Endless Love
By : pipi_tembam
"Kau yakin tak mau menetap disini, Shiho?" tanya Akai Shuichi.
"Eh," sahut Shiho seraya merapikan kopernya, "Jepang adalah rumahku,"
"Tidak usah menutupinya dariku, pasti karena detektif itu kan? Shinichi Kudo?"
Tangan Shiho bergeming, "Apa maksudmu?"
Shuichi menyandarkan kepalanya ke pinggiran pintu, "Kau tak berhutang apapun lagi padanya. Kau telah menciptakan penawar dan berhasil mengembalikan tubuhnya seperti semula. Black Organization juga sudah hancur. Untuk apa kau mendampinginya lagi? Ia bisa mencari partner lain kalau dia mau,"
"Shu-nii..."
"Kepandaianmu lebih berguna di FBI, kenapa harus menyiksa diri melihat pria itu bersama kekasihnya? Kekasih cengeng yang tidak tahu apa-apa?"
"Jangan seperti itu Shu-nii,"
Mereka telah sepakat dengan FBI di Amerika. Kehancuran Black Organization sebaiknya tetap disembunyikan dari public, karena mereka belum dapat memastikan akan sisa-sisa anggota yang mungkin masih hidup dan setia. Keberadaan APTX 4869 juga dirahasiakan, Conan Edogawa dan Ai Haibara diinformasikan kembali tinggal bersama orang tua mereka di luar negeri. Shinichi akan pulang ke Jepang sebagai pertanda kasus sulit yang ditanganinya selama ini telah selesai dan Shiho adalah partner yang membantunya memecahkan kasus tersebut. Tidak ada yang tahu, bahwa selama ini tubuh mereka pernah mengecil sebagai Conan dan Ai.
"Tenang saja Shu-nii," mendadak Masumi muncul di kamar itu seraya merangkul leher Shiho.
"Eh? Masumi-Chan..." Shiho menatap sepupunya itu.
"Ada aku yang menjaga Shiho di Jepang hehehe..." ujar Masumi.
Tatapan Shiho melembut, "Sikap kalian seolah aku ini anak kecil saja,"
"Aku senang sekali ketika tahu punya sepupu perempuan, dengan begitu aku takkan melupakan identitasku sebagai wanita karena sejak kecil aku hanya punya dua kakak laki-laki tak berguna," ejek Masumi seraya melirik Shuichi.
Shuichi mendengus, "Terserah kalian saja kalau begitu. Tapi Shiho, kapanpun kau berubah pikiran, katakan saja padaku,"
"Eh," Shiho mengangguk.
Shuichi pun berlalu dari kamar itu, meninggalkan dua gadis saling bercengkrama.
"Asik! Mulai sekarang kita akan bersenang-senang Shiho-Chan!"
"Masumi-Chan..."
"Pantas saja Shinichi-Kun hebat dalam memecahkan kasus-kasusnya, rupanya ada kau yang membantunya!"
"Tidak juga, memang kemampuan analisisnya sangat tinggi,"
"Karena sekarang kau sepupuku, aku juga bisa minta bantuanmu kaaan? Kita pasti akan jadi tim yang sangat hebat Shiho-Chan!"
"Ehh..." Shiho mengangguk kikuk.
.
.
.
.
.
"Ah itu mereka!" tunjuk Sonoko ketika melihat Shinichi muncul.
Saat itu Ran, Sonoko dan Profesor Agasa sedang berada di bandara untuk menjemput kepulangan Shinichi dari Amerika.
"Eh, kok ada Masumi-Chan? Lalu siapa perempuan satunya lagi?" Sonoko mengerjap bingung, "Ehtooo... Kuharap Shinichi tidak selingkuh,"
"Jangan berpikiran buruk lah Sonoko, mungkin itu hanya temannya," ujar Ran.
"Eh itu adalah anak rekan sejawatku," celetuk Profesor Agasa.
"Rekan sejawat?" Sonoko dan Ran memandang Profesor Agasa.
"Eh, dia adalah Shiho Miyano, seorang ilmuwan. Ayahnya Atsushi Miyano juga seorang ilmuwan, kami sering bertemu di seminar-seminar," jelas Profesor Agasa.
"Oh begitu rupanya," sahut Ran dan Sonoko bersamaan.
"Hai Minna!" Masumi melambai dengan riang pada para penjemput.
"Haiii!" Sonoko balas melambai.
"Okairi Shinichi," sambut Profesor Agasa.
"Arigatou Hakase," ujar Shinichi cerah, "Ran, Sonoko..."
Ran dan Sonoko tersenyum.
"Eh perkenalkan," sela Masumi sambil merangkul pundak Shiho, "Ini sepupuku Shiho Miyano. Dia adalah ilmuwan yang tumbuh di Amerika hehehe..."
"Hajimemasite," sapa Shiho sambil mengangguk sopan.
Ran dan Sonoko balas mengangguk.
"Shiho-Chan lah yang selama ini membantu kasus sulit Shinichi-Kun hehehe..." Masumi memberitahu.
"Oh begitu... Tapi kenapa sepertinya Miyano-San tampak tak asing ya?" Ran berpikir.
"Ehhhh... Dia mirip dengan anak dingin itu Ai-Chan..." Sonoko baru ingat.
Shinichi, Masumi dan Shiho terkesiap.
"Eh anooo..." Masumi berusaha menjelaskan, "Ai-Chan memang sepupu jauh, adik ibuku dari kakekku... Hehehe..."
"Ohhhh..." Ran dan Sonoko menyahut bersamaan.
"Hakase..." Shiho menyapa Profesor Agasa.
"Shiho-Kun..." Profesor Agasa balas menyapa.
"Kau akan pulang kemana Sera-San? Hotel lagi?" tanya Ran.
"Oh tidak, aku akan tinggal bersama Shiho-Chan di rumah Profesor Agasa, ya kan Hakase?" Masumi memberi tatapan penuh arti pada Profesor Agasa.
"Eh iya iya..." Profesor Agasa mengangguk canggung.
"Rumah Hakase?" Ran mengerjap.
"Iya. Shiho-Chan kan ilmuwan, bisa membantu pekerjaan Hakase. Aku detektif dan sebelah rumah Hakase adalah rumah Shinichi-Kun. Kita pasti akan jadi tim yang hebat!" kata Masumi menggebu-gebu.
Takuuu... gerutu Shinichi dalam hati.
Sonoko menyenggol Ran.
"Nani?" bisik Ran menatap Sonoko.
"Hati-hati. Dia cantik..." bisik Sonoko.
"Maksudmu? Miyano-San?"
"Eh... dan dari caranya menatap Shinichi-Kun... Sepertinya ia menyukainya..."
Ran memandang Shiho, mau tidak mau bisikan Sonoko membuatnya khawatir.
"Ayoooo kita kesana Shiho-Chaaaaan!" seru Yukiko bersemangat seraya menggandeng lengan Shiho.
"E-Eh..." Shiho mau tidak mau menurut saja.
"Yukiko-San?" sebuah suara memanggil.
Yukiko dan Shiho menoleh.
"Ara! Ran-Chan! Sonoko-Chan!" Yukiko menyapa Ran dan Sonoko dengan gembira.
"Kapan sampai di Jepang?" tanya Ran.
"Eh baru beberapa hari lalu," jawab Yukiko.
"Kalian berdua sedang apa?" tanya Sonoko melihat Yukiko dan Shiho yang membawa banyak belanjaan.
"Kami sedang shopping-shopping! Aku mengajak Shiho-Chan karena selera fashionnya sangat bagus hehehe..."
"Kalian saling kenal?" tanya Sonoko.
"Ano..." Shiho baru mau menjawab tapi sudah keduluan Yukiko.
"Tentu saja!" sela Yukiko seraya meletakkan kedua tangannya di pundak Shiho, "Dia kan partner Shin-Chan selama menangani kasus di Amerika. Shiho-Chan seorang ilmuwan dan aku sudah meminta dibuatkan krim anti aging yang bagus. Ya kan Shiho-Chan?"
"E-Eh..." Shiho mengangguk.
"Ngomong-ngomong Ran-Chan, Sonoko-Chan, kalian sedang apa disini? Kalau mau shopping juga, kita bareng saja," tawar Yukiko.
"Eh tidak, terima kasih," Ran menolak halus, "Kami ada janji ketemuan dengan teman lain,"
"Oh begitu. Ya sudah selamat bersenang-senang. Sampai nanti! Ayo kita lanjut berburu lagi Shiho-Chan!" Yukiko menggandeng Shiho pergi.
Ran dan Sonoko memandang mereka hingga lenyap dalam kerumunan.
"Bahkan dia sudah memikat ibu mertuamu Ran," gumam Sonoko dingin seraya melipat tangannya.
"Apa sih Sonoko? Kau dengar sendiri selera fashion Miyano-San sangat bagus, karena itu ibu Shinichi meminta dia menemani,"
"Yah tapi sebaiknya kau tetap hati-hati, jangan sampai Shinichi-Kun suamimu direbut olehnya. Kau telah lama menunggunya dengan setia, hanya kau yang berhak untuk Shinichi-Kun,"
"Benarkah begitu?" celetuk sebuah suara dibelakang mereka.
Ran dan Sonoko menoleh ke belakang.
"Sera-San?" gumam Ran.
"Jadi, kau merasa berhak akan Shinichi-Kun karena kau telah menunggu dengan setia?" ulang Masumi ringan, "Apa kau tahu, apa yang telah Shiho alami selama ia menjadi partner Shinichi-Kun setiap menangani kasus-kasusnya?"
Ran dan Sonoko terdiam.
"Berulang kali Shiho nyaris kehilangan nyawanya demi menyelamatkan Shinichi-Kun," Masumi memberitahu.
Ran dan Sonoko terkesiap.
"Jadi, kalau mau bicara hak disini, siapa yang lebih berhak? Yang menunggu atau yang telah mempertaruhkan nyawa? Atau karena atas nama pertemanan masa kecil?"
"Hentikan Masumi-Chan!" Sonoko mulai marah.
Namun Masumi tetap santai, "Well, aku bicara seperti ini bukan karena Shiho sepupuku, aku hanya tidak suka seseorang membicarakan orang lain di belakang punggungnya. Aku juga ingin kalian melihat dari sudut pandang yang berbeda. Jangan merasa paling benar sendiri padahal pandangan kalian masih terbatas. Aku tidak tahu dan tidak peduli siapa yang disukai Shinichi maupun Shiho. Tapi sepupuku Shiho adalah wanita yang sangat matang. Ia jenius dan sudah menjadi ilmuwan di usia 13 tahun. Kalaupun ia menyukai seorang pria, ia tidak akan pernah merasa insecure seperti yang kalian alami. Shinichi-Kun memang detektif hebat, partner serasi dengan Shiho. Tapi Shinichi-Kun tidak pantas mendapatkannya, itu pun kalau ada romance interest diantara mereka. Shiho pantas mendapatkan jauh yang lebih baik daripada Shinichi-Kun. Jadi, tak perlu khawatir ia akan merebutnya dari Ran-Chan. Itu bukan level Shiho. Oh please... Shinichi bukan satu-satunya pria tampan dan pintar dimuka bumi ini. Dia bukan pangeran, tak usah terlalu percaya diri," Masumi pun berlalu pergi.
Sonoko mengernyit, "Sombongnya..."
Ran hanya menunduk murung, merasa malu karena dalam lubuk hatinya ia tahu, apa yang dikatakan Sera-San benar.
.
.
.
.
.
Ting tong! Terdengar bunyi bel di rumah Profesor Agasa.
"Oh Ran-Kun!" sambut Profesor Agasa ketika membukakan pintu, "Ada apa?"
"Anooo... Apakah Shinichi disini? Barusan dari sebelah Yukiko-San bilang Shinichi tidak pulang dari semalam,"
Profesor Agasa menghela napas, "Kalau itu, kau lihat saja sendiri," ia mempersilakan Ran masuk dan mengantarnya ke ruang tamu.
"Eh?" Ran tertegun melihat pemandangan itu.
Ruang tamu berantakan dengan segala dokumen, berkas-berkas dan laptop. Shinichi, Shiho dan Masumi tertidur di sana.
"Mereka membahas kasus sulit sampai seperti ini," Profesor Agasa memberitahu.
"Takuuu..." gerutu Ran seraya menghampiri Shinichi dan mengguncang-guncangkan bahunya, "Shinichi... Shinichi!"
"Uhmmm..." terdengar lenguhan Shinichi yang mulai bangun, "Ran... Hakase..." gumamnya masih ngantuk sambil mengusap-usap matanya.
Shiho dan Masumi jadi ikut terbangun juga.
"HEEEEEH?!" Shiho terbelalak ketika melirik arlojinya.
"Ada apa Shiho?" tanya Shinichi kaget.
"Sudah jam 8! Aku kan harus presentasi di kepolisian pusat!" Shiho mencengkram rambutnya dan bingung harus mulai darimana ketika melihat berkas-berkas bertebaran.
"Oh presentasi mengenai virus baru ya? Otosan juga akan hadir disana," ujar Ran.
"Ya ampun! Kan masih jam 1! Sekarang baru jam 8!" seru Shinichi.
Shiho memberi tatapan membunuhnya hingga Shinichi bergidik, "Kau kira bikin presentasi itu mudah ya?! Gara-gara membantumu semalaman aku belum buat satu halaman pun! Takuuu! Kau selalu begitu memaksa orang bekerja keras!" ia mulai kelimpungan mengumpulkan berkas-berkas.
"Tenang tenang Shiho-Chan..." ujar Masumi.
"Kau juga sama saja!" Shiho berseru pada sepupunya, "Dasar kalian para detektif bisanya bikin repot!"
"Sini sini aku bantu," ujar Shinichi sabar seraya mulai mengumpul kan berkas-berkas.
"Jangan sentuh itu! Kau hanya mengacaukan urutannya Kudo-Kun!" gerutu Shiho.
"Aku kan bermaksud baik membantu!" Shinichi memekik balik.
"Kalau kau mau bantu sebaiknya diam saja! Jangan sentuh barang-barangku!" ancam Shiho.
"Bikin yang biasa-biasa saja sih! Yang penting kan terbaca!" Shinichi bersikeras.
"Yang akan hadir adalah polisi seantero Jepang! Kau gila apa aku bikin yang biasa-biasa saja?!" omel Shiho.
Shinichi dan Shiho terus saja adu mulut.
Masumi hanya tergelak melihat pertengkaran mereka.
Sementara Ran merasa terabaikan.
Ruangan luas dengan tempat duduk berundak itu sudah ramai dipenuhi oleh para polisi dan detektif yang memiliki kedudukan penting di Jepang. Tak kurang dari Heiji Hattori, Rei Furuya, bahkan Hakuba Saguru juga hadir di pertemuan itu. Mereka akan mendengarkan penuturan dari seorang ilmuwan mengenai temuan kasus virus baru. Diduga, virus itu sengaja dibawa seseorang dari negara lain masuk ke Jepang sebagai hasil konspirasi. Sudah ada beberapa korban dari pihak kepolisian. Mereka terinfeksi ketika menyelamatkan korban-korban kejahatan yang ternyata membawa virus. Ada kemungkinan mereka sengaja ingin menghancurkan aparat kepolisian Jepang. Jika ini memang virus baru, mereka butuh pengetahuan bagaimana cara menanganinya. Mereka sudah meminta bantuan para ilmuwan. Namun hasilnya nihil, satu-satunya ilmuwan yang berhasil membaca pergerakan virus itu dengan lebih cepat, hanya Shiho Miyano.
Shinichi melirik arlojinya, sudah lewat lima menit. Ia bertanya-tanya apakah Shiho keburu menyelesaikan presentasinya. Baru saja pikiran itu terlintas, pintu ruangan seminar terbuka. Miwako Sato masuk lebih dulu sebelum mempersilakan Shiho Miyano mengambil tempat. Para hadirin terkesiap termasuk Shinichi. Mungkin kalau para peserta lain mengira yang akan hadir adalah seorang professor botak alih-alih wanita cantik. Tapi bagi Shinichi yang tertegun, Shiho Miyano tampak profesional dengan setelan jas hitamnya yang berkerah tinggi dan menutupi tank top dalamnya yang berwarna putih. Rok hitam spannya membentuk pinggulnya dengan sempurna. Telinganya mengenakan earpiece sebagai microphone. Ia benar-benar keren dan cantik. Tsundere dan rambut awut-awutan yang terakhir Shinichi lihat tadi pagi telah hilang.
Shiho berjalan ke meja yang telah dipersiapkan seraya meletakkan sejumlah berkas. Kemudian ia memperkenalkan diri seraya meminta maaf atas keterlambatannya. Suaranya benar-benar tenang dan terdengar dingin namun merdu. Shinichi menyadari para hadirin yang sebagian besar pria ini tampak terpukau karenanya.
Lampu penerangan sedikit diredupkan dan munculah tampilan digital empat dimensi yang telah dipersiapkan Shiho mengenai bentuk virus tersebut. Mata Shinichi menyipit. Dalam waktu kurang lebih empat jam, Shiho berhasil menciptakan presentasi yang memukau. Tapi ia tidak dapat memutuskan juga, para hadirin disini mengagumi presentasinya atau ilmuwannya.
"Virus Chimaera. Sebenarnya itu bukanlah virus baru, virus ini telah diciptakan oleh Rusia sejak perang dunia pertama. Projek Chimaera dikembangkan dengan mengkombinasikan antara smallpox dan ebola menjadi sebuah virus super mengerikan..." jelas Shiho dalam presentasinya.
Beberapa peserta sibuk mencatat dan berpikir.
"Dia tidak akan menular melalui sentuhan sebelum ruam merah keluar. Tapi jika ruam merah itu sudah keluar apalagi menghitam dan membusuk, sebaiknya jangan disentuh," Shiho berkata seraya menyapu pandangan pada seluruh peserta di ruangan.
"Bagaimana kami mengetahui ciri korban terinfeksi Chimaera atau tidak jika ruam merah itu belum muncul?" tanya salah seorang polisi.
"Benar, apalagi jika mereka sudah menginfeksi virus itu ke udara sekitar TKP," seorang polisi lain menambahkan.
"Tidak ada cara lain. Para petugas lapangan harus mengenakan alat pelindung diri dengan lengkap. Lokasi TKP harus disterilkan dengan jarak 1-2KM. Orang-orang yang sudah terlanjur berada dibawah jarak 1KM, mau tidak mau harus dikarantina untuk diobservasi lebih lanjut," jawab Shiho lugas.
Para peserta mulai geleng-geleng, ini benar-benar kasus yang sulit ditangani.
"Miyano-San," sapa Rei Furuya seraya menghampiri Shiho ketika ruangan telah kosong.
"Furuya-San," Shiho menyapa balik.
"Presentasi yang sangat bagus. Aku senang kau melanjutkan hidupmu dengan baik,"
"Eh, tentu saja. Terima kasih,"
"Anoo Miyano-San!" panggil seseorang dengan suara parau yang ternyata Kogoro Mouri.
Shinichi menyusul dibelakangnya dengan putus asa, tak sanggup mencegah.
"Anda cantik sekali, bagaimana jika kita minum bersama?" tanya Kogoro yang kambuh genitnya setiap kali melihat wanita cantik.
"Takuuu..." keluh Shinichi.
"Arigatou Mouri-Sensei, mungkin lain waktu," sahut Shiho datar.
"Jangan mulai Otosan!" seru Ran yang baru muncul dari luar ruangan.
"Ran, kau datang," Kogoro salah tingkah dihadapan putrinya.
"Eh, tentu saja untuk mengawasimu," gerutu Ran.
Rei Furuya nyengir, Mengawasi Kogoro? Atau mengawasi Shinichi?
"Permisi Miyano-San," Hakuba Saguru menghampiri dan memanggil dengan sopan serta peraya diri.
"Ya?" Shiho menatapnya.
"Aku tertarik pada presentasimu mengenai Chimaera, namun ada beberapa hal yang tidak kumengerti. Bersediakah kau menerima undanganku untuk minum bersama di kafe? Agar kita bisa mendiskusikannya lebih lanjut?" tawar Hakuba yang mengerahkan seluruh daya pikatnya.
Hooo... Shiho tampaknya memiliki banyak fans sekarang... Batin Shinichi.
"Eh... Anoo... Gomenasai, tapi aku tidak bisa..." Shiho berusaha menolak.
"Shiho-Chan!" mendadak Masumi memanggil seraya melambai dari ambang pintu.
"Aku ada janji dengan pacarku, jaa ne!" Shiho buru-buru menghampiri Masumi di ambang pintu, menggandengnya dan menyeretnya pergi.
"Oi oi Shiho," gumam Masumi di koridor, "Seharusnya kau mengingatkanku bahwa aku adalah wanita, bukan malah pura-pura menjadi pria dan pacarmu," gerutunya.
"Ah gomen gomen, habisnya aku tidak tahu harus bagaimana lagi menghindari mereka," ujar Shiho seraya menghela napas.
"Kau menjadi beken ya sekarang hehehe..." goda Masumi.
"Aku tak bangga akan hal itu,"
"Jadi siapa yang kau pilih?"
"Apanya?"
"Hakuba atau Furuya?"
"Ehhh?"
"Atau jangan-jangan malah Shinichi-Kun?"
Shiho melipat tangannya seraya berkata, "Higo,"
"Nani?"
"Hanya Higo yang aku suka, puas?" Shiho mendelik sepupunya sebelum berlalu pergi.
Masumi berpikir seraya meringis, "Ilmuwan dan pemain bola? Memang cocok ya?"
"Kudengar Miyano-San adalah partner Kudo-Kun di Amerika,"
"Cuma partner? Ya ampun kalau aku jadi dia, pasti akan kukencani ilmuwan itu,"
"Oi oi hati-hati, setahuku Kudo-Kun sudah punya pacar, anak Mouri tantei,"
"Oh Ran Mouri itu? Waduh jauh lah dengan Miyano-San..."
"Shhh... mereka lewat..."
Bisik-bisik itu terdengar hampir di sepanjang koridor yang mereka lewati. Shinichi menggeleng dalam hati, betapa aparat negara ini senang sekali bergosip. Mereka lupa dengan bahaya Chimaera yang baru saja dijelaskan Shiho. Shinichi memandang Ran di sebelahnya yang tampak menunduk murung.
"Kau kenapa Ran?" tanya Shinichi.
"Eh? Tidak apa-apa," dusta Ran.
Shiho wanita matang dan dewasa... Ia takkan pernah merasa insecure... Ran mengingat kata-kata Masumi Sera beberapa waktu lalu. Ran mengakui, ia memang merasa insecure. Ia nyaris tidak memiliki kemampuan selain karate. Sementara Shiho Miyano, padahal dia hanya lebih tua setahun diatasnya, tapi kenapa ia begitu elegan dan anggun? Tidak satupun dari seluruh hadirin di pertemuan ini yang tidak memujanya. Ran merasa semakin kecil dibandingkan dengan Shiho.
"Tidak usah hiraukan para biang gossip itu," pinta Shinichi.
"Tapi aku ingin tahu, bagaimana pandanganmu sendiri terhadap Miyano-San?"
"Ya seperti pada umumnya saja, dia cantik dan cerdas. Karena itu aku merekrutnya sebagai partner kan?" sahut Shinichi enteng.
"Itu saja? Tidak lebih?"
"Kenapa memangnya? Kau cemburu?"
"Tidak," sahut Ran dengan wajah memerah.
Shinichi menghela napas, "Kau itu selalu saja khawatir setiap kali aku berbicara dengan wanita cantik. Entah itu teman Okasan maupun temanku sendiri. Apakah aku harus buta supaya kau tenang?"
"Shinichi!" Ran mulai mengoceh.
"Pekerjaanku bertemu dengan banyak orang, pria maupun wanita, jelek maupun cantik. Jika kau terus menerus curiga seperti itu terhadapku, aku harus bagaimana?"
"Wajar saja kan? Aku wanita, kenapa kau tidak mengerti? Wanita ada kalanya merasa tidak nyaman berhadapan dengan wanita lain yang melebihi dirinya,"
"Apa aku pernah membanding-bandingkan dirimu dengan wanita lain? Tidak kan? Mengapa kau harus merasa tidak nyaman? Katanya kau percaya padaku, tapi wajahmu cemberut setiap kali aku berhadapan dengan wanita cantik terutama Shiho. Ya, aku menyadarinya. Kau mau aku bagaimana? Menutup mataku setiap kali berbicara dengan mereka?"
"Kau sebagai detektif harusnya mengerti dengan ketidaknyamananku!"
"Jika kau tidak nyaman dengan dirimu sendiri lalu bagaimana kau membuatku nyaman? Kau berubah, dulu kau tidak paranoid seperti ini,"
"Oi oi hentikan!" Kogoro melerai, "Takuuu... dasar anak muda! Begitu saja ribut!"
"Hmph!" Ran dan Shinichi saling membuang muka.
"Tapi ngomong-ngomong," Kogoro menyikut lengan Shinichi, "Kau sudah lama kenal dengan Miyano-San kan? Kau pastinya tahu, dia sebenarnya sudah punya pacar atau belum?"
"Otosan! Dia kan lebih muda darimu! Beda jauh! Seumuran denganku!" amuk Ran.
"Seumuran?" Kogoro mengerjap.
"Iya dia baru 19 tahun,"
"Astaga, dia benar-benar dewasa. Aku bahkan semakin mengaguminya," Kogoro memandang Shinichi lagi, "Jadi apa dia punya pacar?"
"Pacar sih sepertinya belum, tapi kalau yang dia sukai ada,"
"Eh?" Kogoro dan Ran mengerjap.
"Dia suka siapa?" tanya Kogoro penuh rasa ingin tahu.
"Higo," sahut Shinichi cepat.
"Higo? Higo pemain bola?" tebak Kogoro.
"Iya dia fans berat Higo dari Big Osaka,"
"Takuuu..." Kogoro menepuk jidatnya.
.
.
.
.
.
"Hakase? Kau lihat Shiho?" tanya Masumi yang baru sampai rumah.
"Sepertinya di ruang lab bawah tanah," sahut Profesor Agasa.
"Oke," Masumi pun menuruni tangga menuju ruang bawah tanah. Sampainya di depan pintu ia langsung membukanya dan berseru riang, "Shiho-Chan! Aku beli pizza..." seketika ia menegang ketika melihat pemandangan dihadapannya.
Shiho pingsan di lantai dengan hidung mengeluarkan darah.
"Shiho-Chan!" Masumi menghampiri Shiho kemudian berteriak ke arah pintu, "Hakase!"
Masumi dan Profesor Agasa segera melarikan Shiho ke rumah sakit.
"Uhm," Shiho bergumam seraya membuka matanya.
"Shiho, kau baik-baik saja?" tanya Masumi.
Shiho bangun duduk sambil memegang keningnya, Masumi membantunya bersandar, "Apa yang terjadi?" tanyanya bingung.
"Kau pingsan di ruang bawah tanah, kau juga mimisan," Masumi memberitahu.
"Sepertinya kau kelelahan karena riset Chimaera," ujar Profesor Agasa.
"Eh mungkin," sahut Shiho.
"Araide Sensei akan segera kemari untuk memberitahukan hasil lab mu,"
Baru Masumi berkata begitu, Araide Sensei memasuki kamar. Wajahnya tampak muram ketika memandang mereka semua terutama Shiho.
"Sensei, bagaimana hasilnya? Shiho kenapa?" tanya Masumi.
Araide menatap Shiho, "Gomene Shiho-Chan..."
"Nani?" Shiho tak mengerti.
"Kau mengidap leukemia stadium 3,"
Shiho terkesiap, Profesor Agasa dan Masumi juga terkejut.
"Tidak mungkin Sensei! Pasti ada kesalahan!" Masumi tidak terima.
Araide hanya menggeleng penuh penyesalan, "Sebaiknya Shiho mulai dijadwalkan kemoterapi sebelum kankernya menyebar lebih luas lagi,"
"Apa tidak ada cara lain selain kemo?" tanya Profesor Agasa.
"Hanya dengan transplantasi sumsum tulang belakang, namun sangat sulit mendapatkan pendonor yang benar-benar cocok," Araide Sensei menunduk dalam.
Masumi menatap Shiho, ia belum dapat menerima kenyataan, "Kita tidak pernah ada turunan kanker. Kenapa? Kenapa Shiho bisa kena?"
"Aku sudah menduganya," gumam Shiho murung.
"Nani?"
"Efek samping dari APTX4869,"
Masumi mengernyit, "Aku tak mengerti,"
"Tubuhku berulang kali berubah wujud, membesar dan mengecil. Mungkin sebagai efek sampingnya, sumsum tulang belakangku terganggu sehingga terjadi seperti ini,"
Profesor Agasa panik, "Lalu, kalau begitu Shinichi?"
"Kudo-Kun seharusnya tidak masalah, ia tidak terlalu sering berubah seperti diriku,"
Profesor Agasa mengingat-ingat lagi, "Tidak mungkin Shiho-Kun. Diantara kau dan Shinichi, kau paling jarang berubah wujud. Shinichi lah yang lebih sering menggunakan prototipe antidotnya,"
"Ada satu hal yang kau tidak tahu Hakase," Shiho mencengkram selimutnya.
"Nani?" Profesor Agasa bingung.
"Dalam proses pembuatan antidote, aku menguji cobanya terhadap diriku sendiri,"
Profesor Agasa dan Masumi menegang.
"Jadi entah sudah berapa ratus kali aku menahan kesakitan dalam percobaan-percobaanku," lanjut Shiho.
"Nani?! Kenapa kau lakukan itu?!" tanya Profesor Agasa.
Shiho hanya tersenyum pahit, "Alasannya sudah jelas kan? Untuk membayar hutangku pada Kudo-Kun..."
Kedua tangan Masumi mengepal, tenggorokannya tercekat ketika ia sesenggukan menangis.
"Masumi-Chan..." Shiho menatap sepupunya.
"Kau bodoh Shiho!" Masumi mencengkram kedua bahu Shiho, "Kenapa kau begitu bodoh! Menjadikan dirimu sendiri kelinci percobaan hanya untuk pria bodoh itu! Kau tidak pantas! Padahal kita baru saja berkumpul setelah semua kegilaan ini..." Ia memeluk Shiho seraya menangis.
Shiho menepuk-nepuk punggung sepupunya dengan airmata berlinangan, "Gomene Masumi... Gomene..."
Selanjutnya kamar itu hanya terdengar suara tangisan pilu Masumi.
"Sebenarnya siapa yang ingin bertemu denganku?" tanya Shiho ketika mendadak saja Masumi mengajaknya keluar.
"Kau lihat saja nanti," Masumi mengedipkan sebelah matanya.
Mereka memasuki sebuah hotel mewah. Kemudian Masumi membimbingnya masuk ke dalam restoran di hotel itu yang menyediakan private room.
"Mary obasan?" gumam Shiho ketika melihat Mary Sera berada di salah satu private room.
Setelah memandang berkeliling dan memastikan tidak ada yang mengikuti, Masumi menutup pintu ruangan itu rapat-rapat.
Mary berdiri menghampiri Shiho, "Kuharap kau baik-baik saja Shiho-Chan,"
"Eh," Shiho mengangguk.
"Kemarilah," Mary mengajak Shiho duduk bersama.
Masumi duduk di seberang mereka.
Mary menggenggam tangan Shiho, "Masumi sudah menceritakan semuanya padaku,"
Shiho terdiam sedih.
"Aku sudah mencari-cari diantara teman-teman dokter Elena. Mereka memberitahuku ada seorang dokter spesialis yang bagus di Inggris. Kita bisa berobat di sana Shiho,"
"Obasan..."
"Lagipula sudah saatnya kau mengetahui tanah kelahiran aku dan ibumu,"
Mata Shiho tampak berkaca-kaca.
"Kau masih memikirkan pria itu?" tanya Mary.
"Eh?"
"Tak perlu menutupinya dariku. Kami semua tahu kau menyukai Kudo-Kun,"
Shiho menggigit bibirnya.
Mary mengeratkan genggamannya, "Dia sudah memiliki kekasih. Lepaskan dia Shiho... Kau harus fokus pada pengobatanmu. Setelah kau sembuh... Ada banyak pria diluar sana yang lebih pantas untukmu dan lebih bisa menghargaimu..." ia membelai rambut Shiho penuh sayang.
Shiho tak kuasa lagi membendung airmatanya.
"Yang kau lakukan untuknya sudah lebih dari cukup... Dia bisa mencari partner lain..."
"Beri aku waktu obasan..." pinta Shiho.
"Eh... Tentu saja... Aku akan memberimu waktu beberapa hari agar kau bisa berpamitan dengannya..."
"Arigatou Obasan..."
"Hanya kau satu-satunya peninggalan Elena. Aku sudah menganggapmu seperti putriku sendiri Shiho... Aku tidak mau kehilanganmu..."
Shiho menggenggam balik tangan Mary, "Aku akan berusaha Obasan... Aku takkan menyerah..."
"Uhm," Mary mengangguk.
"Kau tidak mau memberitahu yang sebenarnya pada Shinichi?" tanya Masumi ketika berjalan pulang bersama Shiho.
"Tidak. Untuk apa? Aku tidak mau dikasihani," jawab Shiho.
"Shiho..."
"Lagipula, aku tidak mau ia melihat penampilan terburukku nanti,"
"Ah itu dia!" terdengar suara Sonoko.
"Sonoko! Jangan..." Ran berusaha mencegah dengan meraih lengan Sonoko. Namun Sonoko menepisnya. Dengan wajah galak seraya berkacak pinggang untuk menunjukkan kekuasaannya, ia menghadapi Shiho.
"Ada apa Suzuki-San?" tanya Shiho.
"Kau!" Sonoko menunjuk, "Menjauhlah dari Shinichi-Kun!"
"Sonoko!" Ran memperingatkan.
"Apa-apaan ini?" Masumi tersinggung dengan sikapnya.
"Ran mungkin tidak berani, tapi aku sahabat Ran, demi sahabatku, aku tidak mau melihat dia sedih lagi. Jadi sebaiknya kau Miyano-San menghilanglah dari hidup Shinichi!"
"Heh! Kenapa tidak katakan itu pada Shinichi?! Dia kok yang mencari-cari Shiho kalau ada kasus!" Masumi membela sepupunya.
"Aku tidak peduli dengan apa yang dia sudah lakukan untuk Shinichi, mau hampir mati kek mau mati sekalian kek. Kau tidak tahu bagaimana penderitaan dan kesedihan Ran dalam menunggu Shinichi selama ini!"
"Aneh sih! Perasaan Shinichi dan Shiho cuma partner kerja, aku tak pernah melihat mereka berciuman atau apa! Ran-San! Kalau kau memang tidak percaya diri dan insecure jangan bawa-bawa masalah ke orang lain donk! Apa kau mau melabrak semua wanita cantik yang berbicara pada Shinichi?! Kekanak-kanakan sekali sih kalian!" oceh Masumi.
"Gomen! Gomen! Sonoko sudah hentikan... Aku tidak memintamu melakukan semua ini..." Ran yang tak enak hati berusaha menarik Sonoko pergi.
"Tidak perlu khawatir," kata Shiho tenang, ia tampak tidak terganggu sama sekali dengan keributan itu. Emosinya sungguh terkendali.
Mereka semua berhenti saling adu mulut.
"Aku sudah memutuskan bergabung dengan FBI. Dengan begitu, aku tak akan bertemu dengan Kudo-Kun lagi. Kau bisa tenang Ran-San," ujar Shiho.
Ran tampak malu.
"Shiho..." Masumi terpana menatap sepupunya.
"Tapi sebaiknya kalian jangan bilang-bilang dulu, aku yang akan mengaturnya sendiri dengan Kudo-Kun," pinta Shiho.
Ran dan Sonoko tidak mampu berkata apapun lagi.
"Ayo kita pulang Masumi," ajak Shiho seraya berlalu pergi.
.
.
.
.
.
"Shiho? Oi Shiho!" panggil Shinichi.
"Nani?" Shiho menatapnya.
"Kita sudah sampai ini," Shinichi memberitahu.
Shiho menoleh jendela dan melihat pintu gerbang rumah Profesor Agasa, "Eh benar juga,"
"Takuuu... Kau mikir apa sih sampai melamun begitu..."
Malam itu setelah menyelesaikan sebuah kasus mengenai Chimaera, Shinichi mengantar Shiho pulang dengan mobil sport putihnya. Lagipula mereka searah karena bertetangga.
"Ada apa Shiho? Kau tidak seperti biasanya," tanya Shinichi.
"Kudo-Kun... Kemampuan analisa dan deduksimu begitu tinggi... Kalau suatu hari aku tidak ada... Kau tidak masalah kan?"
"Eh? Kenapa tiba-tiba kau bertanya begitu? Memang kau mau kemana?"
"Hanya bertanya saja,"
"Biar kupikir-pikir," Shinichi bertopang dagu di jendela samping mobil, "Kalau kau tidak ada, kemampuan deduksiku memang tidak akan menurun tapi kecepatan mengumpulkan informasi pasti akan melambat. Aku tidak bisa mengharapkan Hakase, kau lebih ahli dalam hal ini. Lalu partner untuk berdiskusi, sejauh ini yang selevel denganku hanya Hattori, Sera-San dan kemudian kau. Tak mungkin kan aku mengajak Ran mendiskusikan kasus. Dia selalu bosan dan marah-marah kalau aku membahas pekerjaan..."
"Aku hargai itu, arigatou,"
Shinichi mengernyit seraya mencondongkan wajahnya kepada Shiho, "Kau yakin tidak apa-apa?" tuntutnya.
"Eh," sahut Shiho ringan seraya membuka pintu mobil, "Ran-San beruntung mendapatkan dirimu..."
"Eh?" Shinichi mengerjap merasa telinganya salah dengar.
"Semoga kelak di kehidupan berikutnya, aku yang mendapat keberuntungan itu," ujar Shiho seraya tersenyum sebelum keluar dari mobil dan menutup pintu di belakangnya.
Shinichi memandangnya hingga Shiho masuk rumah. Entah kenapa firasatnya tiba-tiba tidak enak, Shiho seakan ingin pergi jauh.
"Kita masuk sekarang Shiho," ajak Mary ketika mereka telah berada di bandara.
Shiho memandang Profesor Agasa, "Terima kasih atas kebaikan Hakase padaku selama ini,"
Profesor Agasa memandangnya dengan mata berkaca-kaca, "Aku senang melakukannya Shiho-Kun. Kau sudah seperti putriku sendiri,"
"Aku titip Kudo-Kun padamu,"
"Tenang saja, aku sudah menguasai program yang kau buatkan,"
Shiho memeluknya, "Sampai nanti Hakase, aku pergi dulu,"
Profesor Agasa terisak, "Semoga pengobatannya lancar, Shiho-Kun,"
"Uhm," sahut Shiho seraya melepas pelukannya.
"Sampai nanti Hakase," Masumi pamit.
"Eh," Profesor Agasa melambai.
Mary, Masumi dan Shiho pun melangkah menuju boarding room. Shiho berhenti dan menoleh sekali lagi ke belakang. Masumi mengerti, Shiho masih berat berpisah dari Shinichi. Ia pun merangkul Shiho untuk menghibur dan menguatkannya.
"Setelah kau sembuh, kita bisa kembali lagi," ujar Masumi.
"Uhm," Shiho mengangguk.
Mereka akhirnya masuk bersama-sama ke dalam boarding room.
"Shiho!" terdengar teriakan Shinichi, "Shiho!"
Namun percuma saja, Shiho sudah menghilang ke bagian lain di bandara.
"Shinichi?" Profesor Agasa bingung dengan kedatangannya.
Shinichi menatap Profesor Agasa, "Kenapa? Kenapa tidak ada yang memberitahuku Shiho mau pergi? Aku bahkan baru mengetahuinya dari Paman Kogoro kalau dia akan join dengan FBI,"
Dalam hati Profesor Agasa menggeleng, pasti Ran yang bercerita pada ayahnya lalu si detektif mabuk itu keceplosan bicara pada saat teler.
"Ada apa sebenarnya Hakase?" desak Shinichi.
Profesor Agasa mengeluarkan sebuah surat dari sakunya dan menyerahkannya pada Shinichi, "Shiho-Kun pasti memiliki alasannya sendiri,"
Shinichi membaca surat itu.
Dear Kudo-Kun,
Ketika kau membaca surat ini, mungkin aku sudah terbang ke Amerika. Maaf jika aku harus menggunakan cara seperti ini, karena aku tidak menyukai perpisahan di bandara. Perpisahan kita semalam sebagai partner yang baru saja sukses menyelesaikan sebuah kasus, jauh lebih baik.
Aku memutuskan untuk bergabung dengan FBI lebih karena disanalah sisa keluargaku berada. Bibi Mary dan juga sepupu-sepupuku. Selama ini aku hidup sebatang kara, sudah saatnya aku beradaptasi lagi dan mengenal apa arti sebuah keluarga. Aku hanya ingin tahu, dimana sebenarnya tempatku seharusnya berada.
Kau tak perlu khawatir, aku sudah membuatkan program dan mengajari Hakase menggunakannya jika sewaktu-waktu kau butuh informasi dalam penyelidikanmu.
Semoga kau bahagia bersama Ran-San.
Tertanda,
Shiho
Shinichi meremas surat itu dalam genggamannya, ia mengernyit seraya menyentuh dadanya ketika entah kenapa tiba-tiba saja ia merasakan sengatan nyeri di sana. Seperti ada bagian tubuhnya yang hilang, lepas dan pergi. Ia menengadah memandang awan-awan dan pesawat yang berlalu lalang. Bagai ada himpitan beban berat di dadanya, rasanya begitu menyesakkan. Ia kehilangan Shiho.
"Pulang kuliah nanti sebaiknya kita kemana Shinichi? Aku lagi ingin makan ramen, apa kau mau?" tanya Ran ceria.
Shinichi hanya menunduk menatap jalan aspal.
Ran mengerjap menatapnya, "Shinichi?"
Shinichi tidak menyahut.
"Shinichi!"
"Oi Shiho! Pelan sedikit!" gerutu Shinichi kaget.
"Shiho?"
Shinichi bingung, "Eh... ano... Ran..."
Ran gelisah, sejak kepergian Shiho, Shinichi berubah. Detektif muda itu jadi lebih sering melamun dan kehilangan fokus. Cerita-cerita Ran dan teman-temannya juga jarang dia dengar. Ternyata Sonoko salah, tanpa Shiho pun, ia juga tidak bisa lega.
"Kau memikirkan Miyano-San?" tanya Ran berusaha tidak terdengar cemburu.
"Eh," Shinichi bertopang dagu, "Aku merasa ada yang aneh dengan kepergiannya,"
"Aneh kenapa? Kan dia bergabung dengan FBI,"
"Aku sudah menghubungi Jodie-Sensei, untuk mencari tahu. Meski Jodie-Sensei bilang Shiho bekerja di bagian forensic, tapi entahlah, ada yang aneh dari caranya bicara. Ia seperti sedang menutupi sesuatu,"
"Uhmm, aku juga sudah tidak bisa menghubungi Sera-San sih,"
"Tidak bisa. Ada sesuatu yang salah disini," Shinichi bergegas berlari.
"Eh kau mau kemana Shinichi?" Ran menyusulnya.
"Ran! Kalian mau kemana?" tanya Sonoko yang mendadak muncul dari kejauhan.
"Entahlah!" sahut Ran.
"Ikut!" Sonoko menyusul mereka.
Mereka memasuki rumah Profesor Agasa yang sedang kosong.
"Kau mau apa Shinichi?" tanya Ran.
Shinichi turun menuju ruang bawah tanah dan mulai memeriksa barang-barang Shiho yang masih tertinggal. Dokumen-dokumennya dan lain-lainnya. Ran dan Sonoko hanya saling tukar pandang bingung, tidak tahu bagaimana harus membantu karena mereka tidak mengerti apa yang dicari Shinichi.
Tidak ada... Tidak ada apapun... Sepertinya Shiho sudah menduga aku mampu mengobrak-abrik kamarnya untuk mencari tahu sehingga dia sangat hati-hati merapikan barang-barangnya...batin Shinichi yang tidak berhenti mencari.
Mendadak terdengar suara kapsul dari sebuah botol obat yang menggelinding. Shinichi meraih botol itu untuk memeriksanya. Ia pun menegang.
"Ada apa Shinichi? Itu obat apa?" Ran melirik botol obat di tangan Shinichi.
Terdengar suara dari atas, pertanda Profesor Agasa sudah pulang. Shinichi segera naik untuk menemuinya.
"Hakase!" panggil Shinichi.
"Oh Shinichi... Ada ap..."
Shinichi mengacungkan botol obat itu, "Apa ini?"
Profesor Agasa terkesiap, tampak gugup, "Eh anoo... Itu obat sakit perutku..."
"Omong kosong! Ini adalah obat keras yang hanya bisa didapat berdasarkan resep dokter. Biasanya diberikan pada penderita kanker. Kenapa bisa ada di ruang bawah tanah?" tuntut Shinichi.
"Ehtoo..." Profesor Agasa tampak salah tingkah.
"Apa yang terjadi Hakase? Apa yang terjadi pada Shiho?"
Profesor Agasa memejamkan matanya, tak tahu bagaimana harus menjawab.
"Shiho tidak bergabung dengan FBI kan? Katakan yang sebenarnya Hakase!" desak Shinichi.
"Shiho menjalani pengobatan di Inggris," mendadak terdengar suara yang dingin dan dewasa.
Mereka semua menoleh kepada sosok yang baru datang itu.
"Amuro-San?" Ran memandangnya.
"Apa maksudmu dengan pengobatan?" tanya Shinichi.
Rei Furuya alias Toru Amuro menyandarkan punggungnya di pinggir pintu seraya memasukkan kedua tangannya di saku celananya.
"Aku juga baru mengetahuinya dari Hakuba Saguru yang sedang berada di Inggris. Shiho menjalani pengobatan disana, ia terkena leukemia,"
Shinichi terperangah.
Ran dan Sonoko menutup mulut mereka karena terkejut.
Profesor Agasa menunduk.
"Benarkah itu Hakase?" Shinichi beralih lagi pada Profesor Agasa.
Profesor Agasa menghela napas muram, "Eh itu benar. Aku dan Masumi-Kun menemukannya pingsan di ruang bawah tanah dengan hidung berdarah. Ketika kami membawanya ke rumah sakit, ia divonis leukemia stadium tiga,"
"Kenapa kau tidak memberitahuku?"
"Shiho-Kun melarang semua orang memberitahumu,"
"Bagaimana bisa ia terkena leukemia? Selama ini dia tampak baik-baik saja," Shinichi masih sulit menerima kenyataannya.
"Shiho diam-diam menjadikan dirinya sendiri kelinci percobaan ketika menciptakan penawar APTX 4869. Entah sudah berapa kali ia bolak-balik berubah dewasa dan mengecil. Hal itu telah merusak sumsum tulang belakangnya, hingga akhirnya ia terkena leukemia sebagai efek sampingnya,"
Shinichi mengepalkan kedua tangannya, bahunya berguncang, "Baka! Kenapa? Kenapa dia melakukan hal itu?"
"Apalagi?" sela Furuya, "Tentu agar seseorang kembali pada kekasihnya,"
Shinichi menggertakan rahangnya ketika airmatanya mengalir.
"Terlebih lagi, dia seperti tidak mendapat tempat disini. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, kekasihmu menyuruhnya pergi," Furuya membocorkan.
Shinichi menatap Ran, "Benarkah itu?"
Sonoko yang maju, "Bukan salah Ran, tapi aku. Aku yang melabraknya dan menyuruhnya menjauh darimu agar Ran tidak sedih,"
"Kau melabraknya?! Padahal dia sedang sakit?!" Shinichi mengamuk.
"Aku tidak tahu saat itu dia sedang sakit!"
"Apa hakmu melakukan itu padanya?! Hanya karena cemburu Ran?!" Shinichi memandang Ran dengan ekspresi wajah tak habis pikir akan kelakuan kekasihnya.
Ran menangis, "Gomene Shinichi... Aku benar-benar minta maaf..."
"Sudah kubilang bukan salah Ran! Tapi aku! Aku yang bersikeras melabraknya!" bela Sonoko.
"Kalian sama saja! Kalian tidak tahu apa yang telah Shiho alami! Aku sudah berjanji untuk melindunginya, tapi lihatlah ulah kalian!"
"Aku juga tidak tahu! Kalau aku tahu dia sakit, aku takkan melakukannya!" seru Sonoko.
Namun Shinichi sudah tidak mau dengar lagi, ia kembali pada Profesor Agasa, "Katakan dimana Shiho dirawat Hakase? Aku akan ke Inggris,"
"Eh..." Profesor Agasa baru mau bicara namun dipotong Furuya.
"Sebaiknya jangan,"
"Nani?" Shinichi mengernyit menatapnya.
"Untuk apa kau ke sana? Shiho pasti tidak mau kau melihatnya dalam keadaan terburuknya, karena itu ia tidak memberitahumu dan diam-diam pergi ke Inggris alih-alih join dengan FBI. Lagipula kalau kau pergi apa yang ingin kau lakukan? Toh, kau tidak mencintainya. Jangan memberi dia harapan palsu,"
"Harapan palsu maksudnya?"
"Hmph!" Furuya mendengus, "Kau detektif yang ahli dalam kriminalitas tapi bodoh dalam percintaan. Shiho mencintaimu Kudo-Kun,"
"Nani?"
"Aku sendiri sudah berusaha agar bisa mendapatkan tempat di hatinya, tapi dia bahkan tidak melirikku sama sekali. Dia satu-satunya wanita di dunia ini yang kuinginkan setelah selama ini aku mengabdikan hidupku untuk Jepang. Kau kira aku tidak ingin mendampinginya di saat-saat terberatnya seperti ini? Tapi... Sayangnya bukan aku yang diharapkan untuk datang..." Furuya berbalik pergi.
Setelah Furuya pergi, Shinichi pun melangkah pergi.
"Shinichi?" Ran memanggilnya.
"Aku ingin sendiri," Shinichi berlalu keluar, tak lama kemudian terdengar deruan mobil sport putihnya. Ia pergi untuk menenangkan diri.
Maafkan aku Shiho... Semua karena diriku... Aku akan menebusnya... Batin Shinichi yang mengebut dengan kecepatan tinggi.
"Amuro-San!" panggil Ran terengah-engah ketika ia sampai di Poirot.
"Uhm?" Furuya menatapnya, "Ada apa Ran-San? Sonoko-San?"
"Sebenarnya... sebenarnya apa yang terjadi antara Shinichi dan Miyano-San? Aku tidak mengerti maksud perkataanmu... dan APTX itu apa?" tanya Ran.
"Aku tidak tahu apakah aku orang yang tepat untuk menceritakannya. Lagipula ini rahasia FBI," jawab Furuya.
"Tapi aku harus tahu apa yang terjadi,"
"Tanyakan saja pada kekasihmu,"
"Hentikan semua ini!" amuk Ran
Furuya tertegun menatapnya.
"Ran-Chan..." Sonoko tertegun juga menatap sahabatnya.
"Berhentilah menutupi semuanya dariku! Berhentilah menganggapku bodoh seperti anak kecil sehingga kalian merahasiakan segalanya dariku! Aku lelah dibohongi dan diabaikan! Kalian semua membela Shiho seolah-olah aku ini jahat sementara aku tidak tahu apa-apa!" isak Ran. "Aku, aku merasa ini seperti bukan diriku,"
"Ran..." Sonoko iba melihatnya.
Furuya memejamkan matanya seraya menarik napas panjang, "Baiklah... Aku akan menceritakannya... Bermula dari APTX 4869..." ia akhirnya menceritakan semuanya.
Ran terpuruk di lantai, menutupi wajah dengan kedua tangannya seraya menangis tersedu-sedu. Tubuh dan bahunya berguncang hebat. Ia terpukul setelah mendengar cerita Furuya.
"Ran!" Sonoko merengkuh bahunya.
"Jadi selama ini... Conan-Kun dan Ai-Chan..."
"Adalah Shinichi dan Shiho," Furuya melengkapi perkataannya.
"Pantas saja mereka begitu mirip Ai-Chan dan Shiho," ujar Sonoko.
"Ai-Chan... Dia mengorbankan diri demi penawar itu... Agar tubuh Shinichi kembali... Agar dia kembali padaku... Sementara kini aku malah cemburu padanya bahkan memintanya pergi dari kehidupan Shinichi... Sekarang aku sadar... Aku memang egois dan kekanakan..."
"Ran... Bukan salahmu seorang... Aku juga bersalah..." Sonoko ikut tersedu.
"Ai-Chan... Kasihan dia... Maafkan aku..."
"Ran..." Sonoko memeluknya dan mereka menangis bersama.
.
.
.
.
.
Shinichi hanya melirik sesaat sebelum memandang sungai kembali. Saat itu ia sedang duduk seorang diri di rumput di tepi sungai ketika Ran menghampirinya dan mengambil duduk di sebelahnya.
"Ada apa Ran?" tanya Shinichi datar.
"Kau masih marah?"
"Entahlah,"
Ran terdiam tidak enak hati.
"Tapi ya aku kecewa," Shinichi mengaku.
"Gomene..."
Hening sesaat.
"Aku sudah tahu semuanya..." ungkap Ran.
"Nani?"
"Aku sudah tahu semuanya dari Amuro-San, mengenai APTX 4869. Kau adalah Conan-Kun sementara Miyano-San adalah Ai-Chan..."
"Shiho tahu kau menungguku kembali. Dia juga tahu betapa aku ingin kembali padamu. Ia menciptakan penawar itu, melakukan riset siang dan malam hingga kadang kurang tidur. Bahkan kini aku baru tahu... Ia melakukan eksperimen itu terhadap dirinya sendiri..."
Mata Ran berkaca-kaca.
Pandangan Shinichi menerawang ketika berkata, "Tadinya aku kira setelah tubuh kami kembali normal, kami bisa terus menjadi partner untuk memecahkan kasus bersama-sama tanpa perlu ketakutan lagi dikejar-kejar organisasi," Shinichi mendengus pahit, "Tapi aku salah. Conan dan Ai yang suka berduaan memang lucu, tapi sebagai orang dewasa Shinichi dan Shiho, ternyata dapat menimbulkan banyak kesalahpahaman dan korbannya adalah Shiho,"
Airmata Ran mengalir.
"Sejak kecil orang tua Shiho dibunuh oleh organisasi itu, kemudian kakaknya. Selama menjadi Ai Haibara, ia selalu ketakutan. Aku berjanji untuk melindunginya. Setelah organisasi itu hancur, aku sungguh berharap ia dapat melanjutkan hidupnya dengan baik sebagai Shiho Miyano. Dia memang melakukannya dengan baik," Shinichi teringat presentasi Shiho di hadapan kepolisian Jepang. "Tapi siapa sangka, ia harus mengalami hal ini. Setelah berhasil bertahan hidup dari semua pengejaran dan pertarungan itu, akhirnya ia malah sakit parah..."
Ran tak bisa berkata-kata lagi.
"Kalau tahu akhirnya seperti ini... Aku bersedia selamanya menjadi Conan Edogawa..."
"Gomene Shinichi... Maafkan atas sikap kekanakanku..."
"Semua sudah terjadi, bisa apalagi,"
"Lalu... Bagaimana dengan... Kita..."
"Kita putus saja Ran..."
Ran menggigit bibirnya, ia sudah menduga hal itu.
"Bukan karena sikap cemburumu pada Shiho tapi... Aku tidak bisa bahagia diatas penderitaannya... Setiap kali mengingat kebersamaan kita adalah hasil pengorbanan Shiho... Aku sungguh tak sanggup..."
Ran mengusap airmatanya, "Aku mengerti... Aku juga tak bisa... Aku akan selalu merasa bersalah..."
Shinichi bangkit berdiri, "Kelak kau akan menemukan yang lebih baik dari diriku,"
Ran ikut bangkit berdiri, "Kau jadi ke Inggris?"
"Eh," Shinichi mengangguk, "Aku tak mungkin membiarkannya seorang diri. Meski mungkin nanti Akai Shuichi akan membunuhku jika aku menampakkan diri. Aku tetap harus mengambil resiko itu,"
"Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan permintaan maafku dan Sonoko kepadanya," pinta Ran.
"Akan kusampaikan,"
Shinichi akhirnya terbang ke Inggris. Ia berhasil mendapatkan nama rumah sakit dimana Shiho dirawat. Setelah menanyakan kepada resepsionis, ia pun bergegas menuju kamar Shiho. Namun jalannya terhadang, seorang yang kuat menarik bahunya, menyudutkannya ditembok seraya mencengkram kerah kemejanya.
"Mau apa kau kemari, tantei-San?" tanya Akai Shuichi dingin.
"Aku ingin menemui Shiho," jawab Shinichi tanpa gentar.
"Tidak ada gunanya. Setelah apa yang dia lakukan demi dirimu, kau takkan bisa berbuat apa-apa lagi untuknya. Sebaiknya pulanglah ke Jepang dan kembali pada kekasihmu,"
"Tidak, sampai aku bertemu dengan Shiho," Shinichi menantang mata tajam itu.
"Aku takkan membiarkan Shiho menderita lagi hanya karenamu,"
"Aku peduli padanya!"
"Simpan saja! Kau menemuinya juga takkan membantu karena dia tahu yang kau cintai adalah gadis cengeng itu. Kau hanya akan semakin menyakitinya!"
Mendadak ada seseorang yang memegang bahu Akai Shuichi dari belakang, memintanya melepaskan Shinichi.
"Bukan salah Kudo jika dia mencintai Ran-San," ujar Hakuba Saguru.
"Saguru-San?" Shinichi bingung melihat keberadaannya.
"Sama seperti Shiho yang juga mencintainya, sama seperti diriku yang mencintai Shiho. Walaupun semuanya bertepuk sebelah tangan, tapi kami masih bersikeras," jelas Hakuba.
"Kenapa kau bisa berada disini Saguru-San?" tanya Shinichi.
"Hakuba Saguru lah yang selama ini mendampingi Shiho menjalani pengobatannya," Akai Shuichi memberitahu.
"Tapi percuma saja... Aku bukan Kudo... Bukan yang diinginkan Shiho..."
Akai Shuichi akhirnya melepaskan cengkramannya dari kerah kemeja Shinichi.
Hakuba memandang Shinichi, "Kita tidak tahu sampai kapan Shiho sanggup bertahan. Ini adalah masa-masa terberatnya. Untuk itu Kudo, karena kau sudah disini, aku mohon kau abaikan dulu perasaanmu kepada kekasihmu. Berpura-puralah kau sadar bahwa kau mencintai Shiho. Biarkan Shiho senang disaat-saat terakhirnya..."
Shinichi mengepalkan kedua tangannya, "Aku mengerti,"
"Shiho ada di taman rumah sakit bersama Masumi," Hakuba memberitahu.
"Terima kasih," tanpa buang waktu Shinichi bergegas pergi.
Akai Shuichi memandang punggungnya hingga hilang dibalik koridor, "Hmph! Aku tidak tahu apakah itu ide yang bagus Hakuba? Memintanya berpura-pura mencintai Shiho. Kau kira Shiho tidak akan tahu? Dia wanita yang cerdas,"
Hakuba Saguru tersenyum penuh arti, "Kudo-Kun tak perlu berpura-pura,"
"Nani? Apa maksudmu?"
"Karena dia memang sebenarnya mencintai Shiho,"
"Bagaimana kau begitu yakin?"
"Kudo tak mungkin datang seorang diri jika dia tak mencintai Shiho. Dia pasti akan datang bersama kekasihnya, keluarganya atau mungkin dengan teman-teman lain yang dikenal Shiho. Hal itu normal dilakukan agar seseorang yang dijenguk, kebetulan orang tersebut memiliki perasaan khusus, tidak salah paham. Namun Kudo tidak memikirkan dan sepertinya tidak peduli Shiho akan salah paham atau tidak jika dia datang sendiri, tapi dia tetap datang seorang diri,"
"Jadi ketika kau menyuruhnya berpura-pura..."
"Agar dia sendiri sadar, kalau ia tidak berpura-pura,"
Akai Shuichi menghela napas, "Aku lebih suka menembak pembunuh daripada mengurusi percintaan yang berputar-putar ini," gerutunya.
Shinichi berjalan cepat di sepanjang koridor rumah sakit menuju taman. Ia pun menemukannya di ujung lorong. Shiho bersama Masumi tengah duduk di kursi taman yang panjang, memandang pohon besar yang daun-daunnya tengah berguguran. Shiho dan Masumi duduk memunggungi Shinichi, sehingga mereka tidak tahu kedatangan pria tersebut. Namun kemudian Masumi menangkap dari ekor matanya akan sosok Shinichi. Dalam hati ia puas, rencananya berjalan lancar. Shiho sangat teliti ketika membereskan barang-barangnya sebelum pergi karena tahu Shinichi bisa saja memeriksa kamarnya. Hasil-hasil medical check up semuanya sudah dihancurkan Shiho. Tapi Masumi tidak hilang akal, diam-diam ia mengambil salah satu botol obat Shiho dan sengaja meninggalkannya di kamar. Dengan kepandaian Shinichi, ia yakin Shinichi tahu obat itu adalah obat keras khusus untuk penderita kanker.
"Shiho, aku mau memberimu kejutan," kata Masumi dengan wajah usil.
Shiho memandangnya, "Kejutan? Kejutan apa?"
"Pertama-tama, tutup matamu dulu,"
"Nani? Aku sedang tidak ingin main Masumi-Chan..."
"Onegai," Masumi mengatupkan kedua tangannya di hadapan Shiho.
Shiho mendesah, "Hai... Hai..." ia pun menutup matanya.
Masumi perlahan bangkit berdiri, "Jangan ngintip ya," ia memberi kode pada Shinichi untuk menggantikan posisinya.
Shinichi nyengir, menertawakan keusilannya, tapi ia menurutinya. Ia menghampiri Shiho dan mengambil sisi tempat duduk bekas Masumi.
"Kuhitung sampai tiga baru buka ya..." Masumi perlahan berjalan mundur, "Satu... Dua... Ti... ga..."
Shiho perlahan membuka matanya dan ketika melihat Shinichi ia kaget bukan main, "K-Kudo-Kun?!"
Shinichi tersenyum, "Hai..." sapanya.
Shiho memandang berkeliling untuk mencari sepupunya, namun Masumi sudah tak tampak batang hidungnya, "Bagaimana kau bisa disini?"
"Tentu saja bisa, aku kan detektif. Aku dapat menemukanmu kemanapun kau pergi,"
"Lalu... Ran-San..."
"Dia pergi ke Kyoto untuk turnamen karate dari kampusnya. Lagipula kami juga sudah putus," Shinichi memberitahu.
"Nani? Kenapa? Setelah semua yang kau lakukan untuk kembali padanya?"
Shinichi hanya mengangkat bahu, "Terkadang impian indah yang kita bayangkan namun pada akhirnya tidak sesuai dengan kenyataannya..."
"Tapi..."
"Ah! Berhentilah membahas diriku. Bagaimana denganmu? Kenapa kau tidak jujur padaku tentang semua ini?"
Shiho menunduk murung. Shinichi menyadarinya, baru beberapa minggu mereka tidak bertemu, namun Shiho sudah berubah. Tubuhnya lebih kurus, wajahnya pucat serta kulitnya tak lagi bercahaya. Ia terlihat lelah dan tampak begitu rapuh. Betapa Shinichi ingin memeluknya dan menyalurkan segenap kekuatannya untuk Shiho.
"Shiho?"
"Lihatlah aku yang begitu menyedihkan, aku tidak mau memberimu kesempatan untuk menertawakanku..." Shiho memalingkan wajahnya dengan angkuh.
Sudah seperti ini masih belagak galak...batin Shinichi. Ia mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Shiho.
Shiho mengerjap.
"Maafkan aku Shiho..."
"Nani?"
"Maafkan jika sikapku dulu tampak mendesakmu untuk menciptakan penawar itu... Seandainya aku mengerti kesulitanmu saat itu... Aku memilih untuk tidak kembali menjadi Shinichi Kudo... Aku akan melanjutkan hidupku sebagai Conan Edogawa bersamamu..."
Shinichi dapat merasakan tangan Shiho dibawah telapak tangannya, mengepal.
"Aku tidak butuh kau kasihani, Kudo-Kun," gumam Shiho dingin tanpa menatap Shinichi.
Shinichi yang sudah mengenal karakternya tidak lagi terpengaruh dengan tsunderenya. Ia mencondongkan tubuhnya untuk menenggelamkan tubuh Shiho ke dalam dekapannya.
"Lepaskan aku!" Shiho menggeliat.
Shinichi malah semakin mengeratkan pelukannya.
"Aku menjadikan diriku kelinci percobaan adalah urusanku! Tidak ada hubungannya denganmu!" bentak Shiho.
"Aku kemari bukan untuk mengasihanimu..." Bisik Shinichi, "Bukan juga untuk menebus rasa bersalahku... Jika itu maksud perkataanmu..."
Shiho bergeming.
"Aku datang untukmu... Hanya untukmu saja..."
"Kudo-Kun..."
"Aku mencintaimu Shiho..." ungkap Shinichi, yang dirinya sendiri tidak menyangka ia mampu mengucapkannya begitu mengalir. Apakah ia sedang berpura-pura? Entahlah. Semuanya berjalan natural, mungkin saja ia sebenarnya sungguhan mencintai Shiho.
Airmata Shiho mengalir.
"Biarkan aku mendampingimu menjalani semua ini..." pinta Shinichi.
Shiho akhirnya melepaskan egonya. Ia memejamkan mata dan merebahkan kepalanya di bahu Shinichi. Ia menangis hingga tertidur karena kelelahan.
.
.
.
.
.
"Baringkan Shiho di sana, Kudo-Kun," Mary Sera menunjukkan tempat tidur Shiho, mengangkat selimutnya agar Shinichi bisa membaringkan Shiho.
Pelan sekali Shinichi meletakkan tubuh Shiho di tempat tidur, kemudian merebahkan kepalanya di bantal kepala. Mary menyelimutinya dan duduk di tepi pembaringannya seraya menggenggam tangannya.
"Apa kata dokter, Mary-San?" tanya Shinichi.
Mary menghela napas, "Shiho membutuhkan donor sumsum tulang yang cocok untuk transplantasi, tanpa itu..." ia menggeleng putus asa.
"Kami semua sudah memeriksakan sumsum tulang belakang kami," sambung Masumi, "Mama, aku, dan kedua kakakku bahkan Hakuba-Kun. Semua sama tak cocoknya. Padahal Mama adalah kakak kandung Elena obasan,"
"Kalau begitu, aku juga akan memeriksakan diriku," ujar Shinichi.
"Aku menghargainya Kudo-Kun," ujar Mary. "Meski aku tidak mengharapkannya. Kami yang berkerabat dengan Shiho saja tidak cocok, apalagi yang tidak berkerabat sama sekali,"
"Kita coba saja dulu Mary-San. Jangan putus asa," Shinichi menyemangati.
"Benar yang dikatakan Shinichi-Kun, Mama," sahut Masumi.
"Eh, baiklah," sahut Mary memandang wajah Shiho penuh sayang.
Shinichi akhirnya ikut memeriksakan dirinya, berharap sumsum tulang belakangnya cocok untuk menjadi pendonor Shiho. Setiap hari Shinichi datang untuk menemani Shiho, membacakan buku untuknya atau menceritakan kasus-kasusnya agar Shiho lupa sakitnya. Jika Shiho sudah lelah, Shinichi akan berhenti. Melihat Shiho yang lebih ceria dan nyaris normal, Akai Shuichi mau tidak mau harus mengakui kehadiran Shinichi memiliki pengaruh besar untuk adik sepupunya itu.
Shinichi merasa tangannya tertarik ketika Shiho berhenti seraya berjongkok.
"Kau kenapa? Lelah?" tanya Shinichi menoleh padanya.
Ketika itu Shinichi sedang mengajaknya jalan-jalan di taman sambil bergandengan.
Shiho mendesah lesu, "Besok aku harus menjalani pemeriksaan lagi," keluhnya, "Sakit sekali ketika mereka menusuk punggungku dengan jarum raksasa itu,"
Shinichi ikut berjongkok dihadapannya, "Kau ingin aku melakukan apa?"
"Bawa aku kabur,"
"Nani?!"
"Supaya aku tidak perlu menjalani pemeriksaan itu,"
"Itu tidak mungkin, Akai-San pasti membunuhku hehe..."
"Takuuu..."
"Begini saja, aku akan bawakan makanan kesukaanmu setelah pemeriksaan itu. Kau mau apa? Okonomiyaki? Takoyaki?"
Shiho mendengus geli, "Mana ada makanan seperti itu di sini,"
"Sandwich selai blueberry dan kacang?"
"Tidak,"
"Lalu?"
"Aku ingin jimat,"
"Jimat?"
"Eh, supaya aku bisa menghadapi penyiksaan besok,"
"Kau ilmuwan percaya jimat?"
"Sesekali tidak masalah kan?"
"Ehtooo... Aku pikir dulu ya enaknya jimat apa..."
"Benar kau akan memberiku jimat besok?"
Shinichi terkekeh kikuk sambil menggaruk-garuk kepalanya, "Akan kuusahakan..." ujarnya sambil berpikir-pikir dalam hati, jimat apa yang cocok untuk Shiho.
"Bagaimana hasilnya Dokter?" tanya Mary.
Malam itu, Shinichi, Mary dan Masumi sedang berada di ruangan dokter. Shiho sudah tidur pulas di kamarnya.
Dokter yang merupakan pria paruh baya asli Inggris itu perlahan menggeleng, "Maaf Sera. Namun Tuan Kudo tidak bisa menjadi pendonor untuk Shiho. Sumsum tulang belakangnya tidak cocok," jawabnya berwibawa.
Shinici mengepalkan tangannya.
Masumi juga tampak kesal.
Mary menghela napas, "Aku sudah menduganya,"
"Tapi..." dokter tersebut melanjutkan.
"Ya?" Mary menatapnya.
"Ada seorang yang cocok sumsum tulang belakangnya dengan Shiho," dokter memberitahu.
Semua tampak berbinar-binar.
"Benarkah? Siapa?" tanya Masumi.
"Kami tidak bisa mengungkapkan identitasnya. Masalahnya sekarang adalah kami tidak tahu apa dia bersedia menjadi pendonor. Dia merupakan orang penting di kerajaan Inggris,"
"Tolonglah Dokter, bicara padanya agar bersedia," pinta Mary.
"Kami akan berusaha berbicara dengannya, kami akan mengabari perkembangannya beberapa hari lagi," Dokter berjanji.
"Terima kasih, Dokter,"
"Shiho Miyano," salah seorang perawat memanggil Shiho.
Shiho menghela napas malas.
"Semangatlah Shiho-Chan!" Masumi memberi dukungan.
"Hai..." sahut Shiho lesu.
"Ngomong-ngomong Kudo-Kun kemana?" tanya Mary sambil celingak celinguk.
"Entahlah, mungkin dia kabur karena tak bisa memberiku jimat," gerutu Shiho, seraya berjalan masuk ke kamar pemeriksaan.
"Shiho tunggu!" panggil Shinichi yang tiba-tiba muncul.
"Eh?" Shiho menoleh.
Shinichi berlari menghampirinya sampai terengah-engah.
"Kau darimana saja Shinichi-Kun?" tanya Masumi bingung melihat Shinichi.
"Mencari jimat," sahut Shinichi susah payah.
Masumi mengernyit, "Jimat apa sih?"
Shinichi menstabilkan napasnya lalu menghampiri Shiho, "Aku sudah bawakan jimat yang kau minta,"
"Eh?" Shiho memandangnya.
Shinichi meraih tangan kiri Shiho seraya mengeluarkan sesuatu dari saku dengan tangannya yang lain. Kemudian ia memasukan benda mungil tersebut ke jari manis Shiho. Sebuah cincin emas putih berbentuk setangkai bunga lili yang melingkar dengan sebuah berlian di ujungnya.
Masumi terpesona memandangnya, "Wah..."
Mary juga tersenyum.
Shiho tertegun memandang cincin itu, "K-Kudo-Kun... I-ini?"
Shinichi tersenyum, "Jimatmu... Bunga Lili yang feminine seperti nama Shiho..."
"Shiho Miyano," panggil suster sekali lagi.
Shinichi menggenggam tangan kiri Shiho, menguatkannya, "Aku menunggumu di kamar,"
"Uhm," Shiho mengangguk, kemudian mengikuti suster masuk ke ruang pemeriksaan.
Shiho berbaring miring, piyamanya telah disibak. Para tim medis melakukan sejumlah persiapan di belakang punggungnya, entah diolesi obat apa atau ditataki plastik apa Shiho tidak tahu. Ia hanya tahu ketika jarum besar itu menghujam kulit dan sel-selnya. Sakitnya luar biasa. Mirip dengan sakitnya reaksi APTX 4869. Shiho teriak sekuat tenaga. Ia memandang cincin dari Shinichi di tangan kirinya lalu menggenggamnya kuat-kuat di dadanya, berharap mendapat kekuatan dari sana.
Mary tak kuasa menahan airmata ketika mendengar teriakan Shiho.
"Mama," Masumi memeluknya.
Shinichi menggertakan rahang dan mengepalkan tangannya. Matanya berkaca-kaca membendung airmata. Selama ia mengenal Shiho, ia tahu wanita itu paling pantang menunjukkan kelemahannya. Teriakan Shiho terdengar memilukan, Shinichi tidak tega.
Ketika proses pemeriksaan selesai dan Shiho telah kembali ke kamar perawatan, ia sudah sangat kelelahan. Ia berbaring miring dengan mata terpejam, ia takut menyandarkan punggungnya ke tempat tidur karena masih terasa kencang akibat tusukan jarum medis. Shinichi dapat melihat titik airmata dari ekor matanya.
Shinichi menyentuh kepala Shiho dan mengecup keningnya seraya berbisik, "Sudah berakhir... Semuanya baik-baik saja..."
Airmata bergulir ke pipi Shiho.
Shinichi meraih tangan kiri Shiho yang terdapat cincin pemberiannya, mengecupnya dan menempelkannya di pipinya sendiri, "Jimatmu di sini..."
.
.
.
.
.
Pagi itu Shiho mendapatkan kiriman dari Profesor Agasa berupa album foto. Isinya merupakan foto-foto Shiho saat masih menjadi Ai Haibara bersama Grup Detektif Cilik. Ada juga foto-fotonya setelah kembali menjadi Shiho Miyano. Foto-foto bersama FBI di Amerika sewaktu kasus Black Organization terselesaikan. Foto Shiho ketika sedang presentasi di kepolisian pusat kemudian foto setelah presentasi dimana para peserta yang hadir berebutan ingin foto berdekatan dengan Shiho. Melihat foto-foto itu mau tidak mau Shiho dan Shinichi menjadi bernostalgia. Mereka senyum-senyum dan tertawa ketika mengingat masa-masa lucu bersama anak-anak itu, Genta, Ayumi dan Mitsuhiko.
"Ini foto kita saat festival boneka sewaktu matahari terbenam. Semuanya jadi kacau..." Shinichi menunjuk sebuah foto.
"Eh benar. Aku ingat itu," sahut Shiho berbinar-binar.
"Ini sewaktu kita foto pakai drone bersama Detektif Takagi,"
"Semuanya hancur..."
Mereka terkekeh bersama.
Mendadak kebahagiaan mereka terinterupsi oleh tim medis yang masuk untuk mengecek rutin tekanan darah Shiho dan lain-lain. Shinichi pun keluar kamar sebentar dan langsung ditarik Masumi di luar.
"Ada apa?" tanya Shinichi.
"Barusan aku mendapat info dari bagian administrasi," Masumi berbisik.
"Mengenai pendonor itu?"
"Eh," Masumi mengangguk.
"Lalu bagaimana?" Shinichi penuh harap.
Masumi menggeleng muram, "Mereka masih belum bersedia, pihak rumah sakit masih mencoba untuk melakukan pendekatan persuasive lagi, namun jika calon pendonornya terus menolak, mereka tak kuasa memaksa lebih jauh lagi,"
"Sial! Tidak bisakah kita mendapatkan informasi siapa pendonor itu?"
Masumi menggeleng lagi, "Pihak rumah sakit sangat ketat melindungi identitas para pendonor. Mereka meminta kita menunggu beberapa hari lagi,"
Shinichi memandang Shiho melalui jendela pintu, "Semoga Shiho masih bisa menunggu,"
"Aku masih tidak tega memberitahukan hal ini kepada Mama apalagi Shiho,"
"Sebaiknya kita rahasiakan dulu sampai tahu keputusan akhirnya," saran Shinichi
"Eh, menurutku juga begitu,"
Selama penantian, Shiho kembali menjalani kemoterapinya. Itu merupakan satu bentuk penyiksaan yang lain. Sebagai efek samping dari kemoterapi tersebut, Shiho terus-menerus muntah hingga ia tidak bisa tidur dari tengah malam sampai subuh. Kelelahan ditambah kurang tidur, membuat emosi Shiho semakin buruk.
"Huek!" suara Shiho yang muntah sambil bersimpuh di dudukan closet.
Shinichi yang baru saja kembali dari membeli kopi, terkejut diambang pintu kamar mandi, "Shiho!" ia baru mau masuk untuk membantu namun Shiho mencegahnya.
"Jangan kemari!" bentak Shiho.
"Tapi..."
"Pergi kau!" usir Shiho sebelum muntah lagi.
Sebuah sentuhan lembut di pundaknya, membuat Shinichi menoleh, "Mary-San?"
Mary tersenyum meminta pengertian dari Shinichi, "Biar aku saja," ia pun masuk ke kamar mandi dan menutup pintu di belakangnya untuk menghampiri Shiho.
"Huek!" Shiho terus menerus muntah.
Mary mengambil handuk bersih dan membasuhnya dengan air hangat sebelum bersimpuh di sebelah Shiho seraya membantu menepuk-nepuk punggungnya. Shiho muntah hingga beberapa saat lagi sebelum akhirnya berhenti. Mary menekan tombol flashnya dan membersihkan wajah Shiho dengan handuk hangat.
"Aku tidak mau..." bisik Shiho lelah seraya berlinangan airmata, "Aku tidak mau... Dia melihatku begini..." isaknya.
Mary memeluknya.
"Kenapa kau disini Kudo?" tanya Hakuba yang datang bersama Akai Shuichi.
"Shiho sedang muntah-muntah lagi. Dia melarangku masuk. Mary-San bersamanya," kata Shinichi muram.
Hakuba mengerti, seorang wanita tidak ingin terlihat oleh kekasihnya dalam keadaan terburuknya.
"Belum ada perkembangan mengenai calon pendonor itu?" tanya Akai.
"Tiga hari lalu mereka masih menolak, sekarang Masumi sedang mengecek kembali ke bagian administrasi. Semoga ada kabar baik," ujar Shinichi penuh harap.
"Ah itu dia!" Hakuba menunjuk Masumi yang baru datang.
"Dari wajahnya, bukan kabar baik," tebak Akai.
"Bagaimana?" tanya Shinichi.
"Keputusan akhirnya, mereka tetap tidak bersedia mendonorkan. Mereka adalah kalangan kerajaan, rumah sakit tidak berani bertindak lebih jauh lagi," jelas Masumi.
"Sial!" kutuk Akai, "Seakan kerajaan adalah turunan dewa,"
"Terpaksa kita harus mencari pendonor baru lagi," Masumi mendengus putus asa.
Namun Shinichi tampak tidak terima, pendonor yang cocok sudah di depan mata, jika mencari lagi, takutnya Shiho tak sanggup bertahan. Ia sudah sampai pada penghujung kekuatan akhirnya. Shinichi menguatkan tekadnya, ia masuk ke kamar untuk mengambil album foto dari Profesor Agasa, kemudian berlari menuju bagian administrasi.
"Kau mau kemana Kudo?!" tanya Akai.
Shinichi tak menjawab, ia terus bergegas. Hakuba, Akai dan Masumi yang penasaran akhirnya ikut berlari menyusulnya. Ketika Shinichi sampai lebih dulu di bagian administrasi, seorang wanita bule berusia empat puluhan berwajah ramah, kaget melihat kedatangannya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu dengan aksen Britishnya.
"Apakah Anda tahu calon pendonor untuk Shiho Miyano?" tanya Shinichi terengah-engah.
"Maaf sekali Sir. Tapi tidak ada yang dapat kami lakukan untuk hal itu," ujar wanita itu dengan wajah menyesal.
"Kalau begitu," Shinichi menghampiri mejanya dan meletakkan album foto Shiho di hadapannya. "Sampaikan pada calon pendonor itu, tunjukkan padanya, ini adalah Shiho Miyano. Ini fotonya waktu kecil, dia sangat manis dan menggemaskan bukan?"
"Shinichi-Kun?" Masumi terpana melihat gelagat Shinichi.
Hakuba dan Akai juga tertegun di ambang pintu di belakangnya.
"Dia pintar matematika dan sains. Dalam usia 13 tahun sudah berhasil menjadi ilmuwan. Ini adalah fotonya setelah dewasa, ia sedang membawakan presentasi empat dimensi mengenai virus di hadapan seluruh kepolisian Jepang. Bayangkan jika dia bisa hidup lebih lama, berapa penelitian yang dihasilkannya mampu menyelamatkan manusia?!"
"Kudo..." Hakuba terpana dengan usaha Shinichi.
"Tapi tuan..." wanita itu kebingungan.
"Sejak kecil orang tua Shiho tewas dalam kecelakaan, kakak satu-satunya yang membesarkannya juga sudah meninggal. Sekarang ketika dia baru saja bahagia bertemu dengan kekasihnya, leukemia menyerangnya. Beritahu pada calon pendonor itu, biarkan Shiho menikmati kebahagiaannya sedikit lebih lama lagi..."
Wanita asing itu masih terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
"Aku mohon!" Shinichi berlutut di hadapan wanita itu.
"Shinichi!" Masumi kaget.
Namun Hakuba dengan tenang memasuki ruangan dan ikut berlutut di sebelah Shinichi.
"Hakuba..." Akai Shuichi kaget melihat gelagatnya juga.
Masumi akhirnya juga ikut berlutut di sisi Shinichi yang lain. Akai Shuichi akhirnya yang paling terakhir berlutut. Wanita itu semakin bingung ketika empat orang berlutut memohon padanya.
"B-Baiklah... Saya akan sampaikan album foto ini pada calon pendonornya... Semoga saja setelah melihatnya dia akan tersentuh dan bersedia mendonorkan sumsumnya..."
"Terima kasih," ucap Shinichi.
.
.
.
.
.
Sore itu Shinichi dan Shiho kembali duduk di taman rumah sakit untuk memandang daun-daun yang berguguran dari pohon lebat. Kemudian Shinichi melihat ada satu daun kering menempel di rambut Shiho, tanpa wanita itu sadari. Shinichi mengambil daun itu dari rambut Shiho, ketika itulah Shiho menatapnya.
"Nani?" tanya Shiho.
"Ada daun di rambutmu," jawab Shinichi menunjukkan daunnya pada Shiho.
"Oh..."
"Bagaimana perasaanmu?"
Shiho mengangkat bahu, "Begini-begini saja,"
Shinichi terdiam, ia masih menunggu kabar dari calon pendonor itu. Besar harapannya agar calon pendonor itu tersentuh saat melihat foto Shiho dan bersedia mengubah keputusannya. Sejauh ini, ia masih belum memberitahu Shiho bahwa ada sumsum yang cocok. Ia tidak ingin Shiho menaruh harapan dan akhirnya malah kecewa berat.
"Kudo-Kun..." panggil Shiho.
"Uhm?"
"Jika nanti... pada akhirnya... terjadi sesuatu yang buruk padaku..."
Shinichi mengernyit, "Shiho..."
"Kembalilah pada Ran-San..."
"Nani?"
"Berikan ini padanya..." Shiho melepaskan cincin lili itu dari jari manis kirinya dan menyerahkannya ke tangan Shinichi, "Aku yakin dia masih mau menerimamu kembali,"
"Jangan pesimis begitu," Shinichi mengembalikan cincin itu ke jari manis kiri Shiho, "Belum tentu terjadi sesuatu yang buruk padamu..."
Shiho merajuk, "Kudo..."
"Terjadi sesuatu atau tidak, belum tentu juga aku akan kembali padanya," ujar Shinichi tegas.
"Eh... terserah kau saja..."
"Sudah saatnya kau kembali ke kamar,"
Shiho mendesah, "Kenapa jalan ke kamar terasa begitu jauh sekarang..."
"Tadi kau bersikeras sih tidak mau pakai kursi roda. Ya sudah kugendong saja," Shinichi baru saja mau mengangkat tubuhnya sebelum Shiho mencegah.
"Tunggu, aku tidak mau gendong model begitu,"
"Nani? Lalu mau yang bagaimana?"
"Gendong aku seperti waktu kau menyelamatkanku dari Pisco,"
"Ah, dasar kekanakan..."
Shiho terkekeh.
"Baiklah, ayo," Shinichi menawarkan punggungnya.
Shiho pun melingkarkan lengannya ke leher Shinichi. Sambil menggendong Shiho dibelakangnya, Shinichi berjalan perlahan kembali ke kamar. Ia dapat merasakan betapa ringan dan rapuhnya tubuh Shiho sekarang.
"Ne...Shiho..." panggil Shinichi tiba-tiba.
"Uhm?"
"Kenapa kau bisa suka padaku?" tanya Shinichi.
"Iyakah? Memang aku suka padamu?"
"Nani?"
"Aku tak pernah bilang. Kau kan tahu aku suka Higo,"
Mata Shinichi menyipit, "Takuuu... Masih tidak mau ngaku..."
Shiho terkekeh, "Becanda... Aku memang menyukaimu Kudo-Kun..."
"Apa alasannya?"
"Entahlah. Mungkin karena kau pembela kebenaran,"
"Pembela kebenaran bukan aku saja. Ada Hattori, ada Saguru, Amuro-San, bahkan sepupumu sendiri Akai-San. Tapi alih-alih mereka kenapa kau malah suka padaku?"
"Uhmmm..." Shiho menimbang-nimbang, "Mungkin karena kau bodoh..."
"Ehhh?"
"Ayah Hattori-Kun adalah Kepala Polisi Osaka. Sepanjang waktu Hattori-Kun memiliki asisten untuk membantunya. Begitu juga Hakuba-Kun yang anak kepala polisi, sejumlah inspektur ditempatkan disisinya untuk menjaganya lagipula dia sangat sopan dan memikat, banyak wanita yang bersedia mengantri untuk membantunya. Amuro-San juga memiliki anak buah yang banyak. Shu-nii pun memiliki banyak pesuruh di FBI sementara kau..."
"Aku kenapa?"
Shiho menyandarkan kepalanya di pundak Shinichi, "Ayahmu hanya novelis dan ibumu artis. Kau tidak memiliki anak buah yang disuruh ayahmu untuk menjagamu. Kau magnet mayat, kasar, ceroboh dan sembarangan. Para wanita takkan bersedia antri untuk membantumu..."
"Ah ya... Bahkan Ran pun muak kalau aku menghadapi kasus..."
"Tuh-Kan..."
"Lalu apa hubungan semua ini dengan alasan kau menyukaiku?"
"Karena kau bodoh dan membutuhkan bantuan. Kau hanya memiliki aku, partner yang pemikirannya selevel denganmu untuk membantu kasusmu..."
"Eh?"
"Hakuba dan Amuro tak membutuhkan bantuanku. Mereka bisa sendiri... Mereka terlalu sempurna..." Shiho merasa matanya semakin berat, "Sementara kau tidak bisa sendiri... Aku harus selalu membantumu... Kau tak sempurna... Kau membutuhkan aku... Aku harus terus mengingatkanmu..." ia memejamkan matanya.
"Kau benar sekali... Aku memang membutuhkanmu... Tanpa kusadari aku telah bergantung padamu Shiho..."
Tiba-tiba Masumi muncul di hadapan mereka dengan napas terengah-engah karena habis berlari.
"Akhirnya aku menemukan kalian disini," ujar Masumi susah payah menstabilkan napas.
"Ada apa Masumi?"
"Pendonornya..."
"Nani?"
"Pendonornya bersedia memberikan sumsum tulangnya! Taktikmu berhasil Shinichi-Kun! Setelah melihat foto Shiho dan mendengarkan penjelasan pihak rumah sakit, dia akhirnya bersedia!"
"Bagus sekali! Kau dengar itu Shiho?" Shinichi menoleh.
Namun Shiho tidak menjawab.
"Shiho?"
Shinichi mengguncangkkannya sedikit, namun rangkulan lengan Shiho di leher Shinichi malah merosot dan lepas. Shinichi mulai panik.
"Shiho!"
Shiho sudah tidak sadarkan diri.
.
.
.
.
.
"Indah ya?" gumam Shinichi seraya menggenggam tangan Shiho.
"Eh," Shiho mengangguk.
Saat itu mereka sedang menaiki London Eye untuk mengagumi indahnya kota London di malam hari. Sudah dua bulan sejak Shiho dinyatakan boleh pulang dari rumah sakit. Setelah istirahat di rumah dalam waktu yang cukup lama dan rutin check up, dokter pun mengijinkan Shiho jalan-jalan sedikit untuk refreshing.
Shinichi masih dapat merasakan detak jantung Shiho ketika wanita itu pingsan di punggungnya. Untungnya Shiho cepat ditangani, ia langsung masuk ruang ICU sambil menunggu persiapan operasi. Pendonornya yang memutuskan bersedia mendonorkan sumsum tulangnya juga sudah siap ketika mendapatkan panggilan darurat bahwa operasi transplantasi harus segera dilaksanakan. Operasi berjalan sukses. Shiho akhirnya terselamatkan dan tubuhnya mampu beradaptasi dengan cangkokan tersebut.
"Dingin?" tanya Shinichi.
"Eh sedikit,"
"Takuuu..." Shinichi mendelik pada kerah mantel Shiho, "Kau lupa mengenakan syalmu," ia melepas syalnya sendiri untuk dililitkan ke leher Shiho.
"Aku sudah pakai lima lapis ini, aku merasa akan tenggelam kalau pakai syal lagi,"
"Tetap saja kau harus pakai," ketika syalnya sudah rapi, Shinichi memandangnya. Shiho memang tampak kecil seperti tenggelam dalam mantel dan syalnya. Belum lagi ia mengenakan topi rajutan untuk menutupi rambutnya yang tipis karena kebanyakan rontok. Namun bagi Shinichi, Shiho tetap saja menggemaskan seperti boneka cantik yang biasa dipeluk anak perempuan.
Shinichi meraih kedua tangan Shiho dan mengusap-usapkannya dengan tangannya sendiri untuk memberikan kehangatan. Ketika itulah Shiho menatap cincin lili di jari manis kirinya. Ia melepas cincin itu dan kembali meletakkannya di telapak tangan Shinichi.
"Nani?" tanya Shinichi tak mengerti maksudnya.
"Aku sekarang sudah baik-baik saja. Kau tidak perlu menjagaku lagi. Kembalilah pada Ran-San..." Pinta Shiho.
"Shiho..."
"Aku tahu kau hanya pura-pura mencintaiku untuk menyenangkan hatiku di saat-saat terakhirku... Sudah saatnya kau jujur pada dirimu sendiri Kudo-Kun..."
Shinichi terdiam sesaat sebelum akhirnya tersenyum penuh arti, "Kau benar, sudah saatnya aku jujur pada diriku sendiri..." ia pun memakaikan kembali cincin itu ke jari manis kiri Shiho.
"E-eh?" Shiho terheran-heran memandangnya.
"Ran punya karate, dia wanita tangguh yang mampu melindungi dirinya sendiri. Dia punya ayah detektif yang juga jago karate dan akan melakukan apa saja demi keselamatan putrinya. Ibunya yang merupakan pengacara hebat juga bisa selalu mengingatkannya. Dia sudah sempurna. Sementara kau Shiho... Kau tidak sempurna... Kau membutuhkanku untuk selalu mengingatkanmu..."
Mata Shiho berkaca-kaca ketika menatap mata Shinichi yang menirukan ucapannya beberapa waktu lalu sebelum operasi.
"Kata-katamu begitu pedas dan dingin. Tidak ada pria yang tahan denganmu. Kecuali aku yang memiliki pemikiran selevel denganmu, karena itulah... karena itulah aku mencintaimu Shiho..."
"K-Kudo-Kun..."
"Kau tak perlu menunggu hingga kehidupan berikutnya untuk mendapatkan keberuntungan ini..." Shinichi mencondongkan wajahnya untuk meraih bibir Shiho dengan bibirnya sendiri.
Mereka berciuman ketika gerbong mereka berada di puncak paling tinggi London Eye.
THE END
