Married By Accident

By : pipi_tembam

Shiho menunggu di ruang tunggu seraya mencengkram tas tangannya erat-erat. Kelebatan-kelebatan peristiwa tidak mengenakkan berputar di benaknya. Black Organization sudah hancur tiga tahun lalu, namun ternyata menjalani hidup baru tidak mudah.

Maaf Miyano-San, kami belum bisa mendanai penelitian Anda...

Eh bukankah dia putri Miyano-Hakase si ilmuwan gila itu? Sebaiknya jangan dekat-dekat dengannya...

Shiho disisihkan oleh para ilmuwan Jepang. Latar belakangnya sebagai putri Atsushi Miyano dan mantan anggota Black Organization juga sudah terungkap hingga publik Jepang memandangnya sebelah mata. FBI telah menawarkan program perlindungan untuk mengganti identitasnya, tapi Shiho menolaknya. Ia ingin hidup dengan jujur sebagai dirinya sendiri, tapi tantangan yang datang bertubi-tubi, sehingga sempat terlintas di pikiran Shiho, apakah sebaiknya ia mengambil program itu? Namun sekarang pun sudah terlambat mengikuti program itu, wajahnya sudah terpampang di media-media Jepang.

Sebaiknya kau hati-hati dengan wanita itu Ran... Shinichi begitu dekat dengannya... Dia bisa merebut suamimu... Shiho mendengar Sonoko berbisik di telinga Ran beberapa waktu lalu.

Tapi rupanya, memang peringatan wanita kaya raya itu benar. Puncaknya adalah di malam perayaan wisuda Shinichi. Mereka merayakannya di rumah besar Shinichi. Orang tua Shinichi masih di Los Angeles. Profesor Agasa juga sedang berada di Amerika karena ada proyek baru. Ran Mouri dan Sonoko sudah pulang lebih dahulu karena harus mengantar Kogoro yang mabuk berat. Tinggal Heiji, Kazuha, Shinichi dan dirinya. Shiho sendiri mabuk berat, karena ia tengah frustasi terhadap penolakan-penolakan dan penindasan para ilmuwan Jepang yang diterimanya.

"Takuuu... Sepertinya aku harus kembali ke hotel juga Kudo. Kazuha sudah teler," kata Heiji yang sudah setengah mabuk juga.

"Oh baiklah, sepertinya aku juga harus mengantar Shiho ke sebelah. Dia juga sudah pingsan karena terlalu mabuk,"

"Heeeh... lihat wajahmu itu sendiri Kudo. Sudah seperti kepiting rebus, kau juga sudah mabuk kaaan..."

Mereka tertawa bersama, kebahagiaan mereka begitu melambung karena alkohol.

Shinichi memapah Shiho ke rumah Profesor Agasa dan membaringkannya di tempat tidur. Mungkin karena terlalu mabuk, entah Shinichi yang tergoda oleh tubuh Shiho atau mungkin ia berhalusinasi Shiho sebagai Ran. Mereka akhirnya bertindak terlalu jauh. Mereka terbangun keesokan harinya dalam keadaan bugil tanpa sehelai benang pun. Shinichi sudah minta maaf berulang kali. Shiho juga tidak menyalahkannya. Dua anak muda yang sama-sama mabuk, kesalahan seperti itu tidak terhindari. Shinichi ingin mengaku pada Ran, tapi Shiho bersikeras agar mereka menyembunyikan hal itu rapat-rapat dari Ran.

Tapi sebulan kemudian, hal yang tidak diharapkan datang. Shiho kini tengah berbadan dua. Ia memutuskan mengambil jalan pintas.

"Miyano-San!" seorang perawat memanggil namanya.

Shiho mencengkram tasnya lebih erat seraya memejamkan matanya.

"Miyano-San!" perawat itu memanggil namanya lagi.

Shiho menarik napas dalam-dalam, menguatkan dirinya sebelum bangkit dari kursinya untuk memenuhi panggilan itu.

"Anda Miyano Shiho?" tanya perawat ketika Shiho menghampirinya.

"Eh," Shiho mengangguk.

"Silahkan masuk," perawat itu merentangkan lengan kanannya menunjukkan jalan.

Shiho baru maju selangkah untuk memasuki ruangan itu ketika ada tangan kuat menangkap pergelangan tangannya.

Hup... ternyata Shinichi.

"Kudo?" Shiho terkejut dengan kedatangannya.

Tanpa kata, Shinichi menarik Shiho keluar dari rumah sakit itu. Shinichi membawanya ke taman kota dan memojokkan Shiho di bawah sebuah pohon besar. Mendadak petir menggelegar dan hujan pun turun membasahi mereka.

"Apa yang kau lakukan Shiho?!" tuntut Shinichi.

Shiho memalingkan wajahnya ketika menjawab dingin, "Melakukan apa yang harus aku lakukan..."

"Itu sama saja dengan pembunuhan! Meskipun bentuknya masih gumpalan embrio, tapi dia sudah berupa nyawa!" Shinichi meninggikan suaranya untuk menandingi suara hujan.

"Lalu kenapa?! Toh aku memang pembunuh kan?! Seperti yang media beritakan! Aku ilmuwan yang menciptakan racun mematikan!"

"Anak itu anakku Shiho! Aku akan bertanggung jawab!"

"Aku tahu kau akan bertanggung jawab! Tapi aku tidak mau!"

"Nani?!" Shinichi mengernyit.

"Kau mau kemanakan Ran-San?!"

Shinichi mengepalkan kedua tangannya, "Ran pasti mengerti. Mungkin dia akan marah yeah. Tapi dia juga tidak akan menyetujui jika kau menggugurkan anak itu!"

"Aku tidak menginginkan anak ini!"

"Tapi aku menginginkannya!"

Shiho tersentak.

"Kenapa kau jadi begini?! Ini seperti bukan dirimu?!"

Shiho menggigit bibirnya, ia tersungkur di rerumputan ketika menangis.

"Shiho?"

"Aku tak memiliki tempat Kudo," kata Shiho pahit.

"Apa?"

"Setelah mereka hancur, ternyata aku juga tidak memiliki tempat. Aku tak mendapat kepercayaan dari para sponsor untuk penelitianku, bahkan para ilmuwan itu berusaha menyingkirkan aku. Kekasihmu dan teman-temanmu sendiri mencurigaiku. Sesungguhnya aku juga tidak mau aborsi, tapi jika aku membayangkan anak ini lahir dan mendapat cemoohan... Aku tidak siap..."

"Shiho..."

"Tidak ada kehidupan menjanjikan yang bisa kuberikan pada anak ini!"

"Kau masih partnerku!"

"Ya dan mereka masih menahan diri karena menghormatimu. Tapi apa kau sadar bagaimana pandangan mereka terhadapku di belakangmu?! Aku tidak bisa Kudo! Aku tidak mau menghancurkan karir yang tengah kau bangun!"

"Anak itu harus hidup Miyano-San," kata sebuah suara lembut yang mendadak muncul.

Shinichi dan Shiho menoleh. Mereka sama-sama terkesiap dengan kedatangan Ran yang tiba-tiba. Ran tidak tampak marah, matanya lebih memancarkan kesedihan. Ia menghampiri Shiho dan membantunya berdiri.

"Dia berhak untuk hidup, Miyano-San," pinta Ran seraya menggenggam tangan Shiho.

"Tapi Ran-San..."

"Kau tidak perlu khawatir, aku akan putus dengan Shinichi,"

"Tidak! Aku tidak mau! Kau tidak bisa putus dengannya!" tolak Shiho.

"Hal ini hanya menandakan, aku memang tidak berjodoh dengan Shinichi. Lagipula anak itu lebih penting. Aku bisa melanjutkan hidupku seorang diri,"

"Aku tidak bisa Ran-San. Kudo-Kun milikmu... Hanya milikmu..."

Ran menggeleng, "Kau harus kuat Miyano-San. Kau akan menjadi seorang ibu. Aku yakin suatu hari kau akan mampu menjadi ilmuwan yang hebat dan anakmu akan bangga padamu. Jangan putus harapan..."

"Ran..." Shinichi terpana menatapnya.

"Selama ini kau membantu investigasi Shinichi. Aku juga merasa kau yang lebih pantas mendampinginya. Aku tak pernah suka misteri dan ketegangan. Aku ingin hidup tenang. Jika Shinichi percaya padamu, aku juga percaya padamu. Aku serahkan Shinichi padamu,"

"Ran-San... Aku tidak..."

Jepret! Tiba-tiba ada cahaya kilat menerpa mereka. Bukan kilat karena hujan, namun kilatan dari kamera-kamera yang mendadak bermunculan.

"Heeeh? Jadi ada cinta segitiga di sini ya? Detektif Kudo yang terkenal dengan anak Nemuri No Kogoro dan ilmuwan gila Miyano-San?" kata salah seorang wartawan.

Shinichi merentangkan tangannya untuk melindungi Ran dan Shiho.

"Jadi Kudo-San. Siapa yang lebih Anda cintai? Mouri-San atau Miyano-San?!"

"Benar-benar. Kami juga mendengar perkataan Mouri-San tentang Anda akan menjadi seorang ibu, Miyano-San. Apa itu benar? Apa anaknya Kudo-San?"

Shiho menutup kedua telinga dengan tangannya.

"Menyingkirlah! Jangan ganggu kami!" Shinichi berusaha menghalau para wartawan yang semakin agresif.

"Hentikan!" Ran juga berusaha melindungi Shiho.

Namun semakin banyak wartawan yang datang mengerumuni mereka. Shinichi, Ran dan Shiho terjebak. Dorong-dorongan tak terhindarkan. Salah seorang siku wartawan mengenai perut Shiho. Shiho mengeluh, darah segar mengaliri kakinya.

"Miyano-San!" Ran menyadari hal itu lebih dulu kemudian menoleh pada Shinichi untuk minta tolong, "Shinichi! Miyano-San!"

Shinichi menoleh dan tercengang, "Shiho!"

Shiho tak sadarkan diri.

Shinichi menggendongnya.

Melihat keadaan darurat itu, akhirnya para wartawan membuka jalan.

Shiho dilarikan ke rumah sakit.

.

.

.

.

.

"Uhm," Shiho bergumam ketika ia mulai mendapatkan kesadarannya. Ia memandang berkeliling, langit-langit diatasnya putih, kasur dan spreinya juga berwarna putih. Ia mengenakan piyama berwarna pink. Ia juga dapat membaui aroma khas obat steril. Tangannya diinfus. Ia berada di rumah sakit.

"Ara... Kau sudah sadar Shiho-Chan?" tanya Yukiko riang seraya menghampiri ranjang Shiho dan duduk di tepinya.

"Yukiko-San..." Shiho bangun duduk, Yukiko membantunya bersandar.

"Bagaimana perasaanmu Shiho-Chan? Masih ingin muntah?"

"Hanya mual tapi tidak ingin muntah. Tapi apa aku ada muntah?"

"Ah ya. Untunglah Shin-Chan cepat membawamu ke rumah sakit waktu kau pingsan dan mengalami pendarahan. Kau dan bayimu jadi terselamatkan. Sudah tiga hari kau tidak sadarkan diri dan selama waktu itu kau ada muntah beberapa kali,"

Shiho mengerjap, "Tiga hari?"

"Eh. Aku bergantian jaga dengan Shin-Chan. Dia jaga di saat malam dan aku di siang hari,"

"Maaf merepotkanmu Yukiko-San,"

Yukiko menggeleng seraya tersenyum, "Sama sekali tidak. Aku malah senang," ia meraih tangan Shiho, "Karena Shiho-Chan akan memberi keluarga Kudo bayi kecil,"

Shiho terdiam, menunduk murung.

"Kenapa?" tanya Yukiko menyadari air muka Shiho.

"Kau tidak marah padaku Yukiko-San?"

"Kenapa aku harus marah?"

"Aku sudah menghancurkan impian putramu..."

"Eh?"

"Dulu karena racun ciptaanku, tubuhnya mengecil. Kau tidak bisa mengakuinya sebagai anak demi keselamatannya, ia juga berpisah dengan kekasihnya. Dan sekarang, aku kembali menghancurkan mimpinya untuk menikahi Ran-San..."

Yukiko menatapnya lembut, "Shiho-Chan, segala sesuatu yang terjadi pasti ada penyebabnya dan juga ada pelajarannya,"

Shiho menatapnya, "Nani?"

"Sebelum ia terkena racun, Shin-Chan adalah anak SMA yang suka show off, kemampuan deduksinya memang hebat, tapi itu membuatnya jadi sombong. Setelah tubuhnya mengecil dan melalui banyak rintangan, ia akhirnya berubah menjadi lebih rendah hati, peka dan dewasa. Itu adalah pelajaran yang sangat berharga Shiho-Chan. Aku justru harus berterima kasih padamu. Tanpa melalui semua itu, aku tidak tahu sudah sebesar apa kepala Shin-Chan sekarang," jelas Yukiko.

Shiho terpana menatapnya, "Yukiko-San..."

"Yusaku pun menyepakati hal itu, dengan begini kemampuan deduksi Shinichi juga lebih berkembang. Ia lebih hati-hati dan tidak terpancing emosi,"

"Tapi... Ran-San..."

"Mengenai Ran-Chan. Ya memang mereka teman sejak kecil, dia cinta pertama Shin-Chan. Tapi cinta pertama tidak selalu menjadi cinta terakhir kan? Dengan kepandaian dan kecantikan Shiho-Chan, aku yakin suatu hari Shin-Chan akan menyukaimu. Lagipula sejauh ini Shin-Chan sangat menghormatimu dan mengandalkanmu,

"Aku memang tidak pernah melarang Shin-Chan berkencan dengan siapapun termasuk Ran-Chan. Tapi aku pribadi kadang berpikir apakah Shin-Chan benar-benar cocok dengan Ran-Chan? Kogoro-San begitu sebal pada Shin-Chan karena menganggap Shin-Chan mengambil semua klien dan kasus-kasusnya. Eri-Chan sendiri juga tidak tenang jika mereka berkencan, dia selalu merasa Shin-Chan dapat membahayakan Ran-Chan dengan kasus-kasusnya. Dia lebih suka jika Ran-Chan dengan Araide-Sensei," Yukiko bertopang dagu seraya berpikir saat melanjutkan kata-katanya, "Ran-Chan juga suka marah-marah kalau Shin-Chan dapat panggilan kasus dadakan. Tapi Shiho-Chan, sejak kau masih Haibara Ai, kau selalu mendukung Shin-Chan hingga sekarang. Pada akhirnya seorang pria akan tunduk pada wanita yang benar-benar ia butuhkan, bukan pada wanita yang ia kira ia cintai,"

"Apa kau sedang berusaha membujukku Yukiko-San?"

"Eh?" Yukiko mengerjap.

"Percuma saja, apapun yang kau katakan, aku takkan pernah menikahi Kudo-Kun,"

"Tapi Shiho-Chan!"

"Aku janji aku takkan melakukan aborsi. Aku akan melahirkan anak ini dan membiarkan kalian bertemu dengannya. Tapi aku tak bisa menikah dengan Kudo-Kun,"

"Kenapa? Bukankah kau juga menyukai Shin-Chan?"

Shiho memalingkan wajahnya, matanya berkaca-kaca.

Yukiko merasa iba, "Kau tidak bisa menutupinya, aku tahu kau sudah menyukainya sejak tubuh kalian masih mengecil,"

"Sekarang permasalahannya bukan cinta atau tidak tapi aku... Aku tidak memiliki masa depan Yukiko-San..."

"Eh?"

"Ayahku Atsushi Miyano terkenal sebagai ilmuwan gila. Sebagai putrinya yang juga ilmuwan, aku juga dianggap ilmuwan gila. Tidak ada yang berani mensponsori penelitianku. Perkumpulan ilmuwan Jepang juga berusaha menyingkirkanku. Publik Jepang memandangku sebelah mata karena aku mantan anggota organisasi hitam. Kolega dan teman-teman Kudo-Kun bersikap waspada dan menjaga jarak. Sekarang ini Kudo-Kun sedang membangun karir melalui agensinya. Jika aku menikah dengannya, ia akan terkucilkan oleh public Jepang. Aku tidak mau menghancurkan karir yang tengah ia bangun,"

"Shiho-Chan. Aku dan Yusaku sendiri sudah jatuh bangun berhadapan dengan public Jepang. Kau kira hal itu akan membuat kami terutama Shin-Chan terintimidasi? Kemampuan deduksi Shin-Chan luar biasa. Pihak kepolisian membutuhkan analisisnya. Mana bisa mereka memojokkan Shin-Chan dalam waktu yang lama?"

Shiho bergeming, berusaha mencerna.

Yukiko menepuk lunak tangan Shiho, "Percayalah semuanya akan baik-baik saja. Semua ini akan segera berlalu. Atau anggaplah Jepang tidak menerima Shin-Chan lagi. FBI di Amerika selalu terbuka untuk menyambutnya. Kau juga bisa mencoba mencari sponsor untuk penelitianmu di Amerika. Semua pasti ada jalan keluarnya,"

Shiho menggeleng, "Bagiku tetap pernikahan bukan jalan keluarnya. Kami tidak saling mencintai, pada akhirnya nanti Kudo-Kun akan mengabaikan aku dan anak ini. Seorang anak yang melihat kedua orang tuanya tidak saling mencintai, itu juga bukan hal baik,"

"Tidak Shiho-Chan!" Yukiko menggeleng membantah hal tersebut, "Aku yakin Shin-Chan tidak akan mengabaikanmu. Sejak kau masih Haibara Ai, keselamatanmu sangat dia utamakan, apalagi kini kau sedang mengandung bayinya. Dia tidak mungkin mengabaikanmu. Apa kau tahu? Selama tiga hari ini kau tidak sadarkan diri dan sesekali muntah-muntah, Shin-Chan sangat khawatir luar biasa. Tidak selera makan dan tidur. Tapi dia juga sangat bersemangat karena akan menjadi seorang ayah. Dia seringkali bertanya pada Yusaku bagaimana caranya menjadi ayah yang baik. Shin-Chan pasti akan membahagiakanmu Shiho-Chan. Kalau dia sampai berani macam-macam, aku Yukiko yang akan turun tangan untuk mengomelinya,"

"Yukiko-San..." Shiho tercekat, "Kenapa kau begitu baik padaku?"

"Aku sudah menganggapmu seperti putriku sendiri Shiho-Chan,"

"Kau tahu? Betapa aku seringkali iri pada Kudo-Kun,"

"Eh?"

"Aku tidak pernah mengenal ibuku. Ketika melihatmu, aku bertanya-tanya apakah Okasan begitu menyenangkan seperti dirimu? Aku iri betapa Kudo-Kun sangat beruntung memiliki ibu seperti dirimu Yukiko-San,"

"Shiho-Chan..." Yukiko yang merasa terharu memeluk Shiho, "Aku yakin ibumu juga merupakan seorang wanita yang hebat karena telah melahirkan putri seperti dirimu,"

Okasan... panggil Shiho dalam hati seraya membalas pelukannya.

.

.

.

.

.

"Aku pernah bilang kan. Kau hebat kalau pura-pura menangis, tapi kau tidak bisa pura-pura tidur," kata Shinichi pada Shiho yang tidur menyamping memunggunginya. Ia kini bergantian jaga dengan Yukiko.

Shiho membuka matanya, "Bagaimana kau bisa tahu?"

"Uhm?"

"Mengenai kehamilanku,"

Shinichi menghela napas kemudian berjalan mengelilingi ranjang untuk duduk di kursi tepat di hadapan Shiho, "Setelah hal itu terjadi, tentu saja aku jadi lebih mengamatimu. Selera makanmu berubah, kau tidak lagi menyukai sandwich blueberry-kacang. Kau mual mencium aroma okonomiyaki dan takoyaki, padahal biasanya kau selalu minta aku membelikanmu jajanan itu kalau aku sedang memerlukan bantuanmu,"

Shiho mengubah posisi tubuhnya menjadi lurus menghadap ke atas, "Yah... Bagaimanapun juga kau adalah detektif,"

"Aku berjaga-jaga, takut kau berpikiran pendek. Dan ternyata dugaanku benar..."

"Kau kecewa?" tanya Shiho seraya menatap langit-langit.

"Nani?"

"Kau tentunya lebih mengharapkan gejala kehamilan itu tidak pernah ada,"

Shinichi memikirkan sejenak sebelum berkata, "Entahlah,"

Shiho meliriknya.

"Terjadi kehamilan atau tidak, cepat atau lambat aku juga akan mengaku sendiri pada Ran. Aku tidak bisa terus-menerus menutupi hal yang terjadi diantara kita,"

"Walau kau akan kehilangannya?"

Shinichi tersenyum pahit, "Tidak ada gunanya hidup dengan kebohongan," ia beranjak dari kursi dan beralih merebahkan diri di sofa dekat jendela sambil menumpangkan tangannya di kepala, "Dulu aku berbohong dan menutupi jati diriku sebagai Edogawa Conan demi keselamatannya. Tapi jika menutupi kejadian diantara kita demi keselamatan atas kecerobohanku, itu tidak adil untukmu Shiho dan tidak adil juga untuk Ran,"

"Meski kebenaran itu akan menyakitkan?"

"Ah dan tanggapan Ran membuatku lebih merasa tidak enak hati,"

"Uhm?" Shiho berbaring miring lagi untuk memandang Shinichi.

"Dia benar-benar khawatir ketika kau pingsan. Dia mengomeliku dan bersikeras agar aku menjagamu dan tidak mengecewakanmu, meski dalam hatinya sendiri ia merasa kecewa,"

Mendengar itu, Shiho semakin merasa bersalah pada Ran.

"Dia bilang dia memang marah akibat perbuatanku. Tapi dia bisa menerima karena wanita itu dirimu. Jika wanita lain, dia akan lebih kecewa. Dia juga berterima kasih karena kau membuatku sempat kembali padanya dengan penawar APTX. Itu sudah lebih dari cukup,"

"Kudo-Kun..."

"Uhm?" Shinichi menatap Shiho.

"Kembalilah pada Ran-San, aku yakin jika kau memohon padanya, dia masih bersedia menerimamu lagi. Sementara aku akan pergi ke Inggris,"

"Eh? Inggris?"

"Ah, jika Jepang sudah tidak dapat menerimaku, aku akan mencoba Inggris, tempat kelahiran ibuku. Disana tidak ada yang mengenalku,"

Shinichi bangkit duduk, "Mana bisa aku membiarkanmu sendirian di sana Shiho?"

"Ran-San wanita yang baik, tidak seharusnya kau menyerah,"

Shinichi tersenyum pahit lagi, "Tapi dia sudah menyerah padaku,"

"Nani?"

"Dia sudah pergi,"

"Eh? Kemana?"

"Dia sarjana pendidikan, panggilannya adalah anak-anak dan mengajar. Dia menerima pekerjaan untuk mengajar anak-anak di pedalaman,"

"Kau masih bisa mengejarnya,"

"Percuma saja Shiho. Aku tahu sifatnya. Dia takkan mau kembali padaku. Dia sangat mencintai anak-anak, termasuk anak di dalam kandunganmu. Dia adalah anak broken home. Orang tuanya bercerai, tentunya dia tidak ingin anak kita mengalami hal yang sama. Seorang anak lebih baik dengan orang tua yang lengkap,"

Shiho berbaring lurus lagi menatap langit-langit.

Shinichi juga berbaring di sofa kembali.

"Shiho," panggil Shinichi setelah hening beberapa saat.

"Nani?"

"Kita menikah saja,"

Shiho terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku akan pikir-pikir dulu,"

"Takuuu... Kenapa masih harus pikir-pikir? Perutmu sebentar lagi besar. Aku juga tidak mau anak itu lahir tanpa status,"

"Hanya anak ini saja?"

"Uhm?"

"Bagaimana kau sendiri memandang diriku Kudo-Kun?"

"Eh?"

Shiho menarik selimut seraya berbaring miring memunggungi Shinichi, "Tak usah dijawab," ujarnya seraya menutup matanya untuk tidur.

Beberapa hari kemudian Shiho diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Yukiko bersikeras Shiho harus menetap di rumah keluarga Kudo alih-alih rumah Profesor Agasa. Yukiko merasa Shiho butuh teman wanita untuk menjalani kehamilan pertamanya. Shiho awalnya menolak halus, karena bagaimanapun juga ia belum bersedia menikah dengan Shinichi. Tapi karena Yukiko begitu memaksa, akhirnya ia setuju diboyong ke rumah Shinichi.

Di rumah keluarga Kudo, semua orang sangat memanjakan Shiho, terutama Yukiko. Yukiko tidak segan-segan menghardik Shinichi yang tanpa sadar membahas kasus bersama Shiho hingga larut malam.

"Shin-Chan! Kau lupa apa Shiho sedang hamil?! Jangan diajak begadang!" omel Yukiko galak pada suatu malam.

"Gomen gomen! Aku lupa, ternyata sudah malam ya. Ya sudah tidur sana Shiho," ujar Shinichi sambil garuk-garuk kepala.

Shiho kembali mengerjakan proposal penelitiannya. Setiap malam Shinichi membuatkannya susu untuk ibu hamil. Sekeluarga kompakan bermanis-manis pada Shiho agar dia bersedia menikah dengan Shinichi. Bahkan suatu hari Yukiko membawa kehebohan di ruang tamu. Ia membeli begitu banyak baju bayi dan mainan anak-anak.

"Y-Yukiko-San..." Shiho terbengong-bengong menatap ruang tamu yang penuh dengan pernak-pernik bayi dan anak-anak.

Shinichi juga tercengang, "Okasan... Ini tidak kebanyakan?"

"Tentu saja tidak," sahut Yukiko manis.

"Ini bisa untuk satu panti asuhan," ujar Shiho.

"Lagipula anaknya juga belum tahu laki-laki atau perempuan kan?" ujar Shinichi.

"Karena itu! Okasan membelikan dua jenis, untuk laki-laki dan perempuan hehehe..."

Shinichi selalu mengantar Shiho check up rutin. Ia suka memandangi perkembangan janin di monitor USG. Ia juga melindungi Shiho dari wartawan-wartawan yang kerapkali mengejar mereka. Shiho merasa Shinichi tidak berubah. Sejak ia masih Edogawa Conan hingga sekarang, Shinichi begitu total melindunginya.

Shiho akhirnya menyadari, banyak pasangan suami-istri yang tadinya saling mencintai, namun cinta itu juga belum tentu dapat bertahan lama. Bahkan tidak jarang yang akhirnya jadi saling menyakiti. Sementara Shinichi, mungkin saat ini pria itu tidak mencintainya. Tapi Shinichi sangat menghormatinya dan memperlakukannya dengan baik. Ia bertanggung jawab jauh melebihi suami manapun di dunia ini.

"Angsa putih?" tanya Shiho ketika membuka kotak hadiah dari Shinichi di malam Natal. Sebuah gantungan handphone berbentuk angsa putih dengan leher melengkung membentuk setengah hati.

"Eh, penjual di toko itu bilang padaku. Jika aku memberikan pasangan angsa putih ini pada temanku makan dia akan menjadi sahabat sejatiku selamanya. Kalau aku memberikan pada kekasihku, maka kami akan menjadi belahan jiwa selamanya,"

"Jadi? Aku masuk kategori mana? Teman atau kekasih?"

"Partner. Kau partner sejatiku. Lihat, aku juga pegang satu," Shinichi menunjukkan angsa putih miliknya sendiri yang merupakan pasangan angsa Shiho.

Shiho meraih handphonenya. Ia melepas gantungan boneka Higo dan menggantinya dengan angsa putih dari Shinichi.

"Partner sejati kedengarannya menyenangkan," ujar Shiho. "Partner memiliki arti yang lebih dalam. Partner bisa berarti teman, sahabat, kekasih maupun sepasang suami istri. Banyak suami-istri yang belum tentu bisa menjadi partner. Tapi partner bisa menjadi segalanya,"

Shinichi mengerjap, "Shiho apa itu berarti kau?"

Shiho memandangnya dengan wajah merona, hatinya telah luluh, "Aku bersedia menikah denganmu, Tantei-San,"

Shinichi tersenyum seraya memeluknya, "Arigato Shiho," bisiknya

Seminggu kemudian, pernikahan mereka dilangsungkan dengan sederhana.

.

.

.

.

.

Suatu hari Shinichi baru sampai rumah tengah malam karena harus menyelesaikan kasus yang sangat penting. Ketika ia masuk kamar ia terkejut karena tidak menemukan Shiho di kasurnya. Samar-samar ia mendengar suara dari kamar mandi. Saat Shinichi mengintipnya, ia kembali dikejutkan melihat Shiho bersimpuh di depan toilet duduk sambil muntah-muntah hebat.

"Shiho!" Shinichi segera mengambil handuk bersih dan membasahinya dengan air hangat lalu menghampiri Shiho.

Shiho tak sanggup berkata-kata, ia terus saja muntah. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar. Shinichi membantu mengusap-usap punggungnya. Shiho muntah hingga beberapa saat lagi sebelum akhirnya berhenti. Shinichi menekan tombol flashnya lalu membersihkan wajah Shiho dengan handuk basahnya.

"Shiho..."

Napas Shiho terengah-engah ketika bergumam sambil menangis, "Gomene..."

"Eh? Kenapa kau minta maaf?"

"Aku... Aku tidak mau kau melihatku seperti ini..." isaknya.

Shinichi mengerti. Seorang wanita tak ingin terlihat buruk di hadapan seorang pria. Tapi Shiho lupa suaminya adalah detektif. Shinichi sudah biasa melihat mayat yang paling menjijikan sekalipun, hanya wanita muntah bukanlah masalah besar. Tatapannya melembut ketika ia memeluk Shiho ke dalam dekapannya.

"Kau bicara apa..." bisik Shinichi. "Akulah yang seharusnya minta maaf karena sudah membuatmu susah begini..."

Mendengar Shinichi bicara begitu, tangis Shiho malah semakin deras.

"Kau gemetaran sekali Shiho, kuantar ke dokter ya?"

Shiho menggeleng, "Aku ingin tidur saja, aku lelah,"

Shinichi melepas pelukannya dan menangkup wajah Shiho, "Kau yakin?"

"Uhm," Shiho mengangguk.

"Baiklah, kuantar kau ke tempat tidur," ujar Shinichi seraya membantu Shiho bangun namun Shiho mengeluh tak bisa bangun, "Kenapa?" tanyanya.

"Aku tak bisa..."

Shinichi paham, Shiho terlalu lama bersimpuh di lantai kamar mandi yang dingin, "Kesemutan ya? Aku gendong saja ya," ia pun menggendong Shiho, mengangkatnya dari lantai kamar mandi, membaringkannya di tempat tidur dan menyelimutinya. Kemudian Shinichi turun ke dapur untuk membuatkan teh hangat dan membawakannya pada Shiho.

"Lebih baik?" tanya Shinichi.

Ketika kehangatan menjalari perutnya, mual Shiho mereda, "Eh lebih baik, arigatou,"

Shinichi membantunya berbaring lagi dan menyelimutinya hingga sebatas leher.

"Apakah masih sering seperti ini Shiho?" tanya Shinichi lagi. Ia mengenal Shiho sejak lama. Ia tahu Shiho suka menahan deritanya seorang diri dan berpura-pura kuat di hadapan orang lain.

"Sesekali," dusta Shiho seraya mengedip lemah.

Shinichi tahu Shiho berbohong, "Kenapa kau tidak memberitahuku?"

"Aku tidak mau mengganggu kesibukanmu,"

Shinichi menangkup pipi Shiho, hal itu membuat Shiho menatapnya, "Apapun yang kau rasakan, tolong beritahu aku Shiho,"

Mata Shiho mulai berkaca-kaca.

"Kau merasa mual atau pusing. Kau ngidam apa dan mau makan apa. Katakan saja padaku. Aku akan berusaha memenuhinya. Jangan kau tahan seorang diri, kita kan partner,"

"Uhm," Shiho mengangguk, tenggorokannya tercekat mendengar suara lembut Shinichi.

"Besok jika masih mual-mual, kita ke dokter oke?"

"Uhm," Shiho mengangguk lagi, masih kehilangan suaranya.

"Istirahatlah," Shinichi mengecup keningnya.

Ketika Shiho memejamkan matanya, airmata mengalir melalui ekor matanya.

Shiho kembali mengajukan proposal penelitiannya untuk mendapatkan sponsor. Pers Jepang masih tidak berhenti menyudutkannya sebagai penyebab kandasnya hubungan Shinichi dengan Ran Mouri. Kebenciannya terutama dari kalangan wanita yang menyebutnya sebagai pelakor. Setiap kali keluar rumah bersama Yukiko, Shiho menyadari tatapan sinis mereka sampai akhirnya Shiho tidak berani keluar rumah lagi. Keadaannya begitu tertekan karena berbagai media terus memberitakan hal buruk mengenai dirinya dan betapa menyedihkan Shinichi harus terjebak oleh wanita seperti dirinya. Shiho berusaha keras bertahan dari semua tekanan itu, namun ia akhirnya tak sanggup lagi ketika mencapai puncaknya. Proposalnya lagi-lagi ditolak sponsor.

Shinichi buru-buru ke rumah sakit saat Yukiko menelpon dan memberitahu Shiho pingsan di kamarnya. Dokumen-dokumen penelitian dan laptopnya berantakan, remote TV juga tergeletak di lantai. Yusaku menduga setelah mendengar berita jelek mengenai dirinya di TV ditambah mendapat email penolakan proposal, Shiho syok berat hingga tak sadarkan diri. Shiho pingsan di bawah dekat dengan meja kerjanya dan mengalami sedikit pendarahan padahal kandungannya sudah berusia tujuh bulan. Yusaku sudah merasakan keganjilan ketika Shiho tidak keluar kamar meski Yukiko sudah memanggilnya. Ia terpaksa mendobrak kamar dan menggendong menantunya itu ke rumah sakit.

"Shiho-San harus bedrest sampai waktunya melahirkan," dokter memberitahu Shinichi, Yukiko dan Yusaku setelah selesai menangani Shiho, "Dia tidak boleh tertekan. Sebaiknya ia menghentikan penelitiannya untuk sementara dan tidak menonton ataupun membaca berita-berita yang menyudutkannya. Jika sampai pingsan dan pendarahan lagi, dikhawatirkan bayi maupun dirinya akan mengalami masalah serius,"

"Kami mengerti Dokter. Terima kasih," sahut Shinichi.

Beberapa hari kemudian kondisi Shiho lebih stabil meski ia masih murung. Ketika Shinichi baru sampai rumah sakit dan memasuki kamar untuk bergantian jaga dengan Yukiko, ia menemukan Shiho yang tengah menonton televisi.

"Kalau aku jadi Kudo Shinichi, setelah anak itu lahir aku akan melakukan tes DNA. Miyano Shiho mantan anggota mafia, dia pasti penuh tipu daya. Belum tentu anak itu anak Kudo Shinichi. Itu hanya jebakan agar Kudo Shinichi berpisah dengan Mouri Ran," kata seorang narasumber wanita yang diwawancara reporter

Shinichi buru-buru meraih remote dan mematikan TV.

"Aku sudah bilang, tidak usah nonton berita sampah itu," kata Shinichi tegas.

Shiho hanya diam tidak berekspresi. Shinichi benar-benar cemas dengan kondisinya. Wajah Shiho begitu pucat, di bawah matanya ada lingkaran hitam. Sinar kehidupan seakan tersedot dari matanya. Shinichi ingin tsundere Shiho kembali alih-alih diam seribu bahasa.

"Shinichi..." panggil Shiho yang akhirnya bersuara.

"Kau ingin sesuatu?" tanya Shinichi.

"Ceraikan aku..."

Shinichi mengernyit, "Nani?!"

"Ceraikan aku dan tinggalkan aku..." airmata Shiho mengalir.

Shinichi meraih kedua bahu istrinya, "Kau bicara apa Shiho?"

"Aku partner yang tidak berguna, aku tidak mau membebanimu lebih jauh lagi..."

"Shiho!"

"Aku tidak mau menjadi aib untukmu!" isak Shiho.

"Sshh!" Shinichi memeluknya, "Aku tidak mau Shiho! Aku tidak mau menceraikanmu!"

"Kumohon..." Shiho tersedu-sedu dalam dekapan Shinichi.

"Aku tidak mau dan tidak akan pernah!" Shinichi melepasnya, menangkup wajahnya seraya menghapus airmatanya, "Kita pernah mengalami yang jauh lebih buruk dari ini Shiho. Jangan menyerah sampai disini..."

"Aku tidak bisa..." Shiho menggigit bibirnya.

"Ayolah Shiho! Evil-yawny-eyes! Bukankah kau pernah bilang selama aku bersamamu, kau bisa tenang? Aku masih di sini, di hadapanmu. Aku partnermu! Suamimu!"

"Shinichi..."

"Apakah begitu penting jika seluruh dunia membencimu? Jika masih ada aku, Okasan, Otosan dan Hakase yang begitu peduli padamu? Selama kau masih punya aku, aku akan menghadapi mereka semua! Aku akan melindungimu!"

Shiho tak sanggup berkata-kata, tenggorokannya tercekat karena sesenggukan.

Dengan halus, Shinichi menyibak rambut Shiho dan menyelipkannya ke balik telinga. Ia mengerti Shiho sedang berada di titik terendah hidupnya. Melihatnya terpuruk seperti ini Shinichi merasa iba, dadanya menggembung dengan rasa kasih sayang. Ia akhirnya mencondongkan wajahnya, meraih bibir Shiho dengan bibirnya dan mengulumnya dengan lembut. Shinichi dan Shiho tidak tahu, ketika mereka mabuk malam itu, apakah mereka pernah berciuman. Bagi mereka, saat ini adalah ciuman pertama mereka.

Shiho memejamkan mata menanggapi ciuman Shinichi. Shinichi tidak pernah tahu, ternyata Shiho begitu menggiurkan. Ia meraih tengkuk Shiho untuk membuat ciumannya lebih dalam. Ia menyusupkan lidahnya untuk membelai lidah Shiho dengan lembut. Tanpa sadar Shiho mendesah menikmati ciuman itu. Kegalauannya terlupakan. Otot-otonya menjadi rileks. Ketegangannya lenyap. Itu obat penenang yang sangat manjur.

"Jangan menangis lagi," pinta Shinichi seraya menghapus sisa-sisa airmata di wajah Shiho setelah menghentikan ciumannya, "Kalau kau manyun terus nanti putri kita juga akan jadi anak cemberut,"

Shiho melunak, "Shinichi..."

Shinichi mengecup kening Shiho dan memeluknya lagi, "Setelah kau melahirkan nanti, kita akan pergi dari sini..."

"Pergi? Kemana?" tanya Shiho masih menyandarkan wajahnya pada bahu Shinichi.

"Jodie-Sensei membutuhkan bantuanku dan aku memutuskan untuk menerimanya. Bekerjasama dengan FBI. Di Amerika nanti, kau juga bisa melanjutkan penelitianmu. Aku yakin kau dapat berkembang di sana. Di Amerika juga kita akan memulai keluarga kecil kita. Oke?"

"Uhm," Shiho mengangguk.

Shinichi tersenyum, "Itu baru partnerku,"

.

.

.

.

.

Yukiko membuka pintu kamar perawatan Shiho ketika ada yang mengetuk. Ternyata Profesor Agasa yang datang sembari membawa bunga lili kesukaan Shiho.

"Ah Hakase!" sambut Yukiko.

"Aku datang untuk menjenguk Shiho-Kun," kata Profesor Agasa dengan senyuman cerah.

"Masuklah Hakase!" Shinichi mempersilakan.

"Anooo... Aku tidak datang sendiri, tapi membawa rombongan..."

"Rombongan?" Yukiko mengerjap.

"Shiho nee-san!" Ayumi memanggil dengan ceria. Mitsuhiko dan Genta melongok dari balik bahunya.

"Minna?" Shiho terpana memandangi mereka.

Ketiga anak yang kini sudah kelas 4 SD itu menghampiri pembaringan Shiho.

"Kalian juga datang menjengukku?" tanya Shiho.

"Uhm," Ayumi mengangguk, kemudian mengeluarkan boneka lumba-lumba rajutan berukuran sedang berwarna pink, "Ini untuk Shiho nee-san. Ayumi yang buat sendiri loh,"

"Eh?" Shiho menerima lumba-lumba rajutan itu, "Bagus sekali. Arigatou,"

"Kebetulan sekali, bayinya memang perempuan," kata Shinichi.

"Waaah!" Detektif Cilik itu berseru berbarengan.

"Pasti kawaii seperti Shiho nee-san!" kata Genta.

"Dan pintar seperti Shiho nee-san dan Shinichi-niichan," tambah Mitsuhiko.

"Boleh nanti Ayumi bermain dengannya?" tanya Ayumi pada Shiho.

Shiho mengangguk seraya tersenyum, "Tentu saja boleh,"

"Nanti mau diberi nama apa Shiho nee-san?" tanya Mitsuhiko.

"Eh... entahlah belum terpikirkan..."

"Ayumi tahu! Diberi nama Ai-Chan saja, seperti nama Shiho nee-san waktu masih mengecil,"

"Ai-Chan? Wah aku jadi ingat dulu Conan-Kun dan Haibara-San suka mojok berduaan. Eh sekarang jadi sepasang suami-istri. Mereka memang dari dulu sangat serasi," ujar Mitsuhiko.

Genta berpikir seraya bertopang dagu, "Oh jadi dari dulu sudah pacaran ya? Aku kok tidak tahu? Pantas saja Haibara-San suka memakai topi Conan,"

"E-eh... bukan begitu maksudnya..." Shinichi dan Shiho jadi salah tingkah.

Yukiko terkekeh melihat mereka saling bercengkrama.

"Syukurlah, Shiho-Kun sekarang sudah lebih ceria," kata Profesor Agasa yang juga tampak senang melihat mereka semua.

"Eh," Yukiko mengangguk, "Berkat anak-anak itu,"

"Kedengaran?" tanya Shiho.

Shiho sudah pulang ke rumah dan bedrest di tempat tidurnya. Suatu sore di hari minggu, Shinichi tengah menempelkan telinganya ke perut besar Shiho yang telah berusia delapan bulan lebih. Mood Shiho sudah jauh lebih baik. Ia tidak lagi menonton ataupun membaca berita. Detektif Cilik kini rutin mengunjunginya dan membuat suasana hatinya lebih ceria.

"Aduh... Hehehe..." Shinichi terkekeh geli.

"Kenapa?"

"Dia seperti mencolek-colek pipiku,"

Shiho tersenyum sambil tangannya sesekali membelai rambut Shinichi.

"Dia aktif sekali," Shinichi mengerjap terpesona.

"Mungkin sedang main bola di dalam,"

"Kurasa dia akan jadi cewek tomboy,"

"Dan penggila misteri... Aduh duh..." Shiho meringis.

"Eh kenapa?" Shinichi refleks mengangkat kepalanya.

"Kencang,"

"Sakit?"

Shiho menarik napas dalam berulang kali, "Sudah tidak apa-apa,"

"Aka-Chan... Tidak boleh nakal ya..." Shinichi mengelus-elus perut Shiho.

"Di rumah dia aktif, tapi kalo ke dokter dia diam," gerutu Shiho.

"Bagaimana jika kau dengar musik klasik saja biar dia tenang?"

"Ide yang bagus tapi..."

"Apa?"

"Kau yang mainkan biolanya,"

"Eh? Kenapa?"

Mata Shiho menyipit, "Anggap saja aku ngidam itu. Kenapa? Tidak mau?"

"Oke oke Mam," Shinichi buru-buru mengambil biolanya.

Shiho nyengir melihat gelagatnya.

"Kau mau dinyanyikan lagu apa? Amazing Grace?" tanya Shinichi yang sudah bersiap dengan biolanya.

Shiho menggeleng, "Canon in D saja,"

"Oke,"

Shinichi memainkan Canon in D dengan biolanya. Jari-jarinya masih lincah memainkan biola, gerak tubuhnya alami mengikuti alunan nada. Shiho menikmati permainan itu. Permainan yang indah, terutama wajah Shinichi ketika memainkannya. Ia menyukainya.

"Aku tidak tahu, kemungkinan aku tidak bisa datang," kata Shinichi di handphonenya suatu siang, "Lihat saja nanti, akan kukabari lagi," ia memutus sambungan.

"Ada apa Shin-Chan?" tanya Yukiko yang duduk di tepi ranjang Shiho.

"Inspektur Megure mengundangku untuk menerima penghargaan," jawab Shinichi.

"Penghargaan?" ulang Shiho.

"Ah, kepolisian Jepang ingin memberiku penghargaan karena aku banyak membantu memecahkan kasus-kasus mereka. Bukan hanya aku saja, detektif lain juga dapat, termasuk Hattori Heiji," jelas Shinichi.

"Lalu kenapa kau bilang tidak bisa datang?" tanya Yukiko lagi.

"Pemberian penghargaan itu akan diliput oleh stasiun TV," hal yang paling Shinichi hindari saat ini adalah wartawan. Ia tidak mau dikejar-kejar mereka untuk menanyakan Shiho.

"Kalau kau mau pergi, ya pergi saja," kata Shiho.

"Aku tidak bisa. Perutmu sudah begitu besar, kalau terjadi sesuatu bagaimana?"

Mata Shiho menyipit, "Aku tidak sendirian di rumah kan,"

"Benar Shin-Chan. Ada Okasan dan Otosan, Shiho-Chan aman bersama kami. Kau pergi saja, tidak enak nanti pada Inspektur Megure. Mengenai wartawan itu, aku yakin Inspektur Megure dan timnya akan memperingatkan para wartawan untuk tidak menanyakan hal yang tidak berhubungan dengan acara penghargaan itu,"

Shinichi mempertimbangkan sejenak sebelum berujar, "Baiklah, aku akan pergi. Tapi sebentar saja. Setelah menerima penghargaan itu, aku akan langsung pulang dan tidak ikut perjamuannya,"

Malam pemberian penghargaan itu tiba. Shiho bersama Yukiko dan Yusaku menontonnya melalui televisi di ruang keluarga. Shinichi dipanggil setelah Hattori Heiji yang menerima penghargaannya lebih dulu. Shinichi sangat tampan dalam balutan tuksedo hitamnya. Setelah penghargaan selesai diberikan, para wartawan mulai mengerumuninya. Dan tampaknya, mereka lebih tertarik pada Shinichi dibandingkan Heiji.

"Kudo-Kun! Kepada siapa Anda ingin memberikan penghargaan ini?" tanya para wartawan itu sambil mengacungkan mic nya.

"Kudo-Kun, kemampuan deduksi Anda sungguh luar biasa. Siapa yang telah membantu Anda hingga sampai pada tahap ini? Yusaku-San? Yukiko-San? Atau Ran-San kah?"

Para wartawan itu mengira, Ran yang merupakan putri Detektif Kogoro yang banyak membantu pekerjaan Shinichi. Mereka bahkan tidak menyebut-nyebut Shiho. Para bedebah ini tidak tahu apa-apa, hanya memercayai angan-angan mereka saja. Padahal Ran tidak memiliki kemampuan deduksi apapun meski dia putri detektif dan pengacara terkemuka.

"Aduh mereka masih iseng saja ya," gerutu Yukiko di depan TV.

"Kita matikan saja ya," Yusaku meraih remote.

"Tunggu dulu," Shiho mencegah, "Ia ingin mengatakan sesuatu,"

"Aku mempersembahkan penghargaan ini..." kata Shinichi tenang namun tegas dalam nada suaranya, "Untuk istriku Kudo Shiho dan calon putri kami..."

Yusaku dan Yukiko terkesiap.

Shiho pun terpana, matanya bergetar.

"Aku bisa sampai tahap ini berkat Shiho. Aku memang memiliki kemampuan deduksi, tapi dalam membuat sebuah deduksi diperlukan informasi. Shiho lah yang telah membantuku mengumpulkan semua informasi itu dalam waktu singkat. Sejak dulu partnerku adalah Shiho. Dia ilmuwan luar biasa. Tanpanya, aku tidak akan mampu menganalisis dengan cepat. Hanya Shiho yang sanggup bertukar pikiran dengan penggila misteri seperti diriku. Terima kasih,"

"Tapi bukankah Shiho-San yang telah meracuni Anda..." para wartawan masih ngotot.

Shinichi tidak menghiraukan mereka dan berjalan cepat masuk ke mobilnya.

"Ah Shin-Chan... romantis sekali..." puji Yukiko dengan wajah berbunga-bunga.

Arigatou... Shinichi... kata Shiho dalam hati. Pandangannya buram karena airmata, namun entah kenapa tiba-tiba saja kelopak matanya terasa berat. Pada akhirnya ia hanya melihat kegelapan.

"Nani? Shiho-Chan? Shiho-Chan!" Yukiko histeris ketika melihat Shiho mendadak pingsan.

Yusaku langsung membawanya ke rumah sakit.

.

.

.

.

.

"Otosan! Okasan!" Shinichi berlari menghampiri kedua orang tuanya di koridor rumah sakit.

"Shin-Chan," Yukiko dan Yusaku berdiri menyambut kedatangannya.

"Shiho, bagaimana keadaannya?" tanya Shinichi.

"Shiho masih di ruang operasi," kata Yusaku.

"Kenapa bisa? Apa yang terjadi?"

"Dia tiba-tiba saja pingsan setelah menontonmu di TV. Padahal sebelumnya dia baik-baik saja. Kami juga tidak mengerti," kata Yukiko muram.

"Sekarang kita tunggu saja," pinta Yusaku sabar.

Mereka akhirnya menunggu bersama. Shinichi sudah bolak-balik berdiri-duduk dan mondar-mandir. Ia tidak suka penantian macam ini. Rasanya seperti berabad-abad.

Ketika lampu ruang operasi berubah menjadi hijau. Shinichi, Yusaku dan Yukiko segera berdiri menghadap pintu. Para tim medis akhirnya keluar sambil mendorong sebuah kotak kaca berisi bayi perempuan. Operasi cesar telah dilakukan. Akhirnya dokter yang melakukan operasi muncul menghampiri keluarga Kudo.

"Bagaimana Shiho, Dokter?" tanya Shinichi.

Dokter paruh baya tersebut memejamkan matanya dengan muram, "Maaf Kudo-Kun. Tapi situasi Shiho-San tidak begitu baik,"

"Nani? Kenapa?"

"Shiho-San mengalami guillain barre syndrome, penyakit autoimun yang langka dan menyerang sistem saraf tepi,"

Yusaku, Yukiko dan Shinichi terhenyak.

"Tapi bagaimana bisa?" Yukiko tampak tidak terima, airmatanya berlinangan, "Shiho tampak baik-baik saja selama ini,"

"Hal itu bisa saja terjadi. Bahkan ada beberapa kasus seminggu setelah melahirkan baru muncul gejalanya. Penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui,"

"Lalu bagaimana keadaan Shiho sekarang?" tanya Shinichi lagi.

"Shiho-San kehilangan kesadarannya. Ia mengalami koma,"

"Tidak!" Yukiko menutup wajahnya.

Shinichi lemas.

"Apakah ada kemungkinan baginya untuk sembuh?" tanya Yusaku.

"Ada beberapa kasus yang bisa sembuh sendiri, tidak sedikit yang membutuhkan perawatan khusus tapi banyak yang tidak sembuh hingga kematian,"

"Kapan? Kapan Shiho bisa bangun?" tanya Yukiko.

"Maaf, tapi saya tidak dapat memastikannya. Bisa satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun atau tidak sama sekali. Kalaupun Shiho-San sadar nantinya, kemungkinan besar ia akan mengalami kelumpuhan,"

Yukiko menangis tersedu-sedu, Yusaku memeluknya.

"Bisa aku melihatnya Dokter?" tanya Shinichi parau, hilang semangat. Seharusnya ia bahagia hari ini karena putrinya telah lahir, tapi ia kehilangan Shiho.

"Silahkan. Sebentar lagi Shiho-San akan dipindah ke ruang ICU,"

Dengan langkah kuyu dan bahu terkulai, Shinichi memasuki ruang operasi. Hatinya pedih melihat mata Shiho terpejam rapat. Ventilator terpasang pada saluran pernapasannya. Berbagai infus dan kabel-kabel pengawas kehidupan terpasang di tubuh mulusnya. Tenggorokan Shinichi tercekat, airmatanya mengalir. Di benaknya terbayang masa-masa serunya bersama Shiho, sejak tubuh mereka mengecil hingga kasus organisasi hitam terselesaikan.

Shinichi menunduk, meraih tangan Shiho dan menempelkan telapaknya ke pipinya sendiri. Ia menatap wajah Shiho namun pandangannya buram karena airmata.

"Shiho..." panggil Shinichi, "Gomene..."

Shinichi mengecup tangannya, "Bangunlah Shiho... Aku membutuhkanmu... Putri kita telah lahir... Dia cantik sekali..." Shinichi terisak hebat, "Kami membutuhkanmu Shiho... Tolong jangan pergi sekarang... Jangan tinggalkan aku seperti ini... Aku tak sanggup..." Shinichi menyandarkan kepalanya pada dada Shiho sambil terus tersedu-sedu.

Shinichi tengah membereskan barang-barang Shiho untuk dibawa ke rumah sakit. Ia tidak membawa banyak, hanya secukupnya, berharap Shiho takkan berada di sana untuk waktu lebih lama lagi. Lalu ketika ia membuka laci di lemari kecil di samping tempat tidur, ia tertegun. Ada sebuah amplop bertuliskan Untuk Shinichi suamiku. Tulisannya jelas tulisan tangan Shiho. Shinichi meraihnya. Sambil duduk di lantai dan menyandarkan punggungnya pada tepi tempat tidur. Ia membuka amplop itu dan mulai membacanya.

Dear Shinichi,

Aku tidak tahu, apakah aku masih hidup ketika kau membaca surat ini. Aku dapat merasakan ada sesuatu yang ganjil dalam diriku. Sesuatu yang tidak baik. Aku tidak tahu apakah aku masih sanggup bertahan setelah melahirkan nanti. Tapi paling tidak aku bertekad, untuk melahirkan putri kita dengan selamat.

Shinichi... Sejak aku dilahirkan di dunia ini, nasibku tidak begitu baik. Orang-orang yang kucintai, satu per satu meninggalkanku. Aku merasa hidupku tidak berarti. Tapi setelah bertemu denganmu, segalanya berubah. Kaulah alasanku untuk menjalani hidup hari demi hari. Ketika tubuh kita mengecil bersama, aku sungguh berharap hal itu dapat berlangsung selamanya. Meski hatimu selalu bersama Ran-San, asalkan aku bisa berada di sisimu dan menjadi partnermu, itu sudah memberiku kekuatan dan aku tidak berani berharap lebih.

Untuk putri kita, aku setuju dengan Yoshida-San. Beri saja dia nama Ai, karena kita pernah berpetualang bersama ketika aku masih menjadi Haibara Ai. Tapi aku minta, jangan menggunakan karakter 'kesedihan' untuknya, aku tidak mau putri kita bernasib seperti diriku. Gunakan karakter 'cinta' untuk namanya, agar dia dicintai oleh semua orang.

Aku minta maaf Shinichi, kalau aku tidak bisa menjadi partner yang baik untukmu. Mengenai Ai, carikanlah ibu yang baik untuknya. Pergilah pada Ran-San. Aku tahu, dia pasti akan menerimamu dan Ai. Hanya di tangan Ran-San, aku bisa memercayakan dirimu dan putri kita.

Aku tahu kau tidak pernah mencintaiku. Tapi aku sangat bersyukur bisa mengenalmu dan menjadi istrimu meski hanya sesaat. Kasih sayangmu padaku tidak akan pernah kulupakan. Selama aku hidup, akhirnya aku bisa merasakan setetes keberuntungan berkat dirimu. Maaf aku tidak bisa mendampingimu merawat Ai. Tapi aku yakin kau pasti akan mencintainya. Dengan kau mencintai Ai, sama saja kau mencintaiku karena ada bagian diriku dalam diri Ai, itu sudah lebih dari cukup.

Partner yang selalu mencintaimu,

Shiho

Bahu Shinichi berguncang ketika meremuk surat itu. Airmatanya kembali mengalir.

"Baka..." isaknya, "Bakane! Shiho!"

Shinichi memeluk lututnya dan menenggelamkan wajahnya dalam siku tangannya. Ia biasanya adalah detektif yang tegar, tapi kali ini pertahanannya runtuh.

Aku tidak mau kehilanganmu Shiho... Aku tak bisa...

Shinichi menangis seorang diri di kamar itu hingga beberapa saat lamanya.

Setelah kurang lebih setengah jam mengasihani diri sendiri, Shinihi menghapus airmatanya. Ia menegarkan dirinya seraya bangkit berdiri mengambil biolanya. Shinichi menyetel handphonenya untuk merekam suara, lalu ia mulai memainkan alunan Canon in D dengan biolanya. Ia memainkannya sepenuh hati sambil membayangkan wajah Shiho ketika memintanya memainkan lagu itu untuknya.

Aku takkan menyerah Shiho...

Alunan biola Shinichi, Canon in D diputar tanpa henti di sebuah tape kecil yang diletakkan Shinichi dekat pembaringan Shiho. Profesor Agasa dan Detektif Cilik kadang-kadang datang untuk menjenguk Shiho meski pada akhirnya mereka harus pulang membawa kemurungan. Setiap malam Shinichi yang berjaga di rumah sakit, sementara Yukiko berjaga di siang hari bersama Yusaku. Ai si bayi mungil itu sudah diperbolehkan pulang terlebih dahulu. Yukiko dan Shinichi bergantian merawatnya, kadang Profesor Agasa datang membantu. Hal itu terus berlangsung selama tiga bulan, tanpa perubahan berarti. Tim medis sudah memberi saran untuk mencabut semua alat penopang kehidupan Shiho, tapi Shinichi menolak mentah-mentah. Ia belum menyerah.

"Eh? Kau yakin Shin-Chan? Mau membawa Ai-Chan malam ini?" tanya Yukiko.

"Ah ya," sahut Shinichi seraya menggendong bayi mungil itu dalam dekapannya.

"Memangnya boleh dia masuk ICU?"

"Dokter sudah mengijinkan, tentunya setelah kupaksa,"

"Heh?" Yukiko mengerjap.

"Aku sudah melakukan segala cara, tapi Shiho belum ada kemajuan juga," kemudian Shinichi memandang bayinya, "Sejak lahir Ai belum pernah bertemu dengan Shiho. Hanya dia harapan terakhirku, Okasan. Mungkin jika bertemu bayinya, Shiho akan bangun,"

"Semoga saja begitu,"

Maka malam itu Shinichi berangkat ke rumah sakit bersama Ai, semua perlengkapan bayi juga sudah dibawa. Hingga ia tiba di kamar Shiho, bayi itu tenang sekali, tidur pulas di dalam selimutnya.

"Hai Shiho..." sapa Shinichi pada Shiho yang masih tidak sadarkan diri, "Lihat siapa yang kubawa malam ini," Shinichi meletakkan tas perlengkapan bayi di sofa lalu membaringkan Ai dengan hati-hati di sisi Shiho.

"Ini Ai-Chan, putri kita," bisik Shinichi, "Sejak dia lahir, kau belum bertemu dengannya kan?"

Ai hanya mengeluarkan suara-suara gumaman lembut. Sesekali bayi mungil itu menggeliat dan menendang-nendang.

"Dia mirip sekali denganmu Shiho," Shinichi bercerita, "Kulitnya putih dan warna rambutnya kemerahan. Secara fisik sama sekali tak ada mirip-miripnya denganku. Tapi entahlah, mungkin setelah dia agak besar nanti baru ketahuan, pasti ada miripnya denganku juga,"

"Jika dia mewarisi kepandaian kita berdua, aku pasti kewalahan menjawab semua pertanyaannya. Aku membutuhkan bantuanmu Shiho. Sebelum Ai terlalu besar, aku mohon bangunlah. Kita bertiga pasti akan menjadi partner yang hebat,"

Shinichi menyandarkan kepalanya di tepi ranjang sambil mengulurkan lengannya melewati Ai untuk menggenggam tangan Shiho. Ia akhirnya jatuh tertidur di sana.

Lewat tengah malam, Shinichi terbangun. Ia merasakan gerakan kecil di bawah telapak tangannya. Awalnya ia mengira bayinya yang bergerak-gerak, tapi kemudian ia menyadari, yang bergerak adalah jari Shiho.

Shinichi mengerjap memandang Shiho, "Shiho?"

Lambat-lambat sekali, Shiho membuka matanya.

Shinichi mendengus lega, ia meraih tombol alarm untuk memanggil tim medis. Tak lama kemudian, dokter dan perawat masuk untuk memeriksa kondisi Shiho.

Shiho masih lemah, ia belum bisa bergerak maupun bicara, namun matanya selalu melihat ke ambang pintu, tempat dimana Shinichi berdiri sambil menggendong Ai. Dokter akhirnya menyadari arah pandang itu.

"Mendekatlah Kudo-Kun, sepertinya Shiho-San menginginkan bayinya," pinta dokter.

Shinichi berjalan mendekat, dokter menyingkir untuk memberinya ruang. Shinichi duduk di tepi ranjang, menurunkan gendongannya lebih rendah agar Shiho bisa melihat Ai.

Mata Shiho menatap bayi itu dalam-dalam. Penuh hasrat dan keinginan yang tidak tersampaikan. Airmatanya mengalir.

"Kau mau menggendongnya?" tanya Shinichi.

Shiho mengedip sekali sebagai jawaban.

"Aku bantu ya," Shinichi meraih lengan Shiho, mengatur posisinya sedikit menekuk untuk membaringkan Ai di sana. Shinichi memegang dan menahan lengan Shiho selama menggendong Ai, agar tidak merosot.

Shiho ingin sekali mengecup putrinya, namun badannya tidak bisa digerakkan. Ia juga masih mengenakan ventilator. Shinichi mengerti derita itu, ia mengecup kening Shiho.

"Setelah sembuh nanti, kau pasti bisa memeluknya," bisik Shinichi menguatkan istrinya.

Proses penyembuhan Shiho tidak mudah. Masih butuh waktu hingga beberapa hari sebelum akhirnya ventilator Shiho bisa dilepas. Perlu sesi terapi berminggu-minggu untuk melatihnya agar dapat bicara kembali. Kemudian fisioterapi untuk melatih lengan-lengannya agar bisa kembali digerakkan dengan leluasa.

Kurang lebih empat bulan setelah Shiho sadar dan melalui semua sesi terapi yang melelahkan, ia akhirnya bisa bicara dan menggerakan leher serta lengannya. Namun kakinya masih lumpuh. Dokter mengijinkannya pulang dan menjadwalkan sejumlah fisioterapi lainnya untuk melatihnya berjalan.

Di luar semua masalah itu, para wartawan masih memburunya. Berita Shiho koma tiga bulan sudah menjadi konsumsi publik, begitu juga ketika dirinya sadar. Shinichi sampai harus memanggil keamanan ekstra ketika membawa Shiho pulang dari rumah sakit. Entah bagaimana para wartawan itu dapat mengetahui jadwal kepulangan Shiho dan menghujani mereka dengan blitz kamera.

"Jika begini terus, Shiho bisa tertekan lagi. Sebaiknya kepergian kita ke Amerika jangan ditunda lagi. Shiho dapat melanjutkan pengobatannya di sana, dengan situasi yang lebih tenang," kata Yusaku.

"Aku juga berpikir begitu Otosan. Aku akan bicara padanya," kata Shinichi seraya berlalu memasuki kamarnya.

"Okasan taruh dia di box bayi dulu ya Shiho-Chan. Nanti kau bisa gendong dia lagi," kata Yukiko seraya meraih Ai dari dekapan Shiho dan keluar kamar melewati Shinichi.

Shinichi menghampiri Shiho yang duduk di kursi roda, ia berlutut di hadapan istrinya sambil menggenggam kedua tangannya.

"Kau senang pulang ke rumah?" tanya Shinichi.

Shiho mengangguk, namun matanya menatap jendela yang tertutup gorden. Ia tahu di luar gerbang, para wartawan masih menunggu.

"Kau ingat Shiho? Mengenai rencana kita ke Amerika?" tanya Shinichi lagi.

Shiho kembali mengangguk.

"Aku akan segera mengaturnya, supaya kita bisa segera pindah. Kau juga dapat melanjutkan fisioterapimu di sana,"

"T-tap-pi..." gumam Shiho terbata.

"Kenapa?"

"T-tdak apa...pa kah? K-karirrmu... b-bagus ddsni..."

Shinichi memberinya senyum menenangkan, "Karirku juga dapat berkembang di sana bersama FBI. Di Amerika tidak ada paparazzi yang mau mengejar kita, hidup kita pasti lebih tenang di sana. Oke?"

"U-uhm,"

Shinichi memeluknya.

.

.

.

.

.

Amerika...

Buk! Shiho jatuh lagi menimpa tubuh Shinichi.

Entah sudah berapa ratus kali ia jatuh hari ini di sesi pertama terapinya.

"Ayo Shiho, kita coba lagi," kata Shinichi seraya meraih ketiak Shiho dengan lengannya.

"Tidak!" tolak Shiho.

"Nani?"

"Aku tidak mau!" pekik Shiho terengah-engah. Keringat membasahi wajahnya.

"Kenapa?"

"Tidak bisa... Aku takkan bisa jalan lagi..."

"Jangan putus asa begitu Shiho!"

"Aku tak mau! Jangan paksa aku!" isak Shiho.

Shinichi mendesah, "Baiklah, mungkin kau lelah. Kita coba lagi lain waktu,"

Tapi di lain waktu juga tidak ada kemajuan. Setiap sesi terapi merupakan penyiksaan bagi Shiho. Begitu pula bagi Shinichi. Setiap kali mengantar Shiho terapi, wanita itu akan terus mengamuk dan merajuk. Benar-benar menguji kesabaran Shinichi. Menemani Shiho terapi sangat menguras energi Shinichi. Rasanya jauh lebih lelah daripada menginvestigasi sepuluh kasus sekaligus. Mengurus Shiho lebih repot daripada mengurus Ai.

"Eh," Shinichi menyadari sesuatu ketika baru sampai di lobi rumah sakit setelah melewati sesi terapi yang melelahkan hari itu dan bersiap untuk pulang.

"Nani?"

"Sepertinya handphoneku terjatuh di ruang terapi,"

"Takuuu..." keluh Shiho.

"Kau tunggu sini sebentar ya, aku cari dulu,"

"Hai hai..."

Shiho menyangga dagu di lengan kursi rodanya selama menunggu.

"Suamimu?" tanya seorang wanita tua asing berwajah ramah di sebelah Shiho. Wanita itu juga duduk di kursi roda.

"Iya," jawab Shiho.

"Sepertinya dia baik dan penuh perhatian ya,"

"Eh? Iya,"

"Dia pasti sangat mencintaimu,"

"Uhm... entahlah. Dia tidak pernah mengatakan hal itu,"

Wanita itu terkekeh lembut, "Tidak pernah mengatakan bukan berarti tidak cinta kan?"

Shiho memandangnya.

"Suamiku juga bukan tipe yang romantis. Ia tidak pernah berkata cinta padaku, tapi yang dilakukannya jauh melebihi seorang suami yang mencintai istrinya,"

"Benarkah?"

"Kata-kata hanya mengurangi maknanya. Perhatiannya jauh lebih penting,"

Shiho merenungkan kata-kata wanita tua itu.

"Jika melihat mata suamimu, sudah jelas dia sangat mencintaimu,"

Shinichi mencintaiku? Benarkah?

"Semoga kalian bahagia," wanita tua itu mendoakan.

"Terima kasih. Meski aku tidak tahu dan kerapkali bertanya-tanya bagaimana membuatnya bahagia? Kami menikah karena suatu kondisi tidak terduga. Aku takut, aku bukanlah istri yang diharapkannya. Aku tidak bisa membuatnya bahagia,"

"Ah, apa kau tahu bagaimana cara membuatnya bahagia?"

"Eh?"

"Caranya sederhana, yaitu dengan kebahagiaanmu,"

"Kebahagiaanku?"

"Benar. Dengan membuat dirimu sendiri bahagia, maka dia juga akan bahagia,"

"Membuat diriku sendiri bahagia?"

"Aku dan suamiku juga menikah dengan kondisi yang tidak mudah. Suamiku anak keluarga kaya, aku hanya seorang gadis miskin. Dia sudah dijodohkan dengan wanita yang lebih kaya pilihan orang tuanya. Tapi dia malah memilih kawin lari denganku. Kehidupan rumah tangga kami awalnya sungguh sulit. Dia harus bekerja membanting tulang. Seringkali aku menyuruhnya menceraikan aku dan kembali pada wanita pilihan orang tuanya agar hidupnya tidak menderita. Kemudian suatu hari dia tidak tahan lagi, ia berteriak padaku untuk berhenti membahas perceraian. Dia bilang, kalau aku ingin dia bahagia, maka aku juga harus bahagia. Menyambut kepulangannya dengan senyuman alih-alih menderanya untuk pergi," wanita itu mengenang.

Shiho tersentak dengan cerita itu.

"Orang-orang selalu lupa. Membuat orang bahagia itu tidak sulit, yaitu dengan kita sendiri bahagia," wanita itu tersenyum hangat.

"Shiho!" mendadak Shinichi muncul dari belakangnya.

"Ketemu?" tanya Shiho.

"Iya ketemu," sahut Shinichi seraya meraih pegangan kursi roda.

"Terima kasih Bibi. Senang bercakap-cakap denganmu," kata Shiho pada wanita tua itu.

"Sama-sama," balas wanita tua itu.

Di mobil Shiho terdiam memikirkan kembali kata-kata wanita tua itu. Shinichi mencintainya? Dan ia harus bahagia untuk membuat Shinichi bahagia?

"Shiho? Kenapa? Kok diam saja?" tanya Shinichi.

"Shinichi..."

"Uhm?"

"Boleh kita tidak langsung pulang?"

"Eh? Kau mau kemana?"

"Aku ingin mencari udara segar,"

"Oke," Shinichi memutar mobilnya ke arah lain.

Shinichi akhirnya membawa Shiho ke taman Central Park. Menikmati suasana sore sambil duduk di tepi danau. Pandangan Shiho menerawang menatap langit.

Jika melihat mata suamimu, sudah jelas dia sangat mencintaimu...

Dengan membuat dirimu sendiri bahagia, maka dia juga akan bahagia...

Shiho memejamkan matanya untuk memutar kembali adegan-adegan yang telah dilewatinya bersama Shinichi, baik sebagai Haibara Ai maupun sebagai Miyano Shiho.

Kita adalah partner...

Kau partner sejatiku...

Kemudian ketika sampai pada adegan ciuman itu, Shiho tersenyum.

"Eh?" Shinichi bingung melihat Shiho yang mendadak tersenyum sendiri. Padahal saat terapi tadi, ia masih mengerikan luar biasa.

"Nani?" tanya Shiho membuka matanya, menyadari tatapan Shinichi.

"Eh tidak tidak,"

Shiho memandang danau lagi, "Shinichi..."

"Uhm?"

"Sesi terapi berikutnya, aku ingin ada Ai-Chan,"

"Kau ingin Ai ada di setiap sesi terapimu?"

Shiho mengangguk, "Eh, mungkin dengan begitu, aku bisa lebih kuat,"

"Boleh saja, Ai bisa dibawa oleh Okasan,"

"Kau tidak kapok menemaniku kan?"

"Tidak,"

"Gomene,"

"Oi, kenapa tiba-tiba suasana hatimu berubah? Apa si Bibi itu ada mengatakan sesuatu?"

"Tidak,"

Shinichi berlutut di depan kursi roda Shiho seraya mencondongkan wajahnya.

"Ah, dasar detektif. Kau bersikeras ingin tahu ya?"

"Tentu saja. Apa kalian membicarakan aku?"

Shiho mengulurkan kedua tangannya untuk menangkup kedua pipi Shinichi.

"Eh?" wajah Shinichi merona.

"Maaf sudah menyusahkanmu selama ini," kata Shiho.

Mata Shinichi menyipit, "Kenapa kau jadi minta maaf terus?"

"Aku janji, mulai hari ini aku akan lebih kuat,"

"Eh?" Shinichi mengerjap, tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari istrinya.

"Aku tidak akan merajuk dan menangis lagi. Aku akan bangkit sampai bisa berjalan dan kembali menjadi ilmuwan, agar aku pantas menjadi istrimu dan ibu Ai-Chan,"

Mata Shinichi bergetar, ia menangkup kedua tangan Shiho yang menyentuh wajahnya, "Kau tahu? Betapa aku senang mendengarmu berkata begitu?"

Shiho tersenyum dan ketika ia melakukannya, Shinichi melihat dia begitu cantik. Kemudian Shiho mencondongkan tubuhnya untuk mengecup kening Shinichi.

Shinichi nyengir.

"Apa?" tanya Shiho.

"Ayolah Kudo-San. Kita sudah punya satu anak dan kau hanya berani mengecup kening?" goda Shinichi.

"Eh?" wajah Shiho memerah.

Shinichi berdiri, menumpukan kedua tangannya di lengan kursi roda Shiho. Ia mencondongkan wajahnya dan meraih bibir Shiho dengan bibirnya. Mereka berciuman di bawah sinar matahari sore.

Buk!

Untuk ke sekian kalinya Shiho jatuh menimpa Shinichi di sesi terapi hari itu.

"Kau mau istirahat dulu Shiho?" Shinichi menawarkan.

Shiho memandang ke arah jendela di mana di luar sana Yukiko sedang menggendong Ai dan membuat tangan mungil bayi itu melambai-lambai ke arah Shiho untuk memberinya semangat.

"Ayo semangat Okasan!" kata Yukiko sambil menimang Ai.

"Tidak," kata Shiho pada Shinichi seraya menguatkan dirinya, "Aku mau coba lagi,"

Shinichi kagum padanya, "Baiklah, ayo,"

Shiho rajin berlatih, tidak hanya di rumah sakit. Di rumah ia juga berlatih berjalan bersama Shinichi, yang selalu sigap menangkap jika Shiho terhuyung. Di waktu yang senggang di luar latihannya, Shiho mulai menyusun proposal penelitiannya kembali. Box Ai tidak pernah jauh-jauh dari sisinya. Jika bayinya sedang rewel, Shiho akan berhenti sebentar untuk menenangkannya sebelum kembali bekerja. Berkat tekad yang membulat dan dukungan dari seluruh keluarga terutama Ai sebagai motivasinya, perlahan-lahan Shiho mengalami kemajuan. Dari kursi roda beralih menggunakan tongkat hingga akhirnya lepas sama sekali.

.

.

.

.

.

Enam tahun kemudian...

Penerangan di ruang seminar itu diredupkan, kemudian muncul tampilan presentasi empat dimensi di hadapan para peserta seminar. Dengan grafik lampu berwarna hijau, desain ginjal bionik berputar di atas mereka. Sementara suara dingin merdu ilmuwan tersebut menjelaskannya sambil menunjuk bagian-bagian ginjal dengan pointer merah.

"Ini adalah tampilan ginjal bionik," Shiho menjelaskan, "Terbuat dari silicon khusus yang dapat menyatu dengan bagian tubuh manusia tanpa menimbulkan infeksi dan pembekuan darah. Jutaan nefron untuk menyaring darah terdiri dari arus listrik yang dipicu melalui aliran listrik alami dalam tubuh manusia. Dengan ginjal bionik ini, para penderita ginjal kronis stadium 4 tidak perlu lagi melakukan cuci darah atau menunggu ginjal yang cocok untuk transplantasi. Hanya saja ginjal bionik ini masih harus disempurnakan lagi. Tidak dianjurkan ditransplantasikan pada penderita ginjal kronis diatas 45 tahun. Kemudian ginjal bionik ini masih belum bisa menghasilkan hormone erittropoetin yang berguna dalam pembuatan sel darah merah. Sehingga, pasien yang ditransplantasikan masih harus disuntik hormon tersebut secara teratur,"

Seminar itu dilengkapi dengan sesi tanya jawab sampai dua jam kemudian sebelum berakhir. Para peserta menyalami Shiho sebelum keluar dari ruangan. Beberapa bercakap-cakap sebentar sambil mengajukan pertanyaan tambahan. Shiho melayani mereka satu per satu, hingga ruang semintar tersebut kosong.

"Penyampaian yang bagus sekali Profesor Kudo," kata asisten Shiho, seorang wanita bule mungil dengan bintik-bintik di pipinya.

"Terima kasih Jane. Semua berkat bantuanmu," balas Shiho.

"Mereka semua tampak kagum, ada harapan baru untuk para penderita ginjal kronis,"

"Masih banyak PR kita, Jane. Ginjal bionik itu belum sempurna,"

"Tapi aku yakin, suatu hari kita pasti bisa menyempurnakannya," sahut Jane optimis.

"Okasan!" mendadak terdengar suara anak kecil memanggil.

Shiho menoleh dan melihat Ai datang bersama Shinichi.

"Ai-Chan!" Shiho tersenyum menyambut putrinya.

"Okasan terlihat keren sekali tadi!" puji Ai.

Shiho terkekeh kemudian menghadap Shinichi, "Aku tidak tahu kapan kalian datang?"

"Pada saat sudah gelap tadi," sahut Shinichi.

"Kau bilang ada kasus dan tidak bisa datang,"

"Aku bohong hehehe... Supaya bisa memberimu kejutan. Mana mungkin aku melewatkan seminar dari ilmuwan besar abad ini,"

"Ah, kau selalu pandai bicara,"

"Okasan! Ayo kita makan eskrim!" ajak Ai sambil menarik tangan Shiho.

"Eh, boleh saja," Shiho memandang asistennya, "Sampai nanti Jane,"

Jane tersenyum, "Selamat bersenang-senang," ia memandang keluarga kecil Kudo itu keluar dari ruangan dengan berbunga-bunga. Pasangan Kudo itu selalu tampak kompak dan serasi di mata para kolega Shiho.

Proposal Shiho akhirnya diterima oleh sebuah perusahaan teknologi kesehatan terbesar di Amerika. Mereka tertarik dengan rancangan ginjal bionik Shiho dan bersedia memberikan sponsor dengan nilai yang cukup besar agar Shiho membentuk tim dan merealisasikan penelitiannya. Setelah enam tahun dengan berbagai trial dan eror, ginjal bionik itu berhasil ditransplantasikan di kalangan penderita gagal ginjal kronis usia muda. Nama Kudo Shiho melambung seantero Amerika, melebihi nama Kudo Shinichi, detektif hebat andalan FBI. Shiho telah menemukan jati dirinya kembali. Ia menjelma menjadi wanita tangguh yang lebih percaya diri. Ia bersama Shinichi adalah pasangan Kudo muda yang sangat dihormati di Amerika.

"Pelan-pelan saja Ai-Chan, nanti kau tersedak," pinta Shiho lembut sambil merapikan poni putrinya.

"Haiii," sahut Ai semangat seraya menyendok eskrim strawberrynya.

"Setelah itu gosok gigi ya,"

"Oke,"

Shinichi dan Shiho terkekeh.

"Ngomong-ngomong Shiho, ada yang ingin kudiskusikan denganmu," kata Shinichi.

"Apa itu?" Shiho menatap suaminya.

"Kemarin Inspektur Megure menghubungiku,"

"Eh?"

"Ada kasus pembunuhan berantai di Jepang, seperti Jack The Ripper. Mereka buntu dan mengharapkan aku agar dapat kembali ke Jepang,"

"Apa mereka tidak menghubungi Hattori?"

"Sudah. Hattori juga tampaknya membutuhkan bantuanku,"

"Lalu?"

"Kontrakku dengan FBI hampir berakhir meski Jodie Sensei sudah memastikan akan diperpanjang. Tapi, aku merasa aku harus menerima kasus dari Inspektur Megure agar pembunuhan berantai itu dapat dihentikan. Aku tidak tahu, apakah kau keberatan jika misalnya kita kembali ke Jepang? Paling tidak hanya sampai kasus itu selesai sebelum kembali ke Amerika,"

"Jika Inspektur Megure sampai memanggilmu dan Hattori sendiri kesulitan, sepertinya kasus pembunuhan berantai itu sangat berat,"

"Ya, aku sudah membaca laporannya, cukup membuatku bergidik,"

"Sebenarnya, aku juga mendapat undangan ke Jepang," ungkap Shiho.

"Eh?" Shinichi mengerjap.

"Perkumpulan ilmuwan di Jepang sepertinya menyesal pernah menolak proposal ginjal bionikku. Mereka sudah mengirimkan surat permintaan maaf secara resmi melalui email. Ketuanya kemarin ini juga telah menghubungiku untuk minta maaf secara langsung dan mengundangku ke Jepang untuk menjadi konsultan bagi sejumlah penelitian mereka,"

Mata Shinichi menyipit, "Akhirnya mereka minta maaf setelah berusaha menyingkirkanmu enam tahun lalu,"

"Eh. Aku juga tadinya mau membahas perihal ini denganmu, apa sebaiknya aku menerima undangan itu atau tidak,"

"Kau sendiri merasanya bagaimana?"

"Entahlah. Kalau aku mengikuti emosiku, rasanya aku ingin balas dendam dan mengacuhkan mereka semua. Tapi aku adalah ilmuwan, bahkan dokter pun harus mengobati musuhnya sendiri. Tujuanku menciptakan ginjal bionik adalah untuk membantu penderita ginjal kronis, sepertinya aku harus berbesar hati dan menerima undangan itu,"

"Jadi, kau setuju kita kembali ke Jepang? Benar tidak apa-apa?"

Shiho tersenyum sambil menggenggam tangan suaminya, "Aku tidak sama dengan enam tahun lalu Shinichi. Apa yang harus kutakutkan dengan kembali ke Jepang?"

Shinichi balas menggenggam tangan Shiho, "Arigatou Shiho,"

"Lagipula sudah saatnya bagi Ai-Chan untuk mengenal kampung halamannya sendiri," Shiho menatap putrinya.

Shinichi ikut memandangi putrinya, "Ah, tentu saja,"

"Ginjal bionik hasil penemuan Profesor Shiho Miyano-Kudo telah terbukti dapat ditransplantasikan kepada penderita gagal ginjal kronis dibawah usia 45 tahun. Setelah proses transplantasi, mereka tidak perlu lagi cuci darah..." kata pembaca berita.

"Takuuu..." Shinichi menggerutu, "Semua saluran TV bahasnya ginjal bionikmu Shiho,"

Shiho menghampiri Shinichi yang menonton dari kasur mereka.

"Kenapa? Kesal karena kau jadi tidak bisa show off, Tantei-San?" goda Shiho.

"Tidak juga. Kasus FBI kebanyakan rahasia, jadi wajar aku jarang diliput,"

Kemudian TV menampilkan Shiho yang tengah memimpin seminar. Ia tampak elegan dengan setelah jas hitam dan earpiece di telinganya. Mata tajamnya memancarkan kecerdasan.

"Ya ampun, sekarang mereka membahas selera fashionmu. Dasar netizen. Sekalinya kau beken, mereka akan membahasmu dari ujung rambut sampai ujung kaki,"

Shiho mengangkat bahu, "Kenyataannya aku memang keren, mau bagaimana lagi?"

"Yah keren sih, tapi bagiku kau lebih keren kalau..."

"Apa?" tantang Shiho.

Shinichi melongok penuh minat ke gaun tidur berdada rendah dibalik kimono sutra Shiho, "Kalau tidak mengenakan apa-apa,"

Mata Shiho menyipit, "Echi,"

Shinichi mematikan TV seraya meraih pergelangan tangan Shiho.

"Eh? Kau mau apa?" tanya Shiho kikuk.

"Ayo kita main bola!" Shinichi cekikikan sambil menarik Shiho ke dalam selimut.

"Eh?"

"Detektif ini ingin bergulat dengan ilmuwan hebat dan keren,"

"Ya ampun dasar maniak sex,"

Shinichi menyumpal bibir Shiho dengan bibirnya sebelum wanita itu mengoceh lagi.

.

.

.

.

.

Jepang...

"Yah! Tuh kan! Gara-gara kau Kenji! Bonekanya jadi nyangkut diatas!" oceh salah seorang bocah perempuan usia enam tahun bernama Mayu.

"Maaf, aku kan tidak sengaja," kata Kenji, bocah laki-laki usia enam tahun juga.

"Takuuu... lalu bagaimana mengambilnya ya?" gerutu Mayu.

"Biar aku saja yang ambil," sahut Ai yang mendadak muncul.

"Eh?" semua melongo menatap Ai.

Dengan lincah dan cekatan, Ai memanjat pohon. Sama sekali tidak tampak kengerian di wajahnya. Ia mengambil boneka kelinci yang nyangkut di dahan pohon dan melemparnya ke bawah. Mayu menangkapnya, lalu Ai turun dari atas pohon tanpa kesulitan sama sekali.

"Kudo Ai!" panggil Shiho kesal seraya menghampiri putrinya.

Ai bergidik ketika menoleh pada ibunya, "Okasan!"

"Takuuu... Kau kemana saja? Okasan sedang mendaftarkan sekolahmu tapi kau malah menghilang," Shiho mengomeli gadis kecilnya sambil berkacak pinggang.

"Ai jalan-jalan Okasan, mau tahu sekolahnya ada perpustakaan atau tidak. Lalu tadi ada boneka nyangkut di pohon jadi Ai bantu mengambilkan," jelas Ai polos.

Shiho ingin sekali menjitaknya, anak ini memang perempuan persis seperti dirinya secara fisik sewaktu kecil, tapi kelakuannya benar-benar mirip Shinichi. Tampilannya feminine namun kelakuannya tomboy.

"Kalau kau mau ambil boneka di pohon, panggil sensei saja. Kau tahu itu sangat berbahaya? Nanti jatuh bagaimana?" gerutu Shiho.

"Gomene Okasan,"

"Shiho-Chan?" panggil sebuah suara wanita yang tak asing.

Shiho menoleh dan mengerjap, "Ran-San?"

"Kapan sampai di Jepang?" tanya Ran ramah.

"Baru beberapa hari lalu. Kau sekarang mengajar di sini?" Shiho bertanya balik.

"Uhm," Ran mengangguk, "Ini tahun keduaku mengajar di Teitan," lalu ia melihat Ai, "Jadi ini putrimu dengan Shinichi?"

"Eh," Shiho mengangguk sembari memandang putrinya, "Beri salam pada Sensei," pintanya pada Ai.

"Konichiwa Sensei," sapa Ai ramah pada Ran.

"Waaah... Kawaiii," Ran tersenyum memandang Ai yang menggemaskan, "Bahasa Jepangnya bagus sekali,"

"Eh, kami membiasakannya di rumah,"

"Sensei! Sensei!" mendadak ada anak kecil memanggil Ran.

"Ada apa Shiro-Chan?" tanya Ran pada bocah lelaki itu.

"Rui-Chan, asmanya kambuh,"

"Eh?"

Mereka semua akhirnya menghampiri halaman depan dimana terdapat anak perempuan bernama Rui yang sedang kesulitan bernapas. Ada bunyi 'ngik' setiap kali ia menarik napas.

"Apa Rui-Chan tidak bawa inhalernya?" tanya Ran pada anak-anak dan para guru.

"Sudah kuperiksa tasnya, tidak ada," kata salah seorang guru.

Shiho akhirnya turun tangan untuk memeriksa denyut nadi dan suhu tubuh anak itu, lalu ia memandang para guru, "Panggil ambulan,"

"Ha-hai," kata salah satu guru yang langsung mengambil telpon.

"Aku butuh air dingin, kain bersih dan kipas angin kecil," kata Shiho pada Ran.

"Eh? Baik," Ran langsung pergi mengambilkannya.

Shiho menyandarkan Rui di lengannya, memosisikannya dalam keadaan duduk. Tak lama kemudian Ran membawakan perlengkapan yang diminta Shiho. Shiho membasahi kain bersih dengan air dingin, lalu membungkus kipas angin kecil dengan kain yang telah basah. Shiho menyalakan kipasnya dan mengarahkannya ke wajah Rui.

Merasakan angin segar, perlahan bunyi napas Rui menghilang.

"Benar begitu Rui-Chan," gumam Shiho sambil tetap memegangi kipas di hadapan Rui, "Tarik napas dan hembuskan lagi, pelan-pelan saja,"

Shiho bertahan seperti itu sampai ambulan datang tak lama kemudian. Rui segera dibawa ke ambulan dan dipasangkan oksigen.

"Terima kasih Shiho-Chan. Rui-Chan jadi tertolong berkat kesigapanmu," kata Ran.

"Sama-sama Ran-San," sahut Shiho.

"Jadi begitu ya caranya memberikan pertolongan pertama pada penderita asma,"

"Dalam beberapa kasus, itu cukup membantu,"

"Kemarin ini aku membaca majalah mengenai ginjal bionik penemuanmu. Kau benar-benar hebat Shiho. Aku senang akhirnya kau berhasil dengan penelitianmu," ucap Ran tulus.

"Arigato Ran-San. Memang tidak mudah pada awalnya, berulang kali aku nyaris putus asa, tapi..." Shiho merangkul putrinya, "Aku memiliki satu alasan untuk bangkit,"

"Yukata,"

"Sudah sore, kami harus pulang sekarang,"

"Eh, lain waktu kita ngobrol lagi,"

"Tidak masalah. Sampai nanti,"

"Dadah Sensei!" Ai melambai.

"Dadah!" Ran balas melambai.

Shiho menggandeng putrinya untuk berjalan kembali ke rumah.

Shinichi berarti berada di Jepang juga... Batin Ran ketika melihat Shiho bergandengan bersama Ai hingga menghilang dibalik belokan. Apa kabarnya ya?

Ran menggigit bibirnya, ia nyaris saja menanyakan kabar Shinichi pada Shiho, tapi untunglah ia dapat menahan diri. Bagaimanapun juga Shinichi sudah milik wanita lain, ia tidak boleh lagi mengungkit-ungkit kenangan masa lalu.

Shiho menghadiri undangan seminar pertama di Jepang. Seminar itu dihadiri oleh para ilmuwan dan pengusaha-pengusaha besar di Jepang. Banyak yang menaruh minat untuk menjadi rekanan dari perusahaan Amerika yang memiliki hak paten akan ginjal bionik penemuan Shiho. Namun hal tersebut bukan Shiho yang memutuskan, melainkan pihak board of director perusahaannya. Tugas Shiho hanya mengenalkan dan menjelaskan cara kerja penemuannya.

"Shiho," panggil Shinichi yang menghampirinya setelah selesai seminar.

"Kau datang menjemputku?" tanya Shiho.

"Tentu saja,"

"Aku kira kau sedang menghadapi kasus pembunuhan berantai itu,"

"Memang dan ada hal yang harus aku diskusikan denganmu mengenai kasus itu,"

Shiho manyun, "Ah pantas saja kau begitu baik menjemputku, ternyata ada maunya,"

Mata Shinichi menyipit, "Tidak begitu juga kali! Aku benar-benar mau jemput kok,"

Shiho nyengir, "Gomen gomen, hanya becanda,"

"Haiii Kudo-Kun!" panggil sebuah suara riang.

Shinichi dan Shiho menoleh, ternyata Sonoko yang berjalan menghampiri mereka.

"Sonoko?" panggil Shinichi.

"Lama tak bertemu ya!" kata Sonoko yang sama sekali tak menyapa Shiho.

"Eh," sahut Shinichi, "Kau hadir di seminar ini juga?"

"Tentu saja. Perusahaan Suzuki juga mengikuti tender untuk lisensi penemuan ginjal itu, meski aku tidak terlalu mengharapkannya. Orang tuaku yang memaksa karena menganggap investasi ini akan memberikan keuntungan besar," jelas Sonoko.

Shiho berusaha mengabaikan sinisan halus dalam kalimat Sonoko.

"Enam tahun tak bertemu, kau baik-baik saja Kudo-Kun?" tanya Sonoko.

"Aku baik-baik saja, kau?"

"Aku sangat baik,"

"Kau sudah menikah dengan Makoto?" tanya Shinichi.

Sonoko manyun seraya melipat tangannya, "Itulah, Makoto-San sibuk dengan turnamen-turnamennya di luar negeri. Sepertinya ia belum bisa terikat denganku. Terkadang terpikir olehku apakah aku harus pakai cara itu juga? Hamil lebih dulu agar Makoto-San menikahiku,"

Shinichi mengernyit, "Apa maksudmu Sonoko?"

Namun Shiho tidak merasa terintimidasi, dengan tenang ia menggandeng lengan Shinichi, "Strategi yang bagus," sela Shiho tajam.

"Eh?" Shinichi menoleh pada istrinya.

Sonoko akhirnya memandang Shiho.

"Tapi pastikan apa Makoto-San sungguh-sungguh bersedia bertanggung jawab nantinya alih-alih merekomendasikan rumah sakit aborsi demi mengejar karir karatenya,"

Sonoko tersinggung, "Kau!"

"Ara... Ai-Chan pasti sudah menunggu di rumah. Ayo kita pulang, Anatta. Aku akan buatkan cheesecake kesukaanmu setelah sampai di rumah nanti," Shiho menyeret Shinichi pergi.

Shinichi bergidik, Anatta...?

"Oi oi," bisik Shinichi saat mereka telah jauh dari Sonoko, "Aku memang tidak membenarkan sikap Sonoko terhadapmu tapi aku tidak tahu harus tersanjung atau merinding dengan sikapmu barusan? Anatta?"

"Jujur saja, aku sendiri merinding memanggilmu begitu,"

Shinichi terkekeh, "Sudah kuduga,"

"Aku sudah bilang padamu kan, aku bukan Shiho enam tahun lalu. Aku tidak akan bisa terintimidasi lagi oleh siapapun,"

"Hai hai,"

Di luar gedung mendadak jalan mereka terhadang. Mereka bertemu dengan Ran yang baru datang dan ingin masuk gedung.

"Shiho? Shinichi?" panggil Ran.

Shinichi terpana menatapnya, "Ran..."

Kemudian tertatap oleh Ran, lengan Shinichi yang digandeng Shiho.

"Kau pasti kemari untuk Sonoko," tebak Shinichi.

"Eh," Ran mengangguk, "Kami janji untuk makan siang bersama,"

"Ran-San sekarang guru Ai di sekolah Teitan," Shiho memberitahu Shinichi.

"Oh begitu, bagus sekali,"

"Bagaimana kalau kita makan siang bersama saja?" ajak Ran.

"Ide yang bagus, tapi mungkin lain waktu saja. Ada kasus berat yang harus aku diskusikan bersama Shiho," tolak Shinichi halus.

"Oh, pasti tentang pembunuhan berantai itu ya?" tebak Ran.

"Eh," Shinichi mengangguk.

"Baiklah kalau begitu, semoga investigasinya berhasil,"

"Sampai nanti,"

Ran memandang punggung Shinichi dan Shiho yang menjauh sambil bergandengan bersama. Ia terjebak antara senang dan sedih, mengingat seharusnya ia yang berada di posisi Shiho saat ini. Tapi Ran menguatkan dirinya untuk senang karena Shinichi dan Shiho tampaknya bahagia dengan rumah tangga mereka. Mereka juga partner yang sangat kompak dalam bekerja. Sementara Ran, ia tidak pernah mampu menandingi deduksi Shinichi.

Setelah pertemuan antara Shinichi dan Ran, Shiho menjadi diam selama perjalanan di mobil. Shiho tak dapat berpura-pura buta ketika melihat cara mereka saling bertukar pandang. Ran Mouri jelas masih menyimpan perasaan pada Shinichi dan mungkin Shinichi juga merasakan hal yang sama, suaminya masih mencintai mantan kekasihnya. Tapi, Shiho tidak dapat berbuat banyak. Ia tidak berdaya dalam hal ini karena pernikahannya dengan Shinichi memang berawal dari sebuah kesalahan. Jika kesalahan itu tidak terjadi, Ran lah yang seharusnya berada di sisi Shinichi saat ini.

"Jadi..." kata Shinichi sembari menyetir.

"Uhm?" Shiho meliriknya.

"Jadi mau membuatkanku cheesecake di rumah?" tanya Shinichi penuh harap.

Shiho mendengus, "Beli saja,"

"Eh?" Shinichi terbelalak.

"Sudah sore, bikin cheesecake akan makan waktu,"

"Takuuu..."

"Lagipula bukankah kau ingin membahas kasus itu bersamaku?"

"Ah iya benar juga,"

"Jadi apa masalahnya? Kau buntu dimana?"

Shinichi akhirnya memaparkan kasusnya.

.

.

.

.

.

Setahun berlalu, setelah melalui proses investigasi yang panjang, kasus pembunuhan berantai itu akhirnya dapat diselesaikan. Pembunuhnya tertangkap dan dijatuhi hukuman berat. Shinichi bisa bernapas lega. Proses penyelesaian kasus ini melibatkan berbagai pihak hingga detektif swasta. Bekerja sama dengan Heiji tidak masalah, tapi Shinichi kerapkali bersitegang dengan Kogoro Mouri. Maklum saja, karena pernikahan Shinichi dengan Ran putrinya batal.

Ketika Shinichi dan Shiho tengah merencanakan untuk kembali ke Amerika, gantian Shiho yang diberikan tantangan. Jepang dilanda wabah penyakit baru, bahkan wabah ini telah menjangkiti seluruh dunia. Virus Covid yang dapat menyebabkan sesak napas akut. Seluruh ilmuwan di dunia berlomba-lomba melakukan penelitian mengenai virus tersebut, cara mengobatinya dan menciptakan vaksinnya. Jepang juga turut mengerahkan para ilmuwan hebatnya. Shiho mendapatkan undangan untuk ikut dalam tim riset virus tersebut.

"Kenapa harus pakai karantina segala?" tanya Shinichi memandangi Shiho membereskan baju-bajunya di koper.

"Virus itu sangat mudah menular," jawab Shiho, "Jika aku tidak dikarantina, aku bisa jadi pembawa virus untukmu dan Ai,"

"Tapi itu sangat berbahaya Shiho! Bagaimana jika kau juga tertular?"

Shiho mendesah, "Itu sudah resiko seorang ilmuwan. Sama seperti dirimu sebagai detektif juga memiliki resiko diteror musuh,"

Shinichi manyun, "Berapa lama?"

Shiho mengangkat bahu, "Entahlah. Mungkin sampai kami menemukan jalan keluarnya,"

"Shiho..." Shinichi merajuk.

"Bukan kita saja Shinichi. Semua petugas medis juga mengalami masa-masa yang berat ini. Berpisah dari keluarga untuk menjalankan tugas. Aku harus cepat menemukan obatnya agar segalanya berjalan normal kembali,"

"Ai pasti akan merindukanmu,"

"Ai saja? Kau tidak?"

Wajah Shinichi memerah.

"Pemerintah memberlakukan pembatasan sosial. Ai akan sekolah online di rumah, untunglah dia suka belajar, harusnya tidak akan menjadi masalah. Aku juga sudah menuliskan resep-resep yang mudah dimasak. Kalau kau harus keluar untuk belanja atau investigasi, kau bisa minta tolong Hakase untuk menjaganya. Dan sehabis dari luar, jangan peluk Ai sebelum kau mandi hingga bersih. Gunakan masker dan hand sanitizer. Sering-seringlah steril ruangan,"

"Hai hai, aku tahu," sahut Shinichi.

Shiho menghampiri suaminya seraya memeluk pinggangnya, "Aku janji, aku akan berusaha untuk cepat pulang," ia memberi Shinichi kecupan ringan di bibir.

"Aku harap begitu,"

"Kita akan rutin video call,"

"Haii..." Shinichi merangkul pinggang Shiho untuk membuatnya lebih rapat.

"Eh?"

"Malam ini... Sebelum kita jaga jarak..." Shinichi menggendong Shiho dan membawanya ke tempat tidur.

Mereka bercinta sampai puas.

Keesokan harinya Shiho dijemput oleh mobil dari asosiasi ilmuwan Jepang.

"Jangan nakal ya Ai-Chan. Patuhi apa kata Otosan," kata Shiho ketika memeluk putrinya.

"Hai..." sahut Ai.

Kemudian Shiho berdiri menghadapi Shinichi yang langsung memeluknya erat, sangat berat untuk melepasnya pergi.

"Cepat pulang," bisik Shinichi.

"Eh," Shiho mengusap-usap bahu suaminya untuk menenangkannya.

Akhirnya Shiho memasuki sebuah sedan hitam yang menjemputnya. Ia melambai dari balik kaca hingga hilang dari pandangan. Ia menatap gantungan angsa di handphonenya dan mendekapnya erat. Di rumah, Shinichi juga melakukan hal yang sama. Menggenggam erat gantungan angsa di handphonenya.

Shiho... Partner sejatiku...

Kepulangan Shiho ternyata benar-benar memakan waktu lama. Virus itu menyebar semakin cepat, orang-orang yang tertular semakin banyak, rumah sakit penuh. Shinchi melarang Ai agar tidak keluar rumah sama sekali. Paling-paling hanya rumah Profesor Agasa yang diperbolehkan. Untungnya Ai cukup penurut, ia mengerjakan semua tugas sekolahnya dan asalkan ada buku misteri, anak itu betah-betah saja di rumah. Namun Ai agak sulit dibujuk untuk makan, masakan Shinichi tidak selezat Shiho, meski sudah mengikuti buku resepnya, tetap saja rasanya berbeda. Ai menginginkan rasanya persis seperti buatan ibunya.

Ting! Tong! Terdengar bunyi bel.

Shinichi membukakan pintu dan mengerjap, "Ran?"

"Shinichi, kuharap aku tidak mengganggu,"

"Tentu tidak, ada apa?"

"Ano, hanya kunjungan rutin biasa dari para guru terhadap murid-murid,"

"Oh, aku kira sekolah meniadakannya selama pandemi ini,"

"Dibatasi 10 anak tiap kelas dan diberi jarak dua minggu untuk mengunjungi yang lainnya. Ai-Chan ada?"

"Ada sedang merajuk,"

"Eh? Kenapa?"

"Susah makan,"

Shinichi membuka pintu lebih lebar untuk mempersilakan Ran masuk.

"Shiho masih dikarantina?" tanya Ran.

"Eh," Shinichi mengangguk, "Kami rutin video call, sepertinya dia belum bisa pulang cepat, karena timnya mengalami kesulitan. Virus itu dapat bermutasi dengan cepat,"

"Oh begitu, ya ampun,"

"Sensei!" panggil Ai ketika melihat Ran.

"Apa kabar Ai-Chan?" tanya Ran seraya tersenyum.

"Baik," sahut Ai riang.

"Kata Otosan kau susah makan,"

"Itu karena Otosan masaknya tidak seenak Okasan,"

"Takuuu..." gerutu Shinichi.

"Memangnya kau masak apa?" tanya Ran pada Shinichi.

"Aku baru mau memasak kari,"

"Biar aku bantu,"

"Bukannya kau harus mengunjungi murid lain?"

"Hanya satu lagi saja setelah ini," Ran berjalan menuju dapur dan mulai memasak bahan-bahan yang sudah dikeluarkan Shinichi.

"Maaf jadi merepotkan,"

"Uhm," Ran menggeleng, "Tidak sama sekali,"

Ran akhirnya memasakan nasi kari. Shinichi dan Ai membantunya memotong-motong bahan. Tak lama kemudian mereka bertiga sudah berada di meja makan.

"Huaaah enaaak!" kata Ai setelah menelan suapan pertamanya.

Ran terkekeh, "Baguslah kalau Ai-Chan suka,"

"Uhm" Ai mengangguk, "Setidaknya tidak seperti masakan Otosan,"

"Takuuu..." mata Shinichi menyipit.

Mereka akhirnya bercengkrama bersama sampai sore.

"Otosan mana?" tanya Shiho yang sedang video call dengan putrinya suatu malam.

"Lagi di kamar mandi, tadi katanya sakit perut," jawab Ai.

"Ai sudah makan malam?"

"Uhm, sudah,"

"Makan apa?"

"Makan sushi gulung,"

"Eh? Otosan bisa buat sushi gulung?"

"Bukan Otosan. Ran Sensei yang buatkan,"

Shiho tersentak, "Ran Sensei?"

"Uhm," Ai mengangguk, "Sekarang Ran Sensei setiap hari datang untuk masak buat Ai dan Otosan. Masakannya enak sekali, hampir seperti masakan Okasan. Kalau Otosan yang masak, rasanya tidak enak,"

Tangan Shiho yang tidak memegang handphone mengepal, namun ia tidak menunjukkan kegalauannya di depan Ai, "Baguslah kalau begitu,"

"Ai lihat dulu ke kamar mandi, apa Otosan sudah selesai,"

"Tidak usah Ai-Chan. Okasan masih ada kerjaan yang harus diselesaikan,"

"Eh? Tidak menunggu Otosan saja?"

"Besok saja. Cepatlah tidur ya,"

"Hai,"

Mereka memutus sambungan. Shiho menatap gantungan angsa di handphonenya. Ran kini datang setiap hari ke rumah dan memasak untuk Shinichi dan Ai. Shiho memejamkan matanya, dalam hatinya bertanya-tanya setelah semua riset ini selesai, apakah ia masih bisa menjadi partner sejati Shinichi? Partner? Ia memang hanya partner. Ia bukan kekasih ataupun wanita yang dicintai suaminya. Shiho memeluk angsa itu di dadanya. Meski pernikahan mereka dari sebuah kesalahan, namun selama tujuh tahun ini mereka bahagia. Semoga tujuh tahun itu berarti bagi Shinichi.

"Eh? Kok sudahan?" tanya Shinichi yang baru keluar dari kamar mandi.

"Iya. Okasan bilang masih ada yang harus dikerjakan," sahut Ai.

"Takuuu... Padahal aku sudah menunggu, tapi pakai sakit perut lagi,"

Ai terkekeh, "Besok lagi saja,"

"Kalian cerita apa saja?"

"Oh, Ai cerita Ran Sensei sekarang setiap hari datang untuk memasak..." Ai melanjutkan ceritanya dengan menggebu-gebu.

Shinichi tidak mendengarkan lagi, sepertinya ia mengerti kenapa Shiho memutus video call begitu cepat tanpa bicara dengannya.

Sudah satu bulan lebih Shiho tidak pulang. Ran masih datang setiap hari ke rumah Keluarga Kudo untuk memasak.

"Apa tidak apa-apakah kau datang setiap hari begini Ran?" tanya Shinichi sambil membantu memotong wortel.

Ran tersenyum, "Tidak apa-apa. Aku malah senang masak untuk kalian berdua,"

Ai yang ingin masuk dapur mendadak menghentikan langkahnya saat mendengar pembicaraan antara ayah dan gurunya.

"Jadi nostalgia rasanya," gumam Ran.

"Eh?" Shinichi memandangnya.

"Dulu aku juga sering menyiapkan sarapanmu di dapur ini,"

Ai mengerjap.

"Hal-hal seperti ini yang dulu sering kita impikan bukan? Masak bersama di dapur dan membantu mengerjakan PR anak-anak," lanjut Ran.

Shinichi membeku, merasa canggung.

"Sayang kita tidak berjodoh, seandainya tidak terjadi sesuatu, mungkin akulah yang kini berada di posisi Shiho,"

"Ran..."

"Ah gomen gomen," Ran buru-buru menghapus airmatanya, "Aku melantur,"

Ai mengernyit, naluri detektifnya bekerja. Ia berlari ke perpustakaan besar untuk mencari album-album lama di sudut album photo di rak. Ia mencari-cari dengan cepat album foto ayahnya sewaktu masih sekolah dan ia pun menemukannya. Ia terhenyak ketika melihat begitu banyak foto Shinichi dan Ran. Bahkan foto-foto mereka terlihat lebih mesra di bangku kuliah. Sama sekali tidak ada foto-foto ayahnya dengan ibunya. Foto ayah dan ibunya hanya ada foto pernikahan dan juga foto rekreasi keluarga mereka. Ai akhirnya mengambil satu album dan berlari ke rumah sebelah, Profesor Agasa.

"Oh Ai-Kun. Ada apa kemari?" tanya Profesor Agasa.

"Ada yang mau Ai tanyakan, Hakase," kata Ai serius.

"Eh?" Profesor Agasa bingung, keseriusan Ai mirip seperti Ai Haibara. Padahal biasanya ia ceria seperti Shinichi.

"Otosan dan Ran-Sensei itu dulu pacaran ya?"

"Eh? Kau tahu darimana?"

Ai menunjukkan album foto tersebut.

Profesor Agasa jadi kikuk, "Eh mereka teman sejak kecil sih, tapi kan itu sudah lama berlalu. Otosan jadinya sama Okasan,"

"Apa Otosan begitu menyayangi Ran-Sensei?"

"Dulu sih iya, tapi Otosan juga sayang pada Okasan kok,"

"Lalu bagaimana Otosan dan Okasan akhirnya menikah? Ai tidak menemukan foto pacaran Otosan dan Okasan,"

Profesor Agasa berkeringat dingin.

"Hakase!" desak Ai.

"Anooo... Otosan dan Okasan menikah demi Ai-Kun..."

Ai mengernyit, "Demi Ai? Maksudnya?"

"Anooo... Ehtooo... Karena Ai-Kun sudah di perut Okasan, akhirnya mereka menikah,"

Ai tercengang, kemudian kepalanya tertunduk.

"Ai-Kun?"

"MBA. Married By Accident,"

"Eh?"

"Karena itu kah Otosan dan Okasan menikah?" mata Ai mulai berkaca-kaca.

"Anooo..."

Ai tidak membutuhkan jawaban Profesor Agasa lagi. Ia berlari kembali ke rumah. Di sana, Shinichi dan Ran sudah menunggunya di meja makan.

"Ai-Chan. Kau darimana saja? Kami sudah menunggumu," kata Shinichi.

Ai memandang Ran dengan tajam. Ia sekarang sadar, sejak awal kedatangannya, Ran selalu menempati kursi yang biasa ditempati Shiho.

"Ran-Sensei," panggil Ai.

"Nani?" tanya Ran.

"Besok tidak usah datang lagi,"

"Eh?" Shinichi dan Ran mengerjap.

"Ran-Sensei tidak usah masak untuk kami lagi,"

"Ai! Kau bicara apa? Kau seharusnya berterima kasih pada Sensei sudah mau repot-repot masak untuk Ai," Shinichi memperingatkan putrinya.

"Ai tidak mau! Lebih baik Ai kelaparan daripada makan masakan Ran Sensei!" pekik Ai.

Shinichi berdiri dari kursinya dengan marah, "Ai!"

"Shinichi, tidak apa-apa," bela Ran.

"Ai tidak mau mama baru!" teriak Ai sebelum berlari ke kamarnya.

Shinichi tampak geram, "Maaf Ran. Kau pulang saja dulu, biar aku bicara padanya,"

"Eh tidak apa-apa. Kau jangan terlalu keras terhadapnya,"

Setelah mengantar Ran ke pintu depan, Shinichi menaiki tangga menuju kamar Ai. Ketika membuka pintu, Shinichi menemukan putrinya tengah duduk di tepi tempat tidur menghadap jendela dan memunggunginya. Tangannya yang mungil memeluk bingkai foto Shiho.

"Okasan..." isak Ai, "Cepat pulang donk... Ai rindu Okasan... Kenapa Okasan tidak menelpon beberapa hari ini? Ai mau Okasan..."

Tenggorokan Shinichi tercekat, ia jadi tidak tega memarahi putrinya.

"Ai..." Shinichi memanggil putrinya pelan.

Ai merengut, semakin erat memeluk foto Shiho.

"Otosan minta maaf..." kata Shinichi.

Ai hanya sesenggukan.

Shinichi duduk di tepi ranjang yang sejajar dengan Ai namun menjaga jarak agar putrinya tidak merasa terintimidasi.

"Tapi, Ai kenapa begitu pada Sensei?"

"Otosan... Otosan tidak sayang Okasan..."

"Eh?" Shinichi mengerjap.

"Otosan hanya sayang pada Ran Sensei..."

"Kenapa Ai berkata begitu?"

"Ai sudah tahu, Ran Sensei teman Otosan dari kecil. Ran Sensei pacar Otosan. Ai sudah lihat fotonya. Tapi foto Otosan dan Okasan pacaran tidak ada,"

"Otosan dan Okasan memang tidak pernah pacaran. Tapi apa itu penting? Otosan toh akhirnya menikah dengan Okasan kan?"

"Tapi Otosan dan Okasan menikah karena Ai! Menikah karena kecelakaan kan? Otosan terpaksa kan? Otosan tidak sayang Okasan," Ai sesenggukan semakin hebat.

"Itu tidak benar Ai-Chan. Otosan juga sayang pada Okasan,"

"Bohong!"

"Apa Ai pernah melihat Otosan dan Okasan bertengkar?"

Ai terdiam. Ia tahu orang tuanya kalaupun bertengkar hanya bertengkar lucu. Setelah bertengkar sebentar baikan lagi. Ayahnya juga tidak pernah main tangan terhadap ibunya.

Shinichi mengeluarkan handphonenya dan membuka album photo di google photonya. Menunjukkan pada Ai foto-foto perut besar Shiho ketika usia kandungannya diatas 7 bulan dan harus bedrest. Foto-foto ketika Shiho koma dan menjalani terapi. Semua foto itu diam-diam diambil oleh Yukiko. Shinichi baru mengetahuinya setelah Shiho sembuh total. Bahkan hingga detik ini Shiho tidak tahu foto itu ada. Foto-foto itulah yang mengingatkan Shinichi betapa berat perjuangan Shiho ketika melahirkan putri mereka. Shinichi tadinya ingin menunjukkan pada Ai setelah dewasa, tapi dalam keadaan seperti ini, ia harus menunjukkannya lebih cepat.

"Okasan..." gumam Ai melihat foto-foto itu, "Okasan kenapa?"

"Ini foto Okasan waktu perutnya besar, Ai ada di dalamnya," Shinichi mulai bercerita, "Waktu itu Okasan sangat lemah, susah makan dan susah tidur,"

"Itu... Otosan yang suapi?" Ai menunjuk foto Shinichi saat menyuapi Shiho.

"Eh," Shinichi mengangguk, lalu menunjukkan video saat dirinya membantu Shiho terapi berjalan, "Ini Okasan waktu belajar jalan,"

"Belajar jalan? Memang kenapa harus belajar jalan?"

"Okasan pernah lumpuh dan harus belajar jalan dari awal,"

Ai melihat ayahnya membantu Shiho berdiri, menjadikan dirinya sendiri bantalan ketika Shiho jatuh dan membantunya berdiri lagi sambil terus menyemangatinya.

"Lalu walaupun kami tidak pacaran," Shinichi mencari-cari lagi foto-fotonya bersama Shiho ketika investigasi, biasanya mereka tertangkap kamera untuk dokumentasi kepolisian, "Tapi kami adalah partner kerja yang sangat kompak,"

Ai melongok layar handphone lagi, terlihat foto-foto Shinichi dan Shiho ketika menginvestigasi kasus bersama di TKP ataupun meeting bersama kepolisian. Shiho ibunya selalu berada di sisi ayahnya.

"Otosan seperti Sherlock dan Okasan adalah Dr. Watsonnya," jelas Shinichi, berharap Ai mengerti perumpamaannya.

Ai tampak terpesona.

Shinichi mencari-cari lagi, "Ini juga ada foto kami waktu kecil. Kami adalah anggota Detektif Cilik," tentu saja itu foto sewaktu ia mengecil sebagai Edogawa Conan dan Shiho sebagai Haibara Ai.

"Jadi... jadi benar Otosan sayang Okasan kan?" tanya Ai.

Shinichi memeluk putrinya, "Tentu saja... Otosan sayang pada Okasan..." ia pun membayangkan wajah Shiho dan sadar betapa merindukan wanita itu.

"Otosan tidak menyesal? Walaupun... walaupun... menikahnya begitu?"

"Tidak, sama sekali tidak menyesal. Otosan sayang Okasan dan Ai," Shinichi mengecup kepala putrinya penuh sayang.

"Otosan..."

"Uhm?"

"Ai mau makan masakan Otosan saja. Kita akan buat sama-sama sesuai resep Okasan. Ran Sensei tidak usah datang lagi,"

"Hai. Besok kita masak berdua saja atau bertiga bersama Hakase, pasti seru,"

"Uhm," Ai mengangguk.

"Otosan..."

"Nani?"

"Kita kembali ke Amerika saja,"

"Iya. Setelah pandemi selesai, kita pulang ke Amerika ya..."

"Uhm," Ai memeluk ayahnya erat, "Gomene Otosan. Ai sudah buat susah Otosan dan Okasan ya? Okasan sampai lumpuh..."

"Sama sekali tidak Ai. Ai-Chan adalah kekuatan untuk Otosan dan Okasan,"

"Meski Ai datangnya dadakan di perut Okasan?"

Shinichi terkekeh mendengar pertanyaan polos putrinya, ia mencubit pelan pipi tembam Ai, "Iya, Ai-Chan datangnya dadakan seperti meteor. Tapi Otosan dan Okasan suka. Jadi Ai-Chan jangan ragu lagi, oke?" itu benar, Ai datang dari sebuah kesalahan namun kesalahan itu kini disyukuri oleh Shinichi. Shiho telah memberinya sesuatu yang sangat tak ternilai.

Ai akhirnya ikut terkekeh.

.

.

.

.

.

Shinichi menunggu nada dering. Ini sudah ketiga kalinya. Dua panggilan pertama, Shiho tidak menjawab. Namun Shinichi tidak mau tahu, ia akan terus menelpon sampai Shiho mengangkat tidak peduli seberapa sibuknya dia. Sudah beberapa hari Shiho tidak memberi kabar, Shinichi merasa sudah cukup waktunya bagi Shiho untuk ngambek dan cemburu.

"Halo Shiho?" panggil Shinichi ketika sambungannya terangkat.

"Maaf, ini Tuan Kudo?" kata suara di seberang.

"Eh? Ya benar, Kudo Shinichi di sini," Shinichi bingung, suara wanita yang berbeda yang menjawab handphone Shiho.

"Begini Kudo-San. Saat ini kami ingin memberitahukan, Profesor Shiho sedang tidak dapat menerima panggilan untuk sementara waktu,"

"Apa? Kenapa?"

"Sekarang Profesor Shiho sedang dirawat di ruangan intensif karena positif Covid,"

"Apa?!" Shinichi terhenyak.

"Sebelum terinfeksi, Profesor Shiho telah menemukan formula untuk pengobatannya, kami sedang memeriksa semua catatan Hakase untuk meramunya,"

Shinichi gemas, "Sekarang bagaimana keadaannya? Apa dia sadar?"

"Hakase tidak sadar dan dipasang ventilator di ruang ICU, kami terus memantau kondisinya dengan ketat,"

"Apa bisa menerima kunjungan?"

"Maaf sekali Kudo-San. Hakase sedang di ruangan isolasi dan tidak diperbolehkan menerima kunjungan dari luar karena virus ini sangat mudah menular,"

Shinichi memejamkan matanya pasrah, "Baiklah, tolong kabarkan terus kondisinya,"

"Pasti,"

"Terima kasih,"

Setelah memutus sambungan, Shinichi menyandarkan keningnya di dinding. Merasa sangat terpukul. Terbayang wajah Shiho pada saat koma tujuh tahun lalu, saat itu Shiho juga mengenakan ventilator. Kini kejadian itu terulang kembali, Shihonya berada diantara hidup dan mati. Namun kali ini Shinichi tidak berdaya, ia tidak bisa mendampingi maupun menggenggam tangan Shiho.

Shiho... Aku mohon bertahanlah...

Ting! Tong! Terdengar suara bel rumah.

Shinichi membukakan pintu dan melihat Ran yang tersenyum di hadapannya.

"Ran..."

"Bagaimana Ai-Chan? Masih ngambek?"

"Tidak apa-apa, kami sudah baikan,"

"Baguslah. Bagaimana kalau hari ini kumasakan nasi kari?"

Shinichi menggeser tubuhnya, secara halus memberi tanda agar Ran tidak memasuki rumah.

"Eh?" Ran memandangnya.

"Terima kasih atas bantuanmu selama ini Ran, tapi maaf aku dan Ai tidak bisa menerima kebaikanmu lebih jauh," tolak Shinichi sebisa mungkin tidak menyinggung Ran.

"Eh kenapa? Aku senang melakukannya kok,"

"Aku sudah menikah, Ran,"

Ran membeku.

"Aku sudah menikah dan memiliki seorang putri. Shiho sedang tidak di rumah dan kau yang masih lajang kemari setiap hari, aku rasa itu bukan hal yang pantas. Walaupun kita berteman dan tidak melakukan hal yang buruk, tetap saja hal ini tidak sesuai dengan norma kesopanan. Aku masih menghormati istriku Shiho,"

Ran tertunduk, "Kau... Sangat menyayangi Shiho ya..."

"Tujuh tahun membina rumah tangga bukan hal yang mudah," kata Shinichi menerawang, "Awalnya aku juga mengira hanya bertanggung jawab saja, memberi status pada Shiho dan anak kami sudah cukup. Meski aku tidak mencintainya pada saat itu, tapi memperlakukan dia sebagai partner kerjaku yang biasa sepertinya juga tidak masalah. Tapi rupanya aku tak bisa...

"Shiho berada di titik terendah hidupnya, begitu lemah dan depresi. Aku tidak bisa tidak peduli, aku tidak bisa diam saja," Shinichi mengepalkan tangannya ketika mengingat masa-masa berat itu, tubuh Shiho yang gemetaran ketika muntah dan menangis seorang diri di kamar mandi, "Puncaknya ketika Shiho mengalami koma setelah melahirkan..."

Ran terkesiap, "K-Koma?"

"Eh," Shinichi mengangguk.

Kejadian yang dialami Shiho membuat Shinichi mengutuki para pria di dunia ini yang menghamili wanita seenaknya tanpa bertanggung jawab. Betapa melahirkan tidak mudah dan taruhannya adalah nyawa. Batas hidup dan mati begitu tipis.

"Shiho menderita guillain barre syndrome, hingga ia koma selama tiga bulan," Shinichi memberitahu.

Ran menutup mulut dengan tangannya. Ia tidak pernah mengetahui hal ini, karena saat itu ia masih berada di pedalaman untuk mengajar. Sengaja menutup diri dari dunia untuk menyembuhkan patah hatinya.

"Setelah sadar dari koma, Shiho mengalami kelumpuhan seluruh tubuh dan masih harus menjalani terapi yang panjang," lanjut Shinichi, "Melihat penderitaannya, sulit rasanya untuk tidak melibatkan emosiku. Aku bertekad untuk melindunginya. Sejak saat itu aku menyadari, sebuah pernikahan bukan hanya tentang status tapi aku menyerahkan seluruh hidupku seutuhnya,"

"Aku mengerti. Melihat Shiho begitu hebat sekarang, aku yakin semua tidak lepas dari dukunganmu terhadapnya,"

Shinichi menggeleng, "Tanpa bantuannya, aku juga bukan apa-apa,"

Ran menghela napas, menegarkan dirinya. Dalam hati menyalahkan kebodohannya sendiri, ia mengakui sengaja memanfaatkan kekosongan Shinichi untuk bernostalgia mengenai masa lalu. Ia merasa malu. Tujuh tahun bersama, tentu banyak hal yang dapat terjadi diantara Shinichi dan Shiho.

"Semoga saja riset Shiho berhasil agar pandemi ini berakhir dan dia bisa segera pulang," ujar Ran dengan senyuman simpati.

"Arigatou Ran,"

"Aku mendoakan kebahagiaanmu dan Shiho," ucap Ran tulus.

"Kau juga Ran. Kau adalah sahabat terbaikku. Aku berharap kau juga menemukan kebahagiaanmu,"

Mereka akhirnya bersalaman sebagai seorang sahabat. Shinichi melihatnya keluar gerbang sebelum ia masuk ke dalam rumah. Putrinya dan Profesor Agasa sedang masak di dapur.

"Ah Otosan! Karinya sudah matang!" kata Ai yang berdiri dekat panci besar.

"Sepertinya lezat!" Profesor Agasa melongok ke panci dengan wajah penuh minat.

Hingga detik ini, Ai belum tahu perihal Shiho sakit. Shinichi menguatkan dirinya untuk tetap tegar dan tersenyum. Ternyata beginilah tugas seorang ayah.

"Ah! Ayo kita makan!" sahut Shinichi riang.

.

.

.

.

.

"Okasaaan!" Ai melambai-lambai melalui video call.

Shiho sudah sadarkan diri namun belum dapat lepas dari ventilator, ia hanya bisa melambai lemah di depan handphonenya yang telah dipasangkan tripod di sisi ranjangnya oleh petugas medis.

"Okasan! Hari ini aku, Otosan dan Hakase membuat cookies coklat resep Okasan. Rasanya enak sekali! Nanti kalau Okasan sudah pulang ikut coba ya!" Ai bercerita.

Shiho hanya mengedip lemah sebagai jawaban.

"Iya iya Shiho-Kun!" Profesor Agasa mendadak nyelip.

"Hakase!" Shinichi menggerutu, "Sempit ini!"

"Ai-Kun pintar sekali bisa bikin cookies enak, aku yang menghabiskannya hehehe..." Profesor Agasa terkekeh puas.

Shiho mengernyit, Profesor Agasa sudah terlalu gendut.

"Sudah sudah, gantian aku!" Shinichi mengoceh seraya menyingkirkan mereka semua dan membawa handphonenya ke pojok ruangan.

Tampilan layar handphone Shiho terbolak-balik. Shiho tertawa dalam hati melihat mereka saling berebutan. Tak lama kemudian kamera kembali stabil dan ia hanya melihat wajah Shinichi.

"Shiho..."

Shiho mengerjap sebagai pertanda ia mendengarkan.

"Cepatlah pulang..." pinta Shinichi dengan mata berkaca-kaca, Shiho tidak pernah melihatnya begitu, "Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu setibanya kau di rumah nanti,"

Mata Shiho tampak penasaran.

Shinichi yang mengerti hanya tersenyum, "Tidak... Tidak bisa kukatakan di sini. Aku menunggumu pulang untuk mengatakannya langsung. Karena itu kau harus cepat sembuh,"

Shiho mengedip sebagai anggukan.

"Aku merindukanmu Shiho. Kami semua di sini menunggumu pulang,"

Shiho membuat jempol di tangannya.

"Sampai nanti,"

Seminggu kemudian ventilator Shiho dilepas. Meski kadang masih terbatuk, ia sudah dapat berkomunikasi dengan keluarganya melalui video call. Proses penyembuhannya cukup cepat karena ia ingin segera pulang untuk menemui suami dan putrinya. Vaksin penemuan Shiho dan timnya telah diinjeksikan kepada para petugas medis secara bertahap.

"Bagaimana kondisimu Shiho?" tanya Shinichi.

Shiho terbatuk sedikit, "Eh sudah lebih baik, hanya masih batuk sesekali..."

"Masih sesak napas?"

"Tidak. Indera perasaku juga telah kembali,"

Shinichi tampak lega, "Yukata ne..."

"Hasil PCR ku sudah negative, tapi aku masih harus karantina hingga 2 minggu lagi. Setelah itu akan tes PCR lagi, jika negative aku boleh pulang,"

"Dua minggu lagi ya..." Shinichi berkata penuh harap.

"Eh, bersabarlah sedikit lagi. Ai mana?"

Shinichi memanggil putrinya.

"Okasan!" Ai melongok di kamera.

"Kau sudah mengerjakan PR mu?" tanya Shiho.

"Uhm sudah," sahut Ai.

"Sekarang sedang apa?"

"Sedang membaca Sherlock Holmes bersama Otosan,"

"Rencana malam ini mau makan apa?"

"Otosan dan Hakase mau membuatkan spaghetti,"

Shiho tersenyum. Dari cerita-cerita putrinya beberapa waktu belakangan ini, mereka sepertinya sering masak bertiga bersama Profesor Agasa. Tidak pernah lagi Shiho mendengar Ai menyebut-nyebut nama Ran. Mungkinkah Ran sudah tidak datang lagi ke rumah mereka?

"Eh iya ngomong-ngomong Shinichi. Apa yang ingin kau katakan padaku? Bicarakan saja sekarang. Apa kau sedang menghadapi kasus?" Shiho menanyai suaminya.

Wajah Shinichi merona, "Tidak, bukan kasus kok,"

"Lalu?"

"Nanti saja kalau kau sudah di rumah,"

"Takuuu... Hal penting apa sih sampai tidak bisa bicara di sini? Bikin aku penasaran saja,"

"Hehehe..." Shinichi terkekeh.

"Tapi... Aku juga ingin menyampaikan sesuatu padamu setelah pulang nanti..."

"Eh apa?" Shinichi bertanya balik.

"Nanti saja kalau aku sudah di rumah,"

"Tuh kan! Kau sendiri begitu!" tuduh Shinichi.

Mata Shiho menyipit, "Kan kau yang mulai duluan,"

"Sok-sok an jadi detektif," ejek Shinichi

"Kan gara-gara kau juga," Shiho mengejek balik.

Ai hanya tergelak melihat kedua orang tuanya berdebat, "Otosan dan Okasan lucu,"

"Ah, sepertinya ada tim medis mau mengecek kondisiku, kita lanjut lagi nanti,"

"Ah, sampai nanti,"

"Daaaah Okasan!" Ai melambai sebelum mereka memutus sambungan.

Total tiga bulan sudah Shiho bertugas. Selama itu pula ia tidak bertemu keluarganya. Hingga suatu pagi, sedan hitam datang ke rumah Keluarga Kudo untuk mengantar Shiho kembali. Hal yang mereka nantikan tiba.

"Okasan!" Ai menyambut ibunya.

"Ai-Chan!" Shiho memeluknya erat sambil menciumi rambut putrinya.

"Aku kangen Okasan,"

"Okasan juga kangen Ai-Chan,"

"Okasan jangan pergi lagi yaaa..." Ai merajuk dengan mata berkaca-kaca.

Shiho menangkup pipi tembam putrinya, "Eh, Okasan tidak akan pergi lagi,"

"Okasan," Ai merangkul erat leher ibunya, tak mau lepas.

"Gomene Ai-Chan," Shiho menepuk-nepuk punggung putrinya, "Dan terima kasih karena selama ini kau telah menjadi anak baik,"

"Okairi Shiho-Kun," Profesor Agasa menyambutnya.

Shiho berdiri menghadapinya, "Hakase,"

"Syukurlah akhirnya kau baik-baik saja,"

"Arigatou Hakase, sudah membantu Shinichi menjaga Ai selama ini,"

"Eh, dengan senang hati,"

"Shiho..." terdengar Shinichi memanggil.

"Shinichi..."

Shinichi menghampiri Shiho dan menariknya dalam pelukannya. Mendekapnya dengan erat, seolah tak ingin melepasnya lagi.

"Okairi Shiho," bisik Shinichi penuh kerinduan, tiga bulan bagai tiga abad rasanya. Kepergian Shiho telah membuatnya sadar, ia tak bisa hidup tanpa Shiho.

"Eh, aku sudah pulang," Shiho mengusap-usap punggung suaminya. Ia juga sangat merindukan Shinichi.

"Biar kulihat dirimu," Shinichi melepas pelukannya, kemudian menangkup wajah Shiho untuk memeriksanya, namun kemudian ia tertegun.

"Nani?" tanya Shiho.

"Padahal kau habis sakit, tapi kok malah gemukan?" tanya Shinichi.

"Eh? Ano..."

Seakan menyadari sesuatu, mata Shinichi turun ke bawah. Ia menyusupkan tangannya ke balik mantel Shiho untuk menyentuh perutnya yang sedikit membulat. Shinichi tercengang.

"Shiho? K-Kau? Hamil?" tanya Shinichi.

Profesor Agasa dan Ai terpana.

"Eh," Shiho mengangguk dengan wajah merona, "Sudah tiga bulan, aku sendiri baru mengetahuinya setelah masuk karantina,"

"Kenapa kau tak pernah bilang? Padahal kita rutin video call!"

"Aku tak mau membuatmu khawatir,"

"Bakane! Selalu saja begitu! Menyembunyikan semuanya!" walau mengoceh namun Shinichi memeluk Shiho erat dan berulangkali mengecup kepalanya.

"Gomene..."

"Ya ampuuun... Jadi ini yang mau kau katakan?"

"Eh," Shiho mengakui.

"Lalu bayinya bagaimana?" tanya Shinichi sambil merangkul kedua pundak Shiho, "Kau sempat terinfeksi, apakah akan berdampak?"

"Masih harus diawasi dengan ketat. Ada beberapa kasus ibu hamil yang terinfeksi dan bayinya ikut terinfeksi, tapi ada juga yang bayinya tetap sehat meski ibunya terinfeksi. Aku sekarang sudah sembuh. Semoga saja tidak apa-apa,"

"Uhm, semoga saja,"

"Ngomong-ngomong apa yang ingin kau bicarakan denganku?" Shiho menagih.

"Eh ano..." wajah Shinichi memerah.

"Uhm?"

"Shiho aku..."

"Nani?" Shiho mengerjap.

"Aku... Aku mencintaimu..." Shinichi merasa wajahnya begitu panas. Heran padahal mereka sudah tujuh tahun suami-istri, tapi kenapa ia malu begini?

"Eh?" wajah Shiho juga memerah.

"Aku mencintaimu Shiho,"

Mata Shiho berkaca-kaca karena terharu, "Aku tahu..."

"Eh?"

"Seseorang mengajariku untuk menilainya sendiri tanpa perlu menunggu kau mengatakannya..." Shiho teringat percakapannya dengan seorang wanita tua di rumah sakit, tujuh tahun lalu.

"Kau tak suka aku mengatakannya?"

"Eh bukan begitu," buru-buru Shiho menjelaskan, "Selama ini aku berusaha untuk tidak mengharapkannya tapi mendengar kau mengatakannya langsung, ternyata aku menyukainya,"

"Shiho..." dalam hati Shinichi berjanji, untuk lebih sering mengatakannya.

"Aku juga mencintaimu Shinichi..." ucap Shiho.

Shinichi meraih tengkuk Shiho untuk mengecupnya dan memagut bibirnya mesra. Tidak peduli saat itu mereka masih di depan rumah, tidak peduli saat itu Profesor Agasa dan Ai masih berada di sana. Ia ingin seluruh dunia tahu, ia mencintai Shiho.

THE END