Forbidden Love
By : pipi_tembam
"Perhatian semuanya!" Kepala Sekolah berseru di ruang kelas 3 SMA Teitan.
Para murid SMA di ruang kelas itu langsung hening menyimak kepala sekolah yang sepertinya akan menyampaikan sesuatu.
"Sehubungan dengan Matsusaka-Sensei mengajukan pensiun. Hari ini kalian akan mendapatkan guru matematika baru sekaligus wali kelas kalian," kata Kepala Sekolah.
Para murid bergumam penuh tanya sekaligus penasaran.
Kepala Sekolah mempersilahkan guru baru itu masuk.
Para murid terkesiap kagum dengan kecantikan guru baru mereka.
Shinichi terbelalak. Shiho?
Kepala Sekolah menuliskan nama 'Miyano Shiho' di papan tulis.
"Oi Ran, bukannya dia yang tinggal di rumah Hakase?" bisik Sonoko kepada Ran.
"Iya, kalau tidak salah kakak sepupunya Haibara Ai," sahut Ran.
"Mulai hari ini Miyano-Sensei akan mengajar matematika di sekolah ini sekaligus menjadi wali kelas baru kalian. Meskipun usianya baru 18 tahun, tapi beliau sangat genius dan sudah menjadi professor di usia 13 tahun,"
"Heeeeh..." Terdengar gumaman takjub dari murid-murid.
"Dozo Yoroshiku" ucap Shiho seraya menunduk formal.
"Neee Kudo-Kun," Nakamichi menyikut lengan Shinichi.
"Nani?" Shinichi menoleh padanya.
"Cantik sekali ya Miyano-Sensei. Seksi lagi hehehe..."
Shinichi memasang wajah kikuk.
Shiho... Masumi yang juga merupakan murid di kelas itu mengepalkan tangannya ketika melihat sepupunya.
Tahun lalu Black Organization berhasil dibubarkan. Gin, Vodka dan Vermouth ditangkap oleh FBI. Setelah Shiho mendapatkan data-data dari server organisasi, ia akhirnya berhasil membuat penawar APTX yang sifatnya permanen. Shinichi dan Shiho kembali ke tubuh asli mereka. Namun pihak FBI meminta kejadian mengecilnya tubuh mereka dirahasiakan. Bila orang-orang tahu ada obat APTX yang bisa membuat orang muda lagi hingga abadi, publik akan berbondong-bondong ingin memilikinya. Tidak sedikit orang yang ingin awet muda dan abadi. Karena hal itu pula mereka melakukan settingan, Edogawa Conan dikabarkan tinggal bersama orang tuanya di Amerika, sementara Haibara Ai juga kembali bersama orang tuanya di Inggris.
"Ada apa Kudo-Kun? Kenapa kau memintaku kemari?" tanya Shiho ketika jam istirahat makan siang. Shinichi meminta ketemuan di teras atas sekolah.
"Kenapa kau malah jadi guru di sini Shiho? Kau kan ilmuwan," tanya Shinichi.
Shiho mendesah seraya melipat tangannya, "Ilmuwan yang masih kesulitan mencari sponsor. Tanpa itu, aku harus membiayai penelitianku sendiri dan hanya pekerjaan ini yang kudapatkan. Semua hanya sementara,"
"Takuu..."
"Kenapa? Keberatan?" tantang Shiho.
"Eh? Tidak juga tuh!" Shinichi mengelak.
"Ah aku tahu," Shiho menampilkan senyum nakalnya, "Biasanya kan aku tukang suruhmu dan sekarang aku gurumu, gantian kau akan jadi tukang suruhku hehehe..." ia terkekeh.
Shinichi menyipitkan matanya, "Ughhh... Awas kau!"
"Shiho," mendadak terdengar panggilan lain.
Senyum Shiho langsung meredup ketika melihat Masumi.
"Nani?" tanya Shiho dingin.
"Kenapa kau bekerja di sini? Bukankah FBI menawarkan posisi padamu?"
"Aku mau kerja di mana pun, bukan urusanmu," sahut Shiho datar.
"Kau masih marah pada Shunee?"
"Aku tidak memintanya untuk melindungiku, lagipula dia memang harus menebus kesalahannya bukan? Dia memanfaatkan aku dan onee-chan. Hasilnya? Onee-chan tetap meninggal dan tidak dapat hidup lagi,"
"Tapi Shiho..." Shinichi menyela, "Masumi tidak ada hubungannya dengan semua ini, dia kan tidak tahu,"
"Karena itu," sambung Shiho cepat, "Kalau kau ingin akrab denganku tak perlu mengaku-aku sebagai sepupuku. Sebagai guru-murid atau teman, aku tidak masalah. Tapi jangan pernah menyebut kata 'sepupu'. Itu terlalu menyakitkan," ucapnya sambil berlalu pergi.
Masumi menghela napas murung.
"Sabarlah Masumi. Sebagai teman juga tidak masalah kan? Bisa menjadi permulaan yang baik," hibur Shinichi.
Masumi akhirnya tersenyum dan mengangguk, "Eh. Hanya saja aku belum dapat mengerti dirinya,"
Shinichi tersenyum, "Perlu waktu juga bagiku untuk mengerti dirinya. Tapi Shiho hanya pedas di mulut saja, di hatinya dia tetap baik,"
"Uhm," Masumi tampak lebih lega dan bersemangat.
.
.
.
.
.
Shiho dengan cepat menjadi populer di SMA Teitan. Tidak hanya para murid lelaki, para guru pria yang masih lajang juga jatuh hati padanya. Para guru wanita dan murid-murid perempuan tampak iri padanya karena menjadi pusat perhatian. Tidak sedikit yang berusaha meniru gaya Shiho dari cara bicara sampai gaya rambut. Surat-surat cinta dan hadiah dari para fans merupakan hal biasa yang Shiho temukan di mejanya setiap hari.
"Sensei!" geng Nakamichi mendadak mendatangi Shiho di koridor, ketika ia baru saja sampai di sekolah pagi itu.
Shiho menoleh, "Nani?"
"Anooo..." kata Nakamichi, "Ada soal matematika yang tidak kami mengerti. Bisakah Sensei membantu kami?"
"Boleh saja," kata Shiho.
Nakamichi menunjukkan buku pelajaran matematikannya. Ketika Shiho sedang sibuk mengajarinya, diam-diam teman-temannya yang lain melakukan hal yang tidak sopan. Salah satu dari mereka sudah memasang kamera kecil di ujung sepatu mereka dan kini mereka berusaha mengarahkannya ke bawah rok Shiho.
Prakkk! Shinichi menginjak sepatu mereka dan menghancurkan kameranya.
"Aduh! Apa-apaan kau Kudo!" keluh temannya yang kesakitan.
Semua tertegun menatap Shinichi.
"Kudo-Kun?" Shiho menatapnya tak mengerti.
"Mereka memasang kamera di sepatu untuk mengintipmu," kata Shinichi seraya mengangkat kakinya dan menunjukkan remahan kameranya.
Nakamichi dan gengnya tampak salah tingkah.
"Keterlaluan," Shiho menatap mereka tajam, "Aku akan memanggil orang tua kalian!"
"Hmph!" Nakamichi mendengus, berusaha mendapatkan harga dirinya kembali, "Kau pikir orang tua kami akan mendukungmu? Kau guru muda, hanya 1 tahun di atas kami. Kredibilitasmu akan diragukan,"
"Jaga sikapmu Nakamichi!" amuk Shinichi.
"Sudahlah Kudo-Kun..." Shiho berusaha menengahi.
"Ayo kita pergi dari sini Shiho!" Shinichi mengenggam tangan Shiho seraya berlalu pergi meninggalkan Nakamichi dan gengnya.
Tepat saat itu, Ran, Sonoko dan Masumi datang. Mereka melihat kejadian itu dari jauh.
"Sungguh terlalu becandanya Nakamichi itu," gumam Ran.
"Tapi aku bingung," kata Sonoko, "Shinichi memanggil Miyano-Sensei hanya dengan Shiho? Seperti sudah akrab saja,"
Masumi hanya diam, pura-pura tidak tahu.
"Iya juga ya," Ran bertopang dagu ketika berpikir.
"Jangan-jangan Shinichi juga jatuh cinta padanya lagi!" tebak Sonoko dengan gaya dramatis.
"Eh?" Ran tampak jengah.
"Sudahlah sudah!" Masumi menengahi seraya menepuk bahu kedua temannya, "Kita masuk kelas saja sekarang!"
"Eh? Kau sedang apa?" tanya Shiho ketika baru keluar rumah dan menemukan Shinichi sedang menyandarkan punggungnya di tembok perbatasan antara rumahnya dan rumah Profesor Agasa.
"Menunggumu," sahut Shinichi santai.
"Menungguku untuk apa?"
"Ke sekolah bareng,"
"Eh? Lalu pacarmu bagaimana?"
"Ran selalu bersamaan dengan Sonoko dan Masumi. Prianya cuma aku, bosan juga kalau mendengar wanita bergosip terus,"
"Oh, begitu," sahut Shiho.
Mereka pun mulai jalan bersama.
"Tapi kalau kita jalan bareng, kau juga tidak takut gossip di sekolah? Guru wanita dan murid lelakinya bersamaan terus?" tanya Shiho lagi.
"Peduli amat. Toh, kita tetanggaan, apa herannya?"
"Apa kau melakukan ini karena Nakamichi?"
"Eh," Shinichi mengakui, "Lepas dari Gin ternyata kau masih tidak aman juga di antara murid SMA. Yah, terkadang anak SMA memang bisa keterlaluan juga sih,"
"Ara... Aku sungguh terharu kau peduli padaku Kudo-Kun,"
"Tentu saja, kau kan partnerku,"
"Dan wali kelasmu," Shiho terkekeh.
Mata Shinichi menyipit, "Hai hai,"
Hening sesaat.
"Lagipula aku merindukan juga saat seperti ini," mendadak Shinichi berkata lagi.
"Eh?" Shiho memandangnya.
"Jalan denganmu. Seperti yang kita lakukan setiap hari dulu ketika kau masih menjadi Haibara Ai dan aku Edogawa Conan,"
Shiho terpana, "Tapi, bukannya ketika itu, kau merindukan berjalan bersama kekasihmu Ran-San?"
"Ya hanya saja... entah kenapa... lama-kelamaan menjadi datar..."
"Datar maksudmu?"
"Ran setiap hari hanya bercerita hal-hal yang sepele seperti, hari ini makan apa? Besok makan apa? Lalu mengeluh mengenai Paman Kogoro yang suka mabuk dan menjauhkan harapannya agar bisa bersatu lagi dengan Kisaki Sensei,"
"Dan apa yang membuatmu keberatan dengan hal itu?"
"Kau ingat dengan Genta, Mitsuhiko dan Ayumi?"
Shiho tersenyum, "Tentu saja, mereka kan masih suka ke rumah,"
"Pembicaraan mereka setiap pulang sekolah selalu sama. Hari ini ke rumah Hakase? Main game? Main bola? Maksudku, ya wajar saja, mereka masih tujuh tahun. Tapi aku dan Ran sudah 17 tahun, apakah tidak ada hal lain yang dapat dibicarakan maksudku?"
"Kalau begitu kenapa tidak kau yang mulai? Menceritakan kasusmu misalnya?" Shiho memberi saran.
Shinichi mendesah, "Kalau aku memulai hal itu, Ran akan marah," kemudian ia menirukan suara Ran, "Jiken jiken jiken!" Shinichi mengembalikan suaranya, "Dia muak jika aku bercerita tentang kasus. Aku merindukan pembicaraan yang lebih bermakna, sama seperti ketika aku berdiskusi denganmu,"
Wajah Shiho memerah ketika mendengar perkataan terakhir Shinichi, namun Shinichi tidak menyadarinya.
"Kau dan Ran-San sudah lama tak bertemu. Mungkin memang selama ini dia sudah menahan diri untuk menceritakan semua itu padamu," ujar Shiho.
"Setiap hari? Mengeluhkan hal yang sama? Yang benar saja,"
"Mungkin kalian sedang berada di titik terendah hubungan kalian. Cobalah untuk traveling, siapa tahu membantu,"
"Ya mungkin akan kucoba nanti, setelah ujian akhir. Sekarang semua sedang stress untuk menyambut persiapan ujian,"
"Ah, ngomong-ngomong ujian. Setelah lulus nanti, kau mau kuliah jurusan apa?"
"Hukum," sahut Shinichi penuh keyakinan, "Hal itu dapat membantuku untuk menjadi detektif sungguhan,"
Shiho terkekeh, "Tapi kau kan memang sudah detektif sungguhan,"
"Bagaimana denganmu sendiri? Kau tidak mungkin selamanya jadi guru Teitan kan? Tempatmu seharusnya lebih baik dari itu,"
"Aku sedang menyusun proposalku untuk mencari sponsor penelitianku lagi,"
"Memangnya kali ini kau meneliti apa?"
"Mengaktifkan kolagen kembali di wajah ketika sudah berusia 40 tahun lebih,"
"Mengaktifkan kolagen?"
"Eh. Ketika usia 40 tahun kolagen kita menjadi non aktif. Hal itu menyebabkan, keriput, jerawat, bercak dan lain-lain. Mau minum suplemen kolagen atau pakai serum, semua itu hanya omong kosong. Aku menemukan kemungkinan untuk mengaktifkan kolagen itu kembali di bawah kulit kita di dalam lapisan epidermis,"
"Dengan cara?"
"Dengan cara menusuknya menggunakan jarum super mini,"
Shinichi bergidik, "Sakit kan?"
Shiho mengangkat bahu, "Wanita bersedia menderita sedikit demi menjadi cantik. Lagipula sakitnya tidak separah pasca operasi plastik. Biayanya lebih murah dan persiapannya lebih sederhana. Hasilnya juga sepadan, kulit mereka bisa mulus dan glowing kembali,"
"Oi kenapa tidak pakai cara lama saja?"
"Cara lama maksudmu?"
"Kalau pakai APTX dijamin langsung muda 10 tahun kan?" goda Shinichi.
"Hentikan itu!" oceh Shiho.
Shinichi terbahak. Sepertinya sudah lama ia tidak tertawa lepas seperti ini. Ia tahu, bicara pada Shiho memang lebih plong. Perjalanan ke sekolah menjadi tidak terasa.
.
.
.
.
.
"Hanya segini yang aku bisa," kata Shiho seraya menunjukkan layar laptopnya kepada Shinichi dan Masumi.
Shinichi dan Masumi melongo bersamaan ke monitor. Tampilan sebuah CCTV yang menunjukkan seseorang dari jauh. Shiho membekukan gambar itu dan sudah berusaha memperjelasnya, namun resolusinya masih samar-samar.
"Ini belum cukup dijadikan bukti kalau Hitomi pelakunya," gumam Masumi.
Shinichi sependapat, "Eh, sepertinya kita harus mengecek ulang TKP, untuk mencari mungkin ada bagian yang terlewat,"
"Jadi, mereka masih menahan hacker itu?" tanya Shiho memandang mereka berdua.
"Eh, Fujita-San," sahut Masumi, "Dia telah dituduh melakukan pencucian uang karena ada dana besar yang berpindah dari rekeningnya,"
"Tapi, aku telah memeriksa latar belakangnya," kata Shiho, "Dia sudah menyukai meretas komputer sejak kecil. Kalau dia memang hacker yang sangat canggih, mana mungkin ia membiarkan transaksi itu terbaca? Hacker sekelas itu, melakukan pemindahan dana tanpa meninggalkan jejak digital, bukanlah hal mustahil,"
"Ah, itu juga yang kupikirkan," sahut Shinichi.
Mendadak bel berbunyi mengumumkan kedatangan tamu. Profesor Agasa yang membukakan pintunya.
"Oh Ran-Kun," sambut Profesor Agasa.
"Hakase, apakah Shinichi di sini? Aku baru dari sebelah dan kata orang tuanya dia kemari," kata Ran.
"Oh ada-ada, silahkan masuk," Profesor Agasa mengantarnya ke meja bar di dapur.
"Are? Ada Masumi juga?" Ran memandang mereka semua, "Kalian sedang apa? Tanya soal matematika?"
"Oh bukan," sahut Masumi, "Hanya mendiskusikan sebuah kasus,"
"Dengan Miyano-Sensei?" tanya Ran bingung.
"Anooo... Miyano-Sensei kan sudah professor, wajar saja kalau kita berdiskusi kasus kan hehehe..." kata Masumi kikuk.
"Oh begitu,"
"Ada apa kau mencariku Ran?" tanya Shinichi.
"Oh, aku hari ini ada membuat banyak sandwich tuna, aku baru mengantarnya ke sebelah tadi," jelas Ran.
"Maaf merepotkanmu," kata Shinichi.
Ran menggeleng, "Tidak kok,"
Shinichi kembali pada Shiho, "Shiho, aku masih membutuhkan latar belakang Reiko-San, rekan sejawat Fujita-San. Aku curiga dia juga terlibat dalam hal ini,"
"Eh, aku akan email datanya padamu besok," sahut Shiho.
"Shinichi!" Ran berkacak pinggang ketika menegur.
"Nani?" Shinichi melongo memandangnya.
"Kenapa kau tidak sopan?! Memanggil Miyano-Sensei dengan nama depannya seperti itu?! Tanpa embel-embel 'sensei' pula!"
Profesor Agasa, Masumi, Shinichi dan Shiho tampak kikuk.
Masumi akhirnya yang memecahkan kecanggungan itu, "Eh anoo Ran-Chan, kau kan tahu sendiri Shiho dan kita semua hanya beda setahun, jadi wajar saja kalau kita semua masih memanggil nama depan kan?"
"Tuh! Kau juga memanggil dengan nama depan!" tuduh Ran.
Masumi mengerjap kemudian ia menggandeng lengan Shiho, "Aku dan Shiho sebenarnya sudah kenal sejak kami masih di Inggris, jadi wajar saja kan kalau aku panggil nama depan. Ya kan Shiho-Chan?" ia memandang Shiho.
"E-Eeh," Shiho mengangguk kemudian memandang Ran, "Tidak apa-apa Ran-San. Aku tidak keberatan mereka semua memanggil dengan nama depanku selama dalam pembicaraan pribadi. Di sekolah mereka tetap memanggilku sensei kan?"
"Oh begitu. Baiklah..."
Shiho melirik arlojinya dan terbelalak, "Nani?! Sudah jam segini?"
"Ada apa Shiho?" tanya Shinichi.
"Aku belum membuat soal untuk latihan ujian besok! Takuuu! Ini gara-gara kalian para detektif!" amuk Shiho pada Shinichi dan Masumi.
"Aku yakin kau pasti bisa menyelesaikannya dengan cepat," gumam Shinichi.
"Kau juga masih ada PR matematika kan?! Sebaiknya pulang sana kerjakan!" seru Shiho dengan tatapan sangar pada Shinichi.
Shinichi bergidik, "H-Hai Sensei,"
"Kau juga Masumi! Pulang sana! Selesaikan PR mu!" hardik Shiho pada sepupunya.
Masumi berkeringat panas dingin, "Hai!"
Shinichi dan Shiho masih pergi dan pulang sekolah bersamaan. Lambat-lambat gossip pun beredar ke seluruh sekolah bahwa mereka berpacaran. Sudah berulangkali Shinichi dan Shiho mengklarifikasi mereka jalan bersama karena rumah mereka tetangga. Pihak sekolah dan para guru mengerti, namun para murid terutama kaum haters, masih curiga Shinichi dan Shiho hanya menutupinya. Terutama para murid wanita yang iri pada Shiho. Sebisa mungkin mereka menyebarkan desas-desus yang menjelekkan Shiho agar dia segera hengkang dari sekolah ini. Mereka tidak suka dengan kecantikan dan kepandaian Shiho yang mencuri perhatian kaum pria sehingga mereka tidak mendapat jatah. Namun meski begitu tidak sedikit pula yang masih menghormati Shiho dari murid pria maupun wanita. Shiho guru yang sangat peduli pada murid-muridnya. Termasuk pada satu murid wanita yang sering tidak masuk kelas.
Shiho sudah tiga kali memencet bel di rumah muridnya, Aoi. Masumi menemaninya dalam kunjungannya ke sana.
"Tidak ada yang jawab," gumam Shiho.
Masumi melirik rak sepatu di depan rumah seraya menghitung jumlahnya, "Semuanya ada, seharusnya mereka di dalam,"
"Aku coba lagi," Shiho memencet lagi tiga kali.
Tak lama kemudian, pintu depan terbuka. Seorang gadis mungil yang manis muncul melongokkan kepalanya, tidak membuka lebar pintunya dan tidak mempersilakan Shiho maupun Masumi masuk.
"Konichiwa Aoi-San," sapa Shiho ramah.
"Sensei?" Aoi menatap Shiho. Suaranya begitu kecil dan terdengar takut-takut.
"Aku kemari untuk menjengukmu. Sudah seminggu kau tidak sekolah, apakah kau sakit?" tanya Shiho.
"Anooo... hanya flu sedikit..."
"Boleh kami masuk Aoi-San?" tanya Shiho lagi.
"AOI! Mana makananku!" terdengar seruan seorang pria dari dalam.
Aoi tampak takut, "Gomene Sensei, sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat," ia langsung menutup pintu.
Shiho dan Masumi tersentak.
"Ada apa sebenarnya?" Shiho mengernyit.
"Dia tidak mau keluar, hanya melongok saja, sepertinya dia menyembunyikan sesuatu. Aku sepintas melihat lebam biru di pelipisnya," gumam Masumi.
"Dan suara tadi, apakah ayahnya?"
"Aku pernah dengar Aoi memang hanya tinggal bersama ayahnya. Ibunya sudah meninggal dua tahun lalu. Mungkin saja yang memanggil tadi memang ayahnya,"
Shiho terhenyak, "Masumi, jangan-jangan Aoi..."
"Eh, mungkin saja ada kekerasan di dalam. Aku akan meminta bantuan Shinichi-Kun untuk menyelidikinya. Para tetangga di sekitar sini juga harusnya tahu sesuatu,"
"Uhm," Shiho menyetujui.
.
.
.
.
.
"Malam-malam begini kau mau ke mana, Hakase?" tanya Shinichi ketika melihat Profesor Agasa sedang memuat kopernya ke dalam taksi.
"Oh, aku ada seminar ilmuwan di Jerman. Sengaja pakai penerbangan malam agar sampai sananya siang," jawab Profesor Agasa.
"Shiho mana?"
"Ah katanya malam ini giliran Shiho-Kun jaga malam di sekolah,"
"Eh? Begitu ya?"
"Aku pergi dulu Shinichi," Profesor Agasa melambai seraya masuk dalam taksi.
"Hati-hati Hakase," Shinichi balas melambai dan memandang taksinya hilang di balik belokan. Kemudian ia bertopang dagu.
Jaga malam? Memang ada? Kan semua guru sedang sibuk untuk mempersiapkan ujian... Batin Shinichi meragukan hal tersebut.
Shinichi mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Shiho.
"Ada apa Kudo-Kun?" Shiho menjawab telponnya.
"Kau di mana?" tanya Shinichi.
"Aku baru sampai perpustakaan," sahut Shiho.
"Aku mendapat info dari Hakase, katanya kau jaga malam. Memang ada?"
"Begitulah,"
"Kau tahu darimana? Kepala Sekolah?"
"Eh," Shiho mengangguk, "Kepala Sekolah menyampaikannya pada Reika-San dan Reika-San yang memberitahuku kalau jadwalku untuk jaga ya malam ini,"
"Reika?" Shinichi mengernyit, Reika adalah ketua geng wanita cantik di kelasnya. Shinichi tahu gadis itu diam-diam sinis di belakang Shiho. Sepintas di kantin, ia ada mendengar pembicaraan Reika dengan teman-temannya.
Aku sudah merencanakannya malam ini! Biar dia tahu rasa! Kata Reika penuh perhitungan.
"Gawat Shiho! Itu hanya jebakan Reika!"
Shiho mengerjap, "Nani?"
"Cari tempat untuk sembunyi! Aku akan segera ke sana!" Shinichi memutuskan sambungan.
Tepat ketika Shiho menutup telpon, geng Reika sudah berdiri di belakangnya.
"Selamat malam Sensei!" kata Reika dengan senyum berbahaya.
"Apa maksud semua ini?" tanya Shiho tajam.
"Sejak kau datang ke sekolah ini, kau sudah mengacaukan hidup kami,"
Shiho mengernyit waspada.
"Kau hanyalah remaja satu tahun di atas kami. Tidak usah gila hormat lah! Gara-gara kau Nakamichi harus diskors,"
"Karena kekurangajarannya sendiri," sambung Shiho.
"Tapi kau begitu manis pada Shinichi. Heran aku, karena Ran tidak berbuat apa-apa,"
"Aku dan Kudo-Kun hanya bertetangga. Tidak ada hubungan apapun,"
Reika dan gengnya maju selangkah.
Shiho mundur, "Apa yang kalian inginkan?!"
"Membuat malam yang menyenangkan untukmu,"
Teman-teman Reika mulai mengerumuni Shiho, melakban mulutnya, mengikatnya dengan tali dan mendudukan dirinya di lantai. Mereka juga menyiram Shiho dengan tiga ember air dingin, hingga tubuhnya gemetaran.
"Dingin Sensei? Tenang saja, kami dapat memberimu sesuatu yang hangat," Reika menjentikkan jari-jarinya dan tiga orang pria yang bukan merupakan murid Teitan masuk ke dalam ruangan.
Mata Shiho melebar ketakutan. Tubuhnya semakin gemetaran.
"Selamat menikmati!" kata Reika ceria kepada tiga pemuda itu lalu keluar dari ruang perpustakaan dan mengunci pintunya.
Ketiga pria itu memandang Shiho seraya menyeringai penuh nafsu. Mereka mulai menjamah tubuh Shiho dengan serampangan. Pakaiannya di sobek-sobek dengan brutal. Shiho menjerit, merintih dan menggeliat tidak nyaman berusaha menghindari tangan-tangan kurang ajar yang meraba-raba bagian vital tubuhnya. Airmata berlinangan melalui ekor matanya.
Brakkkk!
Sebuah bola kaki mendobrak pintu perpustakaan hingga terbuka dan menghantam salah satu pemuda hingga pingsan.
"Siapa itu?!" yang lain berteriak.
Syut! Shinichi menembakkan bius dari arlojinya hingga pemuda kedua pingsan. Lalu ia menghajar dan menendang pemuda yang terakhir.
"Shiho!" Shinichi membuka lakban dan ikatan Shiho lalu melepas jaketnya untuk membungkus tubuh Shiho yang nyaris telanjang.
"Kudo-Kun..." Shiho menangis dalam dekapan Shinichi.
Shinichi membalas dekapannya erat dan penuh perlindungan, "Aku sudah di sini Shiho..." bisiknya menenangkan seraya mengusap-usap lengan Shiho, "Kau aman sekarang..."
Shiho terlalu lemas dan gemetar untuk berdiri, sehingga Shinichi harus menggendongnya. Shiho membenamkan wajahnya ke leher Shinichi dan merangkulnya erat.
Di luar pintu, Shinichi melihat Reika dan gengnya yang salah tingkah karena terpergok.
"Kalian sungguh keterlaluan!" amuk Shinichi sebelum berlalu pergi melewati mereka.
Sampai di rumah Profesor Agasa, Shiho mandi air hangat. Shinichi menungguinya. Setelah hampir saja mengalami kejadian buruk, ia tidak tenang bila meninggalkan Shiho sendirian malam ini di rumah.
"Sakit?" tanya Shinichi ketika Shiho berjengit.
Shiho hanya menggeleng samar sebagai tanggapan Shinichi.
Shiho yang sudah selesai mandi, membungkus tubuhnya dengan kimono handuk putih tebal dari ujung telinga sampai kaki. Ia seperti tenggelam di dalam kimono ditambah selimut yang menutupi tubuhnya hingga ke kepala. Shiho duduk sambil memeluk lututnya di tempat tidur sementara Shinichi mengobati luka-luka di lengan Shiho, akibat cakaran para pemuda itu.
Shinichi lanjut menotol-notol luka tersebut dengan cotton buds yang sudah dibasahi dengan obat antiseptik. Ia melakukannya dengan lembut sambil sesekali meniupkannya untuk mengurangi rasa perih Shiho.
Airmata mengalir lagi ke pipi Shiho, ketika terdengar suara isakan, Shinichi mendongak memandang wajahnya, baru menyadari Shiho menangis.
"Shiho..."
"Aku takut," bisik Shiho.
"Tentu saja, kau baru mengalami malam yang buruk..."
"Entah apa jadinya kalau kau tidak datang..."
Shinichi tampak iba, ia menangkup wajah Shiho seraya menghapus airmatanya dengan ibu jarinya, "Kau ingin aku memanggil Masumi untuk menemanimu selama Hakase pergi?" tawarnya.
Shiho menggeleng, "Aku tak mau dia melihatku begini dan kemudian mengadukannya pada Akai-San. Aku tak ingin bergantung pada keluarganya untuk terus melindungiku,"
"Aku mengerti,"
"Apakah aku memang tidak dapat hidup normal?" ucap Shiho dengan getaran pahit dalam nada suaranya.
"Nani? Apa maksudmu?"
"Setelah mereka hancur, aku kira aku dapat hidup normal. Menggunakan nama asli pemberian orang tuaku untuk melanjutkan hidup. Namun sampai detik ini, para ilmuwan masih meragukanku karena nama belakangku 'Miyano,' putri dari ilmuwan gila. Aku tersisihkan dan hingga kini proposal yang kuajukan masih belum mendapatkan tanggapan. Aku hanya menjadi guru SMA di Teitan, sebenarnya aku cukup menyukai pekerjaan ini, tapi murid-murid itu..."
"Kau telah melakukannya dengan sangat baik, Shiho. Melanjutkan hidup dengan normal,"
Shiho menatapnya, "Kudo-Kun..."
"Bagai koin yang memiliki dua sisi, akan selalu ada yang menyukai kita dan ada yang tidak suka sama kita betapapun kita telah berusaha untuk menjadi orang baik. Tapi kita memang tidak dapat menyenangkan semua orang, Shiho. Mungkin memang ada murid-murid yang membencimu, tapi tidak sedikit juga kan murid yang mengagumimu dan meminta pendapatmu dari pelajaran matematika sampai curhat soal cinta?"
Shiho terdiam mencerna kata-kata Shinichi, matanya kembali berkilauan oleh air mata.
"Suatu hari pasti akan ada yang menyetujui penelitianmu. Jangan menyerah sampai di sini Shiho. Kau masih memiliki orang-orang yang peduli padamu,"
Air mata Shiho mengalir lagi karena terharu.
Shinichi merengkuh kedua bahu Shiho, "Kalaupun ternyata seluruh dunia ini tidak suka padamu, masih ada aku Kudo Shinichi yang akan selalu menyukaimu,"
Shiho terkesiap dengan wajah merona, "Arigatou Kudo-Kun..."
"Aku akan membuatkan teh hangat untukmu,"
Namun Shiho meraih lengannya dan menyandarkan pipinya di sana, "Jangan pergi Kudo-Kun... Aku tidak ingin sendiri... Tidak malam ini..."
Shinichi mengerjap, padahal ia hanya mau ke dapur, namun tampaknya Shiho masih trauma. Ia pun mengurungkan niatnya untuk beranjak dan membiarkan Shiho merangkul lengannya. Mereka begitu dekat, hingga Shinichi dapat membaui rambut Shiho yang masih setengah basah, ada aroma bunga sakura yang segar di sana. Entah kenapa, jantung Shinichi mendadak berdebar tak karuan.
Kesegaran Shiho yang habis mandi sungguh memabukkan, tanpa sadar Shinichi menyentuhkan bibirnya pada rambut Shiho untuk menghirup aromanya lebih dalam. Kemudian bibirnya bergulir mengecup kening Shiho, hidung, hingga akhirnya bibir mereka bertemu. Shinichi mengulumnya dengan lembut, Shiho menanggapinya dengan sama lembutnya. Semakin lama pagutan tersebut semakin dalam dan intim. Shinichi menyelipkan tangannya ke balik kimono Shiho dan menyentuh kulitnya yang dingin. Shiho bergidik menyenangkan ketika tangan hangat Shinichi mengusap sisi samping payudaranya dengan penuh kasih sayang. Shiho mendesah, ia mengalungkan kedua tangannya ke belakang leher Shinichi hingga Shinichi kehilangan keseimbangan dan mereka jatuh berbaring bersama di tempat tidur tanpa melepas kecupan mereka. Malam itu, Shiho menjadi milik Shinichi.
"Pagi," sapa Shinichi seraya tersenyum sewaktu Shiho baru membuka matanya.
"Pagi," Shiho balas tersenyum.
Mereka masih berbaring miring di tempat tidur dan belum berpakaian. Hanya ditutupi oleh selembar selimut.
"Tidurmu nyenyak semalam?" tanya Shinichi.
"Eh, sepertinya begitu,"
"Pantas saja, aku memang tidak melihat Putri Setan Mengantuk pagi ini,"
"Hentikan itu!" oceh Shiho.
Shinichi menyumpal ocehannya dengan bibirnya. Ia tidak pernah tahu, hasratnya untuk menyentuh Shiho ternyata begitu menggebu-gebu. Mereka kembali bergulat di bawah selimut untuk bercinta lagi pagi itu. Namun ketika Shinichi telah memasuki Shiho. Shiho menahan pinggulnya.
"Kenapa?"
"Jangan bergerak," pinta Shiho.
"Eh?"
"Aku ingin merasakanmu di dalam..."
Shinichi menuruti permintaannya, ia diam namun bibirnya sesekali mengecup dan mengulum leher Shiho. Lalu ketika ia mendongak untuk melihat wajah Shiho, ia melihat air matanya lagi.
"Astaga Shiho! Apakah aku menyakitimu?"
Shiho menggeleng, "Aku tidak memperkirakan ini..."
"Eh?"
"Aku sudah berusaha menahannya, tapi aku tak sanggup..."
"Menahan apa?"
"Mencintaimu sejak masih menjadi Haibara Ai,"
Shinichi tersentak.
"Ada tawaran pekerjaan, namun aku malah mengambil untuk menjadi guru di Teitan. Aku melakukannya agar aku dapat melihatmu..."
Shinichi memagut bibir Shiho lembut.
"Apakah aku salah?" bisik Shiho di bibir Shinichi.
"Kau tidak salah, Shiho," Shinichi balas berbisik di sela-sela kecupannya, "Tidak usah menahannya... Tak perlu takut untuk mencintaiku..."
Mereka kembali menyelesaikan percintaan mereka pagi itu.
.
.
.
.
.
"Sungguh keterlaluan!" Kepala Sekolah menggebrak meja.
Keesokan harinya, Reika bersama gengnya dan juga orang tua mereka dipanggil oleh kepala sekolah. Shinichi dan Shiho juga hadir di ruangan itu sebagai saksi dan korban. Masumi ikutan menyusul hadir di sana untuk membantu sepupunya kalau diperlukan.
"Benar-benar memalukan Teitan punya murid-murid seperti ini!" hardik Kepala Sekolah.
"Kami benar-benar minta maaf atas kelakukan putri kami Kepala Sekolah," ibu Reika berbicara sambil menunduk dalam, "Mengenai kerusakan perpustakaan, kami akan ganti rugi,"
"Bukan masalah kerusakan perpustakaan! Kerusakan moral putri kalian jauh lebih parah!" amuk Kepala Sekolah, "Murid menjebak gurunya sendiri?! Dan menyuruh orang-orang lain memerkosanya? Gila apa?!"
"Padahal kalian juga wanita, kenapa sesama wanita harus seperti itu?" kata Masumi seraya mendelik galak pada mereka.
"Untung saja ada Kudo-Kun! Kalau tidak..." Kepala Sekolah geleng-geleng, "Aku tak dapat membayangkannya..."
"Kalian seharusnya minta maaf pada Miyano-Sensei," gerutu Masumi kepada geng Reika dan orang tua mereka.
"Aku tidak mau!" kata Reika yang masih galak, "Tidak kah kalian sadar? Semua ini terjadi sejak Miyano-Sensei memasuki sekolah ini?"
Kepala Sekolah terkesiap, "Nani?"
"Mula-mula Nakamichi dan sekarang kami!"
"Semua itu karena salah kalian sendiri," ujar Shinichi tajam. "Nakamichi berusaha mengintip, itu sama saja dengan tindakan pelecehan seksual dan kau Reika, tindakanmu kemarin malam bisa dikategorikan tindakan kriminal. Kau, teman-teman dan komplotanmu akan diperiksa oleh kepolisian,"
"Apa?" Ibu Reika mengerjap, "Sampai ke polisi?"
"Eh," Shinichi mengangguk, "Yang dilakukannya sangat berbahaya, jika tidak dilaporkan, mereka tidak akan jera dan mungkin melakukan tindakan tidak terpuji lainnya,"
"Tapi bagaimana dengan masa depan mereka?"
"Mereka yang menghancurkan masa depan mereka sendiri," timpal Masumi.
"Aku setuju dengan Kudo-Kun," kata Kepala Sekolah, "Reika dan teman-temannya tidak dapat bersekolah lagi di sini. Aku tidak mau mereka memberi contoh buruk pada anak-anak lainnya,"
"Sepertinya Reika benar, guru baru ini telah membawa bencana," kata Ibu Reika dan diiyakan oleh orang tua lainnya.
"Miyano-Sensei merupakan salah satu guru terbaik di Teitan, kalian bisa menanyakan pada murid-murid lainnya," bela Shinichi.
"Kau sendiri kenapa kemarin malam kau bisa di sana?" tuduh Ibu Reika, "Jangan kira kami tidak tahu. Aku sudah mendengar gossip Miyano-Sensei ada affair dengan muridnya Kudo Shinichi,"
"Jangan mengalihkan topik!" seru Masumi, "Sensei dan Shinichi-Kun rumahnya bersebelahan, jadi wajar saja toh dia datang menolong. Kalau tidak, Sensei akan jadi korban kebiadapan anakmu!"
"Kualitas Teitan menurun sejak mempekerjakan guru berusia 18 tahun! Masih labil!" salah satu orang tua geng Reika berseru.
"Benar!" timpal ibu Reika, "Aku juga tak percaya kalau mereka hanya bertetangga! Dari cara mereka saling memandang, terlihat kalau mereka saling menyukai!"
Shinichi dan Shiho mengepalkan tangan di sisi tubuh mereka.
"Itu tidak benar," sahut sebuah suara dingin dan datar dari arah pintu.
Mereka semua menoleh dan terkesiap melihat kedatangannya. Rei Furuya.
"Furuya-San?" Shiho memandangnya tak mengerti.
"Shiho dan Shinichi tidak memiliki hubungan apa-apa," kata Rei seraya berjalan menghampiri mereka dan melingkarkan lengannya ke bahu Shiho, "Karena Shiho adalah kekasihku,"
"Eh?" Shiho mengerjap.
Shinichi mengernyit tak suka, tangannya kembali terkepal.
Masumi melongo.
Geng Reika dan para orang tua tak sanggup lagi mendebat.
"Maaf, aku tak sengaja mendengar pembicaraan kalian," kata Rei, "Tapi Shinichi benar. Putri kalian harus menghadapi proses hukum. Karena usianya masih belia, bila mereka menunjukkan penyesalannya, mereka dapat menjalani rehabilitasi dan skors dari sekolah. Setelah itu, mulailah hidup baru yang lebih baik," jelas Rei.
"Ngomong-ngomong kenapa kau kemari?" tanya Masumi.
Rei tersenyum cerah, "Tentu saja untuk menjemput kekasihku!" katanya seraya menarik Shiho lebih dekat. Shiho tampak canggung, namun diam saja agar masalah ini cepat berakhir.
"Jadi, kenapa sebenarnya kau ke sekolah?" tanya Shiho ketika sudah berada dalam mobil sport putih Rei yang memaksa mengantarnya pulang agar sandiwara mereka terlihat meyakinkan.
"Ada kasus dekat sini, lalu aku memutuskan untuk mampir. Aku tahu kau jadi guru di SMA Teitan. Ketika aku mencarimu, aku bertanya pada beberapa guru dan murid sehingga akhirnya aku tahu kasus itu. Aku menyusul ke ruang kepala sekolah untuk menyelamatkanmu,"
"Terima kasih, kalau begitu,"
"Sama-sama,"
Hening sejenak sebelum akhirnya Rei berbicara lagi.
"Kenapa kau mau jadi guru di sana? Kau ilmuwan,"
"Belum dapat sponsor,"
"FBI menawarkan posisi,"
"Aku tak mau bertemu Akai-San,"
"Ah masih belum bisa memaafkannya?"
"Begitulah kira-kira,"
Hening lagi.
"Kudo Shinichi," Rei mengucap nama itu dengan lantang.
Shiho menoleh, "Nani?"
"Karena detektif itu kan, kau bersedia bekerja di sana?"
"Bukan urusanmu,"
"Dengar Shiho," pinta Rei, "Kau dan Shinichi memang hanya berbeda usia 1 tahun. Itu tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah statusmu sebagai wali kelasnya. Jika kau guru lelaki dan Shinichi wanita mungkin masih dapat dimaklumi. Tapi kau guru wanita dan muridmu pria. Hal yang masih agak tabu di Jepang. Kalau kau ingin bersamanya, kau harus mengundurkan diri,"
"Terima kasih atas saranmu, tapi aku takkan bersamanya," gumam Shiho dengan pandangan menerawang keluar jendela. Percintaannya dengan Shinichi kemarin malam memang menyenangkan. Ia mengaku mencintai Shinichi, namun Shinichi tidak berkata apapun. Shiho juga tidak mengharapkannya. Ia sadar hubungan manis itu hanya akan tinggal sebagai kenangan, kekhilafan sesaat, "Dia sudah memiliki kekasih,"
"Mouri Ran?"
"Eh,"
Rei tidak membahas hal itu lagi lebih jauh, alih-alih ia berkata, "Aku masih menunggumu, Shiho,"
"Uhm?" Shiho menoleh padanya.
"Aku akan selalu menunggumu untuk menerimaku,"
"Masih banyak wanita lain di luar sana,"
"Prioritas hidupku cuma dua. Jepang dan kau Shiho. Tidak ada wanita lainnya. Bila bukan denganmu, maka aku tidak mau wanita lain,"
"Bagaimana kalau aku tetap tidak mau?"
"Maka sampai tua aku akan mengabdi pada Jepang,"
"Tak perlu menungguku Furuya-San,"
"Nani?"
"Aku juga sampai tua akan menjadi ilmuwan, botak seperti Hakase,"
"Benar-benar menyedihkan bukan kita berdua? Mencintai seseorang begitu dalam meski hanya bertepuk sebelah tangan,"
"Eh," Shiho sependapat.
Ketika Rei memarkir mobilnya di depan pintu gerbang rumah Profesor Agasa, Shinichi sudah menunggu di sana seraya menyandarkan punggungnya di pagar.
Rei dan Shiho keluar dari mobil untuk menghampirinya.
"Kau baik-baik saja Shiho?" tanya Shinichi.
"Eh," Shiho mengangguk.
"Aku hanya mengantarnya pulang, kau kira aku mau apa?" gumam Rei agak tersinggung, "Kalau aku tak mengantarnya, sandiwara tadi sia-sia saja bukan?"
"Shiho bukan Elena," kata Shinichi tajam.
Rei tertegun.
"Yang kau kagumi adalah ibunya, Miyano Elena, bukan Miyano Shiho. Kau tak bisa menjadikan Shiho sebagai penggantinya,"
"Aku mencintai Shiho karena dia adalah Shiho bukan bayang-bayang Elena!" sergah Rei.
"Kau baru menyadari Shiho adalah putri Elena ketika menjelang Black Organization hancur. Bagaimana mungkin aku dapat percaya kau sungguh mencintainya?"
"Kudo-Kun sudahlah..." pinta Shiho.
"Hmph!" Rei mendengus, "Tak usah belagak seakan kau yang paling mencintai Shiho. Dia bukan milikmu!"
"Bukan milikmu juga!"
"Apa yang dapat kau lakukan? Kau masih anak sekolah!"
"Furuya-San!" Shiho memperingatkan.
"Kau sendiri? Polisi keamanan publik namun mengandalkan bocah SD untuk menyelesaikan kasus satelit jatuh. Aku dan Shiho sudah lama bersama sejak kami masih keracunan APTX,"
"Ahhh... Siapa yang mendesak Shiho untuk segera menyelesaikan penawar itu agar kau dapat kembali pada kekasihmu?"
Shinichi terdiam.
"Lupa? Kalau kau masih memiliki kekasih?" Rei mengingatkan, "Kau tidak bisa bersikap kau seolah memiliki Shiho. Dia wanita lajang yang bebas sementara kau sendiri memiliki kekasih. Aku dan pria manapun di dunia ini, berhak mendapatkan kesempatan untuk mengejar Shiho,"
"Aku mencintai Shiho!" seru Shinichi.
Shiho terkesiap, "K-Kudo Kun..."
Rei pun membeku.
"Aku mencintai Shiho," ulang Shinichi, "Kau salah kalau kau katakan dia bukan milikku, karena Shiho sudah menjadi milikku..."
Rei terperangah, "Nani?"
Brakkk!Terdengar suara barang jatuh.
Shinichi menoleh dan mereka semua tersentak ketika melihat Ran dan Sonoko. Mereka datang membawa belanjaan bermaksud untuk masak nasi kari di rumah Shinichi. Namun ketika mendengar pengakuan Shinichi, mereka terkejut hingga menjatuhkan barang-barang.
"Ran?"
Ran berbalik pergi sambil menangis.
"Kejar dia Kudo-Kun!" pinta Shiho, takut terjadi sesuatu pada Ran.
Shinichi akhirnya menyusulnya.
Sonoko menghampiri Shiho dengan tatapan dingin, "Ternyata gossip itu benar ya, Sensei? Kau memang ada affair dengan Shinichi-Kun?"
"Aku bisa menjelaskannya Suzuki-San," ujar Shiho.
"Tidak perlu," Sonoko melipat lengannya dengan angkuh, "Ran terlalu baik hati dan polos. Tapi tunggu saja Sensei, kau akan menerima akibat perbuatanmu,"
"Kau mengancam?" tanya Rei, tubuhnya otomatis berdiri di depan Shiho, untuk melindunginya dari Sonoko.
Sonoko mengangkat bahu, "Hanya berbicara fakta," katanya sok misterius sebelum melenggang pergi.
"Ran!" Shinichi memanggilnya.
Ran berhenti di tepi sungai, ia masih menangis.
"Maafkan aku," ucap Shinichi.
"Jadi... jadi kau mencintai Miyano-Sensei?" rintih Ran pahit dengan air mata berlinangan.
"Ya," sahut Shinichi terus terang. Tak ada gunanya menutupinya dari Ran. Shinichi juga menyalahkan dirinya sendiri karena tidak menyadarinya selama ini. Setelah bercinta dengan Shiho, ia akhirnya mengerti, selama ini yang dicintainya adalah Shiho. Mungkin ia sudah mencintainya sejak mereka masih mengecil.
"Bagaimana bisa... Sensei baru mengajar beberapa bulan... Kalian baru saling mengenal dan dalam waktu sesingkat itu kalian jatuh cinta..." Ran menggigit bibirnya, "Lalu apa artinya? Apa artinya hubungan kita selama ini? Apa artinya aku bagimu?!"
"Kau tetap sahabat terbaikku Ran,"
"Sahabat? Hanya sahabat?"
Shinichi memejamkan matanya, "Lagipula aku dan Shiho sudah lama saling mengenal jauh sebelum dia mengajar di Teitan,"
"Nani?"
"Kau ingat selama aku menghilang untuk menyelesaikan kasus organisasi hitam?"
Ran mengangguk.
"Shiho adalah klienku, dia dikejar oleh organisasi hitam itu," Shinichi tak dapat menceritakan perihal APTX karena perjanjiannya dengan FBI.
Ran terhenyak.
"Orang tua Shiho adalah ilmuwan di organisasi itu. Karena sesuatu hal, mereka dibunuh sejak Shiho masih kecil. Shiho yang saat itu belum tahu kebenarannya, dibesarkan oleh kakak perempuannya, Miyano Akemi. Shiho diberi pendidikan ketat dan dipaksa bekerja sebagai ilmuwan untuk mereka sejak usia 13 tahun. Sampai akhirnya Akemi-San juga dibunuh, Shiho melarikan diri dari organisasi itu..."
Ran menutup mulutnya, tampak prihatin.
"Ketika ia datang padaku untuk meminta bantuan, ia begitu ketakutan. Selama ini aku melindunginya, bersama-sama kami melakukan penyelidikan untuk menghancurkan organisasi itu. Tapi karena kepandaiannya, lama-lama aku mengandalkannya untuk memecahkan hampir semua kasusku. Kami menjadi partner dan aku begitu bergantung padanya,"
Ran kini mengerti sewaktu ia menemukan Shinichi di rumah Profesor Agasa untuk meminta bantuan Shiho memecahkan kasusnya.
"Setelah organisasi itu hancur, Shiho berusaha untuk hidup normal. Sebenarnya ia mendapatkan tawaran posisi di FBI. Tapi..."
"Dia memilih untuk menjadi guru Teitan, agar dapat terus bertemu denganmu?" tebak Ran.
"Eh" Shinichi mengangguk.
"Kenapa kau tidak menceritakannya padaku dari awal mengenai hal ini?"
"FBI melarang kami mengatakannya dan sekarang ini aku hanya mengatakannya padamu saja, Ran. Takutnya, masih ada sisa-sisa anggota organisasi di luar sana yang mengincar Shiho,"
"Kalau kau memang mencintainya? Lalu kenapa kau masih mengajakku berkencan?"
"Karena aku juga baru menyadarinya belakangan ini. Pada malam insiden itu tepatnya, aku begitu marah melihat Shiho nyaris diperkosa. Aku sendiri tidak tahu kapan aku mulai jatuh cinta pada Shiho. Maafkan aku Ran, aku tak memahaminya dari awal,"
"Apa dia juga mencintaimu?"
"Ya. Tapi kau jangan salah paham. Shiho tidak pernah berusaha memisahkan kau dan aku, dia tahu kita berkencan, karena itu dia selama ini juga hanya memendamnya. Aku juga baru tahu belakangan ini saja kalau dia mencintaiku,"
Ran menunduk muram namun berusaha tabah, "Miyano-Sensei memang cantik dan cerdas. Walaupun hanya satu tahun di atas kita, tapi dia begitu dewasa. Wajar saja kalau Shinichi jatuh cinta padanya. Aku bukanlah apa-apa,"
"Tidak seperti itu juga Ran. Kau juga sangat baik,"
Ran berbalik memunggungi Shinichi untuk menatap sungai, "Aku membutuhkan ketenangan untuk berpikir. Sementara ini, tolong jangan mengajakku bicara dulu Shinichi. Sampai aku menerima semuanya, beri aku waktu untuk memahaminya,"
"Aku mengerti, aku juga tidak terburu-buru,"
.
.
.
.
.
"Miyano-Sensei!" panggil Ran sambil berlari menghampiri ketika melihat Shiho baru melintasi halaman sekolah. Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya ia mampu mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara dengan Shiho.
Shiho berhenti untuk memandangnya, "Ran-San..."
"Boleh bicara sebentar?" tanya Ran.
"Eh tentu saja,"
Mereka berjalan ke halaman belakang sekolah yang sepi.
"Ada apa Ran-San?" tanya Shiho.
"Anooo..."
"Kau masih marah?"
Ran tampak canggung, "Aku tidak tahu harus marah atau tidak,"
"Bila ini mengenai Kudo-Kun. Aku tak berniat mengambilnya darimu. Selamanya dia milikmu Ran-San,"
Ran memandangnya takjub. Setelah tahu kebenarannya dari Shinichi, betapa pahitnya kehidupan Shiho sejak kecil, namun ia masih merelakan pria yang dicintainya demi kebahagiaan orang lain, kebahagiaan muridnya yang tak berarti ini. Ran jadi malu, ia rasanya semakin tak pantas bila dibandingkan dengan Shiho yang begitu tabah dan tegar.
"Tapi Shinichi mencintaimu, aku tidak mau bersikap kekanakan dengan memaksanya untuk terus berada di sisiku. Aku juga wanita dewasa," Ran memantapkan dirinya.
"Kalau pun Kudo-Kun mencintaiku, itu hanya selingan. Mungkin dia hanya bimbang, di usia ini hal itu wajar saja terjadi. Kau tetaplah cinta sejatinya,"
"Shinichi sudah cerita semuanya padaku, mengenai organisasi itu,"
"Eh? Apa saja yang dikatakannya?"
Ran menjelaskannya.
Shiho paham, Shinichi tetap tidak membocorkan perihal kebenaran APTX dan kejadian mengecilnya tubuh mereka.
"Kudo-Kun hanya bingung antara cinta atau partner, karena kami memang telah banyak melalui kesulitan bersama. Ketika menghancurkan organisasi itu, kami nyaris mati. Kami berbagi suka duka bersama dan melindungi satu sama lain. Yang dia rasakan padaku hanyalah iba. Dia adalah detektif yang punya naluri melindungi satu sama lain. Sebagai temannya dari kecil, kau seharusnya mengerti," jelas Shiho dengan nada tegas.
"Tapi..."
"Lagipula aku juga takkan lama lagi berada di sini,"
"Eh? Memangnya Sensei mau ke mana?"
"Aku mempertimbangkan untuk menerima tawaran FBI,"
"Tapi, bukankah Sensei juga mencintai Shinichi?"
Shiho berbalik memunggungi Ran sebagai taktik menghindari pertanyaan itu, "Sudah saatnya masuk kelas Ran-San,"
Mereka kembali ke kelas. Setelah semua murid mengucapkan salam secara serempak pada wali kelas mereka, mendadak pandangan Shiho tertuju pada sebuah bangku kosong.
"Aoi-San tidak masuk lagi?" tanya Shiho pada murid-murid di kelas.
"Iya Sensei tidak masuk lagi," salah seorang murid wanita menjawab.
"Dia juga tidak mengabari sekolah, apa ada yang tahu sesuatu mengenai dirinya?" tanya Shiho lagi.
Murid-murid menggeleng.
"Beberapa hari lalu, kami sudah berusaha menjenguknya ke rumah," kata murid wanita itu lagi, "Tapi setelah beberapa kali membunyikan bel, tidak ada yang membukakan pintu, padahal kata para tetangga, tidak ada yang melihat mereka keluar rumah,"
Shiho hanya tertegun sesaat sebelum berkata, "Baiklah, kita mulai pelajarannya,"
Akhirnya pulang sekolah siang itu, Shiho ditemani Shinichi dan Masumi menuju rumah Aoi. Mereka sudah mengumpulkan informasi dari para tetangga, dari rumah Aoi yang tertutup memang kerapkali terjadi keributan. Hal itu sudah terjadi sejak ibu Aoi masih hidup.
Masumi membunyikan bel berkali-kali. Namun tetap tidak ada yang menjawab. Padahal di rak sepatu depan, tidak ada yang berkurang jumlahnya. Shinichi mencoba memutar gagang pintu, namun terkunci.
"Shinichi, lihat itu," Masumi menunjuk bercak di lantai.
Shinichi menyentuhnya, "Darah yang mengering,"
"Berarti memang terjadi kekerasan di sini?" tanya Shiho.
"Ah, kemungkinan besar begitu. Sebaiknya kita putar ke pintu belakang," Shinichi mengajak mereka mengelilingi rumah.
Klik pintu belakang tidak terkunci. Shinichi, Shiho dan Masumi mulai masuk ke dalam rumah untuk memeriksa keadaan. Mereka memandang berkeliling, keadaan rumah memang berantakan. Perabotannya hancur dan berserakan di sana sini. Kemudian Shiho melihatnya, ayah Aoi tengah mengangkat rotan cambuknya untuk memukul punggung Aoi.
"Awas!" Shiho berlari memeluk Aoi, hasilnya ia terkena sebuah cambukan di lengannya.
"Shiho!" Shinichi dan Masumi panik.
Ayah Aoi tampak ingin mencambuk lagi. Masumi menghajarnya dengan tendangannya, Shinichi menembak tengkuknya dengan arloji biusnya. Ayah Aoi jatuh berdebum di lantai.
"Kau terluka Shiho!" Shinichi tampak cemas.
"Hanya sedikit," Shiho memandang Aoi yang terluka lebih parah, wajahnya lebam-lebam penuh luka dan darah segar, "Kita harus membawa Aoi ke rumah sakit,"
"Kalian pergilah, aku sudah memanggil polisi untuk mengurusi bedebah ini," kata Masumi.
Ayah Aoi akhirnya ditangkap polisi. Aoi dirawat di rumah sakit, untungnya tidak ada luka-luka yang fatal.
"Sensei!" Aoi menangis seraya memeluk Shiho.
"Tidak apa-apa Aoi-San. Kau sudah aman sekarang," Shiho mengelus punggungnya.
Saat itu Aoi masih terbaring di rumah sakit.
"Ayahmu suka memukulmu?" tanya Shinichi.
"Uhm," Aoi mengangguk, "Sejak kehilangan pekerjaan 5 tahun lalu, Otosan jadi suka mabuk dan berjudi. Selama ini Okasan menahan semua pukulannya untuk melindungiku sampai akhirnya meninggal, lalu aku lah yang menjadi pelampiasannya..." isaknya.
"Kenapa kau tidak melaporkannya pada polisi?" tanya Masumi.
"Aku tak berani," bisik Aoi gemetar, "Aku juga tak mau melibatkan Sensei dan teman-teman, karena itu aku tidak membukakan pintu. Maaf Sensei jadi ikut terluka," ucapnya seraya memandang lengan Shiho yang kena cambuk dengan penuh penyesalan.
Shiho menggenggam tangannya menenangkan, "Hanya luka kecil, tidak perlu dipikirkan,"
"Apa kau punya saudara lain Aoi?" tanya Shinichi lagi.
Aoi menggeleng sedih, "Okasan anak panti asuhan, Otosan anak tunggal. Aku tak punya paman dan bibi, aku sendiri anak tunggal,"
Shiho tampak iba, "Kalau kau mau kau boleh tinggal denganku,"
"Eh? Benarkah Sensei?" Aoi tampak cerah.
"Aku tinggal bersama Profesor Agasa, dia juga sangat baik, sudah seperti ayahku sendiri. Pasti dia senang jika mendapat putri tambahan. Sekaligus, kau bisa membantuku mengawasi dietnya kalau aku sedang tidak ada di tempat"
Shinichi dan Masumi nyengir. Kasihan Hakase.
"Uhm. Aku mau Sensei! Mau sekali!" Aoi menyahut bersemangat.
"Sebentar lagi polisi akan datang untuk menanyaimu Aoi. Jawablah dengan jujur. Kau harus berani bersuara," kata Shinichi.
"Uhm," Aoi mengangguk.
Shiho bangkit berdiri dari tepi ranjang Aoi. Ketika ia melakukan itu, mendadak kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang. Tubuhnya sedikit terhuyung hingga Shinichi harus menopangnya.
"Sensei!" Aoi berseru cemas.
"Kau baik-baik saja Shiho?" tanya Shinichi yang juga tampak cemas.
"Tidak apa-apa. Mungkin hanya darah rendah, aku berdiri terlalu mendadak," sahut Shiho seraya menyentuh keningnya.
"Mungkin kau kelelahan," timpal Masumi, "Shinichi, sebaiknya kau bawa periksa saja, mumpung kita masih di rumah sakit. Aku akan menemani Aoi selagi diperiksa polisi,"
"Eh, baiklah. Ayo Shiho," Shinichi membimbing Shiho berjalan keluar ruangan.
Miyano-San tidak apa-apa, hanya sedikit kelelahan. Gejala biasa pada wanita hamil muda... Dokter memberitahu dengan wajah berseri-seri.
Kini Shinichi dan Shiho tengah berada di teras atas gedung rumah sakit. Mendadak Shinichi meraih lengan Shiho dan memeluknya erat.
"Aku akan bertanggung jawab Shiho. Aku akan memberitahu Otosan dan Okasan agar kita segera menikah," bisik Shinichi.
Perlahan dan halus, Shiho melepas pelukan Shinichi.
"Kau sebentar lagi akan menghadapi ujian akhir," gumam Shiho.
"Aku bisa menjalani keduanya,"
"Ujian akhir hanya tinggal bulan depan. Sebaiknya, kita bahas lagi setelah ujian selesai. Oke?"
"Shiho..."
"Setelah ujian berakhir, aku juga akan mengundurkan diri. Untuk sementara ini, perihal kehamilanku cukup kau dan aku saja yang tahu. Dengan begitu nama sekolah tidak akan tercemar,"
Shinichi tampak keberatan.
"Kandungannya baru satu bulan dan bulan depan juga baru dua, belum terlalu besar. Sampai saat itu, kita akan baik-baik saja," Shiho meyakinkannya.
"Baiklah, kalau itu memang keinginanmu. Aku akan melewati ujian dengan sebaik-baiknya,"
"Eh," Shiho mengangguk.
Shinichi memeluknya lagi.
.
.
.
.
.
Rumah Profesor Agasa jadi semakin ramai berkat hadirnya Aoi. Perihal penyelesaian kasus Aoi sudah terdengar seisi sekolah. Hal itu menjadikan Shiho semakin dicintai oleh para guru dan murid. Shiho rela pasang badan demi keselamatan murid-muridnya.
Aoi sekarang tidak pernah bolos kelas. Ia juga menjadi lebih bersemangat dan ceria dalam menjalani kehidupannya. Sekarang Shiho, Aoi dan Shinichi pergi dan pulang sekolah bersama. Hal itu juga perlahan-lahan membuat gossip affair antara Shiho dan Shinichi meredup. Shinichi pun bersyukur Aoi tinggal bersama Shiho sehingga Aoi bisa membantunya menjaga Shiho. Sejak mengetahui kehamilan Shiho, Shinichi jadi semakin overprotective terhadapnya.
Dalam sekejap mata, sebulan berlalu tanpa kejadian berarti. Murid-murid SMA Teitan menjalani ujian akhir dengan lancar. Shinichi juga tidak mengalami kesulitan sama sekali. Namun rudal aib itu jatuh di hari terakhir ujian. Satu hari sebelum libur panjang.
"Anda bisa menjelaskan ini Miyano-Sensei?" tanya Kepala Sekolah seraya menyerahkan sejumlah foto-foto kepada Shiho.
Shiho terkesiap. Foto-foto itu menunjukkan affairnya dengan Shinichi. Foto ketika Shinichi menggendongnya pulang dari perpustakaan, lalu ketika mereka keluar rumah bersama keesokan harinya sembari bergandengan tangan setelah bercinta. Foto ketika Shinichi memeluknya di teras rumah sakit. Foto saat Shinichi merangkulnya ketika mereka tengah memandangi langit malam di teras rumah Profesor Agasa. Jadi selama ini ada yang diam-diam mengikuti dirinya dan Shinichi untuk mengambil gambar-gambar mereka.
"Rupanya rumor itu benar, Anda berkencan dengan Kudo Shinichi. Murid Anda sendiri,"
"Aku bisa menjelaskan ini..."
"Setelah prestasi membanggakan Anda dalam membantu Aoi, kami sungguh kecewa ketika mengetahui aib ini. Anda dan Kudo-Kun telah bertindak tidak senonoh. Jika hal ini tersebar luas, nama baik sekolah akan tercemar,"
"Kepala Sekolah!" salah satu guru mendobrak masuk ruangan.
"Ada apa?" tanya Kepala Sekolah.
"Seisi sekolah sudah tahu. Foto-foto itu ditemukan di semua loker murid,"
Kepala Sekolah tersentak berdiri, "APA?"
Shiho terhuyung, wajahnya pucat pasi.
Mendadak Shinichi masuk ruangan kepala sekolah dengan napas terengah-engah.
"Kudo-Kun?" Kepala Sekolah memandangnya.
"Yang salah adalah aku, bukan Shiho! Tuntut saja aku!" kata Shinichi.
Kepala Sekolah melongo tak sanggup berkata-kata, Shinichi bahkan tidak memanggilnya 'Sensei.' Tampaknya hubungan mereka memang telah jauh.
Tak lama kemudian muncul Masumi dan Aoi yang terengah-engah.
"Shiho-Sensei bukan orang jahat!" seru Aoi, "Dia telah menyelamatkanku dan memperlakukanku seperti adiknya sendiri! Kalau memang dia kencan dengan Shinichi-Kun memang kenapa? Toh usia mereka tidak beda jauh!" belanya.
"Eh!" Masumi setuju, "Tidak perlu dibesar-besarkan. Percintaan antara guru dan murid sudah biasa kan?"
"Masalahnya!" kata Kepala Sekolah, "Hal ini terjadi di lingkungan sekolah Teitan! Bukan masalah beda usianya, tapi statusnya! Miyano-Sensei adalah guru yang seharusnya menjadi teladan para murid! Tapi kini justru malah memberikan contoh yang tidak senonoh dengan memacari murid kelasnya sendiri! Mau jadi generasi apa Jepang nanti?!"
Tiba-tiba Ran juga muncul dengan napas terengah-engah.
"Apalagi ini?!" Kepala Sekolah bingung melihat Ran.
"Sensei dan Shinichi sudah kenal sejak lama! Sebelum masuk sekolah ini! Mereka tidak bersalah! Mereka adalah partner kerja dalam menghadapi kasus bersama! Cinta mereka murni!" Ran ikut membela, ia sudah merelakan Shinichi sepenuhnya.
"Kepala Sekolah!" salah satu guru lain masuk ruangan.
"Apa lagi?!" hardik Kepala Sekolah.
"Murid-murid rusuh di lapangan. Mereka terbagi dua kubu. Satu mendukung Miyano-Sensei dan Kudo-Kun, sementara satu lagi menentang mereka," lapornya.
Kepala Sekolah garuk-garuk kepala karena pusing dengan informasi bertubi-tubi itu. Ketika ia tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya muncul lagi dua orang tamu. Yusaku dan Yukiko Kudo.
"Otosan? Okasan?" Shinichi kaget melihat kedatangan mereka.
"Akhirnya Anda datang juga," sambut Kepala Sekolah.
"Kami langsung datang setelah menerima telpon Anda," kata Yusaku, "Kami juga sudah melihat foto-foto yang beredar. Kami sungguh minta maaf karena ulah putra kami telah membuat heboh seluruh sekolah,"
"Eh," timpal Yukiko, "Kami tidak mendidiknya dengan baik, kami sungguh minta maaf,"
"Anda ingin bagaimana agar masalah ini dapat terselesaikan?" tanya Kepala Sekolah.
"Kami akan menyelesaikannya sendiri," jawab Yusaku, "Kami akan membawa Shinichi pulang dan mengurungnya untuk sementara waktu,"
"Nani? Otosan!" Shinichi protes.
"Sudah cukup kekacauan yang kau buat Shinichi!" Yukiko memperingatkan putranya.
"Shinichi dan Shiho tidak akan kami ijinkan bertemu sampai waktu yang tidak ditentukan," tegas Yusaku.
"Baiklah bila itu yang Anda inginkan," kata Kepala Sekolah.
"Ayo pulang Shinichi!" Yukiko menggandeng erat putranya.
"Tidak mau!" tolak Shinichi mentah-mentah.
Yusaku menggandeng erat lengan yang satunya lagi, "Kali ini kau jangan membantah!"
Yusaku dan Yukiko pun menyeret Shinichi pulang. Ketika melewati Shiho, Yusaku berkata pelan, "Kau juga harus renungkan perbuatanmu Shiho,"
Mereka bertiga pun berlalu dari ruangan itu.
"Sekarang bagaimana pertanggungjawabanmu Miyano-Sensei?" tanya Kepala Sekolah.
Shiho menghadapnya dan menunduk dalam, "Aku benar-benar minta maaf atas semua kekacauan yang telah terjadi, Kepala Sekolah. Hari ini juga aku akan menyerahkan surat pengunduran diriku,"
"Baik, aku anggap itu penyelesaian yang adil,"
"Otosan! Okasan! Aku bukan anak kecil lagi yang harus dikurung!" protes Shinichi kepada orang tuanya.
"Kalau kau menjalin hubungan dengan Shiho di luar sekolah tidak masalah, tapi Shiho adalah wali kelasmu! Hal yang sangat tabu di Jepang dengan memacari gurumu sendiri!" Yusaku memperingatkan dengan tajam.
"Takuuu... Shiho-Chan biasa sangat mampu mengendalikan diri! Kenapa jadi kelepasan begini?" gerutu Yukiko.
"Aku yang salah! Bukan Shiho!"
"Shin-Chan," Yukiko menatap tajam putranya, "Tampaknya Shiho-Chan memang tidak memiliki pengaruh yang baik untukmu. Dulu sebagai Haibara Ai dia membuat tubuhmu mengecil dan berkali-kali membuatmu berada dalam bahaya. Kita juga sudah berulang kali menyelamatkannya. Sekarang organisasi itu sudah hancur, tapi kau masih direpotkan dengan aib sekolah. Sebaiknya kau memang tidak berteman dengannya. Lagipula kau sudah ada Ran-Chan kan? Kenapa mendadak jadi menyukai Shiho?"
"Aku mencintainya! Aku menyadari aku mencintainya!"
"Kau sudah tidak logis lagi Shinichi!" hardik Yusaku habis sabar, "Sebaiknya renungkan dirimu selama beberapa hari terkurung di sini. Handphonemu juga akan kami sita!"
Yusaku dan Yukiko akhirnya keluar kamar Shinichi dan mengunci pintunya dari luar.
"Sial!" umpat Shinichi.
Dua minggu berlalu sejak kejadian itu. Shinichi masih terkurung di kamarnya. Shiho sendiri karena terlalu tertekan, fisiknya semakin lemah, bobot tubuhnya menurun dan wajahnya pucat. Ia juga kehilangan nafsu makannya, ditambah ia kerapkali mengalami morning sickness. Aoi, Masumi dan Profesor Agasa cemas melihat kondisinya yang suka murung. Beberapa murid yang mendukung Shiho sesekali datang, namun Shiho meminta tolong pada Aoi untuk menemui mereka dan memberi alasan Shiho tidak enak badan sehingga tidak bisa bertemu mereka langsung. Sampai suatu hari, ketika rumah sedang kosong, Yukiko datang menemuinya untuk bicara empat mata.
"Untukmu Shiho-Chan," kata Yukiko seraya menyorongkan sebuah tiket dan visa di meja tamu kepada Shiho.
"Apa ini Yukiko-San?" tanya Shiho.
"Tiketmu ke Amerika,"
"Amerika?"
"Sebentar lagi Shinichi akan masuk perguruan tinggi, aku tidak mau ada yang menghambatnya. Jalannya masih panjang, aku takut..."
"Kau takut aku akan memberinya pengaruh buruk?" Shiho melengkapi.
"Aku ingin dia tenang terlebih dahulu. Jika dia masuk universitas dengan membawa rumor buruk dari SMA nya, dia akan menjadi bulan-bulanan di sana,"
"Aku mengerti, tapi..." Shiho mengembalikan tiket itu pada Yukiko.
"Eh?" Yukiko menatapnya tak mengerti.
"Aku tidak membutuhkannya. Aku juga sudah menyiapkannya sendiri,"
"Maksudmu?"
"Aku telah menghubungi sepupuku Akai-San dan memutuskan menerima tawarannya untuk bergabung dengan FBI. Aku akan pergi lusa,"
Yukiko tampak lega, "Bagus sekali. Bergabung dengan FBI juga lebih bagus untuk karirmu Shiho-Chan daripada menjadi guru,"
"Eh," Shiho mengangguk, "Selamanya aku takkan menampakkan diriku lagi di hadapan Kudo-Kun. Kau bisa tenang Yukiko-San,"
Shiho dan Yukiko tidak tahu, diam-diam di pintu depan Aoi yang baru pulang dari belanja menguping. Ia pun segera mengeluarkan handphonenya untuk menghubungi Masumi.
.
.
.
.
.
Klik! Masumi berhasil mencongkel jendela kamar Shinichi dari luar.
Shinichi menoleh dan kaget melihat kemunculan mereka, "Masumi? Aoi?"
Masumi dan Aoi berhasil manjat masuk kamar dengan bantuan tarikan dari Shinichi.
"Bersiaplah Shinichi, mumpung ayah dan ibumu belum pulang," kata Masumi.
"Eh kenapa?" tanya Shinichi bingung.
"Yukiko-San memberikan tiket pada Shiho-Sensei untuk pergi ke Amerika. Shiho-Sensei berjanji untuk pergi dan tidak menemuimu lagi Shinichi," Aoi membocorkan.
Masumi melirik arlojinya, "Kita harus cepat, pesawatnya terbang satu jam lagi,"
Shinichi buru-buru mengambil jaketnya.
"Mana dasi kupu-kupumu? Sementara Aoi akan menggantikanmu di sini," tanya Masumi.
Shinichi meraih laci, menyetel suaranya dan menyerahkannya pada Aoi.
"Cepatlah pergi! Kejar Shiho-Sensei!" Aoi menyemangati.
"Terima kasih Aoi," ucap Shinichi.
"Ayo!" desak Masumi.
Shinichi dan Masumi kabur dari jendela. Aoi menutup jendelanya kembali seperti semula sebelum menaiki ranjang dan bersembunyi di bawah selimut.
Masumi yang memiliki ijin dan lebih jago ngebut, membonceng Shinichi dengan kecepatan tinggi menuju bandara.
"Shin-Chan!" Yukiko masuk ke kamar Shinichi. "Kami bawakan makan malam kesukaanmu! Ayo kita makan bersama di sini!" ajaknya ceria.
"Aku tidak lapar Okasan," jawab Aoi dengan dasi kupu-kupu di bawah selimutnya.
"Eh? Tapi kau sudah beberapa hari ini tidak makan banyak,"
Yusaku memasuki kamar, mendadak pandangannya tertuju pada kenop jendela yang terdapat sisa congkelan dari luar. Insting penulisnya bekerja. Ia langsung menuju tempat tidur dan menyibak selimut tebalnya.
Aoi tampak salah tingkah, tidak menyangka akan ketahuan secepat ini.
"Sudah kuduga," gumam Yusaku.
Yukiko tercengang, "Eh? Mana Shin-Chan?"
"Konbanwa Kudo-San!" sapa Aoi seraya tersenyum canggung.
"Kau tampak lebih buruk daripada ketika menghadapi Gin," kata Akai Shuichi ketika menemui Shiho di bandara.
Saat itu tengah malam dan penerbangan tidak banyak lagi, sehingga bandara terlihat lebih sepi dan lengang.
"Aku anggap itu pujian," kata Shiho.
"Kau yakin dengan keputusanmu meninggalkan detektif itu?" tanya Akai Shuichi.
"Uhm," Shiho mengangguk meski tatapan matanya sayu.
"Kita pergi sekarang," Akai meraih koper Shiho.
Namun baru berjalan dua langkah Shiho terhuyung. Akai menopangnya dengan sigap.
"Kau baik-baik saja?" tanya Akai.
"Tidak apa-apa,"
"Kau tampak tidak sehat, tidakkah sebaiknya ditunda saja penerbangannya?" tawar Akai.
Shiho menggeleng, "Kita harus pergi sekarang,"
"Baiklah kalau kau bersikeras,"
Akai dan Shiho melangkah lagi, tapi ketika baru mau ke konter check in, mendadak suara tak asing memanggil Shiho.
"Shiho!" panggil Shinichi seraya berlari.
Shiho dan Akai menoleh, terkejut dengan kedatangannya. Akai juga melihat Masumi adiknya berlari-lari di belakang Shincihi.
"Kudo-Kun?" Shiho memandangnya tak percaya.
"Jangan pergi," pinta Shinichi terengah-engah, "Aku tak bisa hidup tanpamu,"
"Aku takut kita tidak ada masa depan,"
"Apakah kau mau menyerah sampai di sini? Apakah aku tidak layak kau perjuangkan?" tuntut Shinichi pada Shiho.
"Bukan begitu Kudo...Ugh..." Shiho menyentuh perutnya dan terhuyung.
"Shiho!" Shinichi, Akai dan Masumi meneriakinya bersamaan. Namun Shinichi yang berlari menopang tubuhnya lebih dulu sehingga Shiho tidak langsung jatuh ke lantai, namun tampaknya kakinya memang lemah untuk berdiri. Shiho benar-benar lelah fisik dan mental.
Akai bergabung dengan adiknya Masumi.
Shinichi memeluk Shiho, "Aku mencintaimu Shiho, jangan tinggalkan aku,"
"Aku tidak ingin membawa masalah lebih banyak lagi... Aku sudah berulangkali menyusahkanmu Kudo..." bisik Shiho.
"Aku sudah terbiasa, karena melindungimu adalah kebiasaanku..."
Shiho tersenyum.
"Shin-Chan!" Yukiko dan Yusaku tiba.
Namun Akai dan Masumi merentangkan tangan mereka untuk menghalangi suami-istri itu mengganggu Shinichi dan Shiho.
"Nani?" Yukiko bingung memandang mereka berdua bergantian.
"Siapapun yang menghalangi mereka, akan berhadapan denganku," kata Akai dingin.
"Apakah kalian buta? Tidak melihat bagaimana mereka saling mencintai?" kata Masumi tak kalah dinginnya.
"Aku sangat beruntung karena pernah mengenalmu Kudo-Kun..." airmata Shiho mengalir, kelopak matanya mulai berat, perutnya terasa nyeri.
"Shiho..."
"Kau benar-benar cahaya untukku... Guardian Angelku... Tampaknya, Okasan, Otosan dan Onee-Chan di sana memang mengirimmu padaku..." Shiho merasakan cairan mengalir bagian bawah tubuhnya hingga ke kaki.
"Aku bersedia menjadi Guardian Angelmu selamanya, Shiho..."
"Arigatou... Shinichi..." Shiho memejamkan matanya. Tangannya yang merangkul bahu Shinichi merosot. Ia kehilangan kesadarannya.
Shinichi kaget bukan main ketika ia menyadari Shiho pingsan dan ada darah yang mengalir dari antara paha Shiho ke kakinya.
"Shiho?" Shinichi menyandarkan kepala Shiho dalam dekapannya seraya menangkup wajahnya ia terus memanggil, "Shiho?! SHIHO!"
.
.
.
.
.
Beberapa menit kemudian semua orang telah berkumpul di rumah sakit. Shinichi, Masumi, Akai, Profesor Agasa, Yusaku, Yukiko, Aoi, Ran dan Sonoko. Melihat Shiho mengalami pendarahan, mereka semua kecuali Shinichi akhirnya tahu mengenai kehamilan Shiho. Raut menyesal terlukis di wajah-wajah mereka. Terlebih Sonoko yang tampak begitu gugup dan pucat pasi. Tangannya sejak tadi mengepal untuk meredam gemetarnya.
"Jadi, Shiho-Kun ternyata sedang hamil?" kata Profesor Agasa yang tampak terpukul. Ia sangat menyayangi Shiho seperti putrinya sendiri.
Shinichi lambat-lambat mengangguk, "Sudah dua bulan,"
"Pantas saja Sensei suka muntah di waktu pagi," gumam Aoi muram.
"Kenapa kau tidak memberitahu kami?" tanya Yusaku.
"Begitu aku tahu, aku ingin langsung memberitahu Okasan dan Otosan. Meminta ijin untuk menikahinya. Namun Shiho melarangku karena sudah mau ujian akhir. Ia memintaku untuk menundanya. Setelah itu dia akan mengundurkan diri dari sekolah dan aku akan menghadap Otosan dan Okasan,"
"Berarti pengunduran dirinya memang sudah direncanakan?" tanya Masumi.
Shinichi mengangguk, "Shiho ingin menjaga nama sekolah. Tapi siapa sangka, ada insiden surat kaleng di loker para murid dan menghancurkan semua rencana,"
Dokter akhirnya keluar dari ruang operasi.
Shinichi menghampirinya lebih dulu.
"Bagaimana Shiho?" tanya Shinichi.
Dokter itu menggeleng, "Bayinya tidak dapat diselamatkan,"
Semua orang terkesiap dan itu hantaman untuk Shinichi.
"Miyano-San tampaknya telah mengalami guncangan hebat, sehingga kondisinya menurun dan kandungannya melemah,"
"Lalu bagaimana kondisi Shiho?" tanya Shinichi lagi.
Sekali lagi dokter menggeleng, "Koma,"
Shinichi terhuyung.
"Sensei!" Aoi menangis, Masumi memeluknya.
"Shiho-Kun..." Profesor Agasa juga tersedu-sedu.
Ran ikut menangis sementara Sonoko gemetar hebat.
Akai Shuichi mengepalkan tangannya dengan geram. Siapa sangka Shiho yang selama ini begitu dilindunginya dari Gin, malah kalah dengan tekanan ini.
"Shin-Chan..." Yukiko memanggil putranya takut-takut.
Shinichi menunduk, wajahnya menggelap. Kedua tangannya terkepal erat di samping tubuhnya yang gemetar menahan amarah.
"Puas kalian?" gumam Shinichi dingin.
"Shin-Chan?"
"Puas kalian melihat Shiho seperti ini?"
"GOMENE!" Sonoko terpuruk di lantai.
Ran bingung dengan sikap temannya, "Sonoko?"
Semua mata kini mengarah pada Sonoko.
"Aku yang melakukannya," Sonoko mengaku seraya sesenggukan.
"Apa?" Masumi mengernyit menatapnya.
"Aku yang membuntuti Sensei dan Shinichi, mengambil foto-foto mereka dan menyebarkannya di sekolah! Aku melakukannya karena aku geram Sensei merebut Shinichi dari Ran-Chan!" isak Sonoko dengan airmata berlinangan.
"Sonoko? Kenapa kau melakukannya?" Ran tak habis pikir dengan sahabatnya.
Amarah Shinichi menggelegak, "KAU MELAKUKANNYA? SHIHO SEDANG HAMIL DAN KAU MELAKUKAN HAL KEJI SEPERTI ITU?"
"Tenang Shinichi," Profesor Agasa menahan tubuh Shinichi agar tak memukul Sonoko.
"Aku tidak tahu dia hamil! Maafkan aku!" Sonoko menutup wajah dengan kedua tangannya.
"Kau manusia atau bukan?! Kau telah membunuh anakku! Membunuh Shiho! AKU TAKKAN PERNAH MEMAAFKANMU!" raung Shinichi.
Sonoko bangkit berdiri dan berlari meninggalkan tempat itu.
"Sonoko," Ran menyusulnya.
"Okasan juga," Shinichi menatap ibunya dengan perasaan sakit hati, "Selama ini aku kira aku beruntung memiliki orang tua yang pengertian, tapi... Okasan ternyata sama saja... Kau mengusir Shiho... Menyodorkan tiket padanya untuk pergi... Padahal dia sedang hamil..." ucapnya dengan airmata berlinangan karena kesedihan mendalam.
"Gomene Shinichi... Okasan memang salah..." Yukiko juga menangis, merasa menyesal.
"Aku takkan menyerah... Aku akan menunggu Shiho bangun sampai kapanpun... Jika dia meninggal, aku bersumpah, aku juga tak mau hidup lagi..."
"Shinichi?!" semua orang terhenyak.
"Sekarang tinggalkan aku! Tinggalkan aku sendiri!"
Yukiko berlari pergi, Yusaku menyusulnya.
Shinichi memasuki kamar operasi di mana Shiho tidak sadarkan diri berada dan masih menunggu proses pemindahan ke ruang perawatan. Shinichi menyandarkan salah satu pipinya ke perut Shiho. Airmatanya mengalir lagi ketika menyadari, bayi mereka sudah tidak ada di sana.
"Maafkan aku Shiho..." bisik Shinichi seraya terisak, "Aku gagal melindungimu dan bayi kita...
"Aku akan menunggumu Shiho... Sampai kapanpun... Aku akan menunggumu..."
Mirisnya, ketika Shiho sudah koma, salah satu perusahaan di mana Shiho mengirimkan proposalnya tentang pengaktifan kolagen ternyata diterima. Mereka menyesal dengan kejadian yang menimpa Shiho. Akhirnya mereka tetap membeli hak paten itu, namun pengembangannya dikerjakan oleh ilmuwan lain. Semua biaya Shiho di rumah sakit juga menjadi tanggungan perusahaan itu. Kapanpun Shiho sadar, perusahaan itu bersedia mempekerjakan Shiho.
Aoi mendapatkan beasiswa di Universitas Tokyo jurusan hukum. Ia bertekad untuk menjadi pengacara agar dapat membela kaum lemah. Shiho telah mengubah hidupnya menjadi lebih berani. Ia pun memantapkan diri meraih impiannya untuk menjadi pengacara terbaik. Dia masih tinggal bersama Profesor Agasa, menggantikan Shiho untuk mengurus rumah dan professor. Sesekali ia masih mengunjungi Shiho di rumah sakit.
Masumi juga mendapatkan beasiswa di Universitas Tokyo jurusan psikologi kriminal. Ia masih membantu Shinichi dalam memecahkan kasus-kasus yang diterima. Ia juga sering mengunjungi Shiho di rumah sakit. Akai Shuichi kembali ke Amerika dengan tangan kosong. Ran kuliah mengambil jurusan psikologi anak. Sementara Sonoko yang merasa bersalah, belum sanggup kuliah. Ia memilih berlibur dulu ke beberapa tempat untuk mencari ketenangan.
Shinichi terus melanjutkan hidupnya. Ia juga mendapat beasiswa di Universitas Tokyo jurusan hukum. Hubungannya dengan orang tuanya memang agak merenggang, hanya bicara seperlunya dan sekenanya saja. Yusaku dan Yukiko memutuskan kembali ke Amerika untuk menunggu dan memberi waktu bagi Shinichi sampai amarahnya reda. Setiap hari, Shinichi selalu menyempatkan waktu untuk mengunjungi Shiho tak peduli seberapapun sibuknya. Tanpa terasa, satu setengah tahun telah berlalu sejak Shiho koma.
Shiho ditempatkan dalam ruang perawatan terbaik dengan ukuran tempat tidur king size. Selang infus dan peralatan untuk memonitor detak jantungnya selalu terpasang. Aoi dan Masumi merawatnya dengan baik, mengelap tubuhnya dan menggunting rambutnya secara rutin sehingga Shiho selalu tampak segar.
"Hai Shiho," sapa Shinichi seraya dengan perlahan berbaring miring di sebelah Shiho. Tempat tidur itu cukup untuk memuat mereka berdua, tanpa Shinichi perlu khawatir menyenggol kabel-kabel penopang hidup Shiho.
"Aku baru saja selesai ujian semester tiga," Shinichi mulai bercerita, "Akhirnya setelah ini akan libur panjang jadi aku bisa lebih lama menemanimu di sini, setelah itu aku akan masuk semester empat, paling-paling dua tahun lagi aku lulus...
"Aku, Masumi dan Aoi sekarang suka menyelidiki kasus bersama. Tapi kau tahu sendiri Hakase tidak segesit dirimu. Perlu waktu lama baginya untuk upgrade program yang kau buat. Kami benar-benar membutuhkanmu Shiho...
Shinichi mengelus pipi Shiho dengan punggung tangannya, "Aku harap kau bangun ketika kami lulus dan merayakan wisuda. Kami berencana mendirikan agensi detektif dan mungkin kalau Aoi berhasil juga akan membuka agensi hukumnya sendiri. Kau juga akan membuat penelitian-penelitian yang lebih hebat lagi. Perusahaan itu masih menunggumu..."
Kemudian Shinichi menguap karena hari sudah larut malam.
"Aku tidur dulu Shiho, semoga kita bertemu di alam mimpi," Shinichi mengecup kening Shiho sebelum akhirnya jatuh tertidur sambil menggenggam tangannya.
Beberapa jam kemudian, masih subuh. Shinichi merasa ada gerakan di telapak tangannya. Kelopak mata Shiho perlahan bergerak sebelum akhirnya lambat-lambat membuka.
Shinichi bergumam ngantuk ketika membuka matanya juga dan kemudian matanya bertemu dengan mata Shiho, ia mengerjap.
"Shiho..."
Shiho tersenyum seraya memiringkan tubuhnya. Shinichi memeluknya dan menyandarkan wajahnya dengan manja di leher Shiho. Shiho mengecup kening Shinichi sebelum akhirnya mereka berdua tertidur lagi.
.
.
.
.
.
"Shiho-Chan..." mata Yukiko berkaca-kaca ketika melihat Shiho yang baru pulang ke rumah Profesor Agasa setelah menjalani terapi selama tiga bulan setelah bangun dari koma.
"Yukiko-San..."
Yukiko memeluknya sambil menangis tersedu-sedu, "Maafkan aku Shiho-Chan..."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan Yukiko-San..."
"Kau sedang mengandung cucuku dan aku malah mengusirmu,"
"Semua sudah berlalu, lupakan saja," Shiho menepuk-nepuk bahunya untuk menenangkan.
Yukiko melepaskan pelukannya dan ganti menggenggam kedua tangan Shiho, "Aku tidak akan menghalangimu dan Shin-Chan lagi. Kalian bebas untuk bersama-sama. Terima kasih karena kau bangun lagi Shiho-Chan. Jika tidak... Entah bagaimana Shin-Chan..."
"Maaf telah membuatmu khawatir,"
Mendadak dari ambang pintu rumah muncul seorang lagi yang ingin mengaku dosa.
"Sensei..." panggil Sonoko.
Shiho memandangnya, "Suzuki-San?"
Sonoko langsung menangis dan bersujud di hadapan Shiho, "Maafkan aku Sensei!"
"Jangan begitu Suzuki-San..." Shiho berusaha membuatnya bangun, namun Sonoko bersikeras tidak mau bangun.
"Aku memang jahat. Aku yang menyebarkan foto itu... Aku... Aku yang membunuh bayimu..." Sonoko sesenggukan.
"Aku memang belum berjodoh dengan bayiku. Lagipula kau melakukannya karena rasa sayangmu pada Ran-San, aku tidak menyalahkanmu..."
"Sensei... Tapi... Tapi..." Sonoko memandang Shinichi takut-takut.
Shiho mengikuti arah pandangnya, "Sudahlah Shinichi... Maafkan saja..."
Shinichi membuang muka, masih tampak enggan.
"Aku kan sudah sembuh, tak usah diperpanjang lagi..." pinta Shiho.
"Hai hai baiklah... Aku memaafkannya karena kau yang minta!" sahut Shinichi ketus.
Itu sudah lebih dari cukup. Sonoko akhirnya dapat melepaskan bebannya.
"Dingin?" tanya Shinichi.
"Sedikit,"
Saat itu mereka berdua tengah berada di teras atas rumah Profesor Agasa untuk melihat kembang api tahun baru.
"Kenapa kau selalu lupa pakai sarung tanganmu?"
"Kau juga,"
Shinichi memeluk Shiho lebih erat seraya menggosok-gosokkan tangannya ke tangan Shiho dan menguapinya.
"Sudah lebih hangat?"
"Eh lebih baik,"
Shinichi sebuah memberi kecupan ringan di pipi Shiho seraya mengeratkan dekapannya dan menimangnya.
"Takuuu...Jangan diayun-ayun begini... Aku bukan bonekamu..." gerutu Shiho.
"Aku sangat bahagia, aku benar-benar menantikan saat ini," Shinichi merajuk manja.
Shiho menangkup wajah Shinichi, "Gomene... Pasti dua tahun yang berat untukmu..."
"Aku selalu percaya padamu, kau pasti akan kembali..." Shinichi meraih tangan yang menyentuh wajahnya itu dan mengecupnya.
Mendadak terdengar kembang api berderu dari kejauhan sana. Percikan warna-warninya sangat indah menyambut tahun baru.
"Selamat tahun baru Shinichi," ucap Shiho.
"Selamat tahun baru Shiho," ucap Shinichi kemudian mempertemukan bibirnya dan bibir Shiho. Ciuman pertama mereka di tahun baru.
THE END
