The Great Of Kudo Family

By : pipi_tembam

Shiho Miyano masih duduk diam di sana, menunggu. Tidak biasanya Ran Mouri mengajaknya pergi ke sebuah kafe untuk berbicara berdua saja dengannya. Namun dilihat dari raut wajahnya, Shiho merasa Ran ada menyimpan beban. Wajahnya pucat dan matanya menyorotkan kesedihan. Shiho tidak tahu apa yang membuatnya begitu, padahal dia biasanya wanita yang ceria.

Black Organization telah hancur tiga tahun lalu. Shiho berhasil mengambil data-datanya untuk membuat penawar APTX 4869. Tubuhnya dan tubuh Shinichi telah kembali ke ukuran dan usia normal. Menurut Shiho, seharusnya Ran tidak perlu bersedih lagi karena kekasihnya telah kembali di sisinya.

"Ran-San..." Shiho memanggil setelah lama hening.

"Shiho-Chan..." Ran buru-buru memanggilnya.

"Eh..."

"Shiho... Apakah... Apakah kau mencintai Shinichi?" tanya Ran.

"Eh?" Shiho mengerjap bingung, "Kenapa kau menanyakan hal itu?"

"Aku hanya ingin tahu,"

Shiho terdiam, bingung bagaimana harus menjawabnya.

"Aku mohon Shiho, jawabanmu sangat penting untukku," pinta Ran.

"Aku... Aku dan Kudo-Kun hanya partner. Aku membantunya jika dia memerlukan bantuanku untuk investigasinya. Tidak lebih. Dia milikmu Ran-San..."

"Tapi... Seandainya aku tidak ada di dunia ini, apakah kau akan mencintainya?"

Shiho tambah bingung, "Pertanyaan macam apa itu?"

"Aku tahu sejak tubuh kalian mengecil, kalian telah banyak menempuh bahaya. Kau juga nyaris mengorbankan nyawamu demi Shinichi. Kau sungguh peduli padanya kan?"

"Ehm... Dia partnerku, dia juga banyak membantuku. Kurasa tidak ada salahnya aku juga menyelamatkannya ketika dia dalam bahaya. Tapi itu hanya sebagai teman..."

"Boleh aku minta bantuanmu Shiho-Chan?" Ran menyela.

"Eh? Apa?"

"Tolong jaga Shinichi,"

Shiho mengernyit, "Nani?"

Ran meraih tangan Shiho dan menggenggamnya. Matanya yang membendung airmata memandang Shiho penuh arti, "Jika aku tidak ada, tolong gantikan aku untuk mendampinginya,"

"Kau bicara apa Ran-San? Aku tidak mengerti,"

"Hanya kau satu-satunya yang bisa kupercaya untuk menjaganya,"

"Jika ada yang harus menjaganya adalah kau. Aku tidak mau bersama dengan magnet mayat,"

"Berjanjilah padaku Shiho-Chan," Ran menggenggam tangan Shiho semakin erat.

"Ran-San?"

"Tolong jaga Shinichi,"

"Aku..."

"Berjanjilah aku mohon," pinta Ran sungguh-sungguh.

Meski tidak mengerti, namun lambat-lambat Shiho berkata, "Eh, aku berjanji,"

Sebulan kemudian barulah Shiho mengerti apa maksud Ran membuatnya berjanji seperti itu. Ran menghembuskan napas terakhirnya karena ia ternyata mengidap leukemia stadium akhir. Setelah prosesi pemakaman selesai, Shiho melihat detektif hebat itu masih menunduk menatap nisan Ran begitu lama. Merasa terpukul dan kehilangan.

Tolong jaga Shinichi... Shiho teringat pesan terakhir Ran.

Shiho memejamkan matanya, ia kini harus memenuhi amanat itu.

.

.

.

.

.

Setelah lulus dari universitas hukum, Shinichi membuka kantor agen detektifnya. Demi mengalihkan perhatiannya dari kesedihannya akan kepergian Ran, ia bekerja gila-gilaan. Menyibukkan diri pada kasus-kasusnya. Dalam waktu beberapa tahun, usahanya berkembang hingga ia harus merekrut detektif muda berbakat lainnya dan sejumlah staf admin karena permintaan klien begitu banyak. Seluruh Jepang memujanya, para wanita tergila-gila padanya, namun Shinichi tidak pernah menghiraukannya. Ia tetap saja bekerja seperti robot.

Shiho juga telah menjadi ilmuwan muda hebat dan diakui dunia. Ia masih suka membantu kasus-kasus Shinichi. Tidak peduli betapa menjengkelkannya permintaan Shinichi, ia tetap meladeninya demi mengawasi pria itu agar tidak tewas dalam pekerjaannya. Shiho tahu gaya hidup Shinichi tidak teratur, suka lupa makan dan tidur. Jika sudah seperti itu, setiap kali ia harus investigasi kasus bersama, Shiho pura-pura rewel lapar hingga Shinichi yang tidak tega pasti akan mengajaknya makan bersama. Padahal Shiho belum tentu lapar, ia melakukan itu demi memenuhi janjinya pada mendiang Ran untuk menjaga Shinichi.

Yusaku dan Yukiko mulai khawatir dengan kondisi putra tunggal mereka. Jika kesibukan Shinichi tidak diimbangi gaya hidup sehat, hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum Shinichi menyusul Ran dan sepertinya mungkin hal itu yang diinginkan Shinichi. Mereka memutuskan Shinichi sudah memerlukan pendamping hidup. Mereka tahu Shinichi tidak akan mau dijodohkan dengan sembarang wanita. Mereka juga mengerti wanita biasa takkan mampu mengimbangi Shinichi. Mereka sepakat hanya satu wanita saja yang mampu mengendalikannya.

"Apa?!" Shiho kaget setelah mendengar penuturan Yusaku dan Yukiko.

Yusaku dan Yukiko memandang Shiho penuh harap.

"Ran-Chan... Ran-Chan telah memercayakanmu untuk menjaga Shin-Chan. Karena itu kami memutuskannya seperti ini. Menikahkan kalian," ujar Yukiko.

"Ran-San memang memintaku seperti itu. Aku akan menepatinya tapi bukan berarti dengan menikahinya. Aku masih bisa menjaganya sebagai teman," jelas Shiho.

"Itu saja tidak cukup Shiho," kata Yusaku, "Kau harus memasuki kehidupan Shinichi lebih dalam untuk menjaganya. Yaitu dengan menjadi pendamping hidupnya,"

"Tapi... Tapi dia pasti tidak akan mau!"

"Apa itu artinya kalau dia mau kau akan bersedia?" tanya Yukiko.

"Eh?" Shiho terperanjat, ia terjebak.

Yusaku tampak senang, "Kami bisa melihatnya Shiho. Kau mencintai Shinichi kan?"

"Aku..." Shiho tidak dapat berbicara lagi.

"Sebagai ilmuwan, tidak sedikit pria-pria hebat datang padamu. Namun tidak satupun kau hiraukan, malah kau masih memegang janjimu untuk mengawasi Shinichi. Apa lagi kalau bukan cinta?" Yukiko menimpali.

Shiho memejamkan mata, menghela napas, "Percuma saja, dia hanya mencintai Ran-San..."

Yukiko menggenggam tangan Shiho, "Itu hanya masalah waktu, Shiho-Chan. Aku yakin suatu hari nanti Shinichi akan mencintaimu,"

"Aku tidak mengharapkannya,"

"Shin-Chan bisa mati pelan-pelan jika terus seperti ini Shiho-Chan..." mata Yukiko tampak berkaca-kaca, "Kau tentu tidak menginginkan hal itu terjadi kan?"

"Yukiko-San..."

"Hanya kau yang bisa menolongnya Shiho-Chan. Kami tidak tahu harus meminta bantuan siapa lagi. Kami cuma bisa percaya padamu..."

Shiho memandang Yukiko dan Yusaku bergantian. Ia pun merasa tidak tega.

"Aku mohon Shiho-Chan..." pinta Yukiko lagi.

Shiho menghela napas lagi, "Baiklah,"

Yukiko tampak senang, "Bagus sekali. Setelah ini kami akan bicara pada Shin-Chan,"

"Otosan, Okasan, kalian belum tidur? Tanya Shinichi sesampainya dirumah larut malam dan melihat kedua orang tuanya masih terjaga di ruang tamu.

"Kami sengaja menunggumu Shin-Chan," kata Yukiko.

"Menungguku?"

"Ada yang ingin kami bicarakan denganmu, Shinichi. Duduklah dulu," pinta Yusaku.

"Baiklah," Shinichi mengambil duduk di sofa di hadapan kedua orang tuanya. Mereka hanya dibatasi sebuah meja tamu kecil.

Yusaku dan Yukiko bertukar pandang penuh arti.

"Apa yang ingin kalian bicarakan?" tanya Shinichi lagi.

"Begini Shin-Chan. Tahun ini kau sudah memasuki usia 27 tahun," Yukiko memulai.

"Aku tidak mau," sergah Shinichi cepat, tahu kemana arah pembicaraan itu.

"Eh? Apa memangnya?" Yukiko melongo.

"Aku belum mau cari pacar maupun istri, kalau itu yang ingin kalian bicarakan,"

"Tapi Shin-Chan. Ran-Chan sudah lama meninggal. Hidupmu harus terus berlanjut," Yukiko mengingatkan.

"Hidupku adalah agensiku," Shinichi keras kepala.

"Tapi mau sampai kapan?" suara Yukiko mulai tak sabar, "Kau bekerja sepanjang waktu tanpa memikirkan diri sendiri. Lihatlah dirimu, begitu kurus. Kami tidak bisa terus-menerus menjagamu, ayahmu sebentar lagi akan memulai proyek filmnya di USA. Kau membutuhkan seseorang untuk memerhatikanmu,"

"Kau tentunya mengerti Okasan. Aku tidak akan bisa tertarik pada wanita manapun,"

"Kau tidak perlu khawatir Shinichi," kali ini Yusaku angkat bicara, "Kami sudah memilih wanita yang walaupun belum kau cintai tapi pasti kau hormati dan kau membutuhkannya,"

Shinichi mengernyit, "Nani? Kalian mau menjodohkan aku? Dengan siapa?"

"Shiho Miyano,"

Shinichi terbelalak kemudian meledak tertawa.

Yusaku dan Yukiko bingung.

"Shiho? Yang benar saja! Tak dapat dibayangkan bagaimana aku bisa menikahinya!"

"Kau menghormatinya kan?" tanya Yusaku.

"Ya sebagai teman,"

"Kau juga membutuhkannya," Yukiko mengingatkan.

"Ya sebagai partner kerja,"

"Ya sudah lalu apalagi? Dia cocok menjadi partner hidupmu," desak Yukiko.

Shinichi bergidik, wanita mata setan mengantuk itu menjadi istrinya? Tidak salah?!

"Dia cantik!" Yukiko tersinggung ketika melihat Shinichi merinding.

"Ya dia cantik tapi..."

"Tapi apa?!" Yukiko berdecak habis sabar.

"Dia juga tidak akan mau menikah denganku! Aneh pasti rasanya!"

"Kau salah Shinichi," sela Yusaku tegas.

"Eh?" Shinchi menatap ayahnya.

"Shiho sudah bersedia menikah denganmu," Yusaku memberitahu.

Shinichi terkesiap, "Nani? Tapi... Bagaimana bisa?"

"Karena dia sudah berjanji pada Ran untuk menjaga dan mendampingimu," Yusaku akhirnya membeberkan segalanya.

"Janji? Pada Ran?"

"Benar. Sebelum meninggal Ran ada berbicara pada Shiho dan memintanya berjanji untuk menjagamu dan mendampingimu seandainya dia tiada. Shiho selama ini sudah memenuhi janjinya. Ia bersedia menjadi partner kerjamu kapan saja meski kau mengganggu jam tidurnya dan kini kami memintanya untuk menikah denganmu dan dia bersedia," jelas Yusaku

"Tapi kenapa Ran melakukan itu?"

"Karena dia memercayai Shiho. Sama seperti kau memercayainya sebagai partnermu. Kami juga memercayainya. Dia sudah kami anggap putri kami sendiri,"

Shinichi menggeleng tidak mengerti, "Shiho... Kenapa Shiho bersedia melakukannya? Ini seperti bukan dirinya,"

"Kalau itu, sebaiknya kau tanyakan sendiri pada Shiho," ujar Yusaku penuh wibawa.

.

.

.

.

.

"Aduh Kudo-Kun! Darimana saja kau?! Meetingnya sudah mau dimulai!" gerutu Shiho seraya menunjuk jam tangannya.

Hari itu setelah jam makan siang, Shinichi dan Shiho ada pertemuan di gedung kepolisian untuk membahas sebuah kasus.

"Gomen gomen..." sahut Shinichi terengah-engah karena berlari dari parkiran mobil, "Ada beberapa TKP yang harus kuperiksa..."

"Takuu..."

Tak lama kemudian Inspektur Megure, Takagi, Sato dan Chiba muncul.

"Ah kalian sudah tiba Shinichi, Miyano-San," sapa Megure.

"Inspektur Megure," Shinichi menyapa balik.

"Kita mulai saja meetingnya sekarang,"

Mereka semua pun masuk ke ruang meeting yang merupakan sebuah aula yang luas seperti ruang seminar dengan susunan kursi dan meja panjang yang berundak. Di hadapan mereka terdapat sebuah layar proyektor besar dan Shiho akan ikut presentasi disana.

"Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, virus yang menjangkiti korban bukan Virus Ebola melainkan Virus Marburg," Shiho Miyano menerangkan dengan gayanya yang khas seperti biasa, "Meski mereka dari keluarga yang sama yaitu filovirus, namun Marburg memiliki tingkat kematian lebih tinggi. Pada hari ke 8 atau 9, korban akan mengalami pendarahan dari semua inderanya, mata, hidung, telinga, bibir hingga anus bahkan vagina pada wanita,"

Para polisi di dalam ruang itu terkesiap.

"Namun pada diri tersangka begitu juga rumahnya ketika digeledah tidak ditemukan tabung maupun bekas suntikan virus itu," Miwako Sato berkata.

"Virus itu bisa terinfeksi melalui media apa saja. Virus itu berasal dari kelelawar Rousettus yang menyimpan virus tersebut di dalam liur, air seni dan kotorannya. Ketika manusia melakukan kontak langsung atau mengonsumsi buah yang telah terkontaminasi, maka ia bisa terinfeksi,"

"Kudengar korban memang mulai merasakan gejala yang aneh setelah memakan buah pemberian tersangka," Takagi berkata.

"Berarti kita harus memastikan apakah tersangka benar melakukannya secara sengaja atau memang ia tidak tahu buah itu telah terkontaminasi," Miwako Sato menimbang-nimbang.

Presentasi dan diskusi itu berlangsung serius. Shinichi tidak terlalu mendengarkannya, karena Shiho sudah menjelaskan perihal virus itu padanya lebih dulu. Ia terpaku pada hal lain, yaitu Shiho. Setelah pembicaraan dengan orang tuanya semalam, kini ia memandang Shiho dengan cara berbeda. Sikap Shiho masih sama, tiada kecanggungan. Ia masih tidak mengerti, apa yang telah membuat wanita ini bersedia menikahinya? Dan apakah ia sendiri bisa melihat Shiho sebagai seorang istri di masa depannya?

Shiho cantik, ya ia akui itu. Gayanya keren, selera fashionnya tinggi. Dia juga jenius, ilmuwan yang sangat hebat. Para polisi menghormatinya, bahkan tatapan para pria di ruangan ini memujanya. Kelebihannya memang jauh diatas Ran. Tapi entahlah, apakah Shinichi bisa mencintainya seperti mencintai Ran?

Persepsi Shiho Miyano di matanya adalah seorang wanita karir, ia tidak dapat membayangkannya sebagai seorang istri apalagi ibu. Shinichi menggeleng kuat-kuat berusaha menepis bayangan yang menggelikan itu. Ya ia membutuhkan Shiho sebagai partner kerjanya, tapi sebagai istri? Entahlah.

"Arigatou Miyano-San, benar-benar presentasi dan diskusi yang sangat berguna," Inspektur Megure berkata setelah pertemuan itu berakhir.

"Dengan senang hati, Inspektur Megure," sahut Shiho sopan.

"Kalau begitu, kami tinggal dulu,"

"Eh" Shiho mengangguk.

Kini tinggal Shiho berduaan saja dengan Shinichi.

"Ayo kita pulang," ajak Shinichi.

"Aku bisa pulang sendiri," ujar Shiho seraya mengambil tas tangannya dan memeluk beberapa bukunya.

"Bareng saja, toh kita tetangga,"

"Biasanya kau mau ke TKP lain,"

"Sudah malam, aku lelah,"

Shiho mengangkat bahu, "Oke,"

Mereka akhirnya pulang bersama menggunakan mobil sport putih Shinichi. Selama perjalanan mereka hanya berbincang-bincang mengenai kasus seperti biasa hingga sampai di rumah.

"Aku akan mengirimkan data-datanya padamu besok. Sampai nanti," kata Shiho seraya keluar dari mobil. Namun ketika ia baru mau membuka pintu pagar rumah, Shinichi menahannya.

"Shiho," panggil Shinichi, ia menyusul keluar dari mobil.

"Uhm?" Shiho menoleh padanya.

"Pasti berat untukmu..."

Shiho mengernyit, "Nani?"

"Ran... dia membuatmu terbebani dengan janji itu..."

Shiho menunduk, ia mengerti arah pembicaraan Shinichi. Yusaku dan Yukiko pasti sudah membicarakan perihal perjodohan mereka.

"Jangan lakukan jika tidak sesuai dengan hati nuranimu. Ran pasti akan mengerti, kau tidak perlu memaksakan diri memenuhinya. Lagipula aku bisa menjaga diriku sen..."

"Banyak hal," sela Shiho.

"Eh?"

"Banyak hal, janji itu hanya salah satunya,"

Shinichi memandangnya, menunggu perkataannya lebih lanjut.

"Aku sendiri tidak tahu kenapa aku berjanji. Ran-San selalu mengingatkanku akan kakakku, Akemi. Mungkin hal itu yang membuatku bersedia berjanji ketika dia memohon padaku. Tapi selain itu, aku juga melihat Yusaku dan Yukiko-san yang sangat mencemaskan putranya..."

"Shiho..."

"Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi. Aku menyukai orang tuamu, seakan aku memiliki orang tua sendiri. Sebagai teman dan partner aku juga peduli padamu..." dan mencintaimu...

"Aku hanya tidak mau menyakitimu Shiho. Aku..."

"Aku tidak akan menuntut apapun darimu Kudo-Kun," kini Shiho menatap Shinichi langsung, "Aku tidak mengharapkan kau mencintaiku seperti Ran-San. Kita adalah partner dan itu tidak akan berubah bahkan oleh selembar kertas yang diberi nama 'pernikahan.' Tidak perlu merasa terbebani karena akupun tidak merasa seperti itu,"

"Partner..." ulang Shinichi.

"Eh," Shiho mengangguk, "Sampai besok," ia pun masuk ke dalam rumah.

Entah kenapa, Shinichi merasa sedikit lega.

"Shiho," panggil seorang pria yang mendadak muncul di ruang kantor Shiho.

"Furuya-Kun. Ada apa? Ada kasus yang sulit?" tanya Shiho.

Rei Furuya duduk di kursi depan meja Shiho. Ia memandang Shiho lekat-lekat ketika bertanya, "Apakah hal itu benar?"

Shiho memandangnya, "Benar apanya?"

"Kau akan menikah dengan detektif itu?"

"Ya," jawab Shiho tenang.

"Dia tidak mencintaimu,"

Sambil mengetik keyboardnya, Shiho menyahut, "Aku tahu,"

"Lalu kenapa? Kenapa kau mau menikah dengannya? Hanya karena janji pada yang sudah meninggal? Kenapa kau harus menanggung beban seumur hidup untuk mengurusnya?! Dia bukan bayi! Bukan tanggung jawabmu!" sembur Rei.

"Furuya-Kun..." Shiho memanggilnya tenang.

"Aku mencintaimu Shiho! Aku bisa membahagiakanmu lebih baik dari pria itu!"

"Aku sudah memutuskannya..."

"Dia hanya memanfaatkanmu untuk membantu kasusnya!"

"Aku mencintainya!" Shiho berhenti mengetik, tangannya terkepal.

Rei tertegun sebelum terhenyak di kursinya, "Sudah kuduga,"

"Aku tidak pernah mengharapkannya memiliki perasaan yang sama. Dia membutuhkanku itu sudah lebih dari cukup,"

"Shiho..."

"Aku tidak pernah memiliki tujuan hidup sebelum ini, sebelum bertemu dengannya. Sekarang tujuanku hanyalah menjadi partnernya dan membantunya... Aku tidak dapat membayangkan melakukan hal lain..."

"Dasar ilmuwan bodoh,"

"Eh," Shiho mengangguk, "Aku mengakuinya. Aku bodoh,"

"Seandainya saja..." Rei berangan-angan.

"Nani?"

"Seandainya saja beberapa tahun lalu di markas itu, aku yang sampai lebih dulu untuk menyelamatkanmu, mungkin perasaanmu padanya tidak akan terlampau dalam seperti ini. Shinichi Kudo, aku hanya telat sedikit saja untuk membaca deduksinya, hingga ia tiba lebih cepat daripada diriku," Rei menyesalkan.

"Sama saja Furuya-Kun. Aku sudah mencintainya sejak kami masih mengecil. Dia telah mengajarkanku banyak hal. Aku juga tetap mencintainya meski aku tahu dia hanya mencintai Ran-San. Maafkan aku,"

Rei Furuya mendengus pahit, "Kau benar tidak akan berubah pikiran?"

"Tidak,"

"Benar-benar tidak ada harapan untukku," Rei menyayangkan.

"Kau akan mendapatkan yang lebih baik dariku diluar sana, Furuya-Kun,"

Rei Furuya akhirnya bangkit, "Jika kau memang sudah memutuskannya..." gumamnya dengan nada getir.

"Aku benar-benar minta maaf," Shiho berkata sungguh-sungguh.

"Aku tidak menyalahkanmu Shiho... Tapi..." Rei menatap Shiho tajam, "Jika pria itu berani menyakitimu, dia akan berhadapan denganku," ia pun berlalu keluar dari ruangan itu.

"Furuya-Kun... Gomene..."

.

.

.

.

.

Pernikahan akhirnya dilaksanakan di sebuah hotel mewah. Shinichi dan Shiho menikah menggunakan adat dan tradisi Jepang. Resepsi juga digelar di hotel yang sama. Banyak orang yang menghadiri pernikahan tersebut termasuk orang-orang penting dari Kepolisian Jepang, FBI dan sejumlah ilmuwan. Berita pernikahan itu telah menghebohkan seantero Jepang. Bagaimana tidak? Mempelai pria yang tampan merupakan detektif terkenal sementara mempelai wanitanya yang cantik adalah ilmuwan hebat. Seluruh Jepang mengelu-elukan mereka. Jika dulu orang-orang memuja Yusaku dan Yukiko Kudo, kini tradisi itu berlanjut pada Shinichi dan Shiho Kudo.

"Tidak disangka, akhirnya Shinichi menikah juga ya," kata Takagi.

"Mereka memang serasi sih, sama-sama pintar," lanjut Chiba.

"Shinichi dan Shiho-Kun sudah lama menghadapi kasus bersama-sama. Mereka saling mengerti satu sama lain," sahut Profesor Agasa yang menjadi wali dari Shiho, karena Shiho sudah yatim piatu. Profesor Agasa sudah seperti ayah bagi Shiho.

"Mereka memang kompak sih kalau bekerja tapi aku tak pernah melihat mereka pacaran atau hubungan romantis," Sato mengingat-ingat.

"Ayolah Sato-San, mungkin mereka profesional sehingga tidak menunjukkannya di hadapan kita semua," ujar Megure.

"Kita berharap yang terbaik saja untuk mereka. Semoga bahagia dan cepat mendapatkan momongan," ujar Profesor Agasa.

"Haiii!" Mereka pun bersulang bersama-sama.

Shinichi dan Shiho mungkin tidak terlihat seperti pasangan yang saling mencintai, namun mereka mampu menjaga sikap dengan baik. Mereka masih bisa menghadapi para tamu dan undangan dengan senyum ramah, tidak tampak tanda-tanda paksaan maupun tertekan. Mereka masih menghormati satu sama lainnya sebagai partner.

Yang paling bahagia dengan pernikahan itu adalah Yusaku dan Yukiko Kudo. Mereka akhirnya bisa merasa lega karena Shinichi putra mereka telah menemukan wanita yang tepat. Mereka sungguh berharap Shinichi segera sadar dan mencintai Shiho. Mereka juga mendambakan kehadiran cucu. Dengan adanya anak, diharapkan dapat membuat Shinichi dan Shiho semakin terikat. Yusaku dan Yukiko berseri-seri penuh harap ketika Shinichi dan Shiho telah memasuki kamar pengantin malam itu usai resepsi. Namun mereka tidak tahu, di dalam kamar itu, Shinichi dan Shiho hanya melanjutkan update kasus sulit yang tengah mereka hadapi sampai menjelang pagi.

Yusaku dan Yukiko telah mengatur bulan madu mereka selama dua minggu ke Norwegia. Shinichi dan Shiho patuh saja demi membahagiakan kedua orang tuanya. Selama di Norwegia memang mereka cukup bersenang-senang memandang aurora sambil terkadang bermain lempar salju, tapi tetap masalah pekerjaan mereka yang paling banyak dibahas.

"Kami pergi dulu Shiho-Chan," Yukiko memeluk putri menantunya.

Mereka semua sedang berada di bandara untuk melepas Yusaku dan Yukiko kembali ke Amerika.

"Kami titip Shinichi ya Shiho," pinta Yusaku.

"Eh," Shiho mengangguk.

"Kau juga Shin-Chan. Jaga Shiho ya!" Yukiko mengingatkan putranya.

"Wakata Wakata..." sahut Shinichi bosan.

"Jangan kerja terus! Kalian harus ingat buat anak yang banyak juga ya! Hahaha..." Yukiko tertawa riang.

"Okasan!" Shinichi dan Shiho berseru bersamaan dengan wajah memerah.

Yusaku dan Yukiko akhirnya memasuki boarding room bersama. Shinichi dan Shiho menunggu hingga mereka hilang dari pandangan.

Shinichi dan Shiho menghela napas, kini mereka berdua sudah bebas tanpa pengawasan dari Yusaku dan Yukiko.

"Akhirnya..." gumam Shinichi.

"Jadi ke Haido?" tanya Shiho.

"Eh," Shinichi mengangguk, "Aku harus memeriksa rumah korban sekali lagi. Aku merasa telah melewatkan sesuatu,"

"Aku sudah membawa Alat Pelindung Diri (APD), kita harus mengenakan itu sebelum memasukinya. Hanya untuk berjaga-jaga kalau rumah itu sudah terkontaminasi Marburg,"

"Aku mengandalkanmu Shiho,"

"Hai... Hai..." Shiho melipat tangannya seraya berjalan santai, "Sebagai imbalannya, aku minta tas Fusae terbaru,"

"Nani?" Shinichi yang berjalan menyusulnya melongo, "Itu kan mahal!"

"Uangmu kan banyak karena kau banjir klien,"

"Kau juga! Kau ilmuwan yang mendapatkan beragam hak paten,"

Shiho mengangkat dagunya angkuh, "Kalau bisa pakai uangmu kenapa harus uangku,"

"Baru saja ganti judul jadi 'istri' tapi kau sudah banyak minta,"

Shiho terkekeh licik, "Justru karena status 'istri' itu aku bisa minta sesukaku kan? Detektif yang terkenal?"

Shinichi menyipitkan matanya, "Takuuu..."

Sejak menikah hingga berbulan-bulan kemudian, Shinichi dan Shiho belum bercinta. Mereka tetap tidur sekamar dan satu ranjang tapi itu karena ketiduran. Setelah tinggal satu atap, mereka sering membahas pekerjaan sampai pagi. Jika sudah kelelahan dan mengantuk, mereka tak sanggup melangkah lebih jauh dan hanya bisa merebahkan diri saja di kasur terdekat. Mereka tidak canggung sama sekali tidur satu kasur tanpa bercinta, karena mereka sudah biasa tidur bersama sejak tubuh mereka mengecil.

Namun Shiho tetap melakukan kewajibannya sebagai istri. Ia bangun lebih pagi dari Shinichi untuk menyiapkan pakaian kerja dan sarapannya. Ia juga membantu merapikan dokumen-dokumen Shinichi dan mengurutkannya sesuai alphabet dan timelinenya. Ia juga memasakan makan malam untuk Shinichi. Apabila Shinichi harus lembur, Shiho akan membawakan makan malamnya ke kantor dan menungguinya hingga pulang.

Shinichi harus mengakui persepsi awalnya salah. Ia mengira Shiho wanita karir tulen yang ogah melakukan urusan rumah tangga, tapi ternyata Shiho tidak perhitungan dalam melakukan semua urusan itu. Shiho begitu cekatan dan rapi. Cermat dalam berbelanja dan masakannya ternyata juga enak. Lama-kelamaan Shinichi jadi terbiasa bahkan bergantung padanya. Jika Shiho harus keluar kota atau keluar negri beberapa hari saja, Shinichi sudah merasa kebingungan dan harus menelpon Shiho untuk menanyakan letak-letak barang dan dokumen yang dirapikannya.

Shiho merupakan paket lengkap untuk Shinichi. Seorang istri yang mampu mengurusi urusan rumah tangga dan bersedia diajak berdiskusi mengenai pekerjaan. Sementara istri-istri lain mungkin akan menggerutu kalau suaminya membahas pekerjaan dirumah, namun tidak dengan Shiho. Shiho sangat mengerti kegilaan suaminya akan misteri sejak lama. Jika misteri tidak terselesaikan, Shinichi takkan tenang. Shinichi membutuhkan tempat untuk mencurahkan segala kerisauannya dan hanya Shiho yang sanggup mengimbangi pemikirannya. Shinichi akhirnya menyadari, ia sangat bersyukur dengan keberadaan Shiho. Terkadang kalau kasus mereka sudah selesai, tanpa Shiho minta, Shinichi akan membelikannya tas Fusae baru.

Shiho juga seperti jimat rejeki untuk Shinichi. Sejak mereka menikah, kantor Shinichi semakin kebanjiran permintaan dari klien. Shinichi lagi-lagi harus merekrut tambahan detektif dan staf admin. Para klien merasa kasus yang ditangani Shinichi lebih cepat terselesaikan karena adanya bantuan dari ilmuwan hebat. Pamor mereka meroket sebagai pasangan Kudo muda yang tangguh. Bahkan koran dan majalah elite Jepang pernah terang-terangan membahas mereka dan memberi judul di halaman utama 'Dibalik Pria Sukses Terdapat Wanita Yang Hebat.'

.

.

.

.

.

"Furuya-Kun? Kenapa kau disini?" tanya Inspektur Megure yang datang bersama Takagi, Shinichi dan Shiho.

Malam itu, mereka sedang berada di sebuah rumah besar dan mewah. Telah terjadi kasus kematian di sana. Seorang wanita muda yang merupakan menantu di keluarga itu terjun dari lantai tiga rumahnya. Ia tewas seketika, darahnya muncrat berceceran di aspal. Di duga, ia bunuh diri.

"Eh, sepupu korban adalah teman lamaku," sahut Rei. "Dia menghubungiku lebih dulu karena dia merasa aku mampu datang lebih cepat,"

Mereka akhirnya melakukan investigasi dan menyelidiki kasus itu bersama-sama. Sepanjang proses investigasi, mata Rei Furuya sesekali mencuri-curi pandang pada Shiho. Sudah setahun sejak Shiho menikah dengan Shinichi. Ia mencari-cari apakah ada tanda-tanda ketidakbahagiaan disana. Ia tidak dapat menemukannya. Shiho tidak tampak tertekan. Mereka sangat kompak, gila kerja dan partner hebat tapi tidak terlihat seperti sepasang suami istri yang saling mencintai.

Ternyata kematian itu bukanlah kasus bunuh diri, melainkan korban didorong oleh suaminya sendiri. Tersangka dan korban adalah sepasang suami istri yang baru dua tahun menikah karena dijodohkan. Sang suami tidak pernah mencintai istri yang dijodohkan padanya. Ia memiliki wanita idaman lain. Sang istri tidak bersedia diceraikan karena amanat yang ditujukan kepadanya dari orang tua suaminya. Sang suami yang muak dan bosan akhirnya merencanakan pembunuhan itu dan membuatnya seolah tampak seperti bunuh diri.

"Kau baik-baik saja Shiho?" tanya Rei pelan ketika ada kesempatan karena Shinichi sedang berbicara dengan Inspektur Megure di belakang sana.

"Eh? Aku baik-baik saja," jawab Shiho.

"Dia tidak kasar padamu kan?"

Shiho mengerjap, "Kau tahu dia tidak begitu,"

"Hanya memastikan saja,"

"Ah, kasus pembunuhan ini sepertinya telah memengaruhimu. Tapi Shinichi tidak begitu. Dia memperlakukanku dengan baik,"

"Baguslah kalau begitu. Kalau sampai dia melakukan hal buruk padamu, aku akan membuat perhitungan dengannya. Aku akan melindungimu Shiho,"

"Itu tidak perlu," sela Shinichi yang tiba-tiba muncul.

Rei dan Shiho menoleh padanya.

Shinichi menghampiri Shiho dan merangkulnya, memberi kesan pada Rei bahwa Shiho adalah miliknya.

"Eh?" Shiho bingung dengan sikap Shinichi.

"Shiho adalah istriku jadi aku yang akan melindunginya," ujar Shinichi tajam.

Rei menyipit tak suka.

"Ayo kita pulang Shiho," Shinichi mengajak Shiho pergi seraya menggandeng tangannya.

Wajah Shiho memerah, mereka tak pernah bergandengan baik secara pribadi maupun di depan umum. Tangan Shinichi yang menggenggamnya begitu erat seolah takut dirinya pergi.

"Dia berkata apa padamu?" tanya Shinichi ketika sudah di mobil.

"Hanya menanyakan kabarku saja," jawab Shiho.

"Pasti dia takut aku akan memperlakukanmu seperti tersangka tadi memperlakukan istrinya,"

"Eh, memang dia begitu," Shiho mengaku jujur.

"Takuuu... Memangnya dia kira aku ini apa... Ada-ada saja..."

"Sudahlah tak usah diambil hati,"

"Dia masih suka padamu?"

"Kau kan sudah lama tahu dia memang suka padaku,"

"Kau suka padanya?"

"Kau kan juga tahu aku tak suka padanya,"

"Hmph!" Shinichi mendengus.

Shiho mengernyit, "Aneh, kenapa kau jadi galak begitu padanya? Kan dulu kau yang mendukung kami untuk berkencan,"

"Ya itu kan dulu. Sekarang kau istriku!"

Shiho menghela napas, merasa mengerti maksudnya, "Hai hai... Aku juga tahu diri, sekarang statusku istrimu. Aku tidak akan aneh-aneh dan tidak akan macam-macam. Tenang saja, aku tidak akan menurunkan pamormu sebagai detektif sukses yang memiliki istri hebat,"

"Bukan itu maksudku!"

"Lalu? Kau kenapa sih?!"

"Sudahlah lupakan saja,"

"Takuuu..."

Shinichi sendiri juga tidak mengerti dirinya kenapa. Ia tahu sejak dulu, sewaktu ia masih pacaran dengan Ran, kalau Rei Furuya menaruh hati pada Shiho. Ia tidak pernah merasa terganggu karena hal itu, bahkan ia mendukung mereka berkencan. Ia pun sering mempromosikan Rei dihadapan Shiho agar wanita itu mau membuka hatinya sedikit. Tapi malam ini, ketika ia melihat Rei menatap Shiho dengan sorot kerinduan dan mendamba, Shinichi merasa tidak nyaman. Selama proses penyelidikan ia juga menyadari pria itu diam-diam mencuri pandang pada Shiho. Entah kenapa ia tidak menyukainya. Cemburukah? Atau hanya keegoisan sebagai pria yang memiliki pride? Shinichi tak dapat memutuskannya. Namun ada seberkas ketakutan di dalam hatinya. Ia takut Shiho akan luluh pada cinta yang ditawarkan Rei. Ia terlanjur terbiasa hidup bersama Shiho, ia tidak ingin Shiho meninggalkannya.

Aduh... Aku Shinichi Kudo yang bisa menemukan celah kecil dari semua kasus, tapi kenapa aku tidak pernah bisa menemukan barang yang disimpan diaaa... Gerutu Shinichi dalam hati seraya mencari-cari di dalam kamar.

Shiho yang baru selesai mandi dan hanya mengenakan kimono handuknya tertegun melihat gelagat suaminya itu.

"Kau cari apa?" tanya Shiho.

"Kau lihat USB ku?" tanya Shinichi.

"USB yang mana?"

"Yang menyimpan foto-foto Haruta,"

"Yang warna merah?"

"Iya,"

"Di sana," Shiho menunjuk, "Laci kiri paling bawah,"

Shinichi pun menuju lemari yang ditunjuk Shiho dan berjongkok untuk meraih laci yang paling bawah.

"Ketemu gak?" tanya Shiho yang berdiri mengintip dari balik punggung Shinichi.

Shinichi meraih USB warna merah tersebut, "Ketemu!"

Shinichi berdiri begitu mendadak tanpa menyadari posisi Shiho yang dekat di belakangnya. Ketika Shinichi memutar badannya ia menabrak Shiho.

"Eh!" Shiho kehilangan keseimbangannya.

"Shiho!" Shinichi meraih pinggangnya dan mereka pun jatuh bersama di ranjang. Saling berhadapan dan sangat dekat.

Shinichi tertegun. Wajah Shiho begitu cantik dan bersih. Aroma sabunnya yang baru selesai mandi begitu memabukkan. Pundak, tulang leher dan dada Shiho yang telanjang mengintip dari balik kimononya yang sedikit tersibak membuat Shinichi tergiur. Ia tidak pernah tahu ternyata Shiho begitu seksi. Belum pernah Shinichi merasakan dorongan sekuat itu untuk menyentuh dirinya.

"Shin... Shinichi..." gumam Shiho dengan wajah memerah, ia tidak bisa bangun dengan tubuh Shinichi masih diatasnya.

Namun bukannya bangun, Shinichi malah menyurukkan wajahnya lebih dekat dan mengulum bibir Shiho dengan bibirnya.

Shiho terkejut pada awalnya. Shinichi mengulum bibirnya semakin ganas, kedua tangannya diangkat ke atas kepalanya dan ditahan oleh telapak tangan Shinichi. Bibir Shinichi mulai menjelajahi leher dan dadanya yang telanjang. Shiho melenguh nikmat, ia mulai pasrah mengikuti permainan Shinichi. Suara lenguhannya dan respon tubuh Shiho membuat Shinichi semakin terangsang dan bertindak lebih berani. Malam itu ia menjadikan Shiho miliknya. Malam pertama yang tertunda.

Ketika Shiho membuka mata keesokan paginya, ia menemukan Shinichi sedang memeluk pinggangnya dari belakang. Tubuh mereka masih tanpa sehelai benang pun dan hanya ditutupi selimut. Perlahan Shiho menggeser tangan Shinichi dari pinggangnya, berusaha untuk bangkit diam-diam namun ia gagal.

"Mau kemana?" tanya Shinichi mengantuk seraya menarik balik pinggang Shiho.

"Eh? Aku mau menyiapkan sarapan,"

"Aku tak lapar," tepat saat ia mengatakan itu perutnya berbunyi.

"Dasar pembohong," Shiho ingin bangun tapi Shinichi menariknya lagi.

"Aku lapar hal lain,"

"Nani?"

Shinichi meraih tubuh Shiho dan menggulingkannya di bawah selimut.

"Shin-Shinichi?" Shiho salah tingkah dengan wajah merah.

"Aku menginginkanmu,"

"Sejak kapan penggila misteri berubah jadi penggila seks?"

"Sejak semalam," Shinichi pun menyumpal protes Shiho dengan bibirnya.

Mereka melanjutkan lagi percintaan yang semalam.

.

.

.

.

.

"Mau kuantar pulang Kudo-San?" tanya Sato ketika pertemuan mereka telah selesai.

Shiho melirik jam tangannya, "Harusnya Shinichi menjemputku sebentar lagi. Tapi entahlah dia belum menghubungiku,"

"Biar kutebak," sela Rei Furuya, "Dia pasti sedang berada di TKP lain,"

"Uhm," Shiho mengangguk.

"Kenapa Kudo-Kun tidak ikut meeting hari ini?" tanya Takagi.

"Karena dia sudah mengerti, aku telah menjelaskan perihal virus mutasi itu di rumah. Jadi hari ini dia lebih memilih ke TKP untuk mempercepat waktu... Ugh..." Shiho mendadak menutup mulut dengan kepalan tangannya.

"Kau kenapa Shiho?" tanya Rei.

Shiho berdehem sedikit untuk menghilangkan gejolak tidak menyenangkan yang naik dari lambung ke tenggorokannya, "Aku tidak apa-apa..."

"Tapi wajahmu pucat sekali Kudo-San," Sato menyentuh lengan Shiho.

"Mau kuantar ke dokter?" Rei yang tampak cemas menawarkan.

"Tidak usah, terima kasih. Mungkin hanya kurang tidur saja, karena aku dan Shinichi terlalu serius mendiskusikan kasus ini semalaman,"

"Apa-apaan dia mengeksploitasi istrinya seperti itu..." Gerutu Rei.

"Furuya-San?" Takagi melongo, terkejut dengan ocehan Rei.

"Kudo-San!" pekik Sato ketika Shiho mendadak kehilangan kesadarannya. Untunglah Sato mendekapnya hingga Shiho tidak langsung jatuh tersungkur ke lantai.

"Aku akan membawanya ke rumah sakit," Rei berkata cepat.

"Eh," Miwako Sato mengiyakan.

Namun ketika baru mau meraih lengan Shiho, ada seseorang menepis tangan Rei.

Rei tersentak, ia menoleh dan ternyata pria itu sudah tiba.

"Kudo-Kun..." Sato tampak lega melihatnya.

"Biar aku yang membawanya," ujar Shinichi tajam. Ia meraih lengan Shiho, mengalungkannya ke belakang lehernya dan bangkit seraya menggendongnya.

Rei mengepalkan tangannya, merasa cemburu.

Miwako Sato menyadari hal itu, ternyata ada cinta segitiga di sini.

Rumah Sakit...

"Ukh..." terdengar gumaman Shiho.

"Kau sudah sadar Shiho?" tanya Shinichi.

Shiho menyentuh keningnya, ia berusaha bangun untuk duduk namun ada sengatan tajam di kepalanya yang membuatnya meringis lagi.

"Jangan bangun dulu Shiho!" Shinichi memintanya berbaring lagi.

"Apa yang terjadi?" tanya Shiho.

"Kau pingsan ketika aku baru sampai. Dokter sudah mengambil sampel darahmu, jika tidak ada hal serius baru kau boleh pulang,"

Shiho pun merebahkan tubuhnya lagi di ranjang. Shinichi menyelimutinya. Ketika melihat Shiho pingsan, Shinichi takutnya bukan main. Bayangan Ran disaat-saat terakhir hidupnya berputar lagi di matanya. Ran yang pucat pasi meninggal dalam pelukannya. Ia tidak menginginkan hal yang sama terjadi pada Shiho. Tidak disaat hubungan mereka semakin membaik.

"Gomene Shiho..." ucap Shinichi murung.

"Nani?" Shiho menatapnya.

"Aku terlalu memaksamu bekerja keras,"

"Shinichi?"

"Kau selalu membantuku memecahkan masalah kasus-kasusku, tapi aku dengan bodohnya tidak pernah mempertimbangkan perasaan dan kondisimu. Aku sungguh-sungguh minta maaf,"

"Tidak perlu minta maaf. Aku senang melakukannya, misteri memang merupakan hal yang menarik. Ilmuwan juga selalu berkaitan dengan misteri kan? Misteri pengetahuan,"

"Aku... Aku hanya tidak ingin terjadi hal buruk padamu karena diriku..." Shinichi mengaku dengan wajah memerah. Kejadian ini membuatnya sadar akan arti Shiho dalam hidupnya. Shiho juga rentan, ia tidak lebih tangguh daripada Ran.

"Aku baik-baik saja," Shiho menenangkannya seraya kemudian berkelakar, "Ayolah kau tidak cocok melankolis seperti itu tantei-san,"

"Aku akan mengurangi pembahasan kasus kita sampai pagi. Lain kali kalau kau lelah katakan saja, aku akan berhenti," pinta Shinichi.

"Uhm," Shiho mengangguk.

Tidak lama kemudian Dokter Araide masuk ke ruangan.

"Shinichi-Kun, Shiho-Kun," sapa Araide.

"Araide Sensei. Bagaimana hasilnya? Shiho kenapa?" tanya Shinichi.

Dokter Araide tersenyum, "Tidak apa-apa. Shiho-Kun hanya kelelahan bekerja..."

"Tapi selama ini tidak pernah sampai pingsan," ujar Shinichi. Ia telah lama partner dengan Shiho, ia tahu Shiho suka begadang. Shiho paling-paling hanya mengantuk sepanjang hari tapi tidak pernah sampai pingsan. Kalau sakit cuma demam atau flu.

"Tentu saja kali ini pingsan. Karena Shiho-Kun sudah berbadan dua..." ucap Dokter Araide berseri-seri.

"Eh?" Shinichi dan Shiho terkesiap.

"Maksudmu... Shiho... Hamil?" Shinichi terbata.

Dokter Araide mengangguk, "Perkiraan usia kandungannya sudah sebulan. Kalau masih kurang yakin, coba USG saja,"

Mereka mengambil saran itu dan melakukan USG empat dimensi.

Shinichi dan Shiho terpana melihat gumpalan mungil yang melengkung di monitor.

"Itu..." Shinichi menunjuk sesuatu yang berdetak di monitor.

"Jantungnya," Dokter Araide memberitahu seraya terus menyoroti alat sensor di perut Shiho.

"Cepat sekali," Shinichi mengerjap.

"Aku malah khawatir kalau tidak cepat. Nanti semakin besar usia kandungannya, ia akan melambat sendiri," jelas Dokter Araide.

Mata Shiho tampak berkaca-kaca ketika melihat monitor itu. Ada mahkluk hidup lain di dalam dirinya. Bayinya dengan Shinichi.

"Sebaiknya mulai sekarang kau kurangi kegiatanmu Shiho-Kun. Kau tidak boleh kelelahan, supaya bayinya lahir sehat," saran Dokter Araide.

"Uhm," Shiho mengangguk.

Hari itu juga Shiho boleh pulang dari rumah sakit. Sepanjang perjalanan di mobil, Shinichi tampak berseri-seri. Ia sendiri tidak ingat kapan ia pernah sebahagia ini dalam hidupnya terutama sejak Ran meninggal. Ia akan menjadi seorang ayah. Bayinya dengan Shiho. Ia akan memiliki tambahan detektif atau ilmuwan. Ia membayangkan betapa menyenangkannya kalau teman diskusi misterinya tambah satu lagi di rumah. Saking bahagianya, Shinichi sampai tidak menyadari Shiho masih menyimpan sedikit kebimbangan.

"Shiho kau mau apa? Mau makan sesuatu mungkin?" tanya Shinichi begitu sampai di rumah.

"Tidak, terima kasih. Aku mau tidur saja," jawab Shiho pelan seraya masuk ke dalam kamar.

Shinichi yang bingung menyusulnya ke dalam kamar.

"Shiho kau kenapa? Mana yang tidak enak? Bilang padaku," Shinichi yang duduk di tepi tempat tidur sebelah Shiho terus menanyainya, seraya menggenggam tangannya.

"Aku..." Shiho ragu untuk berbicara.

"Kenapa? Kau tidak senang kita punya bayi?"

"Bukan begitu hanya saja..."

"Katakan saja padaku Shiho. Apa yang menjadi ganjalanmu?"

"Shinichi... Kau tahu... Aku tumbuh tanpa seorang ibu..."

"Eh?"

"Aku takut... Aku tidak tahu... Apakah aku bisa menjadi ibu yang baik?" Shiho menggigit bibirnya.

Shinichi tampak bersimpati, "Aku tidak meragukan, kau akan menjadi ibu yang hebat Shiho..."

Shiho menatapnya, "Shinichi..."

Shinichi tersenyum seraya menepuk lunak kepala Shiho, "Aku berharap dia jenius seperti dirimu..."

Shiho memeluk suaminya.

Shinichi membalas pelukannya. Ia dapat merasakan rasa sayangnya pada Shiho semakin membuncah di dadanya.

.

.

.

.

.

Setahun di Amerika, proyek film Yusaku akhirnya selesai. Tadinya Yusaku dan Yukiko masih ingin menetap di Amerika saja agar Shinichi dan Shiho lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Namun setelah mereka mendengar kehamilan Shiho, mereka memutuskan untuk kembali ke Jepang supaya Shiho ada yang menemani kalau Shinichi sibuk. Terlebih lagi ini adalah kehamilan pertama Shiho, cucu pertama yang sangat dinanti-nantikan di Keluarga Kudo. Yukiko ingin turut menikmati prosesnya bersama putra dan menantunya.

Karena Yusaku sudah ada di Jepang, Shinichi banyak mendiskusikan kasus-kasus sulit dengan ayahnya alih-alih Shiho, yang kini memerlukan lebih banyak waktu untuk istirahat. Shinichi menjaganya Shiho mati-matian, Yukiko juga sangat memanjakannya. Bulan demi bulan berlalu tanpa masalah berarti pada kehamilan Shiho, hingga waktu melahirkan tiba.

"Okasan!" Shinichi memanggil ibunya dengan napas terengah-engah ketika baru saja tiba di rumah sakit, "Kenapa tidak memberitahuku dari tadi?"

"Gomen Shin-Chan, tapi Shiho-Chan bersikeras tidak mau memberitahumu karena takut mengganggu kasusmu," ujar Yukiko tidak enak hati.

"Baka. Persalinannya lebih penting dari kasus manapun. Sekarang bagaimana keadaannya?"

"Masih menunggu pembukaan, sekarang baru bukaan 6,"

"Takuuu..." Shinichi bergegas masuk ke ruang perawatan.

Ketika Shinichi masuk kamar, ia melihat Shiho sedang berbaring miring. Satu tangannya memegang besi pinggiran tempat tidur, satunya lagi memegang perut besarnya. Dahinya penuh peluh karena ia tengah berjuang menahan sakit.

"Shiho..." Shinichi menghampirinya.

"Shin-Shinichi..." Shiho memanggil seraya meringis.

Shinichi menangkup wajahnya, "Sakit?"

"Uh...Uhm..." Shiho mengiyakan seraya berlinangan airmata.

Shinichi tidak tega, Shiho wanita yang jarang mengeluh, kalau dia sudah sampai mengaku sakit hingga menangis, berarti deritanya sudah tak tertahankan.

"Gomen Shiho..." Shinichi memeluknya, "Maaf menyusahkanmu..."

Shinichi seharian menjaganya seraya sesekali memijati kaki Shiho, pinggangnya hingga punggungnya. Apa saja agar Shiho nyaman. Shiho sebentar-sebentar bisa tidur kalau sakitnya sedang mereda namun sebentar kemudian terbangun lagi. Shinichi berusaha menyuapinya makan, namun hanya bisa tertelan dua suap saja.

"Ukh..."

"Sakit?"

"Tidak apa-apa..." sahut Shiho kemudian sembari mengatur napasnya.

Sudah malam dan Shiho masih belum sampai pembukaan 10. Dokter Araide menyarankannya sesekali berjalan. Shinichi akhirnya menyetel musik yang tenang sambil mengajak Shiho berdansa pelan.

"Katakan sesuatu Shinichi..." pinta Shiho.

"Eh?"

"Bicaralah agar perhatianku teralihkan,"

"Kau mau aku bicara apa?"

"Apa saja asal bukan kasus,"

"Baiklah... Apa ya..." Shinichi berpikir, "Ngomong-ngomong ini pertama kalinya kita berdansa ya?"

"Eh," Shiho mengiyakan, "Kita menikah dengan tradisi Jepang, tidak ada acara dansa,"

"Iya ya, sayang juga..."

Shiho terkekeh.

"Eh? Kenapa kau tertawa?" Shinichi bingung.

"Mau bagaimana lagi? Kita tidak pernah pacaran, tahu-tahu sudah menikah saja,"

Shinichi tampak tak enak hati, "Gomen... Kalau kau mau setelah ini kita sering-sering berdansa saja..."

"Ide yang bagus, tapi tidak,"

"Eh kenapa?"

"Kau lebih keren kalau sedang dalam proses deduksi,"

Shinichi terkekeh, "Benarkah?"

"Eh, aku suka ekspresimu kalau sedang berpikir,"

Shinichi mengerjap, menyadari betapa berbedanya antara Shiho dan Ran. Kebalikan dari Shiho, Ran selalu kesal kalau dirinya memikirkan kasus terus. Ran tipe wanita yang banyak bicara, ia suka didengarkan, makanya ia suka marah kalau sedang berbicara, Shinichi malah memikirkan hal lain. Sementara Shiho wanita yang lebih tenang dan tidak banyak bicara, alih-alih ia lebih banyak mengamati. Ia tidak pernah tahu, Shiho selalu memerhatikannya kalau dirinya sedang berpikir dalam membuat deduksi.

"Shinichi..."

"Uhm?"

"Kenapa akhirnya kau bersedia menikah denganku?"

"Eh anooo..." Shinichi sendiri tidak tahu kenapa.

"Apa kau menyesalinya?"

"Tidak! Tentu tidak!" sahut Shinichi cepat.

Shiho tersenyum, itu sudah lebih dari cukup untuknya.

"Aku juga tidak tahu kenapa, tapi mungkin diriku menyadari satu hal,"

"Apa?"

"Hanya wanita aneh seperti dirimu yang sanggup bertahan dengan detektif penggila misteri seperti diriku,"

Shiho terkekeh, "Benar sekali,"

Shinichi mengeratkan dekapannya, "Aku juga ingin kau tahu Shiho..."

"Uhm?"

"Di kehidupan berikutnya, aku bersedia menjadi suamimu lagi,"

Shiho terkesiap, berharap dirinya tak salah dengar, "Shinichi... Ughhhh..." ia meringis seraya memegang perutnya ketika bayinya mendadak menendang lagi.

"Shiho!" Shinichi menahan tubuhnya.

Tendangannya tidak berhenti, malah semakin kencang. Lalu Shiho merasakan cairan hangat mengalir dibagian bawah tubuhnya. Air ketuban.

Shinichi tercengang melihatnya, "Sudah saatnya!"

Shiho segera dibawa ke ruang persalinan. Shinichi ikut menemaninya. Sementara Yusaku dan Yukiko menunggu dengan cemas di luar ruangan.

"Kuatkan dirimu Shiho," pinta Araide yang baru saja mengenakan sarung tangannya.

"Sakit!" Shiho mengerang. Rasanya ribuan kali lebih sakit daripada efek racun APTX.

Shinichi menggenggam tangannya, "Kau pasti bisa Shiho!"

"Shinichi..."

"Ayo tarik napas dalam Shiho. Tahan lalu dorong perlahan," Araide memberi arahan.

Shiho melakukannya dan menggeram kesakitan. Sekujur tubuhnya sudah basah karena campuran air ketuban dan keringat. Shinichi melihatnya seperti itu semakin tidak tega. Matanya juga ikut membendung airmata. Haibara Ai yang dikenalnya sejak masih mengecil kini tengah berjuang diantara hidup dan mati untuk melahirkan bayi mereka. Mana ia pernah sangka, tahap hubungan mereka bisa sampai sejauh ini.

"Sekali lagi Shiho! Sedikit lagi!" pinta Araide.

Shiho menggeram lagi.

Shinichi dapat merasakan dadanya nyaris meledak karena rasa sayangnya pada Shiho.

"Itu kepalanya, sedikit lagi,"

"Ughhh..."

Suara tangis bayi itu pecah juga.

"Sudah lahir Shiho!" Shinichi berseru.

"Bayi yang tampan," kata Dokter Araide yang menangkap bayi itu dengan senyuman puas di wajahnya.

"Aku mau lihat..." ujar Shiho lelah.

"Iya sebentar ya," pinta Shinichi seraya mengusap-usap pundak istrinya.

Setelah bayi itu dibersihkan, perawat langsung memberikannya ke dekapan Shiho.

Shiho memandang bayi mungil itu dengan airmata berlinangan seraya terkekeh kecil, "Kecil sekali... Seperti tikus..."

Airmata Shinichi juga mengalir ketika melihat bayinya, kemudian ia memandang Shiho penuh arti, "Arigatou Shiho," ucapnya seraya mengecup kening istrinya.

Bayi itu akhirnya diberinama Ichiro Kudo.

Seminggu kemudian, Shiho dan Ichiro diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Namun kepulangan itu tidak berjalan lancar karena ada sedikit tragedi.

"Araide Sensei," seorang suster masuk ke kamar perawatan Shiho dimana saat itu seluruh Keluarga Kudo sedang berkumpul dan Dokter Araide juga tengah berkunjung.

"Ada apa?" tanya Araide.

"Bayi Kudo... Bayi Kudo tidak ada di tempatnya..." suster itu melapor takut-takut.

Semua orang terkesiap.

"Shiho!" Shinichi menopang tubuh Shiho yang mendadak terhuyung karena lemas.

"Bagaimana bisa?!" tuntut Araide tidak mengerti.

Belum sempat menjawab, mendadak muncul suster lain, "Araide Sensei! Diluar! Diluar..."

"Nani?"

Di luar rumah sakit sudah ramai. Orang-orang pada berkerumun sambil mendongak keatas, menatap seorang pasien rumah sakit sedang menggendong bayi dan berdiri di atap paling tinggi.

"Ichiro!" Shiho memekik ngeri melihat bayinya diatas sana.

"Sepertinya dia mau lompat!" Yukiko juga memekik panik.

Shinichi menatap Araide, "Aku memerlukan profil pasien itu!"

"Baik!" sahut Araide.

"Okasan telpon Inspektur Megure!" pinta Shinichi pada Yukiko.

"Eh!" Yukiko patuh.

"Shinichi!" Shiho mencengkram lengan Shinichi.

"Tunggulah disini Shiho. Aku janji akan membawa Ichiro kembali,"

"Uhm," Shiho mengangguk.

Shinichi mengecup keningnya kemudian beralih pada Yusaku, "Ayo Otosan,"

"Eh," Yusaku menyahut sigap.

"Aku akan membantu," mendadak Rei Furuya muncul.

Shinichi menatapnya, "Oke,"

Pasien itu bernama Haruka. Seorang wanita muda yang baru saja kehilangan bayinya. Ketika ia sedang berjalan-jalan di sekitar rumah sakit, ia memandang ruang bayi melalui jendela. Entah kenapa ia tertarik pada Ichiro. Mungkin Ichiro mirip dengan bayinya. Wanita muda itu tidak menikah, ia adalah selingkuhan seorang pria yang sudah beristri. Pria tersebut tidak bersedia bertanggung jawab. Diduga ia menderita depresi setelah ditinggalkan pria itu dan kemudian bayinya.

"Haruka-San..." Shinichi memanggil dengan tenang.

Wanita itu berbalik memandang Shinichi seraya memeluk Ichiro penuh perlindungan, "Siapa kau?" tanyanya kalut dengan pandangan tak fokus.

"Aku detektif. Shinichi Kudo,"

"Kau mau apa?"

"Itu bayimu?"

"Tentu saja,"

"Boleh kulihat? Sepertinya dia menggemaskan,"

"Tidak boleh!"

"Oh ya? Kenapa?"

"Karena... Karena aku tidak mau dia pergi..." Haruka menimang Ichiro di pipinya.

"Memang kenapa dia pergi?"

Haruka memiringkan kepalanya seperti orang linglung, "Entahlah... Naoki-San meninggalkanku... Hanya bayi ini satu-satunya milikku..."

"Kenapa Naoki-San meninggalkanmu?" tanya Shinichi.

"Pria itu... Keterlaluan... Dia bilang aku bawa sial... Karena aku ibuku meninggal... Lalu ia meninggalkanku... Aku katanya bintang kematian... Alasan saja..."

"Kenapa dia bilang begitu?"

"Karena... Karena dia bilang... Usahanya menurun karena aku... Bawa sial..."

"Kau tahu Haruka-San?"

"Apa?"

"Sepertinya dia benar..."

"Nani?!"

"Kau bintang kematian,"

"Apa buktinya?"

"Bayi itu. Bayi ditanganmu. Tidak kah kau bertanya-tanya kenapa dia begitu tenang?" dalam hati Shinichi berdoa agar Ichiro jangan menangis dulu.

Haruka memandang Ichiro.

"Bayi itu sudah tiada," Shinichi memberitahu dengan nada mengintimidasi. "Makanya dia tidak menangis... Kau telah membunuhnya..."

"Tidak! Tidak mungkin!" tubuh Haruka mulai berguncang. "Tidak mungkin!" ia mulai ketakutan dan gemetar. Tangannya yang menggendong Ichiro tidak tenang. Ia tampak syok dan terpukul. "Tidak mungkin!" ia melempar Ichiro ke udara.

"Ichiro!" Shiho ngeri melihat bayinya melayang ke udara.

"Shinichi!" Yusaku juga panik.

Hup! Shinichi menangkap Ichiro tepat waktu.

Ichiro mulai menangis keras di dekapan Shinichi.

"Bayiku! Dia tidak mati!" Haruka mulai mengamuk.

Rei Furuya yang diam-diam menaiki gedung dengan gondola muncul di belakang Haruka dan segera mendekapnya untuk mengendalikan pemberontakannya.

"Bayiku! Kembalikan bayiku!" Haruka terus bergulat.

Rei Furuya menguatkan dekapannya.

Araide dan tim medisnya menghampiri. Araide terpaksa menyuntikkan obat bius ke Haruka agar ia tenang. Tim medisnya segera mengamankan Haruka ke ruang perawatan.

"Bagaimana kau bisa disini?" tanya Shinichi seraya berusaha menenangkan Ichiro.

"Ah... Ada saksi mata penting yang membutuhkan perawatan dan pengamanan disini. Aku sedang pergantian shift ketika melihat keramaian itu," sahut Rei kemudian ia memandang bayi dalam dekapan Shinichi, "Jadi itu anakmu dan Shiho?"

"Eh," Shinichi mengiyakan.

Mereka akhirnya turun bersama.

"Itu mereka!" tunjuk Yukiko melihat kedatangan Yusaku dan Shinichi.

"Ichiro! Shinichi!" tangis Shiho merebak ketika melihat mereka semua selamat.

Shinichi menyerahkan Ichiro ke dalam gendongan Shiho. Begitu bersama ibunya, tangis Ichiro perlahan mereda. Shiho mendekapnya penuh perlindungan seraya menangis. Nyaris saja ia kehilangan bayinya. Shinichi memeluk mereka berdua.

"Tidak apa-apa Shiho..." bisik Shinichi seraya mengusap-usap punggung istrinya untuk menenangkannya, "Sudah berlalu..."

"Bayi kita...Hampir saja..." Shiho terbata karena sesenggukan.

Shinichi mengecup kening Shiho, "Sudah tidak apa-apa Shiho... Tenanglah... Kau gemetaran sekali..."

"Ayo kita pulang sekarang Shiho-Chan," bujuk Yukiko lembut, "Supaya kau bisa segera istirahat, kau masih lemah,"

"Okasan benar, ayo Shiho... Pelan-pelan saja..." Shinichi membimbing istrinya menuju mobil yang sudah dibawa Yusaku mendekat.

Rei Furuya mengawasi mereka hingga masuk ke mobil. Untuk pertama kalinya sejak Shinichi dan Shiho menikah, kini ia bisa melihat pasangan itu saling mencintai. Entah kenapa, akhirnya ia bisa merasa sedikit lega.

.

.

.

.

.

Enam tahun kemudian...

"Apa Chiro nakal selama aku tidak di rumah?" tanya Shiho yang baru saja pulang dari seminar di luar negeri. Shinichi menjemputnya di bandara dan sekarang mereka baru sampai rumah.

"Lumayan," sahut Shinichi seraya membuka pintu depan rumah.

"Maksudnya lumayan?"

"Lumayan suka merengut," gerutu Shinichi.

Shiho terkekeh.

"Okairi Shiho-Kun," sambut Profesor Agasa setibanya Shinichi dan Shiho di ruang tengah.

"Hakase. Terima kasih karena kau mau membantu menjaga Chiro," ucap Shiho.

"Tidak perlu sungkan Shiho-Kun. Dia kan cucuku," sahut Profesor Agasa.

"Bagaimana Chiro, Hakase? Apa dia berulah lagi?" tanya Shinichi.

Profesor Agasa menghela napas lelah, "Kalian lihat saja sendiri,"

Shinichi dan Shiho pun naik ke lantai atas untuk memeriksa keadaan putra mereka. Sesampainya di atas mereka menemukan Ichiro sedang bolak-balik memindahkan bantal dari kamar Shinichi dan Shiho ke kamarnya sendiri.

"Chiro-Chan," Shiho memanggil putranya.

Ichiro menoleh dan matanya seketika berbinar-binar, "Okasan!" ia langsung membuang bantalnya dan berlari kepada ibunya.

Shiho menunduk untuk memeluknya, sudah seminggu mereka tidak bertemu.

"Aku rindu padamu Okasan!" Ichiro berkata manja.

"Okasan juga rindu padamu Chiro-Chan," Shiho melepas pelukannya dan menangkup wajah putranya, "Kau tidak nakal kan seminggu ini?"

"Tidak kok!" sahut Ichiro polos.

Dasar penjilat kecil... Gerutu Shinichi dalam hati. Secara fisik Ichiro memang seperti dirinya, tampilan Conan namun rambutnya berwarna merah-coklat gelap, hasil warisan darah Inggris dari Shiho. Tapi gaya dan karakternya benar-benar Ai Haibara. Untuk ukuran anak usia enam tahun, Ichiro sangat pandai. Ia mewarisi kejeniusan kedua orang tuanya. Ia pintar matematika dan sains. Ia juga menyukai misteri. Daya tangkapnya sangat cepat dan kritis.

"Kau sedang apa Chiro? Untuk apa bantal-bantal itu?" tanya Shinichi.

"Aku sedang memindahkan bantal Okasan ke kamarku," jawab Ichiro.

Shinichi mengerjap, "Loh? Kenapa begitu?"

"Kan Otosan sendiri yang bilang. Senin sampai Rabu, di kamar Otosan. Kamis sampai Sabtu di kamarku. Minggu bersama-sama. Sekarang kan hari Sabtu, jatahnya Okasan tidur di kamarku,"

"Ehhhh?" Shinichi terbelalak.

Shiho terkekeh seraya menoleh pada suaminya, "Kena kau,"

"Tapi Okasan kan baru pulang, harus tidur bersama Otosan," Shinichi mendebat putranya.

"Tapi ini kan Sabtu, hari giliranku, jadi harus Okasan harus tidur bersamaku," Ichiro tak mau kalah. Tajamnya benar-benar seperti Ai Haibara.

"Kau sudah besar Chiro! Tidak boleh manja! Mau tidur bersama Okasan sampai kapan?"

"Pria sejati harus pegang janji. Kan Otosan yang menjanjikan begitu!" sungut Ichiro.

Shinichi ingin sekali menjitaknya. Beberapa bulan lalu ia terpaksa membuat jadwal begitu karena Ichiro suka diam-diam menyelinap ke kamar mereka. Gawat kalau sampai bocah itu memergoki olahraga malamnya dengan Shiho.

"Kau tidak boleh merebut istriku seperti itu!" Shinichi membalas lagi.

"Otosan juga tidak boleh merebut ibuku seperti itu!"

"Ehhh... Sudah... Sudah," Shiho melerai, "Aku baru saja pulang, jangan bertengkar begitu,"

Shinichi dan Ichiro pun diam saling membuang muka.

"Baiklah Chiro-Chan. Malam ini Okasan akan tidur di kamarmu, oke?" kata Shiho pada putranya.

"Asik!" Ichiro berteriak kegirangan.

"Shiho!" Shinichi protes.

Ichiro menjulurkan lidah pada ayahnya, lalu melanjutkan memindahkan bantal-bantal Shiho ke kamarnya sendiri.

Shinichi berdecak kesal, "Kau terlalu memanjakannya,"

Shiho berdiri tersenyum pada suaminya, "Masa kau cemburu sama anak sendiri?"

"Kita kan juga sudah seminggu tidak ketemu,"

"Apa itu artinya kau merindukanku?"

Shinichi terdiam, memalingkan wajahnya yang memerah, "Aku hanya merasa sekarang kau lebih memerhatikan Chiro daripada diriku,"

Shiho terkekeh kemudian berbisik pelan, "Aku hanya mengakalinya,"

"Eh?" Shinichi menatapnya.

"Setelah dia pulas aku akan pindah ke kamar kita, oke?" Shiho mengedipkan sebelah matanya.

Shinichi nyengir, "Oke,"

Tujuh tahun mereka berumah tangga, hubungan Shinichi dan Shiho masih harmonis sebagai partner kerja. Begitu juga setelah Ichiro lahir, mereka kompak sebagai orang tua dalam menentukan pendidikan yang terbaik untuk putra mereka. Walaupun diantara Shinichi dan Shiho tidak pernah ada yang mengatakan cinta satu sama lain, namun mereka tidak lagi canggung kalau harus bergandengan tangan di depan umum seperti awal pernikahan. Gairah mereka juga sama-sama tinggi, jika tidak lembur, hampir setiap malam mereka bercinta. Mereka sudah saling ketergantungan antara satu dengan yang lainnya. Mereka masih sama-sama sibuk, tapi jika sudah menyangkut anak terutama hal penting dalam hidup Ichiro seperti pertandingan bola maupun lomba sains, mereka selalu hadir. Itu sudah kesepakatan mereka untuk mengutamakan keluarga terlebih dahulu. Pamor mereka semakin naik, mereka semakin terkenal dan sangat dipuja oleh netizen Jepang.

"Iya iya ini sudah selesai. Sebentar lagi aku sampai di rumah," ujar Shinichi di handphonenya seraya berjalan menuju mobilnya.

"Sampai nanti kalau begitu," ujar Shiho di seberang sana.

Shinichi menutup handphonenya. Ketika ia baru mau membuka pintu mobil, ia mendengar teriakan seorang wanita.

"Nani?" mengikuti insting detektifnya, ia pun berlari menuju asal suara itu. Di belokan gang ia menemukan sesosok tubuh pria sudah terbujur kaku. Namun yang membuat Shinichi tercengang bukanlah mayat pria itu, melainkan wanita yang ketakutan terduduk dua meter dari mayat itu.

Ran?

.

.

.

.

.

Dua bulan kemudian...

"Holmes meminta Watson membisikkan kata 'Norbury' ditelinganya jika ia merasa sombong atau lupa diri akan sebuah kasus," Shiho menutup buku novelnya dan meletakkannya di lemari kecil samping tempat tidur Ichiro, "Sekarang waktunya tidur Chiro-Chan,"

"Okasan..." panggil Ichiro.

"Uhm?"

"Apa Otosan lembur lagi?"

"Eh," Shiho mengangguk.

"Sudah dua bulan Otosan lembur terus, biasanya tidak pernah berturut-turut sampai seperti sekarang ini," kata Ichiro.

"Mungkin kasusnya sulit,"

"Okasan tidak mengantarkan makan malamnya ke kantor? Biasa Okasan kan akan mengantarkan makan malam Otosan ke kantornya dan menunggunya hingga selesai sementara Hakase yang menjagaku disini,"

Shiho terdiam. Ia sudah menawarkan mengantarkan makan malam Shinichi seperti biasa, namun suaminya menolaknya karena ia belum tentu ada di kantor sebab harus menyelidiki tempat-tempat tertentu. Shiho juga sudah menawarkan diri untuk membantu kasusnya jika memang sulit, tapi Shinichi benar-benar tidak ada mengajaknya membahas perihal investigasinya kali ini. Mungkin sangat rahasia yang berhubungan dengan internal kepolisian.

"Mungkin Otosan ingin agar Okasan bisa menemanimu lebih lama Chiro-Chan," ujar Shiho pada putranya.

"Begitukah?"

"Uhm. Sekarang tidur ya," Shiho membetulkan letak selimut Chiro-Chan, kemudian mencium keningnya sebelum mematikan lampu dan keluar dari kamar.

Di luar kamar Shiho termenung. Apa yang kau tutupi dariku Shinichi? Ini tidak biasanya...

"Chiro-Chan!" Yukiko memeluk cucunya ketika ia baru sampai di rumah.

"Oba-Chan!" Ichiro balas memeluk nenek cantiknya.

"Duh kau sudah besar!" Yukiko mengelus-eluskan pipinya ke pipi Chiro.

"Dan semakin mirip Shinichi," sambung Yusaku.

Ichiro hanya tergelak menggemaskan.

"Arigato Otosan, Okasan, kalian sudah mau datang," kata Shiho.

Yukiko berdiri menghadap menantunya, "Tentu saja Shiho-Chan. Kami tidak mau melewatkan memberi kejutan untuk Shin-Chan di ulang tahunnya yang ke-35,"

"Ngomong-ngomong mana Shinichi?" tanya Yusaku.

"Ah dia masih di kantor, belakangan ini dia pulang malam terus, sepertinya ada kasus sulit," jawab Shiho.

"Kasus sulit apa?" tanya Yukiko penasaran.

Shiho mengangkat bahu, "Entahlah. Dia tidak membahasnya denganku,"

"Eh?" Yukiko mengerjap, "Tidak biasanya. Dia kan selalu mendiskusikan kasus sulit denganmu,"

"Mungkin sangat rahasia, sehingga ia tidak bisa mendiskusikannya denganku. Aku juga tidak ingin bertanya lebih jauh, biarkan saja,"

"Okasan, sudah waktunya aku mandi soreee... Bantu aku menggosok punggung..." Ichiro mengingatkan dengan nada manja.

"Hai... Hai... Aku keatas dulu Otosan Okasan..." Shiho undur diri seraya menggandeng Ichiro naik ke lantai atas untuk membantunya mandi.

"Yusaku..." Yukiko memandang suaminya yang tengah berpikir, "Apa kau juga merasa hal ini aneh? Sikap Shin-Chan..."

"Aku sudah merasakan keanehan sejak Shiho menghubungi kita," ujar Yusaku, "Shiho tidak pernah berusaha menyenangkan Shinichi melalui sebuah kejutan pesta ulang tahun, apalagi sampai repot-repot memanggil kita. Itu bukan gayanya,"

"Eh, aku juga menyadari itu. Mereka tipe suami-istri yang seperti partner bukan romantis. Karena itu ganjil rasanya jika Shin-Chan tidak mendiskusikan kasusnya pada Shiho-Chan padahal selama ini ia justru bergantung pada Shiho-Chan. Kasus apa yang membuatnya sampai begitu?"

"Sejauh pengalamanku selama ini, Shinichi hanya menyembunyikan perihal kasus dari Shiho jika menyangkut Black Organization, karena tidak mau membuatnya tertekan,"

"Tidak mungkin. Organisasi itu kan sudah lama hancur. Seluruh anggotanya ada yang tewas dan ada yang sudah tertangkap,"

Yusaku menghela napas, "Semoga saja kecurigaanku salah,"

"Kau curiga apa?"

"Shinichi punya wanita idaman lain,"

Shiho mengendarai sedan sport merahnya seraya merenung. Ia baru saja pulang berbelanja, namun ia tidak langsung pulang ke rumah. Ia membelokkan kemudinya menuju kantor Shinichi. Ia sudah lama mengenal Shinichi jauh sebelum mereka menikah, ia telah merasakan ada sesuatu yang tidak biasa.

Shiho sebenarnya tidak suka menguntit suaminya seperti ini, karena ia selalu percaya pada suaminya. Shinichi bukan tipe pria hidung belang seperti Kogoro Mouri, jadi seberapa banyakpun fans wanita yang tergila-gila padanya, Shiho tidak pernah khawatir. Bahkan di tahun pertama pernikahan mereka dimana mereka belum intim, Shiho tidak pernah berpikir Shinichi akan selingkuh apalagi disaat mereka sudah dekat seperti sekarang ini. Kalau ada kerumunan wanita yang ingin dekat-dekat dengannya, Shinichi akan menggandeng Shiho memberikan sinyal pada kerumunan itu, ia telah memiliki istri.

Jika ada satu hal yang biasanya disembunyikan Shinichi darinya adalah kasus konfrontasinya dengan Black Organization. Namun organisasi itu telah punah, Shiho tidak tahu kasus manalagi yang dapat membuat suaminya menyembunyikan segala sesuatunya darinya. Kalau bukan karena BO, berarti ada hal lain. Selain karena lembur, Shiho sendiri sudah merasakan keanehan sikap Shinichi dua bulan belakangan ini yang suka salah tingkah. Perihal wanita idaman lain adalah hal terakhir yang ada di kepala Shiho. Bila ada wanita yang mampu membuat Shinichi berpaling maka hanya Ran Mouri. Tapi Ran Mouri sudah meninggal, kecuali ia bangkit dari kuburnya. Shiho sudah kehabisan akal, akhirnya memutuskan untuk mencari tahu sendiri.

Shiho memarkir mobilnya pada deretan ketiga di belakang dua mobil lain. Ia sadar Shinichi detektif yang sangat peka, bisa tahu kalau sedang dibuntuti. Ia harus berhati-hati. Dari tempatnya parkir, ia masih bisa melihat mobil sport putih Shinichi di depan kantornya.

Tak lama kemudian Shiho tak dapat memercayai matanya sendiri.

Ran-San?

Shinichi keluar dari kantornya bersama seorang wanita mirip Ran Mouri. Shinichi membukakan pintu mobil untuknya sebelum masuk ke kursi kemudi. Mereka sepertinya akan pergi ke suatu tempat.

Shiho keluar dari barisan parkir untuk mengikutinya. Ia tetap menjaga jarak tanpa kehilangan jejak. Tak lama kemudian ia melihat Shinichi memarkir mobilnya di sebuah restoran mahal. Shiho memarkir di depan agak jauh. Ia menoleh ke belakang dan melihat suaminya bersama wanita itu masuk ke restoran.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?" gumam Shiho seorang diri.

Apa Shiho harus masuk ke dalam memergoki mereka? Melabrak suaminya dan wanita itu? Tidak, ia bukan wanita membabi buta seperti itu. Shiho menjalankan mobilnya lagi dengan kepalanya dipenuhi banyak pikiran.

Wanita itu bukan Ran Mouri. Mirip ya, tapi bukan Ran. Sewaktu Ran meninggal, Shiho sendiri yang mendandani Ran sebelum ia masuk ke peti dan dibakar. Ia juga membantu Shinichi dan Kogoro mengumpulkan abunya sebelum dikubur. Tak mungkin Ran masih hidup. Wanita itu adalah orang lain yang mirip Ran.

Tapi kenapa Shinichi tidak mengerti? Kenapa ia bersama wanita itu padahal wanita itu bukan Ran? Apakah ia masih begitu mencintainya? Kalau begitu apa arti Shiho dalam hidupnya selama ini? Tujuh tahun mereka berumah tangga dan telah dikaruniai seorang putra. Apakah semua itu tidak berarti bagi Shinichi? Shiho mencengkram kemudinya, hatinya terasa sakit, airmatanya mengalir. Ia tidak pernah menuntut Shinichi mengucapkan cinta. Rumah tangga harmonis yang telah mereka bina selama ini sudah lebih dari cukup bagi Shiho. Apakah Shinichi sungguh tega menghancurkan semua yang telah mereka bangun hanya untuk seorang wanita mirip Ran?

Dalam kekalutan itu Shiho tidak memerhatikan jalannya. Tanpa sadar ia melewati lampu merah dan bertepatan dengan itu sebuah kendaraan dari arah lain menyebrang.

Shiho hanya mengharapkan kematian sebelum kegelapan menutup pandangannya.

.

.

.

.

.

"Otosan!" Ichiro memanggil dengan lantang.

"Chiro-Chan?" Shinichi terkejut dengan kemunculan putranya yang tiba-tiba di restoran itu, "Kenapa kau bisa disini? Sama siapa?"

"Aku datang sendiri! Aku mengikutimu," sahut Ichiro dingin.

"Eh? Apa Okasan tahu kau kemari? Nanti dia mencarimu,"

"Okasan tidak tahu!"

Shinichi berdiri menghampiri putranya, "Ada apa Chiro?"

"Aku curiga Otosan lembur terus selama dua bulan belakangan ini," Ichiro menunjuk wanita yang mirip Ran itu, "Jadi karena wanita itu? Hanya karena dia mirip mantan pacar Otosan jadi Otosan memilih untuk bersamanya daripada Okasan?!"

"Eh?" Shinichi mengerjap, "Kau salah paham Chiro,"

"Hmph!" terdengar suara seorang pria mendengus sinis.

Shinichi menoleh dan melihat Rei Furuya berjalan ke arah mereka.

"Bahkan putramu sendiri meragukanmu meitantei," ujar Rei dingin.

"Furuya-San?"

"Aku kira setelah anak ini lahir, kau akhirnya mencintai Shiho. Tapi ternyata aku salah, kau masih mencintai mantan pacarmu yang telah meninggal itu. Dan kini hanya karena Hana-San mirip dengan Ran-San, kau memacarinya,"

"Memang Okasan salah apa? Okasan lebih cantik dan pintar. Kenapa Otosan tega?!" Ichiro mulai menangis.

Rei Furuya menghela napas, "Kalau tahu akhirnya seperti ini, aku akan membawa Shiho pergi dari pernikahan itu,"

Hana berdiri menghampiri mereka, "Apa yang terjadi Kudo-Kun?"

Shincihi menghela napas, "Apa boleh buat? Kalau sudah seperti ini, sebaiknya langsung ku selesaikan saja,"

"Nani?" Rei mengernyit.

"Shiho adalah istriku, kau tidak berhak ikut campur urusan rumah tangga kami Furuya-San. Kau boleh tetap disana untuk menyimak, tapi kau tidak kuperkenankan ikut campur,"

Apa maksudnya? Rei membatin.

"Tetaplah disana Chiro-Chan," pinta Shinichi pada putranya.

"Eh?" Ichiro bingung.

Shinichi menatap Hana yang mirip Ran, kemudian memanggil, "Jodie-Sensei!"

Jodie Sensei pun muncul bersama Camel seraya mengacungkan senjatanya pada Hana. Rei Furuya dan Ichiro terkesiap.

Hana kebingungan, "Apa maksud semua ini Kudo-Kun?"

"Tidak perlu berpura-pura lagi, Vermouth. Aku sudah mengonfirmasi sidik jarimu," kata Shinichi dingin.

Rei tercengang, "Vermouth?! Tapi bukankah dia?"

"Dia memalsukan kematiannya 17 tahun lalu dalam ledakan itu," Shinichi membeberkan, "Dia menderita luka bakar cukup parah dan perlu waktu untuk pulih sepenuhnya. Vermouth menyayangi Ran yang diberi kode nama Angel. Dia mengetahui Ran meninggal karena leukemia dan sangat terpukul karenanya. Sebaliknya, Vermouth sangat membenci keluarga Miyano yang mengambil alih proyek Silver Bullet...

"Ia melihat berita pernikahanku dan Shiho di surat kabar. Ia marah karena hal itu. Vermouth merasa tidak seharusnya Shiho mengambil posisi Angel, karena itu ia akhirnya memutuskan operasi plastik untuk mengubah wajahnya menjadi mirip Ran seratus persen. Ia merencanakan semua ini agar aku dan Shiho bercerai. Aku benarkan Hana-San?"

Hana memejamkan matanya seraya mendengus. Walaupun wajahnya persis Ran, tapi dimata Shinichi, ekspresinya adalah ekspresi Vermouth.

"Sejak kapan kau tahu?" tanya Hana alias Vermouth.

"Sejak aku menyelidiki kematian Hitotsume-San. Dia bukan pria yang memiliki masalah ataupun musuh. Suatu kebetulan ia meninggal di dekatmu dan dekat dengan kantorku. Kau sengaja ingin kutemukan. Hitotsume-San orang yang sangat disiplin dan rutin mengambil uang tunai melalui ATM di minimarket dekat kantorku. Kesalahannya, ia suka menjilati jarinya untuk menghitung uang. Kau telah mempelajari jadwalnya. Kau membubuhkan racun tidak terdeteksi pada tombol mesin ATM. Ketika Hitotsume-San menjilati jarinya, ia keracunan namun akan tampak seperti serangan jantung biasa. Namun beberapa jam kemudian tim forensik menemukan jenasahnya menghijau. Setelah diteliti lebih lanjut, mereka menemukan bakteri Botulinum yang sangat beracun,"

"Benar-benar picik, kau mengorbankan orang tidak bersalah untuk tujuan kotormu!" umpat Jodie Sensei.

"Ketika kau berteriak saat Hitotsume-San tewas, kau hanya mengerut seraya mengepalkan kedua tangan di dadamu," Shinichi melanjutkan, "Padahal normalnya, kalau wanita berteriak dan ketakutan ia akan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Kau tidak mau melakukan itu karena takut keracunan. Tanganmu terdapat Botulinum sewaktu kau membubuhkan dan menghapus lagi racun itu di mesin ATM...

"Kau kira dengan meniru Ran dari wajah dan sikapnya akan meluluhkanku dan menjauhkanku dari Shiho. Tapi tidak, justru semakin kau mirip dengannya aku semakin curiga sehingga..."

"Sehingga kau mengikuti permainannya?" sela Rei, "Berpura-pura tertarik padanya?"

"Ah benar sekali," sahut Shinichi, "Aku sengaja membuatmu percaya kalau aku tertarik padamu untuk menciptakan kelengahan. Pada saat itu terjadi, aku mengambil sidik jarimu dan mencocokannya dengan data kepolisian dan FBI. Dugaanku benar, kau adalah Vermouth. Aku juga telah menyelidiki kasus kematian dokter bedah beserta tim medis di rumah sakit Korea Selatan yang melakukan operasi plastik. Waktu kematian mereka berdekatan setelah mereka melakukan operasi wajahmu Vermouth,"

Vermouth terkekeh kejam, "Seperti yang kuharapkan, kau masih hebat tantei-san," ia menghentakkan pangkal sepatunya. Dua pisau kecil keluar dari ujung sepatunya dan melukai Jodie serta Camel. Mereka berdua yang kesakitan terpaksa menjatuhkan pistolnya.

Shinichi dan Rei juga dengan sigap mengeluarkan pistolnya namun Vermouth lebih cepat, ia meraih Ichiro dan menodongnya dengan pistol.

"Otosan!"

"Chiro!"

"Sedikit saja gerakan akan kuhancurkan kepala bocah ini!" ancam Vermouth, "Anak yang di dalam tubuhnya mengalir darah Sherry!"

"Ichiro tidak ada sangkut pautnya dengan hal ini," geram Shinichi.

"Aku membenci semua yang berhubungan dengan keluarga Miyano. Hmph! Suatu kesalahan besar kau menikahi Sherry!" pekik Vermouth.

"Dia istri terbaik yang pernah kumiliki,"

"Cih! Sungguh menggelikan! Apa kau kira Angel akan bahagia melihatnya?!"

"Sebaliknya, Ran yang memohon pada Shiho untuk mendampingiku! Dengan kau melakukan semua ini, sama saja kau menghancurkan keinginan Ran!"

"Nani?" tangan Vermouth yang memegang pistol bergetar.

Ichiro menggunakan kesempatan itu untuk menggigit tangan Vermouth kuat-kuat. Vermouth kesakitan, Ichiro segera melepaskan diri.

Duar! Rei menembak bahu Vermouth dengan tepat.

Jodie dan Camel segera menahan Vermouth.

"Otosan!"

"Chiro!" Shinichi memeluk putranya.

"Otosan..." Ichiro mendongak menatap ayahnya.

"Nani?"

"Apa kau sayang pada Okasan?" tanya Ichiro.

"Tentu saja,"

"Benar kau tidak selingkuh kan?"

"Tidak dan tidak akan pernah,"

Ichiro terharu dan memeluknya lagi.

Rei Furuya juga akhirnya menghela napas lega.

Mendadak handphone Shinichi berdering, Shinichi mengangkatnya dering ketiga. Nama di layarnya menunjukkan dari Yukiko.

"Ada apa Okasan?" tanya Shinichi.

"Shin-Chan... Shiho-Chan! Dia..." terdengar suara kalut Yukiko.

"Ada apa? Shiho kenapa?"

"Dia kecelakaan!"

Shinichi menegang.

Shinichi dan Ichiro segera melesat ke rumah sakit. Sesampainya di sana, Yusaku, Yukiko dan Profesor Agasa sudah menunggu.

"Shinichi!" Profesor Agasa memanggilnya.

"Bagaimana Shiho?" tanya Shinichi.

"Araide Sensei masih menanganinya," jawab Yukiko.

"Apakah parah?"

"Entahlah, pengaman di kemudinya sempat mengembang ketika tabrakan itu terjadi,"

"Okasan..." Ichiro mulai menangis.

"Kemarilah Chiro," Yusaku memanggilnya.

Ichiro menghampirinya dan Yusaku menggendongnya untuk menenangkan bocah itu.

"Shiho-Chan..." Yukiko juga ikut menangis, "Aku khawatir dengan kondisinya... Apalagi sekarang..."

Shinichi mengernyit, "Apalagi sekarang kenapa?"

"Shiho-Chan dia... dia..."

Shinichi merengkuh kedua bahu ibunya, "Shiho kenapa?"

"Dia sedang mengandung, Shin-Chan," beber Yukiko.

Shinichi membeku, "N-Nani?"

"Dia sudah mengandung dua bulan,"

Mata Shinichi berkaca-kaca, "Kenapa dia tidak memberitahuku?"

"Dia ingin memberitahumu di ulang tahunmu ke-35 minggu depan. Karena itu ia memanggil kami pulang untuk ikut merayakannya. Ia ingin menggunakan kehamilannya sebagai kejutan," jelas Yukiko seraya tersedu-sedu.

Shinichi benar-benar terpukul.

"Kita tunggu saja sekarang, semoga Shiho-Kun baik-baik saja," ujar Profesor Agasa sabar.

.

.

.

.

.

Untunglah luka Shiho tidak parah, berkat pengaman di mobil sportnya. Mobil lain yang menabraknya juga sempat rem mendadak dan memiringkan kemudi sehingga posisinya menyerempet dan tidak menabrak total. Meski sempat mengalami pendarahan, kandungannya berhasil selamat karena janinnya kuat.

"Uhm..." terdengar gumaman Shiho yang mulai sadar di tengah malam.

"Shiho..." Shinichi menggengam tangannya.

Shiho pun membuka matanya dan menemukan dirinya terbaring di rumah sakit.

"Kau ingin sesuatu?" tanya Shinichi.

Shiho mengerjap, ia langsung menyentuh perutnya dengan panik.

"Bayinya baik-baik saja" Shinichi memberitahu.

Shiho tampak lega.

"Bagaimana perasaanmu? Mana yang sakit?" tanya Shinichi lagi.

Shiho mengalihkan pandangannya ke arah lain, "Kenapa kau di sini? Bukankah seharusnya kau menangani kasusmu?" tanya Shiho datar.

"Kasusnya sudah selesai,"

Perlahan Shiho menarik tangannya lepas dari genggaman Shinichi.

Shinichi bingung, "Shiho?"

"Shinichi... sejak awal aku pernah mengatakan, kita adalah partner, status pernikahan diatas kertas tidak akan mengubah hubungan kita sebagai partner. Karena itu kau tidak perlu merasa terbebani, jika kau ingin meninggalkanku..."

"Eh?" Shinichi semakin bingung.

"Ichiro bisa kita rawat bersama,"

"Apa maksudmu?"

"Aku sudah tahu semuanya. Kalau kau menyukai wanita itu, wanita yang mirip Ran-San. Aku akan merelakanmu pergi..."

"Kau salah paham Shiho! Dia Vermouth!"

"Nani?" Shiho akhirnya memandangnya.

Shinichi pun menjelaskan segalanya.

"Kenapa kau tidak memberitahuku dari awal?" tanya Shiho.

"Aku tidak mau membuatmu tertekan dengan mengungkit permasalahan BO,"

Shiho terdiam.

"Lagipula kenapa kau bisa berpikiran aku akan tergoda padanya? Aku adalah detektif, hanya karena dia mirip Ran bukan berarti aku mampu dibodohi. Kau juga sangat pandai, biasanya kau mengerti. Takuuu..."

Mata Shiho berkaca-kaca dan suaranya bergetar ketika berkata pelan, "Jika sudah mengenai Ran-San... Aku tidak bisa berpikir apapun..."

"Eh?"

"Kau begitu mencintainya, sementara aku... Kau tidak pernah mencintaiku... Aku hanya partner yang kebetulan dipercayai Ran-San untuk mendampingimu setelah dia meninggal..." Shiho menggigit bibirnya ketika airmatanya mengalir.

"Shiho..."

"Aku sudah berusaha... Aku berusaha menjadi istri dan partner yang baik untuk mendampingimu... Menjadi ibu yang baik untuk Chiro... Walaupun aku tidak pernah menuntut tapi aku tetap berharap suatu hari kau akan mencintaiku..."

Shinichi tertegun mendengar ungkapan hati Shiho.

"Saat aku tahu ada yang mirip Ran-San dan kau begitu tertarik padanya... Aku sadar betapa dalam cintamu pada Ran-San meski dia sudah lama meninggal... Aku... Aku tidak akan pernah bisa menggantikan posisinya di hatimu..."

"Kau memang takkan pernah bisa menggantikan posisi Ran..."

"Aku tahu..." isak Shiho yang harus menelan kenyataan pahit.

"Karena kau tak perlu menggantikan posisi siapapun Shiho..."

"Nani?" Shiho menatapnya.

"Kau telah memiliki posisimu sendiri,"

"Eh?"

"Bodoh. Kau kira selama tujuh tahun ini tidak ada artinya untukku? Kau selalu membantuku dan mengurusi segalanya untukku. Terutama ketika melihat penderitaanmu saat melahirkan Chiro, astaga Shiho! Aku bersumpah aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu. Aku tidak bersedia menukar semua ini bahkan jika Ran bangkit dari kuburnya sekalipun, apalagi hanya untuk wanita mirip Ran yang ternyata Vermouth?"

"Shinichi..."

"Apakah kau begitu meragukan aku?"

"Aku... Aku hanya takut... Aku tidak bisa dibandingkan dengan Ran-San..."

"Memang tidak bisa dibandingkan. Ran adalah Ran dan Shiho adalah Shiho,"

"Aku sudah menyukaimu sejak kita masih mengecil..."

"Eh benarkah? Kenapa tidak pernah bilang?"

"Aku selalu dicap sebagai orang yang telah memisahkanmu dengan Ran-San... Selama aku bisa menjadi partnermu itu sudah lebih dari cukup... Aku tidak berani mengatakan hal itu jika nantinya kau malah semakin menjauh..."

Shinichi meraih tangan Shiho dan menggenggamnya, "Apa kau ingin aku yang mengatakannya lebih dulu?"

Wajah Shiho merona, "Kalau sulit tak usah dipaksakan..."

"Aku mencintaimu Shiho,"

Wajah Shiho merah total.

"Ya ampun, kalau aku tahu kau menunggunya, aku akan mengatakannya dari awal,"

"Lalu kenapa tidak kau katakan?"

"Kan kau sendiri yang bilang kita partner, aku kira kau tidak merasakan perasaan yang sama. Kau super tenang sekali. Aku takut jika kau tahu aku mencintaimu, kau malah merasa terbebani,"

Shiho berdecak kesal, "Kau selalu bodoh dalam hal seperti ini,"

Shinichi bangkit dari kursi untuk memeluk Shiho seraya berbisik ditelinganya, "Aku mencintaimu Shiho. Di kehidupan berikutnya, aku bersedia menjadi suamimu lagi..."

"Memangnya aku bersedia jadi istrimu lagi?" gurau Shiho.

"Eh? Tidak mau?"

"Becanda," Shiho membalas pelukan suaminya, "Aku juga mencintaimu tantei-san,"

.

.

.

.

.

"Apa semuanya sudah kumpul lengkap?" tanya sang fotografer.

"Eh? Chiro mana?" tanya Shiho yang tengah menggendong bayinya. Anak keduanya dengan Shinichi. Bayi perempuan cantik yang diberinama Shiori Kudo.

"Aku tidak bisa menemukannya dimanapun," sahut Profesor Agasa.

"Takuuu anak itu disaat seperti ini," gerutu Shinichi, "Biar aku saja yang cari, sepertinya aku tahu dia dimana,"

Shinichi pun berlalu dari ruang tamu yang telah disulap jadi studio itu menuju perpustakaan besarnya. Ia melongok kebawah meja dan menemukan Ichiro sedang asik membaca novel Sherlock Holmes.

"Disitu kau rupanya,"

"Otosan!"

"Ayo keluar! Yang lain sudah menunggumu,"

"Tapi ini lagi tanggung,"

"Lanjut nanti saja," Shinichi menariknya keluar dari kolong meja.

"Tapi aku tak suka difoto!" Ichiro merajuk.

Shinichi berdecak, "Tidak usah banyak alasan,"

Mereka semua akhirnya berkumpul. Yukiko dan Shiho yang menggendong Shiori duduk ditengah. Ichiro juga duduk diapit diantara mereka sementara Yusaku dan Shinichi berdiri dibelakang para istri. Profesor Agasa berdiri di belakang Shinichi.

"Sudah siap ya! Satu, dua, tiga..."

Jepret!

Foto keluarga selesai diambil. Semuanya tersenyum hanya Ichiro saja yang cemberut ditengah diantara nenek, ibu dan adiknya. Foto itu dibingkai besar untuk dipasang di ruang utama rumah dan diberi judul, The Great Of Kudo Family.

THE END