Berbagi Hati Yang Sama

By : pipi_tembam

Pertarungan dengan Black Organization telah berakhir. Kebenaran terungkap. Haibara berhasil membuat antidote APTX4869 sehingga dirinya dan Shinichi kembali ke tubuh normal mereka selamanya. Setelah melalui perjuangan panjang, Karasuma Renya, bos besar BO berhasil ditangkap oleh FBI. Gin tewas dalam adu tembak dengan Akai Shuichi yang menyamar sebagai Subaru Okiya sepanjang waktu. Vermouth memilih untuk melompat dalam kobaran api. Vodka, Korn, Chianti dan sisa anggota lainnya juga telah ditahan. Shinichi dan Haibara berhasil bertahan hidup melalui semua pergulatan itu. Shinichi hanya terkena sebuah tembakan di bahu kirinya. Namun Haibara terkena satu tembakan di kaki kanannya, sehingga dia harus bedrest di rumah sakit untuk sementara.

"Dia baik-baik saja, hanya terkena sebuah tembakan yang tidak terlalu dalam di bahu kirinya. Sebaiknya kau tenang," pinta Sonoko sembari berjalan bersama Ran di koridor rumah sakit untuk menemui Shinichi.

"Ya, tapi aku harus memastikannya sendiri," kata Ran yang masih tampak cemas.

"Ya ampun, siapa sangka ternyata selama ini bocah kacamata itu adalah Shinichi-Kun. Bagaimana mungkin bisa ada pil aneh seperti itu di dunia ini sih?!" gerutu Sonoko.

Mendadak mereka terpana pada pemandangan itu.

"Ya ampun Haibara! Kenapa kau begitu keras kepala? Dokter bilang kau masih harus bedrest, ingat?!" gerutu Shinichi.

"Ya Ai-Kun, jangan memaksakan dirimu," kata Profesor Agasa.

Haibara menggunakan dua tongkat untuk berjalan. Kaki kanannya masih di gips, "Aku akan menjadi boneka jika terkurung dalam ruangan itu! Aku harus mendapatkan udara segar!" Haibara berseru balik.

"Itu dia. Aku akan membuat perhitungan dengannya," gumam Sonoko penuh amarah.

"Apa maksudmu Sonoko?" Ran bingung namun terlambat. Sonoko sudah menghampiri Haibara dan

Plaaak!

Haibara mendapat sebuah tamparan keras hingga tubuhnya terhuyung. Tongkatnya jatuh ke lantai. Shinichi menangkapnya dan merangkulnya di saat yang tepat.

"Oi!" tegur Profesor Agasa tampak marah.

"Apa yang kau lakukan Sonoko?!" Shinichi memarahinya.

"Dia pantas mendapatkannya!" teriak Sonoko menunjuk Haibara, "Aku mengerti sekarang, kenapa gadis kecil itu memiliki sikap aneh dan kata-kata yang tajam. Ternyata dia adalah ilmuwan yang telah membuat pil bodoh untuk membuat kau dan Ran terpisah. Karena dia, Ran harus menderita menunggumu kembali!"

"Cukup Sonoko," Ran mencoba untuk menghentikannya.

"Kau pikir kau siapa?" pekik Profesor Agasa, "Tidak semestinya kau menamparnya seperti itu! Ai-Kun telah membayar semua kesalahannya!"

"Jangan seperti itu Sonoko. Kau mengenalnya, dia Ai-Chan. Dia tidak pernah bersikap buruk selama ini kan?" ujar Ran.

"Dia melakukannya! Dia membuatmu dan Shinichi berpisah. Dia membuat Shinichi hampir mati ketika harus berurusan dengan organisasi sialan itu untuk menyelamatkan hidupnya yang tidak berguna!"

"Cukup Sonoko!" seru Shinichi, "Dia adalah teman dan partnerku selama ini. Tentu aku harus melindunginya. Minta maaf padanya!"

"Tidak akan! Dia pantas mendapatkannya! Tidak seharusnya dia disini! Dia tidak akan pernah diterima di negara ini!"

"Kau!"

"Sudahlah Kudou-Kun," Haibara menghentikan Shinichi yang mau marah lagi. Ia menerima tongkat yang telah dipungut Profesor Agasa dari lantai.

"Haibara..." Shinichi memandangnya.

"Dia benar, aku memang pantas mendapatkannya..." gumam Haibara murung seraya berbalik. Denyut nyeri di pipinya tidak seberapa dibandingkan dengan sakit hatinya.

"Ai-Kun..." Profesor Agasa tampak sedih melihatnya.

"Maukah kau menemaniku untuk kembali ke kamar Hakase? Aku lelah,"

"Baiklah," sahut Profesor Agasa seraya membantunya berjalan kembali ke kamar.

Shinichi menatap Sonoko tajam, "Aku tidak pernah tahu ternyata kau sejahat itu,"

"Tidak sejahat dirinya," balas Sonoko

"Kau..."

"Dia dari organisasi hitam. Apa kau tidak sadar? Dia mafia!"

"Tapi itu bukan salahnya!" terdengar suara di belakang mereka. Mereka berbalik dan melihat kedatangan Detektif Cilik. Ayumi yang baru saja berteriak.

"Ayumi-Chan?" Ran terpana.

"Aku tahu Shiho-neechan melakukan kesalahan. Tapi dia sudah menebusnya, dia telah membuat penawar untuk menyembuhkan Shinichi-niichan. Dia berhak untuk mendapatkan kesempatan lagi!" lanjut Ayumi.

"Ya! Dia selalu baik selama ini! Dia pintar dan selalu mengajari serta melindungi kami!" timpal Mitsuhiko.

"Setuju!" seru Genta.

"Kalian tidak sadar? Kehadirannya selama ini bisa saja membahayakan posisi kalian! Mafia itu bisa menculik kalian demi mendapatkannya!" pekik Sonoko.

"Tapi aku tahu Shiho-neechan tidak akan membiarkannya! Dia baik!" bela Ayumi.

"Cih! Kalian hanya anak-anak, tidak tahu apapun," Sonoko melipat tangannya.

"Sebaliknya," Shinichi berkata, "Kau harus belajar dari mereka. Bahkan mereka yang masih kecil pun bisa mengerti. Aku kecewa padamu Sonoko," ia pun berbalik menuju kamar Haibara.

Ran hanya memandang punggungnya dalam diam. Mereka seharusnya merayakan keberhasilan ini namun suasanya mendadak berubah menjadi tegang.

"Jangan diambil hati, Ai-Kun," kata Profesor Agasa ketika ia membantu Haibara duduk di sofa di kamar perawatannya, "Sonoko-Kun memang kadang-kadang temperamental,"

"Tidak apa-apa Hakase. Dia benar, aku seharusnya ikut mati dalam ledakan itu,"

"Jangan berkata seperti itu! Kau masih muda Ai-Kun. Masih banyak yang dapat kau lakukan. Kau kan ilmuwan hebat!" hibur Profesor Agasa.

"Ya benar," timpal Shinichi yang baru saja muncul.

"Kudou-Kun?"

"Lagipula, masih banyak yang memerlukan dirimu..."

"Nani?"

Shinichi membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Detektif Cilik masuk.

"Minna?" Haibara terpana memandang anak-anak itu.

"Kami kemari untuk mengunjungimu Ai-Shiho-neechan," kata Ayumi.

"Yoshida-san... Kau tidak marah padaku?" tanya Haibara.

"Tentu saja tidak," sahut Mitsuhiko, "Kami hanya terkejut namun kami dapat menerimanya. Sekarang kami mengerti kenapa Haibara-San dan Conan-Kun sangat pintar, karena kalian memang bukan anak-anak,"

"Tapi sebagai anak-anak, kalian juga pintar..." kata Shinichi.

"Benarkah?" Mitsuhiko mengerjap menatap Shinichi.

"Ehm. Karena itu jangan pernah berhenti belajar," ujar Shinichi tersenyum kepada mereka.

"Tentu saja!" teriak Detektif Cilik bersamaan.

"Arigatou Minna. Aku lega kalian tidak marah padaku. Sebenarnya aku juga merindukan kalian. Kalian lah yang selama ini telah membuat hidupku berwarna," Haibara tersenyum hangat pada mereka.

"Kami tidak mungkin marah padamu Shiho-neechan. Kau selalu membuatkan kari dan sushi yang enak untuk kami," sahut Genta.

"Ya dan lagipula kau terlihat lebih cantik dalam bentuk dewasa," kata Mitsuhiko dengan wajah memerah.

Haibara terkekeh melihat wajahnya.

Shinichi dan Profesor Agasa juga terkekeh.

Mendadak terdengar suara ketukan pintu.

"Masuk," Profesor Agasa mempersilakan.

Ternyata Jodie Sensei dan Akai Shuichi yang muncul. Ada sesuatu yang ingin mereka sampaikan kepada Haibara. Sekarang mereka sama-sama duduk di sofa, bersebrangan satu sama lain hanya dibatasi sebuah meja tamu.

"Ini sangat rahasia... Anak-Anak itu..." Akai memulai pembicaraan.

"Aku percaya pada mereka," Haibara berkata dingin, "Kami sudah banyak menghabiskan waktu bersama, mereka punya hak untuk tahu apa yang akan terjadi pada diriku,"

"Tidak apa-apa Shu," Jodie berkata.

Akai terdiam.

"Apa yang ingin kalian bicarakan?" tanya Haibara.

Jodie sense menarik napas panjang sebelum berkata, "Sebenarnya Sherry. Kami datang kemari untuk memberikanmu sebuah penawaran,"

"Penawaran?"

"Untuk masa depanmu. BO sekarang sudah musnah, kami ingin menawarkanmu untuk bergabung dengan FBI. Kau adalah ilmuwan hebat, kami membutuhkan orang-orang jenius seperti dirimu untuk membantu investigasi kami. Kami akan memberikan fasilitas untukmu di USA. Apartemen, gaji bagus dan tunjangan lainnya," jelas Jodie.

Detektif Cilik terkesiap.

"Keren Miyano-neesan!" Mitsuhiko tampak kagum.

"FBI? Seperti di film?" gumam Genta.

"Bagus sekali Shiho-neechan! Tapi... Pasti kami akan merindukanmu karena kau akan tinggal di USA..." gumam Ayumi.

"Aku tidak tertarik," ujar Haibara

Semua orang mengernyit.

"Kenapa?" tanya Jodie.

"Apa kau tidak ingin memikirkannya lagi Haibara?" tanya Shinichi.

"Tidak perlu. Aku tidak tertarik," ulang Haibara.

"Jika alasanmu karena aku, aku akan menjaga jarak darimu Sherry. Lagipula aku sniper, tidak akan selalu berada di kantor," kata Akai.

"Shuu..." Jodie memandangnya.

"Well, terima kasih karena kau telah membantuku dan melindungiku selama ini sebagai Subaru Okiya maupun sebagai Akai Shuichi. Tapi ya, tidak berarti aku dapat memaafkanmu sebagai Moroboshi Dai yang telah menyebabkan kakakku terbunuh. Namun tidak, alasanku bukanlah dirimu. Tidak perlu begitu percaya diri Rye. Aku hanya tidak tertarik untuk bergabung dengan FBI," jelas Haibara.

Jodie menghela napas, "Sayang sekali Sherry. Kami benar-benar ingin kau bergabung dengan kami. Mungkin sekarang kau masih lelah. Kami akan kembali lagi minggu depan, berharap kau dapat merubah keputusanmu,"

"Terserah kau saja, tapi jawabanku akan tetap sama," sahut Haibara.

Merasa kecewa, Akai Shuichi dan Jodie Sensei keluar dari ruangan itu. Dan mereka berencana akan kembali minggu depan berharap Haibara merubah pikirannya.

.

.

.

.

.

"Kau belum tidur Ai-Kun?" terdengar suara Profesor Agasa.

"Kau juga Hakase?" tanya Haibara yang masih terduduk di tempat tidur.

Profesor Agasa mendekatinya dan duduk di tepi ranjang, "Ada apa Ai-Kun? Kau masih memikirkan penawaran Jodie Sensei?"

Haibara menggeleng, "Tidak. Lagipula aku memang tidak pernah tertarik dengan FBI,"

"Kenapa? Itu kesempatan bagus untukmu. Meskipun mungkin aku akan kesepian lagi, aku terlanjur terbiasa dengan kehadiranmu. Aku sudah menganggapmu putriku sendiri Ai-Kun,"

"Begitu juga denganku Hakase. Kau sudah seperti ayahmu sendiri,"

"Jadi, kau mau menjelaskan padaku kenapa kau tidak tertarik dengan penawaran mereka?"

"Karena aku mencintai negara ini, Jepang,"

"Eh?"

"Tapi aku tahu, aku tidak dapat hidup disini lagi," Haibara tampak murung ketika mengatakannya.

"Eh? Apa maksudmu? Jangan anggap serius perkataan Sonoko. Kami semua menyayangimu Ai-Kun. Aku, Detektif Cilik dan Shinichi,"

Ketika nama Shinichi disebut, Haibara terkesiap. Profesor Agasa menyadari bahasa tubuh tersebut.

"Apakah tentang Shinichi?" tebak Profesor Agasa.

"Hakase?"

"Tidak perlu menutupinya Ai-Kun. Aku tahu kau punya perasaan terhadapnya,"

"Tapi tidak ada harapan untukku kan? Hanya karena sesuatu yang disebut teman masa kecil,"

"Ai-Kun..."

"Tidak apa-apa Hakase. Sebagai partnernya, aku ingin dia bahagia dengan wanita yang dicintainya. Lagipula, Mouri-San adalah wanita yang baik, sepertii kakakku Akemi. Aku benar-benar berharap mereka bahagia bersama. Aku tidak ingin menjadi egois, karena itu aku ingin pergi,"

"Tapi Ai-Kun. Kau maish bisa hidup disini sebagai teman mereka. Aku yakin Shinichi masih memerlukanmu untuk membantu investigasinya,"

"Aku tahu, tapi meskipun aku bisa menahan diri dan tetap berpikir kami hanyalah partner namun bagaimana dengan Mouri-San? Aku tidak ingin membuat mereka tidak nyaman dengan kehadiranku,"

"Jadi apa rencanamu Ai-Kun?"

"Aku hanya ingin tenang, Hakase. Hidup damai. Aku tidak membutuhkan ketenaran sebagai ilmuwan muda yang hebat. Aku hanya ingin menjadi wanita biasa. Aku ingin hidup di sebuah desa terpencil yang indah lalu melupakan semua ini,"

Profesor Agasa mengangguk, "Aku mengerti perasaanmu Ai-Kun. Kau telah melalui banyak hal berat dan berbahaya. Kau pasti lelah,"

Haibara mengangguk.

"Ai-Kun, aku ada sebuah ide dan penawaran. Mungkin kau mau,"

"Nani?"

"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Haibara ketika melihat kedatangan Shinichi.

Saat itu Haibara sedang duduk berjemur di kursi taman rumah sakit.

"Ya ampun haruskah kau sesinis itu? Aku cuma ingin menjengukmu," gerutu Shinichi seraya duduk di sebelah Haibara.

Haibara nyengir, "Maaf maaf,"

"Bagimana keadaanmu sekarang?"

"Sudah lebih baik. Aku berharap bisa pulang besok, aku sudah bosan di rumah sakit,"

"Baguslah kalau begitu,"

"Bagaimana denganmu? Kau sudah selesai ujian akhir kan?"

"Ah ya,"

"Kau ingin lanjut kemana?"

Shinichi mengangkat bahu, "Entahlah, mungkin aku akan mengambil jurusan hukum di Harvard,"

"Nani? Kalau begitu bagaimana dengan Mouri-San?"

"Tidak apa-apa. Perpisahan ini tidak seperti setahun lalu kan?"

"Kau baru saja kembali. Seharusnya kau bersenang-senang lebih lama dengannya, kenapa malah ditinggal? Tahu begitu aku tidak akan memberikan penawaranya,"

"Nani? Kau mengerikan sekali,"

"Becanda,"

Shinichi menghela napas, "Kau tahu? Ternyata tidak mudah mempertahankan sebuah hubungan. Dari status 'teman' menjadi 'kekasih' tidak ada perbedaan maupun sesuatu yang baru. Kalau boleh dibilang agak monoton,"

"Tapi kau telah berjuang selama ini untuk kembali padanya kan. Jadi, jangan pernah meninggalkannya lagi," pinta Haibara.

"Aku tahu itu. Ngomong-ngomong. Apa kau sudah memutuskan penawaran dari Jodie Sensei?"

"Aku tidak tertarik sama sekali,"

"Kenapa? Itu kan kesempatan bagus untuk menggunakan kemampuanmu,"

"Bagaimana menurutmu Kudou-Kun? Haruskah aku menerimanya?"

"Kenapa kau malah bertanya padaku?"

"Hanya ingin mendengar pendapatmu,"

"Tentu saja bagus kalau kau bergabung dengan FBI meskipun..."

"Meskipun?"

"Meskipun aku akan kehilangan partnerku jika kau menerimanya,"

Haibara terkekeh, "Kau sudah punya Mouri-San sekarang untuk menjadi partnermu,"

"Tapi kau lebih ahli,"

"Jadi, kau takut kehilanganku Kudou-Kun?"

"Tentu saja. Kita kan teman. Lagipula aku sudah berjanji untuk melindungimu,"

"Kau telah memenuhi janji itu. Sebagai Conan Edogawa kepada Ai Haibara, kau tidak harus melakukannya sebagai Shinichi Kudou kepada Shiho Miyano lagipula BO sudah musnah. Karasuma Renya juga akan dihukum mati minggu depan,"

"Meski mereka telah musnah, tapi bahaya juga masih ada kan? Tidak peduli sebagai Shinichi Kudou maupun Conan Edogawa atau kau sebagai Ai Haibara dan Shiho Miyano. Aku akan tetap memegang janjiku untuk melindungimu,"

"Hati-hati. Jika Mouri-San dengar, ia akan cemburu,"

"Tidak. Dia tidak akan seperti itu. Dia wanita yang baik. Dia mengerti diriku, sebagai detektif tentu saja aku harus melindungi semua orang termasuk kau, partner terbaikku,"

"Lihat? Kau benar-benar tidak mengerti wanita. Walau dia tersenyum di depanmu itu hanyalah topeng. Sebenarnya, mungkin dia masih meragukan posisi dirinya di hatimu. Tidak Kudou-Kun, kau teman terbaikku di dunia ini. Aku tidak ingin menciptakan kecanggungan diantara dirimu dan Mouri-San,"

"Ayolah, tidak begitu sulit Haibara. Sonoko juga selalu berada diantara kami tapi Ran tidak pernah cemburu padanya kan? Jadi kau sama saja,"

"Tapi aku takut, tidak akan pernah sama,"

"Nani? Apa maksudmu Haibara?"

"Kudou-Kun. Bisakah kau berhenti memanggilku Haibara? Panggilah aku dengan nama asliku, Shiho,"

"Eh? Tapi aku sudah terbiasa memanggilmu Haibara,"

Haibara memberikan tatapan membunuhnya.

Shinichi merinding, "Oke... Shi—ho.."

"Itu lebih baik," Haibara tersenyum padanya.

Entah kenapa Shinichi merasa ia menyukai senyum itu.

Hening sesaat.

"Jadi apa rencanamu sekarang Ha-Shiho? Kalau kau memang tidak berniat bergabung dengan FBI?" tanya Shinichi memecah keheningan, "Seandainya saja kau bergabung dengan FBI dan aku kuliah di Harvard, kita bisa jadi tim yang hebat lagi kan? Kita akan berada di negara yang sama, USA,"

Shiho menggeleng, "Ide yang bagus tapi tidak,"

"Eh? Kenapa? Kau tidak ingin kita menjadi tim hebat lagi?"

Shiho menarik napas dalam, memberanikan dirinya ketika mengambil keputusan itu, "Aku sangat berterima kasih akan hal itu Kudou-Kun. Tapi sekarang aku hanya ingin menyelesaikan apa yang telah aku mulai disini. Aku juga ingin melepaskan seseorang dari tugas yang bukan tugasnya. Aku juga ingin melepaskan diriku dari ikatan ini,"

"Nani? Apa maksudmu?"

Shiho menatapnya lekat-lekat. Perlahan ia mengulurkan tangannya untuk meraih wajah Shinichi dan menyentuhkan bibirnya ke bibir Shinichi. Tidak dalam, sangat ringan namun lembut, tulus dan lama.

"Shiho?" gumam Shinichi ketika Shiho telah melepasnya. Ia terlihat bingung dan malu. Ia tidak pernah menyangka Shiho akan melakukan hal itu.

Shiho menatapnya dengan mata berkaca-kaca, "Dengan ini aku telah melepaskanmu dari janjimu untuk melindungiku. Dan dengan ini, aku akan berhenti untuk mencintaimu, Kudou-Kun,"

"Nani? Shiho..."

Shiho berusaha untuk tetap tenang ketika meraih tongkatnya dan berdiri, "Sekarang kau mengerti kenapa aku takkan pernah sama," ia pun pergi untuk kembali ke kamarnya tanpa menoleh lagi kepada Shinichi.

Shinichi tidak mengejarnya, ia terdiam di kursi itu lama sekali.

Seminggu kemudian...

"Shin-Chan! Shin-Chan! Bangun!" terdengar suara Yukiko yang menggedor pintu dengan kasar seraya berteriak.

Shinichi membuka pintu dengan wajah masih mengantuk, "Ada apa Okasan? Masih pagi,"

"Hakase... Hakaseee... Ai-Chan..."

"Nani?"

"Okasan baru saja dari rumah mereka untuk membawakan sandwich kesukaan Ai-Chan tapi... Tapi kosong... Aku hanya menemukan ini..." Yukiko menyerahkan sebuah surat ke tangan Shinichi.

Dear Shinichi,

Maaf Shinichi karena aku harus pergi tanpa memberitahumu karena Shiho-Kun menginginkannya seperti ini. Dia terlalu mencintaimu Shinichi karena itu ia memilih untuk pergi dari hidupmu agar kau bisa hidup bahagia dengan wanita yang kau cintai. Aku tidak bisa membiarkannya sendirian lagi, jadi kami berdua pindah ke suatu tempat yang baik dimana Shiho-Kun bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Kau tidak perlu khawatir, aku sudah menganggapnya sebagai putriku sendiri. Aku akan melakukan apapun untuk melindunginya dan membuatnya bahagia. Terima kasih Shinichi, untuk segalanya yang telah kau lakukan demi diriku dan Shiho-Kun. Tolong jangan cari kami, kau juga harus melanjutkan hidupmu. Semoga kau bahagia selalu.

Agasa

"Tidak mungkin... Hakase! Shiho!" Shinichi berlari ke rumah Profesor Agasa dan mendobrak pintunya. Namun ia hanya menemukan kekosongan.

"Shiho! Hakase!" teriak Shinichi.

Tidak ada yang menjawab.

Yukiko dan Yusaku tiba dan memandang rumah kosong itu juga.

Shinichi menuju kamar Shiho. Namun ia juga tidak menemukan apapun disana. Perabotannya masih ada namun semua pakaian sudah hilang. Shinichi duduk di tempat tidur Shiho, terbengong-bengong, bingung dan sedih.

"Shiho... Kenapa... Kenapa..." Ada airmata yang terbendung di mata Shinichi meski tidak mengalir. Kehampaan menyelimuti hatinya. Ia tidak pernah tahu, kehilangan Shiho rasanya sangat menyesakkan. Ia merasa ada bagian dari tubuhnya yang hilang. Kemudian ia teringat ciuman itu. Sekarang ia mengerti kata-kata Shiho. Ciuman itu adalah tanda perpisahan.

"Shin-Chan..." Yukiko menyentuh bahu putranya.

"Kenapa... Okasan... Kenapa Shiho..."

"Kita tidak akan pernah bisa mengerti perasaan wanita, terlebih lagi wanita seperti Shiho-Chan," Yusaku berkata.

"Aku memang bodoh untuk hal seperti ini," Shinichi menyalahkan dirinya sendiri.

"Shin-Chan... Jangan cemas, kita bisa mencarinya..." hibur Yukiko.

"Jangan. Biarkan saja..." pinta Yusaku.

"Yusaku?" Yukiko memandang suaminya, bingung dengan kata-katanya.

"Dia mencintaimu Shinichi tapi apakah kau merasakan hal yang sama? Jika kau tidak mencintainya maka biarkan ia pergi dan hidup dalam damai seperti keinginannya,"

"Tapi aku harus menemukannya Otosan!" Shinich bersikeras.

"Lalu apa yang akan kau lakukan setelah menemukannya? Membawanya kembali untuk melihatmu dan Ran bersama? Tidak. Itu hanya membuatnya semakin menderita. Biarkan dia pergi Shinichi kecuali kau telah yakin bahwa kau mencintainya. Tapi kita semua tahu kau mencintai Ran. Jadi berbahagialah bersama Ran dan biarkan Shiho bahagia dengan caranya sendiri,"

Shinichi mencengkram rambutnya merasa frustasi.

.

.

.

.

.

Sejak kepergian Shiho dan Profesor Agasa, hidup Shinichi tidak pernah sama lagi. Seperti ada vakum besar yang telah menyedot kegairahannya. Bagai ada batu besar menghimpit hatinya dan tidak peduli sudah seberapa keras ia mencoba untuk menarik napas dalam-dalam, batu itu tidak pernah hilang. Apapun yang Yukiko katakan, tidak bisa membuatnya menjadi lebih baik. Apapun yang Yusaku katakan, ia tidak peduli. Ia tetap mencari keberadaan Profesor Agasa dan Shiho. Tapi sama sekali tidak ada jejak dari mereka. Shinichi harus mengakui hanya Shiho, sang ilmuwan hebat yang mampu melakukan semua ini, bukan Profesor Agasa. Shiho sangat mengerti cara berpikir Shinichi, karena itu ia menghilang tanpa Shinichi bisa melacaknya.

Shinichi mencari pelarian dari rasa sesaknya dengan menyibukkan diri pada kasus-kasus. Tanpa Shiho, ia tetap bisa menyelesaikan kasusnya, namun ia merasa sendirian. Ia tidak lagi memiliki partner selevel dengannya untuk mendiskusikan sebuah kasus. Biasanya Shiho sangat terampil dan mempunyai banyak metode untuk mencari tahu informasi apapun yang diinginkannya. Saking sibuknya, ia jadi jarang berkencan dengan Ran. Jika Ran tidak terus menerus menelponnya, ia seakan lupa Ran ada.

"Shinichi," terdengar suara Ran memanggil suatu malam di depan rumah Profesor Agasa.

Shinichi menoleh, "Ran? Kenapa kau kemari?"

"Karena aku tahu kau pasti disini,"

Shinichi memandang rumah itu lagi. Sekarang rumah itu sangat gelap. Shinichi sering berdiri di depan sana seraya berpikir dan berharap ada petunjuk tentang kepergian Profesor Agasa dan Shiho. Terkadang ia memasuki rumahnya, untuk mengecek semua ruangannya dan akan terduduk lama di ruangan Shiho. Tapi tetap saja, tidak ada yang bisa dijadikan petunjuk.

"Kau masih tidak bisa menemukan mereka?" tanya Ran.

"Yah," Shinichi berkata tanpa melepas pandangannya dari rumah itu, "Begitulah Shiho. Dia sangat pintar. Jika dia tidak ingin ditemukan maka kita tidak bisa menemukannya,"

"Tapi kau tidak akan menyerah kan?"

"Tentu saja, bagaimanapun juga aku harus menemukannya,"

"Sepertinya kau sangat peduli padanya,"

"Tentu saja, dia partner terbaikku. Dia tahu apa yang ingin kulakukan dan begitu juga sebaliknya..." Shinichi tidak menyadari arti dibalik kata-kata Ran dan terus saja bercerita tentang Shiho. Kepandaiannya, tsunderenya, kesepiannya dan ketajamannya.

"Dia sendirian... Dia memang tidak pernah mengatakannya tapi aku tahu dia kesepian... Sekarang jika kuingat-ingat lagi... Aku menyadari setiap ada situasi berbahaya, dia berusaha untuk bertahan sendiri karena tidak ada seorang pun yang akan memeluknya atau mengenggam tangannya untuk meyakinkan segalanya baik-baik saja..."

"Kau benar, dia wanita hebat. Dia dapat mengerti dirimu dalam waktu singkat. Jika aku yang mengerti, itu adalah hal normal karena kita teman sejak kecil. Tapi jika dipikir lagi lebih jauh, aku tidak bisa mengerti dirimu lagi. Kau berubah Shinichi. Shiho-Chan lebih mengenalmu,"

"Nani? Apa maksudmu Ran?" Shinichi akhirnya menatapnya.

"Mungkin telah terjadi sesuatu pada dirimu yang kau sendiri tidak sadari,"

Shinichi terdiam, memikirkan kata-kata Ran.

"Kita putus saja Shinichi," ucap Ran akhirnya.

Shinichi terkejut, "Apa? Kau mau kita putus?"

"Aku tidak dapat meneruskan semua ini sementara dirimu sendiri masih ragu,"

"Ran..."

"Lagipula minggu depan kau akan berangkat ke USA untuk kuliah. Mungkin disana kau bisa menemukan petunjuk tentang Shiho-Chan,"

"Tapi Ran..."

Ran memandang Shinichi dengan senyum, "Tidak perlu khawatir Shinichi. Kita akan tetap menjadi teman. Setelah kau menemukan Shiho-Chan dan menemukan jawaban atas keraguanmu sendiri, belum terlambat untuk kembali padaku,"

"Maafkan aku Ran," bayangan akan ciuman diantara dirinya dan Shiho berputar dibenaknya. Shinichi menyadari ia menikmati sensasi itu. Ia menyukai senyum Shiho dan ingin bertemu dengannya lagi.

Ran menggeleng, "Tidak perlu minta maaf Shinichi..."

"Aku tahu aku pengecut. Aku tidak pantas untukmu dan selalu membuatmu menunggu..."

"Jangan berkata seperti itu Shinichi... Semua ini adalah proses..."

"Memang sebaiknya kau tidak menungguku lagi," Shinichi menyadari hubungannya dengan Ran datar saja tanpa kemajuan. Kencan dan pacaran yang diidamkannya selama ini ternyata tidak memiliki kenyataan yang indah. "Lanjutkan hidupmu dan temukanlah yang lebih baik dari diriku,"

"Shinichi..."

"Mungkin seharusnya aku melakukan ini sejak dulu, sehingga kau tidak menderita. Maafkan aku Ran... Aku ingin kau bahagia..."

"Tidak apa-apa, aku mengerti. Aku temanmu sejak kecil kan? Dan akan selalu begitu,"

"Terima kasih Ran,"

Giethoorn, Belanda

Dia menatap langit malam dimana terdapat banyak bintang. Perlahan ia memejamkan matanya untuk menghargai kesunyian itu seraya menarik napas dalam untuk menghirup bau rumput basah dan air kanal.

Kudou-Kun... Sedang apa kau sekarang? Batin Shiho.

Mendadak terdengar suara indah yang lembut dari seorang wanita.

"Shiho-Chan..." panggil Fusae.

Shiho membuka matanya dan menoleh pada ibu angkatnya yang cantik, Fusae yang telah menikah dengan Profesor Agasa.

"Okasan," Shiho tersenyum padanya.

Fusae mendekatinya seraya merangkul bahunya, "Kau masih memikirkannya?"

Shiho terdiam.

Fusae tersenyum, "Walaupun aku bukan ibu kandungmu, tapi aku bisa mengerti dirimu Shiho-Chan,"

Shiho menghela napas, "Aku tahu, aku tidak pernah bisa berpura-pura dihadapanmu, Okasan,"

"Kenapa kau tidak menghubunginya?"

Shiho menggeleng, "Aku tidak mau mengganggunya,"

"Bagaimana jika ternyata dia juga merasa kehilangan dirimu?"

"Itu hanya perasaan sebagai seorang teman, tidak lebih. Dia akan baik-baik saja, ada seorang wanita yang dia cintai di sisinya,"

"Shiho-Chan. Kenapa kau tidak mencoba untuk membuka hatimu lagi? Aku yakin diluar sana masih ada pria yang lebih baik untukmu,"

Shiho menatap ibu angkatnya penuh arti, "Bagaimana denganmu Okasan? Kau sendiri menunggu Otosan bertahun-tahun sebelum akhirnya kalian berhasil menikah bukan? Kau tidak pernah bisa membuka hatimu untuk pria lain, begitu juga aku,"

"Shiho-Chan..."

"Sepertinya kita sama, Okasan. Seumur hidup kita hanya bisa mencintai satu orang,"

Fusae mengangguk, "Sepertinya begitu. Tapi apakah kau baik-baik saja Shiho-Chan? Lihatlah dirimu, kau hanya makan sedikit, semakin lama semakin kurus. Kau juga masih insomnia. Aku khawatir,"

Shiho terkekeh, "Aku baik-baik saja Okasan. Kau tidak perlu cemas. Aku memang ada insomnia sejak dulu. Aku juga tidak pernah makan banyak seperti Otosan, aku tidak ingin gemuk seperti dirinya. Dan aku sangat bahagia disini. Desa ini sangat indah dan damai. Aku mencintai pekerjaanku sekarang sebagai guru sains, anak-anak itu membuat hidupku berwarna. Aku juga memiliki keluarga baru disini. Aku sudah menganggapmu dan Otosan sebagai orang tua kandungku. Kalian melengkapi hidupku,"

Meski Shiho mengatakannya sambil tersenyum tapi Fusae dapat menangkap kesedihan di kedalaman tatapan matanya. Tapi ia memutuskan untuk tidak membahasnya karena tidak ingin membuat Shiho sedih, "Kami juga menganggapmu sebagai putri kami, Shiho-Chan. Kami sungguh sangat menyayangimu,"

"Aku tahu itu,"

"Jangan ragu untuk cerita pada kami jika ada sesuatu yang mengganggumu. Kau tidak sendirian sekarang,"

"Aku janji,"

"Sudah larut malam, bagaimana jika kita kembali ke dalam?"

"Sebentar lagi Okasan. Aku masih ingin disini,"

"Oke, tapi jangan terlalu lama,"

"Ehm..." Shiho mengangguk.

Fusae menepuk lunak bahunya sebelum berjalan kembali ke rumah dan meninggalkan Shiho seorang diri.

Kau sungguh beruntung Okasan... Walau harus menunggu bertahun-tahun tapi akhirnya kau bersama dengan Otosan... Lagipula dibalik kepolosan Otosan, di dalam hatinya, dia hanya mencintaimu... Tapi aku... Detektif itu hanya mencintai teman masa kecilnya... Tidak sedikitpun memiliki harapan... Namun aku tidak menyesalinya... Aku benar-benar menginginkannya bahagia... Benarkan Kudou-Kun?

.

.

.

.

.

Taman Universitas Harvard

Hari ini adalah hari wisuda Shinichi. Ran, Sonoko dan Detektif Cilik datang ke USA karena diundang Yusaku dan Yukiko untuk memeriahkan suasana. Tiga tahun telah berlalu. Shinichi menghabiskan waktu dengan kesibukan studinya, investigasinya bersama Jodie Sensei dan dia juga masih mencoba untuk menemukan Shiho walaupun belum ada perkembangan. Dia hidup bagai robot hanya untuk belajar dan investigasi. Setelah ini, Yusaku dan Yukiko telah mengatur agar Shinichi bertunangan dengan Ran. Mereka belum membahas ini dengan Shinichi tentu namun mereka pikir Shinichi dan Ran tidak akan menolaknya, mereka yakin anak-anak muda itu masih menyukai satu sama lain. Yusaku dan Yukiko khawatir dengan kondisi putra mereka. Mereka ingin hidup Shinichi berwarna lagi dan mereka kira hanya Ran yang dapat melakukannya sekarang.

"Cheese!" mereka berseru bersama di depan kamera.

Mereka berfoto bersama, tertawa dengan ceria. Sepertinya kali ini Shinichi bisa tertawa lepas lagi karena ada Detektif Cilik. Tidak ada yang tahu apa yang ada dalam benak Shinichi.

Sudah tiga tahun Shiho... Dimana kau? Sampai kapan kau ingin bersembunyi dari diriku? Batin Shinichi.

"Shinichi-niichan, ayo kita foto-foto lagi!" ajak Ayumi.

"Oke!" Shinichi merespon seraya tersenyum dan menepuk lunak kepalanya.

Mendadak handphone Shinichi berbunyi dari nomor yang tidak dikenal.

"Hello?" Shinichi menjawab telpon.

"Shinichi..." terdengar suara yang tidak asing memanggil namanya.

"Ha... Hakase?!" tubuh Shinichi membeku. Ada apa? Kenapa Profesor Agasa mendadak menelpon? Mengapa suaranya terdengar sedih.

Yusaku, Yukiko, Ran, Sonoko dan Detektif Cilik juga membeku.

"Ya, ini aku Shinichi," suara Profesor Agasa bergetar menahan tangis.

"Ada apa Hakase? Kenapa kau menangis?" tanya Shinichi.

"Maaf Shinichi baru menghubungimu sekarang. Shiho bisa marah kalau sampai tahu tapi sekarang ini ia sedang tidak bisa marah,"

"Apa maksudmu?"

"Shinichi... Shiho sekarang tidak sadarkan diri..."

Tubuh Shinichi mendadak dingin, "Tidak sadarkan diri?"

Semua orang yang mendengar itu terkesiap.

"Dia kena kanker hati... Tolong datanglah kemari Shinichi... Selagi sempat..."

"Dimana kau Hakase?"

"Belanda,"

Mereka tidak membuang waktu lagi. Setelah Shinichi memutuskan sambungan, mereka bergegas mempersiapkan segalanya untuk terbang ke Belanda.

"Hakase? Shiho?" tanya Shinichi ketika ia telah bertemu Profesor Agasa dan istrinya Fusae di rumah sakit. Yusaku, Yukiko, Ran, Sonoko dan Detektif Cilik menyusul di belakangnya.

Profesor Agasa tidak dapat bicara lagi, ia hanya menunjuk Shiho melalui pintu kaca. Shiho terbaring di ruang ICU, tidak sadar dan mengenakan selang-selang serta alat-alat untuk mengawasi kehidupannya.

Mereka semua berkerumun di pintu kaca dan merasa terenyuh. Bahkan Sonoko menyalahkan dirinya sendiri karena ia pernah marah dan menampar Shiho.

Shinichi masuk seorang diri menghampiri tempat tidur. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Shiho.

"Shiho..." bisiknya.

Namun Shiho tidak merespon. Ia tetap tidur.

"Shiho..." Shinichi tak mampu membendungnya lagi. Airmatanya mengalir, ia menggenggam tangan Shiho dan menempelkannya di pipinya sendiri, "Kenapa Shiho... Kenapa..." Ia menangis sekarang.

Airmata Ran mengalir juga melihat pasangan itu. Terutama Shinichi, ia tidak pernah melihat Shinichi terpukul seperti ini. Yukiko, Sonoko dan Detektif Cilik juga menangis.

Shinichi tampak menegarkan dirinya ketika ia keluar dari ruangan untuk menemui Profesor Agasa, "Apa yang terjadi Hakase? Kenapa Shiho jadi seperti ini?" tanyanya.

Fusae yang menjawab semua itu, "Shiho-Chan... Meski dia terlihat bahagia dari luar, menikmati hidup barunya sebagai guru sains tapi ia tetap kesepian... Aku tahu dia selalu sedih... Setiap hari dia memikirkanmu Shinichi-Kun... Insomnianya tidak pernah sembuh, makannya sedikit dan sering memaksa diri untuk bekerja keras mempersiapkan materi untuk mengajar... Perlahan tubuhnya lemah, kurus dan sering batuk. Batuknya tidak pernah sembuh sampai akhirnya keluar darah dan ia pingsan. Dokter mengatakan ia terkena kanker hati..."

"Bagaimana? Bagaimana untuk menyelamatkannya? Pasti ada cara!" desak Shinichi.

"Dokter bilang ia harus transplantasi hati," kata Profesor Agasa, "Tapi sampai saat ini tidak ada hati yang cocok untuk Shiho termasuk aku dan Fusae. Dokter khawatir waktunya tidak banyak lagi. Kami hanya bisa menunggu dan mengikhlaskannya. Shiho menolak ketika aku menawarkan untuk menghubungimu. Ia tidak mau mengganggu kebahagiaanmu dan membuatmu sedih. Namun ketika dia sudah tidak sadar seperti ini, aku tidak tahan lagi. Aku memanggilmu untuk bertemu dengannya terakhir kali," Profesor Agasa menghapus airmata dengan saputangannya.

"Tidak. Masih ada harapan. Shiho sangat kuat. Aku tahu ia bisa menunggu. Aku akan berikan hatiku," kata Shinichi.

"Kami bisa memberikan hati kami juga!" Ayumi berkata dan yang lainnya mengangguk setuju.

"Aku juga!" kata Ran.

"Aku juga!" kata Sonoko

"Kami juga," Yusaku dan Yukiko berkata bersamaan.

"Tapi kata dokter..." Profesor Agasa tidak berani banyak berharap.

Shinichi menepuk kedua bahu Profesor Agasa untuk menguatkannya, "Kita harus mencobanya Hakase! Jangan menyerah!" kemudian ia melihat Shiho lagi seraya berkata dalam hati, aku yakin kau akan menunggu Shiho...

Keluarga Kudou, Ran, Sonoko mulai mengikuti prosedur untuk memeriksakan hati mereka apakah bisa menjadi pendonor bagi Shiho. Detektif Cilik belum diperbolehkan menjadi pendonor karena usianya belum cukup.

Tiga hari kemudian yang terasa tiga tahun. Dokter memberi kabar hati Shinichi yang paling cocok untuk menjadi pendonor Shiho. Mereka mengatur jadwal operasi secepat mungkin karena takut Shiho tak mampu menunggu lagi.

.

.

.

.

.

Sudah sebulan sejak operasi transplantasi itu dilaksanakan. Shinichi telah pulih setelah menjadi pendonor. Ia ingin menemui Shiho namun dokter masih melarangnya dan memintanya untuk menunggu hingga kondisi Shiho stabil. Detektif Cilik, Ran dan Sonoko telah kembali ke Jepang. Shinichi dan orang tuanya masih tinggal di Belanda. Meskipun belum dapat menemui Shiho namun mereka dapat melihatnya dari kejauhan.

Seminggu setelah transplantasi, Shiho sadarkan diri. Ia masih belum tahu siapa yang telah mendonorkan hati untuknya. Profesor Agasa, Fusae dan tim medis juga belum mau memberitahunya sampai kondisinya memungkinkan. Dibawah perawatan Fusae, keadaan Shiho semakin baik. Tubuhnya perlahan terisi, pipinya membulat dan terdapat rona merah segar.

"Aku senang melihat keadaanmu jauh lebih baik Shiho-Chan," kata Fusae suatu pagi seraya meletakkan mangkuk kosong di lemari sebelah tempat tidur Shiho. Ia baru saja selesai membantu Shiho sarapan, "Selera makanmu membaik, bahkan jauh lebih baik dari sebelum kau sakit,"

"Gomene Okasan. Aku telah membuatmu dan Otosan cemas," kata Shiho.

Fusae tersenyum seraya membelai rambut Shiho penuh sayang, "Jangan berkata seperti itu, kami lega sekali melihatmu sekarang. Setelah ini tolong benar-benar jaga kesehatanmu,"

"Aku janji Okasan,"

"Itu baru putriku. Bagaimana perasaanmu sekarang? Dadamu masih sakit?"

Shiho menyentuh bahunya, "Hanya perih sesekali. Tapi itu bukan masalah besar, aku merasa jauh lebih baik sekarang. Aku... aku merasa hangat disini..."

Fusae tersenyum penuh arti. Tentu saja Shiho mungkin merasakan kehangatan itu, kehangatan dari hati seorang pria yang ia cintai.

"Okasan..."

"Ehm?"

"Siapa yang telah mendonorkan hatinya untukku?" tanya Shiho.

Fusae tahu cepat atau lambat Shiho akan menanyakannya.

"Aku ingin tahu Okasan, aku harus mengucapkan terima kasih,"

"Apa kau yakin ingin tahu Shiho-Chan?"

"Ehm," Shiho mengangguk, "Kondisiku sudah baikan, aku sudah boleh tahu kan?"

Fusae menepuk lunak tangan Shiho sebelum berkata, "Oke, aku akan panggil dia sekarang," kemudian ia bangkit dari tepi ranjang dan berjalan ke pintu untuk membukakannya bagi seseorang. Shinichi yang sudah menunggu sejak tadi diluar kamar akhirnya masuk. Fusae meninggalkan mereka berdua saja.

Shiho terpana memandangnya, "Ku-Kudou-Kun?" ia tidak dapat memercayai matanya.

Shinichi tersenyum seraya menghampirinya dan duduk di tepi tempat tidur, tepat di hadapan Shiho. Ia tidak dapat melihat apapun kecuali mata Shiho dan merasa bodoh kenapa selama ini ia tidak menyadari matanya begitu indah.

"Kau memang ilmuwan hebat, aku sang detektif pun tidak mampu menemukanmu jika Hakase tidak menghubungiku," ujar Shinichi, "Tapi kau tidak bisa kemana-mana lagi sekarang, karena kita sudah berbagi hati yang sama. Aku akan tahu kemanapun kau pergi, karena kita sudah terikat,"

"Tapi kenapa Kudou-Kun? Kenapa kau melakukannya?" Shiho menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ia sangat merindukan pria ini.

"Aku telah berjanji untuk melindungimu bukan?"

"Tapi aku telah melepasnya darimu,"

"Ah aku bisa menyelesaikan hal itu..." kemudian perlahan Shinichi mendekatkan kepalanya, meraih bibir Shiho dengan bibirnya. Melakukan hal yang sama yang Shiho lakukan padanya tiga tahun lalu. Sebuah kecupan yang ringan, tulus dan lama.

"Kudou-Kun?" gumam Shiho bingung, tidak mengerti sikapnya.

"Dengan ini aku berjanji lagi untuk melindungimu dan dengan ini aku mohon padamu untuk tidak berhenti mencintaiku," pinta Shinichi.

"Tapi..."

Shinichi memeluknya, menempelkan dadanya ke dada Shiho, "Kau dengar itu?" bisiknya, "Hati kita memiliki ritme yang sama. Kita adalah satu sekarang, Shiho. Selamanya aku akan selalu di sisimu,"

"Mouri-San... Kau mencintainya..."

"Kami hanya teman. Setelah kepergianmu, kami memutuskan untuk menjadi teman baik saja. Dan sekarang aku ingin berkata jujur padamu..."

"Tidak Kudou-Kun... Jangan..." Shiho ingin melepaskan diri dari pelukan Shinichi, namun Shinichi malah mengeratkan dekapannya. Ia tidak ingin melepaskan Shiho lagi.

"Aku mencintaimu Shiho..."

Airmata mengaliri pipi Shiho, "Kudou-Kun..."

"Jangan menghindarinya lagi, kau juga memiliki hak untuk bahagia. Aku mencintaimu Shiho Miyano..."

Perlahan tangan Shiho merayap naik untuk menyentuh pundak Shinichi, membalas pelukannya dan menyandarkan wajahnya sepenuhnya di bahu kokohnya.

"Aku juga mencintaimu Shinichi..." bisik Shiho.

Shinichi tidak pernah merasa selega ini seumur hidupnya.

THE END