boho... Kau bohong padaku..." kata Shiho dengan suara bergetar menahan tangis.
"Aku bisa menjelaskan,"
"Aku selalu bertanya-tanya akan keganjilan selama ini... Kenapa tidak ada foto kita sewaktu masih bayi atau foto SMP dan SMA jika kita memang benar-benar teman sejak kecil... Tapi aku mencoba untuk melupakannya karena aku ingin percaya padamu... Dan ketika aku menemukan album ini, aku telah mengeceknya ke Teitan. Detektif cilik itu sekarang baru berusia 15 tahun. Bagaimana mungkin? Padahal kita sudah berusia 28 tahun. Kemudian aku menemukan USB ini... Aku tidak tahu bagaimana tapi aku bisa meretasnya... Sekaragn aku tahu... Aku bukan teman masa kecilmu... Aku hanya seorang wanita dari organisasi mafia... Sejak awal kau hanya mencintai Mouri-San..." Shiho sangat terpukul, ia menyentuh keningnya.
"Tenang Shiho... Aku akan menjelaskannya..." Shinichi khawatir akan sakit kepalanya.
"Apakah kita menikah?!" teriak Shiho padanya, "Atau kau hanya ingin mengawasiku karena aku berasal dari organisasi hitam yang telah membuat tubuhmu mengecil?!"
"Ya! Kita menikah!" Shinichi berseru balik, "Dan ya aku ingin mengawasimu karena aku ingin melindungimu!"
"Tapi kenapa? Kenapa kau berbohong padaku selama ini?! Kau bekerjasama dengan Suzuki-San dan Mouri-San kan? Menertawakanku karena aku seperti boneka yang tidak tahu apa-apa!"
"Kami tidak seperti itu! Kau memiliki amnesia permanen dan sakit kepala, karena itu kami menahan semua informasi ini demi keamananmu,"
Airmata mengalir di pipi Shiho, "Aku kira aku memiliki kehidupan yang sempurna. Teman masa kecil yang menjadi tunanganku dan suamiku sampai memiliki seorang putri yang mengagumkan..."
"Ya, kau memiliki semua itu..."
"Siapa sangka ternyata aku tidak punya apa-apa disini... Aku hanya seorang wanita dari kegelapan... ugh..." sakit kepalanya semakin kuat.
"Tenang Shiho.." pinta Shinichi.
"Kalau kau sungguh mencintai Mouri-San... Kenapa kau menikahiku..." Shiho meringis, "Apa sebenarnya posisiku... di hatimu..." ia jatuh pingsan.
"Shiho!" Shinichi menangkap tubuhnya tepat waktu sebelum menghantam lantai.
"Okasan!" terdengar Akemi berteriak. Ia baru saja datang bersama Profesor Agasa. Dia panik ketika melihat ibunya pingsan.
"Apa yang terjadi Shinichi?" Tanya Profesor Agasa.
Shinichi mengeratkan pelukannya akan Shiho, "Dia tahu..." gumamnya.
"Apa?"
"Dia telah mengetahui semuanya..."
Profesor Agasa melihat album dan USB itu kemudian terkesiap, "Tapi bagaimana bisa?"
Shinichi enggan berkata lebih jauh. Ia berdiri seraya menggendong Shiho, "Tolong jaga Akemi, Hakase,"
"Aku mengerti," sahut Profesor Agasa seraya merangkul Akemi.
Shinichi berlalu untuk membawa Shiho ke kamar.
Shiho mengurung diri dikamar dua hari berikutnya. Dokter telah mengatakan dia harus bedrest selama beberapa hari dan memberikan obat penenang untuk jangka pendek. Shiho tidak boleh berpikir terlalu berat, hal yang sangat sulit untuk dilakukan sekarang ini. Ia tidak mau bertemu siapapun. Ia tidak mau mendengar penjelasan Shinichi karena ia merasa sulit untuk memercayainya lagi. Yusaku dan Yukiko telah tiba di Jepang karena khawatir dengan kondisinya. Akhirnya Yukiko merasa ia harus turun tangan dalam situasi ini.
Tedapat ketukan pelan di pintu tiga kali sebelum Yukiko memasuki kamar. Dia melihat Shiho masih berbarign miring di tempat tidur. Wajahnya memandang jendela. Yukiko hanya melihat punggungnya. Ia duduk di pinggir tempat tidur seraya menaruh nampan di atas lemari kecil.
"Aku telah membuatkan sandwich kesukaanmu Shiho-Chan. Kau harus makan meski hanya sedikit," pinta Yukiko.
Shiho tidak menanggapi. Ia juga merasa kecewa dengan ibu mertuanya. Shiho menyayanginya seperti ibunya sendiri tapi Yukiko juga menyembunyikan masa lalu dirinya.
Yukiko menghela napas sedih, "Aku tahu kau marah dan kau berhak untuk itu. Kau jangan hanya menyalahkan Shin-Chan, karena aku juga bersalah dalam hal ini,"
Airmata mengalir di pipi Shiho.
"Kita semua memang berbohong tentang masa lalumu selama ini, tapi kita tidak berbohong dalam hal menyayangimu Shiho,"
Perlahan Shiho bangkit duduk dan menatap ibu mertuanya, "Kenapa Okasan? Kenapa kau tidak membiarkanku pergi untuk mengikuti program FBI? Aku mantan mafia yang telah membuat tubuh putramu menyusut. Aku bukan wanita baik-baik,"
"Tidak! Kau salah Shiho. Kau terpaksa membuat obat itu. Kau telah mengkhianati organisasi, bahkan kau mengorbankan dirimu untuk Ran-Chan dan Shin-Chan sampai koma selama tiga tahun. Kau adalah wanita yang baik. Sejak awal aku tidak pernah menyalahkanmu akan obat itu. Aku mengagumimu sebagai wanita yang kuat. Aku menyayangimu seperti putriku sendiri. Karena itulah kami tidak bisa membiarkanmu mengikuti program FBI. Kami menginginkanmu menjadi bagian dari keluarga kami,"
"Aku mengerti," gumam Shiho dengan suara sedikit bergetar, "Jadi Shinichi hanya membalas budi dengan menikahiku,"
"Tidak Shiho-Chan!" Yukiko menghampirinya dan merangkul kedua pundaknya, "Shin-Chan mencintaimu... Dia sangat mencintaimu..."
Shiho menggeleng, "Jangan berbohong lagi Okasan. Aku tahu dia sangat mencintai Mouri-San. Album itu telah menunjukkan segalanya,"
"Aku akui mereka memang berteman sejak kecil. Sebelum bertemu denganmu, Shin-Chan mengira ia mencintai Ran-Chan. Dia terjebak dan tidak bisa membedakan antara rasa suka karena kebiasaan dan benar-benar cinta. Tapi kemudian ia menyadarinya ketika ia membawamu ke rumah sakit, mengembalikanmu dari kematian dan menunggumu selama tiga tahun. Semua itu dia lakukan karena dia mencintaimu Shiho-Chan,"
"Okasan..."
"Aku tahu kau kecewa karena kau merasa hidupmu tidak sesempurna yang kau bayangkan selama ini. Karena teman masa kecil dan cinta pertama Shin-Chan bukan dirimu. Tapi itu hanya masa lalu Shiho. Masa ini dan masa depan Shin-Chan adalah milikmu. Meskipun kau dari organisasi hitam, kau tetap menyinari kami. Kau membuat Shin-Chan sangat bahagia bahkan kau memberikannya gadis kecil yang menggemaskan. Coba kau pikirkan Shiho-Chan. Apakah ada sikap Shin-Chan selama ini yang membuatmu ragu akan perasaannya untukmu sejak kau sadar sampai sekarang?"
Shiho terdiam ketika ia mengingat kembali masa-masa dirinya bersama Shinichi. Ketika ia membuka mata untuk pertama kali, Shinichi adalah orang pertama yang dilihatnya. Setelah itu, kapanpun dan kemanapun ia ingin pergi, Shinichi selalu menemaninya sambil menggandengnya. Ia teringat pesta pernikahan mereka yang indah dan juga saat kehamilannya yang lemah, Shinichi selalu menjaganya. Shinichi menemaninya dan menyemangatinya ketika ia melahirkan Akemi. Airmata kembali membanjiri wajah Shiho. Airmata penyesalan.
"Kau mengerti Shiho-Chan?"
"Okasan..." Shiho menenggelamkan wajahnya dalam bahu Yukiko.
Yukiko mengelus punggungnya, airmata juga mengalir di pipinya.
"Maafkan aku Okasan. Aku sungguh kekanakan," bisik Shiho.
"Tidak apa-apa Shiho-Chan... Kami mengerti,"
Shinichi memandang punggung Shiho. Ia tahu Shiho belum tidur. Shiho tidak pernah bisa berpura-pura tidur di hadapannya. Dua hari Shiho tidak mau bicara padanya ataupun mendengar penjelasannya. Shinichi tidak bisa menahannya lagi. Ia bergerak untuk memeluk Shiho dari belakang. Ia benar-benar merindukan aroma Shiho, ia menarik napas dalam-dalam ketika menghirup rambut Shiho.
"Kau masih marah?" Tanya Shinichi berbisik di telinganya.
"Apa mereka masih di luar sana?" Tanya Shiho dengan suara rendah.
"Apa?"
"Anggota itu, apa masih diluar sana?"
Shinichi hati-hati memilih kata-katanya, "Ya. Meskipun mereka tidak sekuat 9 tahun lalu, tapi aku yakin mereka masih diluar sana. Anggota yang masih tersisa bergerak dalam diam,"
"Bagaimana jika mereka menemukanku? Aku tidak mau membuatmu, Akemi dan yang lainnya berada dalam masalah hanya karena diriku," terdapat getaran dalam suara Shiho.
"Aku takkan membiarkannya," Shinichi mengeratkan pelukannya, "Aku selalu mengawasi pergerakan mereka dan FBI juga banyak membantuku,"
"Kau bodoh. Kenapa kau harus membuat dirimu sendiri bermasalah? Kau seharusnya membiarkanku pergi mengikuti program itu,"
Shinichi membalikkan tubuh Shiho untuk menatapnya, "Bagaimana aku bisa membiarkanmu pergi jika kau adalah kekuatanku untuk melawan mereka? Bagaimana aku memenuhi janjiku untuk melindungimu jika kau jauh dariku?"
Shiho menatap Shinich dengan mata berkaca-kaca, "Apakah kau mencintaiku sedalam itu?"
"Uhm," Shinichi mengangguk dengan wajah memerah.
Shiho menyentuh pipi suaminya yang pernah ditamparnya dua hari lalu, "Aku menamparmu kemarin. Apakah sakit?"
Shinichi menangkup tangan Shiho yang memengan pipinya, "Yeah sangat,"
"Benarkah?"
"Tapi tidak masalah. Itu menandakan aku memiliki istri yang kuat,"
Shiho hanya terkekeh lemah.
"Tidak peduli apa yang menunggu di depan nanti. Aku akan melindungimu dengan seluruh hidupku Shiho. Kita bisa menghadapinya bersama,"
"Ehm," Shiho mengangguk, "Aku istrimu yang sangat kuat kan?"
Shinichi tersenyum, "That's my woman," ia memeluknya erat dan Shiho menyurukkan wajahnya ke dadal Shinichi untuk merasakan kehangatan lebih dalam. Mereka tidur sambil berpelukan sepanjang malam itu.
.
.
.
.
.
"Senangnya kalau bisa terus seperti ini, waktu kita," gumam Shinichi seraya tersenyum. Setelah kondisi Shiho jauh lebih baik, Shinichi mengajaknya jalan-jalan ke taman kota untuk menikmati musim panas. Mereka jalan sambil bergandengan tangan seperti biasa. Profesor Agasa masih berkutat dengan pekerjaannya di ruang lab, sementara Akemi keluar bersama Yukiko dan Yusaku ke Tropical Land.
"Ah, aku tahu mereka sengaja meninggalkan kita berduaan saja,"
"Bagaimana jika kita balik ke rumah untuk membuat bayi?" usul Shinichi nyengir.
Wajah Shiho memerah, "Sudah kubilang, aku belum siap untuk tambahan detektif,"
"Siapa tahu kali ini adalah ilmuwan?"
Shiho baru saja ingin menanggapi ketika terdengar suara teriakan. Ia menghela napas panjang. Shinichi memandangnya penuh arti untuk mendapatkan ijin.
"Dua jam maksimal," kata Shiho seraya merengut.
"Aku janji bahkan lebih cepat dari itu," ujar Shinichi sambil memberikan kecupan ringan di bibir Shiho sebelum menuju tempat kejadian perkara.
Shiho menghela napas lagi sebelum memutuskan untuk duduk di bangku taman sambil menunggunya kembali.
Shiho menguap seraya menggeliat, sudah dua jam sejak Shinichi meminta ijin pergi ke tempat kejadian perkara. Di hadapannya di tengah taman terdapat beberapa anak yang bermain sepakbola dan ia tidak tahu sudah berapa babak yang dimainkan sejak ia duduk di sana. Ia menoleh kebelakang dan akhirnya ia menemukan Shinichi yang melambai sambil berlari menghampirinya dari jauh. Shiho melambai balik sembari bangkit berdiri untuk menghampirinya juga.
Syuuuut! Terdapat sebuah sepakbola melayang.
"Awas Shiho!" Shinichi memperingatkannya.
Namun Shiho tidak mampu menghindarinya. Dia merasakan sesuatu yang berat menimpa belakang kepalanya dan ia hanya bisa melihat bintang-bintang sebelum kehilangan kesadarannya.
"Shiho..." terdengar suara seorang pria muda memanggil namanya.
"Kau sudah sadar Shiho?" tanya suara seorang pria tua.
Perlahan Shiho membuka matanya dan menemukan dirinya di sebuah kamar besar. Ia bergerak untuk bangun duduk seraya meringis memegang kepalanya.
"Kau baik-baik saja Shiho?" tanya Shinichi cemas.
Shiho menatapnya dan mengerjap, "Kudou-Kun?" kemudian ia menatap Profesor Agasa, "Hakase?"
"Eh?" Shinichi dan Profesor Agasa terkesiap.
Shiho memandang berkeliling, "Bukankah ini rumahmu Kudou-Kun? Kenapa aku disini?"
Shinichi dan Profesor Agasa bertukar pandang sebelum sama-sama menghela napas.
Ada masalah baru.
Sekarang mereka bertiga berkumpul di ruang tamu. Shiho duduk di sofa sambil menyilangkan kaki dan melipat tangannya. Shinichi dan Profesor Agasa duduk di seberangnya, tampak terkejut. Shinichi menatapnya lekat-lekat. Dilihat dari gesturenya, ia yakin Miyano Shiho telah kembali. Ia tampak arogan seperti sifat aslinya 9 tahun lalu sebelum koma.
"Jadi, sampai kapan kalian mau melihatku seperti itu?" Shiho memecah keheningan.
"Apa kau sudah ingat sekarang Shiho-Kun?" tanya Profesor Agasa.
"Well, apa yang tepatnya aku lupakan?"
"Kenangan terakhir apa yang kau ingat?" tanya Shinichi.
Shiho terlihat berpikir seraya menopang dagu dengan jarinya, "Kenangan terakhir adalah..." Gumamnya, "Aku kira aku akan mati dipelukanmu... Setelah Korn menembakku berulang kali dan kemudian aku terbangun disini... Apa yang terjadi setelah itu?"
"Kau koma selama tiga tahun," Shinichi memberitahu.
"Eh?" Shiho terkesiap.
Kemudian Shinichi menceritakan tentang koma dan amnesia permanennya. Lalu tentang mereka menolak penawaran dari FBI mengenai program mereka dan menciptakan latar belakang baru untuknya sebagai Shiho Hiroshi. Shinichi juga memberitahu perihal sakit kepala kambuhannya sehingga ia tidak bisa bekerja sebagai ilmuwan lagi. Ia guru SD matematika sekarang. Shinichi belum sampai menjelaskan tentang pernikahan mereka.
Shiho menatap Profesor Agasa, "Jadi, kau memberikan nama keluargamu untuk melindungiku? Arigatou, Hakase," ucapnya lembut.
"Tidak masalah Shiho-Kun. Aku memang sudah menganggapmu seperti putriku sendiri sejak dulu," kata Profesor Agasa.
Shiho menunjukkan senyum hangatnya sebelum kembali pada Shinichi, "Tapi kenapa Kudou-Kun? Kenapa repot-repot melindungiku? Kenapa kau tidak menyerahkanku pada FBI untuk mengikuti programnya?"
Ini dia... Batin Shinichi dan dia dapat merasakan jantungnya berdegup dengan cepat, "Karena ada janji yang harus aku tepati..."
"Eh?"
"Untuk melindungimu..."
Mereka terpaku satu sama lain. Mendadak terdengar seruan seorang gadis kecil yang berlari ke pangkuan Shiho.
"Okasaaan! Aku pulang! Aku senang sekali hari ini, bagaimana jika besok kita pergi ke Tropical Land bersama Otosan?"
"Ehh?" Shiho terpana melihat gadis kecil yang mirip dengannya. Dia melihat Shinichi lagi untuk menemukan jawabannya, "Siapa ini?" tanyanya.
Shinichi menarik napas dalam sebelum berkata, "Biar kuperkenalkan padamu. Gadis ini adalah Akemi,"
"Akemi?" Shiho mengernyit.
"Akemi Kudou. Putri kita,"
"EEEH?" Shiho yang terkejut mendadak bangkit berdiri. Ia memandang bergantian antara Shinichi dan Akemi, "Apa katamu? Putri kita? Maksudmu kita...?"
"Ya, kita menikah?"
"Tapi bagaimana bisa?! Kapan?!" teriak Shiho.
Shinichi akhirnya berdiri untuk menghadapinya, "Kita menikah enam tahun lalu setelah kau sadar dari koma,"
"Benarkah? Aku tidak ingat!"
"Karena kau amnesia dan kenyataannya kita menikah dan ini adalah putri kita, Nyonya Shiho Kudou!"
"Tapi bagaimana?! Bagaimana aku bisa setuju untuk menikah denganmu?! Apa kau memaksaku untuk melakukannya?!" protes Shiho yang belum dapat menerima hantaman kenyataan ini.
"Tentu saja tidak! Kau setuju untuk menikah denganku," Shinichi berseru balik.
"Oh tidak! Kau pasti memanfaatkan amnesiaku untuk membodohiku!"
"Hei hei! Apakah aku seburuk itu?! Aku mana tahu ingatanmu dapat kembali sekarang. Dokter berkata amnesiamu permanen,"
"Amnesia atau tidak, tidak seharusnya kau membodohiku untuk menikahimu!"
"Apakah kau harus menyesal sekarang? Setelah enam tahun dan memiliki seorang putri?!"
"Huaaa! Kakeeek!" Akemi menangis dan berlari ke Profesor Agasa, "Kakek! Aku tidak mengerti kenapa Otosan dan Okasan suka bertengkar belakangan ini?! Hua..."
"Tidak apa-apa Mi-Chan. Otosan dan Okasan hanya ada sedikit perbedaan pendapat," kata Profesor Agasa kepada Akemi untuk menenangkannya kemudian menatap Shinichi dan Shiho, "Sebaiknya kalian hentikan itu. Tidak baik bertengkar dihadapan anak kecil," ia pun menggendong dan memeluk Akemi, "Oke Mi-Chan, kakek akan memberikan sesuatu yang manis untukmu," ia berlalu pergi seraya mengusap-usap punggung Akemi.
Yusaku dan Yukiko yang baru saja masuk rumah jadi ikut terpana.
"Apakah telah terjadi sesuatu?" tanya Yukiko.
"Hmph!" Shinichi dan Shiho saling pandang sebelum membuang muka masing-masing. Mereka menghela napas seraya menghenyakkan diri mereka di sofa.
Ini lebih sulit dari yang ku kira... Batin Shinichi.
Shiho menghabiskan hari itu untuk mencari kenangannya. Yukiko membantunya dengan mengeluarkan semua album foto sejak wisuda Shinichi dari Harvard, pernikahan mereka, kelahiran Akemi sampai sekarang. Shiho juga menonton semua video yang merekam aktivitas keluarga mereka.
Setelah menidurkan Akemi, Shinichi memasuki kamarnya dan menemukan Shiho sedang duduk di ujung tempat tidur sambil menonton video. Dia dapat melihat mata Shiho yang bersinar lembut selama menonton. Shinichi menghampirinya dan duduk di sisinya.
"Bagaimana dia?" tanya Shiho.
"Dia tertidur setelah aku membacakan 'Kembalinya Sherlock Holmes' untuknya," Shinichi memberitahu.
Shiho tersenyum, "Dia seperti dirimu,"
"Yeah, tapi fisiknya seperti dirimu. Setiap kali melihatnya, dia mengingatkanku akan dirimu sewaktu kau masih mengecil,"
Shiho menatap TV lagi dan memandang Akemi dengan pandangan penuh kekaguman, "Aku tidak pernah menyangka dapat melahirkan gadis selucu ini. Dia benar-benar mengagumkan ya?"
"Ah sangat. Dia sangat pintar seperti kita. Dia menyukai misteri, matematika dan pengetahuan. Dia juga sangat energik dan ceria,"
"Kau baik sekali memberinya nama Akemi, seperti nama kakakku,"
"Bukan aku, tapi kau yang memberikannya,"
"Eh? Bagaimana bisa?"
"Terucap begitu saja darimu setelah dia lahir,"
"Benarkah?"
"Uhm," Shinichi mengangguk.
Shiho memandang Akemi yang tertawa lepas, "Aku tidak ingat apakah aku pernah tertawa seperti itu ketika aku masih kecil,"
"Shiho..."
"Ketika aku melihat senyumnya, entah kenapa aku merasa harus melindunginya. Aku... Aku tidak ingin Akemi bernasib sama denganku..."
"Tentu saja kau merasa seperti itu," Shinichi refleks menggenggam tangannya, "Kau kan ibunya,"
Shiho memandang genggaman Shinichi. Shinichi menyadari tatapannya dan perlahan melepas genggamannya. Mendadak mereka tampak canggung dengan wajah memerah.
Entah kenapa jantung Shinichi berdebar-debar lagi. Ia tidak mengerti, inikah wanita yang telah dinikahinya enam tahun lalu? Kenapa ia merasa malu seperti ini?
Jantung Shiho juga berdebar-debar. Ia bertanya-tanya dalam hati, inikah pria yang benar-benar telah dinikahinya enam tahun lalu? Bagaimana bisa?
Shiho mematikan videonya, kemudian ia berdiri menghampiri jendela sambil melipat tangannya. Shinichi juga berdiri dan menyusulnya di belakangnya.
"Ada apa?" tanya Shinichi.
"Apa kau menyesalinya Kudou-Kun?"
"Menyesal untuk apa?"
"Untuk ingatanku yang kembali,"
"Eh?"
"Sepertinya kita adalah keluarga yang bahagia tapi aku tidak tahu sejak kapan aku bisa tersenyum seperti itu. Seperti bukan diriku, bukan diriku yang sebenarnya, dia diriku yang lain,"
"Apa maksudmu?"
"Istrimu adalah diriku yang lain, Kudou-Kun. Bukan diriku yang sebenarnya,"
"Lalu apa bedanya? Kau tetaplah dirimu. Meskipun kau amnesia, kau masih sama. Gayamu, tsunderemu dan kepintaranmu, tidak ada yang beda sama sekali. Disamping itu, aku tahu cepat atau lambat hal ini akan tiba,"
"Apa?"
Shinichi pun menceritakan gambaran yang Shiho dapatkan ketika Shinichi melindunginya dari bola kasti enam tahun lalu di sekolah Teitan, ketika ia baru sadar dari koma. "Meskipun dokter bilang amnesiamu permanen tapi ketika aku tahu kau mendapatkan bayangan itu, aku merasa suatu hari ingatanmu dapat kembali. Karena itu aku membuat rekaman video aktivitas kita, untuk menunjukkannya padamu ketika ingatanmu kembali,"
Shiho terdiam sesaat setelah mendengar penjelasan Shinichi, "Beri aku waktu, Kudou-Kun. Ingat aku baru saja bangun setelah kehilangan 9 tahun kehidupanku. Terakhir kali yang ku ingat adalah ketika aku hampir mati di pelukanmu namun sekarang aku terbangun sebagai istrimu dan memiliki seorang putri,"
"Oke, aku tahu kau masih bingung sekarang. Maafkan kejadian tadi siang. Tidak seharusnya aku memaksamu mengingat dan mengerti,"
"Tidak apa-apa. Aku juga minta maaf. Aku benar-benar terkejut dengan semua ini. Akemi, dia pasti takut padaku sekarang,"
"Tidak apa-apa, dia gadis yang ceria. Sedikit bujukan darimu, dia pasti bisa senang lagi,"
Shiho menarik napas panjang seraya menyentuh keningnya.
"Kepalamu sakit lagi?" tanya Shinichi cemas.
Shiho menggeleng, "Tidak. Aku hanya merasa kacau. Aku tidak tahu darimana harus memulai. Dimana posisiku sebenarnya?"
Shinichi melangkah mendekatinya sambil memegang tangannya, Shiho memandangnya, "Bagaimana jika kau memberiku kesempatan untuk membantumu?"
"Eh? Bagaimana?"
"Kita bisa memulainya dari awal,"
"Apa maksudmu dengan..."
Shinichi meraih pinggang Shiho dan menyumpal bibirnya dengan kecupannya. Awalnya Shiho menolak dan berusaha mendorongnya namun ciuman Shinichi malah semakin dalam. Tangan Shinichi menekan titik-titik sensitive di tubuh Shiho. Akhirnya Shiho menyerah dan membiarkan Shinichi menjelajahi tubuhnya. Perlahan, Shiho meraih leher Shinichi untuk membuatnya semakin dekat. Perlahan Shinichi membaringkan tubuhnya di ranjang. Satu per satu ia lucuti pakaian Shiho.
"K-Kudou-Kun..." terdengar Shiho merintih ketika kulit telanjang mereka saling bersentuhan tanpa jarak. Shinichi menghujaninya dengan ciuman.
"Shinichi..." Shinichi mengajarinya sambil terus menciumi dada Shiho. Terdengar Shiho mengerang lebih keras, "Panggil aku Shinichi..." kemudian ia menghisap payudara Shiho.
Shiho mencengkram rambut Shinichi, sangat menikmatinya dan refleks bibirnya menyebut namanya, "Shi-Shinichi..." dan ia meraskan kebutuhan untuk tenggelam dalam pelukan pria itu.
Shinichi terus menjelajahi titik sensitive Shiho. Dia tidak pernah puas akan istrinya. Awalnya ia mengira Shiho akan canggung, kaku atau mungkin menamparnya. Namun ia salah. Shiho masih tetap Shiho, bahkan lebih. Wanita ini jauh lebih agresif dari dirinya yang biasa selama enam tahun ini. Shiho tampak haus akan dirinya. Kehausan yang telah ditahannya selama bertahun-tahun. Shiho terlihat ingin meleleh bersamanya.
Shinichi menaikkan dan menurunkan gairah Shiho berulang kali. Ia dapat merasakan bagian bawah tubuh Shiho yang sudah basah dan hangat. Tapi ia tidak mau memasukinya. Belum. Ia masih menunggu sampai rencananya sukses.
"Sekarang... Shinichi..." terdengar Shiho meminta. "Sekarang... Please..." dia hampir tidak mampu menahannya lagi.
Shinichi nyengir dalam hati, itulah yang ia mau. Ia ingin Shiho yang memintanya lebih dulu. Kemudian tanpa ragu lagi, Shinichi memasukinya dan bergerak dengan irama yang sama. Pinggul mereka menyatu dengan serasi. Shinichi mengerang dan bergerak lebih cepat dan dalam. Terdengar erangan Shiho juga. Akhirnya mereka mencapai klimaks bersama. Shinichi mengcengkram rambut merah itu seraya terus menyebut namanya, sementara Shiho mencengkram bahu Shinichi dan juga menyebut naman Shinichi sebelum mereka sama-sama jatuh tertidur dengan posisi seperti itu.
Shiho bangun keesokan paginya dan menemukan posisi itu. Shinichi tidur sambil memeluk pinggangnya dari belakang. Perlahan ia menggeser tangan Shinichi untuk melepaskannya dari pinggangnya tanpa membuatnya terbangun. Namun ia gagal. Shinichi meraih pinggangnya lagi, tidak mau melepasnya pergi. Shiho terkejut.
"Aku kira kau masih tidur," ujar Shiho.
"Aku tidak ingin kehilanganmu lagi," ujar Shinichi.
"Meski hanya untuk ke toilet?"
"Yups,"
"Takuu..."
Shinichi mengeratkan pelukannya sambil mencium bahu istrinya, "Kenapa kau tidak mengaku saja, kalau kau mencintaiku?" tanyanya. Ia teringat adegan semalam betapa Shiho yang rakus akan dirinya.
"Apa yang kau bicarakan?"
"Kau mencintaiku sejak lama. Aku mendengarnya ketika kau masih disandera Korn," Shinichi mengingatkannya.
"Oh transmitter itu! Aku ingat aku belum membuat perhitungan denganmu gara-gara pemancar sialan itu. Kau memata-mataiku,"
"Aku hanya ingin melindungimu,"
"Kenapa? Kau telah memenuhi janjimu sebagai Conan Edogawa kepada Ai Haibara. Kau tidak harus melakukannya sebagai Shinichi Kudo kepada Shiho Miyano,"
"Karena aku mencintaimu,"
Shiho tertegun sebelum ia bangun duduk seraya meraih selimut untuk menutupi dada telanjangnya, "Kau pikir aku percaya?"
Shinichi ikut duduk, "Kenapa kau tidak percaya?"
Sebenarnya Shiho tidak ingin membahasnya, tapi ia harus membuat segalanya menjadi jelas, "Karena kau mencintai gadis itu. Kau selalu berharap kembali ke tubuh normalmu untuk bersama dengannya. Jadi, bagaimana aku bisa percaya padamu meski kau bilang kau mencintaiku? Bagaimana aku bisa mengaku aku mencintaimu pada saat itu? Aku tidak memiliki kesempatan! Bahkan aku tidak berhak untuk melakukannya hanya karena dia teman masa kecilmu dan aku adalah wanita dari organisasi hitam yang telah membuat kalian berpisah. Seperti sebuah dongeng, dia adalah putri dan aku penyihirnya. Siapa yang akan mendukungku pada saat itu?!" terdapat getaran dalam suaranya. Ini adalah pertama kalinya Shiho mengungkapkan perasaannya.
"Aku mencintaimu Shiho. Menurutmu kenapa aku ingin menikahimu selama ini? Dan bagaimana dengan semalam?"
"Mungkin kau hanya ingin menunjukkan rasa kasihanmu padaku!" Shiho bermaksud untuk bangkit dari tempat tidur namun Shinichi menahan lengannya.
"Tidak Shiho. Tidak seperti itu. Mungkin aku telah mencintaimu sejak tubuh kita masih mengecil," ungkap Shinichi.
"Apa?" Shiho memandangnya.
"Awalnya, ketika tubuhku normal, aku kira aku akhirnya bisa berkencan dengan Ran," Shinichi mulai menjelaskannya, "Tapi... Entahlah... Hubungan kami tidak ada perkembangan. Ran sering berteriak padaku karena aku kerapkali tidak sadar akan kehadirannya...
"Aku bimbang. Ran adalah teman masa kecilku, aku terbiasa dengan pemikiran akan menikahinya setelah kami dewasa. Sampai akhirnya aku bertemu denganmu dan melalui banyak waktu denganmu. Aku ragu aku tidak lagi memiliki perasaan yang sama terhadap Ran. Aku tidak bisa membedakan antara cinta sebagai teman masa kecil dengan cinta yang sesungguhnya...
"Kemudian ketika aku melihat darahmu... Tidak pernah aku merasa setakut itu seumur hidupku... Dokter mengumumkan kau meninggal. Aku tidak bisa menerimanya. Tubuhku gemetar. Aku memompa dadamu berulangkali agar kau kembali..." kemudian Shinichi menceritakan ketika Shiho kembali dari kematian setelah ia meneriakkan namanya berulang kali. Lalu hal-hal yang dia lakukan selama tiga tahun Shiho koma.
Airmata mengalir di pipi Shiho.
"Shiho?"
"Benarkah begitu, Shinichi?" bisiknya.
"Ya itu benar, Shiho,"
"Bakane! Kenapa kau baru sadar sekarang? Kenapa kau baru mengaku sekarang? Kemana kau selama ini?!" Amuknya.
Shinichi meraih tubuh Shiho dan mendekapnya di dada telanjangnya, "Kau benar. Aku bodoh. Maafkan aku Shiho. Aku telah membuatmu menunggu begitu lama. Aku nyaris terlambat, aku takut tidak akan pernah bisa mengakuinya selama kau koma. Tapi sekarang aku ingin kau tahu, aku tidak pernah menyesali pilihanku. Aku memilih untuk bersamamu sampai akhir,"
"Shinichi..." Shiho membisikkan namanya.
"Maafkan aku Shiho dan jangan menyesali pernikahan kita,"
"Dengan satu syarat," sahut Shiho.
"Syarat?"
"Kau mesti membayarku kembali akan waktu yang telah hilang, Tantei-San,"
"Eh? Caranya?"
Shiho menghapus airmata dari pipinya seraya tersenyum menatap Shinichi, "Cintai aku selamanya,"
Shinichi balas tersenyum, "Dengan senang hati," ia mencium Shiho sembari bergumam, "Jadi, bisa kau turunkan selimut itu sekarang?"
"Echi!" gumam Shiho seraya menanggapi bibir Shinichi.
Ciuman itu berlanjut sampai mereka bercinta lagi. Akhirnya semua kesalahpahaman diantara mereka selama ini, berakhir.
Perlahan ia membuka matanya dan menemukan seorang wanita cantik memandangnya balik.
Akemi mengerjap, "Okasan?"
Shiho tersenyum pada putrinya, "Kau sudah bangun Akemi-Chan,"
Akemi bangun duduk sambil terus memandang ibunya, "Kau tidak marah lagi, Okasan?" tanyanya polos.
Shiho menggeleng, "Tidak. Okasan sudah berbaikan dengan Otosan," ia menggengggam tangan mungil Akemi, "Maaf Akemi, telah membuatmu khawatir kemarin,"
"Tidak apa-apa, Okasan," sahut Akemi tersenyum seraya memeluk leher Shiho dan mencium pipinya, "Aku senang kau bersinar lagi,"
"Eh? Siapa yang mengajarimu berkata begitu?"
"Otosan. Dia bilang kau selalu bersinar setiap hari mengalahkan matahari dan bulan,"
Shiho terkekeh dengan wajah memerah, "Oke. Sekarang bersiaplah,"
"Eh? Kita mau kemana?"
"Bukankah kau ingin pergi ke Tropical Land?"
Mata Akemi membesar, "Benarkah? Dengan Otosan juga?"
Shiho mengangguk, "Ehm, Otosan, Okasan dan kau. Kita bertiga,"
"Horeee!" Akemi berteriak dan menghujani wajah ibunya dengan ciuman. Shiho hanya bisa tertawa, sikapnya benar-benar mirip Shinichi.
Akhirnya mereka bertiga pergi bersama ke Tropical Land. Tiba-tiba saja disana mereka bertemu dengan keluarga lain. Keluarga Araide. Shinichi mengerti, ada sesuatu yang ingin Shiho sampaikan kepada Ran. Kemudian para anak bersama para ayah pergi menaiki wahana jet coaster, meninggalkan para ibu berduaan saja. Shiho dan Ran duduk di sebuah kursi yang dekat dengan wahana tersebut.
"Apa? Jadi kau ingat sekarang?" Ran mengerjap menatap Shiho.
"Uhm, kemarin," sahut Shiho.
"Kyaaa!" Ran memeluk Shiho erat.
Shiho bingung dengan sikapnya.
"Aku senang sekali Shiho-Chan! Akhirnya kau benar-benar kembali sebagai Shiho-Chan!"
"Mouri-San?"
Ran melepasnya dan memandangnya dengan mata berkaca-kaca, "Sejak dulu aku ingin mengatakan terima kasih karena kau sudah menyelamatkanku, tapi aku tak bisa melakukannya karena kau amnesia. Dan itu... Itu karena kau mengorbankan dirimu untuku..." Ran menghapus airmata dengan jari-jarinya.
"Kau tidak perlu seperti itu,"
"Tapi aku harus Shiho-Chan. Aku tidak bisa membayangkan jika... Jika kau tidak bisa bangun lagi setelah koma... Selamanya aku tidak bisa memaafkan diriku..."
"Mouri-San... Tapi..."
"Eh? Ada apa?"
"Masalahnya aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi setelah aku sadar dari koma. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa menikah dengan Shinichi dan bagaimana Akemi lahir,"
"Eh? Benarkah?" Ran tampak terkejut.
Shiho mengangguk, "Aku kaget..." kemudian ia menceritakan pertengkarannya dengan Shinichi kemarin. "Aku kira tidak seharusnya ia menikahiku. Jika ada wanita di dunia ini yang harus menikah dengannya adalah kau Mouri-San. Seandainya aku tidak kehilangan ingatanku... Mungkin aku tidak akan menikah dengannya... Aku minta maaf..."
Ran menggenggam tangan Shiho, "Tidak Shiho-Chan. Kau tidak perlu mengatakan itu," ujarnya seraya tersenyum hangat.
"Mouri-San?"
"Kami hanya teman semasa kecil namun sejak awal ia tidak pernah menjadi milikku. Terutama setelah tubuhnya kembali normal, dia tidak pernah sama lagi. Hatinya telah terikat padamu...
"Meski agak sakit pada awalnya, tapi rasanya akan lebih menyakitkan jika aku tidak mengerti perasaan temanku. Kau mempunyai hak untuk bahagia, Shiho-Chan. Lagipula kini aku sudah bahagian dengan dua dokter di rumahku. Tidak akan bisa seperti ini tanpa dirimu..."
"Mouri-San..."
"Dia mencintaimu. Shinichi hanya mencintaimu. Aku tahu kau mencintainya juga. Jangan menyesalinya Shiho-Chan. Karena aku juga tidak pernah menyesalinya,"
Shiho mengangguk merasa lega, "Arigatou Mouri-San,"
Ran tersenyum, "Panggil aku Ran-Chan saja, Shiho-Chan. Tidak perlu formal seperti itu,"
Shiho balas tersenyum, "Aku mengerti Ran-San," ia merasa ia baru saja mendapat teman sekarang.
Terdengar suara teriakan riang gembira. Suami mereka dan anak-anak baru saja selesai menaiki wahana dan tengah berjalan menghampiri mereka. Ran dan Shiho menatap anak-anak mereka, Ichiro dan Akemi. Mereka memikirkan hal yang sama meski tidak janjian sebelumnya. Mungkin situasi mereka memang harus seperti ini untuk cerita cinta baru yang telah dimulai diantara dokter kecil dan ilmuwan kecil.
.
.
.
.
.
"Otosan," panggil Shiho di hadapan Profesor Agasa.
"Eh?" Profesor Agasa terjebak diantara bingung dan terharu.
"Kau yang paling pantas untuk menjadi ayahku di dunia ini," kata Shiho, "Boleh aku tetap memanggilmu begitu?"
"Tentu saja Shiho-Chan!" Profesor Agasa berkata riang dengan mata berkaca-kaca, "Aku akan selalu menjadi ayahmu!"
Shiho memeluknya erat.
"Aku akan melakukan apa saja untuk membuatmu bahagia!" Profesor Agasa membalas pelukannya.
"Benarkah?" Shiho menyeringai, "Termasuk kau akan diet untukku?"
"Eh?" Profesor Agasa hanya nyengir canggung.
Setelah ingatannya kembali, Shiho meminta ijin pada Shinichi untuk menjadi ilmuwan lagi. Shinichi akan memberi ijin jika dokter berkata tidak ada masalah dengan kepalanya. Dan setelah melalui berbagai macam medical check up, dokter berkata tidak ada masalah dengan kepalanya. Shiho bisa menjadi ilmuwan sejauh ia sudah mampu menghadapi traumanya. Yukiko adalah orang pertama yang sangat bahagia mendengar berita ini.
"Bagus sekali Shiho-Chan! Jika kau kembali menjadi ilmuwan, kau bisa menciptakan krim anti aging jadi aku akan terlihat muda terus!"
"Eh?" Shiho hanya nyengir kikuk.
"Takuuu..." Shinichi dan Yusaku menaikkan sebelah alis mereka bersamaan.
Meski bahasa tubuhnya sebagai Shiho Miyano telah kembali, tidak ada perubahan ekstrim pada dirinya. Dia masih memasak dan membuat cemilan untuk suami dan putrinya. Menyiapkan baju Shinichi setiap ia akan keluar untuk investigasi dan begitu juga sebelum tidur. Merapikan dokumen-dokumen kasus Shinichi. Dia juga bermain piano dengan Akemi, kuis dan menyiram bunga bersama. Dia tampak menikmati peran barunya sebagai ibu dan istri. Selama musim panas ini, jika Shinichi sedang sibuk bersama kasusnya, Shiho akan keluar dengan Ran dan Ichiro atau terkadang bersama Yukiko. Perbedaannya sekarang Shiho mengisi kekosongan waktu dengan risetnya yang sempat terhenti 8 tahun lalu. Dia juga bisa membantu memecahkan kasus Shinichi lebih dalam tanpa serangan sakit kepala. Namun ada satu hal yang sangat Shinichi sukai setelah ingatannya kembali, gairah Shiho di tempat tidur.
"Lihatlah dirimu..." Shiho berkata pada suatu malam. Mereka tanpa sehelai benang pun di ranjang dengan posisi tubuh Shiho berada diatas Shinichi. Shiho menduduki perut Shinichi, menguasainya, "Kau terlihat hebat seperti pahlawan di luar sana, tapi kau tidak berdaya sekarang dibawah kendaliku, Tantei-San," ujarnya seraya memain-mainkan telunjuknya diantara payudara Shinichi.
"Owh... Aku sangat takut..." goda Shinichi.
"Sepertinya selama 6 tahun ini aku adalah istri yang penurut. Tapi tidak lagi, aku akan menyerangmu sekarang..." Shiho mengulurkan tangannya diantara paha Shinichi.
Shinichi mengumpat, "Okay Maam. Lakukan sesukamu..." ia pasrah dan membiarkan Shiho yang mengambil kendali, menyerang dan menari diatas tubuhnya untuk mengeksplore titik-titik sensitifnya.
"Ada apa Akemi? Kenapa kau terlihat sedih?" Shiho menanyai putrinya seraya duduk di sisinya di samping tempat tidur. Dia baru saja merapikan koper Akemi. Mereka akan kembali ke USA karena liburan musim panas telah berakhir.
"Aku sedih karena tidak bisa bermain dengan Chiro-Chan lagi," kata Akemi.
Shiho merangkulnya, "Kau tidak perlu sedih, kau telah memiliki whatsappnya kan?"
Akemi mengangguk.
"Kita juga bisa kemari lagi saat Natal dan Tahun Baru,"
"Benarkah Okasan?" mata Akemi membesar.
"Ehm," Shiho mengangguk seraya tersenyum.
Akemi tersenyum, terlihat lebih ceria sekarang.
"Ayo, kita pergi sekarang," ajak Shiho sembari bangkit berdiri menggenggam tangan putrinya dan meraih kopernya.
"Ehm" sahtu Akemi patuh.
Mereka hampir mencapai pintu sebelum tiba-tiba saja Shiho mengalami serangan sakit kepala. Tubuhnya sedikit terhuyung hingga ia harus memegang pinggiran pintu untuk mempertahankan keseimbangannya.
"Okasan?! Ada apa Okasan?" Akemi tampak panik.
Shiho ingin menenangkannya namun ia tidak mampu berucap apa-apa karena sakit kepalanya. Shinichi mendadak muncul di pintu. Profesor Agasa, Yusaku dan Yukiko menyusul di belakangnya.
"Ada apa Shiho?" Shinichi merangkul Shiho.
"Sakit..." bisik Shiho seraya menyentuh keningnya.
"Bagaimana bisa? Hasil medical check up bulan lalu baik-baik saja," Yukiko terlihat khawatir juga.
"Sebaiknya kau membawanya ke rumah sakit Shinichi," kata Yusaku, "Kita bisa menunda penerbangannya,"
"Ya, kami akan menjaga Akemi," kata Profesor Agasa
"Wakata," sahut Shinichi seraya menggendong Shiho dan membawanya ke rumah sakit.
Ternyata tidak ada masalah dengan kepala Shiho. Dia hamil dan usia kandungannya sudah sebulan. Seluruh keluarga senang dengan berita tersebut. Dokter melarangnya pergi jauh mengingat kehamilan pertamanya yang lemah. Akhirnya Shinichi memutuskan untuk tetap di Jepang sampai setahun setelah bayinya lahir. Ia meninggalkan agensinya di USA kepada asistannya sementara Yusaku dan Yukiko akan tetap pulang ke USA. Salah satu yang senang dengan keputusan ini adalah Akemi. Selain ia akan menjadi seorang kakak, ia juga bisa pergi sekolah bersama Ichiro Araide.
"Ouch! Jangan kencang-kencang!" Shiho memarahi suaminya yang sedang memijit kakinya. Usia kandungan Shiho sudah 8 bulan. Ia dengan perut besarnya duduk di sofa seraya menyelonjorkan kakinya ke pangkuan Shinichi, memintanya untuk memijitnya.
"Kau bilang tadi terlalu lembut," Shinichi merengut.
"Kau tidak bisa mengontrol kekuatanmu sendiri?" Shiho memarahi balik.
"Oke, oke," Shinichi menghela napas sabar.
Kehamilan kedua Shiho sangat berbeda dengan kehamilan pertama. Kehamilan pertamanya meski lemah, namun Shiho tidak pernah merepotkan Shinichi dengan mendadak ngidam tengah malam. Ia tidak marah atau merengut sepanjang hari. Tapi sekarang, ia sedikit-sedikit ngidam. Moodnya jelek sepanjang hari. Dia bisa tiba-tiba marah, nangis atau bahagia tanpa alasan yang masuk akal.
"Aku tidak pernah tahu menjadi wanita hamil ternyata sangat sulit," keluh Shiho.
"Kau tahu? Kau pernah melalui semua ini di kehamilan pertamamu,"
"Kan sudah kubilang aku tidak ingat. Jadi bagiku ini adalah pertama kalinya... Aduh duh..."
"Ini karena kau keras kepala berkutat dengan risetmu. Lihat kakimu sekarang, hampir sebesar kaki gajah," gerutu Shinichi seraya terus memijat.
Shiho memberinya tatapan tajam, "Aku tidak bisa hanya rebahan saja sepanjang hari! Aku sudah memiliki banyak waktu untuk tidur selama 3 tahun kan?"
Shinichi menghela napas lagi, "Oke, oke. Jangan marah-marah terus. Aku hanya cemas memikirkan kondisimu dan bayi kita,"
"Setelah ini aku akan membuat riset untuk memindahkan rahim ke tubuh pria... Duh iya iya disana..." Shiho mengerang nikmat kemudian, "Aduh!" ia meringis.
"Kenapa? Aku tidak menggunakan kekuatan penuh," Shinichi bingung.
Shiho menggeleng, "Bukan kau tapi dia," ia menunjuk perut besarnya.
"Eh?" perlahan Shinichi menggeser kaki Shiho dari pangkuannya ke sofa. Ia mendekati istrinya seraya mengelus perut besarnya penuh sayang, "Sakit?"
"Sedikit. Semakin dekat waktunya, tendangannya semakin kuat," kata Shiho sambil membelai perutnya juga. Hasil USG menunjukkan bayinya laki-laki.
"Mungkin dia sudah tidak sabar lagi ingin bermain bola dengan ayahnya," Shinichi tersenyum hangat seraya mengecup perut besar Shiho.
"Meski aku ilmuwan, terkadang aku bertanya-tanya juga dan merasa kagum bagaimana dia bisa datang dan hadir di dalam tubuhku,"
Shinichi nyengir dan menggodanya, "Dia datang karena kau memerkosaku setiap malam,"
Shiho mencubit lengannya, wajahnya memerah.
Shinichi tertawa, kemudian berkata, "Aku sudah bilang, aku akan membuatmu hamil musim panas ini,"
"Benarkah?"
"Bahkan kita akan membuat grup sepakbolak," Shinichi menyeringai
"Aku tidak ingat. Lalu apa jawabanku?"
"Kau menolaknya,"
"Kenapa?"
"Karena kau belum siap untuk tambahan detektif,"
"Begitukah? Ah... tampaknya kau memanfaatkan kehilangan ingatanku untuk benar-benar membuatku hamil,"
Shinichi menyeringai tanpa merasa bersalah.
Shiho nyengir juga, "Tapi kurasa tidak masalah untuk memiliki banyak anak. Rasanya sangat sepi jika kita tidak memiliki saudara,"
"Eh?" Shinichi kaget, ini tidak seperti dirinya berbulan-bulan lalu.
"Kau pasti merasakannya juga kan? Kesepian karena hanya kau satu-satunya anak. Aku tidak ingin anak-anak kita mengalami penderitaan itu,"
Shinichi mengulum bibirnya, dalam dan lama. Shiho memejamkan matanya untuk menikmati sensasi itu.
"Aku janji, mereka tidak akan kesepian. Kita akan mengisi hidup mereka dengan cinta," bisik Shinichi.
"Tapi aku tidak ingin semuanya menjadi detektif, harus ada yang menjadi ilmuwan juga dan bahasa tubuhnya keren seperti diriku," Shiho pura-pura merajuk.
Shinichi tertawa lagi, "Terserah kau saja Nyonya," mereka berciuman lagi.
Mendadak terdengar bel di pintu utama.
"Biar aku yang buka," kata Shinchi seraya bangkit menuju pintu.
Ternyata Ichiro Araide yang datang.
"Ada apa Chiro-Kun?" tanya Shinichi
"Ehm anooo... Apakah Akemi-Chan ada dirumah?" tanya Ichiro.
"Eh?" Shiho menghampirinya juga dan berdiri di belakang Shinichi, "Akemi bilang ingin mengerjakan sebuah tugas denganmu sepulang sekolah. Kau tidak bertemu dengannya?"
Ichiro menggeleng, "Aku telah menunggunya di gerbang sekolah setelah kelas berakhir tapi dia tidak muncul-muncul juga. Karena itu aku kemari mungkin dia sudah pulang,"
"Tapi dia belum pulang," kata Shinichi
"Eh? Benarkah?" Ichiro menggaruk kepalanya, tampak bingung.
"Aneh. Pergi kemana dia? Tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dimana pun dan kapanpun kalau dia menemukan kasus di jalan, dia akan menelpon untuk memberitahu telat sampai di rumah," Shiho bertanya-tanya.
"Jangan cemas, mungkin baterainya habis," Shinichi menenangkan.
Terdengar suara dari hanphone Shiho.
"Mungkin itu dia," kata Shinichi.
"Sepertinya begitu," kata Shiho sambil melihat SMS dari Akemi, namun kemudian ia membeku.
"Ada apa?" tanya Shinichi
Tangan Shiho yang memegang handphone bergetar. Wajahnya memucat. Shinichi meraih handphone dari tangannya dan membaca pesannya.
Berikan APTX 4869 atau dia akan menggantikan posisimu sebagai ilmuwan hebat untuk kami di neraka...
Gin
"Tidak mungkin..." wajah Shinichi juga memucat.
"Tidak... Akemi... Kita harus menemukannya Shinichi!" seru Shiho tegang.
"Tenang Shiho..."
"Gin! Dia tidak akan ragu-ragu untuk menyakitinya! Aku... ugh..." Shiho meringis dan tubuhnya terhuyung sebelum kehilangan kesadarannya.
"Shiho!" Shinichi menangkapnya tepat waktu.
Satu jam kemudian rumah mereka dipenuhi oleh polisi Jepang dan anggota FBI. Mereka berusaha untuk melacak posisi Akemi dari GPS di handphonenya. Namun sinyal terakhir ketika Gin mengirimkan SMS telah terputus. Tidak ada tanda untuk mereka untuk mengejar Gin. Shinichi frustasi, untuk pertama kalinya ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia tidak mengerti bagaimana Gin bisa bertahan hidup dari ledakan itu sepuluh tahun lalu. Ia tidak mengerti kenapa Gin menginginkan APTX 4869. Tapi jika dia menginginkannya, seharusnya Gin akan menghubungi mereka lagi dan memberikan sebuah petunjuk.
"Akemi!" Shiho mendadak terbangun dan meneriakkan namanya.
"Tenanglah Shiho-Chan," pinta Ran seraya menyentuh bahunya. Ichiro berdiri di ambang pintu kamar.
"Tapi Akemi..."
"Shinichi, polisi dan FBI masih melacaknya,"
"Aku harus menemukannya..." Shiho ingin bangun dari tempat tidur namun Ran menghentikannya.
"Tidak. Kau harus istirahat. Kau tidak bisa pergi dalam kondisi seperti ini. Ingat bayimu," Ran mengingatkan.
"Akemi..." airmata Shiho mengalir, "Aku telah kehilangan seorang Akemi, aku tidak ingin kehilangannya lagi,"
Ran memeluknya untuk membuatnya tenang, "Tenanglah Shiho-Chan, percayakan saja pada Shinichi dan yang lainnya,"
Shiho mengepalkan tangannya, "Aku tidak mengerti bagaimana ia masih hidup? Dia seharusnya sudah mati dalam ledakan itu,"
"Aku juga tidak mengerti, mungkin dia berhasil kabur entah bagaimana caranya," kemudian Ran melepaskan Shiho, "Sebaiknya kau berbaring lagi. Suamiku telah memeriksamu, kau memiliki darah rendah. Dia bisa membunuhku jika terjadi sesuatu padamu, begitu juga dengan Shinichi," ia membantu Shiho berbaring dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut.
"Arigatou Ran-San,"
Ran tersenyum, mengira dirinya berhasil menenangkan Shiho, "Apa kau membutuhkan sesuatu? Secangkir teh hangat?"
"Boleh juga,"
"Aku akan kembali," ujar Ran seraya bangkit, "Tunggu disini Chiro-Chan," ia menepuk lunak kepala putranya sebelum berlalu pergi.
"Ehm," Ichiro mengangguk patuh.
"Chiro-Kun," Shiho memanggilnya ketika Ran sudah pergi.
"Uhm?" Ichiro memandang Shiho.
"Maukah kau menolongku untuk memanggil Paman Shinichi kemari? Aku ingin bicara dengannya," pinta Shiho.
"Ok oke. Aku akan memanggilnya kesini,"
"Arigatou,"
Ichiro keluar dari ruangan. Ketika telah sendirian, Shiho mengeluarkan kacamata pelacaknya. Tidak seorang pun tahu, setelah ingatannya kembali, ia telah meletakkan sebuah transmitter di liontin Akemi untuk mengawasinya. Ia pun menemukannya, titik merah yang berkedip menunjukkan posisi keberadaan Akemi.
Bertahanlah Akemi... Batin Shiho seraya menguatkan dirinya. Diam-diam ia pergi dari kamarnya.
"Paman Shinichi," Ichiro memanggil.
Shinichi menunduk memandangnya, "Ada apa Chiro-Kun?"
"Bibi Shiho ingin berbicara denganmu,"
"Oke, arigatou," Shinichi menepuk lunak kepalanya.
Mendadak Ran mendekati mereka, tampak terburu-buru, wajahnya pucat.
"Ran?"
"Shin... Shiho-Chan..." Ran berkata sedikit terengah-engah.
"Ada apa dengan Shiho?"
"Aku baru saja meninggalkannya sebentar untuk membuat teh, namun dia hilang setelah aku kembali,"
"Nani?!"
"Tapi Bibi Shiho bilang padaku ingin bertemu Paman Shinichi," kata Ichiro.
"Takuuu... Itu adalah tricknya. Kenapa dia masih keras kepala seperti itu?" umpat Shinichi.
"Gomene Shinichi," Ran berkata, merasa bersalah.
"Aku tidak menyalahkanmu. Dia memang selalu membuat keputusannya sendiri meski dalam keadaan hamil besar seperti itu," Shinichi menggerutu.
"Gawat Shinichi!" seru Profesor Agasa yang baru saja bergegas memasuki ruang tamu.
"Apalagi?" tanya Shinichi.
"Aku melihat Shiho-Chan mengendarai motor Harley di garasi dengan kecepatan tinggi," jawab Profesor Agasa.
"Aku sudah mengiranya," sahut Shinichi seraya mengeluarkan kacamata pelacaknya.
"Shiho-Chan bisa mengendarai itu?" Ran mengerjap.
"Ah, dia bahkan pernah mengejar pesawat dengan motor besar meski tubuhnya masih kecil. Dengan tubuh normal sekarang, takkan sulit baginya mengendarai motor itu walau perutnya besar." Jelas Shinichi yang terjebak diantara marah dan kagum akan istrinya. Ia mengingat tentang kasus Lupin bertahun-tahun lalu ketika Shiho dengan motor besar Fujiko mengejar pesawat untuk menyelematkannya. Shinichi menghela napas dalam hati, bagaimanapun juga Shiho adalah mantan anggota organisasi hitam.
"Kita harus mengejarnya Shinichi-Kun. Kondisinya sedang lemah!" Tomoaki berkata dengan cemas.
"Wakateiru yo," sahut Shinichi sambil mengenakan kacamata pelacaknya.
"Eh? Itu? Tapi Shinichi, Shiho-Chan tidak pernah mengenakan kacamatanya lagi kan?" Ran teringat dengan transmitter yang pernah dipasang di kacamata Shiho.
Shinichi nyengir, "Ya, dia tidak pernah mengenakan kacamata lagi. Tapi dia selalu mengenakan cincin pernikahan kan?" ia pun menemukannya titik merah yang berkedip, menandakan posisi Shiho.
"Ehh?" Ran dan Tomoaki bertukar pandang bingung.
"Kau tidak menggunakan mobil sportmu?" tanya Tomoaki ketika melihat Shinichi mengeluarkan skateboardnya.
"Tidak. Ini lebih cepat. Saatnya untuk menggunakan cara lama," ujar Shinichi sembari menyalakan skateboardnya.
Tomoaki terbengong. Inikah cara Keluarga Kudou untuk bernostalgia?"
Shinichi meluncur dengan kecepatan tinggi. Untungnya ia masih lincah menggunakan skateboard karena ia masih melatih refleks tubuhnya dengan bermain sepakbola setiap pagi. Polisi Jepang dan FBI mengikutinya dalam jarak aman dan menggunakan rute yang berbeda namun terus berkomunikasi.
.
.
.
.
.
"Ah, aku tahu sekarang kenapa kau memerlukan APTX itu," Shiho berkata dingin.
"Okasan!" Akemi terlihat senang dengan kehadiran ibunya.
Gin bangkit berdiri menghadapi Shiho, agak sedikit pincang. Ia menggunakan sebuah tongkat untuk menopang tubuhnya. Sebagian wajahnya meleleh, rambut peraknya pendek dan berantakan. Ia hanya memiliki sebuah kaki yang lengkap sementara kaki yang lainnya tersambung dengan kayu.
"Aku tahu kau akan sampai kesini. Aku tahu ada transmitter di liontinnya, liontin yang sama dengan kakakmu. Tebakanku, suamimu tercinta juga akan mengejarmu kemari," kata Gin penuh dengan kebencian.
"Aku terharu karena kau masih mengerti diriku, Gin," ejek Shiho, "Lihatlah dirimu, kau jauh lebih tampan dari sepuluh tahun lalu,"
"Ini karena kau dan pria itu!"
"Owh! Iyakah? Jika aku tidak salah, kaulah yang memasang bom di sekeliling markas itu kan?"
"Cih! Sudah cukup bicaranya. Aku tidak sabar lagi! Aku sudah menunggu 10 tahun untuk sampai kemari untuk APTX4869 yang bisa menyembuhkan sel-sel dalam tubuhku karena kebakaran itu. Berikan pil itu sekarang!"
"Lepaskan putriku terlebih dahulu!" seru Shiho.
"Tidak! Kecuali kau memberiku pil itu!"
Shiho menunjukkan sebuah USB, "Aku tidak memiliki pil lagi, tapi aku masih memiliki komposisinya. Kau telah memilikiku sekarang, kau tidak memerlukan Akemi kecuali kau mau menunggu 10 tahun lagi sampai dia menjadi ilmuwan,"
"Bagaimana aku tahu kalau data di USB itu adalah benar?"
"Aku akan menunjukkannya padamu. Lepaskan Akemi sekarang!"
"Setelah kau tunjukkan data USB itu benar! Lagipula aku masih memerlukanmu untuk membuat pil itu kan?!"
"Kau menjijikan!"
Gin menyuruh salah satu penjaganya untuk menghampiri Shiho dengan pistol teracung. Penjaga itu membimbing Shiho untuk mendekati laptop di hadapan mereka. Shiho terpaksa memasang USBnya pada laptop tersebut untuk menunjukkan data-datanya. Komposisi APTX 4869. Gin mengintip monitor dan tersenyum penuh kepuasan.
"Lepaskan putriku sekarang!" pinta Shiho.
Gin mengangkat pistolnya ke kepala Akemi yang mulai menangis lagi, "Okasan!"
"Nani?" Shiho terhenyak.
Penjaga itu juga mengacungkan revolvernya ke kepala Shiho.
"Aku lupa memberitahumu, kita telah memiliki ilmuwan hebat lainnya. Aku hanya membutuhkan data itu, aku tidak memerlukanmu untuk membuat pilnya," Gin dan penjaga itu mulai menarik pelatuk pistol mereka.
"Satu 'enter' dan semua data akan terhapus," gumam Shiho tajam seraya mengangkat telunjuknya diatas tombol 'enter'
"Nani?"
"Aku juga tahu dirimu, Gin. Kau tidak pernah memenuhi janjimu,"
"Sialan!"
Mereka membeku dalam posisi itu, tidak ada yang mau mengalah satu sama lain karena mereka tidak saling percaya. Mereka terpaku hingga beberapa saat lagi sebelum hal itu terjadi. Ada sebuah bola menghantam wajah penjaga dan di saat yang sama Gin telah diserang oleh pistol listrik dari jauh. Shiho memanfaatkan hal itu untuk mengambil Akemi. Shinichi muncul dan berdiri di hadapan keluarga kecilnya. Secepat itu ia datang, secepat itu pula Gin dan penjaganya pulih. Sekarang mereka berhadapan satu sama lain dengan pistol masing-masing.
"Otosan!" Akemi terlihat lega melihat ayahnya.
"Jadi, kau juga berhasil menemukan tempat ini, Tantei-Kun," kata Gin.
"Tidak ada yang tidak mungkin untuk seorang detektif," kata Shinichi tajam.
"Cih! Kau masih saja sombong! Tapi sayangnya seranganmu tidak melukai kami," ejek Gin.
"Ah. Jika ada sesuatu yang membuatku kagum dari anggotamu adalah kalian bisa pulih dengan cepat dari serangan," kata Shinichi.
"Jadi, kau kira kau bisa menang hanya dengan satu pistol?"
"Dua," kata Shiho sambil mengacungkan pistol yang diam-diam ia keluarga dari belakang Shinichi.
"Hmph!" Gin mendengus.
"Aku mantan anggota, aku tidak kehilangan semua insting hitamku," sahut Shiho tajam.
"Cih! Sangat menggelikan! Sang Pangeran dan Sherry dari kegelapan! Jangan remehkan aku!" Gin mulai menarik pelatuknya lagi.
"Satu gerakan dan kita semua akan mati!" Shinichi mengancam mereka
Gin membeku lagi.
"Sebaiknya kau ambil yang kau inginkan dan pergi. Kami sudah mendapatkan Akemi dan hal itu lebih dari cukup. Jadi, tidak ada yang perlu mati disini," Shinichi memberi pilihan.
"Sepertinya itu adil. Tapi kalian tidak akan selamat jika kita bertemu lagi di lain waktu,"
"Aku tidak sabar menunggu hal itu," ujar Shinichi tanpa gentar.
Masih mengacungkan senjatanya, penjaga itu mengambil laptop dengan tangannya yang lain. Mereka semua perlahan bergerak ke arah yang berlawanan tanpa menurunkan senjata mereka. Tiba-tiba terdengar suara dari laptop tersebut, monitor menunjukkan waktu yang menghitung mundur.
"Nani?" Apa yang terjadi?" Gin melihat monitor tersebut.
Shiho tersenyum penuh kemenangan, "Ah aku lupa memberitahumu. Aku menyetel waktunya. Datanya akan hilang setelah dibuka selama sepuluh menit,"
"Brengsek kau Sherry!" Gin dan penjaganya ingin menembak namun sebelum mereka mampu melakukannya ada tembakan lain di belakang mereka. Tembakan itu mengenai lengan mereka hingga senjata mereka jatuh dari genggaman.
"FBI!" Jodie sensei berteriak seraya mengacungkan senjatanya, "Kau tidak bisa lari lagi!"
Terdapat suara sirine di luar sana, menunjukkan mereka telah terkepung.
"Cih! Aku tidak akan menyerah sampai akhir!" Gin mengeluarkan remotnya
Keluarga Kudou dan Jodie sensei terkesiap, itu adalah bom.
Namun ketika Gin menekan tombolnya, tidak ada yang terjadi.
"Nani?!" Gin tampak frustasi.
Brakkk! Seseorang muncul dan membuang bangkai bom yang sudah berhasil dijinakkan. Dia adalah Masumi Sera, adik Akai.
"Aku bisa membaca rencanamu dan percuma saja. Aku telah menjinakkan semua bom, jadi kau tidak akan pernah bisa meledakkan tempat ini," Sera berkata penuh kepuasan.
"Keparat kau!" Gin berteriak
Anggota FBI mendekati mereka dan menahan mereka.
"Arigatou Sera-San," kata Shinichi ketika mereka jalan bersama menuju gerbang untuk keluar dari gudang lama itu.
"Sama-sama, Tantei-San. Lagipula aku ingin balas dendam kepada mereka karena kematian kakakku," ujar Sera
"Salahku," Shiho berkata, ia ingin meminta maaf secara langsung. Namun setelah Akai Shuichi meninggal 10 tahun lalu, ia tidak bisa menemukan Sera.
"Shiho?" Shinichi menatap istrinya.
"Dia meninggal karena menyelamatkanku. Itu adalah salahku. Aku minta maaf Sera-San," ucap Shiho lagi.
Sera tertegun sesaat sebelum berkata dengan senyum, "Tidak apa-apa Shiho-Chan. Aku tidak pernah menyalahkanmu. Lagipula Shuunee yang ceroboh duluan dan telah menyebabkan kakakmu terbunuh. Anak bodoh itu pantas mendapatkannya. Aku yakin dia bahagia dengan akhir yang seperti itu. Dalam pertarungan dengan Gin. Dan mungkin sekarang dia sudah damai disana dengan kakakmu. Tidak perlu menyeslinya, Shiho-Chan,"
"Sera-San..." Shiho membalas senyumnya.
"Jadi kau bergabung dengan FBI?" tanya Shinichi.
"Ya tentu saja. Untuk mengawasi organisasi itu dan organisasi hitam lainnya," sahut Sera.
"Akemi-Chan!" terdengar suara Ichiro.
"Chiro-Chan!" balas Akemi.
Keluarga Araide telah menunggu diluar sana.
"Ouch!" terdengar Shiho mengeluh.
"Ada apa?" tanya Shiho seraya merangkulnya.
"Sakit... Aduh!" tendangan dari bayinya semakin kencang dan terdapat cairan bening mengaliri kaki Shiho.
Shinichi, Shiho dan Sera tampak terkejut.
Tomoaki berlari ke arah mereka untuk memeriksa kondisi Shiho, "Oh tidak!" katanya, "Kita harus mempersiapkan persalinan sekarang!"
"Apa? Sekarang? Tapi bukankah seharusnya 4 minggu lagi?" tanya Shinichi.
"Mungkin guncangan dan ketegangan membuat kontraksinya lebih cepat," sahut Tomoaki.
Tim medis bergerak cepat membangun tenda darurat untuk mempersiapkan kelahiran bayi. Hanya Shiho, Shinichi, Tomoaki dan seorang perawat yang berada di dalam. Sementara Akemi telah dititipkan pada Ran yang menunggu diluar tenda bersama Ichiro dan yang lainnya.
"Aku tidak bisa melakukannya! Aku belum siap... Ugh..." Shiho mengerang.
"Kuatkan dirimu Shiho! Kau harus melalui semua ini," kata Tomoaki seraya mengenakan sarung tangannya.
"Ayolah Shiho. Kau pernah melakukannya, kau pasti bisa melakukannya lagi," Shinichi mendukungnya sambil memeluknya dan menggenggam tangannya.
"Tapi aku tidak ingat! Dan aku tidak mau melahirkan disini! Di sarang mereka?! Apa kau gila?! Aduh... Sakit..." Shiho merasakan kesakitan luar biasa melebihi dihujani peluru.
"Ya ampun, sebaiknya kau simpan energimu daripada ngomel seperti itu!" gerutu Shinichi sambil berusaha meredamkan kepanikannya sendiri.
"Okasan..." Akemi terlihat takut di luar sana.
"Tidak apa-apa Akemi-Chan," Ran menenangkannya.
"Aku mau Otosan dan Okasan,"
"Sabar sebentar oke? Otosan dan Okasan akan keluar dengan adikmu," Ran berkata seraya tersenyum hangat.
"Benarkah?"
"Ehm," Ran mengangguk.
"Ambil napas dalam melalui hidung, dan dorong lagi Shiho," pinta Tomoaki.
Shiho mendorong lagi seraya mengerang, tangannya menggenggam tangan Shinichi kuat-kuat.
"Sekali lagi! Lebih kuat!"
"Aku tidak bisa... ugh..." Shiho terengah-engah. Tubuhnya basah dan terlihat pucat. Ia lelah sekali dan hampir menyerah.
"Jangan menyerah sekarang Shiho! Kau telah bertahan sejauh ini!" pinta Shinichi.
"Shin... Shinichi..."
"Pikirkan saja bayinya, bayi kita," Shinichi mengecup kening Shiho.
"Aku tidak bisa..."
"Kita sepakat untuk membuat grup sepakbola kan? Untuk melahirkan lebih banyak detektif dan ilmuwan sehingga mreka tidak akan kesepian lagi. Kita akan membesarkan mereka dengan cinta..."
Merasakan aliran kekuatan berkat perkataan suaminya, Shiho mendorong lagi dan setelah melalui perjuangan panjang. Lima menit kemudian terdengar suara bayi menangis.
"Oh lihatlah! Bayi laki-laki yang tampan!" Tomoaki berkata senang sembari menggendong si bayi.
Shinichi menggendong bayinya setelah dibersihkan, lalu menunjukkannya pada Shiho.
"Lihat Shiho. Bayi laki-laki kita," Shinichi berkata dengan mata berbinar-binar.
Shiho melihatnya, "Dia... lebih mirip dirimu..." bisiknya sebelum tidur karena kelelahan.
.
.
.
.
.
Sebenarnya kau adalah tunanganku, Shiho-Chan... terdengar Shinichi berkata ketika ia baru saja mendapatkan kesadarannya setelah koma selama tiga tahun.
Maukah kau menikah denganku Shiho? Shinichi melamarnya di hadapan keluarganya di USA ketika merayakan tahun baru bersama.
Kau lupa kata dokter? Kau harus bedrest... Shinichi berkata suatu malam ketika Shiho baru mengandung 3 bulan anak pertama mereka.
Aku hanya ingin ke kamar mandi. Jaraknya dekat, jadi tidak perlu kau gendong... kata Shiho. Dia sudah diam-diam bergerak dari tempat tidur karena tidak ingin membangunkan suaminya, namun gagal.
Tapi masih ada kemungkinan kau bisa kepeleset kan?
Ehm... Shiho mengangguk.
Lain kali kau harus membangunkan aku, aku tidak ingin kau menanggungnya sendiri... ujar Shinichi seraya menggendong istrinya.
Oke, aku janji. Tantei-San...
Akemi... Shiho yang masih kelelahan setelah melahirkan bayinya, mengucapkan nama itu setelah melihat wajah bayinya.
Eh? Shinichi tampak bingung.
Aku tidak tahu kenapa tapi aku suka nama itu...
Bahkan aku yang detektif hebat tidak bisa menemukan nama lain yang lebih bagus dari itu... Akemi Kudo... Aku menyukainya...
Perlahan Shiho membuka matanya dan menemukan suaminya sedang memandang balik. Ia sudah berada di rumah sakit sekarang.
"Kau sudah bangun Shiho?" tanya Shinichi.
"Uhm," gumam Shiho mengiyakan
"Bagaimana perasaanmu? Sakit?"
Lambat-lambat Shiho menggeleng, "Hanya lelah," ia kemudian memandang sekeliling.
"Bayinya tidak disini," ujar Shinichi mengerti arti pandangan istrinya.
"Nani?"
"Dia harus disinar sesaat. Perawat akan membawanya kemari sebentar lagi,"
"Aku mengerti,"
Shinichi mengecup keningnya.
"Ehm? Kau ingin sesuatu?"
"Aku ingat sekarang,"
"Nani?"
"Aku ingat semua kenangan ketika aku baru sadar dari koma hingga sekarang,"
Shinichi mengerjap, "Benarkah?"
"Semuanya. Aku tidak habis pikir bagaimana kau bisa begitu percaya diri ketika kau mengaku sebagai tunanganku? Merinding rasanya,"
Shinichi terkekeh, "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi untuk membuatmu tetap disisiku,"
Shiho menyentuh pipi suaminya, "Kau tahu? Kau egois. Mengatur segalanya sesuka hatimu,"
Shinichi menggenggam tangan yang menyentuh pipinya, "Segalanya tentang dirimu, ya, aku sangat egois,"
"Kau satu-satunya yang mampu mengendalikan keras kepalaku,"
"Dan kau satu-satunya yang mampu membuatku bingung, marah, kagum dan canggung dalam waktu yang sama. Ya ampun Shiho. Ketika aku tahu kau membawa motor besar, aku sungguh ingin marah padamu, tapi lihat aku speechless sekarang,"
"Maaf, aku hanya tidak ingin membuatmu terluka lagi karena mereka. Semua yang terjadi adalah salahku, aku bekas salah satu dari mereka,"
"Aku mengerti. Tapi kau tidak bisa selalu melakukan segalanya sendiri, Shiho. Kau punya aku, kita suami istri sekarang. Kita harus menghadapinya bersama,"
"Shinichi..."
"Berjanjilah padaku, kau tidak akan pernah mengambil keputusan seperti itu seorang diri lagi,"
"Aku janji,"
"Benarkah?" Shinichi menaikkan salah satu alisnya, pura-pura ragu.
"Iya aku berjanji," Shiho terkekeh hangat seraya menatap suaminya mesra.
"That's my woman," Shinichi balik menatapnya mesra.
"Tapi bagaimana kau bisa menemukan markas itu? Aku tidak pernah mengenakan kacamataku lagi,"
Shinichi tersenyum seraya mengecup jari Shiho yang mengenakan cincin pernikahan mereka, "Anggap saja, itu karena kekuatan pernikahan,"
Shiho mengernyit tidak mengerti. Tapi Shinichi tidak menjelaskan lebih jauh, ia hanya mengulum bibir Shiho dengan lembut.
Mendadak tamu berdatangan. Jodie Sensei, Sera, Profesor Agasa, Ran, Ichiro, Akemi, Yusaku dan Yukiko.
"Rame ya?" gumam Shinichi sembari menyipitkan matanya.
Mereka datang membawa hadiah masing-masing, bunga, buah dan juga perlengkapan bayi. Akemi berulang kali berseru ingin melihat adik bayinya. Tidak berapa lama kemudian seorang perawat masuk sambil membawa bayinya yang sudah selesai disinari. Shiho menerimanya dalam dekapannya.
"Oh lihat, dia lucu sekali! Seperti Shin-Chan waktu bayi!" ujar Yukiko senang ketika melihat bayi laki-laki itu.
Bayi itu hanya bergumam lembut dipelukan Shiho, tidak terganggu dengan keramaian. Shiho mengecup pipinya yang tembam.
"Apa kau sudah memberinya nama, cool guy?" tanya Jodie Sensei.
"Belum," sahut Shinichi yang memandang Shiho, yang tampaknya belum memiliki ide juga.
"Nama apa yang bagus ya?" terdengar Yusaku bergumam seraya berpikir.
"Uhmmm..." Yukiko terlihat berpikir juga.
"Anak pertama Akemi... yang kedua berarti..." Profesor Agasa juga berpikir.
Tiba-tiba saja Shinichi dan Shiho mendapat sebuah ide.
"Ehhh... tampaknya kalian berdua sudah menemukan namanya," tebak Sera.
Shinichi dan Shiho saling bertukar pandang sebelum menyebut nama seorang pria yang telah mengorbankan dirinya untuk keselamatan mereka. Seorang pria pemberani yang namanya serasi dengan nama anak pertama mereka dan nama Shinichi, "Shuichi Kudou,"
.
.
.
.
.
Lima tahun kemudian di USA...
Apakah kau sudah menemukan seseorang yang kau sukai, Shiho-Chan? Terdengar suara Hell Angel.
"Mendengar rekaman itu lagi?" tanya Shinichi seraya memeluknya dari belakang.
"Ah ya," ujar Shiho seraya mematikan tape nya.
"Jadi, apa jawabanmu? Apakah kau sudah menemukan seseorang yang kau sukai?"
Shiho tersenyum seraya membalikkan tubuhnya untuk memeluk pinggang suaminya, "Bagaimana menurutmu? Apa aku telah menemukannya?"
"Ya ampun, kita sudah punya dua anak, kenapa kau tidak membuatnya mudah saja dengan mengakuinya?" Shinichi pura-pura ngambek.
Shiho nyengir seraya jinjit untuk mengecup bibir suaminya, "Aku sudah menemukannya, sejak lama,"
"Aku mencintaimu Shiho,"
"Begitu juga denganku,"
Sambil berangkulan mereka berjalan bersama ke halaman rumah dimana Akemi dan Shuichi sedang bermain bersama Yusaku dan Yukiko. Mereka duduk di kursi di pinggir kebun. Shinichi memandang wajah istrinya sebelum Shiho menyadarinya.
"Apa? Apa ada sesuatu di wajahku?" tanya Shiho.
Shinichi tertawa.
Shiho mengernyit, "Kenapa kau tertawa?"
"Kau mengingatkanku, aku pernah bertanya seperti itu ketika kita masih mengecil,"
"Nani?"
Kemudian Shinichi menceritakan tentang perkataan Yukiko. Ada dua alasan kenapa seorang wanita memandang seorang pria. Ada sesuatu diwajahnya atau karena ia menyukai pria itu.
"Jadi, apa jawabannya? Karena kau tidak pernah menjawabnya,"
"Haruskah aku menjawabnya?"
"Tuh kan! Kau tidak pernah membuatnya menjadi mudah,"
"Kau juga selalu menantangku untuk mengatakannya lebih dulu. Jika kau mau mengatakannya lebih dulu ya katakan saja,"
"Aku mencintaimu Shiho and always be," Shinichi merangkulnya seraya mengecup keningnya. "Jadi alasannya yang mana?" ia masih penasaran.
"Karena ada kotoran di matamu,"
Shinichi melotot, "Nani?!"
Shiho terkekeh, "Tentu saja karena aku menyukaimu... tapi tentu saja saat itu tidak mudah..."
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak pernah memiliki kehidupan selama di organisasi. Tapi ketika aku mengecil bersamamu, barulah aku merasakan kehidupan. Aku sangat bahagia, kau memberikan yang tidak pernah kumiliki. Entah kenapa, aku tidak merasa menyesal telah menelan APTX 4869. Aku sangat menikmati waktu kita bersama. Tapi aku takut kau marah jika mengetahuinya. Kau selalu menganggap APTX itu adalah bencana untukmu. Aku takut jika kau tahu kebahagiaanku, kau akan berpikir aku tidak serius menciptakan antidotenya dan pada akhirnya kau tidak lagi percaya padaku,"
Shinichi terdiam sesaat sebelum berkata, "Awalnya aku merasa seperti bencana, mengacaukan hidupku. Tapi ketika aku pikir-pikir lagi, aku pantas mendapatkannya. Aku tumbuh di keluarga yang sejahtera, memiliki otak jenius namun sombong karenanya. Aku menyukai publisitas seperti selebriti, bangga karena terkenal. APTX 4869 memaksaku untuk bersembunyi. Aku merasa tidak bebas bergerak, tapi perlahan aku mengerti. Mengerti untuk menjadi lebih sedikit rendah hati dan peka. Ketika menjadi Conan Edogawa, aku mengerti bagaimana rasanya direndahkan oleh orang lain. Pemikiranku banyak berubah. Aku berterima kasih atas pelajaran dari orang tuamu, Shiho,"
"Benarkah Shinichi? Meski aku telah mengacaukan rencana awalmu?" yang Shiho maksudkan adalah Ran Mouri.
"Ya, kenyataan terkadang tak sejalan dengan keinginan kita. Seringkali kita harus menempuh jalan yang berbeda. Mungkin awalnya terasa sulit, namun setelah waktu berlalu, kita akhirnya mengerti jalan yang lain itu adalah yang terbaik untuk kita,"
Shiho menyandarkan kepalanya ke bahu Shinichi, "Jadi, kau menyukai jalan yang berbeda itu?"
"Aku bahkan menyukai efek samping dari APTX 4869. Aku berterima kasih pada Hell Angel yang telah mengirimkanmu dalam hidupku,"
"Bagaimana jika akhirnya aku tidak pernah berhasil membuat antidote itu? Dan kau tidak akan pernah kembali ke tubuh normalmu?"
"Bahkan itu lebih jelas kan? Aku akan menghabiskan sisa hidupku bersamamu,"
"Benarkah? Aku kira kau akan memilih Ayumi Yoshida," goda Shiho
"Ya ampun..." Mata Shinichi menyipit seraya menyeringai.
Shiho tersenyum hangat seraya memandang anak-anak mereka, "Arigatou Prince. Karena kau memilih untuk bersama penyihir ini. Putri dari malaikat kegelapan,"
Shinichi tersenyum seraya mengecup keningnya dan mengeratkan rangkulannya untuk memberikan kehangatan, "Thank you Sherry, yang telah memutarbalikkan hidupku,"
THE END
