Darkness Around Us

By : pipi_tembam

Shiho tersadar namun tak sanggup membuka matanya yang begitu berat. Ia merasa guncangan kasar di atas tubuhnya telah berubah, menjadi sedikit lebih perlahan dan lembut. Mungkinkah Gin telah mengubah gaya permainannya? Ia tak tahu. Ia tak habis pikir kenapa dirinya bisa berakhir di sini dalam keadaan hina?

Shiho merunut lagi kejadiannya. Ia dan Rei Furuya pergi ke toko perhiasan pagi itu untuk membeli cincin pernikahan mereka. Dalam perjalanan pulang, mobil sport Rei mendadak dihadang oleh sebuah Porsche hitam. Rei Furuya ditembak di tempat oleh Gin, sementara dirinya diseret ke dalam mobil. Matanya ditutup sepanjang perjalanan dan baru dibuka ketika ia sampai di sebuah bangunan apartemen tua.

Shiho disudutkan di sebuah ruangan kosong oleh Gin. Tubuhnya ditelanjangkan dengan paksa. Gin menindihnya dan menggagahinya berulangkali. Shiho sudah berteriak sekuat tenaga, namun semakin keras ia berteriak, semakin kuat Gin menyetubuhinya. Hingga akhirnya Shiho tak sanggup berteriak lagi karena sudah kelelahan. Ia tak tahu berapa kali sudah Gin memerkosanya, ia tak peduli lagi. Hidupnya sudah tidak berarti sejak Rei dibunuh di depan matanya. Setelah ini mungkin ia akan bunuh diri untuk menyusul Rei.

.

.

.

.

.

Sinar matahari pagi yang masuk melalui celah-celah papan yang menutupi jendela menyoroti mata Shinichi dan membuatnya terbangun. Shinichi meringis, tulang dan otot-ototnya sakit semua. Tubuhnya babak belur.

Entah kenapa sehari semalam ini menjadi begitu panjang. Pagi itu ia dan Ran pergi ke sebuah bridal house untuk mencoba gaun pengantin Ran. Shinichi dan Ran bertekad untuk menjadi pengantin kembar bersama Shiho dan Rei. Mereka memutuskan menikah di hari yang sama. Tapi tiba-tiba saja entah darimana mobilnya dihadang oleh sebuah Porche hitam. Korn dan Chianti menembaki kaca mobilnya sebelum menggerebek mereka keluar. Shinichi sempat baku hantam dengan Korn, hingga akhirnya Chianti dengan wajah beringasnya menghujani Ran dengan peluru. Shinichi meraung frustasi ketika melihat tubuh calon istrinya berlumuran darah. Saat itulah Korn memukul tengkuk lehernya hingga ia tidak sadarkan diri.

Lalu kini ia di sini. Selain luka-luka bekas baku hantam, Shinichi menemukan pakaiannya yang berantakan. Seolah ia pernah ditelanjangi lalu dipakaikan baju lagi. Kancing kemeja dan lubangnya tidak pada tempatnya. Ritsleting celananya juga tidak tertutup sempurna. Ia juga merasakan ada cairan lengket di selangkangannya. Air maninya.

Sialan! Shinichi mengutuk dalam hati.

Mereka sengaja mempermainkan tubuhnya disaat dirinya masih tidak sadarkan diri. Mereka membuatnya beronani. Atau entahlah siapa yang sudah memerkosanya. Shinichi sudah tidak peduli dengan semua penghinaan ini. Ran sudah dibunuh dengan cara sadis, ia pun tak ingin hidup lagi. Ia tak sanggup pula mempertanggungjawabkannya di hadapan Kogoro dan Eri. Lebih baik ia menyusul Ran mati.

Shinichi memejamkan matanya rapat-rapat, berharap malaikat maut segera mencabut nyawanya. Airmata mengalir melalui ekor matanya tatkala ia membayangkan wajah Ran.

Tunggulah Ran... Aku akan menyusulmu...

Ketika sudah berputus asa dan pasrah, ia mendadak mendengar suara itu. Suara percakapan di luar ruangan sana, di balik pintu.

"Dia masih hidup?" tanya Korn dengan suara kasar.

"Entahlah," sahut Chianti, "Paling antara hidup dan mati,"

Siapa? Siapa yang mereka maksud? Siapa yang masih hidup? Apakah aku? Shinichi bertanya-tanya dalam hati.

"Kita bunuh saja?" tanya Korn lagi.

"Jangan dulu. Siapa tahu Gin masih mau menikmatinya. Tetes terakhir Sherrynya," ujar Chianti seraya nyengir berbahaya.

Sherry? Shiho? Apakah Shiho juga di sini?!

"Dia sudah seperti itu apakah masih enak dinikmati?"

Chianti mengangkat bahu, "Semakin dia tak berdaya mungkin Gin semakin menikmatinya. Dia akan terus menyetubuhi wanita itu hingga menjadi mayat,"

Shinichi refleks membuka matanya, Gin! Dia memerkosa Shiho! Keparat! Tangannya terkepal. Aliran tenaga baru mengaliri urat-urat nadinya.

Berpikirlah Shinichi... Pasti ada jalan keluarnya...

Korn menggeliat, "Aku mau keluar dulu beli bento. Mau?"

"Boleh,"

Korn meraih jasnya, "Aku akan segera kembali,"

Ini saatnya!

Shinichi memaksakan dirinya untuk bangkit, ia melirik tangan kirinya dan menemukan arlojinya masih di sana. Arloji biusnya masih berfungsi.

"Uhm?" Chianti mengernyit.

Merasakan ada pergerakan dari kamar Shinichi, Chianti memutuskan bangkit untuk memeriksa. Ia membuka pintu kamar Shinichi dengan ujung pistolnya. Chianti masuk dan menemukan kamar itu kosong, ia berbalik untuk menemukan Shinichi yang bersembunyi di belakang pintu. Namun ia kalah cepat, bius Shinichi tepat mengenai pipinya. Chianti tergeletak tak sadarkan diri di lantai.

Tanpa buang waktu Shinichi keluar dari ruangan itu untuk mencari Shiho. Apartemen itu tidak luas, sehingga Shinichi mampu menemukan dengan cepat di mana Shiho ditahan. Hatinya mencelos miris melihat tubuh telanjang Shiho di atas kasur yang awut-awutan. Sebisa mungkin tanpa memerhatikan tubuh Shiho, Shinichi meraih selimut untuk menutupi tubuh Shiho sebelum meraihnya dan menggendongnya.

Shinichi keluar dari apartemen itu. Lift apartemen itu sudah tidak berfungsi, sehingga ia akhirnya menggunakan tangga darurat. Setiap menuruni satu tingkat ia akan bersembunyi di lantai tersebut, mencari pojokan yang tersembunyi.

Shinichi dapat mendengar langkah kaki naik, sepertinya Korn telah kembali atau mungkin Gin. Shinichi merapatkan punggungnya di dinding seraya mendekap Shiho. Wanita itu masih hidup, namun tampak lemah. Shinichi sempat sekilas melihat pendarahan di bawah pinggangnya. Gin tampaknya telah memerkosanya dengan sadis. Shiho butuh pertolongan secepatnya.

"Menyerahlah! Kalian sudah terkepung!" terdengar seruan lantang di luar gedung apartemen.

Hattori! Itu suara Hattori! Benak Shinichi diliputi kelegaan.

Shinichi mendengar derap kaki yang menaiki tangga diatasnya. Kemudian terdengar deruan kasar mesin dan baling-baling. Ada helikopter diatas gedung ini dan beberapa suara tembakan. Lalu entah bagaimana Heiji bersama pasukan kepolisian pusat akhirnya berhasil menemukan persembunyiannya.

"Kudo!" Heiji menunduk menghampiri Shinichi.

"Hattori... Selamatkan dia..." ujar Shinichi lelah seraya menunjuk Shiho.

Heiji terkejut ketika melihat Shiho, "Astaga!" ia segera melepas jaketnya untuk membungkus tubuh Shiho dan menggendongnya pergi. Sementara Shinichi dipapah oleh petugas kepolisian.

.

.

.

.

.

"Aku takkan menanyakan bagaimana keadaanmu," kata Heiji di kamar perawatan Shinichi.

Shinichi tengah berdiri memandang keluar melalui jendela kamarnya. Tidak ada luka fatal pada tubuhnya. Ia cepat pulih secara fisik. Namun hatinya hampa. Heiji mengerti betul perasaan rekan sejawatnya itu.

"Aku minta maaf Kudo, seharusnya aku bisa lebih cepat," ujar Heiji muram.

Shinichi menggeleng, "Kau sudah sangat membantuku Hattori. Aku sungguh berterima kasih. Jika kau tidak datang, mungkin aku dan Shiho..."

"Aku turut menyesal atas Ran..."

Shinichi menghela napas, "Padahal seharusnya kami menikah dalam waktu dekat, bersamaan dengan Shiho yang akan menikah dengan Furuya-San,"

"Dia pasti sangat terpukul, Miyano-San. Setelah tunangannya ditembak di depan matanya, lalu Gin..." Heiji tak sanggup melanjutkan kata-katanya.

"Aku juga tak dapat membayangkannya ketika dia sadar nanti,"

"Belum ada perkembangan?"

Shinichi menggeleng, "Sudah tiga hari dia belum sadarkan diri,"

"Bagaimana dengan Kogoro-ojisan? Aku dengar dia marah-marah di sini,'

Shinichi mendesah, "Aku tidak menyalahkannya. Dia dan Eri-San pasti marah. Gara-gara aku, putri mereka satu-satunya tewas. Jika saja Ran menikah dengan Araide Sensei, akhirnya pasti akan berbeda. Jika mereka membenciku, aku pantas menerimanya,"

Setelah tahu terkepung, Korn menyeret Chianti naik ke puncak gedung. Suara helikopter yang Shinichi dengar ternyata milik Gin dan Vodka alih-alih kepolisian. Korn dan Chianti meraih tali yang diulur dari helikopter untuk menyelamatkan diri.

"Aku hanya tidak mengerti, bagaimana ia bisa mendapatkan dana untuk helikopternya itu?" Shinichi bertanya-tanya, "Kita sudah berhasil menangkap Karasuma Renya, seluruh lapisan organisasi dihancurkan dan dibekuk. Rekening mereka dibekukan. Walaupun Gin, Vodka, Chianti dan Korn berhasil lolos, mereka seharusnya tidak berdaya tanpa uang,"

"Organisasi itu sudah terlalu lama melayani para pakar politik yang membutuhkan jasa mereka. Aku curiga Gin memeras beberapa mantan klien mereka untuk mendapatkan dana daripada rahasia para pejabat itu bocor ke publik," ujar Heiji.

"Ah, itu bisa jadi dan aku khawatir, ia akan memulai semuanya lagi dari awal. Jika itu benar terjadi, aku dan Shiho serta semua orang di sekitar kami dalam bahaya,"

Mendadak seorang perawat masuk ke kamarnya dengan wajah pucat pasi.

"Ada apa?" tanya Heiji.

"Ano... Anda kenal dengan Miyano-San?" tanya perawat tersebut pada Shinichi.

"Kenapa dengan Shiho?" tanya Shinichi.

"Dia sudah sadar... Tapi sangat tidak terkendali,"

Tiga hari berlalu sejak kejadian itu, Shiho akhirnya mendapatkan kesadarannya. Ia mengamuk di ruangannya seraya membanting-banting barang. Ketika Shinichi, Heiji dan perawat sampai di kamarnya, semuanya sudah porak-poranda.

"Shiho!" Shinichi memanggil tertegun melihat kondisi kamar yang amburadul.

"Ano..." kata perawat lain yang berjaga di kamar Shiho, "Dia di kamar mandi..."

Shinichi berjalan ke arah kamar mandi dan membuka pintunya dengan perlahan. Ia melihat Shiho masih mengenakan piyama lengkapnya, duduk di bawah pancuran sambil memeluk lututnya. Tubuh dan pakaiannya basah semua.

"Hati-hati Kudo... Dia sangat sensitive saat ini..." bisik Heiji memperingatkan.

"Uhm," Shinichi mengangguk.

Lambat-lambat Shinichi mendekati Shiho dan menyentuh bahunya dengan halus. Namun efeknya luar biasa. Shiho langsung berontak.

"Hentikan! Pergi! Jangan sentuh aku!" Shiho memukul-mukul Shinichi.

Shinichi merengkuh kedua bahunya, berusaha membuat Shiho menatapnya, "Shiho! Kendalikan dirimu!"

"Pergi! Jangan sentuh aku! Bajingan!" raung Shiho.

"Shiho! SHIHO!"

Shiho tersentak menatap Shinichi.

"Ini aku... Shinichi..."

Airmata Shiho mengalir, "K-Kudo..."

"Ya ini aku... Kau aman sekarang..."

Shiho sesenggukan, "R-Rei... Mereka membunuh Rei..."

Shinichi memeluknya, tangis Shiho tumpah di bahu Shinichi.

"Rei... Mereka membunuh Rei!" Shiho terus menangis.

"Gomene Shiho... Gomene..." bisik Shinichi.

Mata Heiji berkaca-kaca menatap dua insan yang menyedihkan itu.

Masa depan mendadak suram.

Mary, Masumi dan Akai Shuichi akhirnya terbang dari Amerika ke Jepang demi mengurus Shiho. Untuk sementara Shiho akan tinggal di apartemen Mary yang lebih leluasa untuk merawatnya. Shiho saat ini sangat sensitive pada pria dan tidak nyaman rasanya jika kembali ke rumah Profesor Agasa. Orang tua Shinichi juga sudah tiba di Jepang dan turut prihatin karena pernikahan putra mereka harus batal dengan tragis seperti ini. Mereka semua kecolongan dengan keadaan aman setelah Black Organization hancur lima tahun yang lalu.

Shinichi menaruh seikat bunga di nisan Ran. Ia tidak bisa hadir pada saat pemakamannya karena cedera. Terlebih lagi orang tua Ran juga kini sangat membencinya. Ia baru bisa datang ketika keadaannya telah sepi. Hanya Heiji Hattori sahabatnya yang menemaninya.

"Gomene Ran... Aku baru datang sekarang... Gomene... Segalanya harus berakhir begini..." ucap Shinichi dengan mata berkaca-kaca.

"Apa rencanamu sekarang Kudo?" tanya Heiji.

"Sama seperti lima tahun lalu, Hattori. Mulai lagi dari awal, untuk menghancurkan mereka selamanya," ujar Shinichi, "Hanya saja kali ini berbeda..."

"Karena Ran?"

Shinichi mengangguk, "Ya dan aku juga tidak dapat mengandalkan Shiho. Dia sudah cukup terpuruk. Aku merasa sendirian,"

Heiji menepuk pundaknya, "Jangan begitu Kudo. Kau masih punya aku,"

"Arigatou Hattori,"

"Tapi si Gin itu, kenapa sekarang dia sangat agresif?"

"Dugaanku, dulu dia dibawah kendali Karasuma Renya. Sekarang Karasuma Renya sudah dihukum mati, Gin menjadi bos untuk dirinya sendiri. Ia bebas berbuat sesuka hatinya, tanpa dibawah kendali siapapun. Terlebih lagi dia marah karena penghancuran kita lima tahun lalu. Dia sudah merencanakan pembalasan dendam yang keji seperti ini,"

"Kita harus lebih berhati-hati melangkah Kudo,"

"Ah," Shinichi mengiyakan

Mendadak handphone Shinichi berbunyi.

"Moshi moshi?" jawab Shinichi.

"Kudo-Kun..." terdengar suara muram Mary Sera.

"Mary-San. Ada apa?"

"Bisakah kau kemari... Shiho..." suara Mary menahan tangis.

"Kenapa Shiho?"

"Dia tidak mau keluar dari pancuran, Masumi sudah berusaha membujuknya namun tidak berhasil. Aku hanya bisa memohon bantuanmu..."

"Aku akan segera ke sana,"

Dua puluh menit kemudian, Shinichi dan Heiji sampai apartemen Mary. Masumi dan Mary segera menunjukkan Shiho yang duduk memeluk lututnya di bawah air pancuran kamar mandi.

Shinichi memasuki kamar mandi dan membiarkan dirinya sendiri basah kena air pancuran ketika ia menghampiri Shiho dan berlutut di hadapannya.

"Shiho..." Panggil Shinichi pelan.

"Kotor..." gumam Shiho dengan pandangan kosong.

"Nani?"

"Kotorannya tidak hilang-hilang... Tidak bersih..."

"Coba lihat dengan jelas Shiho... Tidak ada yang kotor..." bisik Shinichi lembut.

"Kotor... Semuanya kotor..." isak Shiho.

Shinichi mematikan pancuran dan meraih handuk besar yang diulurkan Masumi. Ia menyelimuti tubuh Shiho dengan handuk tersebut.

"Ayo Shiho... Kau bisa masuk angin..." bujuk Shinichi.

"Kotor..."

Shinichi memeluknya, "Sudah bersih Shiho... Kau sudah bersih..." ia membiarkan Shiho menangis dalam dekapannya sampai lelah sendiri sebelum menggendongnya ke kamar.

Masumi dan Mary mengganti pakaian basah Shiho dengan yang kering sementara Shinichi dan Heiji menunggu di ruang tamu. Shinichi juga telah berganti pakaian meminjam pakaian milik Akai Shuichi.

"Bagaimana Shiho?" tanya Shinichi ketika melihat Masumi keluar.

"Mama menjaganya, sejauh ini dia masih tidur," sahut Masumi muram, "Aku tidak tahu sampai kapan ini berakhir. Hampir setiap malam Shiho terbangun karena mimpi buruk. Belum sebentar-sebentar dia mandi,"

"Wajar saja bagi seorang wanita yang mengalami trauma berat seperti itu. Mungkin dia memerlukan bantuan psikolog," kata Heiji.

"Eh, aku juga berpikir begitu,"

"Kabari aku jika membutuhkan sesuatu," kata Shinichi.

"Arigatou Shinichi-Kun,"

Namun masalah itu baru permulaan.

.

.

.

.

.

Sebulan kemudian terdengar kabar buruk yang menghebohkan. Vermouth berhasil melarikan diri dari penjara wanita. Diduga komplotan Gin membantunya kabur dengan menyogok sejumlah petugas keamanan. Kepolisian tengah mengusut kasus tersebut.

"Sial!" Shinichi menggebrak meja perpustakaannya, "Aku sungguh tidak bisa membaca pergerakan mereka!"

"Gin dan Vermouth sudah tahu kemampuan deduksimu dan berusaha menghindari agar kau tidak mampu membacanya," ujar Heiji.

"Sekarang pasukan inti sudah bergabung," Shinichi memejamkan matanya geram, "Kemana? Apa yang ingin mereka perbuat?! Apa tujuan mereka sekarang?!"

"Tenang Kudo,"

Tiba-tiba handphone Shinichi berbunyi, nomor Masumi.

"Ada apa Masumi?" tanya Shinichi.

"Aku hanya ingin memberitahu, Shiho masuk rumah sakit,"

"Nani? Kenapa?"

"Ia berusaha bunuh diri dengan menelan obat penenang,"

"Baka! Apa yang menyebabkannya begitu? Bukankah dia sudah lebih tenang?"

"Shinichi..." Masumi terdengar gelisah.

"Ada apa? Kau kenapa?"

"Aku menemukan test pack di kamar mandi Shiho..."

"Maksudmu..."

"Ah... Dia hamil... Apakah menurutmu... Anak itu anak Gin?"

Shinichi dan Heiji bergegas ke rumah sakit. Dokter dan petugas medis telah berhasil membuat Shiho memuntahkan obat yang ditelannya. Namun Shiho tidak menyerah pada percobaan bunuh dirinya. Ia mencabut semua selang infus serta oksigen, mengamuk ke seluruh petugas medis dan membuka jendela untuk melompat dari balkon.

"Shiho!" Shinichi meraih pinggang Shiho tepat pada waktunya sebelum ia melompat.

"Lepaskan aku Kudo! Biarkan aku mati!" Shiho berontak.

"Kendalikan dirimu!"

"Aku tidak mau anak ini!" Shiho meninju-ninju perutnya sendiri.

Shinichi menangkap kedua pergelangan tangannya, "Anak itu tidak bersalah!"

"Aku tidak mau! Aku tidak mau melahirkan anak bajingan itu! Dia pasti akan mewarisi gen jahat ayahnya!"

"Tidak Shiho! Dengan lingkungan dan didikan yang benar, dia akan tumbuh dengan baik!"

"Aku yang ilmuwan Kudo! Bukan kau! Anak ini akan sejahat ayahnya!"

"Tapi dia darah dagingmu Shiho!"

"Aku tidak peduli! Sebaiknya dia mati sebelum lahir ke dunia ini!" Shiho berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Shinichi.

"Bagaimana jika milik Furuya?!"

Shiho membeku.

"Bagaimana jika ternyata anak Furuya?" ulang Shinichi.

Shiho mengalami dilemma.

"Furuya-San tidak memiliki siapa-siapa lagi. Jika yang kau kandung adalah anaknya, hanya itu satu-satunya penerusnya..."

Airmata Shiho mengalir, bahunya tertunduk lesu.

Shinichi mengendurkan cengkramannya ketika dirasanya Shiho tidak akan berontak lagi.

"Lalu... aku harus bagaimana..." isak Shiho seraya menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.

Shinichi memeluknya.

"Aku... harus bagaimana... Kudo..."

"Kau ingin sesuatu?" tanya Shinichi ketika Shiho terbangun tengah malam.

"Kenapa kau masih di sini?" tanya Shiho berusaha untuk bangun duduk. Shinichi membantu meletakkan bantal kepala agar Shiho bisa bersandar.

"Aku akan bergantian dengan Mary-San besok,"

Mendadak Akai Shuichi masuk kamar menghampiri mereka berdua.

"Shu-nii..." panggil Shiho.

"Akai-San..." panggil Shinichi.

"Bagus hanya tinggal kita bertiga saja, dengan begitu aku bisa mengutarakan rencanaku..."

"Nani? Memang apa rencanamu?" tanya Shinichi.

"Dengan kaburnya Vermouth, aku harus mengakui Gin tanpa dibawah kendali Karasuma, ia lebih berbahaya. Selain itu, kepolisian Jepang belum terbuka untuk bekerjasama dengan FBI maupun CIA. Mereka masih membantah kemungkinan kembalinya organisasi itu, karena bisa mencoreng wajah mereka. Dan baru saja diputuskan, kasus penculikanmu dan Shiho ditutup sebagai kasus penculikan biasa tanpa keterlibatan organisasi,"

"Nani?!" Shinichi tampak geram.

"Sampai FBI dan CIA berhasil mengumpulkan bukti kuat mengenai keberadaan mereka agar kepolisian Jepang mengusut kasusnya, kau dan Shiho tidak aman lagi di Jepang..."

Shiho dan Shinichi terdiam tegang.

"Kalian harus pergi dari negara ini sampai keadaannya aman," kata Akai tegas.

"Itu juga yang sebenarnya ada di kepalaku," Shinichi mengakui, "Jika aku dan Shiho tetap di sini, orang-orang di sekitar kami juga dalam bahaya,"

"Kudo-Kun..." Shiho menatapnya.

"Kita harus pergi Shiho. Kau dan aku, berdua saja,"

"Tapi... Kemana..."

"Kemana saja asal bukan di Jepang," sahut Akai.

Shinichi memandang Shiho, "Bukankah kau suka aurora? Kalau kau mau, kita akan ke Norwegia..."

"Norwegia? Aku dan Rei, juga tadinya berencana ke sana setelah menikah..."

"Norwegia kurasa cukup bagus," Akai menyetujui, "Penduduk di sana tidak padat, fasilitas kesehatan dan lain-lainnya juga memadai. Shiho bisa melahirkan dengan tenang di sana,"

Shiho menyentuh perutnya yang masih rata.

"Furuya-San juga pasti akan senang jika anaknya dilahirkan di sana," ujar Shinichi.

Shiho mengepalkan tangannya, "Belum tentu anak Rei. Masih ada kemungkinan anak Gin!"

"Kuatkan dirimu Shiho," pinta Akai.

"Kalian tidak mengerti! Aku tidak berani membayangkan wajahnya nanti, bagaimana jika mirip dengan Gin?" isak Shiho.

"Lalu bagaimana? Kau mau aborsi?" tawar Akai.

"Aku tidak setuju!" Shinichi menolak ide itu mentah-mentah seraya berdiri menatap tajam Akai Shuichi, "Kau adalah snipper FBI, mungkin bagimu tidak masalah membunuh satu dua orang termasuk bayi. Tapi aku adalah detektif, aku tidak bisa membiarkan sebuah nyawa melayang meski nyawa itu masih berupa gumpalan embrio,"

Akai mengangkat bahu, "Aku hanya memberi ide, keputusannya tetap di tangan Shiho. Melarikan diri dalam keadaan hamil memang cukup merepotkan, ditambah ibunya tidak menginginkan bayinya sendiri,"

Shinichi memandang Shiho, "Anak itu berhak untuk hidup Shiho,"

"Mudah saja kau bicara, karena bukan kau yang mengalaminya," oceh Shiho sakit hati.

"Siapapun ayahnya, bayi itu tidak berdosa," Shinichi bersikeras.

"Aku tahu itu! Tapi... Tapi..." Shiho menggigit bibirnya.

"Atau begini saja," Akai menyela "Setelah kau lahirkan, biarkan orang lain mengadopsinya,"

Shinichi mengepalkan tangannya, "Bayi itu darah dagingmu Shiho! Kau tega membiarkannya diadopsi orang lain? Pikirkan Shiho, jangan melakukan hal yang akan kau sesali nantinya,"

"Aku tidak tahu! Aku sungguh tidak tahu!" Shiho menyentuh keningnya.

Akai Shuichi menghela napas lelah, ini lebih sulit dari yang diduganya.

Shinichi menegarkan dirinya ketika lanjut bicara, "Baiklah kalau begitu,"

"Nani?" Akai Shuichi menatapnya.

"Aku akan memberikan namaku,"

"Apa?" Akai memastikan telinganya.

"Kita menikah saja Shiho, agar anak itu bermarga Kudo,"

Shiho terhenyak menatapnya, "Kau gila,"

"Aku sungguh-sungguh, anak itu akan menjadi anakku,"

"Bahkan hal itu lebih baik," sambung Akai, "Seorang pria dan wanita hamil yang melarikan diri tanpa status lebih mencurigakan. Jika kalian suami-istri, kalian akan lebih leluasa bersembunyi,"

"Kudo-Kun... Kau tidak perlu mengorbankan dirimu hingga sejauh itu..." pinta Shiho.

"Tidak ada yang kukorbankan Shiho. Orang tuaku dapat kembali ke LA untuk menjalani hidup normal. Ran juga sudah tiada. Aku tidak memiliki apapun lagi. Sekarang prioritasku adalah memastikan keselamatanmu dan bayimu sambil menyusun rencana untuk menghancurkan mereka kembali," gumam Shinichi penuh tekad.

"Kalau begitu semuanya sudah diputuskan, aku akan menyiapkan segala sesuatunya," kata Akai Shuichi tajam.

.

.

.

.

.

Shiho meletakkan seikat bunga krisan putih di nisan Rei Furuya. Sejak Rei dimakamkan, Shiho belum mengunjunginya karena proses pemulihan dari trauma berat. Namun kini ketika ia akan pergi jauh, ia menguatkan hatinya untuk berdoa di nisannya.

Shinichi juga menatap nisan Rei seraya berkata dalam hati, Jangan khawatir Furuya-San... Aku akan menjaga Shiho dan anakmu...

Shinichi mengenang aksi-aksi heroik Rei Furuya sewaktu masih hidup. Ia sendiri sering bekerjasama dengannya dalam memecahkan beberapa kasus baik dengan tubuh Conan maupun dengan tubuh Shinichi. Ia mengagumi pria yang mengabdikan hidupnya untuk Jepang tersebut. Ketika tahu Rei menjalani hubungan serius dengan Shiho, Shinichi merasa tenang. Ia menganggap Rei jauh lebih tangguh dari dirinya untuk melindungi Shiho. Saat itu Shinichi mengira Shiho telah mendapatkan pria yang tepat dan ia akhirnya akan mengalihkan janji dan tanggung jawabnya dalam melindungi Shiho kepada Rei. Tapi siapa sangka, Rei malah pergi lebih dulu dan kini Shinichi kembali mengemban tugas untuk melindungi Shiho. Bahkan Akai Shuichi sudah tidak berdaya.

Akai Shuichi menghampiri Shiho dan merangkulnya, "Ayo Shiho, sudah waktunya pergi,"

Shiho akhirnya bangkit berdiri, mengikuti bimbingan sepupunya.

Shinichi dan Shiho telah menandatangani surat nikah secara diam-diam di catatan sipil. Shinichi meninggalkan sepucuk surat kepada orang tuanya, begitu juga Shiho meninggalkan sepucuk surat pada Mary. Akai Shuichi telah mendaftarkan passport mereka dengan nama lain.

"Ingat, yang mengetahui kepergian kalian hanya aku," kata Akai Shuichi. "Keluarga, teman-teman, kepolisian bahkan FBI tidak tahu. Semakin sedikit yang tahu semakin baik,"

"Aku mengerti," sahut Shinichi.

Akai mengeluarkan sebuah handphone dan menyerahkannya pada Shinichi, "Hubungi aku melalui handphone itu jika butuh sesuatu, aku juga akan menghubungi kalian melalui handphone itu. Hanya ada nomorku dan tidak terdeteksi,"

"Uhm," Shinichi mengangguk mengerti.

"Aku akan terus update situasinya kepada kalian. Jika keadaannya sudah aman dan memungkinkan, aku akan memberitahu kapan kalian boleh kembali,"

"Arigatou Akai-San,"

"Tolong jaga Shiho, Kudo," pinta Akai.

"Pasti," sahut Shinichi.

"Taksi sudah menunggu. Aku akan mengikuti di belakang sampai kalian masuk boarding room di bandara,"

Shinichi menggenggam tangan Shiho, "Ayo Shiho,"

Shiho melempar pandangannya untuk terakhir kali pada nisan Rei sebelum akhirnya pergi dibimbing oleh Shinichi.

Sesampainya di Norwegia, Shinichi dan Shiho menempati sebuah rumah kayu berukuran sedang nan cantik di sebuah bukit. Pemandangannya saat indah. Aurora hampir setiap malam berpendaran di atas mereka. Di siang hari terhampar pemandangan bukit hijau dan danau yang bening. Orang-orang di sana juga sangat ramah. Fasilitas penunjang kehidupan pun sangat lengkap. Namun Shinichi dan Shiho belum sempat mengeksplor lebih jauh. Mereka belum mampu menikmati semua kenyamanan itu. Kondisi Shiho menurun karena lelah perjalanan. Suhu Norwegia yang lebih dingin membuatnya terserang flu, ditambah lagi ia mengalami morning sickness yang parah. Meski status mereka hanya suami istri di atas kertas, namun Shinichi menemani dan merawat Shiho hampir sepanjang waktu.

Suatu pagi Shiho terbangun dan menemukan secangkir teh hangat di sisi tempat tidurnya. Shinichi yang menyiapkannya untuk membantu Shiho mengurangi rasa mualnya. Shiho bangkit duduk dengan perlahan dan menutup mulutnya ketika mual itu muncul. Ia meraih cangkir teh tersebut dan menyeruputnya. Ketika kehangatan menjalari perutnya, Shiho menghela napas merasa sedikit lebih baik. Ia berdiri dan berjalan menuju pintu. Saat baru membuka pintu kamar sedikit, melalui celahnya ia melihat Shinichi sedang sibuk memasang di dapur. Sesekali detektif itu memegang daun telinganya karena kepanasan. Shiho jadi sedikit tak enak hati. Ia pun keluar kamar untuk menghampiri Shinichi.

"Shiho?" melihat Shiho, Shinichi buru-buru menghampirinya untuk membantunya duduk di hadapan meja makan, "Kenapa kau keluar kamar? Kalau kau ingin sesuatu tinggal panggil aku saja,"

"Aku bosan di kamar," sahut Shiho

"Aku baru ingin membawakan buburmu. Mau sarapan di sini saja?"

"Boleh,"

Shinichi mengangkat nampan dari dapur dan meletakkannya di meja makan.

"Baunya harum," ujar Shiho.

"Baguslah kalau kau merasa harum, biasanya kau cium bau sedikit sudah mual. Mungkin selera makanmu kembali,"

"Kuharap begitu,"

Shinichi menyendokkan bubur dan meniupnya hingga dingin sebelum menyuapinya ke Shiho.

"Bagaimana?" tanya Shinichi.

"Oke, asinnya cukup," sahut Shiho.

"Aku membuatnya sesuai resep dari Ran, meski mungkin rasanya tak begitu mirip,"

Shiho menunduk muram.

"Eh?" Shinichi menyadari perubahan ekspresinya, "Kenapa Shiho? Ada yang tidak enak? Mual? Pusing? Katakan saja padaku," sambil bertanya begitu ia menyentuh kening Shiho.

"Gomene Kudo-Kun..." gumam Shiho.

"Nani?"

"Aku terlalu tertekan dengan traumaku sampai melupakan, kau juga berat karena kehilangan Ran-San..."

Shinichi terdiam.

"Dan kini, kau malah harus melarikan diri sambil mengurus wanita hamil yang bahkan tidak tahu siapa ayah bayinya... Aku sudah membebanimu terlampau jauh..." mata Shiho berkaca-kaca.

"Ya... Memang berat rasanya kehilangan Ran... Tapi justru karena itu..." Shinichi mengenggam tangan Shiho, "Aku tidak mau kehilanganmu lagi..."

Shiho menatapnya, "Kudo-Kun..."

"Selama ini kita juga telah melalui kesulitan bersama kan? Aku tidak mau kehilanganmu partner terbaikku. Aku juga yakin, Furuya-San jika dapat bicara saat ini, ia akan memintaku untuk melindungi kalian berdua..."

Airmata Shiho mengalir.

"Kau juga tahu bagaimana Ran, dia pasti juga akan memintaku melindungimu..."

"Eh," Shiho mengangguk seraya terisak.

Mata Shinichi menerawang saat lanjut bicara, "Saat aku tersadar di ruangan itu... Aku sendiri putus asa dan rasanya ingin mati. Aku melihat Ran ditembak secara brutal di hadapanku, untuk apa aku hidup lagi...

"Kemudian aku mendengar suara Korn dan Chianti... Dari percakapan mereka aku akhirnya tahu mereka juga menyanderamu. Detik itu juga aku sadar, aku belum bisa mati," Shinichi mengeratkan genggaman tangannya akan tangan Shiho, "Aku harus bangkit mengumpulkan kekuatanku untuk menyelamatkanmu..."

"Kudo..."

"Aku seharusnya berterima kasih padamu Shiho. Aku tidak merasa seorang diri di saat seperti ini. Kau lah yang telah memberiku alasan untuk bertahan. Jadi kau tidak perlu merasa tidak enak hati. Kau bukan bebanku..."

Shiho tak sanggup berbicara, tenggorokannya tercekat karena tersentuh dengan perkataan Shinichi.

Shinichi menangkup wajah Shiho dan menghapus airmata di pipinya, "Jangan panggil aku Kudo Kudo lagi. Kau sendiri sudah Nyonya Kudo. Panggil aku Shinichi..."

Hal itu malah membuat tangisan Shiho semakin deras.

Mata Shinichi menyipit, "Takuuu... Ayolah evil-yawny-eyes... Kau tidak cocok menangis begitu... Aku lebih suka tsunderemu..." ia pun memeluk Shiho.

.

.

.

.

.

Akhir trimester kedua, morning sickness Shiho lenyap. Selera makannya sudah normal, namun moodnya masih belum membaik. Ia sering melamun dan murung. Pendaran aurora yang begitu indah, entah kenapa membawa kesedihan di hatinya. Shinichi sempat berpikir apakah ia telah memilih negara yang salah? Norwegia memang tempat yang indah untuk pasangan tapi juga sangat melankolis. Seharusnya ia memilih negara yang lebih ceria dan bahagia.

Tidak mungkin untuk pindah negara lagi di saat seperti ini, kandungan Shiho telah berusia tujuh bulan. Secara keseluruhan kehamilannya juga lemah dan sensitive. Shinichi tidak mau mengambil resiko itu. Lagipula tetangga-tetangga mereka di sini juga sangat baik, jika dirinya dan Shiho harus beradaptasi lagi di tempat baru, rasanya enggan sekali. Namun kemurungan Shiho tidak bisa berlanjut terus, Shinichi takut akan memengaruhi kandungannya. Ia pun berusaha mengembalikan keceriaan Shiho dengan memberikan sesuatu yang disukainya.

"Nani?" tanya Shiho ketika Shinichi memberikan sebuah kotak besar berwarna ungu muda berpita merah kepadanya.

"Untukmu," kata Shinichi.

Shiho mengernyit, "Perasaan aku tidak ulang tahun,"

"Apa harus menunggu ulang tahun untuk kasih hadiah?"

"Paling isinya baju bayi,"

Shinichi mengangkat sebelah alisnya, "Kenapa tidak kau buka saja dulu?"

"Hai Hai..."

Shinichi meletakkan kotak itu di meja. Shiho menarik pitanya dan membuka tutupnya. Ketika melongok isinya, matanya membesar bercahaya.

"Eh?" Shiho mengerjap.

Seekor anjing hush puppies melongok malu-malu dari dalamnya. Shiho mengulurkan tangannya untuk menggendong anjing itu.

"Kawaii..." gumam Shiho seraya mengusap-usapkan hidungnya ke hidung hush puppies tersebut. Ekspresinya natural tampak senang.

"Kau suka?"

"Eh," Shiho mengangguk.

Shinichi senang kejutannya berhasil, "Mulai sekarang dia anggota baru keluarga kita,"

"Benar aku boleh memeliharanya?"

"Tentu saja,"

Shiho terkekeh ketika hush puppies mungil itu menjilati pipinya.

"Ngomong-ngomong dia belum punya nama. Kau saja yang beri nama," kata Shinichi.

"Ehtoo..." Shiho memeriksa jenis kelamin hush puppies tersebut, "Dia jantan ya?"

"Iya aku beli yang jantan,"

"Uhmmm... Apa ya? Holmes?" Shiho melirik Shinichi yang tampak bersemangat ketika dirinya menyebut 'Holmes'

"Itu bagus!" pekik Shinichi.

"Ah tidak tidak! Kau sepertinya senang sekali," Shiho tidak rela.

Shinichi manyun.

"Ah aku tahu! Conan saja bagaimana?"

"Oi!" Shinichi protes.

Tapi Shiho malah setuju, "Baiklah kalau begitu namanya Conan,"

"Kenapa harus Conan?" tuntut Shinichi yang memakai nama Conan sewaktu tubuhnya mengecil. Hingga saat ini jika ada yang menyebut Conan, dirinya otomatis akan menoleh. Sense of belongingnya akan nama itu tinggi sekali.

"Kenapa tidak? Dia kan juga pencipta novel misteri,"

Shinichi mendesah, "Hai Hai... Terserah kau saja..."

"Nah Conan-Kun. Kau pasti lapar, aku akan memberimu susu..." Shiho menggendong hush puppies itu ke dapur.

"Conan-Kun? Takuuu..." tapi Shinichi tersenyum melihat perubahan suasana hati Shiho.

Tanpa terasa tahun itu akan segera berakhir. Di malam pergantian tahun baru, Shiho duduk di teras depan rumah seraya memandangi pendaran aurora di atas sana. Conan tidur pulas meringkuk di bawah kursinya. Udara malam itu sangat dingin. Shinichi melihat sesekali Shiho mengusap-usapkan telapak tangannya sebelum menaruhnya di pipi. Ia pun ke dapur untuk membuatkannya susu coklat hangat khusus untuk ibu hamil seraya membuat coklat untuk dirinya sendiri dan mengantarkannya pada Shiho.

"Ouch!" keluh Shiho kaget ketika Shinichi menempelkan mug hangat ke pipi Shiho.

Shinichi nyengir, "Susumu,"

"Arigatou," sahut Shiho ketika menerimanya.

"Semakin malam udaranya semakin dingin, seharusnya kau menggunakan mantel lebih tebal," ujar Shinichi seraya menyelimuti tubuh Shiho dengan mantel tambahan, mempertebal lapisannya agar Shiho lebih hangat. Wajah Shiho merona merah saat Shinichi melakukan hal penuh perhatian seperti itu terhadapnya. Kemudian Shinichi duduk di sisi Shiho sambil menikmati coklatnya sendiri.

"Malam tahun baru di sini sepi ya," gumam Shinichi ikut memandangi aurora.

"Eh," Shiho mengangguk, "Tidak ada kembang api. Tapi untuk apa juga kembang api. Aurora yang alami seperti ini sudah sangat indah,"

"Uhm," Shinichi mengangguk setuju seraya melirik arlojinya, "Sebentar lagi,"

Di spot-spot tertentu hanya ada para turis yang berkumpul untuk hitung mundur. Lalu ketika waktunya tiba mereka bersorak sorai bersama. Tiada terompet, petasan maupun kembang api. Namun semuanya sangat senang, saling berpelukan dan berciuman.

Shinichi menatap Shiho, "Selamat tahun baru Shiho,"

Shiho balas menatapnya, "Selamat tahun baru Shinichi,"

Shinichi meletakkan mugnya di meja kecil di depannya, lalu ia mengeluarkan sesuatu dari saku mantelnya. Sebuah kotak hadiah kecil untuk Shiho, "Hadiah tahun barumu," ujarnya seraya menyerahkan kotak tersebut.

"Eh?" Shiho meletakkan mugnya juga untuk menerima kotak itu.

"Mengingat seleramu yang tinggi, kuharap kau suka,"

Shiho membuka kotak itu dan terpana, di dalamnya terdapat dua untai gelang emas putih. Yang satu untaiannya lebih besar dan yang satu lagi untaiannya lebih kecil. Gelang yang kaku berbentuk setangkai bunga lily yang melingkar dan kedua ujungnya merupakan mahkota lily.

"Aku memilih lily karena aku tahu kau suka bunga itu. Bunga lily adalah lambang wanita yang feminine, anggun dan berkelas sesuai dengan karaktermu dan namamu Shiho yang berarti perhatian, cantik dan indah," jelas Shinichi.

"Aku menyukainya, ini indah sekali,"

"Satu untukmu dan satu lagi untuk putri kita,"

Shiho tercekat ketika Shinichi menyebut 'putri kita'

"Biar kubantu pakai," Shinichi meraih untaian yang besar dan mengalungkannya ke pergelangan tangan Shiho. Ukurannya pas, tidak terlalu besar dan tidak kekecilan.

"Arigatou," ucap Shiho namun mendadak ia mengaduh seraya menyentuh perutnya.

"Kau kenapa?" tanya Shinichi cemas.

Shiho menarik napas panjang untuk menstabilkan diri, "Tidak apa-apa. Hanya saja dia menendang terlalu keras belakangan ini,"

"Eh benarkah?"

"Mau coba?" tawar Shiho.

"Bolehkah?"

Mereka menikah cuma di atas kertas. Shinichi dan Shiho tidur di kamar terpisah, hanya di trimester pertama saja sewaktu Shiho sakit Shinichi tidur di sofa kamar Shiho. Shinichi memang mengantar dan menemani Shiho setiap kali check up kandungan. Ia juga melihat semua perkembangan janin Shiho melalui USG. Shinichi mengagumi perkembangan itu. Ketika mendengar detak jantung bayi itu untuk pertama kalinya, Shinichi sudah merasa menyayangi bayi itu dan betapa besar harapannya bahwa ia sungguhan ayah biologis bayi itu. Ia terkadang suka melihat gerakan-gerakan kecil di perut Shiho, tapi ia tidak berani menyentuhnya. Mengingat peristiwa buruk yang dialami Shiho beberapa waktu lalu, Shinichi tahu ia harus berhati-hati dalam memperlakukan Shiho.

Lalu sebagai jawaban atas permintaan ijin Shinichi, Shiho mengulurkan tangannya meraih tangan Shinichi dan meletakkannya di atas perut besarnya.

Shinichi mengerjap ketika merasakan gerakan-gerakan kecil dibawah telapak tangannya.

"Terasa?" tanya Shiho.

"Hooo... Ya ampun... Sepertinya berputar-putar... Apa dia salto di dalam?"

Shiho terkekeh, "Entahlah, aku kan tidak bisa menempelkan telinga ke perutku sendiri. Maukah kau mendengarnya untukku?"

Shinichi sangat senang, "Tentu saja," ia pun berlutut di depan Shiho untuk menempelkan telinga ke perut besarnya.

"Apa lebih jelas?" tanya Shiho.

"Hooo kuharap dia tidak main bola di dalam... Kalau main bola berarti dia laki-laki, aku kan sudah membelikannya gelang... Mungkin besok kita harus USG 4 dimensi supaya jenis kelaminnya bisa kelihatan lebih jelas..."

Sementara Shinichi asik menikmati pergerakan si jabang bayi sambil terus mengoceh, pikiran Shiho melayang ke tempat lain. Tangannya bergerak menyentuh kepala Shinichi dan membelai rambutnya dengan lembut. Matanya berkaca-kaca penuh pancaran kasih sayang. Ia teringat, pernah di dalam hidupnya mungkin bertahun-tahun yang lalu, ia memimpikan hal seperti ini. Hanya saja dalam situasi yang diharapkan lebih baik.

.

.

.

.

.

Memasuki bulan ke sembilan, Shinichi kembali tidur di sofa kamar Shiho untuk berjaga-jaga. Sebuah tas yang berisi baju serta perlengkapan bayi sudah disiapkan dan ditaruh di bagasi mobil sejak jauh-jauh hari. Semakin dekat akhir bulan ke sembilan, tidur Shinichi semakin tidak tenang. Setiap beberapa waktu matanya melirik Shiho. Hingga akhirnya saat itu benar-benar tiba. Shiho terbangun kesakitan dan memanggil Shinichi. Shinichi dengan sigap langsung menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit.

Sampai di rumah sakit, Shiho masih harus menderita sepuluh jam lagi untuk menunggu pembukaan. Melihat kesakitan Shiho, Shinichi bersumpah bersedia memberikan apa saja untuk mengurangi dan menghilangkan deritanya. Ia benar-benar tidak tega. Shinichi berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Shiho nyaman, memijat kakinya, pinggang dan punggungnya. Ia juga memeluk Shiho dan membiarkan bahunya dicakar-cakar kuku Shiho hingga perih.

Puncaknya adalah ketika proses persalinan normal berlangsung. Rasa malu dan sungkan sebagai suami-istri di atas kertas sudah terlupakan oleh keadaan darurat. Shinichi mendampingi dan menggenggam tangan Shiho. Setiap detiknya selama proses mengejan, ia menguatkan Shiho. Duh ampun rasanya. Shinichi mengenal Shiho sudah lama dan tahu betapa galak dan kuatnya Shiho sebagai wanita. Namun ketika pertahanan Shiho runtuh seperti ini, dadanya menggembung oleh perasaan sayang teramat kuat. Ia rela rasanya melakukan apa saja demi melindungi wanita ini dan bayinya.

Ketika tangis bayi terdengar, Shinichi leganya bukan main. Shinichi yang menggendong bayi perempuan itu untuk pertama kalinya setelah dokter. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Karena kelelahan Shiho kehilangan kesadarannya sehingga harus cepat ditangani lebih lanjut. Bayi itu akhirnya dibawa ke ruang khusus bayi sebelum Shiho sempat melihatnya.

Keesokan harinya Shinichi datang ke rumah sakit seraya membawa seikat bunga lili putih kesukaan Shiho, sembari bersenandung dalam hati. Suasana hatinya sedang bagus mengingat kini ia punya mainan baru di rumah. Namun ia tertegun ketika telah sampai di depan pintu kamar Shiho. Dua perawat tengah berbisik-bisik dan salah satu dari mereka menggendong bayi Shiho.

"Permisi. Apa yang terjadi?" tanya Shinichi.

"Tuan Kudo?" tanya salah seorang perawat.

"Ya benar," sahut Shinichi.

"Begini Tuan, istri Anda..." perawat tersebut mencoba menjelaskan.

"Ada apa dengan istri saya? Apakah terjadi sesuatu?" Shinichi tampak cemas.

"Tidak tidak. Kondisinya baik-baik saja. Tapi, ini sudah waktunya Nyonya Kudo menyusui bayinya, namun beliau menolak menggendongnya..."

Shinichi terhenyak, ia mengerti perasaan Shiho, tapi ia tidak dapat membiarkan hal ini terjadi.

"Biar saya yang memberikannya," ia menyerahkan bunga lili kepada perawat dan ganti meraih bayi mungil itu dalam dekapannya.

Sambil menggendong bayi perempuan itu, Shinichi memasuki kamar. Ia menemukan Shiho tengah duduk di ranjangnya, memeluk lutut seraya menatap jendela dengan pandangan kosong.

"Shiho..." panggil Shinichi.

"Jangan bawa dia kemari!" bentak Shiho, "Aku tak mau melihatnya,"

Mendengar suara tinggi Shiho, bayi itu mulai menangis. Shinichi mendekapnya dan dengan langkah tegas ia menghadapi Shiho.

Shiho memejamkan mata seraya menutup telinga dengan kedua tangannya.

"Bayi ini putrimu, Shiho," kata Shinichi tajam.

"Aku tidak mau! Bawa dia pergi!"

Dengan satu tangan, Shinichi meraih pergelangan tangan Shiho, berusaha membuat Shiho membuka mata, "Kau lihat dulu dia, Shiho!"

Shiho menggeleng, dalam benaknya terbayang bayi itu berambut perak.

"Dia sama sekali tidak mirip dengan pria itu!" seru Shinichi.

"Aku tidak mau! Jangan paksa aku!"

"Dia cantik, seratus persen mirip denganmu,"

Shiho masih menggeleng, bersikeras bertahan.

Shinichi terpaksa harus bersikap lebih tegas lagi, ia menyentak tangan Shiho, memaksanya membuka mata, "Lihat dulu!"

"Aku takut..." Shiho gemetaran.

"Percaya padaku Shiho... Lihatlah dia dulu..."

Lambat-lambat sekali Shiho membuka salah satu ekor matanya untuk mengintip. Mahkluk mungil itu ada di tangan Shinichi.

"Dia sungguh cantik..." bisik Shinichi.

Ketika tidak menemukan sesuatu berwarna perak, mata Shiho membuka lebih besar. Shinichi mencondongkan bayi itu lebih dekat pada Shiho namun tetap berjaga-jaga kalau-kalau wanita itu mendadak ngamuk.

Shiho mengerjap, yang dikatakan Shinichi benar. Rambut tipis bayi itu bukan berwarna perak, melainkan kemerahan seperti dirinya. Wajahnya juga persis dengan wajahnya sendiri sewaktu masih bayi. Ragu-ragu Shiho mengulurkan tangannya.

"Ayo sentuh dia, tidak apa-apa..." pinta Shinichi.

Awalnya Shiho mengulurkan telunjuknya untuk menyentuh pipi si bayi, halus sekali. Lalu harumnya, Shiho suka harumnya, membuat hatinya terasa hangat. Hatinya pun luluh. Akhirnya ia bersedia menggendong bayi itu sepenuhnya.

"Kawaii kan..."

Airmata Shiho mengalir ketika ia mendekap bayinya. Berada dalam pelukan ibunya, perlahan-lahan tangis bayi itu mereda. Shinichi memeluk keduanya.

"Gomene..." Isak Shiho.

Shinichi mengusap-usap punggung istrinya, tidak mempermasalahkan, "Semuanya baik-baik saja Shiho... Segalanya baik-baik saja..."

Shinichi akhirnya memberi nama bayi itu Ai. Kudo Ai. Sehubungan wajahnya mirip Shiho, ia memberikan nama Ai karena teringat versi Ai Haibara. Namun kali ini Shinichi tidak memilih kata Ai dari 'kesedihan', ia memilih kata Ai dari 'cinta.'

.

.

.

.

.

Enam tahun kemudian...

Shinichi dan Shiho terus melanjutkan hidup. Shinichi membuka agensi detektifnya dan sering membantu kepolisian setempat, sementara Shiho bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit. Ai tumbuh dengan sehat dan ceria. Ia juga sangat pintar. Ia menyukai matematika, sains dan misteri. Tentu saja semuanya hasil pengaruh dan didikan Shinichi.

Suatu malam sedang ada badai salju dan petir. Namun yang mengagetkan Shinichi dan Shiho bukanlah gunturnya, melainkan tangisan Ai.

"Huaaaa!" Ai duduk menangis di depan kamar Shinichi dan Shiho.

Shinichi dan Shiho langsung bangun dan keluar dari kamar mereka. Mereka menemukan gadis kecil itu sedang duduk di lantai sambil merajuk.

"Ada apa Ai-Chan?" tanya Shinichi menghampiri gadis kecilnya.

"Apa Otosan dan Okasan bertengkar?" tanya Ai polos.

"Eh?" Shinichi dan Shiho saling bertukar pandang bingung.

"Kami tidak bertengkar," sahut Shinichi.

"Kenapa Ai berpikir seperti itu?" tanya Shiho.

"Ai takut petir, Ai mau tidur bersama Otosan dan Okasan malam ini tapi... Tapi... Tapi kenapa kalian tidurnya terpisah? Papa Mama teman Ai semuanya tidur satu kamar... Otosan dan Okasan benar tidak bertengkar kan?" isak Ai.

"Benar kami tidak bertengkar kok," kata Shinichi kemudian ia meraih Ai dalam gendongannya, "Baiklah kalau kau mau tidur bersama Otosan dan Okasan," ujarnya sambil berjalan ke kamar.

"Shinichi?" Shiho memandangnya.

Shinichi mengedipkan sebelah matanya pada Shiho.

Shiho menghela napas.

"Okasan?" Ai mengintip ibunya dari balik bahu Shinichi.

"Hai Hai..." Shiho pun menyusul ke kamar.

Mereka bertiga pun tidur bersama.

Sejak saat itu Shinichi dan Shiho memutuskan tidur di satu kamar.

"Otosan lihat! Bagus tidak?" tanya Ai.

Sore itu Ai, Conan dan Shinichi sedang bermain salju di depan rumah. Ai baru saja membuat boneka salju berbentuk kelinci dan memperlihatkannya pada Shinichi.

Shinichi melongo melihat hasil karya Ai, teringat Shiho juga pernah membuat bentuk seperti itu, "Sugoiii... Bagus sekali! Kau benar-benar mewarisi jiwa seni Okasan!" puji Shinichi seraya menepuk lunak kepala putrinya.

Ai cekikikan.

Conan menjilati boneka kelinci salju buatan Ai.

"Hai hai sudah cukup bermainnya!" seru Shiho dari teras rumah, "Aku sudah membuatkan kue kering untuk kalian!"

"Asiiikk!" Ai memekik senang seraya berlari ke teras rumah. Conan dan Shinichi mengikutinya.

Ketika Ai ingin mengambil kue dengan tangan kirinya, Shiho mengernyit. Ia mencegah seraya menangkap tangan Ai.

"Ai-Chan! Bukankah sudah Okasan bilang tidak boleh pakai tangan kiri? Gunakan tangan kananmu," Shiho mengingatkan putrinya tajam.

Ai mengerut melihat tatapan ibunya, "Gomene Okasan. Ai lupa,"

"Kenapa selalu lupa? Okasan sudah sering mengingatkan..."

"Sudahlah Shiho," Shinichi menengahi seraya merangkul Ai, "Dia masih kecil, wajar saja kalau lupa,"

"Otosan..." Ai menatap ayahnya.

Shinichi berlutut menghadapi putrinya, "Okasan benar Ai-Chan. Kita orang Jepang harus menggunakan tangan kanan, tidak sopan kalau pakai tangan kiri, oke?"

"Oke," Ai mengangguk.

"Lagipula Ai-Chan kan belum cuci tangan, masa mau langsung makan kue?" Shinichi menggendongnya, "Kita cuci tangan dulu ya..."

Shiho mendesah seraya menyentuh keningnya.

"Putri Cinderella akhirnya menikah dengan pangeran dan mereka bahagia selamanya," ucap Shinichi seraya menutup buku dongengnya. Namun ia terkejut saat menoleh dan Ai masih belum tidur, "Aree... Kenapa Ai belum tidur? Ceritanya tidak bagus ya?"

"Otosan..."

"Nani?"

"Okasan tidak sayang Ai ya?" tanya Ai.

"Kenapa Ai tanya begitu?"

"Ai tidak tahu salah apa, tapi seringkali Okasan suka marah mendadak,"

Dalam hati Shinichi mengakui hal itu, Shiho suka lepas kendali jika menemukan sedikit saja kemiripan Ai dengan Gin.

"Teman-teman Ai di sekolah pernah dimarahi Mamanya gak?" tanya Shinichi.

"Pernah sih,"

Shinichi tersenyum, "Nah kan. Semua pasti pernah dimarahi mamanya. Tapi semuanya marah demi kebaikan anak-anaknya. Begitu juga Okasan,"

"Benar begitu?"

"Apa Okasan pernah memukul Ai?"

"Tidak," Ai menggeleng.

"Okasan setiap pagi membangunkan Ai, mengurus Ai sekolah, membuat masakan kesukaan Ai dan menyiapkan bekal bento yang cantik. Masa Okasan begitu tidak sayang Ai?"

"Hai..."

"Pokoknya Otosan dan Okasan sama-sama sayang Ai. Oke?"

"Oke,"

"Sekarang tidur ya," Shinichi bangkit seraya menyelimuti Ai.

"I love you Daddy" ucap Ai sebelum memejamkan matanya.

"I love you too Dear. Jangan cepat besar ya," Shinichi mengecup kening putrinya sebelum keluar dari kamar.

Sekarang tinggal mengurus yang besar... batin Shinichi seraya memasuki kamarnya sendiri dan menemukan Shiho berdiri seraya bersedekap menatap jendela.

"Ai sudah tidur?" tanya Shiho.

"Eh, baru saja," Shinichi menghampirinya.

"Aku tahu kau mau menyalahkan aku..."

"Shiho, aku tidak..."

"Kau lihat sendiri, dia semakin mirip Gin, dia kidal..." Shiho menggigit bibirnya.

Shinichi menyentuh bahu Shiho, "Shiho... Dia masih anak-anak. Normal dan wajar kalau anak-anak masih tidak tahu kanan dan kiri. Atau anggaplah dia kidal sekalipun, itu tidak ada hubungannya dengan keturunan. Masih ada kemungkinan besar dia anak Furuya,"

"Entahlah," suara Shiho bergetar, "Aku seringkali merasa terjebak. Aku menyayangi Ai dan betapa aku ingin mengakrabkan diriku seperti dia dekat denganmu... Tapi... Tapi jika aku mengingat hal itu..."

"Hai Hai Shiho..." Shinichi memeluk Shiho dari belakang, "Aku mengerti..."

"Aku seorang ibu yang buruk..."

"Sama sekali tidak... Kau ibu yang hebat..."

"Aku harap Ai tidak membenciku,"

"Dia menyayangimu Shiho... Ai menyayangimu..."

.

.

.

.

.

Malam itu terdapat badai salju. Shiho entah sudah berapa kali mondar-mandir di ruang tamu menunggu kepulangan Shinichi. Suaminya memang sudah menelpon untuk memberitahu ia akan pulang telat dan tidak bisa makan malam bersama. Ada sebuah kasus anak hilang. Shinichi dan kepolisian setempat tengah mengusutnya.

"Okasan," mendadak Ai memanggil.

Shiho berjongkok di hadapan putrinya, "Nani?"

"Otosan kapan pulang ya?" tanyanya.

Shiho melihat jam dinding. Sudah jam 9 malam dan Shinichi belum mengabari kembali. Shiho juga sudah berusaha menghubungi handphonenya namun tidak diangkat.

"Otosan masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan, mungkin pulang agak malam. Ada apa Ai-Chan? Kau mau apa dari Otosan?"

"Ano... Otosan sudah janji mau membacakan dongeng Putri Tidur untuk Ai malam ini..."

"Kalau begitu Okasan yang bacakan ya. Besok Otosan akan bacakan dongeng yang lain,"

"Uhm," Ai mengangguk.

"Iko" Shiho menggandeng Ai masuk ke kamar.

Tapi setelah Shiho selesai menidurkan Ai, Shinichi juga belum pulang. Shiho mencoba menghubunginya lagi namun belum ada jawaban. Ia mulai cemas. Ia berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Shinichi.

Kemudian setengah jam sebelum tengah malam, Shiho mendengar pintu rumahnya digedor seseorang.

"Nyonya Kudo! Ini Henry!" seru seseorang dari luar.

Shiho buru-buru membuka pintu dan melihat Shinichi dipapah oleh Henry, salah seorang polisi setempat.

"Apa yang terjadi?" tanya Shiho seraya menghampiri Shinichi yang basah kuyup.

"Tuan Kudo mencari anak yang hilang dalam badai. Anak itu berhasil ditemukan dan kini dirawat di rumah sakit namun Tuan Kudo bersikeras untuk pulang," jelas Henry.

"Tolong bawa dia ke kamar!" pinta Shiho.

Henry dan Shiho membawa Shinichi ke kamar dan membaringkannya di tempat tidur.

"Apa Anda butuh bantuan Mam?" tanya Henry.

"Aku dokter, aku bisa menanganinya, terima kasih,"

Henry pun pamit undur diri.

Tubuh Shinichi basah, dingin dan menggigil. Shiho menaikkan suhu penghangat ruangan. Ia membuka seluruh pakaian Shinichi yang basah, mengompres tubuhnya dengan handuk hangat dan mengeringkannya. Shiho membungkus tubuh Shinichi dengan selimut tebal tiga lapis lalu mengganti sprei yang basah dengan yang kering.

Shiho mengambil wine dan berusaha meminumkannya pada Shinichi. Namun karena Shinichi menggigil dan giginya terkatup rapat, sulit untuk meminumkannya. Shiho akhirnya meminum winenya dulu menahannya di mulut dan meminumkannya ke mulut Shinichi. Ia melakukannya hingga tiga kali.

"Shinichi..." Shiho menggenggam tangan Shinichi yang dingin. Pria itu masih menggigil, winenya belum bekerja.

Shiho berpikir keras seraya memandang berkeliling. Apalagi? Apalagi yang harus dilakukannya untuk membuat Shinichi hangat?

Shiho berdiri dan membuka seluruh pakaiannya sendiri. Ia menyusup masuk dalam selimut Shinichi seraya memeluknya erat-erat. Berharap panas tubuhnya tersalurkan pada tubuh Shinichi.

"Bertahanlah Shinichi..." pinta Shiho.

Shiho akhirnya ketiduran. Dua jam kemudian lewat tengah malam, ia mendengar Shinichi memanggil namanya.

"Shiho..." panggil Shinichi seraya mengelus pipi Shiho dengan punggung telunjuknya.

"Uhm..." Shiho akhirnya membuka matanya dan mengerjap menatap Shinichi, "Shinichi! Kau baik-baik saja?"

"Ah... Sudah lebih baik," sahut Shinichi.

"Baka! Apa sih yang kau lakukan di luar sana! Kau bisa hipotermia!" oceh Shiho.

"Gomene... Tapi aku juga tak mungkin membiarkan anak itu sendiri setelah aku tahu lokasi hilangnya..."

"Baka! Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu..." Shiho menggigit bibirnya menahan tangis.

"Maaf... Maaf... Karena itulah aku bersikeras pada Henry untuk pulang..."

"Kau bisa mati di jalan! Ditangani di rumah sakit dulu kan bisa, Henry dapat mengabariku setelah itu... Ya ampun..." Shiho akhirnya menangis.

Shinichi memeluknya, "Gomene... Hontou ni gomene..."

Kemudian Shinichi menyadari posisinya. Ia dan Shiho terbungkus di bawah selimut tanpa mengenakan apa-apa. Kulit telanjang mereka bersentuhan secara langsung.

"Ngomong-ngomong Shiho..."

"Uhm?"

Shinichi menunjuk keadaan mereka dengan lirikan matanya.

"Eh?!" Shiho akhirnya tersadar dan merasa malu, buru-buru ia mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya dan berusaha bangkit.

Namun Shinichi mencegahnya. Ia menarik Shiho kembali dan membaringkannya di tempat tidur, di bawah tubuhnya.

"Shin... Shinichi..." Shiho menatapnya salah tingkah.

Shinichi menangkup wajah Shiho, "Kau cantik Shiho..." bisiknya, kemudian ia mengulum bibir Shiho dengan bibirnya. Shiho merespon dan menikmati sentuhan itu, namun tiba-tiba saja bayangan buruk peristiwa itu kembali menghantui benaknya. Seketika Shiho menegang dan mendorong dada Shinichi.

"Pergi kau bajingan! Jangan sentuh aku!" Shiho menutup wajahnya seraya menangis.

Shinichi kaget, tapi ia mengerti. Enam tahun berlalu namun kejadian buruk itu masih melekat dalam ingatan Shiho. Dengan lembut Shinichi menyentuh bahu Shiho sambil memanggil perlahan, "Shiho... Buka matamu Shiho..." ia meraih tangan Shiho, menurunkannya agar wanita itu menatapnya, "Bukalah matamu dan lihat aku... Aku Shinichi..."

Shiho membuka matanya yang basah, "Shinichi..."

"Ya ini aku Shinichi... Aku takkan menyakitimu..." Shinichi ingin mencium Shiho lagi, namun wanita itu menghindar.

"Aku tak bisa..." isak Shiho, "Maaf tapi aku tak bisa... Aku kotor... Aku tidak mau mengotorimu Shinichi..."

Shinichi meraih tangan Shiho, mengecupnya dan menempelkannya di pipi, "Kau sama sekali tidak kotor di mataku Shiho. Tidak sama sekali..."

Shinichi kembali meraih bibir Shiho dengan bibirnya, mengulumnya dengan sangat lembut sekali. Perlahan Shinichi turun mengecup leher Shiho, turun lagi ke dadanya seraya meremas payudaranya dengan lembut. Shiho mendesah, tubuhnya melengkung sebagai tanggapan atas sentuhan Shinichi. Tangan Shinichi menjelajahi tubuh Shiho dengan penuh pemujaan, berharap sentuhannya dapat menyembuhkan luka-luka trauma Shiho.

"Shinichi..." Shiho mendesahkan namanya ketika Shinichi mengulum puncak payudaranya.

Hal itu membuat Shinichi semakin berani mencumbunya lebih dalam. Pagutan ciuman mereka lebih intim. Ketika Shinichi membelai kewanitaannya, Shiho mengerang seraya meremas rambut Shinichi, menikmati sensasinya. Shiho terisak oleh rasa haru akan kasih sayang yang dihujani Shinichi kepadanya. Ia menggeliat mendamba berharap tenggelam bersama tubuh pria ini. Shinichi membacanya sebagai kesiapan Shiho, bagian bawahnya juga telah menghangat.

Shinichi meraih paha Shiho, membuka jalan lebih lebar, lalu ia memasukinya. Mereka bergerak berirama. Shinichi mengerang seraya meremas rambut Shiho. Ia tak pernah tahu Shiho ternyata begitu memabukkan. Ia seakan pernah merasakan sensasi ini entah dimana ia tak ingat. Mungkin karena ia telah tinggal seatap bersama Shiho selama enam tahun dan sadar perlahan ia mendambakan hal seperti ini, sehingga membuatnya tampak familiar. Bukan dengan Ran bukan. Shinichi tak pernah menyentuh Ran karena Ran bersikeras mempertahankan prinsipnya untuk menyerahkan keperawanannya di malam pernikahan mereka.

Shiho mencengkram bahu Shinichi ketika bagian tubuh pria itu memasukinya. Ia rasanya ingin meleleh dan melayang. Ia seakan pernah merasakan hal ini tapi tidak tahu di mana, mungkin hanya sebatas di angan-angannya. Bertahun-tahun yang lalu sebelum ia berkencan dengan Rei Furuya. Atau mungkin ketika ia tengah bercinta dengan Rei Furuya namun ia membayangkan Shinichi. Sejak tubuhnya masih Ai Haibara, Shiho telah memendam perasaan tersembunyi itu rapat-rapat. Ia mendambakan Shinichi.

Shiho merapatkan pinggulnya dan menggunakan kedua kakinya untuk memeluk pinggang Shinichi agar aksesnya lebih dalam. Shinichi mengerang seraya menyebut nama Shiho. Shinichi memperdalam dan mempercepat gerakannya. Ia dapat merasakan getaran tubuh Shiho di bawahnya ketika wanita itu berulang kali mencapai klimaksnya. Tak lama kemudian tubuh mereka menggelinjang hebat ketika mencapai puncak klimaks secara bersamaan.

"Aku mencintaimu..." kata Shiho dengan mata mengantuk, "Aku mencintaimu Shinichi..." kemudian ia tertidur.

Shinichi juga jatuh tertidur.

"Uhm..." Shinichi dan Shiho bergumam ketika mereka terbangun ke esokan paginya.

Secara halus, Shiho melepaskan pelukan Shinichi dari pinggangnya untuk bangkit dari tempat tidur. Tapi Shinichi malah menarik balik pinggangnya, tidak membiarkan dirinya pergi.

"Eh? Shinichi..." Shiho salah tingkah.

"Mau kemana?" tanya Shinichi masih ngantuk.

"Aku mau membangunkan Ai,"

Shinichi berdecak, "Masih pagi. Lagipula ini hari minggu, biarkan sesekali dia bangun siang. Aku lebih membutuhkanmu di sini," ia merajuk manja.

"Takuuu..."

Shinichi terkekeh, "Ngomong-ngomong..."

"Uhm?"

"Apa yang kau katakan semalam sebelum tidur?"

Shiho mengernyit pura-pura bodoh, "Memang aku ada berkata apa?"

Shinichi nyengir, "Aku dengar kau bilang kau mencintaiku..."

"Masa?"

"Ah iya, aku ingat betul kok,"

Shiho terdiam canggung.

"Ne..."

"Nani?"

"Sejak kapan kau mencintaiku?"

Shiho bergeming.

"Selama enam tahun ini?" tebak Shinichi.

"Lebih dari itu," Shiho akhirnya mengakuinya.

"Eh?" Shinichi mengerjap.

Shiho bangun duduk seraya menarik selimut untuk menutupi tubuhnya hingga sebatas dada. Ia memunggungi Shinichi ketika akhirnya berkata jujur.

"Shiho?" Shinichi bingung dengan sikapnya yang misterius.

"Aku sudah menyukaimu sejak masih Ai Haibara,"

"Nani?" Shinichi terkesiap, "Aku tidak tahu, kau tak pernah bilang,"

"Bagaimana mungkin aku mengatakannya? Kau sangat mencintai Ran-San. Aku menghormati hubungan kalian berdua. Aku tidak ingin membuat suasana menjadi tidak enak diantara kita bertiga, kalau aku mengatakan hal sebenarnya padamu,"

"Lalu Furuya-San?"

"Dia tahu. Dia tahu aku mencintaimu. Tapi dia bilang tidak masalah. Rei berkata akan berusaha membuatku mencintainya. Dia melakukan segala cara untuk membuatku tersentuh. Dia benar-benar baik padaku, begitu tulus..." mata Shiho berkaca-kaca mengenang hal itu, "Sementara kau berkencan dengan Ran-San. Lama-lama aku sadar aku juga harus melanjutkan hidupku. Akhirnya aku memutuskan untuk menerima Rei, untuk berkencan dengannya. Tapi... Aku kerapkali merasa bersalah padanya," Shiho memejamkan matanya, "Bertahun-tahun kami berpacaran, aku tetap tidak mampu mencintainya. Bahkan mungkin disaat bercinta dengannya, aku membayangkan dirimu... Kematiannya membuat rasa bersalahku semakin memuncak..." Shiho terisak, "Hingga kepergiaannya, aku tetap tidak bisa mencintainya..."

"Shiho..."

"Entah apakah Rei akan memaafkan aku..." Shiho menutup wajah dengan kedua tangannya, "Ketika kau memeluk perutku yang besar sewaktu mengandung Ai, betapa aku sadar aku memang mendambakan hal itu dahulu sekali. Menikah denganmu dan memiliki anak tapi... Tapi bukan dengan cara seperti ini... Tidak dengan kematian Rei dan Ran-San..."

Shinichi memeluk Shiho dari belakang, "Kita tidak dapat mengubah masa lalu Shiho, tak perlu disesali... Aku yakin Furuya-San juga akan mengerti..."

Shiho menyentuh tangan Shinichi yang memeluknya.

"Aku berterima kasih karena kau mencintaiku, Shiho. Aku tidak tahu apakah aku mencintaimu, tapi kau adalah wanita yang paling kuhormati di dunia ini...

"Shinichi..."

"Selama enam tahun ini kita hidup bahagia. Terutama jika mengingat proses persalinanmu. Aku merekamnya dengan sangat baik dalam ingatanku. Bahkan jika Furuya-San bangkit dari kuburnya untuk mengambilmu dan Ai kembali, aku takkan bersedia menyerahkan kalian," Shinichi mengecup kepala Shiho.

"Arigatou Shinichi. Aku tidak tahu apa jadinya diriku enam tahun ini tanpa dirimu,"

"Jadi..."

"Uhm?"

"Boleh aku turunkan selimutnya sekarang?" tanya Shinichi penuh harap.

"Echi," ejek Shiho.

"Sudah saatnya kita memberi adik untuk Ai," ujar Shinichi seraya menarik Shiho kembali dalam selimut.

Mereka bercinta lagi pagi itu.

.

.

.

.

.

"Nani? Kau lembur lagi?" gerutu Shiho di telpon.

"Sebentar saja kok, tidak akan lama," kata Shinichi di seberang sana.

"Takuuu..."

"Kau mau kubelikan apa? Siapa tahu ngidam sesuatu," tawar Shinichi.

Shiho mengelus perutnya yang masih belum begitu besar. Ia tengah hamil tiga bulan, "Aku sebenarnya mau takoyaki, tapi kan di sini tidak ada,"

Shinichi terkekeh.

"Tak usah beli apa-apa, cepat pulang saja,"

"Oke sampai nanti,"

"Sampai nanti," Shiho memutus telponnya seraya tersenyum cerah.

Hatinya tengah berbunga-bunga. Shiho tidak ingat kapan pernah merasa seperti ini. Dengan Rei dia merasa tenang tentu, tapi tidak pernah sampai senyum-senyum sendiri sepanjang waktu. Shiho mengelus perutnya penuh sayang, kehamilan keduanya kali ini sangat berbeda. Anak ini anaknya dengan Shinichi. Ia sama sekali tidak merasa tertekan.

"Ayo bereskan barang-barangnya Ai-Chan," pinta Shiho, "Sudah waktunya makan malam,"

"Haii..." sahut Ai patuh seraya merapikan buku gambar dan pensil warnanya.

"Jangan lupa Conan dibawa masuk, dia harus minum susu,"

"Oke," sahut Ai lagi seraya membuka pintu depan untuk memanggil hush puppies itu. Tapi beberapa detik kemudian, malah terdengar suara teriakan ketakutannya.

"Ai-Chan!" Shiho segera menuju pintu keluar, "Ada apa?"

"Okasan... Conan..." Ai menunjuk anjing hush puppies yang sudah terbujur kaku. Lidahnya terjulur keluar, matanya melotot. Ia bukan mati karena sakit, melainkan sengaja dicekik.

Shiho memandang berkeliling, inderanya menjadi waspada. Kemudian dari ekor matanya ia menangkap gerakan bayangan hitam di kejauhan.

"Ayo masuk Ai!" Shiho menarik putrinya masuk ke rumah seraya menutup pintu rapat-rapat.

"Tapi Conan..."

"Sshh!" Shiho menutup mulut putrinya, memintanya diam. Buru-buru ia memastikan semua jendela dan gorden rapat. Lalu ia mematikan semua lampu. Kemudian ia menelpon Shinichi.

"Ada apa Shiho? Aku kan sudah bilang..."

"Ada seseorang disini!" desis Shiho.

"Nani?"

"Conan... Conan mati dicekik... Ada yang mengawasi rumah ini..."

"Bersembunyilah! Aku akan sampai 10 menit lagi!" Shinichi pun bergegas pulang.

Shiho membawa Ai ke kamar atas dan mendudukkannya dalam lemari pakaian.

"Diamlah di sini Ai-Chan!" Shiho berbisik memerintahkan putrinya, "Jangan bersuara sedikitpun dan apapun yang terjadi jangan pernah keluar dari sini sampai keadaannya aman!"

"Okasan... Ai takut..." Ai merajuk.

Shiho memeluknya, "Okasan sayang padamu,"

"Okasan..."

Shiho melepas putrinya dan menutup pintu lemari. Ia sendiri sebenarnya sangat takut, tapi ia tahu harus melindungi putrinya dan bayi dalam kandungannya. Ia harus menguatkan diri. Shiho memejamkan matanya sesaat, mungkin inilah kekuatan seorang ibu.

Shiho membuka brankas di lemari samping tempat tidur. Ia tahu Shinichi menyimpan sebuah pistol di sana. Shiho mengambilnya, mengisi pelurunya dan mengkokangnya. Ia kembali menuruni ruang keluarga. Shiho menyandarkan punggungnya di dinding di sisi jendela. Sambil mengangkat pistolnya dengan waspada, ia berusaha mengintip dari celah gorden.

Syut...

Shiho terkesiap, ia melihat bayangan seseorang berlari di luar rumah.

Duar! Kemudian terdengar suara tembakan.

Siapa? Shiho bertanya-tanya dalam hati siapa yang menembak dan siapa yang tertembak. Lalu ia terpikirkan Shinichi. Semoga bukan Shinichi.

Shiho mengintip lagi dari gorden, keadaan di luar sepi. Sambil berdoa, ia mengumpulkan keberaniannya untuk membuka pintu. Memeriksa kalau-kalau Shinichi sudah pulang. Kemudian Shiho melihat orang itu berlari di sisi samping rumah.

Duar! Terdengar suara tembakan lagi.

Shiho mengejar sosok itu, ia sendiri menembakkan pistolnya, namun meleset.

"Tahan Nyonya!" pria itu mengangkat kedua tangannya.

Shiho terperangah, "Henry?"

"Shiho!" Shinichi muncul dari belakangnya.

"Shinichi," Shiho tampak lega.

"Apa yang terjadi?" Shinichi bingung melihat Shiho dan Henry.

"Siapa kau sebenarnya Henry?" tanya Shiho tajam.

Henry akhirnya membongkar identitasnya dan menunjukkan lencana FBI nya, "Henry Johanson agen FBI. Aku diperintahkan Akai Shuichi untuk menjaga kalian. Itulah yang kulakukan selama enam tahun ini, aku menyamar menjadi polisi setempat,"

"Lalu apa yang kau lakukan di sini malam-malam begini?" tanya Shiho lagi.

Henry menunjuk seorang mayat pria dibawahnya, "Dialah yang memata-matai rumah Anda dan membunuh anjing Anda. Dia juga telah mengawasi putri Anda di sekolah selama beberapa hari ini. Aku berusaha menaklukannya untuk menanyainya, tapi dia memiliki senjata. Aku terpaksa menembak mati dirinya,"

"Bagaimana aku tahu kau mengatakan sebenarnya?" Shiho masih sulit percaya.

Namun Shinichi meraih tangan Shiho untuk menurunkan pistolnya, "Ada banyak kesempatan jika Henry ingin menyakitiku Shiho. Dia juga bisa menyakitimu ketika aku tidak berdaya karena hipotermia,"

Shiho akhirnya menurunkan pistolnya.

Shinichi menunduk untuk memeriksa mayat tersebut, "Apa kau mengenalnya Shiho?"

Shiho mendekati mayat itu dan melihat wajahnya, "Aku tidak tahu," jawabnya seraya menggeleng.

"Aku melihat dia mengendap-ngendap ke rumah, lalu anjing Anda menggigit celananya. Tampaknya karena merasa terganggu ia mencekik anjing itu. Aku memergokinya dan dia kabur," jelas Henry.

"Ada kemungkinan dia orang Gin," ujar Shinichi.

"Kita harus menghubungi Akai Shuichi, tampaknya Norwegia tak lagi aman untuk kalian," usul Henry.

Henry memanggil tim pembersih mayat kepercayaan FBI untuk mengangkut mayat penyusup itu dan menghilangkan jejak-jejaknya sehingga keberadaannya di desa itu tidak akan pernah diketahui. Henry, Shinichi dan Shiho akhirnya berkumpul di ruang tamu setelah Ai berhasil ditidurkan. Mereka berunding dengan Akai Shuichi melalui video call.

"Gin telah merekrut beberapa ilmuwan dan membangun markas di Amerika," suara Akai Shuichi memberitahu.

Shiho terkesiap, "Apa dia dan Vermouth masih berambisi untuk abadi?" tanyanya ketus.

"Aku mendapat petunjuk Gin sekarat," kata Akai.

"Nani?" Shiho mengernyit, ia memandang Shinichi dan menyadari pria itu sejak tadi tidak bereaksi, "Kau sudah tahu?" tanya Shiho.

"Eh," Shinichi mengangguk, "Aku dan Akai-San selalu update berita,"

"Tapi kau tidak tahu Henry ini adalah suruhannya?"

"Aku tidak tahu, tapi ya aku sudah menduganya," sahut Shinichi.

"Aku tak perlu memberitahu Shinichi mengenai Henry, karena dugaanku dia bisa menebaknya sendiri," timpal Akai Shuichi.

"Hmph!" Shiho mendengus, kesal dengan insting detektif diantara suami dan sepupunya, "Jadi bajingan itu sakit apa? Kuharap parah,"

"Jika deduksiku benar, dia kanker hati," sahut Akai, "Dia membutuhkan transplantasi hati. Para ilmuwan yang direkrut bertugas mempertahankan hidupnya, sampai mendapatkan donor hati yang cocok. Gin mencari semua kemungkinan yang ada, belakangan ia mencarimu Shiho, untuk memastikan kalau-kalau kau melahirkan anaknya. Entah bagaimana, dia berhasil menemukan perihal tentang Ai. Dia menginginkan putrimu, hati putrimu tepatnya,"

Shiho mengepalkan kedua tangannya.

"Aku takkan pernah membiarkan dirinya menyentuh Ai," ujar Shinichi dingin dan tajam, "Tidak sehelai rambut pun. Kami semua harus segera pergi dari sini, Norwegia memang sudah tidak aman lagi. Kemana menurutmu tepatnya Akai-San?"

"Yang pasti tidak ke Amerika, markas besar mereka di sana,"

"Inggris?" Shiho mengusulkan kampung halaman ibunya.

"Gin juga pasti akan menebak hal itu," Akai menolak ide Shiho.

"Lalu kemana?"

"Kembalilah ke Jepang,"

"Nani?" Shiho mengernyit, "Kau gila?"

"Tidak, itu masuk akal," potong Shinichi, "Gin kemungkinan besar menebak Inggris sebagai pelarian kita selanjutnya karena merupakan negara kelahiran ibumu, Shiho. Maka ia juga tidak akan pernah menyangka kita berani kembali ke Jepang,"

Akai nyengir, "Benar sekali. Lagipula kini kepolisian Jepang sudah terbuka untuk bekerja sama dengan FBI dan CIA. Orang-orang kita lebih leluasa bergerak, jika kalian ke Inggris, takutnya akan bentrok karena wewenang aturan setempat,"

"Tapi..." Shiho masih takut.

Shinichi merangkulnya, "Semuanya akan baik-baik saja Shiho..."

"Ah," Akai Shuichi mendesah, "Kita akan menyusun rencana bersama begitu kalian kembali ke Jepang. Sudah saatnya menjelaskan pelarian kalian kepada para keluarga,"

"Eh? Kawaiiiii!" Masumi memekik girang ketika melihat keponakannya, Ai.

Shinichi dan Shiho akhirnya tiba di Jepang. Mereka tengah mengunjungi Mary dan Masumi di apartemennya.

"Yoroshiku" sapa Ai girang.

"Duh lucunyaaaa... Namamu siapa?"

"Kudo Ai," sahut Ai.

"Shiho, boleh aku mengajaknya main?" tanya Masumi penuh harap.

"Eh," Shiho mengangguk mengijinkan.

"Ayo!" Masumi mengulurkan tangannya pada Ai.

Ai menyambutnya dan mereka bermain bersama. Sementara Shinichi dan Shiho bercakap-cakap bersama Mary di ruang tamu.

"Gomene Obasan," kata Shiho, "Aku pergi tanpa pamit enam tahun lalu,"

Mary menggeleng, "Aku tak menyalahkanmu Shiho. Aku mengerti posisimu. Lagipula kau pergi bersama Shinichi, jadi aku tidak terlalu khawatir,"

"Terima kasih atas pengertian Obasan, maaf aku banyak merepotkanmu,"

"Tidak tidak. Jadi selama ini kalian kemana?"

"Kami menetap di Norwegia," sahut Shinichi, "Saat itu kepolisian Jepang masih tertutup bekerjasama dengan FBI dan CIA. Karena itu kami memilih untuk bersembunyi sementara ke tempat yang aman,"

"Aku tahu kesulitan itu, Shuichi, Jodie dan Rena Mizunashi sampai susah payah mengumpulkan sejumlah bukti agar dapat bekerjasama dengan kepolisian Jepang. Seharusnya sejak penculikan kalian, polisi Jepang sudah sepatutnya mengambil tindakan. Namun karena takut nama mereka tercoreng, mereka menganggap hal itu sebagai penculikan biasa. Sampai akhirnya mereka kecolongan ketika Vermouth juga kabur. Bukti-bukti yang diberikan cukup mutlak bahwa sisa-sisa anggota Black Organization berusaha membangun organisasi kembali, Jepang tidak dapat selamanya menutup mata. Kasus kalian akhirnya dibuka kembali," jelas Mary.

"Eh," Shinichi mengerti, "Karena itulah kami pulang ke Jepang. Kami juga tak bisa selamanya bersembunyi,"

Mary meraih tangan Shiho, menggenggamnya, "Aku senang kau baik-baik saja, Shiho. Mengingat kondisimu terakhir kali sebelum pergi, aku sempat cemas..."

Shiho membalas genggamannya, "Maaf telah membuatmu cemas. Meski tidak mudah tapi aku baik-baik saja. Semua berkat dukungan Shinichi,"

"Kau tampak sehat, bahkan sepertinya gemukan," Mary mengamati dan menyadari pipi Shiho yang lebih berisi.

"Eh, itu sebenarnya..." wajah Shiho merona.

Shinichi tersenyum, "Shiho sedang mengandung tiga bulan,"

Mata Mary berbinar-binar mendengarnya, "Sungguh berita bagus,"

"Waaaah jadi aku bakal tambah keponakan lagi donk?! Asiiiik..." Celetuk Masumi.

"Otosaaan..." Ai menghampiri Shinichi dan merajuk manja.

"Naniii..." Shinichi mendudukkan gadis kecil itu di pangkuannya.

"Ai ngantuk..." Ai menguap lalu tertidur di dada Shinichi.

"Eh? Dia tidur begitu saja?" Masumi melongo.

"Mungkin karena masih jetlag," sahut Shiho seraya melepas kedua sepatu Ai.

"Baringkan saja dia di kamar, Shinichi," kata Mary seraya berdiri menunjukkan jalan.

"Eh, terima kasih," Shinichi menggendong Ai yang pulas lalu membawanya ke kamar.

"Ai-Chan akrab sekali dengan Shinichi-Kun ya?" kata Masumi.

"Eh," Shiho mengangguk, "Ai lebih dekat pada Shinichi dibandingkan diriku. Sejak dia lahir, Shinichi yang bersemangat mengurusnya. Memandikannya, mengganti popoknya, menyuapi makan hingga membacakan cerita,"

"Gomene Shiho... Tapi apa kau sudah tahu siapa..."

Shiho menggeleng, "Aku tidak tahu,"

"Ai anak yang cerdas tapi masalahnya si brengsek itu dan Furuya juga cerdas, jadi sulit menentukannya..."

"Aku pernah nyaris lepas kendali ketika melihat Ai ingin mengambil sesuatu dengan tangan kirinya..."

"Kidal?"

"Awalnya ku kira begitu, tapi sekarang tidak lagi,"

"Tapi setelah tadi aku bermain dan bercakap-cakap dengannya, dia benar-benar mirip Shinichi-Kun,"

"Wajar saja. Shinichi mendidiknya dari kecil, Ai banyak menirunya,"

"Sepertinya kau tak perlu khawatir Shiho, dengan didikan Shinichi, pasti Ai akan menjadi anak yang hebat,"

"Ah, aku harap begitu,"

"Jadi ceritanya, kau dan Shinichi-Kun sekarang saling mencintai?" tanya Masumi dengan wajah usil.

"N-nani?" wajah Shiho memerah lagi.

"Ayolaaah... Aku menemukanya di catatan sipil. Kalian menandatangani surat nikah diam-diam. Awalnya pasti karena demi melarikan diri bersama. Suami-istri takkan dicurigai. Tebakanku, dari yang awalnya cuma status jadi sungguhan berumah tangga,"

"Dasar detektif! Berhentilah membuat deduksi kehidupan kami," gerutu Shiho

Masumi terkekeh.

.

.

.

.

.

Shinichi dan Shiho menempati sebuah apartemen. Mereka tidak kembali ke kediaman Keluarga Kudo karena situasinya masih belum kondusif. Berita mengenai kepulangan Shinichi ke Jepang juga masih dirahasiakan dari publik. Namun Yusaku dan Yukiko telah mengetahui kepulangan mereka.

"Ada apa?" tanya Shiho setelah melihat Shinichi menutup telepon.

"Otosan dan Okasan sudah di Jepang," Shinichi memberitahu.

"Lalu?"

"Otosan meminta kita semua menemuinya di rumah, suaranya terdengar sangat serius. Aku tidak pernah mendengarnya seperti itu. Begitu dingin,"

Shiho tampak cemas, "Mungkinkah mereka marah?"

Shinichi menatap Shiho.

"Putra mereka satu-satunya melarikan diri, membawa wanita hamil dan mengakui anak yang bukan darah dagingnya. Wajar saja kalau mereka tak bisa menerimanya,"

Shinichi merengkuh kedua bahu Shiho, "Aku akan membuat mereka mengerti. Kau dan Ai adalah hartaku yang paling berharga,"

"Shinichi..." mata Shiho berkaca-kaca.

"Kita akan menghadapinya bersama,"

Shinichi dan Shiho akhirnya menuju rumah Keluarga Kudo. Mereka menitipkan Ai ke rumah Profesor Agasa agar anak itu tidak dapat mendengar pembicaraan kedua orang tuanya. Kini Shinichi dan Shiho tengah duduk di ruang keluarga bersebrangan dengan Yusaku dan Yukiko. Seumur hidup Shinichi, yang tahu orang tuanya sangat ceria dan memiliki toleransi tinggi, ia tidak pernah melihat Yusaku dan Yukiko sedingin itu. Tampaknya kali ini mereka benar-benar marah dan tersinggung. Shiho mau tidak mau mengerut karena tidak enak hati. Sejak dulu ia telah banyak menyusahkan Shinichi dan keluarganya. Bagai mengerti kegalauan yang tengah dihadapi istrinya, Shinichi menggenggam tangan Shiho untuk menguatkannya.

"Jadi akhirnya kalian telah kembali?" Yusaku memulai.

"Eh," sahut Shinichi.

"Kami menemukan informasi di catatan sipil, kalian mendaftarkan pernikahan secara diam-diam," lanjut Yusaku.

"Itu benar," Shinichi mengakui.

"Okasan tidak mengerti, apa yang ada di pikiranmu Shinichi?" tanya Yukiko seraya melipat tangannya dengan angkuh, "Membawa kabur begitu saja wanita yang sedang hamil?"

"Bukan salah Shinichi," Shiho akhirnya berkata, "Akulah yang patut dipersalahkan untuk semua hal ini,"

"Aku sedang berbicara pada putraku Shiho, bukan denganmu," kata Yukiko tajam.

Shiho terdiam, semakin mengerut.

"Shiho istriku! Aku juga menyayangi Ai seperti putriku sendiri!" ujar Shinichi tegas membela Shiho dan Ai.

Yukiko berdiri menghadapi Shinichi seraya berkacak pinggang, "Kau sebut Shiho istrimu?! Apa kau lelaki Shin-Chan? Membawa anak orang dan menikahinya diam-diam?! Mau ditaruh mana muka kami pada keluarga Sera?! Seharusnya kau mengadakan pemberkatan dan resepsi!"

"Eh?" Shinichi dan Shiho mengerjap saling bertukar pandang bingung.

"Takuuuu..." Yukiko melipat tangannya seraya menghentakkan kaki dengan kesal.

Yusaku akhirnya melunak, "Sudahlah Yukiko, sekarang kan mereka sudah pulang. Kita bisa segera mengadakan resepsi,"

"Otosan... Okasan... Kalian?"

"Kau mengambil anak orang dari keluarga lain untuk jadi istrimu. Berani-beraninya kau kawin lari tanpa mengadakan upacara pemberkatan dan resepsi! Benar-benar bikin malu Keluarga Kudo! Bagaimana aku harus berhadapan dengan Mary nanti! Aku ini kan artis terkenal, seharusnya pernikahan putraku diadakan secara besar-besaran!" Yukiko memasang wajah mendamba.

"Y-Yukiko San..." Shiho memanggil.

"Okasan!" Yukiko membetulkan.

"O-Okasan... Aku tidak menginginkan pesta..."

"Tidak bisa!" Yukiko memelototinya, "Kau ilmuwan dan selera fashionmu tinggi. Lihat kau begitu cantik, tentu saja kau harus mengenakan gaun pernikahan. Takuuuu... Aku yakin kalian sama sekali tidak punya foto pernikahan,"

"Memang tidak punya sih," gumam Shinichi.

"Tuh kan! Lalu bagaimana anak-anak kalian tahu kalau orang tuanya pernah menikah?! Aku tidak mau tahu! Minggu depan harus pesta resepsi!" Yukiko ngotot.

"Jangan sekarang-sekarang ini Okasan!" gerutu Shinichi, "Situasinya masih belum aman,"

"Benar kata Shinichi," timpal Yusaku, "Kalau menggelar pesta pernikahan sekarang ini, keberadaan mereka di Jepang akan terekspos,"

Yukiko manyun, "Haduh... Aku harus menunggu lagi..."

Shinichi menghela napas lega, untunglah orang tuanya ternyata belum berubah.

"Baiklah kalau begitu sambil menunggu..." Yukiko menghampiri Shiho, "Shiho-Chan kau masih ilmuwan kan?"

"Eh," Shiho mengangguk.

"Kalau begitu bisa kau buatkan krim anti aging untukku?" Yukiko cekikikan.

"Okasan!"

"Yukiko!"

"Bisa kan Shiho?" pinta Yukiko penuh harap.

"E-Eh... bisa saja..." sahut Shiho.

"Bagus sekali! Oh sama satu lagi, boleh aku pinjam Ai-Chan?"

"Pinjam? Untuk apa?"

"Aku sekarang ada bisnis pakaian anak perempuan dengan temanku. Aku melihat Ai-Chan begitu kawaii dan ingin menggunakannya sebagai model. Pasti lucu! Bajunya bagus-bagus loh!"

"Boleh saja kalau anaknya mau..."

"Dimana dia sekarang?"

"Di rumah Hakase,"

"Ho! Ayo kita kesana!" Yukiko langsung menggandeng Shiho dan mengajaknya ke rumah sebelah. Meninggalkan Shinichi berdua saja dengan Yusaku.

"Pasti tidak mudah," kata Yusaku.

"Eh?" Shinichi kembali menatap ayahnya.

"Selama enam tahun ini,"

"Ya," Shinichi mengakui, "Shiho sempat tidak bersedia menerima Ai. Tapi sekarang sudah baik-baik saja. Masa-masa itu telah terlewati,"

"Kau bahagia?"

"Uhm," Shinichi mengangguk.

"Kau mencintai Shiho?"

"Aku sayang padanya," Shinichi mengakui.

"Itu lebih dari cukup,"

"Otosan, kau tidak marah?"

"Jika itu sudah keputusanmu dan memang membuatmu bahagia, Otosan dan Okasan akan selalu mendukungmu. Lagipula kau dan Shiho adalah korban. Wajar bila kalian yang merasa senasib akhirnya jadi saling menyembuhkan,"

"Lalu mengenai Ai,"

"Karena dia sudah bermarga Kudo ya sudah. Dia bagian dari keluarga kita juga. Aku yakin melalui didikanmu, Ai akan tumbuh menjadi anak baik siapapun ayah biologisnya,"

"Arigatou Otosan,"

.

.

.

.

.

"Bagaimana rasanya Hakase?" tanya Ai harap-harap cemas.

Profesor Agasa menyomot salah satu cookies keju buatan Ai, "Hooo oishi!" pujinya.

"Benarkah?" Ai tampak berbunga-bunga.

"Benar sekali. Ai-Kun memang pintar, persis seperti Otosan dan Okasan," Profesor Agasa berkata seraya menepuk lunak kepala bocah itu.

Ai terkekeh, "Di rumah Yukiko-obasan masih banyak kalau Hakase mau," tawarnya.

"Hooo bolehkah?" tanya Profesor Agasa penuh harap.

"Tentu saja, kenapa tidak?"

"Anooo... Awas jangan sampai ketahuan ibumu, dia bisa ngoceh nanti..."

"Kenapa?" tanya Ai seraya memiringkan kepalanya dengan imut.

"Karena ibumu selalu memaksaku diet hahaha..."

Ai tertawa, "Sebentar Ai ambil dulu ke sebelah,"

"Oke oke,"

Ai pun berlalu ke luar rumah.

Profesor Agasa menghela napas bangga, "Dia benar-benar mirip Shiho-Kun, tapi versi lebih menyenangkan hehehe..."

Ai berjalan sambil melompat-lompat kecil. Ketika ia ingin berbelok masuk ke rumah Keluarga Kudo, ia terhenti. Mendadak ada sesuatu menarik perhatiannya.

Ai mengerjap ketika melihat sosok mungil itu, anjing hush puppies. Teringat akan anjingnya sendiri yang sudah mati.

"Conan..." gumam Ai.

Hush puppies itu menggonggong kecil sebelum berlalu pergi.

"Conan tunggu!" Ai mengejarnya.

Ia tak pernah kembali.

"Hakase, di mana Ai?" tanya Shinichi ketika sore harinya ia bersama Shiho datang untuk menjemput Ai.

"Loh? Tadi dia pulang ke sebelah untuk mengambilkanku lebih banyak cookies,"

Shiho menaikkan sebelah alisnya, "Cookies?"

Profesor Agasa terkekeh kikuk, "Eh, dia membuat cookies keju dan menyuruhku mencobanya,"

"Takuuu... Ingat gula darahmu Hakase..." Shiho mengingatkan.

"Hehehe... Katanya dia mau mengambilkan lebih banyak, tapi sampai sekarang belum balik lagi, kukira dia sudah pulang bersama kalian,"

Shinichi dan Shiho terkesiap.

"Kami justru baru dari sebelah, Okasan bilang dia ke sini," kata Shinichi.

"Tidak ada. Dia belum balik lagi," sahut Profesor Agasa.

"Shinichi mungkinkah?" perasaan Shiho mendadak tidak enak.

Mendadak handphone Shiho bergetar. Shiho pun mengecek email yang baru saja masuk. Seketika ia menegang.

"Ada apa Shiho?" tanya Shinichi seraya merebut handphone Shiho.

Hatinya akan menjadi milikku selamanya...

Gin

"Gin," Shinichi tampak geram.

"Nani?!" Profesor Agasa panik.

Shinichi mengeluarkan kacamata pelacaknya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Shiho.

"Melacak Ai,"

"Aku tak ingat dia memiliki pemancar,"

"Gelangmu dan gelangnya adalah pemancar," Shinichi memberitahu.

"Eh?" Shiho melirik gelang bunga lili pemberian Shinichi di tangannya. Ai juga memakainya. Ia tak pernah tahu gelang cantik ini ternyata juga berfungsi sebagai pemancar.

"Yosh," Shinichi melihat titik-titik yang berkedip itu, "Hakase, hubungi polisi dan Akai Shuichi. Kau tunggu di sini, Shiho,"

Namun Shiho menggandeng lengannya, "Aku ikut,"

"Nani?" Shinichi menatapnya bingung.

"Aku tak bisa membiarkannya menyentuh Ai,"

"Aku akan menyelamatkan Ai, Shiho,"

"Gin menginginkanku, aku tahu itu. Dia ingin membuatku menderita dengan mengungkap kenyataan Ai anak biologisnya di depan mataku sendiri,"

"Karena itulah aku tidak bisa membiarkanmu ikut,"

"Tapi aku harus Shinichi. Ai putriku, aku harus menghadapinya,"

"Shiho..."

"Jika Gin memang menginginkan sedikit kesenangan biarkan saja, asalkan dia melepaskan Ai..." mata Shiho berkaca-kaca.

"Tapi Shiho..."

"Aku tidak seperti enam tahun lalu, Shinichi. Aku janji aku bisa. Aku tahu cepat atau lambat, aku harus berhadapan dengannya kembali,"

"Baiklah kalau begitu,"

Shinichi menyusun rencana dengan cepat. Dari posisinya, Ai dibawa ke sebuah gudang laboratorium tua. Kepolisian sudah dihubungi, namun Shinichi meminta mereka jangan mengepung terang-terangan karena mengingat Gin yang mereka hadapi, sekitar gudang itu kemungkinan besar sudah dipasangi bom.

Shinichi mengejar dengan mobil sportnya. Shiho duduk di kursi sebelahnya. Sepanjang perjalanan Shiho mencengkram sabuk pengamannya kuat-kuat. Ia sendiri tidak tahu, apakah ia akan sanggup menerima jika kenyataannya Ai adalah sungguhan anak Gin. Ia menyayangi putrinya, tapi bila mengingat Ai adalah pengikatnya dengan Gin, dinding pembatas yang selama ini sudah ada diantara dirinya dan putrinya akan semakin tebal. Sejauh ini, setiap kali memandang putrinya, Shiho selalu mengingatkan dirinya sendiri bahwa Ai adalah anak Rei Furuya. Bahkan terkadang ia berangan-angan Ai adalah anak Shinichi, karena sikap dan kegemarannya mirip Shinichi. Entah apa jadinya anak itu tanpa campur tangan Shinichi.

"Selamat datang Prince dan Sherry," kata Vermouth dengan nada dingin sensual seperti biasanya. Ia sudah menunggu kedatangan Shinichi dan Shiho di depan gerbang.

"Vermouth," kata Shinichi waspada.

"Aku tahu cepat atau lambat kau akan menemukan tempat ini, Tantei-san. Kau juga merasa familiar dengan tempat ini kan Sherry?"

Shinichi memandang istrinya.

"Eh," Shiho mengangguk, "Tempat terciptanya APTX 4869,"

Vermouth terkekeh, "Di tempat inilah segalanya dimulai, mungkin di sini juga harus diakhiri,"

"Di mana Ai?" tanya Shinichi.

"Ara... Kau tampaknya perhatian sekali pada putri yang bukan darah dagingmu... Memang seperti yang kuharapkan dari Silver Bulletku... Kau beruntung sekali Sherry... Meski kau tak pantas untuknya..." Vermouth berbalik seraya membuka gerbang, "Ikut aku, kalian akan menyaksikan hal yang menarik,"

Shinichi dan Shiho mengikutinya. Gudang itu terdapat banyak tumpukkan barang-barang, kardus dan palet kayu. Vermouth membimbing mereka hingga sampai ke bagian belakang. Di sana Gin sudah menunggu. Vodka, Korn dan Chianti bersamanya. Ada dua deret meja panjang dan duduk tiga orang ilmuwan di setiap meja. Mereka tampak sibuk berkutat di depan laptop masing-masing. Ai terbaring di sebuah meja kayu dengan tangan terinfus.

"Ai!" Shiho melihat putrinya tak sadarkan diri.

Korn dan Chianti mengacungkan pistol mereka pada Shinichi dan Shiho, bersiaga.

"Lama tak bertemu Sherry," sambut Gin dingin dan tajam.

Shiho menegang, meski Gin lebih kurus dari enam tahun lalu akibat kanker hatinya, namun ia tetap mengerikan. Shiho mengepalkan tangan dan menguatkan dirinya untuk meredakan getaran tubuhnya.

"Apa yang kau lakukan padanya?" tanya Shinichi, tidak rela melihat Ai dipasang selang infus padahal anak itu tidak sakit apa-apa.

"Hanya sedikit persiapan," sahut Gin ringan, "Kami telah mengambil sampel darahnya, jika cocok, maka aku akan mengambil hatinya,"

Gin jelas tidak peduli walaupun Ai anak kandungnya. Ia hanya menginginkan hati Ai untuk menyelamatkan hidupnya.

"Dia belum delapan belas tahun! Tidak bisa menjadi pendonor hatimu! Dia bisa mati!" teriak Shiho.

"Ah... Aku terharu sekali, tampaknya kau begitu peduli pada putri kita, Sherry," ejek Gin.

"Cih!" Shiho bergidik jijik.

"Dia bukan putrimu!" seru Shinichi, "Dia anak Furuya,"

Gin terbahak, "Jangan membuatku tertawa, Tantei-San. Tidak kah kau tahu? Bourbon takkan pernah bisa menghamili Shiho atau wanita manapun di dunia ini,"

Shinichi mengernyit, "Nani?"

"Jauh sebelum bertemu Sherry, Bourbon si agen ganda itu memiliki prinsip yang mengagumkan. Dia bertekad mengabdikan hidupnya untuk melayani Jepang. Ia tidak ingin berkencan apalagi berkeluarga, dengan keyakinan itu dia melakukan vasektomi," Gin memberitahu.

Shiho merasa kedua kakinya lemas terhantam oleh kenyataan itu. Ia terhuyung. Ternyata Gin benar-benar ayah biologis Ai. Tidak ada lagi kemungkinan lain.

"Shiho!" Shinichi merangkulnya untuk menopang tubuhnya.

"Dia tidak pernah memberitahumu? Aneh, padahal kau tunangannya. Wanita yang telah menghancurkan prinsipnya," cemooh Gin.

Shiho menggigit bibirnya, airmatanya mengalir.

"Jadi sudah dapat dipastikan, anak ini adalah anakku, bukan Bourbon," Gin menyeringai penuh kemenangan.

"Tidak! Tidak mungkin!" Shiho menggeleng.

Shinichi memeluknya.

"Kalau kau masih tidak percaya, kita tunggu saja hasilnya sebentar lagi,"

Para ilmuwan terus bekerja keras mengetik di keyboard. Kemudian alarm itu berbunyi. Para ilmuwan terperangah menatap monitor. Alarm lampu merah.

"Bagaimana?" tanya Gin.

Salah satu ilmuwan memandang Gin dengan kalut, "Tidak bisa. Anak ini tidak bisa menjadi pendonormu,"

"Nani? Kenapa?" tuntut Gin kasar.

"Kecocokan DNA kalian hanya 1%. Artinya anak ini bukan anakmu,"

.

.

.

.

.

Bukan hanya Gin. Shinichi dan Shiho pun tercengang dengan kabar itu. Jika bukan anak Gin dan bukan anak Furuya, lalu Ai anak siapa? Tak mungkin tertukar di rumah sakit kan?

Terdengar Vermouth terkekeh sebelum akhirnya terbahak.

"Vermouth?" Gin memandang Vermouth tak suka.

"Apa kau lupa Gin? Dulu sekali kau pernah terluka parah demi melindungi bos. Kau harus melakukan operasi besar. Saat itu bos kita bangga padamu, ia bertekad membuatmu melayaninya dan setia seumur hidupmu padanya. Ia tidak ingin kau berkencan apalagi berkeluarga. Karena itu diam-diam dia menyuruh tim medis untuk melakukan vasektomi padamu," jelas Vermouth.

Gin mengacungkan pistol padanya, "Kau mengetahuinya? Dan kau menyembunyikannya dariku? Kau melihatku mencari anak ini bagai orang bodoh?!"

Vermouth mendesah, "Ara... Betapa menyenangkannya mempermainkanmu,"

"Naze? Kenapa kau melakukannya?!" desak Gin.

"Sebagai pembalasan dendam akan kematian Angel,"

Shinichi mengerjap, Angel adalah Ran.

"Angel?" Gin mengernyit.

"Enam tahun lalu, aku tak peduli kau mau apakan Sherry maupun Bourbon. Itu terserah padamu. Tapi aku tak terima kau menyuruh Korn dan Chianti membunuh Angel tanpa hormat seperti itu!" geram Vermouth.

"Lalu jika bukan anak Aniki dan Bourbon, anak itu anak siapa?" tanya Vodka.

Korn dan Chianti tampak saling lirik dan berkeringat.

Vermouth mengangkat bahu, "Mana aku tahu!" lalu ia memandang Shiho, "Kau tidur dengan berapa banyak pria sih, Sherry?

Shiho menatap Shinichi seraya menggeleng, ia bukan wanita seperti itu.

Mendadak terdapat alarm lampu hijau pada monitor para ilmuwan. Mereka semua ternganga tak percaya.

"Apalagi?" tanya Gin pada mereka.

Salah satu ilmuwan mencoba menjelaskan dengan hati-hati, "Gin. Kami sudah mencocokan sampel anak ini dengan data sampel yang pernah terecord di server organisasi. Semua anggota pria dalam organisasi termasuk sampel korban percobaan obat,"

"Katakan langsung intinya!" perintah Gin.

"DNA anak ini 99% cocok dengan Kudo Shinichi,"

Mereka semua terhenyak, tak terkecuali Shinichi dan Shiho. Suami-istri itu saling pandang tak mengerti. Bagaimana bisa? Mereka tidak pernah melakukannya enam tahun lalu.

Korn dan Chianti tampak semakin gugup. Gin menyadarinya dan menembakkan pistolnya ke lantai dekat kaki-kaki mereka. Korn dan Chianti ketakutan.

"Melihat gelagat kalian, sepertinya kalian mengetahui sesuatu," gumam Gin menatap tajam kedua snippernya.

"G-Gin..." Chianti gugup.

"Katakan! Ulah bodoh apa yang telah kalian lakukan!" amuk Gin.

Korn susah payah menelan ludah, "Enam tahun lalu..." ia mulai menjelaskan, "Saat kau selesai dengan Sherry dan keluar apartemen. Aku dan Chianti merasa bosan, kami ingin melakukan sesuatu yang menarik lalu... lalu..."

Gin menembak lantai dekat mereka sekali lagi.

Korn dan Chianti terlonjak. Korn melanjutkan ceritanya dengan kalut, "Kami menelanjangi detektif itu, Kudo Shinichi dan memberikannya obat perangsang dan membawanya ke ruangan Sherry,"

Gin melotot, "Nani?!"

Gantian Chianti menjelaskan, "Kami menganggap toh Sherry sudah hancur karenamu, apa salahnya jika kami hancurkan sekali lagi, kali ini dengan partner detektifnya. Rencana kami berhasil, detektif itu menikmatinya. Tubuh Sherry," kemudian Chianti meraih handphonenya dan menunjukkan layarnya kepada mereka semua, "Bahkan kami merekamnya untuk kesenangan kami"

Shinichi dan Shiho hanya melihat sekilas sebelum buru-buru menutup mata mereka. Merasa malu dan canggung melihat adegan mesum yang mereka sendiri tak menyadarinya.

"Setelah itu, karena takut kau keburu kembali. Kami mengembalikan detektif itu ke ruangannya dan memakaikan pakaiannya asal saja. Jadi, tidak heran kalau anak ini adalah hasil dari waktu itu..." Chianti mengakhiri ceritanya.

"Kalian benar-benar bodoh!" Gin marah besar dan menembak Chianti serta Korn langsung ke kening mereka hingga tewas seketika.

Vermouth menembak Gin dan mengenai lengannya, Vodka menembak ke arah Vermouth demi membela Gin, namun tembakannya meleset. Keadaannya langsung kacau balau, para ilmuwan berlindung ke bawah meja mereka masing-masing. Shinichi menarik Shiho untuk menyelamatkan Ai seraya menghindari serangan peluru.

Shiho melepaskan selang infus dari tangan Ai kemudian mendekapnya. Lalu entah bagaimana, tiba-tiba Gin sudah muncul di hadapan mereka seraya mengacungkan pistolnya. Shinichi memeluk istri dan putrinya penuh perlindungan. Di belakang Gin terdapat mayat Vodka yang tewas karena ditembak Vermouth. Sementara Vermouth sendiri terluka tembakan di bagian perutnya.

"Tamatlah riwayatmu sekeluarga di sini, Tantei-San!" Gin menembakkan pistolnya.

"Tidak!" Vermouth memekik

Duar!

Vermouth memaksakan diri bangkit dan berlari, menahan tembakan itu dengan tubuhnya, menjadikan dirinya sendiri perisai untuk melindungi Shinichi. Peluru Gin mengenai dadanya.

"Cih! Baka!" Gin mengumpat lalu menembak lagi namun ia kalah cepat.

Duar! Terdapat tembakan dari jauh mengenai lengan Gin. Tangan Gin yang memegang pistol jatuh ke lantai.

"Kalian sudah terkepung!" Jodie Sensei berseru seraya mengacungkan pistolnya. Ia datang bersama pasukan FBI dan kepolisian. Miwako Sato dan Takagi juga mengacungkan pistolnya dengan mengancam.

"Hmph! Polisi dan FBI! Bagus sekali, kita akan mati bersama," Gin menekan tombol pemicu untuk meledakkan bom, namun tak ada yang terjadi.

Brakkk! Akai Shuichi membanting sisa-sisa bom ke lantai, "Percuma saja Gin. Semuanya sudah kujinakkan. Kau seharusnya mengubah gaya lamamu,"

"Brengsek!" umpat Gin.

Akhirnya Gin pun ditahan.

Shinichi menghampiri Vermouth yang sekarat, "Vermouth..."

"Prince... Silver Bullet... Akhirnya... Dendam Angel... Terbalas..." bisik Vermouth sebelum meninggal dengan mata terbuka.

Shinichi menutup matanya dan mengucapkan terima kasih dalam hati karena Vermouth telah menyelamatkan dirinya dan keluarganya.

"Uhm..." terdengar lenguhan kantuk Ai dalam dekapan Shiho.

"Ai-Chan..." panggil Shiho.

Ai membuka matanya, "Okasan... Otosan..."

Shiho memeluknya seraya berlinangan airmata, "Yukata..."

Shiho memandang Ai yang sudah tertidur pulas. Hari ini memang melelahkan, tapi keletihan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan fakta-fakta yang baru diketahuinya. Mana pernah ia sangka dalam hidupnya, ternyata Ai adalah putri kandungnya dengan Shinichi.

Mau tak mau ingatan Shiho melayang ke waktu itu. Ketika ia diperkosa oleh Gin, ia tak sanggup melawan lagi dan pasrah bersiap untuk mati. Diantara sadar dan tidak sadar, ia merasa permainan kasar Gin tiba-tiba jadi lembut. Ia mengira Gin yang merubah gaya dalam menggagahinya. Tapi ternyata yang terakhir itu adalah Shinichi.

Shiho kembali memandang putrinya. Shinichi yang memberinya nama Ai. Shinichi juga yang bersikeras menggunakan karakter 'cinta' alih-alih 'kesedihan' dalam namanya. Selama ini Shiho merasa hal itu tidak cocok, karena setiap kali melihat Ai, ia akan teringat peristiwa waktu itu. Karakter Ai-nya lebih sesuai dengan kesedihan. Tapi kini setelah mengetahui kenyataan Ai adalah putri Shinichi, Shiho akhirnya merasa karakter 'cinta' cocok untuknya. Shiho memang mencintai Shinichi. Kemiripan Ai dengan Shinichi juga bukan sekedar didikan Shinichi, namun pembawaan alamiah Ai yang seperti ayahnya.

Pintu kamar mendadak terbuka perlahan, Shinichi yang masuk.

"Shiho..." Shinichi memanggil.

Shiho mengecup Ai sebelum akhirnya keluar kamar bersama Shinichi. Banyak hal yang harus dibicarakan diantara mereka. Namun Shiho tidak tahu harus mulai darimana dulu.

"Rei..." Shiho memunggungi Shinichi seraya mendesahkan nama itu.

Shinichi mengerjap, "Nani?"

Shiho memulai dari Rei Furuya, "Kenapa dia tidak jujur padaku mengenai vasektomi itu? Padahal di saat perencanaan pernikahan, kami sering membahas perihal anak,"

"Kau telah meruntuhkan prinsipnya untuk tidak menikah. Dia berusaha mati-matian agar kau mencintainya. Kurasa, dia takut jujur padamu mengenai hal itu. Takut kau membatalkan pernikahan, jika kau tahu kenyataan dia takkan pernah bisa memberimu anak," kata Shinichi.

"Baka..."

"Shiho..."

Shiho melirik Shinichi.

"Meskipun sudah lama berlalu... Aku minta maaf... Aku sungguh tidak tahu kalau ternyata aku..." Shinichi memejamkan matanya dengan gemas, "Ketika aku sadar di ruangan itu, aku menyadari mereka melecehkan tubuhku. Aku tak mengira jika ternyata aku... Melakukannya terhadapmu..."

Shiho terdiam.

"Akai sudah menghancurkan rekaman itu," kata Shinichi cepat.

"Aku tidak menyalahkanmu. Kita sama-sama tidak tahu mengenai hal itu. Kita berdua adalah korban kekonyolan mereka," ujar Shiho muram, "Hanya saja... Mengetahui Ai adalah putri kandungmu... Aku juga merasa bersalah... Mengingat aku pernah berusaha menyingkirkannya... Aku sempat tidak menginginkannya... Gomene Shinichi..." ia menggigit bibirnya.

"Aku juga tidak menyalahkanmu untuk hal itu Shiho," ujar Shinichi, "Aku mengerti kondisimu tidak mudah. Maaf sudah menyusahkanmu ketika mengandung Ai..."

Shiho menarik napas panjang lalu berbalik untuk menghadapi suaminya, "Aku memang lega, Ai bukan anak Gin. Tapi... Jika dunia ini ada versi kedua... Aku lebih suka kita menikah dan punya anak dengan cara yang lebih baik..."

Shinichi mendekati istrinya, menangkup wajahnya, "Kita mungkin memang tidak memiliki awal yang indah, Shiho. Tapi aku yakin, kita masih bisa menjalani saat ini hingga masa tua nanti dengan lebih baik. Kita mulai lagi lembaran baru..."

"Uhm," Shiho mengangguk, tenggorokannya tercekat.

Shinichi memeluknya erat, kemudian berbisik di telinganya, "Aku mencintaimu Shiho..."

Mata Shiho membesar, kini yang mengalir adalah airmata bahagia, "Aku juga mencintaimu Shinichi..."

Mendadak terdengar suara pintu kamar Ai yang terbuka. Ketika Shinichi dan Shiho melepaskan diri, mereka melihat Ai menghampiri mereka sambil menenteng boneka lumba-lumbanya.

"Ada apa Ai-Chan?" tanya Shinichi.

"Anooo... Malam ini boleh Ai tidur bersama Otosan dan Okasan lagi?" tanyanya polos dengan tatapan mata penuh harap.

Shiho menatapnya seraya tersenyum penuh sayang, dinding pembatas tak terlihat itu telah luruh sepenuhnya, "Eh, tentu saja. Ide yang bagus,"

Shinichi menggendongnya, "Ayo,"

Mereka bertiga masuk kamar bersamaan.

.

.

.

.

.

"Ke kanan, naikkan sedikit lagi, oke," kata Shiho.

Shinichi akhirnya menempelkan bingkai itu ke dinding di atas perapian. Foto pernikahan mereka. Di sisi lain rumah, juga ada foto Keluarga Besar Kudo, komplit dengan Yusaku, Yukiko dan si bayi laki-laki yang merupakan penghuni baru, Kudo Ryuichi.

Tiga bulan setelah Shiho melahirkan anak kedua dan setelah tubuh Shiho kembali langsing, Shinichi dan Shiho akhirnya melangsungkan resepsi sesuai impian Yukiko. Tidak sampai menghebohkan seantero Jepang, namun tamu-tamu yang berdatangan cukup banyak dan penting terutama dari kalangan FBI dan kepolisian. Shinichi dan Shiho kini sudah memiliki foto pernikahan, Shinichi tampan dengan tuksedonya dan Shiho cantik dengan gaunnya.

Shinichi dan Shiho tidak lagi tinggal di apartemen. Mengingat keadaannya sudah kondusif, mereka kembali ke rumah Keluarga Kudo. Mereka melakukan sedikit perubahan dekorasi, memasang foto-foto dan mengganti beberapa warna cat. Rumah itu tidak lagi suram seperti rumah hantu. Namun ada kesan ceria dan feminine, berkat sentuhan selera tinggi Shiho.

Setelah bertahun-tahun, Shinichi dan Shiho akhirnya mampu hidup normal. Shinichi membuka kantor agensi detektifnya sementara Shiho melanjutkan profesinya sebagai ilmuwan. Ai juga senang karena akhirnya bisa bersekolah normal, karena sejak pertama kali tiba di Jepang, ia hanya bisa mengikuti homeshooling. Ai sering dijadikan Yukiko model pakaian anak-anak yang merupakan bisnis barunya. Ia sangat kawaii. Tapi Ai bersikeras tidak mau jadi artis seperti nenek cantiknya, ia ingin menjadi detektif seperti ayahnya atau ilmuwan seperti ibunya.

"Waaah Okasan cantik sekali!" Ai terpesona memandangi foto besar itu dan melihat ibunya yang cantik terbungkus gaun pengantin, "Kalau sudah besar Ai mau cantik seperti Okasan!"

Shiho terkekeh seraya mengusap kepala putrinya, "Eh, kau pasti lebih cantik dari Okasan,"

Ai terkekeh, "Lalu menikahi pangeran tampan seperti Otosan!"

Mata Shinichi langsung menyipit.

"Nani?" Shiho memandangnya.

"Aku belum siap mendapatkan saingan. Aku tidak mau ada yang merebut putri kita,"

Shiho nyengir, "Itu kan masih lama juga,"

"Shiho-Chan! Tolong ini Ryu-Chan sepertinya ngompol lagi!" seru Yukiko sambil membawa bawa laki-laki itu pada Shiho.

"Takuuu Okasaaan," Shinichi menggerutu, "Kan tadi kau yang bersikeras mau menggendong Ryuichi, sekarang giliran ngompol dikembalikan pada Shiho,"

"Gomen gomen," sahut Yukiko riang, "Okasan sudah lama tidak gendong bayi, jadi kaku dan lupa caranya ganti popok hohoho..."

"Tidak apa-apa. Berikan Ryu-Chan padaku Okasan," Shiho menghampiri ibu mertuanya dan mengambil Ryuichi dari gendongannya lalu membawanya ke kamar untuk mengganti popoknya.

"Nah sekarang Ai-Chan," Yukiko menghadapi Ai.

"Nani?" Ai memandang Yukiko.

"Obachan ada koleksi gaun terbaru, coba yuk,"

"Ahhh..." Ai merajuk, "Tidak mau," ia sudah jenuh bolak balik ganti baju didandani. Belum sesi pemotretan yang berulang-ulang.

"Kenapa?"

"Bosan, Ai-Chan mau baca buku di perpustakaan saja bersama Otosan dan Ojisan," sahut Ai jujur seraya memanyunkan bibirnya.

"Aduhhh coba dulu gaunnya 2 setel saja..." bujuk Yukiko.

Ai tahu itu tidak benar, biasanya dari 2 setel beranak jadi 10 setel lebih.

"Okasan sudah jangan dipaksa, Ai kan bukan boneka yang bisa kau makeup terus," bela Shinichi.

Yukiko memelototi putranya, "Shin-Chan! Okasan sedang berusaha membuatnya menjadi artis yang fashionable. Masa harus jadi detektif dan ilmuwan semua? Kurang cukup apa orang aneh di rumah ini?" gerutunya.

Hehehe... Berarti aku, Shiho dan Otosan orang aneh semua ya... Shinichi terkekeh dalam hati.

"Ai-Chan! Ayo!" ajak Yukiko manis.

"Tidak mau!" Ai menggeleng.

"Mau lah!"

"Arghhh tidak mauuu..." Ai kabur dari Yukiko.

Yukiko mengejarnya, "Dua setel sajaa..."

"Oi! Oi! Okasan!" Shinichi kelabakan dengan sikap ibunya.

Rumah Keluarga Kudo jadi ramai sekali.

THE END