Find My Way Home To You
By : pipi_tembam
SD Teitan...
"Ibuku adalah seorang ilmuwan. Dia sangat cantik dan pintar. Dia telah berhasil menemukan obat untuk menyembuhkan AIDS dan Mers. Disamping pekerjaannya, Okasan sangat peduli padaku. Aku tidak memerlukan kursus tambahan untuk pelajaran Matematika atau Bahasa Inggris karena, Okasan bisa mengajariku dengan baik melebihi guru lainnya. Okasan dapat mengajariku Bahasa Inggris dan Matematika dengan cara yang menyenangkan, sehingga aku tidak bosan ataupun tertekan. Bagiku Okasan adalah ibu terbaik di dunia ini. Aku sangat menyayanginya. Terima kasih Okasan," Shuichi Miyano mengakhiri ceritanya. Semua hadirin bertepuk tangan untuknya. Ibunya Shiho Miyano sangat bangga padanya dan tersentuh mendengar ceritanya. Hari ini adalah hari dimana anak-anak membuat karangan mengenai orang tuanya dan menceritakannya di depan kelas disaksikan teman-teman, guru dan termasuk orang tuanya masing-masing.
"Bagaiman tadi Okasan?" tanya Shuichi ketika mereka berjalan bergandengan bersama untuk pulang ke rumah.
"Bagus sekali Shuichi. Okasan sangat bangga padamu dan sebagai hadiah Okasan akan membuatkan makanan kesukaanmu malam ini," Shiho tersenyum pada putranya.
"Hore! Kau memang ibu terbaik di dunia ini, Okasan," Shuichi berkata penuh cinta.
"Dan kau benar-benar putra terbaikku, Shu-Chan," Shiho memandangnya penuh sayang.
Mereka tertawa bersama.
Sepuluh tahun sudah berlalu sejak Black Organization hancur. Shiho Miyano akhirnya dapat mengumpulkan data-datanya kembali untuk membuat antidote APTX4869 untuk mengembalikan tubuhnya dan tubuh Shinichi ke ukuran normal. Dia pun berhasil. Shinichi akhirnya bisa melanjutkan hidupnya di SMA dan berkencan dengan Ran. Setelah Shinichi lulus dari SMA, ia melanjutkan pendidikannya ke universitas mengambil jurusan hukum sementara Ran mengambil kuliah jurusan psikologi anak. Setelah lulus dari kuliah, mereka menikah. Shinichi membuka kantor agensi detektifnya dan semakin hari agensinya semakin berkembang. Kliennya semakin banyak sampai ia harus memperkerjakan beberapa detektif lain dan sejumlah staff admin. Sedangkan Ran bekerja sebagai guru TK di sebuah sekolah.
Lalu Shiho Miyano yang sebatang kara, setelah BO hancur ia tetap tinggal bersama Profesor Agasa yang telah menganggapnya sebagai putrinya. Begitu juga dengan Shiho, ia telah memandang Profesor Agasa sebagai ayahnya. Shiho melanjutkan studinya hingga ia berhasil menjadi ilmuwan hebat. Ia sering mengikuti seminar dan symposium. Namanya telah diakui dunia sebagai ilmuwan muda berbakat. Empat tahun setelah BO hancur, Shiho yang tidak ingin merasa kesepian lagi, memutuskan untuk memiliki bayi. Ia tidak punya teman kencan pria, bukan karena tiada pria yang tertarik padanya namun ia tidak yakin kalau ia menginginkan hal tersebut. Jadi ia memilih program bayi tabung. Spermanya berasal dari bank sperma. Sesuai prosedur, dia tidak tahu sperma itu milik siapa karena sangat rahasia. Tapi ia tidak peduli akan hal itu. Selama Dokter Araide berkata sperma itu berasal dari seorang pria yang baik, Shiho memercayainya. Setelah gagal dua kali, Shiho akhirnya berhasil hamil pada percobaan ketiga. Ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Shuichi. Nama sepupunya yang telah meninggal karena menyelamatkannya dari Gin.
Shuichi Miyano sekarang sudah berusia enam tahun. Dia sangat tampan dan pintar. Dia mencintai matematika, sains, misteri dan sepakbola. Dia sangat periang dan penuh rasa ingin tahu. Terkadang kalau Shiho sedang membantu Shinichi dalam investigasi kasusnya, Shuichi juga ikut nimbrung dan Shinichi pun tidak keberatan. Kalau Shiho harus keluar kota atau keluar negri, Shinichi senang sekali dititipi Shuichi dan ia akan membawanya untuk ikut menginvestigasi kasus. Entah kenapa melihat Shuichi, ia jadi teringat dirinya sendiri waktu kecil. Shuichi seperti dirinya dalam versi Conan. Ran pun tidak keberatan kalau sesekali Shuichi datang main ke rumah. Terlebih lagi, sejak menikah dengan Shinichi sampai sekarang, mereka belum dikaruniai anak satupun. Mereka sudah mencoba segala cara, namun belum berhasil.
"Shinichi Ojisan!" Shuichi berlari pada Shinichi ketika mereka sampai dirumah.
"Hei boy!" Shinichi menyambutnya dan mereka melakukan tos khas mereka. Hanya mereka berdua yang bisa melakukannya.
"Apa yang kau lakukan disini Kudo-Kun?" tanya Shiho.
"Oh, seperti biasa, aku memerlukan bantuanmu untuk investigasi kasus," jawab Shinichi.
"Lagi?" Shiho menaikkan sebelah alisnya.
"Asik! Kali ini kasus apa Shinichi Ojisan? Kau mau menceritakannya?" tanya Shuichi penuh semangat.
"Tentu saja," Shinichi menepuk lunak kepala bocah itu.
"Mandi dulu Shu-Chan," pinta Shiho.
"Hai..." Shuichi pun berlari ke kamar mandi.
Ketika Shuichi sudah menghilang ke kamar mandi, terdengar Shinichi menghela napas.
"Ada apa?" tanya Shiho lagi.
"Dia benar-benar menyenangkan ya? Shuichi..."
"Ya tentu saja," Shiho tersenyum
"Kau mendidiknya dengan baik. Aku tidak pernah menyangka ternyata kau bisa menjadi ibu yang hebat juga, evil yawny eyes," goda Shinichi seraya nyengir.
"Hentikan itu!" omel Shiho.
"Aku harap kami bisa memiliki anak juga,"
"Bersabarlah, waktunya akan segera datang,"
"Coba pikirkan. Kau tidak memiliki suami tapi kau berhasil dalam bayi tabung. Sementara aku dan Ran, kami menikah tapi sudah gagal dalam program itu dan percobaan lainnya,"
"Aku juga pernah gagal dua kali kan?"
"Sudah enam tahun kami menikah, Shiho. Aku dan Ran tidak ada masalah kesehatan maupun kesuburan. Aku tidak tahu apa yang salah pada kami. Terkadang kami bertengkar karena hal itu,"
"Eh? Benarkah?" Shiho terkejut.
"Ya, aku tidak tahu ternyata menikah bisa menjadi sesulit itu. Hal-hal yang tadinya bukan masalah besar tapi sekarang hampir selalu diperdebatkan. Aku kira Ran wanita yang sangat pengertian dan sabar tapi entahlah, aku merasa dia berubah. Kami tidak hanya bertengkar karena masalah anak, tapi dia sudah mulai menuntut waktuku. Dia muak dengan kesibukan pekerjaanku sebagai detektif dan teror-teror yang terkadang datang dari musuh para klien,"
"Dia sudah bersabar menunggumu ketika kau masih mengecil. Lalu kau sekarang sibuk dengan kasus-kasusmu. Mungkin kau memang harus meluangkan lebih banyak waktu untuknya,"
"Ya dan dia selalu mengungkit hal itu. Dia sudah bersabar menungguku dan sekarang berharap aku juga mengalah. Kau tahu Shiho, aku akan melakukan apapun untuknya tapi entahlah, tampaknya dia tidak mengerti,"
"Apa kau pernah mempertimbangkan untuk adopsi?"
"Ya, aku tidak keberatan adopsi, tapi Ran tampaknya masih enggan. Ia masih menaruh harapan besar kami memiliki anak sendiri,"
"Sepertinya Ran-San benar, Kudo-Kun. Sekarang saatnya bagimu untuk mengalah dan bersabar. Kau juga harus mengerti dirinya. Ambil cuti dan berliburlah bersama. Siapa tahu keadaan kalian membaik,"
Shinichi terdiam sesaat sebelum berkata, "Ya mungkin kau benar. Maaf, aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja jadi menceritakan ini padamu,"
"Tidak apa-apa Kudo-Kun. Aku mengerti kesulitanmu. Itulah sebabnya aku belum mau berkencan apalagi berumah tangga. Karena tidak semua orang awam bisa mengerti panggilan hidupku sebagai ilmuwan sama seperti panggilan hidupmu sebagai detektif,"
"Aku mengerti," dalam hatinya Shinichi mengagumi keputusan berani Shiho.
.
.
.
.
.
Rumah Sakit...
Shiho tergesa-gesa berlari menyusuri koridor rumah sakit. Ia telah meninggalkan seminar ketika ia mendengar kabar itu dari sekolah. Shuichi mendapat kecelakaan di sekolah. Ia jatuh dari tangga ketika sedang bermain petak umpet bersama teman-temannya. Profesor Agasa telah menunggu kedatangannya di luar ruang operasi.
"Hakase," panggil Shiho.
"Shiho-Kun," Profesor Agasa berdiri menyambutnya.
"Shuichi? Bagaimana Shuichi?" tanya Shiho panik.
"Dokter Araide masih menanganinya,"
"Apakah parah jatuhnya?"
"Gurunya bilang keningnya mengeluarkan darah cukup banyak,"
"Oh ya ampun anak nakal itu. Bagaimana mungkin?!" Shiho frustasi.
"Tenanglah Shiho-Kun. Kita tunggu saja penjelasan dari Dokter Araide,"
Tiba-tiba keluarga Kudo muncul. Shinichi dan Ran. Mereka juga tampak cemas.
"Hakase! Shiho!" Shinichi memanggil mereka.
"Kudo-Kun, Ran-San..." Shiho balas memanggil.
"Bagaimana keadaan Shuichi?" tanya Shinichi.
Shiho menggeleng, "Masih belum tahu,"
Mereka menunggu selama 30 menit lagi yang terasa seperti 3 abad. Akhirnya Dokter Araide keluar dari ruang operasi.
"Bagaimana Shuichi?" tanya Shiho tak sabar.
"Dia berdarah cukup banyak, hingga memerlukan transfusi," Dokter Araide memberitahu.
"Rumah sakit ini banyak stock kantong darah kan?" tanya Shiho yang mengetahui golongan darahnya dan Shuichi berbeda.
"Ya memang banyak stok disini tapi tidak ada satupun yang bisa digunakan untuk Shuichi," jawab Dokter Araide muram.
"Kenapa? Apakah jenis darahnya langka?" tanya Ran.
Ketika menjawab hal tersebut, Dokter Araide menatap Shinichi penuh arti, "Ya, langka,"
Semua orang terkesiap.
"Apa rhesusnya?" desak Shiho.
"Sebaiknya kalian semua ke ruanganku. Aku akan menjelaskannya," pinta Dokter Araide.
Mereka semua akhirnya memasuki ruang kerja Dokter Araide agar lebih privasi. Dokter Araide tidak menyangka, ia harus menghadapi hal ini lebih cepat dari dugaannya. Ia harus menjelaskan hal yang tidak seharusnya dijelaskan. Ia mengambil napas dalam-dalam sebelum memulai.
"Kau ingat Shiho? Sebelumnya kau gagal dua kali dalam program bayi tabung?"
"Ya, kenapa? Apa hubungannya dengan hal ini sekarang?" tanya Shiho.
"Aku bertanya-tanya kenapa kau gagal. Karena tidak ada yang salah dalam prosesnya. Dan diwaktu yang sama Ran juga gagal dengan program bayi tabungnya. Jadi aku menginvestigasi kasus ini lebih lanjut,"
Entah kenapa Shinichi memiliki firasat tidak enak dengan apa yang akan dijelaskan Araide selanjutnya.
"Shiho. Ketika kau dan Shinichi menelan antidote APTX 4869, gen kalian telah bermutasi sebagai efek samping dari penawar tersebut. Ketika kalian mengecil, urat-urat kalian dipaksa menyempit dan ketika kalian kembali, urat-urat itu dipaksa merenggang kembali. Itu sebabnya, gen kalian bermutasi,"
"Langsung saja ke inti permasalahannya," pinta Shiho semakin tak sabar.
"Aku minta maaf Shiho. Pada percobaan bayi tabung ketiga pada dirimu, aku menggunakan sperma Shinichi,"
"Nani?!" Shiho terkejut, begitu juga dengan yang lainnya.
"Jadi... Maksudmu... Shuichi..." Shinichi sulit melanjutkan kata-katanya.
"Shuichi adalah putramu dengan Shiho," jelas Dokter Araide.
Shiho terhuyung, Profesor Agasa merangkulnya untuk menopang tubuhnya. Ran dan Shinichi membeku. Sekarang Shiho mengerti kenapa ia selalu merasa Shuichi sangat mirip dengan Shinichi, bukan karena mereka sering bermain bersama melainkan mereka ternyata adalah ayah dan anak. Ia tidak pernah menyangka akan melahirkan anak dari Shinichi. Itu diluar bayangannya.
"Aku minta maaf Shinichi, Ran. Tapi kalian tidak akan pernah bisa memiliki anak. Shiho juga tidak akan pernah bisa melahirkan anak dari sperma pria lain. Gen yang bermutasi hanya bisa membuahi dan menerima dari gen yang juga bermutasi. Aku menemukan hal itu ketika akhirnya Shiho berhasil hamil pada percobaan ketiga dengan spermamu. Jadi sekarang, yang bisa menyelamatkan Shuichi hanya dirimu. Golongan darah kalian sama dan harus berasal dari gen yang bermutasi. Hanya kau yang dapat menyelamatkannya Shinichi," Dokter Araide mengakhiri penjelasannya.
Bahkan sebelum Shinichi mengetahui Shuichi adalah putranya. Shinichi telah menganggapnya sebagai putranya sendiri. Dia sangat menyayangi Shuichi. Sekarang setelah mengetahui Shuichi adalah anak biologisnya, ia harus berusaha menahan diri untuk berlari ke ruang operasi dan memeluknya.
"Tentu saja aku akan membantunya. Dia putraku," ujar Shinichi.
.
.
.
.
.
Beberapa hari kemudian di rumah sakit...
"Watson membeku ketika ia melihat Sherlock di kamarnya..." Shinichi membacakan novel Sherlock Holmes untuk Shuichi yang sudah sadar. Tubuh Shuichi menerima darah dari Shinichi dengan baik. Sekarang ia sangat antusias mendengar Shinichi membacakan cerita. Sementara Shiho dan Ran memandang ayah dan anak itu dari luar. Mereka terjebak dalam kebahagiaan, terharu sekaligus kekecewaan. Mereka berdua tampak canggung satu sama lain.
"Bisa kita bicara sebentar Shiho-Chan?" tanya Ran memecahkan kesunyian.
"Uhm," Shiho mengangguk.
Mereka meninggalkan Shinichi dan Shuichi untuk berjalan bersama ke bagian belakang rumah sakit dan duduk di sebuah kursi di taman rumah sakit di pinggir kolam ikan.
"Apa yang ingin kau bicarakan Ran-San?" tanya Shiho.
"Jujur saja, aku sangat terkejut ketika mengetahui Shuichi adalah anak Shinichi,"
"Begitu juga denganku,"
Ran menarik napas dalam-dalam, "Setelah kupikirkan. Aku bisa menerima Shuichi anak Shinichi. Aku mengerti, hal ini bukan salahmu maupun Shinichi,"
"Aku lega kau tidak marah karena hal ini,"
"Setiap kali melihat Shinichi bersama Shuichi kalau dia sedang main ke rumah kami, aku tahu betapa kami merindukan kehadiran seorang anak di rumah kami,"
"Ran-San. Kau dan Kudo-Kun boleh bermain dengan Shuichi kapan saja. Aku tidak akan melarangnya. Tidak akan ada yang berubah. Terlebih sekarang setelah kita tahu Shuichi adalah anaknya. Ya aku akan melarang kalian mengatakan kebenarannya. Dia masih anak-anak, dia akan mengetahuinya nanti ketika dia telah siap,"
"Aku tahu itu tapi..." Ran menggigit bibirnya, merasa sulit untuk bicara.
"Ada apa?"
"Kau lihat sendiri bagaimana Shinichi dan Shuichi yang sangat dekat,"
Shiho menunggu kata-kata Ran selanjutnya.
"Aku pikir, bagaimana jika kau membiarkan kami mengadopsi Shuichi? Sehingga Shuichi bisa menyandang nama Kudo,"
Shiho terkesiap ketika mendengar ide Ran tersebut.
"Shiho-Chan?" panggil Ran ketika melihat Shiho hanya diam saja tanpa ekspresi.
"Oke," Shiho mendadak berkata.
"Eh?" Ran terkejut. Apakah Shiho bersedia membiarkan putranya diadopsi mereka?
"Tapi dengan satu syarat," kata Shiho dingin.
"Apa itu? Aku akan melakukan apa saja," Ran berkata penuh harap.
"Benarkah?"
Ran mengangguk penuh semangat.
"Apa saja?"
"Apa saja yang kau mau,"
"Oke. Aku ingin sebagai ganti Shuichi..." Shiho sengaja menggantungkan kalimatnya.
Ran menunggu.
"Aku menginginkan suamimu," kata Shiho tajam.
Ran membeku dan kemudian meledak marah, "Apa kau gila?!"
"Tidak," sahut Shiho tenang.
Ran berdiri, "Kau meminta suami dari seorang istri!"
Shiho berdiri juga, "Begitu juga denganmu, meminta anak dari seorang ibu,"
Ran terdiam, merasa malu.
"Tidakkah kau sadar? Kau tidak bisa memiliki semua yang kau inginkan tanpa berkorban! Kau ingin anak? Oke aku bisa memberikannya tapi aku juga menginginkan Shinichi karena kau dengar sendiri, aku hanya bisa melahirkan anaknya, bukan pria lain! Aku mengikuti program bayi tabung karena aku tidak ingin kesepian. Sekarang kau ingin merebut putraku. Sebagai gantinya aku juga menginginkan Shinichi untuk menjadi partnerku sampai akhir sisa hidupku!"
"Kau serakah Shiho!"
"Aku yang seharusnya mengatakan itu Ran-San! Kau serakah! Kau tidak pernah mensyukuri apa yang telah kau miliki! Kau selalu mengeluhkan perceraian orang tuamu tanpa berterima kasih mereka masih hidup di dunia ini. Kau memiliki suami yang baik yang sangat mencintaimu. Tapi kau selalu mengeluhkan pekerjaannya dan kesibukannya! Tidak bisakah kau lihat berapa banyak wanita diluar sana yang menginginkan suami sebaik itu? Hanya karena dirinya tidak bisa memberimu bayi, kau menyatakan dirimu sendiri sebagai mahkluk paling menyedihkan di dunia! Kau terlalu perfeksionis karena itulah kau tidak mau adopsi anak yang bukan darah dagingmu atau Shinichi. Aku mencintai Shuichi tidak peduli dia anak Shinichi atau bukan! Jika kau terus seperti ini kau tidak akan pernah bahagia!"
Shiho berbalik untuk meninggalkan Ran.
"Apa kau mencintai Shinichi?" tanya Ran tiba-tiba.
Shiho bergeming.
"Apa kau mencintai Shinichi?" Ran mengulang pertanyaannya.
Lambat-lambat Shiho menjawab, "Ya, aku mencintainya,"
"Kalau kau mencintainya, kenapa kau tidak berpura-pura saja kau tidak dapat membuat penawar itu? Sehingga tubuh kalian akan tetap mengecil dan kalian bisa terus bersama-sama,"
"Karena aku bukan dirimu Ran-San," Shiho menoleh, menatap Ran tajam.
Ran gemetar, "Nani?"
"Aku bukan dirimu yang suka merebut sesuatu atau sesorang yang bukan milikku. Kau terbiasa menjadi malaikat atau putri sementara aku selalu dipandang sebagai penyihir. Tapi sekarang sepertinya kita tahu, siapa penyihirnya sebenarnya,"
Shiho meninggalkan Ran yang menangis dalam diam.
.
.
.
.
.
Shiho melihat pria itu mendadak muncul di ruang kantornya pada saat jam makan siang. Wajahnya murung sekali. Shiho tahu kemurungannya itu bukan karena kasus sulit, tapi karena masalah rumah tangganya.
"Kudo-Kun?"
"Shiho, maaf bukan maksudku mengganggumu di kantor. Tapi aku perlu bicara padamu," kata Shinichi.
Shiho mengangguk, "Oke," dia pun menyilahkan Shinichi duduk di kursi di hadapan meja kerjanya.
"Thanks," sahut Shinichi seraya duduk.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Shiho.
"Aku ingin meminta maaf,"
"Nani?"
"Aku tahu Ran ada berbicara padamu untuk mengadopsi Shuichi. Aku sungguh tidak tahu dia melakukan hal itu. Aku benar-benar marah padanya. Kami bertengkar hebat beberapa hari lalu,"
Shiho tampak simpati, "Maaf Kudo-Kun. Aku sungguh tidak ingin keberadaan Shuichi mengacaukan rumah tangga kalian. Tapi ya, aku tidak bisa membiarkan kalian mengadopsinya. Jika kalian ingin bertemu dengannya, bermain atau bahkan menginap sekalipun aku tidak masalah. Seperti biasanya saja. Tapi bagaimanapun juga dia adalah putra yang kulahirkan dengan taruhan nyawaku. Aku tidak bisa melepasnya, aku hanya berharap Ran-San mengerti,"
"Tentu saja aku mengerti. Tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk memisahkanmu dan Shuichi. Kau adalah ibunya, aku bisa melihat bagaimana kalian saling menyayangi,"
"Aku hargai itu,"
Shinichi menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Kami akan bercerai,"
Mata Shiho membesar, "Apa?! Kau sadar dengan yang kau katakan?!"
"Ya," Shinichi mengangguk, "Kami sudah memutuskannya,"
"Tapi kenapa? Kalian saling mencintai,"
"Ya memang. Tapi Shiho, dalam sebuah pernikahan cinta saja tidak cukup. Segalanya terakumulasi. Bagiku cinta dan pernikahan adalah ketika kita bisa menerima kelebihan dan kekurangan satu sama lain. Sementara Ran sudah muak dengan kesibukanku dan teror-teror yang terkadang muncul. Puncaknya adalah anak, baginya anak adalah harus dari darah daging kami sendiri. Lagipula hal itu juga tidak adil untuknya jika kami terus bertahan karena yang tidak bisa memberikan anak adalah aku,"
"Kenapa pemikirannya sesederhana itu? Sebuah pernikahan tidak ditentukan dari memiliki anak atau tidak. Kalian bukan peternakan. Itu adalah komitmen!"
"Sayangnya, pemikirannya tidak seperti dirimu. Dia mencintai anak-anak, karena itu ia bekerja sebagai guru TK. Aku tidak bisa menyalahkannya. Jadi sebaiknya aku melepasnya pergi, agar ia bisa menemukan pria lain yang dapat memberikannya keturunan. Aku tidak bisa memaksanya menerima kekuranganku,"
"Aku benar-benar minta maaf Kudo-Kun," Shiho merasa bersalah.
"Bukan salahmu Shiho. Ini masalahku dan Ran," Shinichi bangkit berdiri, "Pada akhirnya rumah tanggaku tidak ada bedanya dengan kondisi rumah tangga mertuaku,"
Shiho juga bangkit berdiri, "Kau pergi sekarang?"
Shinichi mengangguk, "Aku harus menginvestigasi sebuah kasus," ia berjalan menuju pintu sebelum menoleh lagi, "Shiho..."
"Ehm?"
"Apa kau mencintaiku?"
"Eh?"
"Ketika kau bertengkar dengan Ran. Kau berkata kau mencintaiku,"
Shiho berdehem sebelum berkata, "Aku mengatakan itu untuk mengajarinya. Dia tidak dapat merebut anak dari seorang ibu sama seperti kau tidak bisa merebut suami dari seorang istri. Tidak lebih Kudo-Kun. Jangan dianggap serius. Jika perkataanku itu yang membuat kalian bertengkar, ya kau tinggal jelaskan saja, aku memang tidak bermaksud apa-apa,"
"Aku mengerti, kau selalu begitu," Shinichi nyengir.
Shiho nyengir juga, "Yup,"
"Tapi tidak, bukan itu yang membuat kami bertengkar,"
"Aku lega mendengarnya..."
"Namun seandainya saja..." Shinichi membayangkan jika saja dulu ia melihat Shiho sebagai wanita dan bukan dibutakan oleh obsesinya hanya pada Ran, mungkin ceritanya akan berbeda. Rasa sakit itu takkan terlalu dalam seperti ini.
"Ya?"
"Ah tidak, lupakan saja. Terima kasih Shiho," Shinichi pun menghilang dibalik pintu.
Shiho masih berdiri tertegun menatap pintu, "Aku benar-benar mencintaimu Kudo-Kun," bisiknya.
.
.
.
.
.
Shinichi tertegun melihat Profesor Agasa dan Shuichi datang ke rumahnya di hari Minggu pagi. Wajah Profesor Agasa tampak sedih sementara Shuichi tampak ceria seperti biasanya.
"Hakase? Shuichi? Ada apa kalian kemari pagi-pagi begini?" tanya Shinichi,
"Okasan bilang aku bisa tinggal dirumahmu untuk sementara Shinichi ojisan. Okasan harus pergi untuk dinas dalam waktu yang sangat lama kali ini,"
"Benarkah?"
"Uhm" Shuichi mengangguk polos.
Tapi Shinichi curiga ketika melihat wajah Profesor Agasa. Ada sesuatu yang salah, tidak mungkin sesederhana penjelasan Shuichi.
"Kau masuk saja dulu Shuichi. Ada cheesecake di kulkas," kata Shinichi.
"Okeee!" Shuichi berlari masuk dalam rumah.
Shinichi kembali pada Profesor Agasa, "Ada apa Hakase?"
"Sebenarnya Shiho-Kun..."
"Kenapa? Ada apa dengan Shiho?"
"Dia pergi ke Palestina,"
Shinichi terhenyak, "Palestina?!"
Profesor Agasa menyerahkan sebuah surat dari Shiho untuknya.
Shinichi menerimanya dan membacanya.
Dear Kudo-Kun,
Ketika kau membaca surat ini, mungkin aku sudah terbang ke Palestina. Ya Palestina. Sebuah negara yang masih penuh dengan konflik dan peperangan. Banyak orang yang memerlukan bantuanku disini.
Aku tidak tahu sampai kapan aku disini. Aku juga tidak tahu apakah aku bisa bertahan selama aku disini, karena disini batas antara hidup dan mati begitu tipis. Aku titip Shuichi padamu. Aku benar-benar menyesal dengan perceraianmu. Jika aku tidak menolak permintaan Ran-San untuk mengadopsi Shuichi, mungkin perceraian itu takkan pernah terjadi. Belum terlambat untuk memperbaikinya Kudo-Kun. Bawa Shuichi untuk menjemput Ran-San kembali. Aku yakin dia masih bisa memaafkanmu.
Aku telah mengganggu kalian ketika kita mengecil bersama. Jika tidak ada APTX mungkin tidak akan terjadi mutasi gen, sehingga hal ini tidak perlu terjadi. Akulah yang bersalah dalam hal ini Kudo-Kun. Jangan menyalahkan Ran-San. Mungkin memang aku tidak seharusnya muncul dalam kehidupanmu. Namun aku tidak pernah menyesali pertemuan kita. Sejak aku kehilangan keluargaku, aku merasa tidak dapat melanjutkan hidup lagi. Tapi berkat dirimu yang selalu melindungiku, aku dapat bersyukur terhadap apa yang kumiliki dalam hidupku sekecil apapun itu. Aku benar-benar berterima kasih karena dipertemukan denganmu.
Aku mencintaimu Kudo-Kun. Tapi aku tahu aku takkan pernah berada di hatimu. Ketika aku tahu Shuichi anakmu, dapatkah kau bayangkan betapa bahagianya aku? Kau dan aku terikat selamanya dalam diri Shuichi. Dengan kau mencintai Shuichi sama saja dengan kau mencintaiku, karena ada bagian diriku dalan diri Shuichi, itu saja sudah lebih dari cukup untukku. Aku sangat puas bisa memberimu seorang putra yang sehat dan pandai. Tolong jaga dia. Jika kematianku bisa membuatmu mengingatku selamanya, aku rela. Berbahagialah dengan Ran-San.
Terima kasih sekali lagi karena telah hadir dalam hidupku.
Tertanda
Shiho.
Airmata mengaliri pipi Shinichi.
"Shinichi..." Profesor Agasa memandangnya.
"Apa yang dia lakukan?! Bunuh diri?!" Shinichi frustasi.
"Dia merasa bersalah atas perceraianmu," kata Profesor Agasa.
"Tapi sudah kubilang itu bukan salahnya! Aku dan Ran sejak awal sebenarnya memang sudah tidak cocok. Dia selalu mengeluh mengenai pekerjaanku disaat kami masih berpacaran. Hal itu hanya dianggap persoalan kecil pada saat pacaran, namun bagai sebongkah gunung es di masa pernikahan. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan Shiho!"
"Dia mencintaimu Shinichi. Dia melakukan semua ini demi kebahagiaanmu. Kau tahu bagaimana dirinya,"
Shinichi menggeleng. Tidak, ia tidak mengenal wanita ini. Shiho Miyano adalah seorang wanita yang sulit ditebak. Kata-katanya terkadang kasar dan tajam tapi hatinya ternyata lebih lembut daripada yang lainnya.
Shinichi akhirnya membawa Shuichi ke rumah orang tuanya. Dia dan putranya sementara akan tinggal disana. Shinichi tidak punya pengalaman dalam merawat anak, jadi ia membutuhkan bantuan Yukiko dan Yusaku, yang sangat bahagia dengan kehadiran cucu mereka. Shinichi hanya bisa memercayai orang tuanya untuk merawat Shuichi ketika ia sibuk dengan kasus-kasusnya.
"Shin-Chan?" panggil Yukiko saat melihat putranya masih terjaga di ruang tamu pada suatu tengah malam.
"Okasan?"
"Kenapa belum tidur?" tanya Yukiko yang duduk di sebelahnya.
"Hanya memikirkan kasusku," dusta Shinichi seraya menyembunyikan surat Shiho yang berulang kali ia baca.
Yukiko menghela napas, "Jangan bohong padaku Shin-Chan. Aku tahu kau memikirkan Shiho-Chan,"
Shinichi terdiam murung.
Yukiko menepuk pundaknya untuk mendukungnya.
"Apa yang harus kulakukan Okasan? Apakah aku harus menuruti permintaannya di surat?"
"Apa perasaanmu jika menurutinya?" Yukiko bertanya balik.
"Okasan?"
"Aku yakin kau sudah tahu jawabannya tanpa harus bertanya padaku,"
Shinichi menarik napas panjang sebelum berkata, "Aku merasa tidak benar jika melakukannya. Bagaimana mungkin aku bahagia dengan Ran dan Shuichi sementara Shiho membahayakan hidupnya di Palestina?! Tidak! Aku tidak dapat melakukannya! Shiho sudah melakukan terlalu banyak demi diriku dan Shuichi,"
Yukiko mengangguk, "Kau benar, kau tidak bisa egois,"
"Aku tidak dapat membayangkan harus kembali pada Ran. Aku juga tidak menyangka ia tega meminta Shuichi dari Shiho seperti itu. Jika mengingatnya lagi, aku sungguh tidak bisa memaafkannya. Kami tidak ada bedanya dengan hubungan rumah tangga orang tuanya, Kogoro dan Eri. Pernikahan kami tidak dapat diperbaiki,"
"Sifat asli seseorang memang baru ketahuan setelah tinggal satu atap dalam jangka waktu yang lama. Tapi dari kasus Ran-Chan sebenarnya sudah terlihat sejak kalian masih berkencan. Ia tidak mampu mendukung pekerjaanmu dan selalu menggerutu kalau kau terlibat sebuah kasus. Namun mungkin ketika itu kalian berpikir segalanya masih bisa diatur, bukan hal sulit. Tapi justru hal itulah yang menjadi boomerang di rumah tangga kalian pada akhirnya,"
"Eh..." Shinichi mengakuinya, "Aku juga menyadari hal itu,"
"Tapi Shiho-Chan, selalu mendukungmu dan menyatu dalam sebagian besar kasus-kasumu,"
Shinichi tampak semakin sedih, "Ya, itu benar. Aku kini juga baru menyadarinya, Shiho masih menyempatkan waktu disela-sela kesibukannya untuk membantuku. Sementara aku sebaliknya, betapa jahatnya diriku selama ini. Aku melihat penderitaannya ketika ia hamil. Muntah-muntah, lemah dan pucat namun ia masih memaksakan diri membantu kasusku. Ia sampai harus bedrest beberapa minggu menjelang persalinan. Dan aku... Aku tidak ada disampingnya ketika ia melahirkan Shuichi secara normal... Melahirkan Shuichi putraku..." mata Shinichi mulai berkaca-kaca membayangkan semua itu.
"Shin-Chan..."
"Aku hanya terobsesi pada Ran. Wanita yang ternyata sangat egois dan kekanakan,"
"Terkadang pria memang begitu. Perasaan yang dia rasakan pada seorang wanita sebenarnya mungkin hanyalah obsesi alih-alih cinta. Seorang pria tidak tahu mana wanita yang lebih dibutuhkannya. Mereka hanya menuruti obsesinya,"
Dalam hati Shinichi membenarkan perkataan ibunya itu.
"Pergilah Shin-Chan,"
"Nani?"
"Pergilah ke Palestina, bawa Shiho pulang,"
"Okasan?"
"Aku tahu kau ingin melakukan itu,"
Shinichi terdiam.
"Mungkin kau tidak menyadari bahwa selama ini sebenarnya kau mencintainya. Kau bergantung padanya ketika menghadapi kasus sulit. Kau lebih nyaman berbicara padanya daripada dengan Ran-Chan. Jadi jangan melepasnya Shin-Chan. Jangan biarkan wanita yang benar-benar mencintaimu apa adanya pergi meninggalkanmu. Dia telah memberikan putranya demi kebahagiaanmu dan Ran. Tidak ada wanita di dunia ini yang sanggup melakukan hal itu. Aku sendiri tidak mampu melakukannya,"
Aku mencintai Shiho? Benarkah?
"Biarkan pergi yang memang ingin pergi. Tapi pertahankanlah yang masih ingin bertahan. Sebelum kau menyesalinya,"
.
.
.
.
.
Shinichi telah memutuskannya. Ia akan menyusul Shiho ke Palestina. Ia telah mempersiapkan segala sesuatunya ketika ia mendengar berita itu di TV.
Palestina dibom oleh Israel
Shinichi terpukul. Ia mencoba untuk menghubungi kedutaan dan mencari tahu apakah Shiho menjadi korban dari pemboman tersebut. Kedutaan tidak bisa memberikan informasi secara langsung. Mereka harus mengeceknya terlebih dahulu dan membiarkannya menunggu berhari-hari dalam ketakutan. Bagaimana jika dia tewas dalam ledakan itu? Bagamana jika mereka tidak bisa menemukan tubuhnya? Shinichi menggeleng kuat-kuat. Tidak... Dia masih hidup... Dia selamat... Shiho please... Kau harus hidup... Aku tidak bisa kehilanganmu kali ini... Bagaimana aku mengatakannya pada Shuichi jika terjadi sesuatu padamu? Dan bagaimana denganku...
Beberapa hari kemudian yang terasa seperti beberapa abad. Shinichi mendapat telpon dari kedutaan yang mengabarkan Shiho selamat dari ledakan bom itu, namun terluka parah. Mereka harus menunggu sampai kondisinya stabil sebelum diterbangkan ke negara yang lebih aman. Shinichi tidak mau menunggu, ia menggunakan segala koneksinya untuk menyusul terbang ke Palestina. Namun mengurus hal itu sulitnya bukan main. Ia memerlukan waktu dua minggu untuk mendapatkan ijin, yang pada akhirnya bertepatan dengan kondisi Shiho yang mulai stabil dan bisa dipindahkan. Shinichi akhirnya berhasil ke Palestina untuk menjemput Shiho dan membawanya ke rumah sakit terbaik di Singapura.
Kini ia telah berada di kamar perawatan Shiho. Shinichi sungguh tidak tega melihat kondisinya. Tubuh Shiho penuh luka karena tertimpa runtuhan bangunan sebagai efek dari ledakan bom tersebut. Kepalanya mengalami gegar otak ringan. Lehernya juga harus mengenakan penyangga. Tubuhnya masih lemah dan tidak bertenaga. Ia sengaja dibius ketika diterbangkan. Sejak tiba di kamar perawatan di Singapura, ia belum sadarkan diri. Shinichi menungguinya dengan setia.
"Uhm..." terdengar gumaman pelan dari Shiho yang mulai terbangun.
"Shiho..." Shinichi memanggil lembut seraya menggenggam tangannya.
Shiho membuka mata indahnya dan melihat Shinichi sedang memandangnya balik. Ia masih merasa ngantuk, ia bertanya-tanya apakah ini mimpi atau nyata? Ia ingin memanggilnya, namun ia masih mengenakan masker oksigen dan tidak leluasa untuk bicara.
"Kau sudah aman Shiho..." Bisik Shinichi yang suaranya bagai gaung dari jauh di telinga Shiho, "Semuanya akan baik-baik saja..." Shinichi mengecup keningnya.
Shiho merasa tenang. Mungkin saja ini mimpi yang sangat indah. Ia pun tertidur lagi.
Suara ketikan papan keyboard dari sebuah laptop membangunkannya tengah malam itu. Lehernya yang masih mengenakan penyangga belum bisa bergerak bebas, Shiho hanya bisa melirik untuk melihat siapa yang berada di sisinya. Namun sebelum menangkap sosoknya, ia sudah mengenalinya. Parfum familiar yang sangat disukainya.
"K-Kudo-Kun?" panggil Shiho pelan. Ia sudah bisa bicara. Masker oksigennya sudah diganti selang hingga ia dapat leluasa berbicara.
Shinichi menghentikan kegiatannya dan menghampiri ranjang Shiho, "Shiho. Kau menginginkan sesuatu?" tanyanya.
Shiho hanya bergerak sedikit sekali untuk menggeleng.
"Maaf, aku terlalu berisik ya sampai kau terbangun?"
"Kau sedang apa?"
"Hanya mengerjakan beberapa laporan," sahut Shinichi.
"Sudah dua minggu kau disini, Shuichi bagaimana?"
"Tidak perlu khawatir, orang tuaku dan Hakase menjaganya,"
"Kenapa..."
"Apanya?"
"Kenapa kau tidak menjemput Ran-San bersama Shuichi?"
Shinichi duduk di tepi ranjang, "Kau kira aku mampu melakukannya?"
"Kau mencintainya,"
"Entahlah, aku tidak tahu lagi apakah yang dulu itu sungguh cinta?"
"Nani?"
"Intinya Shiho. Keretakan rumah tangga kami bukan karena kau ataupun Shuichi, kami memang tidak pernah cocok sejak awalnya. Hanya teman masa kecil yang menjadi suami istri dan ternyata tidak sepaham,"
"Kudo-Kun..."
"Lagipula aku sudah mendengar kabar baru. Ran mulai berkencan dengan Okita,"
"Okita? Tapi bukannya dia..."
"Dia juga sudah bercerai,"
"Eh?"
"Okita menginginkan anak, namun istrinya tidak bersedia karena ingin mengejar karirnya, karena itulah mereka memutuskan bercerai. Yah, jadi mereka cocok lah. Ran dan Okita, sama-sama ingin punya anak,"
"Wajah Okita mirip denganmu, tidakkah kau merasa Ran belum move on?"
"Yah, itu terserah dia. Tidak ada urusannya denganku lagi dan hal itu tidak akan menyakitiku lagi," ujar Shinichi acuh tak acuh.
Hening sesaat.
"Kau sendiri?" Shinichi kembali memandang Shiho.
"Uhm?"
"Tidak seharusnya kau pergi ke daerah berbahaya seperti itu. Apa yang harus kukatakan pada Shuichi jika terjadi sesuatu padamu? Mulai detik ini aku akan selalu mengawasimu. Aku takkan membiarkanmu melakukan hal bodoh lagi,"
Shiho memejamkan matanya, "Aku hargai itu. Aku tahu kau mengatakannya demi Shuichi,"
"Tidak juga..."
"Eh? Maksudmu?"
Wajah Shinichi memerah, "Sudah tengah malam. Kau juga masih lemah, sebaiknya tidurlah lagi," ujar Shinichi sengaja mengalihkan pembicaraan seraya merapikan selimut Shiho.
"Aku ingin berbicara dengan Shuichi besok," pinta Shiho
"Baiklah. Atau kau ingin bertemu dengannya? Aku bisa meminta Otosan dan Okasan membawanya kemari,"
"Tidak, tidak. Aku tidak mau dia melihatku seperti ini. Aku ingin pulih ketika kami bertemu lagi nanti,"
"Wakata,"
.
.
.
.
.
Karena tertimpa reruntuhan begitu lama terutama di kakinya sebelum diselamatkan, Shiho mengalami kelumpuhan sementara. Ia masih harus menjalani terapi selama beberapa waktu. Shinichi dengan setia membantunya. Ia yang memegang dan merangkul Shiho setiap kali hampir jatuh karena belajar berjalan. Meski begitu, Shinichi tidak pernah mendengar seucap pun keluhan dari bibirnya. Shiho memiliki keinginan yang kuat untuk pulih. Ia merindukan putranya Shuichi.
Tanpa terasa sudah kurang lebih enam bulan Shiho menjalani perawatan dan terapi di rumah sakit di Singapura. Penyangga leher Shiho sudah boleh dilepas. Ia sudah mampu berjalan sedikit-sedikit namun tidak dalam waktu yang lama. Langkahnya juga masih canggung dan kecil-kecil. Terkadang untuk membunuh kebosanan, ia menghubungi Shuichi. Atau mendiskusikan kasus-kasus dengan Shinichi yang selalu mendapatkan laporan rutin dari anak buah detektifnya.
"Sudah... Sudah... Aku lelah..." Shiho menyerah. Ia sedang berlatih melancarkan langkahnya lagi di taman rumah sakit.
"Oke, oke. Jangan memaksakan diri..." Shinichi membantunya duduk kembali di kursi roda. Kemudian ia memberikan sebotol air mineral untuk Shiho.
"Arigato," Shiho menerima botol itu dan meminum airnya beberapa teguk. Lalu ketika Shinichi membantu mengeringkan peluh di dahinya dengan saputangan, wajah Shiho memerah.
"Kau mau kembali ke kamar?" Shinichi menawarkan.
"Tidak, aku mau disini dulu sebentar. Bosan di kamar,"
"Oke," Shinichi membawa kursi roda Shiho agak lebih dekat ke bangku taman. Ia duduk di bangku itu dengan posisi kursi roda Shiho menghadapinya.
"Kudo-Kun..."
"Uhm?"
"Sudah setengah tahun kau disini, tidakkah sebaiknya kau kembali ke Jepang? Keadaanku sudah jauh lebih baik. Perawat disini juga menyenangkan. Aku bisa mengurus segala sesuatunya sendiri,"
"Bukankah sudah pernah kukatakan tidak masalah. Agensiku bisa berjalan, kalaupun ada kasus sulit mereka dapat menghubungiku kapan saja. Shuichi juga aman bersama Otosan, Okasan dan Hakase. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan Shiho,"
"Tapi..."
"Terapimu tinggal beberapa sesi lagi. Sebaiknya sekalian diselesaikan saja, setelah itu kita akan pulang ke Jepang bersama-sama,"
"Begitu ya..."
Shinichi mengenggam tangan Shiho.
Wajah Shiho merah lagi.
"Semuanya akan baik-baik saja Shiho. Jangan terlalu banyak pikiran,"
"Aku hanya tidak enak, kau harus mengurusku seperti ini,"
"Semua yang kulakukan ini, tidak dapat menebus kesalahanku Shiho,"
"Nani? Salahmu apa memangnya?"
Shinichi tampak menyesal ketika berkata, "Aku ingat, aku menyaksikan sendiri ketika kau mengandung Shuichi..."
Shiho terdiam.
"Aku melihatmu muntah-muntah, begitu pucat dan lemah. Nyaris tidak bisa makan. Aku sudah menyuruhmu berhenti namun kau masih bersikeras membantuku..."
"Kudo-Kun..."
"Kau juga sempat bedrest beberapa minggu... Dan aku... Aku tidak ada di sampingmu saat kau melahirkan Shuichi secara normal... Aku tidak ada di saat-saat terberatmu ketika mengandung dan melahirkan Shuichi..."
"Kudo-Kun. Itu bukan salahmu. Kita tidak mengetahui saat itu kalau bayi yang kukandung adalah anak biologismu. Kau tidak perlu merasa bersalah,"
"Tapi Shiho..."
"Kau lupa? Kau pernah menyelamatkanku ketika aku mengalami pendarahan di bulan ketujuh sebelum aku bedrest. Saat itu Hakase tidak ada dirumah, sementara aku tidak bisa bangun untuk membuka pintu karena kesakitan. Aku bahkan tak sanggup meraih handphone untuk menjawab panggilanmu. Kau merasakan firasat buruk terjadi sesuatu padaku. Kau langsung ke rumah dan mendobrak pintu depan. Kau menggendongku dan membawaku ke rumah sakit saat itu juga. Sedikit saja terlambat, nyawaku dan Shuichi mungkin tidak dapat terselamatkan,"
"Shiho..."
Shiho tersenyum, "Mungkin saat itu firasatmu sebagai ayah sudah bekerja. Shuichi memanggilmu dari dalam perutku,"
Shinichi pun tersenyum, merasa sedikit lega, "Ya mungkin saja," kemudian ia menangkup pipi Shiho.
Shiho bergeming, canggung dengan sikap Shinichi.
"Aku tidak mau melewatkannya lagi Shiho. Aku tidak mau kau sendirian lagi disaat-saat terberatmu. Karena itu aku akan mendampingimu hingga pulih sepenuhnya..."
"Kudo..."
"Aku tidak melakukannya demi Shuichi, tapi juga demi diriku..."
"Eh...?"
Shinichi menyurukkan wajahnya, meraih bibir Shiho dengan bibirnya. Ia memberikan sebuah kecupan yang ringan, hangat dan panjang.
"Aku mencintaimu Shiho," bisik Shinichi setelah melepaskan kecupannya, "Menikahlah denganku..."
"Eh?" wajah Shiho merah total, "Ehtooo...Tidakkah ini terlalu cepat?"
"Bukankah kau juga mencintaiku? Itu yang kau bilang di suratmu,"
"Kau baru saja bercerai, aku tak mau jadi pelarianmu"
"Eh? Siapa yang menjadikanmu pelarian? Aku telah menyadarinya, aku mencintaimu, hal yang tidak kusadari selama ini karena tertutup obsesiku akan Ran. Jebakan atas nama pertemanan masa kecil,"
"Kau tidak mengajakku menikah karena ingin menyaingi Ran-San yang akan menikahi Okita bulan depan kan?"
Shinichi tersentak, "Bahkan tidak terlintas di benakku untuk hal itu,"
"Tapi..."
Shinichi mengenggam kedua tangan Shiho sambil menatap matanya dalam-dalam, "Kau partnerku dalam bekerja, dan kini aku ingin menjadikanmu partner hidupku,"
"Aku tetap merasa ini terlalu cepat,"
"Kau mau berapa lama? Kita sudah tua, kecuali kita minum APTX lagi,"
"Proses, aku menginginkan proses..."
"Proses?"
"Iya proses, kencan, pacaran dan semacamnya,"
Shinichi melongo, "Nani?! Kita bukan anak SMA lagi, bahkan kita sudah punya satu anak dan kau masih menginginkan hal semacam itu?"
"Tentu saja! Kau selama ini menyuruhku membantu kasus-kasusmu. Tapi kau tidak pernah mengajakku nonton, dinner atau apalah seperti yang kau lakukan bersama Ran-San. Aku kan juga mau tahu rasanya pacaran dan kencan yang romantis. Masa hanya kebagian mengurus mayat saja?" Shiho melipat tangannya pura-pura ngambek.
Shinichi menghela napas, "Yah apa boleh buat. Kalau kau maunya begitu. Mau kencan berapa lama?"
Shiho mengangkat dua jarinya, "Dua tahun,"
Shinichi melotot, "Dua tahun?! Tidak mau! Kelamaan!"
"Kau maunya berapa lama?"
"Enam bulan,"
"Masih terlalu cepat, entah apakah aku sudah lancar jalan atau belum enam bulan lagi,"
"Baik begini saja..."
"Apa?"
Shinichi mengacungkan telunjuknya, "Satu tahun lagi sudah termasuk mencicil persiapan pernikahan,"
"Uhmmm...," Shiho tampak mempertimbangkan sebelum berkata, "Oke, setuju,"
"Deal?"
"Deal,"
"Dan sekarang aku mau minta DP nya,"
"Eh? DP apa?"
Shinichi enggan menjelaskannya lebih jauh karena ia sudah menyumpal mulut Shiho lagi dengan kecupan yang lebih ganas.
.
.
.
.
.
"Okasan! Okasan!" Shuichi berlari menyambut kepulangan ibunya di ruang depan.
"Shuichi!" Shiho menunduk memeluknya.
"Aku rindu padamu Okasan," Shuichi menangis, pertahanannya runtuh.
"Okasan juga merindukanmu Shu-Chan," bisik Shiho.
Shuichi menangis sesenggukan seraya memeluk leher Shiho erat-erat seolah takut kehilangannya lagi. Bagaimana tidak, mereka sudah hampir satu tahun tidak bertemu.
"Jangan pergi lagi Okasan! Jangan tinggalkan Shuichi!" Shuichi terus menangis.
"Hai hai... Okasan tidak akan pergi lagi... Gomene Shu-Chan," Shiho mengusap-usap punggung putranya untuk menenangkan.
Mereka semua yang menatap ibu dan anak itu berpelukan juga merasa terharu.
"Bagaimanapun juga Shuichi masih anak-anak," ujar Yusaku, "Meski dia sudah berusaha tegar dan ceria dihadapan kita, dia tetap merindukan ibunya,"
"Eh," Yukiko mengiyakan.
"Biar Okasan lihat dirimu," Shiho melepas putranya untuk melihat wajahnya, "Kau sudah besar Shu-Chan..." ujarnya seraya menghapus airmata diwajah Shuichi. Masih ada sisa-sisa sesenggukan dari bocah itu, "Kau tidak nakal kan selama ini?"
Shuichi menggeleng, kemudian ia menyentuh wajah ibunya dengan tangannya yang mungil, "Okasan sudah sembuhkan? Tidak sakit lagi kan?"
"Uhm," Shiho mengangguk.
"Aku sayang padamu Okasan," Shuichi memeluk ibunya lagi dan merajuk manja.
"Aku juga sayang padamu Shu-Chan," Shiho akhirnya berdiri sambil menggendong Shuichi yang terus gelendotan di lehernya.
Shinichi tampak ngeri, "Shiho kau baru saja sembuh,"
"Tidak apa-apa,"
"Shuichi sama ojisan dulu ya, kasihan Okasan baru sembuh," bujuk Shinichi.
"Tidak mau!" Shuichi malah makin melekat pada ibunya.
"Aduh-Aduh... Sepertinya Shu-Chan akan lengket pada Shiho-Chan selama beberapa waktu ke depan..." goda Yukiko.
Profesor Agasa, Yusaku dan Shinichi terkekeh.
Shinichi dan Shiho mengambil waktu untuk berbicara bertiga saja dengan Shuichi. Menjelaskan padanya perihal rencana pernikahan mereka dan mengenai kenyataan Shinichi adalah ayah kandungnya. Mereka sempat cemas dengan reaksi Shuichi, namun ketika Shuichi begitu tenang tanpa ekspresi, mereka jadi bingung sendiri.
"Shu-Chan..." Shiho memanggil putranya hati-hati.
"Aku sudah tahu," Shuichi berkata.
"Eh?" Shinichi dan Shiho bertukar pandang.
"Kau sudah tahu?" Shinichi memastikan.
"Uhm," Shuichi mengangguk.
"Sejak kapan Shu-Chan?" tanya Shiho.
"Sejak masih di rumah sakit," jawab Shuichi.
"Bagaimana bisa?" tanya Shiho lagi.
Shuichi mengangkat bahu, "Aku kan detektif,"
"Jadi..." Shinichi merasa canggung, "Menurut Shu-Chan bagaimana jika kami menikah?"
Shuichi tampak berpikir sejenak. Sejak kecil ia memang menyukai Shinichi dan betapa memimpikan memiliki ayah seperti Shinichi. Ia juga suka melihat Shinichi saat bekerja sama dengan ibunya dalam memecahkan kasus-kasus. Tapi Shuichi juga tahu perihal keretakan rumah tangga Shinichi dengan Ran. Pernah suatu ketika Shuichi menginap di rumah Shinichi, ia diam-diam mendengar Shinichi dan Ran yang saat itu masih bersama kerap kali bertengkar.
"Kalau kalian menikah nanti apakah akan bertengkar?" tanya Shuichi.
Shinichi dan Shiho mengerjap.
"Shu-Chan..." Shinichi berusaha menjelaskan dengan berwibawa, "Sebuah pernikahan tidak terlepas dari pertengkaran. Pertengkaran sesekali pasti akan ada namun tergantung bagaimana dua orang menyikapinya. Sama seperti Shu-Chan di sekolah. Ada kalanya berkelahi dengan teman-teman, namun tidak lama kemudian, kalian akan berbaikan kembali,"
"Tapi kau dan Ran obasan akhirnya tidak berbaikan. Kalian bercerai,"
"Kami bercerai ya. Tapi kami masih berhubungan baik,"
"Kenapa kalian bercerai?"
"Karena kami sudah tidak sepaham lagi. Mungkin sama seperti Shuichi dan teman-teman. Shuichi suka sepakbola sementara teman-teman suka basket," Shinichi berusaha mencari perumpamaan yang dapat dimengerti anak seusia Shuichi.
"Kalau nanti kalian bertengkar setelah menikah, apakah akan bercerai lagi?"
"Selama kami masih sepaham, tidak akan terjadi perceraian. Kami juga tidak menginginkan hal itu dan semaksimal mungkin berusaha menghindarinya,"
"Okasan kau juga suka sepakbola kan? Bukan basket?" Shuichi menatap ibunya.
"Eh," Shiho mengangguk canggung, putranya mengumpamakan sepaham atau tidaknya itu melalui bola sesuai yang dicontohkan Shinichi, "Tentu saja, Okasan penggemar Big Osaka,"
"Kalau kalian sama-sama suka sepakbola dan suatu hari bertengkar, benar takkan bercerai kan?" tanya Shuichi polos namun kritis.
"Tidak akan," Shinichi bertekad.
"Apa kau menyayangi Okasan seperti aku menyayanginya?"
Shinichi memandang Shiho sebelum kembali pada putranya, "Aku menyayanginya, seperti rasa sayangmu padanya,"
Shuichi melihat cara mereka saling bertatap sebelum akhirnya berkata, "Baiklah, kalian menikah saja. Aku tidak masalah. Tapi..."
"Tapi apa?" tanya Shiho.
"Setelah kalian menikah, apakah... apakah aku boleh memanggil Shinichi ojisan menjadi... Otosan?"
Shinichi memandang putranya lembut, "Kalau itu tidak usah menunggu hingga pernikahan. Kau boleh memanggilku Otosan saat ini juga,"
"Benarkah?" Shuichi tampak bersemangat.
"Ehm," Shinichi mengangguk.
"Otosan!" Shuichi bangkit dari sofa dan menghampiri Shinichi.
Shinichi menyambutnya dan memeluknya.
Shiho merasa lega melihat mereka saling menerima.
.
.
.
.
.
Jari-jarinya yang cekatan mengetik keyboard dengan lincah. Shuichi sedang menulis sebuah catatan di notebooknya.
Aku sungguh tidak mengerti orang dewasa. Padahal Otosan dan Okasan sepaham karena mereka sama-sama menyukai sepakbola. Tapi masalahnya Otosan pendukung Tokyo Spirit dan Okasan pendukung Big Osaka. Hal itu saja dapat membuat mereka bertengkar. Tapi untungnya pertengkaran mereka kebanyakan bertengkar lucu, tidak terlampau serius seperti pertengkaran Otosan dulu dengan Ran Obasan.
Setelah mereka menikah dan bulan madu ke Inggris, Otosan tetap saja sibuk seperti biasa dengan kasus dari klien-kliennya. Okasan juga sibuk dengan penelitian dan seminarnya. Mereka terkadang juga masih bekerja sama sebagai satu tim bila Otosan membutuhkan bantuan Okasan untuk mencari informasi. Karena sekarang mereka sudah satu rumah, mereka bisa mendiskusikannya sampai pagi kalau kasusnya benar-benar serius. Mereka benar-benar partner di dua kehidupan.
Otosan masih menjadi magnet mayat, oh ya tentu saja. Okasan walau terkadang merasa bosan juga, namun masih bisa mengerti kalau sewaktu-waktu Otosan dapat panggilan mendadak. Jika Okasan tidak lelah dan tidak sedang sibuk, Okasan akan ikut menemani investigasinya. Bagi Okasan, sibuk tidak masalah, asalkan mereka berdua tidak melewatkan perkembanganku dan menghadiri saat-saat terpenting dalam kehidupanku. Memang iya, Otosan dan Okasan selalu hadir di setiap pertandingan sepakbolaku maupun lomba sainsku. Itu sudah menjadi kesepakatan mereka yang tidak dapat diubah.
Kadang-kadang kami memang mendapat teror dari musuh-musuh klien Otosan atau bahkan musuh Otosan sendiri. Yah itu memang tidak dapat dihindari, Otosan dan Okasan bilang, kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Akan selalu saja ada beberapa yang tidak suka. Otosan dan Okasan sudah pernah mengalami masa-masa berat saat bertarung dengan Black Organization. Menghadapi teror-teror dari yang iseng sampai serius, mereka sepertinya sudah kebal. Lagipula Okasan sudah memasang alat pelacak. Siapapun yang melakukan teror, kami dapat langsung melacaknya dan melaporkannya. Otosan juga memberiku jam tangan yang ada GPSnya, agar bisa mengetahui keberadaanku setiap waktu. Yah, kita memang tidak bisa mengharapkan semua keadaan aman 00%, namun kami telah berusaha menghindari dan mengatasi segala resikonya. Aku sendiri tidak merasa takut, ini seperti Sherlcok Holmes versi modern saja.
Oh ya, aku juga sudah mendengar kabar terbaru dari Ran Obasan. Kini Ran Obasan juga sudah menikah dengan Okita Ojisan. Mereka telah dikaruniai anak kembar sepasang, laki-laki dan perempuan. Syukurlah, aku juga senang dia bahagia. Meski dia memang tidak cocok dengan Otosan dan sempat sedikit ribut dengan Okasan, aku tetap merasa dia wanita yang baik. Dia selalu memanjakanku kalau dulu aku menginap di rumahnya. Sekarang mereka tinggal di Kyoto. Terkadang kalau kami sedang ke Kyoto, kami masih ketemuan dan berhubungan baik.
Kembali ke keluargaku sendiri. Aku tidak tahu apakah Keluarga Kudo kami bisa dibilang normal. Otosan benar-benar penggila misteri sementara Okasan penggila pengetahuan. Tapi aku dapat memahami mereka, karena aku sendiri gabungan dari mereka. Aku penggila misteri dan pengetahuan. Aku masih belum tahu ingin menjadi apa setelah dewasa nanti. Detektif atau ilmuwan. Tapi apapun itu, aku ingin berguna dan bergabung dengan tim aneh Otosan dan Okasan suatu hari nanti. Mungkin kami bisa memberi nama tim kami Tim Kudo Yang Aneh, hehehe...
Malam ini Otosan lembur. Dia sudah mengabari tidak dapat makan malam bersama kami karena masih ada pertemuan serius dengan Inspektur Megure dan Inspektur Takagi. Kalau sudah seperti ini, aku yang menggantikan tugas Otosan untuk menjaga Okasan dan...
Mendadak telepon rumah berbunyi.
"Shu-Chan. Tolong diangkat dulu telponnya! Okasan sedang menggantikan popok Akemi," seru Shiho dari luar kamar.
"Hai! Hai!" sahut Shuichi.
Adik perempuanku Akemi yang baru berusia enam bulan. Ya, kini aku seorang kakak dan aku sangat menyayangi Mi-Chan. Aku sungguh mencintai keluargaku dan kehidupan baruku.
"Shu-Chan!" Shiho memanggil lagi.
"Aku datang!" seru Shuichi lagi.
Shuichi pun menutup notebooknya.
THE END
