Autumn Concerto
By : pipi_tembam
Sinar matahari pagi yang mengintip melalui celah gorden menyorot mata Shiho dan membuatnya terbangun. Ia bergumam mengantuk seraya mengucek-ucek matanya. Ia menyipitkan mata untuk melirik wekernya yang masih menunjukkan jam tujuh pagi. Seraya menggeliat, ia pun bangun duduk dan menemukan keganjilan tersebut. Ia tidak mengenakan sehelai benang apapun di bawah selimutnya.
Eh? Apa yang terjadi? Batinnya. Kemudian Shiho melirik sebelahnya dan menemukan Shinichi yang masih terlelap dengan tubuh telanjangnya juga.
Shiho refleks menarik selimut menutup dadanya dan memekik, "Argh!"
Shinichi tersentak bangun dan kaget juga menemukan keadaan mereka berdua seperti itu.
"Apa yang terjadi Shiho?" tanya Shinichi bingung dan canggung
"Harusnya aku yang tanya!" seru Shiho.
Mereka berada di kamar Shiho di rumah Profesor Agasa. Buru-buru mereka bangun memakai baju secepat mereka bisa sambil lanjut berdebat di ruang tamu.
"Bukankah seharusnya kita berdua ada di rumahmu?" tanya Shiho seraya memijit-mijit kepalanya yang pusing, "Kita sedang merayakan kelulusanmu dari unversitas,"
Shinichi mengingat-ingat lagi, "Aku, kau, Heiji, Kazuha, Ran dan Paman Kogoro,"
"Kemana mereka semua? Mungkin aku sudah terlalu mabuk hingga tidak ingat apa-apa lagi,"
"Paman Kogoro mabuk berat sehingga Ran pamit pulang lebih dulu. Heiji dan Kazuha juga belakangan pamit pulang dan kau juga mabuk sehingga aku mengantarmu kesini,"
"Jadi?! Ini semua salahmu kan!" Shiho menuduhnya.
Shinichi bergidik, "Entahlah Shiho, aku juga agak mabuk ketika memapahmu pulang. Aku mengantarmu sampai ke kamarmu dan aku lupa..."
Shiho menghentakkan kakinya sekali karena kesal, kemudian melipat tangannya, "Sebaiknya kau pergi sekarang sebelum Hakase kembali dari luar negeri,"
"Shiho aku..."
Shiho meliriknya tajam.
"Aku minta maaf,"
Shiho terdiam sebelum akhirnya mendesah, "Sudahlah Kudo-Kun. Aku juga bersalah. Apapun bisa terjadi diantara dua orang yang mabuk,"
"Aku akan mengaku pada Ran,"
"Untuk apa?"
"Aku harus bertanggung jawab padamu Shiho,"
"Tidak perlu. Anggap saja tidak terjadi apa-apa diantara kita. Ran-San tidak perlu tahu, sehingga kalian bisa melanjutkan hubungan kalian,"
"Tapi Shiho..."
"Kita bukan anak-anak, kesalahan ini bisa saja terjadi. Aku tidak mempermasalahkannya, tak usah dibahas lagi,"
"Tapi bagaimana jika kau... jika kau..."
"Hamil?" Shiho mendengus, "Baru sekali berbuat belum tentu akan terjadi kehamilan terlebih lagi, sel-sel kita sudah pernah luka akibat APTX 4869, tidak semudah itu aku akan hamil," ia pun mendorong Shinichi ke pintu keluar.
"Shiho tapi..."
"Sudahlah pulang sana! Aku mau mandi untuk menghilangkan baumu di badanku!" Shiho menutup pintu dan kemudian bergeming. Ia menyandarkan keningnya pada daun pintu sambil menggigit bibirnya berusaha menahan airmata yang mengalir.
Kenapa semua ini harus terjadi?
Sebulan kemudian...
"Apa? Kau akan ke Amerika?" tanya Shinichi.
"Eh," sahut Shiho seraya membereskan dokumen-dokumen penelitiannya, "Aku memutuskan untuk menerima tawaran Shu-nee bergabung dengan FBI,"
"Tapi kenapa? Tiga tahun lalu setelah BO hancur, kau menolak tawaran itu,"
Shiho menghela napas, "Tidak ada tempat untukku disini Kudo-Kun,"
"Eh?"
"Aku tersisihkan dari para ilmuwan Jepang karena aku putri Atsushi Miyano yang dianggap sebagai ilmuwan gila"
Shinichi tampak bersimpati padanya, "Jika kau pergi lalu siapa nanti yang akan membantuku?"
"Tidak perlu khawatir, aku sudah menyiapkan program-programnya. Hakase bisa menggunakannya untuk membantumu,"
"Shiho,"
"Uhm?"
"Apakah aku ada membuatmu tidak nyaman?"
"Nani?" Shiho menatapnya.
"Apakah karena kejadian itu?" tanya Shinichi seraya memalingkan wajahnya yang memerah.
"Sama sekali tidak,"
"Apa jangan-jangan kau?!"
"Tidak," Shiho menyahut dengan tegas, "Tidak terjadi sesuatu pada diriku,"
"O-oh begitu,"
"Eh," Shiho mengangguk.
"Ngomong-ngomong," Shinichi mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah kotak beludru berwarna hitam, "Tadinya aku ingin memberikan ini di hari ulang tahunmu, tapi karena kau sudah mau pergi, apa boleh buat," ia menyerahkannya pada Shiho.
Shiho menerima kotak itu, "Kenapa repot-repot?"
"Tidak sama sekali. Bukalah, aku tidak tahu apa kau suka? Seleramu kan tinggi,"
Shiho membukanya dan melihat seuntai kalung emas putih dengan liontin bunga lili yang melekuk cantik. Ia terpana, "Ini indah sekali Kudo-Kun,"
"Kau suka? Aku memesannya khusus dari desainer perhiasan, sehingga takkan ada yang sama persis dengan ini,"
"Ehm, aku suka. Arigatou. Tapi diantara banyak bunga kenapa Lily?"
"Sesuai namamu Shiho yang bermakna cantik, indah dan feminim. Bunga Lily juga melambangkan kecantikan, elegan dan persahabatan. Selamanya, kau adalah sahabat dan partner terbaikku, Shiho,"
"Ara... Kau manis sekali Kudo-Kun. Awas nanti gadis di kantor detektif itu cemburu,"
Shinichi terkekeh, "Tenang saja, aku sudah menyiapkan hal lain untuknya,"
"Biar kutebak. Kau ingin melamarnya?"
Wajah Shinichi merona, "Ketahuan ya?"
"Semoga beruntung,"
"Eh, thank you,"
Shiho memeluknya, "Jaga dirimu Kudo-Kun. Aku berharap kau bahagia bersama Ran-San dan aku tidak meragukan kantor agensimu akan berkembang dengan baik,"
"Jaga dirimu juga Shiho. Semoga kau bahagia di Amerika,"
Namun setahun kemudian setelah kepergian Shiho, Shinichi menemukan dirinya tidak bergabung dengan FBI. Bahkan Shuichi dan Masumi yang merupakan sepupu Shiho juga tidak tahu dimana keberadaannya. Shiho menghilang.
.
.
.
.
.
Tujuh tahun kemudian di Utoro, Shiretoko Hokkaido...
Lama sudah Shinichi terdiam melamun di pinggir pantai desa nelayan itu. Matahari perlahan bergerak seakan tenggelam dalam lautan. Entah sudah berapa kali ia menghela napas dalam hati. Merenungkan segala peristiwa yang terjadi dalam tujuh tahun terakhir ini.
Lulus dari universitas hukum, ia mendirikan kantor agensi detektif swasta. Kantornya berkembang pesat. Ia kebanjiran klien, sehingga ia harus merekrut detektif baru yang berbakat dan sejumlah staf administrasi. Pamornya terkenal seantero Jepang dan sangat dielu-elukan oleh masyarakat Jepang.
Namun sayang, kemajuan itu tidak sejalan dengan rumah tangganya. Beberapa bulan setelah kepergian Shiho, Shinichi menikah dengan Ran. Awalnya rumah tangga mereka sangat bahagia dan harmonis. Shinichi bekerja sebagai detektif sementara Ran sebagai guru SD. Tapi memasuki tahun ketiga masalah demi masalah mulai bermunculan. Hal-hal kecil yang dulunya bukan masalah semasa pacaran menjadi seperti bom waktu di sebuah pernikahan. Shinichi sudah mengerahkan segenap upaya untuk menyelamatkan rumah tangganya, tapi akhirnya ia tidak berdaya. Setahun lalu, mereka terpaksa bercerai. Shinichi tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri.
Sekarang ia berada disini. Ia sengaja menerima kasus yang jauh ini untuk menyepi dari hiruk-pikuk kota. Ia telah menyerahkan segala urusan kantor di Tokyo kepada asistennya. Ia membutuhkan waktu sendirian untuk berpikir. Selain memikirkan jalan keluar kasus ini, ia juga perlu untuk menyegarkan dirinya dan memulai dari awal.
"Kalian pulang duluan saja, aku masih mau mencari kalungku," terdengar seorang anak kecil perempuan berbicara pada teman-temannya.
"Kau yakin Akemi-Chan? Sudah sore loh," kata teman-temannya khawatir.
"Uhm," Akemi mengangguk, "Kalung itu sangat penting. Bagaimanapun juga aku harus mencarinya sampai ketemu,"
"Baiklah kalau begitu. Kami pulang dulu ya, jangan sampai larut malam Mi-Chan," teman-temannya pamit undur diri.
"Eh," Akemi mengangguk.
Shinichi melihat gadis kecil itu, entah kenapa ia merasa tertarik. Gadis itu tampak familiar, bahkan ia merasa gadis itu mirip Ai Haibara. Ia pun akhirnya bangkit berdiri untuk menghampiri gadis kecil yang dipanggil Akemi itu.
"Sepertinya kau kesulitan Ojo-Chan?" tanya Shinichi ramah.
Akemi mendongak memandang Shinichi dengan kedip yang menggemaskan, "Uhm. Kalungku hilang,"
"Sepertinya kalung itu sangat penting untukmu ya?"
"Iya. Kalung itu pemberian Otosan untuk Okasan,"
"Ojisan bantu cari ya? Seperti apa kalungnya?"
"Ada liontin berbentuk Lily,"
Shinichi mengerjap, ia dulu juga pernah memberi kalung lily pada Shiho namun kemudian ia menggeleng dalam hati. Ada ratusan kalung lily di dunia ini, "Ayo kita cari sebelum malam,"
"Uhm. Arigatou ojisan!" Akemi tampak senang mendapat bala bantuan.
Mereka berdua akhirnya mencari bersama-sama. Kurang lebih setengah jam kemudian ketika hari sudah gelap Shinichi menemukan rantai tipis itu. Ia menggunakan lampu di arlojinya untuk memeriksa bentuknya.
INI?! Shinichi terkesiap. Ini adalah kalung lily yang ia berikan pada Shiho tujuh tahun lalu. Memang ada ratusan kalung lily diluar sana, namun hanya satu saja di dunia yang modelnya seperti ini. Ia pesan khusus hanya untuk Shiho.
"Ah!" Akemi melihat kalung di tangan Shinichi, "Itu dia kalungku!" ia pun berlari menghampiri Shinichi.
Shinichi menyerahkan kalung itu pada Akemi dengan tatapan penuh arti.
"Akhirnya ketemu juga!" Akemi mengenggam kalung itu erat-erat di dadanya.
"Ojo-Chan... Namamu Akemi?" tanya Shinichi dengan jantung berdegup cepat.
"Uhm. Namaku Akemi Miyano,"
Shinichi merengkuh kedua bahu gadis kecil itu, "Siapa nama ibumu?"
"Shiho Miyano,"
Dugaannya benar.
"Kami sudah mengajaknya pulang, tapi Mi-Chan bersikeras mau cari kalungnya," teman-teman Akemi bercerita di klinik kecil itu.
Klinik Miyano malam itu sangat ramai. Bukan karena banyak pasien, melainkan tetangga-tetangga berkumpul sebagai bentuk simpati kepada Dokter Miyano. Sudah beberapa orang pria turun untuk mencari Akemi putrinya yang belum pulang-pulang juga.
"Kau kemana Akemi..." suara Shiho bergetar, airmatanya mengalir.
"Tenanglah Sensei," seorang tetangganya, ibu-ibu berusia empat puluh tahun merengkuhnya, "Akemi anak pintar, dia pasti baik-baik saja,"
"Bagaimana jika ada orang jahat? Bagaimana jika dia tenggelam? Dia juga belum makan, ya ampun... Ini sudah larut malam..." Shiho semakin hilang kendali.
"Sensei! Sensei!" mendadak terdengar suara teriakan dari luar, "Akemi pulang!"
"Eh?" Shiho buru-buru bangkit berlari keluar rumah.
"Okasan! Okasan!" Akemi berlari ke ibunya.
"Akemi!" Shiho berlutut untuk memeluk putrinya erat-erat.
"Okasan..." Akemi sedih melihat ibunya menangis.
Shiho menatap putrinya, "Kau kemana saja Mi-Chan?"
"Kalungnya tadi hilang, jadi Mi-Chan cari dulu sampai ketemu," jelas Akemi
"Baka. Kalau hilang biarkan saja, yang penting kau pulang,"
"Tapi kan ini dari Otosan,"
"Mi-Chan..." Shiho memeluk putrinya lagi. "Itu hanya kalung, bagaimana jika terjadi sesuatu padamu? Okasan hanya punya Mi-Chan..."
"Gomene Okasan... Mi-Chan janji tidak akan mengulanginya... Jangan menangis lagi..."
"Ngomong-ngomong Mi-Chan," seorang tetangga berkata, "Kau pulang sama siapa?"
Akemi mendongak, "Oh ada seorang paman yang membantuku mencari kalung dan mengantar pulang,"
"Nani?"
"Ojisan!" Akemi menoleh kebelakang seraya memanggil.
Shiho tak dapat memercayai matanya ketika Shinichi muncul.
"K-Kudo-Kun?"
"Lama tak bertemu Shiho," sapa Shinichi seraya tersenyum ramah.
.
.
.
.
.
"Pelan-pelan saja makannya, nanti perutmu sakit," pinta Shiho lembut seraya menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Akemi.
Shinichi terus saja memandang Akemi yang makan dengan lahap tanpa menghiraukan makan malamnya sendiri.
Kalung itu pemberian Otosan untuk Okasan... Shinichi mengingat-ingat kata-kata Akemi di pantai tadi. Apakah... Apakah...
"Shiho... Akemi..." Shinichi memulai pembicaraan.
Shiho memberi tatapan peringatan pada Shinichi, "Kita bicarakan nanti Kudo-Kun,"
"Oh... oke,"
"Ngomong-ngomong kenapa kau disini?" tanya Shiho mengalihkan pembicaraan.
"Oh, aku ada kasus disini. Mengenai pencemaran ikan,"
"PT. Matsumoto?" tebak Shiho.
"Kau tahu sesuatu?"
"Belakangan ini aku menerima banyak pasien yang terkena pencemaran limbah tersebut. Desa ini desa nelayan, penghasilan utama para penduduk adalah ikan. Namun beberapa bulan ini penjualan menurun karena ikan-ikan yang tercemar. Aku sendiri akhirnya tidak berani memasak ikan untuk sementara waktu,"
"Uhm," Shinichi mengangguk, "Karena itu aku berusaha menyelidikinya. Namun kau tahu PT. Matsumoto mengelak dan mampu membuktikan proses produksi pabriknya yang bersih. Bahkan tim forensic juga tidak ada menemukan keganjilan saat memeriksa pabrik mereka,"
"Aku bisa mengumpulkan sejumlah pasienku yang nelayan untuk kau tanyai. Mungkin kau akan mendapatkan sesuatu dari sana,"
"Aku sangat berterima kasih. Ngomong-ngomong, kau tahu penginapan di sekitar sini?"
"Aku tahu, beberapa penduduk desa sini menyediakan penginapan untuk wisatawan. Namun sekarang musim liburan sekolah, biasanya sudah penuh karena banyak yang mau ke Taman Nasional atau air terjun. Sekarang sudah larut malam, besok aku akan mengecek lagi kepada para tetangga kalau-kalau ada kamar tersisa,"
"Maaf merepotkan,"
"Tidak sama sekali,"
"Aku sudah selesai Okasan," kata Akemi.
"Aku bantu Akemi mandi dulu, nanti kita ngobrol lagi,"
"Oke,"
"Sampai nanti ojisan!" Akemi melambai riang pada Shinichi.
"Sampai nanti," sahut Shinichi tersenyum.
Ketika Shiho menuruni tangga, ia menemukan Shinichi sedang melihat-lihat foto-foto di ruang tamunya. Ia mendesah dalam hati, ia tidak menyangka harus menghadapi situasi ini begitu cepat. Shinichi detektif pandai, ia pasti sudah tahu.
"Mau teh?" tawar Shiho seraya menuju ke dapur.
"Boleh juga," sahut Shinichi.
Shinichi lanjut memandang berkeliling. Rumah Shiho dua tingkat, tidak terlalu besar tapi dekorasinya bagus sehingga tampak luas. Pengaturan lampu dan cahayanya sangat baik hingga tampak mewah. Di sebelah rumah ada klinik kecil dimana Shiho biasa menerima pasien-pasiennya. Tadi sewaktu ia mandi di kamar Shiho, kamarnya juga sangat berkelas. Bukan barang-barang mahal, namun Shiho mampu memilih dan menatanya dengan elegan. Shinichi lagi-lagi memuji seleranya, minimalis modern. Dulu ketika ia baru menikah dengan Ran, mereka seringkali ribut hanya karena penataan rumah. Selera Ran dalam mendekorasi dan fashion tidak begitu baik.
"Akemi sudah tidur?" tanya Shinichi seraya duduk di kursi tinggi depan meja bar yang berbatasan dengan dapur, di hadapan Shiho.
"Eh," Shiho mengangguk seraya menyajikan teh dan menyerahkan satu cangkirnya ke hadapan Shinichi.
"Arigatou," ucap Shinichi ketika menerima cangkirnya.
Shiho juga menyeruput tehnya.
"Fotomu dan Akemi bertebaran. Tapi aku tidak menemukan foto suamimu," Shinichi memulai pembicaraan.
Shiho meletakkan cangkir di piringnya, "Aku memang tidak pernah menikah,"
"Jadi... Benar Akemi...?"
"Putrimu, ya..."
Shinichi terkesiap.
Shiho menunduk menunggu Shinichi mengamuk.
Tapi Shinichi tidak marah, "Berarti ketika kau pergi, kau sudah hamil?"
"Ya," Shiho mengakui.
"Kenapa? Kenapa kau tidak memberitahuku?"
Shiho akhirnya menatap Shinichi, "Bagaimana aku bisa? Kau begitu mencintai Ran-San. Aku tidak mau sebuah kesalahan yang kita lakukan merusak kebahagiaanmu. Sudah cukup yang kulakukan dengan APTX,"
"Tapi kau harus menanggung segalanya seorang diri,"
"Aku baik-baik saja. Kau tahu, aku tidak pernah mempunyai tujuan hidup, tapi begitu aku memiliki Akemi, semuanya berubah. Dia segalanya untukku. Aku memilih desa ini, desa yang tenang agar kami bisa memulai hidup baru berdua saja. Aku mendirikan klinik ini untuk membantu penduduk desa. Mereka juga sangat ramah menerima kami dan banyak membantuku. Kami bahagia disini," jelas Shiho.
"Shiho..."
"Akemi memang lahir dari sebuah kesalahan, tapi aku tidak menyesalinya,"
Tatapan Shinichi melembut ketika berucap, "Arigatou Shiho,"
"Eh?" Shiho menatapnya bingung.
"Terima kasih karena sudah bersedia melahirkan Akemi,"
Shiho terpana.
"Maaf tidak mendampingimu disaat-saat terberatmu..."
"Kudo-Kun... Kau tidak marah?"
Shinichi menggeleng, "Kenapa aku harus marah? Astaga! Aku Shinichi Kudo punya seorang putri! Tidak kah kau tahu betapa senangnya aku sekarang?"
Shiho lega mendengarnya.
"Kami banyak berbincang di mobil. Dia sangat pintar, aku kagum,"
"Ya," Shiho merasa bangga, "Dia sangat cerdas dan penuh rasa ingin tahu. Dia suka membaca buku sains, pengetahuan, matematika dan tentu saja misteri. Kepandaiannya sudah melebihi teman-teman yang diatas usianya. Dia juga sangat ceria, persis dirimu,"
"Tapi fisiknya mirip denganmu. Awalnya aku kira kau mengecil lagi sebagai Ai Haibara,"
Shiho terkekeh, "Kadang aku sendiri tidak menyangka bisa melahirkan putri seperti itu,"
"Kau mendidiknya dengan sangat baik Shiho. Aku sungguh kagum padamu. Aku ternyata memiliki seorang putri yang benar-benar hebat," Shinichi mengucapkannya dengan mata berbinar-binar, lupa akan kemurungannya ketika baru sampai disini.
"Arigatou,"
"Tapi, apa yang kau katakan pada Akemi tentang ayahnya?"
"Aku hanya mengatakan ayahnya seorang detektif yang sedang menyelidiki kasus sulit dan berbahaya sehingga tidak dapat pulang untuk sementara waktu,"
"Untunglah, kau tidak mengatakan sudah meninggal,"
"Tentu saja tidak, karena kau masih hidup,"
"Anoo... Shiho... Karena sekarang aku sudah tahu, apa boleh aku bermain dengannya?"
"Aku tidak akan melarangmu karena kau ayahnya tapi, aku minta kau tidak memberitahu hal yang sebenarnya. Akemi masih kecil, dimatanya orang tua adalah bersama-sama. Sementara kita tidak bersama, aku tidak mau dia sedih,"
"Aku mengerti. Aku tidak akan memberitahunya. Bagiku asalkan bisa sering menemuinya, itu sudah lebih dari cukup,"
"Oh ya ngomong-ngomong, anakmu sendiri dengan Ran-San sudah berapa? Pasti mereka juga sudah besar,"
Shinichi menunduk sedih, "Kami tidak punya anak,"
"Eh?"
Shinichi mengeratkan pegangannya pada piring cangkir, "Sebenarnya aku dan Ran sudah bercerai setahun lalu,"
"Apa?" Shiho kaget, tidak menyangka akan mendengar berita ini, "Kau dan Ran-San? Rasanya tidak mungkin. Kenapa?"
"Banyak hal Shiho," Shinichi menarik napas panjang, "Awalnya kami bahagia. Aku dengan agensiku dan Ran bekerja sebagai guru SD di Teitan. Namun memasuki tahun ketiga pernikahan, dimana agensiku semakin berkembang dan menerima banyak klien, permasalahan dimulai. Sebagai detektif, musuhku tentunya tidak sedikit. Sesekali ada teror datang kepada kami, mulai dari yang iseng sampai yang serius...
"Ran perlahan muak dan lelah. Sebenarnya kalau ditelusuri lagi, sejak kami pacaran, Ran memang sudah tidak suka setiap kali aku sibuk dengan kasus. Namun saat itu belum dianggap sebagai masalah besar, mana tahu setelah menikah, hal itu adalah bom waktu. Kejengkelan Ran memuncak dan dia menjadi sering uring-uringan. Hampir setiap hari kami bertengkar,"
"Kudo-Kun..."
"Belum lagi permasalahan anak. Sudah berapa kalipun kami mencoba, tidak ada hasilnya. Berbagai cara kami lakukan, tidak satupun berhasil. Tidak ada masalah dengan kesuburanku dengan Ran. Dia sempat mengungkit perihal diriku yang pernah meminum APTX. Aku meminta ilmuwan menyelidikinya dan hasilnya tidak ada masalah. Sudah lama waktu berlalu sejak aku keracunan APTX, sel-selku sudah pulih dan tidak terjadi mutasi. Mungkin kami memang tidak berjodoh untuk memiliki anak,"
"Aku turut prihatin Kudo-Kun," ucap Shiho sungguh-sungguh.
"Belakangan Ran sering bertemu dengan Araide Sensei di sekolah. Disitu dia menyadari, dia membutuhkan seseorang seperti Araide Sensei,"
"Tapi dia mencintaimu kan?"
"Dia mengaku dia masih mencintaiku, tapi bukan aku yang dibutuhkannya. Araide Sensei, seorang dokter yang jauh dari kasus kriminal. Begitu sabar, berwibawa dan perhatian. Tipe-tipe seperti itu lah yang lebih dibutuhkan oleh Ran. Dia hanya ingin menjalani hidup tenang sebagai seorang istri dan ibu tanpa perlu mengkhawatirkan ancaman dan teror. Tanpa perlu mencemaskan apakah suaminya akan pulang dalam keadaan hidup atau tidak. Ia sudah bosan memiliki seorang ayah yang detektif dan seorang ibu yang pengacara dan tidak lepas dari ancaman berbahaya. Tidak perlu ditambah lagi oleh seorang suami yang memiliki pekerjaan beresiko tinggi. Aku tak dapat menyalahkannya. Aku telah mengupayakan segala cara untuk mempertahankan rumah tangga kami, tapi apa boleh buat. Ia meminta aku menghargai keinginannya. Aku terpaksa mengabulkannya dan dengan sangat menyesal akhirnya kami bercerai. Aku dengar beberapa bulan lagi dia akan menikah dengan Araide Sensei," Shinichi mengakhiri ceritanya.
Shiho terdiam setelah mendengar penuturan Shinichi. Ia tahu betul bagaimana Ran dan Shinichi saling mencintai. Berita perceraian ini cukup mengejutkannya.
"Karena itukah kau datang ke desa terpencil ini?"
Shinichi mengangguk, "Aku sebenarnya bisa menyerahkannya pada anak buahku tapi aku memilih untuk menginvestigasinya sendiri. Segala urusan di Tokyo sudah kuserahkan pada asistenku. Aku ingin menyepi, menyendiri," ia memejamkan matanya, "Aku seringkali berpikir, apa yang salah? Aku selalu ingin menegakkan keadilan dan kebenaran tapi... Entahlah... Impian itu malah membuat Ran menderita. Tapi aku sadar aku tidak mungkin meninggalkan pekerjaan yang sudah merupakan panggilan hidupku. Mungkin seorang detektif gila sepertiku memang harus hidup sendirian sampai tua,"
"Kau tidak salah,"
"Eh?" Shinichi menatapnya.
"Ran-San juga tidak salah. Kalian hanya tidak satu frekuensi,"
"Begitukah?"
"Yang sudah pergi relakan saja pergi, namun pertahankan yang masih ingin tinggal,"
"Eh? Aku tidak menyangka kau bisa mengatakan itu,"
Shiho tersenyum tipis, "Jangan lupa aku yang lebih dulu mengalami kehilangan Kudo-Kun. Aku kehilangan orang tua dan kakakku. Mau menangis sampai kering pun mereka takkan kembali. Namun aku menikmati segala yang kumiliki sebagai Ai Haibara. Detektif cilik, kau dan Hakase. Sekarang aku memiliki Akemi dan itu sudah lebih dari cukup,"
"Kenapa kau tidak bergabung saja dengan FBI? Lalu berkumpul dengan Sera-San dan sepupu-sepupumu?"
"Sejak kecil aku tumbuh di organisasi, aku hanya merasa tidak ingin dimanfaatkan lagi meski organisasi itu adalah FBI. Mengenai Mary Obasan, aku hanya tidak enak hati setiap kali dia melihatku dia merasa bersalah karena teringat Okasan. Ketika kita bertarung dengan BO, mereka sudah sangat melindungiku. Aku tidak bisa membebani mereka lebih jauh lagi. Tapi aku masih suka mengirimkan email untuk mengabarkan kondisiku baik-baik saja,"
"Aku mengerti," Shinichi menarik napas panjang lagi, merasa agak lega setelah mengeluarkan uneg-unegnya pada Shiho, "Untunglah aku memutuskan menginvestigasi kasus ini sendiri, sehingga aku dapat bertemu denganmu dan Akemi. Mengetahui sekarang aku punya seorang putri, segala kepenatanku hilang. Aku merasa lebih berarti,"
Shiho senang mendengarnya.
.
.
.
.
.
"Jawabannya adalah getsuyoubi (hari senin)," tebak Akemi.
"Kenapa?" tanya Shinichi yang memberikan kuis di meja sarapan.
"Getsuyoubi dalam huruf kanji sama dengan huruf China yang artinya bulan. Karena itu kelinci pasti suka hari Senin, karena kelinci dipercaya dalam dongeng China merupakan peliharaan Dewi Bulan," jelas Akemi.
"Benar sekali. Akemi pintar!" puji Shinichi.
Akemi tergelak senang.
"Ah... sudah cukup teka-tekinya. Sekarang cuci tanganmu sebelum kita berangkat," pinta Shiho pada putrinya.
"Hai..." Akemi turun dari meja makan untuk cuci tangan di wastafel.
"Mau kemana? Bukannya sekolah libur?" tanya Shinichi.
"Akemi punya semacam kelompok detektif cilik seperti kita dulu. Selama liburan ini mereka memutuskan untuk belajar bersama di perpustakaan sembari melakukan riset mengenai pencemaran ikan di desa ini,"
Shinichi terpesona, "Wah bagus sekali,"
"Setelah itu kita akan menemui para nelayan untuk kau tanyai. Kebetulan hari ini aku tidak ada pasien,"
"Kalau begitu kuantar sekalian saja,"
"Mobilku atau mobilmu?"
"Mobil sewaanku saja, daripada nganggur,"
"Oke,"
Mereka akhirnya pergi bersama-sama. Lima belas menit kemudian mereka sampai di perpustakaan desa.
"Jangan nakal ya Mi-Chan," pinta Shiho.
"Hai," sahut Akemi.
"Jangan lupa dimakan bekal siangnya, Okasan akan jemput lagi jam tiga sore. Oke?"
"Oke,"
Shiho memeluk putrinya.
"Aku sayang padamu Okasan," bisik Akemi.
"Okasan juga menyayangimu Mi-Chan," Shiho balas berbisik.
Melihat ibu dan putrinya yang saling berpelukan itu, entah kenapa Shinichi merasakan kehangatan menjalari hatinya. Selama ini persepsi wanita keibuan dimatanya hanyalah Ran. Ran sangat menyukai anak-anak hingga memutuskan menjadi guru SD. Ia tidak pernah tahu ternyata seorang Shiho, wanita yang sering diejeknya mata-setan-mengantuk ini juga memiliki naluri yang lembut sebagai seorang ibu. Matanya, mata Shiho yang biasa dikenalnya jutek, kini penuh kasih sayang.
"Sampai nanti Shinichi ojisan!" Akemi melambai.
"Eh, sampai nanti Akemi-Chan," sahut Shinichi.
Shiho memandang Akemi yang bergabung dengan teman-temannya sebelum memasuki perpustakaan. Selama itu ia tidak menyadari Shinichi yang tengah menatapnya. Dalam hati Shinichi bertanya-tanya, kenapa ia baru sadar ternyata Shiho cantik? Apakah karena selama ini ia terlalu fokus pada Ran? Atau Shiho yang memang semakin cantik setelah menjadi seorang ibu? Sejak dari Ai Haibara sampai Shiho Miyano, wanita itu alaminya memang dingin dan terkesan galak. Tapi sekarang ia berbeda. Astaga jika seandainya saja dari dulu Shiho menatapnya dengan tatapan seperti ia menatap Akemi sekarang. Tidak menutup kemungkinan ia akan goyah terhadap Ran.
"Nani?" tanya Shiho yang akhirnya sadar akan tatapan Shinichi.
Shinichi buru-buru memalingkan wajahnya yang merah, "Tidak,"
"Pergi sekarang?"
"Ayo,"
Mereka akhirnya bersama-sama pergi untuk menemui para nelayan yang dirawat Shiho akibat terkena efek limbah. Shinichi menyadari betapa para nelayan dan penduduk disana sangat menghormati Shiho. Di desa terpencil itu, klinik Shiho Miyano merupakan satu-satunya tempat dimana mereka bisa mendapatkan pengobatan darurat. Shiho pun bersedia 24 jam membantu jika memang terdapat panggilan dadakan. Shiho sabar dalam mendengarkan keluhan-keluhan pasiennya. Obat yang diraciknya juga sangat manjur untuk menyembukan segala sakit mereka.
Sore hari setelah menanyai para nelayan, Shinichi dan Shiho kembali menjemput Akemi. Di rumah mereka mengumpulkan segala data termasuk penyelidikan kecil Akemi yang ternyata cukup membantu. Setelah makan malam dan menidurkan Akemi, Shiho dan Shinichi melanjutkan diskusi mereka hingga lewat tengah malam. Shiho sudah berulang kali memeriksa para tetangga yang memiliki penginapan, namun benar-benar tidak ada satu kamar pun tersisa. Akhirnya Shinichi memutuskan menetap di rumah Shiho agar dapat lebih dekat dengan Akemi dan menginvestigasi kasus lebih tenang.
"Huaaah..." Shiho menguap.
Shinichi nyengir melihatnya.
"Apa kau cengar cengir?" tanya Shiho galak.
Cengiran Shinichi malah semakin lebar, "Aku merindukan suasana seperti ini,"
"Eh?"
"Disaat kita berdiskusi sampai pagi,"
"Takuuu..." Gerutu Shiho seraya mengusap matanya yang berair, "Kau tidak berubah, selalu saja suka membuat orang kerja keras..."
"Gomen Gomen... Tapi kau sendiri penasaran kan..."
"Mau bagaimana lagi? Pasienku yang terkena efek pencemaran itu semakin bertambah kemarin ini. Sampai akhirnya mereka terpaksa berhenti melaut untuk sementara. Aku juga perlahan-lahan mengumpulkan bukti dan data. Salahkan aku yang berteman lama dengan detektif, sehingga akhirnya aku melakukan semua itu,"
"Jadi," Shinichi bertopang dagu ketika memikirkan deduksinya, "Jika tim forensic memang tidak menemukan hal yang illegal disana, tapi kenapa para nelayan bisa terkena efeknya?"
Shiho menunjuk sebuah titik koordinat di laut lepas pantai, "Di sini adalah titik dimana biasanya mereka memancing ikan. Dari sepanjang bibir pantai menuju titik ini tidak ada pencemaran. Dugaanku mereka menggunakan kapal untuk membuangnya disana, tidak langsung dari sumber pabriknya,"
"Kalau benar begitu berarti ada orang kepercayaan mereka yang ditugaskan untuk membuang limbah itu secara rutin,"
"Yang pasti bukan para nelayan itu yang ditugaskan,"
"Mereka memiliki sistem pembuangan limbah yang baik, tapi kenapa membuangnya ke lepas pantai? Pasti ada sesuatu. PT. Matsumoto adalah satu-satunya pabrik pengalengan ikan disini, kenapa mereka melakukan hal yang hanya akan menghambat distribusi mereka?"
"Dugaanku motifnya adalah ia tidak mau membeli ikan dari nelayan. Aku dengar dari para penduduk, sudah lama PT. Matsumoto ingin memperkerjakan para nelayan disini dibawah nama perusahaan mereka. Namun para nelayan tidak setuju, mereka memilih tetap bebas agar bisa menjual ikannya kemana saja. Lagipula harga yang ditetapkan PT. Matsumoto selalu dibawah harga distributor lainnya,"
"Hm..." Shinichi berpikir keras.
"Satu hal lagi,"
"Nani?"
"Salah satu pemegang saham PT. Matsumoto adalah keponakan menteri perikanan dan kelautan kita," Shiho memberitahu.
"Aku sepertinya mulai mengerti,"
"Shinichi ojisan," Akemi memanggil ketika ia tengah berjalan-jalan bergandengan bersama Shinichi di pinggir danau yang masih area Taman Nasional Shiretoko. Shiho sedang kebanjiran pasien, karena itu Shinichi memutuskan untuk membawa Akemi keluar agar tidak mengganggunya.
"Ada apa Akemi-Chan?" tanya Shinichi.
"Anooo..." Akemi tampak ragu.
Shinichi berlutut agar wajahnya sejajar dengan Akemi, "Akemi-Chan mau bicara apa?"
"Anoo... Apa benar Shinichi ojisan kenal dengan Otosan?"
"Eh?" Shinichi mengerjap, terkejut dengan pertanyaan Akemi, "I-Iya kami saling mengenal. Memangnya kenapa?" Aku ayahmu Nak...
"Otosan seperti apa? Okasan bilang dia detektif hebat. Apa benar?"
"Eh benar... Dia detektif yang sangat hebat..."
"Apa dia tampan?"
"Eh," Shinichi mengangguk, dalam hati menahan geli.
"Seperti Shinichi ojisan?"
Shinichi terkekeh, "Kira-kira begitulah,"
Akemi kemudian menunduk murung.
"Kenapa Akemi?"
"Otosan sudah lama tidak pulang. Setiap kali Mi-Chan bertanya pada Okasan, katanya Otosan sedang menghadapi kasus sulit dan berbahaya. Otosan tidak mau kami terluka, jadi tidak bisa pulang sebelum kasusnya selesai,"
"Okasan berkata benar. Pekerjaan detektif kadang memang berbahaya,"
Akemi menghela napas, "Mi-Chan dulu sebenarnya sering bertanya tentang Otosan sampai akhirnya Mi-Chan tidak berani bertanya lagi,"
"Kenapa begitu?"
Akemi mengeluarkan liontin lily dari lehernya, "Waktu itu tengah malam, Mi-Chan melihat Okasan sedang membersihkan kalung ini. Tiba-tiba saja, Okasan memeluk kalung ini di dadanya sambil berlinangan airmata,"
Shinichi terdiam, Shiho...
"Sepertinya Okasan sangat merindukan Otosan, karena itu Mi-Chan tidak mau bertanya lagi, takut Okasan sedih,"
Shinichi menepuk lunak kepala Akemi, "Akemi memang anak baik,"
"Shinichi ojisan,"
"Uhm?"
"Otosan... Apa kira-kira Otosan ada merindukan kami juga?"
Shinichi mengingat lagi saat-saat tersulit hidupnya selama tujuh tahun terakhir ini. Ada masa-masa memang ia merindukan Shiho. Hanya Shiho yang biasanya mau mendengar keluhannya dan mempunyai pemikiran selevel dengannya. Shinichi memang memiliki anak buah detektif, tapi ia mempertahankan hubungannya dengan anak buahnya secara profesional tanpa pernah menceritakan urusan pribadi rumah tangganya. Tanpa Shiho, ia hanya menyimpan segala beban itu seorang diri.
"Percayalah Akemi-Chan..." Shinichi menatap putrinya lekat-lekat, "Ayahmu juga sangat merindukan ibumu, kalian berdua... Suatu hari nanti dia pasti akan pulang..."
"Uhm," Akemi mengangguk dengan mata berkaca-kaca.
Shinichi memeluknya.
"Semoga Otosan sebaik Shinichi Ojisan," bisik Akemi yang memeluk leher Shinichi erat-erat.
Tenggorokan Shinichi tercekat, betapa ia ingin mengungkapkan pada Akemi bahwa Otosannya sedang memeluknya. Tapi ia sudah berjanji pada Shiho, baru akan mengatakannya setelah Akemi siap.
"Begini saja Akemi-Chan," Shinichi menggendongnya, "Kalau misalnya sekarang ada Otosan disini, Akemi ingin apa?"
"Uhmmm," Akemi berpikir seraya menaruh telunjuknya di dagu, "Ramen,"
"Ramen?"
"Aku mau makan ramen bersama Otosan sambil tebak-tebakan,"
"Baik, kalau begitu kita cari ramen yang enak sekarang,"
"Asik!"
Sisa hari itu mereka habiskan untuk bersenang-senang bersama.
.
.
.
.
.
"Miyano Sensei!" terdengar seseorang berteriak dari luar klinik ketika Shiho baru saja selesai dengan pasien terakhirnya.
"Ada apa?" Shiho melongok keluar.
Salah seorang nelayan tengah memapah Shinichi yang perut kirinya terluka.
Shiho terhenyak, "Kudo-Kun!"
Pagi itu Shinichi pergi menggunakan perahu untuk menyelidiki titik lepas pantai dimana para nelayan biasanya mencari ikan dan merupakan lokasi pencemarannya paling tinggi. Ketika tengah fokus memikirkan deduksinya, tiba-tiba saja ada sebuah perahu lain dari kejauhan melepaskan tembakan ke arah Shinichi. Mereka sempat berkejar-kejaran, namun Shinichi terselamatkan karena ada beberapa kapal nelayan lain datang, sehingga penembak misterius itu akhirnya melarikan diri.
"Untunglah hanya tergores saja," gumam Shiho setelah menyelesaikan jahitannya di perut Shinihi, "Satu senti lagi saja, kau bisa tewas karena pendarahan,"
"Arigatou... Shiho..." Shinichi mengerang seraya berusaha untuk bangun duduk.
Shiho membantunya duduk dan menyerahkan sebuah kemeja baru yang bersih untuknya.
"Tampaknya PT. Matsumoto sudah mengetahui kau sedang menyelidiki kasus pencemaran itu. Seorang detektif terkenal dari Tokyo bersedia datang ke daerah terpencil ini merupakan suatu hal yang sangat mencolok," kata Shiho.
Shinichi nyengir, "Ah, hal itu hanya semakin menguatkan dugaan bahwa memang ada sesuatu. Mereka ketakutan hingga berusaha membungkam diriku,"
"Kau harus lebih berhati-hati, Kudo-Kun," Shiho memperingatkan.
"Aku mengerti,"
"Bagaimana?" tanya seorang pria usia empat puluhan seraya mengisap cerutunya.
"Dia diselamatkan oleh para nelayan," seseorang melapor.
"Cih!" pria itu mengumpat, "Lalu, apa kalian terlihat?"
"Tidak sama sekali,"
"Semoga saja hal itu cukup untuk membuatnya kembali ke Tokyo,"
"Tapi sepertinya tidak semudah itu. Shinichi Kudo detektif yang cukup keras kepala. Jika ia menemukan sesuatu yang aneh, ia pasti akan menyelidikinya sampai tuntas,"
"Dimana dia sekarang?"
"Dia masih menginap di Klinik Miyano,"
"Klinik Miyano? Seorang ibu tunggal dengan satu putri?"
"Benar tuan,"
Pria bercerutu itu mengernyit.
"Dari hasil pemantauan kami, sepertinya Shinichi Kudo cukup akrab dengan Shiho Miyano dan putrinya. Beberapa waktu lalu mereka berdua juga ada menanyai para nelayan, putrinya Akemi Miyano juga membentuk kelompok belajar untuk melakukan riset mengenai pencemaran,"
"Hmph! Tidak bisa dibiarkan orang-orang usil itu. Selidiki mereka!"
"Baik tuan!"
Terdengar suara ketukan pintu tiga kali.
"Masuk," Shinchi mempersilakan.
Shiho membuka pintu dan melihat Shinichi tengah berdiri bertelanjang dada, berusaha mengganti perban di perutnya.
"Perlu bantuan?" tanya Shiho yang memang membawa nampan untuk mengganti perban Shinichi.
"Ah yeah, sepertinya begitu,"
Shiho mendekati Shinichi dan menaruh nampannya di atas tempat tidur. Perlahan ia membuka perban awal Shinichi, lalu membersihkan rembesan darah di lukanya dengan alkohol.
"Sakit?" tanya Shiho ketika Shinichi sedikit berjengit.
"Perih,"
"Tahan sedikit," pinta Shiho.
Setelah membersihkan lukanya Shiho mengambil beberapa helai kapas baru.
"Tolong pegang sebentar,"
"Eh," Shinichi menahan kapas sementara Shiho menggunting plesternya sebelum menempelkannya antara kapas dan kulit Shinichi.
Terakhir Shiho melilitkan kain kasa ke sekeliling perut dan pinggang Shinichi. Ketika ia melakukannya pipinya mau tidak mau menempel pada bahu Shinichi. Mereka begitu dekat hingga Shinichi mampu menghirup aroma shampoo rambut Shiho. Kedekatan itu tak disangka begitu memabukkan. Shinichi tak ingat kapan ia pernah menganggap Shiho sebagai seorang wanita yang menarik dan kenapa ia begitu buta akan hal itu dahulunya. Wanita yang telah bekerja siang-malam demi menemukan penawar agar ia dapat kembali pada kekasihnya. Wanita yang telah membantunya dalam sebagian besar kasusnya. Wanita yang akan dihubunginya lebih dahulu jika ia memerlukan bantuannya. Wanita yang telah berkorban melahirkan anaknya diam-diam agar ia bisa bahagia dengan rumah tangganya yang baru.
Ketika Shiho telah selesai mengikat kain kasanya, mendadak Shinichi meraih pinggang Shiho untuk menghilangkan jarak diantara mereka.
"Eh? Kudo-Kun?" Shiho gugup dengan sikapnya.
"Seandainya saja Shiho..."
"Nani?"
"Seandainya kau mengungkapkan kehamilanmu dari awal... Seandainya kau gagal menciptakan penawar itu... Aku tak perlu menikah dengan Ran..."
Shinichi menundukkan kepalanya untuk meraih bibir Shiho. Hanya tinggal sedikit lagi ia akan mengecupnya sebelum Shiho mencegahnya dan mendorong tubuh Shinichi menjauh.
"Tidak akan bedanya," kata Shiho terjebak antara amarah dan pedih.
"Shiho?"
"Kalau aku melakukan semua itu dari awal. Mengungkapkan kehamilan ataupun gagal membuat penawar, aku akan tetap tersisihkan,"
"Nani?"
"Aku akan tetap dianggap sebagai pembunuh karena menciptakan APTX. Aku yang memisahkanmu dengan Ran-San ketika tubuhmu mengecil. Jika aku gagal membuat penawar, maka orang pertama yang akan marah padaku adalah kau. Jika aku mengungkapkan kehamilanku dan memaksamu bertanggung jawab, maka orang pertama yang akan membenciku adalah kau," Shiho menggigit bibirnya untuk menahan airmata yang ingin mengalir.
"Shiho... Serendah itukah kau menilaiku?"
"Dimatamu hanya ada Ran-San! Aku bisa apa?" ungkap Shiho.
Shinichi terhenyak, kaget dengan pengakuannya. Apakah Shiho ada menyimpan perasaan padanya dari dulu?
Okasan memeluk kalung ini di dadanya sambil berlinangan airmata... Sepertinya Okasan sangat merindukan Otosan... Shinichi teringat kata-kata Akemi beberapa hari lalu.
"Kau pangeran, Ran-San adalah Angel. Aku hanyalah seorang ilmuwan gila yang telah menciptakan racun untuk membunuh banyak orang. Aku tidak akan pernah mendapat tempat dalam kehidupanmu,"
"Tidak begitu Shiho..."
"Okasaan!" mendadak Akemi memanggil, "Piyama pink ku mana ya?"
Shiho memanfaatkan kesempatan itu untuk berlalu dari hadapan Shinichi.
Shinichi tampak murung memikirkan kata-kata Shiho. Ternyata wanita yang paling sulit dibuatkan deduksinya bukanlah Ran, melainkan Shiho.
.
.
.
.
.
"Kau darimana?" tanya Shinichi ketika melihat Shiho baru memasuki rumah di suatu pagi.
"Mengantar Akemi ke perpustakaan," sahut Shiho tanpa memandang Shinichi.
"Kenapa tidak barengan saja?"
"Kau masih tidur tadi, aku tidak ingin membangunkanmu," Shiho menyampirkan mantel luarnya digantungan lalu meraih jas putihnya.
Shinichi mengernyit, "Bukan karena ingin menghindariku?"
"Tidak," setelah mengenakan jas putihnya Shiho berjalan ke arah pintu penghubung yang menghubungkan rumah dan kliniknya, namun pada saat baru meletakkan tangannya di gagang pintu, ia menoleh lagi pada Shinichi, "Sarapanmu sudah kusiapkan di meja, aku banyak pasien hari ini,"
"Aku juga pasienmu," sahut Shinichi asal saja.
"Berhentilah merajuk seperti anak kecil," Shiho membuka pintu, tapi mendadak deringan handphone membuatnya bergeming lagi.
Handphone Shiho yang berdering. Shiho merogoh saku jasnya dan menjawabnya pada deringan kelima.
"Moshi... Moshi..."
"Anoo... Miyano Sensei..." kata suara seorang anak kecil di seberang sana.
"Ada apa Hiro-Kun?" tanya Shiho mengenali suara teman Akemi.
"Apakah Akemi ikut kelompok riset hari ini?"
"Eh? Tentu saja, aku sudah mengantarnya ke perpustakaan barusan,"
"Tapi Akemi tidak ada..."
Shiho mengernyit, "Nani?"
"Kami semua sudah berkumpul, cuma Akemi saja yang tidak ada,"
"Apa kau sudah mencarinya di sekitar perpustakaan?"
"Sudah, tapi tidak ketemu,"
Shiho mulai panik, "Tolong dicari lagi Hiro-Kun, aku akan menghubungi polisi setempat,"
"Hai," sahut Hiro.
Begitu sambungan terputus, Shiho terpuruk lemas di lantai.
"Ada apa Shiho?" Shinichi menghampirinya.
"Akemi..." suara Shiho bergetar, "Akemi..."
"Akemi kenapa?"
"Mereka membawa Akemi... Orang-orang perusahaan itu..."
Tak lama kemudian handphone Shinichi berdering.
"Moshi... Moshi...?" Shinichi menyahut pada deringan kedua.
"Shinichi Kudo," terdengar suara berat seorang pria di seberang sana.
Shinichi diam menegang.
Shiho pun bergeming, ia punya firasat penculik itu yang menelpon Shinichi.
"Siapa ini?" tanya Shinichi.
"Okasan! Okasan!" terdengar suara Akemi berteriak.
"Akemi!" Shiho balas memanggilnya.
"Apa yang kau inginkan?" desak Shinichi.
Pria itu tertawa dingin, "Seperti yang kau dengar, putrimu bersamaku,"
"Nani?"
"Ya aku tahu, Akemi Miyano sebenarnya adalah putri kandungmu, aku telah menyelidikinya. Kebetulan yang menguntungkan,"
Shinichi mengepalkan tangannya berusaha menahan geram.
"Aku menginginkan data itu, semua data-data yang telah kau kumpulkan bersama wanita itu," pria itu berkata.
"Hmph! Apa itu artinya kau mengakui, kau dalang dibalik pencemaran itu?" gumam Shinichi dingin.
"Aku sudah memberimu peringatan ringan, namun kau tidak pulang juga ke Tokyo. Jika kau ingin putrimu selamat, serahkan data itu pada tempat yang akan kutentukan nanti. Jangan coba-coba untuk menghubungi polisi karena aku akan tahu," ia memutus sambungan.
"Sial!" umpat Shinichi.
"Kudo-Kun..."
"Ssh!" Shinichi menaruh tangan ditelunjuknya, meminta Shiho diam.
"Nani?"
Shinichi memeriksa sekeliling rumah, mencari-cari. Shiho tidak mengerti dengan sikapnya. Kemudian Shinichi menemukannya, benda kecil itu berada di bawah meja kecil di sebelah sofa.
Shiho memandang Shinichi, ia mulai mengerti.
Ada yang memasang penyadap di rumahnya.
"Karena itukah mereka bisa tahu?" tanya Shiho dengan suara berupa bisikan. Walaupun Shinichi sudah memeriksa sekeliling kamar dan tidak menemukan penyadap lain, Shiho merasa sebaiknya mereka tetap berjaga-jaga berbicara dengan suara rendah. Shinichi menduga ada salah satu pasien Shiho yang menyusup dan memasang penyadap di ruang tamu.
"Ah, mereka dengar dari pembicaraan-pembicaraan pribadi kita, sehingga akhirnya mereka tahu Akemi adalah putriku," sahut Shinichi dengan suara sama rendahnya.
Shiho menenggelamkan wajah dalam telapak tangannya, merasa frustasi, "Akemi... Aku sudah pernah kehilangan satu Akemi... Aku tidak mau kehilangan lagi... Aku tidak sanggup..." ucapnya lirih.
"Gomene Shiho..." bisik Shinichi, "Semua salahku karena melibatkan kalian berdua dalam penyelidikan ini,"
Shiho mengusap airmatanya, "Bukan salahmu sepenuhnya Kudo-Kun. Aku juga menyelidikinya diam-diam. Bahkan Akemi pun menganggap hal ini sebagai riset yang menarik. Tapi siapa sangka masalah pencemaran limbah ini adalah sesuatu yang memang disengaja dan ada unsu konspirasi dibaliknya,"
Shinichi menggenggam tangan Shiho, "Aku janji Shiho, aku akan bawa putri kita kembali bagaimanapun caranya,"
"Kudo-Kun..."
"Setelah itu aku akan menebus segala hutangku pada kalian berdua selama ini," Shinichi bangkit berdiri.
"Hutang? Apa maksudmu?" Shiho mendongak menatapnya.
"Aku tidak tahu hal ini penting atau tidak untukmu..."
"Nani?" Shiho tidak mengerti.
"Tapi aku ingin kau tahu. Seandainya aku tahu kau hamil sejak awal ataupun kau gagal menciptakan penawar APTX, aku takkan marah padamu Shiho, apalagi membencimu..."
Mata Shiho berkaca-kaca.
"Aku mungkin akan sedikit menggerutu ya, aku mungkin belum tentu akan mencintaimu tapi satu hal yang pasti aku takkan pernah membencimu karena aku menghormatimu..."
Airmata Shiho mengalir, "Kudo-Kun..."
Shinichi menatap Shiho lembut, "Saat itu kau adalah wanita yang paling kuhormati setelah Okasan dan Ran. Jadi kalaupun aku tahu kau hamil sejak awal, aku tetap akan meninggalkan Ran untuk bertanggung jawab. Mungkin aku belum mencintaimu saat itu tapi aku takkan pernah membiarkan kau menanggung deritanya seorang diri. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian ketika mengalami morning sickness. Aku akan mengantarmu ke dokter setiap minggu. Aku akan memijat kakimu yang bengkak. Aku juga akan menggenggam tanganmu ketika kau melahirkan..."
"Hentikan Kudo-Kun..." isak Shiho.
"Namun aku sadar, apapun jalannya dan bagaimanapun versi ceritanya, ujung akhirnya tetap hanya satu..." Shinichi berlutut di hadapan Shiho.
"Eh?" Shiho tidak mengerti sikapnya.
"Aku mencintaimu Shiho," Shinichi meraih wajah Shiho dan memberi pagutan lembut di bibirnya. Shiho juga meresponnya seakan telah mendambakan hal itu sejak lama.
"K-Kudo..." bisik Shiho dengan napas tersengal ketika Shinichi menghentikan pagutannya.
"Kita pasti berkumpul lagi," Shinichi mengecup kening Shiho sebelum keluar dari kamar.
.
.
.
.
.
"Kau datang seorang diri?" tanya salah satu pengawal.
"Tentu saja, tidak ada gunanya membawa polisi daerah sini, semua sudah dalam kendalimu. Polisi-polisi yang korupsi. Benarkan Matsumoto-San?" kata Shinichi ringan.
Saat itu ia berada di sebuah gudang ikan tua milik PT. Matsumoto. Sota Matsumoto seorang pria berusia empat puluhan dan gemar mengisap cerutu. Berkat kegemarannya itu, wajahnya tampak lebih tua dari usia yang seharusnya. Matanya cekung gelap, pipi serta dagunya tirus. Ketika melihat Shinichi datang, ia muncul dari dalam kegelapan dari balik barisan para pengawalnya.
"Periksa dia," pinta Sota.
Salah seorang pengawal memeriksa Shinichi dengan metal detector untuk memastikan ia tidak membawa penyadap ataupun pemancar.
"Semua bersih," pengawalnya memberi laporan.
"Shinichi Kudo," panggil Sota parau.
"Dimana Akemi?" tanya Shinichi.
Seorang pengawal lainnya membawa Akemi yang mulutnya masih dibungkam dengan lakban. Ketika melihat Shinichi, ia meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Shinichi tampak geram, tangannya terkepal.
"Dimana data itu?" tanya Sota.
Shinichi mengeluarkan sebuah USB dari sakunya, "Semuanya disini,"
"Bagaimana aku bisa tahu keasliannya? Dan bahwa kau tidak mengcopynya?"
"Kenapa tidak kau tanyakan saja pada anak buahmu yang sekarang sedang menggeledah rumah Shiho? Apakah ada copy datanya disana?"
Sota mengernyit.
"Ya aku tahu. Kau menggeledah rumah dan klinik Shiho, kau juga bermaksud menculiknya tapi aku sudah mengamankan Shiho di tempat lain,"
"Hmph! Kau memang hebat seperti yang dielu-elukan Shinichi Kudo," cemooh Sota.
"Aku juga tahu kau menggunakan perahu untuk membuang limbah B3 ke tengah laut. Pabrik pengalenganmu memang menggunakan sistem pembuangan yang aman sehingga tim forensic tidak menemukan sesuatu yang ganjil disana, jarak dari bibir pantai pabrikmu dengan titik biasanya para nelayan mencari ikan juga cukup jauh, sehingga kau mengira kau akan aman dari tuduhan, kau memiliki alibi. Tapi aku sudah mengumpulkan sejumlah bukti dan saksi yang melihat orang-orangmu membawa B3 itu ke tengah laut. Kau mendendam kepada para nelayan yang tidak bersedia bekerja dibawah perusahaanmu,"
"Hmph! Mereka tidak bersedia menjual ikan-ikan padaku,"
"Karena kau memaksa menetapkan harga mereka dibawah harga pasar! Dan sekarang kau mematikan mata pencaharian mereka! Tidak hanya itu, limbah-limbah itu memberikan sejumlah dampak penyakit pada mereka!"
"Mereka pantas mendapatkannya,"
"Bukan berarti kau bisa bertindak seenaknya hanya karena kau keponakan menteri perikanan dan kelautan,"
"Tidak perlu berpanjang-panjang lagi! Sebaiknya cepat serahkan data itu!"
"Lepaskan Akemi terlebih dahulu!"
"Kau kira aku bodoh!"
Dua pengawal menghampiri dan menahan Shinichi. Mereka memaksa mengambil USB itu dari tangan Shinichi. Kemudian mereka mencolokkan USB itu pada sebuah laptop untuk mengecek kebenaran datanya. Begitu melihat lampu USB menyala, Shinichi puas. Alat pemancar itu akan aktif setelah USB nya dibuka.
"Silahkan Tuan," pengawal tersebut mempersilakan Sota untuk memeriksa laptop.
Sota pun melongok monitor dan terus menyorotnya sampai bawah, "Kalian sekeluarga sudah sampai sejauh ini rupanya,"
"Ah tidak terlewat satupun," sahut Shinichi.
Sota tampak geram ketika melihat foto-foto yang menangkap pelepasan drum B3 di tengah laut. Kemudian dokumen yang merinci dosis dan data B3 yang dibuang.
"Lepaskan Akemi sekarang!" desak Shinichi.
"Kukira," Sota menegakkan dirinya lagi untuk memandang Shinichi, "Riwayatmu cukup sampai disini Kudo,"
Shinichi mengernyit, "Nani?"
"Aku takkan membiarkan orang sepertimu menyulitkanku di masa mendatang," Sota memandang Akemi, "Aku ingin menyaksikan reaksi bocah kecil ini ketika melihat ayah kandungnya mati bersimbah darah di hadapannya,"
Akemi meronta semakin kuat, tapi tak berdaya.
"Kaulah yang cukup sampai disini," sebuah suara lain berbicara.
"Nani?" Sota terkejut.
Seorang pria tua berusia enam puluhan berjalan melewati Shinichi untuk menghadapi Sota.
"Cukup sampai disini, Sota," pinta Yoda Matsumoto, menteri perikanan dan kelautan Jepang.
Sota terperangah, "O-Ojisan?!"
"Tampaknya aku terlalu memanjakanmu sejak orang tuamu meninggal, sehingga kau berani melakukan semua ini," ujar Yoda tenang namun tegas.
Mendadak seluruh lampu di gudang itu menyala dan terdapat sorot lampu tambahan dari luar gudang. Kepolisian dari pusat sudah mengepung tempat itu.
"Nyaris saja Kudo," ujar Heiji yang muncul dari luar.
"Ah, kirimanmu tepat waktu," ujar Shinichi, "Kau dapat semuanya?"
"Tidak satupun kata terlewat," Heiji mencopot earphonenya.
Shinichi juga mencaput mic kecil dari dadanya dibalik kemeja.
"Tidak mungkin!" Sota memandang pengawalnya yang memeriksa Shinichi dengan metal detector.
Pengawal itu hanya mengangkat bahu tak mengerti.
"Ah, ini hanya salah satu pengembangan dari Profesor Agasa. Mic kecil yang pasti lolos dari pemeriksaan metal detector," jelas Shinichi penuh kemenangan, "Dan ketika lampu USB menyala saat disambungkan ke laptop, pemancarnya juga akan aktif sehingga mereka bisa menemukanku disini dalam waktu singkat,"
"Sota Matsumoto," Heiji memandang pria itu, "Kau akan didakwa karena pencemaran limbah, merusak lingkungan dan menyuap polisi daerah,"
Sota Matsumoto terpuruk di tanah.
"Sebagai tambahan, para pesuruhmu yang menggeledah rumah Miyano-San juga sudah ditangkap," Heiji menambahkan.
Yoda Matsumoto mendesah, "Berkat ulahmu, aku harus mengajukan pengunduran diriku lebih awal. Aku tak punya muka lagi di hadapan perdana mentri dan kaisar," kemudian ia menghadap Shinichi, "Aku sungguh-sungguh minta maaf,"
"Bukan salah Anda," Shinichi tidak menyalahkan, "Anda sudah banyak membantu. Yang terpenting putriku selamat,"
Sota Matsumoto dan para pengawalnya akhirnya ditangkap.
"Akemi!" Shiho muncul memanggil putrinya.
"Okasan!" Akemi berlari menghampiri ibunya.
Mereka pun berpelukan seraya menangis.
Heiji melongo melihat pemandangan itu. Sewaktu menerima telpon dari Shinichi, ia nyaris mati berdiri saat mendengar rekan sejawatnya ternyata punya seorang putri berusia tujuh tahun, dari seorang Shiho Miyano pula. Sejak dulu Heiji selalu merasa Shinichi lebih unggul. Shinichi yang duluan menyatakan cinta pada kekasihnya kemudian menikahinya. Shinichi membuka agensinya lebih dulu dan cepat berkembang. Namun Heiji untuk pertama kalinya merasa unggul ketika akhirnya ia dan Kazuha punya anak lebih dulu. Sementara Shinichi dan Ran yang tidak punya anak malah bercerai. Tapi kini ketika melihat Akemi, Heiji harus mengakui, ia lagi-lagi kalah. Usia Akemi lebih tua dari usia putranya sendiri yang baru empat tahun.
"Kau tidak apa-apa Mi-Chan?" Shiho menangkup wajah Akemi.
"Uhm...Daijobu," Akemi mengangguk, "Tapi..."
"Nani?"
"Okasan... Apa benar kata paman jahat itu?"
"Apanya?"
"Kalau Shinichi ojisan itu adalah otosan?" tanya Akemi.
Airmata Shiho mengalir lagi.
"Okasan... Katakan saja... Mi-Chan tidak marah kok..." ujar Akemi yang mengerti ibunya.
"Eh... Dia memang ayahmu Mi-Chan... Gomene..." isak Shiho.
Mata besar Akemi tampak cerah, "Kalau begitu... Kalau begitu... boleh Mi-Chan panggil Otosan?"
"Tentu saja boleh," sahut Shinichi.
"Eh?" Akemi menoleh menatap ayahnya.
Shinichi menunduk membalas tatapannya dengan senyuman.
Senyum Akemi merekah, dengan wajah merona ia berlari pada Shinichi seraya memanggil, "Otosan! Otosan!"
Shinichi memeluknya, "Akemi..."
Hati Shiho terenyuh melihat ayah dan anak yang saling berpelukan itu.
Heiji yang melihatnya juga merasa terharu.
"Otosan jangan pergi lagi!" isak Akemi.
"Tidak Mi-Chan," Shinichi menepuk-nepuk kepala putrinya, "Otosan tidak akan pergi lagi," kemudian sambil satu tangan menggandeng Akemi, Shinichi menghampiri Shiho.
Shiho menatapnya.
"Relakan yang sudah pergi, namun pertahankan yang masih ingin tinggal," Shinichi menggenggam tangan Shiho, "Apakah aku boleh mempertahankanmu?"
"Kudo-Kun?"
"Ikutlah bersamaku Shiho,"
Shiho menunduk, perlahan ia melepaskan genggaman tangannya dari Shinichi, "Aku tidak bisa..." ucapnya pahit.
"Kenapa?"
"Jika aku kembali bersamamu ke Tokyo, public Jepang akan marah padamu karena kau ternyata punya anak di luar nikah. Aku juga dikenal sebagai putri dari seorang ilmuwan gila. Aku tidak mau menghancurkan karir dan kehidupanmu Kudo-Kun. Tidak lagi,"
"Aku tidak peduli dengan imejku dimata semua orang. Aku hanya menginginkanmu dan Akemi," Shinichi bersikeras.
"Tapi aku peduli,"
"Aku rasa tidak akan ada masalah Miyano-San," sela Heiji, "Kau telah banyak membantu penduduk desa ini, aku yakin mereka bersedia bersaksi untuk membela nama baikmu,"
"Aku tidak ingin melibatkan penduduk desa dalam masalah ini," ujar Shiho.
"Kita akan pergi Shiho, aku sudah memutuskannya," gumam Shinichi.
"Nani?"
"Aku akan menjual agensiku pada Hattori,"
Shiho terperangah.
"EH?" Heiji juga terbelalak, "Maksudmu apa Kudo?"
"Kita akan ke Amerika dimana disana ada orang tuaku dan keluargamu. Kita akan mulai hidup baru, dari awal. Aku akan membuka agensiku dan bekerja sama dengan FBI. Sementara kau memulai lagi karirmu sebagai ilmuwan. Tidak akan ada yang memandang rendah kita disana,"
"Kudo-Kun..." mata Shiho berkaca-kaca, suaranya bergetar.
"Jangan pergi lagi dariku Shiho... Aku tidak ingin kehilanganmu..." Shinichi benar-benar memohon.
"Benarkah... Boleh seperti ini?"
"Aku minta maaf jika selama ini sikapku lah yang membuatmu ragu untuk mengungkapkan perasaanmu. Tapi kini kau tidak perlu sungkan lagi Shiho... Kau bisa mencintaiku sesukamu..."
"Aku... Aku mencintaimu..." ungkap Shiho tercekat.
Shinichi memeluknya.
"Waaah..." Akemi tampak senang melihat orang tuanya bersatu.
Heiji menggendong Akemi, "Begini kelihatan lebih jelas kan?"
"Uhm," Akemi mengangguk antusias, terpukau melihat Otosan dan Okasan saling berpelukan, saling mencintai.
Heiji tidak pernah benar-benar mengenal Shiho Miyano. Ia hanya tahu Ai Haibara gadis ilmuwan dingin dan ikut mengecil bersama Conan. Selama ini Heiji menghormati Ran, gadis yang setia menanti Shinichi dan nyaris sama karakternya seperti Kazuhanya. Namun ketika mengetahui alasan Shinichi bercerai, ia merasa kecewa. Ran ternyata tidak seperti Kazuhanya. Kazuha memang cerewet, namun ia mendukung penuh Heiji sebagai detektif yang membela kebenaran, bahkan Kazuha seringkali membantunya dalam membuat deduksi. Kini ketika melihat Shiho Miyano, Heiji merasa kekagumannya akan wanita ini membuncah. Shiho memendam perasaannya, bersembunyi untuk melahirkan putrinya demi kebahagiaan Shinichi bersama Ran. Seumur hidup Heiji, ia tak pernah menemukan wanita yang rela berkorban begitu besar seperti ini. Tidak peduli apapun kesalahan Shiho di masa lalu, sekarang wanita ini berhak bahagia bersama pria yang dicintainya.
Semoga kalian bahagia... Heiji mendoakan dalam hati.
.
.
.
.
.
Dear Diary, Akemi menulis.
Mi-Chan baru tahu hidup ternyata dapat berubah drastis dalam sekejap. Padahal dua tahun lalu, Mi-Chan hanya berdua saja bersama Okasan di desa nelayan dan setiap hari menunggu Otosan pulang. Sekarang Mi-Chan sudah ada di Amerika, dan bukan hanya Otosan, ternyata Mi-Chan juga punya kakek-nenek. Yusaku dan Yukiko. Belum sampai disitu, ternyata Akemi juga punya Paman Shuichi dan Bibi Sera serta Nenek Mary. Mi-Chan senang sekali bersama mereka. Mereka pintar-pintar, selalu punya cerita seru dan buku-buku menarik untuk Mi-Chan. Setiap hari Mi-Chan jadi merasa tambah pintar.
Oh ya, ada juga Jodie-Sensei, agent FBI yang sangat keren sekali. Jodie-Sensei suka membelikan Mi-Chan ice cream strawberry. Lalu ada juga paman Camel, yang wajahnya seram namun baik hati. Kemudian paman James, Mi-Chan suka memanggilnya paman kumis tebal hehehe...
Otosan disini membuka agensi baru dan sering membantu kasus-kasus FBI bersama Jodie-Sensei dan paman Shuichi. Meski belum setenar di Jepang, namun klien-kliennya mulai banyak juga. Okasan juga memulai pekerjaannya lagi sebagai ilmuwan. Beberapa waktu lalu Okasan diberi penghargaan oleh pemerintah Amerika karena telah berhasil menciptakan vaksin Covid yang ampuh dan aman tanpa menimbulkan efek samping.
"Mi-Chan! Ayo berangkat sekarang!" teriak Yukiko dari luar kamar.
"Hai!" sahut Mi-Chan sambil menulis sedikit lagi.
Diary sudah dulu ya. Mi-Chan sudah dipanggil Yukiko Oba-chan. Kami mau pergi kerumah sakit untuk menjenguk adik laki-laki Mi-Chan yang baru lahir namanya Ken-Chan...
"Mi-Chan!"
"Iyaaa!"
Akemi buru-buru menutup buku hariannya dan keluar dari kamar untuk menemui nenek cantiknya.
THE END
