The Dying Game
By : pipi_tembam
"Shiho! Bangun Shiho!" Shinichi mendesis seraya mengguncang-guncangkan bahu Shiho.
Terdengar suara melenguh dari Shiho sebelum membuka mata, "Kudo-Kun?" ia mengusap-usap matanya sebelum terkesiap, "Kita di mana?"
"Entahlah," Shinichi memandang berkeliling dengan waspada.
Mereka berada di sebuah rumah kayu, tampaknya di daerah perternakan atau perkebunan. Selain mereka, ada beberapa orang lain lagi, pria dan wanita, yang satu per satu mendapatkan kesadarannya. Raut wajah mereka juga memancarkan kebingungan.
"Firasatku tidak enak," bisik Shiho.
"Eh," Shinichi sependapat.
Gubrak! Mendadak pintu kayu mendobrak terbuka. Orang-orang tersentak kaget dan memandang ke arah pintu. Shinichi refleks merentangkan lengannya untuk melindungi Shiho.
Seorang pria mengenakan baju koboi muncul bersama beberapa bodyguardnya. Senyumnya mengembang dengan mengerikan dan memuakkan.
"Selamat datang di Perburuan Manusia Kiyosuke," katanya seraya nyengir memamerkan gigi-gigi putihnya yang besar.
Semua orang tertegun tak mengerti.
Shinichi menegang, Shiho mencengkram lengan Shinichi erat-erat. Perburuan Manusia Kiyosuke adalah kasus yang sedang mereka buru, namun kini mereka malah jadi buruannya.
Jalan menuju neraka, terbentang di hadapan mereka.
.
.
.
.
.
Masumi memandang meja kerjanya yang berserakan dengan berbagai dokumen. Tak lama kemudian Akai Shuichi dan Rei Furuya masuk ke dalam ruangan.
"Belum ada kabar?" tanya Rei.
Masumi menggeleng muram.
"Sudah dua hari Shinichi dan Shiho menghilang ketika menyelidiki kasus perburuan manusia," gumam Akai, "Sepertinya sudah dapat dipastikan, mereka terjebak di sana,"
Buk! Masumi meninju meja dengan geram, "Sial! Tidak adakah yang dapat kita lakukan?! Aku tak dapat membayangkan Shinichi dan Shiho... Ugh!" Masumi mengepalkan tangannya dengan gemas, "Seumur-umur menjadi detektif, aku tak pernah merasa seburuk ini!"
Lima tahun berlalu setelah kasus Black Organization ditutup dengan memuaskan. Shinichi membuka kantor agensi detektif swasta, Masumi bekerja bersamanya. Shiho menjadi ilmuwan dan sekaligus menjadi konsultan di agensi Shinichi.
Beberapa waktu lalu, Shinichi menerima kasus dari kepolisian Jepang dan FBI mengenai adanya permainan perburuan manusia yang diprakarsai oleh konglomerat yang tidak pernah muncul di publik bernama Kiyosuke. Shinichi belum mengetahui dengan detail apa tepatnya permainan perburuan itu. Tapi sepertinya orang-orang yang diculik oleh Kiyosuke akan dilepaskan di hutan luas milik Kiyosuke, ada yang menjadi mangsa dan ada yang menjadi pemburu. Mereka diberi waktu untuk membunuh target. Jika gagal, maka keesokan harinya si pemburu akan menjadi mangsa dan mangsa menjadi pemburu.
"Ketika pertama kali mendengar kasus itu, aku sudah merasa mual. Jika Shinichi dan Shiho benar-benar terjebak di sana..." Masumi memejamkan matanya erat-erat tak sanggup meneruskan.
"Mereka pasti akan bertahan!" Akai Shuichi meyakinkan, "Shinichi dan Shiho cerdas, mereka pasti dapat memikirkan jalan keluarnya!"
"Masalahnya Shuichi..." sambung Rei Furuya, "Kalaupun mereka selamat, mereka takkan menjadi sama lagi. Kau tahu bagaimana prinsip Shinichi. Orang sejahat apapun takkan bersedia dia bunuh. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di ranch itu. Mereka akan menggunakan Shiho sebagai objek untuk mengancam Shinichi. Di situlah Shinichi akan diuji kemanusiaannya. Apakah ia akan membunuh atau tidak,"
Masumi menegang, "Kalau Shinichi tidak bersedia membunuh Shiho akan mati, dan kalau Shinichi terpaksa membunuh..."
"Kuharap dia tidak menjadi gila," ucap Rei seraya memejamkan mata.
"Apakah Agasa Hakase berhasil melacak sinyal terakhir mereka?" tanya Akai.
"Sinyal terakhir mereka di Yamanashi, sepertinya penculik itu sudah merusak pemancar yang dibawa Shinichi dan Shiho," jawab Masumi.
"Percuma saja jika kita mencari ranch itu, Kiyosuke pasti banyak komplotan. Kita harus mengincar kepalanya, Kiyosuke itu sendiri," gumam Akai.
"Nani?" Masumi mengernyit.
"Kudengar permainan perburuan itu dipertontonkan oleh Kiyosuke. Yang menjadi penonton hanyalah anggota tertutup. Para orang kaya yang memiliki kejiwaan yang aneh. Mereka memasang taruhan dan sebagainya. Kita harus melacak orang-orang kaya mana saja yang ada hubungannya dengan Kiyosuke. Dekati dan bergabunglah menjadi anggota," jelas Akai.
"Aku akan melakukannya," sahut Masumi cepat.
"Kau masih terlalu gegabah," Akai memperingatkan dengan tajam, "Kiyosuke tidak bodoh. Wajahmu juga terlalu sering terpampang di surat kabar bersama Shinichi," lalu Akai memandang Rei Furuya, "Kemampuan diplomatmu lebih menguntungkan untuk penyusupan ini,"
Mata Rei menyipit tajam penuh tekad, "Eh. Aku akan melakukannya,"
Kiyosuke memiliki lahan yang sangat luas di pedalaman Hutan Aokigahara. Hutan yang dikenal sebagai tempat bunuh dirinya orang Jepang. Selama ini publik hanya tahu bahwa para mayat yang tergantung di sana adalah orang-orang yang mengakhiri hidupnya sendiri. Padahal tim Kiyosuke selalu siaga. Siapapun yang tengah tersesat di hutan itu akan ditangkapnya dan dijadikan peserta dalam permainan perburuannya. Jika mereka tewas dalam permainan itu, Kiyosuke akan mengembalikannya ke hutan dan mengaturnya seolah mereka terlihat bunuh diri.
Hari itu Shinichi dan Shiho mengenakan gelang kuning. Gelang sebagai mangsa yang menjadi target buruan. Gelang itu sudah diberi sensor jarak, apabila Shinichi dan Shiho keluar melalui batas wilayah hutan Kiyosuke, alarmnya akan berbunyi. Ini kali pertama mereka diikutsertakan dalam permainan.
"Shiho..." Shinichi melihat tubuh Shiho gemetar hebat.
Kiyosuke menempatkan tawanan-tawanannya dalam kamar secara berpasangan. Shinichi dan Shiho ditempatkan dalam satu kamar. Setiap kamar memiliki CCTV, begitu juga kamar Shinichi dan Shiho. Mereka dipantau selama 24 jam.
"Apa kita akan mati hari ini?" rintih Shiho pelan.
Shinichi menghampirinya dan merengkuh kedua bahunya, "Kita hanya harus bertahan sampai waktunya selesai,"
"Tapi..."
"Hutan ini luas, pasti ada tempat bagi kita untuk bersembunyi dan aku akan melindungimu Shiho..."
Shiho menggeleng, "Tidak Kudo-Kun, jika terjadi sesuatu padamu, aku juga tak mau hidup lagi. Aku tidak mau terjebak di sini seorang diri..." ia menangis seraya menenggelamkan wajahnya ke dada Shinichi.
Shinichi memeluknya, "Aku takkan mati Shiho... Ran masih menungguku... Jadi aku takkan semudah itu mati..."
.
.
.
.
.
"100 juta," Zero mengangkat papan kecil itu dengan tenang.
Semua peserta lelang memandangnya terkesiap.
"100 juta pertama! 100 juta kedua! Lukisan Olympia menjadi milik Zero-San!" hasil lelang itu telah diputuskan.
Semua orang bertepuk tangan sebagai penghormatan untuk Zero.
Zero alias Rei Furuya tengah melakukan penyamarannya. Rambut pirangnya disisir ke belakang dan licin karena menggunakan gel mengkilap. Ia juga menggunakan kacamata hitam bahkan walaupun di dalam ruangan, untuk menambahkan kesan ningrat nan misterius. Lelang ini merupakan lelang barang-barang antik yang illegal, namun Zero belum melaporkannya. Ia masih membutuhkan rumah lelang ini untuk mencapai tujuannya.
Setelah Zero melakukan pembayaran dan memberikan kartunama pada rumah lelang agar lukisan Olympia dapat dikirim ke kediamannya, ia keluar dari rumah lelang itu dengan didampingi para bodyguard menuju limousine mewahnya. Ketika ia baru mau masuk mobil, ia mendengar panggilan itu. Hal yang dinantikannya.
"Zero-San!" panggil Akira, tuan rumah lelang.
Zero perlahan berbalik, "Ada apa Akira-San?" tanyanya datar.
"Ano... Penawaran Anda terlalu tinggi untuk lukisan itu,"
Zero hanya tersenyum menyepelekan, "Hanya sebagai sarana untuk mengalokasikan uangku yang sangat lebih dari cukup," ucapnya berusaha terdengar kaya namun merendah.
"Apakah Anda pengagum seniman Edouard Manet?"
"Pengagum lukisan erotis tepatnya,"
"Ah..." Akira tampak memahami, "Ini pertama kalinya saya lihat Anda di rumah lelang,"
Zero mengangkat bahu, "Aku lama di Inggris, baru saja kembali ke Jepang. Aku masih mencari-cari apa kiranya yang menarik dan menantang di Jepang,"
"Apa Anda memiliki hobi tertentu?"
"Aku suka berburu, tapi aku masih kesulitan mencari tempat berburu yang menarik di Jepang," Zero berkata dengan nada kecewa.
"Begini saja," Akira mengeluarkan kartunamanya dan memberikannya dengan dua tangan secara sopan kepada Zero, "Ini kartunama saya. Saya banyak mengenal orang-orang penting di rumah lelang ini. Mereka memiliki beberapa klub berburu, sangat eksklusif, privasi dan tertutup. Kerahasiaan Anda juga terjamin. Namun mungkin iuran keanggotaannya sangat mahal,"
"Uang bukan masalah selama itu menarik dan berbeda," sahut Zero sengaja memberikan penekanan.
"Tentu saja, ada banyak pilihannya untuk Anda,"
"Baiklah. Biarkan aku mempertimbangkannya, jika aku tertarik, asistenku akan menghubungimu," kata Zero sebelum masuk mobil.
"Terima kasih," Akira menunduk dalam mengantar kepergian Zero.
"Kita biarkan saja Furuya-San?" kata Kazami setelah limousine berjalan.
"Sementara cukup, kita sudah menarik minatnya. Jangan terburu-buru. Kiyosuke orang yang sangat berhati-hati," sahut Rei.
"Tapi Kudo-San dan Miyano-San..."
"Aku tahu. Semoga mereka masih dapat bertahan, sebelum operasi penyelamatan," Rei mengepalkan tangannya erat.
"Lalu apa rencana kita selanjutnya?"
"Biarkan dulu selama beberapa hari, baru kita menghubunginya. Namun sementara itu, terus awasi dia Kazami,"
"Hai,"
Tubuhnya luar biasa lelah karena berlari-lari seharian. Namun Shiho tidak dapat tidur karena kamar itu tidak berpenghangat dan tanpa perapian. Selimut juga seadanya saja. Pakaian yang disediakan juga hanya kemeja-kemeja besar tak sesuai ukuran, tidak ada baju hangat. Ia memutuskan untuk bangun duduk dan memeluk lututnya. Shinichi yang berbaring di sisinya dan tidak bisa tidur juga, menyadari hal itu.
"Kenapa Shiho? Dingin?" tanya Shinichi.
"Uhm," Shiho hanya bergumam seraya memeluk lututnya lebih erat.
Shinichi akhirnya ikut bangun duduk. Ia meraih selimut yang tipis itu untuk menyelimuti mereka berdua dengan Shinichi memeluk Shiho dari belakang.
"K-Kudo?" Shiho merasa canggung.
"Lebih hangat?"
"Eh... Tapi... Ran-San..."
"Dia tidak di sini dan aku tak bisa membiarkanmu mati kedinginan..."
Shiho menunduk muram, "Apa bedanya? Tidak ada yang tahu, mungkin kita mati besok..."
"Jangan menyerah Shiho,"
"Aku tak mengerti bagaimana kau masih bisa optimis? Kita tidak tahu permainan macam apa lagi yang diinginkan Kiyosuke,"
"Gomene..." gumam Shinichi.
"Nani?"
"Sudah melibatkanmu dalam hal ini,"
"Aku tak menyalahkanmu,"
Shinichi mengeratkan pelukannya, "Setelah organisasi hitam hancur, sekarang aku malah menjerumuskanmu dalam masalah ini. Mungkin kau benar, sebagai detektif, aku terlalu percaya diri. Seharusnya aku lebih mendengarkanmu Shiho..."
"Itu sudah konsekuensi kerjaan. Sebagai partnermu aku juga mengerti. Lagipula, sejauh ini kau selalu melindungiku,"
Shinichi melihat buku-buku jari Shiho yang membiru. Ia meraih tangan Shiho dan menggosoknya dengan tangannya sendiri, sambil sesekali menguapinya.
Wajah Shiho merona. Bahkan dalam situasi seperti ini, ia menyukai kedekatannya dengan Shinichi.
"Aku janji, bagaimanapun caranya, aku akan mengeluarkan kita berdua dari sini," kata Shinichi sambil terus mengusap tangan Shiho.
"Uhm," Shiho mengangguk.
"Pejamkan matamu Shiho. Cobalah untuk tidur, kita masih perlu tenaga untuk besok,"
"Akan kucoba," Shiho memejamkan matanya dan tak membutuhkan waktu lama untuk terlelap dalam dekapan hangat Shinichi.
.
.
.
.
.
Setelah beberapa hari menjadi mangsa, karena selalu ada yang terbunuh dari grup mangsa. Akhirnya suatu hari grup mangsa berhasil mempertahankan jumlahnya dan mampu bersembunyi dengan baik serta bertahan hidup seharian dari kejaran grup pemangsa. Shinichi dan Shiho mengenakan gelang merah dan diberikan senjata laras panjang.
Shiho mendesah, "Setidaknya hari ini tak perlu lari-lari bersembunyi," namun ia melihat Shinichi tampak bimbang, "Kudo-Kun?"
Shinichi tampak muram, "Semoga aku tak perlu menggunakan ini untuk membunuh,"
Shiho mengerti, Shinichi mempunyai prinsip tidak mau membunuh bahkan untuk penjahat paling buruk sedunia, "Tidak harus kau, asal salah satu dari grup pemangsa yang melakukannya, itu sudah cukup,"
"Tapi bisakah Shiho? Bisakah aku membiarkan pembunuhan terjadi di depan mataku?"
Shiho mencengkram bahu Shinichi, "Kudo-Kun, saat ini kita berada diantara hidup dan mati. Bukan saatnya kau memikirkan prinsipmu!"
"Aku lebih baik mati daripada membiarkan pembunuhan terjadi di depan mataku!"
"Lalu bagaimana jika yang akan mereka bunuh itu aku?"
Shinichi tertegun.
Shiho mendengus pahit, "Tentu saja kau tak peduli, aku bukan Ran-San,"
"Aku peduli, kau partnerku. Aku takkan membiarkan mereka membunuhmu,"
"Bagaimanapun juga jumlah ini akan semakin berkurang. Pada akhirnya akan tersisa dua pasang untuk saling membunuh. Saat itu terjadi apa yang akan kau lakukan? Jika kita berdiam diri, Kiyosuke yang akan menguliti kita semua. Pilihannya cuma membunuh atau terbunuh,"
Shinichi memejamkan matanya, "Sampai hal itu terjadi, biarkan aku memikirkan jalan lain,"
Shiho hanya menghela napas lelah.
Pagi hari itu akhirnya mereka dilepas lagi ke hutan untuk melakukan permainan. Grup mangsa diberi kesempatan untuk lari terlebih dahulu. Setelah kurang lebih lima belas menit, grup pemangsa akhirnya dipersilakan mulai mencari. Kiyosuke dan teman-teman konglomeratnya selalu menyaksikan hal itu dari monitor di rumahnya. Mereka memasang taruhan, kira-kira apakah kali ini akan ada korban dan kalaupun ada, berapa jumlahnya. Dengan kekayaan yang dimiliki, mereka memperlakukan manusia lebih hina dari binatang.
"Ouch!" Shiho mengeluh ketika salah satu mangsa mendadak menyerangnya dari belakang.
"Aku tak sudi menjadi mangsa! Tak sudi!" geram pria itu berusaha mencekik Shiho.
Duar! Shinichi menembak lengan penyerang itu. Shiho terlepas.
"Kau baik-baik saja Shiho?" tanya Shinchi seraya meraih lengannya dan membantunya berdiri.
"Eh..." sahut Shiho terengah-engah sambil sesekali terbatuk.
"Bunuh dia," kata salah satu grup pemangsa yang lain bernama Hikaru.
"Nani? Hikaru-San?" Shinichi memandang mereka.
"Tidak cukup hanya dengan melukainya. Kau harus bunuh dia. Kau yang menemukannya lebih dulu. Lakukanlah!" Hikaru mengingatkan dengan tajam.
Shinichi terdiam, ia tak mungkin melakukannya.
Mangsa yang menyerang itu buru-buru bangkit untuk berlari sambil memegang lengannya yang berdarah-darah.
"Cih!" Hikaru mendengus. Ia tak mungkin melewatkan kesempatan emas itu hanya karena detektif bodoh ini. Ia mengangkat senjatanya dan menembak mangsa itu tepat di belakang kepalanya.
"Hikaru-San!" Shinichi terhenyak.
Hikaru memandang Shinichi dengan dingin, "Berterima kasihlah, aku baru saja menyelamatkan hidupmu dan hidup kita semua,"
Duar!
Dalam sekali tembak, Zero mampu menjatuhkan elang itu.
"Bagus sekali Zero-San!" puji Akira.
Zero mengangkat bahu, "Biasa saja,"
Beberapa petugas memungut elang yang jatuh di tanah akibat tembakan Zero.
Hari itu, Zero bersama Akira dan beberapa club orang kaya lainnya sedang berburu di sebuah hutan di pegunungan Yamanashi.
"Aku pernah melakukan yang lebih baik dari itu sewaktu masih di Inggris," gumam Zero seraya berjalan lagi bersama Akira.
"Anda tampaknya agak bosan,"
"Tidak ada tempat berburu yang mampu memenuhi angan-anganku,"
"Memang tempat berburu seperti apa yang berada dalam angan-angan Anda?"
"Yang berbeda, bukan hanya liar, bukan hanya satwa, tapi mungkin seseorang,"
"Eh? Seseorang?" Akira pura-pura mengernyit.
Zero terkekeh, "Becanda. Jangan terlalu dianggap serius Akira-San. Hal itu hanya ada di film-film. Aku terlalu banyak menonton film Hollywood,"
"Mengapa Anda begitu suka berburu?"
"Kurasa kau harus menjawab pertanyaan itu sendiri, Akira-San. Kau kan juga suka berburu,"
"Ah ya... Memang berburu itu menimbulkan semacam perasaan superior,"
"Eh, kepuasan hingga rasanya kau akan mencapai klimaks,"
"Ah..." Akira tersenyum nakal.
"Aku pernah menonton sebuah drama kolosal, di mana para pangeran kerajaan memburu dayang-dayang wanita yang mereka lepaskan di hutan. Rasanya begitu menggetarkan. Aku membayangkan wanita-wanita itu adalah mereka yang telah mengecewakanku. Wanita-wanita picik yang haus uang. Ketika melihat para pangeran itu memanah mereka, bulu kudukku menggelora," Zero mengatakannya seraya memejamkan matanya dengan puas, seakan membayangkan adegan itu dalam benaknya agar dapat menipu Akira.
"Bagaimana jika tempat seperti angan-anganmu itu sungguhan ada?"
"Aku bersedia menyerahkan segala yang kumiliki untuk menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri. Kalau perlu aku sendiri pengeksekusinya,"
"Anda tidak takut polisi?"
Zero mendengus, "Cih! Polisi juga suka uang,"
"Aku akan mengabari Anda beberapa hari lagi,"
Dalam hati Zero puas, rencananya maju selangkah
.
.
.
.
.
Shiho meringis seraya menyentuh lehernya ketika telah kembali ke kamar.
"Kenapa Shiho?" tanya Shinichi.
"Perih," keluh Shiho.
"Coba kulihat," Shinichi berlutut di hadapan Shiho. Leher Shiho merah dan terdapat bekas cakaran dari mangsa yang mencekiknya.
"Mereka bahkan tak menyediakan alkohol di sini," Shiho mencemooh.
"Sebaiknya kau mandi dulu dengan air hangat,"
"Eh," Shiho mengangguk dan memandang ke ranjang sebelum tertegun, "Are...?"
"Kenapa?" Shinichi ikut melihat arah pandangnya.
"Biasanya ada baju ganti yang diletakkan di ranjang, kenapa hari ini tidak ada?"
"Benar juga,"
Terdengar suara engsel pintu dibuka dari luar. Kemudian beberapa pria masuk kamar, salah satunya membawa nampan dan meletakknya di ranjang.
"Baju ganti kalian," katanya kasar.
Shiho melihat ke atas nampan itu dan terhenyak. Hanya ada bikini dan celana dalam pria, "Apa-apaan ini? Kami tak mungkin hanya memakai itu!" ocehnya sambil menunjuk nampan.
"Semua orang mendapatkan hal yang sama," kata pria penjaga.
"Udaranya sangat dingin!" protes Shiho.
"Tidak malam ini," kata penjaga itu seraya tersenyum nakal.
"Nani?" Shiho mengernyit.
"Kiyosuke-Sama menginginkan tontonan menarik dari kamarnya malam ini,"
"Tontonan? Apa maksudnya?" gumam Shinichi walaupun ia telah menebaknya.
"Semua tawanan harus melakukan seks,"
Shinichi dan Shiho menegang.
"Termasuk kalian juga harus melakukannya," lanjut penjaga.
"Itu tidak mungkin! Aku takkan melakukannya!" sergah Shinichi.
"Kau boleh berganti pasangan kalau mau,"
"Omong kosong!"
"Intinya Tantei-San!" penjaga menegaskan, "Kalau kau tak mau melakukannya dengan wanita ini," ia menunjuk Shiho, "Tak masalah, kami akan mencarikanmu pasangan lain. Miyano-San juga akan kami carikan pasangan lain. Kebetulan jumlah tawanan pria ganjil, mungkin Miyano-San bisa melayani beberapa sekaligus,"
Shiho gemetaran seraya memeluk tubuhnya sendiri.
"Ingat! Kalian selalu dalam pantuan, jika malam ini Kiyosuke-Sama tidak melihat kalian melakukannya. Kalian akan tahu akibatnya. Kami akan membuatmu menyaksikan permainan seks Miyano-San dengan beberapa pria sekaligus,"
Shinichi mengepalkan tangannya dengan geram.
"Bukanlah lebih baik tidur dengan partner sendiri daripada dengan wanita asing lainnya, Kudo-Kun?" penjaga itu terbahak sebelum keluar dari kamar dan mengunci pintu kembali.
Shiho terpuruk lemas di lantai.
"Shiho!" Shinichi merengkuh bahunya.
Air mata membanjiri wajah Shiho, "Aku tak suka ini..." rintihnya, "Aku benar-benar tak suka ini!"
Shinichi memeluknya, "Gomene Shiho..."
Malam harinya, Shiho yang telah mengenakan bikini putih berendanya, duduk memeluk lututnya di kasur dengan selimut membungkus dirinya rapat-rapat. Air matanya tak henti-hentinya mengalir ke wajahnya. Ia harus menghadapi situasi paling hina seumur hidupnya. Shinichi yang juga telah mengenakan celana dalamnya, duduk di ujung tempat tidur. Jari-jarinya terkait dengan erat. Bagaimana mungkin ia melakukannya dengan Shiho? Partner yang sangat dihormatinya? Lalu bagaimana dengan Ran? Benar-benar konyol kalau ia harus menyelamatkan Shiho dari pria-pria lain dengan cara meniduri Shiho sendiri. Shinichi memandang CCTV, tahu kalau dari entah di mana, Kiyosuke tengah menyaksikan mereka dengan senyum kemenangan.
Terdengar ketukan kasar dari luar.
Shinichi dan Shiho tersentak.
"Kau mau berubah pikiran Tantei-San?" tanya suara penjaga dari luar.
Shiho semakin gemetaran.
"Kami akan mengatur pertukarannya kalau begitu,"
"Tidak!" sahut Shinichi cepat.
"Uhm?"
"Aku tak ingin bertukar,"
Penjaga itu nyengir, "Baiklah kalau begitu, semoga malam kalian menyenangkan,"
Shinichi mengepalkan tangannya erat-erat hingga merasakan perih akibat buku-buku jarinya yang menembus kulit telapak tangannya.
"Gomene... Shiho..." bisik Shinichi lirih, "Aku akan bertanggung jawab..."
Shiho menggeleng kalut, "Lebih baik aku mati, daripada membuatmu mengkhianati Ran-San..." isaknya.
Shinichi hanya tersenyum pahit, "Anggaplah... Aku dan Ran memang tidak berjodoh..."
"Kudo-Kun...?"
Shinichi bangkit dari tempat tidur, untuk menghampiri Shiho.
Shiho memejamkan matanya erat-erat.
Shinichi memeluknya dan dapat merasakan wanita itu gemetar hebat.
Shiho terus menangis seraya menggigit bibirnya. Diam-diam ia mencintai pria ini, tapi bukan dengan cara memalukan seperti ini untuk memilikinya.
"Aku takkan menyakitimu Shiho..." bisik Shinichi seraya mulai mengecup leher Shiho.
Tubuh Shiho masih tegang dan kaku. Ia begitu canggung, malu dan ketakutan. Shinichi menangkup wajahnya, membuat kepalanya menengadah perlahan, kemudian ia pun melumat bibir Shiho dengan lembut. Bibir Shiho basah karena air mata, selain itu Shinichi dapat merasakan aroma mint pasta gigi di sana. Shiho awalnya tidak tahu bagaimana harus menanggapi, sampai akhirnya Shinichi menyusupkan lidahnya, membelai dan mengulum lidah Shiho dengan penuh perasaan. Seolah memintanya untuk tenang dan percaya.
Shiho mulai memberikan respon menanggapi kecupan Shinichi. Perlahan-lahan tubuhnya mulai rileks dan menghangat. Shinichi menyusupkan tangannya ke balik selimut untuk menyentuh kulit Shiho, memijatkan ibu jarinya ke sisi payudara Shiho. Otomatis Shiho melengkungkan punggungnya dan mendesah. Shinichi melepaskan kaitan bra nya dan menangkup salah satu payudara Shiho seraya meremasnya lembut. Shiho mengalungkan lengannya ke leher Shinichi dan mereka berbaring sepenuhnya bersama di ranjang.
Mau tak mau Shinichi menelan ludah ketika melihat Shiho tanpa sehelai benang pun. Bahkan di saat seperti ini, ia menyadari betapa Shiho begitu cantik. Dadanya membuncah dengan rasa kasih sayang dan ingin melindungi. Setiap sentuhannya pada detail tubuh Shiho menyiratkan pemujaan dan penghormatan. Ia tidak memperlakukannya dengan hina. Tangan Shiho berulang kali meremas bahu dan rambut Shinichi. Tubuhnya menggeliat-geliat menikmati sentuhan Shinichi, mengkhianati logika dan meruntuhkan seluruh prinsipnya.
Ketika dirasanya tubuh Shiho telah rileks dan sepenuhnya siap, Shinichi mulai memasukinya. Namun ketika ia akan mendorong, terdengar Shiho mengeluh seraya mencengkram erat bahu Shinichi. Tubuhnya kembali tegang dan dingin. Shinichi terdiam membeku, menyadari dirinya baru saja meruntuhkan kesucian Shiho. Tangannya memeluk kepala Shiho penuh perlindungan.
"Sakit?" tanya Shinichi pelan sekali.
Shiho tak menyahut, hanya melenguh pelan.
Shinichi menunggu seraya sesekali mengecup bahu dan leher Shiho. Lambat-lambat cengkraman Shiho mengendor, tubuhnya rileks dan menghangat. Shinichi mulai bergerak lagi dengan perlahan. Pinggulnya dan Shiho menyatu dengan pas.
"K-Kudo..." Shiho mendesah seraya menyebut nama Shinichi.
Shinichi pun mengerjapkan rahangnya kuat-kuat menikmati gelenyar yang menggelora. Ia meraih kedua tangan Shiho, mengaitkan jari-jarinya dan menumpunya di atas bantal, di sisi kanan-kiri kepala Shiho yang telah pasrah sepenuhnya.
Shiho mencapai orgasmenya berkali-kali, dan terakhir kali bersamaan dengan Shinichi yang mencapai klimaksnya. Shinichi memeluknya erat dan mereka jatuh tidur bersama.
.
.
.
.
.
"Aku tak akan menyalahkanmu, jika sekarang kau berpikir aku bajingan," gumam Shinichi yang masih memeluk Shiho.
Tubuh mereka masih telanjang, karena mereka belum dikirimkan pakaian pengganti. Shinichi menutupi tubuh mereka berdua dengan selimut dan membungkus Shiho hingga setinggi leher, tidak ingin memberikan kesenangan pada Kiyosuke untuk menatapi tubuh Shiho. Saat itu hari masih subuh, di luar masih gelap. Beberapa jam lagi, mereka harus bermain kembali.
Shiho menggeleng, wajahnya tenggelam dalam dada Shinichi.
Shinichi dapat merasakan pergerakannya.
"Aku tak menyalahkanmu, lagipula kita memang tak ada pilihan. Kalaupun ada, jauh lebih buruk," Shiho bergidik jika ia harus membayangkan melakukan seks dengan pria-pria lainnya.
Hening sejenak.
"Apakah selamanya kita akan terjebak di sini?" bisik Shiho pahit.
"Aku yakin, Masumi dan Akai-San masih mencari kita. Cepat atau lambat mereka pasti akan menemukan ranch ini,"
"Aku harap tidak terlalu lama lagi," ucap Shiho penuh harap.
"Aku percaya mereka pasti mampu,"
"Uhm," Shiho mengangguk.
"Sambil menunggu, sebaiknya kau bayangkan saja, kau ingin apa setelah kembali?"
"Aku... Aku tidak tahu..."
"Kau mau takoyaki? Atau okonomiyaki?" Shinichi berusaha menghiburnya.
"Sandwich blueberry dan kacang boleh juga..."
"Ah... Nanti aku akan minta Okasan membawakan selainya langsung dari Amerika. Khusus untukmu, jangan bagi Hakase, oke?"
Shiho mengangguk, "Dia sudah terlalu gemuk..."
"Benar,"
Dan mereka terus membicarakan hal-hal lainnya yang dapat mempertahankan rasa kemanusiaan mereka.
Tanpa terasa, mereka sudah terjebak di ranch itu selama kurang lebih satu bulan. Bagai lingkaran setan, siklus permainan itu dijalani Shinihi dan Shiho berulang kali setiap hari, sesuai kemauan Kiyosuke. Anggota-anggota baru bahkan bertambah, hasil penculikan komplotan Kiyosuke yang lain. Shinichi dan Shiho kadang menjadi grup pemangsa, grup mangsa dan balik lagi ke pemangsa. Namun kini mereka sudah semakin mahir untuk bersembunyi dan bermain taktik. Beberapa malam sekali, mereka mendapat kiriman pakaian dalam. Mereka juga telah mengerti, jika sudah begitu berarti Kiyosuke menginginkan tontonan seks. Shinichi dan Shiho sudah tidak canggung lagi ketika melakukannya. Bahkan mungkin kegiatan itu kini sebagai sarana pelepasan stress untuk mereka akan ketidakpastian hidup.
"Kawasaki Zero?" tanya Kiyosuke seraya memandang Akira.
"Eh," pria keturunan Inggris yang kaya raya, "Dia membeli lukisan Olympia seharga 100 juta yen," Akira memberitahu.
"Hmm... Menarik," gumam Akira tampak terpikat.
"Dia suka berburu, tembakannya canggih dan agak psikopat. Dia cocok dengan profil untuk menjadi tambahan anggota kita dan pundi-pundi pemasukan Kiyosuke-Sama,"
"Atur pertemuanku dengannya. Jika dia memang menarik bagiku, aku akan mengajaknya untuk bergabung,"
"Baik Kiyosuke-Sama,"
"Mungkin sebagai perkenalan, aku akan mengundangnya dalam perayaan tiga tahun permainan ini. Aku berencana untuk menciptakan permainan baru yang lebih menarik,"
"Saya akan menyuruh seseorang untuk mendesain undangannya,"
"Pastikan desainnya bagus dan berkelas, kau tentunya tahu para anggota kita. Bukan orang-orang biasa. Mereka eksklusif,"
"Sudah pasti, Kiyosuke-Sama,"
"Dan sebagai pembukaan untuk perayaan itu, aku tertarik untuk menggunakan Kudo Shinichi dan partnernya,"
"Eh? Apakah ada yang menarik dari mereka?"
"Sangat. Kudo Shinichi, detektif muda yang sangat percaya diri, seolah semua kasus di dunia ini dapat dipecahkannya dengan mudah. Aku ingin sekali melihat dirinya terpojok dan harus menelan keangkuhannya sendiri,"
"Apa Anda akan melakukannya pada Miyano-San sebagai objek?"
"Aku akan menggunakan ilmuwan itu, tentu, namun Kudo-Kun lah objeknya," ujar Kiyosuke seraya terkekeh berbahaya.
"Awas Shiho!" Shinichi meraih pinggang Shiho untuk menyelamatkannya. Karena kurang waspada, kaki Shiho terperosok ke tanah pasir dan terkilir. Ia nyaris jatuh terjerembab jika Shinichi tidak menahannya.
Shiho menenangkan dirinya, menyandarkan punggungnya pada sebatang pohon seraya menyentuh keningnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Shinichi cemas.
"Eh," sahut Shiho terengah-engah.
"Sepertinya kau kurang fokus hari ini,"
"Mungkin aku lelah," ujar Shiho. Ia memang merasa hari ini tubuhnya tidak begitu bertenaga, padahal mereka sedang menjadi mangsa.
Gelang kuning mereka mengeluarkan lampu kecil merah, pertanda permainan telah berakhir. Shinichi melirik arlojinya, memang sudah jam enam sore.
"Sudah selesai, ayo kita kembali," ajak Shinichi seraya menggandeng tangan Shiho.
"Uhm," Shiho menurut.
Namun baru beberapa langkah Shiho mengeluh, kakinya sakit.
"Naiklah ke punggungku," kata Shinichi seraya berjongkok menawarkan punggungnya.
"Tapi..."
"Ayo, sebelum mereka kira kita membantah," pinta Shinichi tegas.
"Eh," Shiho pun merangkul leher Shinichi dan naik ke punggungnya.
Sejak masih menjadi Edogawa Conan dan Haibara Ai, mereka kompak sebagai partner. Namun kini setelah terjebak selama sebulan lebih dalam ranch ini, mereka jadi semakin mengerti satu sama lain. Mereka selalu memiliki perasaan senasib yang unik, sama-sama mengandalkan satu dan lainnya dalam berjuang mempertahankan hidup. Shinichi semakin terbiasa dengan gerak-gerik Shiho, begitu juga sebaliknya. Keintiman mereka, telah menciptakan keterikatan dan kemelekatan yang aneh. Tidak hanya tubuh, pikiran dan batin mereka juga menyatu. Meski mungkin masih tanpa cinta, tapi tingkatnya telah setara dengan belahan jiwa.
"Gomene..." ucap Shiho ketika mereka dalam perjalanan kembali ke pondok.
"Uhm?" Shinichi menoleh padanya sambil terus berjalan.
"Padahal kau sendiri juga lelah, tapi masih harus menggendongku,"
"Sudahlah Shiho, ini juga bukan pertama kalinya kan?"
"Eh," Shiho mengangguk, "Terakhir kali kau menggendongku seperti ini, waktu menyelamatkanku dari Pisco,"
"Ah, aku ingat itu. Nyaris saja,"
"Aku tak mengerti, bagaimana kau bisa begitu tabah? Sejak tiba di sini sampai sekarang, kau yang selalu menguatkan aku,"
Shinichi tersenyum, "Aku seperti ini juga karena kau,"
"Eh? Aku?"
"Karena aku tahu, aku harus menyelamatkanmu dan mengeluarkanmu dari tempat ini. Aku harus kuat demi dirimu Shiho. Kau lebih dari sekedar partner bagiku,"
Shiho mengeratkan rangkulannya pada leher Shinichi, "Kudo-Kun..."
Shinichi mendengus geli, "Oi, sampai kapan kau mau memanggilku Kudo-Kun? Aku sendiri tak memanggilmu Miyano kan?"
Wajah Shiho memerah, "Beri aku waktu..."
"Bagaimana jika kau berjanji?"
"Janji apa?"
"Setelah kita berhasil keluar dari sini, panggil aku Shinichi saja,"
Shiho mempertimbangkan sejenak sebelum mengangguk, "Baiklah,"
"Janji?"
"Janji,"
Shinichi nyengir sepanjang perjalanan hingga sampai pondok.
.
.
.
.
.
Shiho menghela napas lega, merasa sedikit nyaman setelah berendam di bathub dengan air hangat. Urat-urat sarafnya yang tegang, telah rileks kembali. Ia berendam beberapa menit lagi, sebelum meraih pinggiran bathub untuk bangkit. Namun ia tak bisa, teringat kakinya yang terkilir.
"Sial!" umpat Shiho kepada dirinya sendiri.
Umpatannya bergema di ruang kamar mandi yang pintunya tidak tertutup rapat, sehingga kedengaran oleh Shinichi.
"Ada apa Shiho?" tanya Shinichi dari kamar tidur.
"Aku tak bisa bangun," keluh Shiho.
"Eh? Kenapa?"
"Kakiku, aku tidak bisa memijakkannya,"
"Butuh bantuan?"
"Sepertinya begitu,"
"Tak apa-apa kah?"
Shiho mendengus pelan, "Toh kau juga sudah lihat semuanya,"
"Aku masuk kalau begitu,"
Shinichi masuk ke kamar mandi dan menggendong Shiho keluar dari bathub. Ia meraih kimono handuk dan mengenakannya pada Shiho sebelum masuk ke kamar tidur, agar tubuhnya tidak semakin terekspos di CCTV. Lalu Shinichi menggendongnya lagi dan mendudukkannya di tempat tidur. Ia meletakkan sebuah bantal kepala di bawah kaki Shiho.
"Sedikit memar," ujar Shinichi sembari merobek selembar handuk menjadi potongan panjang, lalu mengikat pergelangan kaki Shiho hingga ke tumit.
"Entah apakah aku bisa berlari besok," keluh Shiho.
Mendadak terdengar bunyi gerendel pintu dibuka dari luar. Shiho buru-buru merapikan kimono handuknya dan meraih selimut untuk menutupi tubuhnya rapat-rapat.
Beberapa penjaga masuk, salah satunya berbicara, "Malam ini semua tawanan tidur pisah kamar, untuk persiapan permainan dalam perayaan besok,"
"Perayaan?" Shinichi mengernyit.
"Benar, untuk merayakan 3 tahun berdirinya ranch ini. Akan ada permainan baru,"
Shiho merasa mual mendengarnya, "Permainan macam apa lagi?"
"Peraturannya akan diinformasikan besok pagi,"
"Aku tidak mau pergi dari kamar ini," Shinichi menolak, ia tak ingin meninggalkan Shiho.
Terdengar kokangan pistol yang ujungnya mengancam ke kepala Shiho.
Shinichi mengepalkan tangannya dengan geram.
"Kau tak pernah punya pilihan. Ikut dengan kami sementara Miyano-San tetap di kamar ini. Toh, kalian akan bertemu lagi besok di permainan,"
Shinichi mau tak mau bangkit berdiri.
"Kudo-Kun..." Shiho memegang lengannya, enggan berpisah.
Shinichi juga merasakan hal yang sama, namun ia menyentuh tangan Shiho seraya meremasnya untuk menenangkan, "Sampai bertemu besok, Shiho,"
Perlahan Shiho melepasnya, Shinichi mengikuti para penjaga. Pintu kembali tertutup dan dikunci dari luar.
Shiho memeluk tubuhnya. Ini pertama kalinya ia tidur tanpa Shinichi sejak tiba di ranch ini, ia merasa tidak nyaman. Ia tidak tahu permainan macam apalagi yang diinginkan Kiyosuke besok. Ia berharap, ia dan Shinichi masih mampu bertahan hidup.
Penutup mata Zero dibuka ketika ia telah sampai di ranch tersebut. Berhubung dia anggota baru, matanya harus ditutup sampai Kiyosuke yakin mampu memercayainya seratus persen. Zero telah menelan alat pemancar ciptaan Profesor Agasa. Alat pemancar itu takkan bisa dideteksi oleh alat detector, selama Zero belum melakukan pembuangan besar. Zero berharap alat itu berfungsi dengan baik. Di luar sana, mungkin kepolisian Jepang, polisi rahasia dan FBI sudah membuntuti mereka tanpa suara.
"Kawasaki Zero," sambut Kiyosuke dengan senyuman yang dikiranya memikat.
Kiyosuke, seorang pria berusia lima puluhan dengan rambut cepak berwarna hitam keabu-abuan. Sebelah kiri matanya ditutup dengan karet hitam layaknya bajak laut. Mata yang tersisa, menyorot berbahaya. Gigi-giginya putih besar tampak dibalik cengirannya. Zero muak melihatnya. Ingin rasanya ia melayangkan tinju untuk memecahkan barisan giginya itu.
"Dozo yoroshiku Kiyosuke-San," sapa Zero dengan senyuman tak kalah memikat bak bangsawan.
"Selamat datang di ranch ku," ucap Kiyosuke seraya membentang lebar lengannya.
Zero memandang berkeliling, "Dari luar tampak seperti angan-anganku,"
"Semoga begitu juga dengan tampak dalamnya," ucap Kiyosuke, berharap dapat memuaskan anggota barunya.
"Kudengar ada perayaan dan permainan, seperti apa?" tanya Zero penuh minat.
"Aku akan menunjukkan jalannya. Silahkan," Kiyosuke mempersilakan seraya merangkul bahu Zero layaknya teman.
Mereka melewati jalan setapak memasuki sebuah bangunan kayu yang besar, seperti panggung gladiator. Di sana sudah terdapat puluhan penonton yang semuanya merupakan anggota-anggota lama dari klub berburu ini. Di bawah sana terdapat arena berpasir dengan berbagai perlengkapan papan sasaran dan senjata.
Dalam hati Zero mengernyit, anggota-anggota macam apa yang begitu sakit jiwa bergabung dengan klub berburu ini? Membuang-buang uang untuk bertaruh. Zero mengenali beberapa wajah dari anggota-anggota ini. Mereka merupakan saudara-saudara dari kalangan konglomerat Jepang dan pejabat-pejabat pemerintah. Zero sungguh muak, mereka takkan lepas dari hukum setelah ini. Sementara itu, ekor matanya masih berusaha menemukan Shinichi dan Shiho.
"Karena Anda adalah tamu kehormatanku hari ini, silahkan duduk di sebelahku," Kiyosuke mempersilakan.
"Aku sangat tersanjung," kata Zero.
Mereka akhirnya duduk bersama di podium utama, memandang ke bawah sana.
"Permainannya akan dimulai sebentar lagi,"
"Aku sudah tak sabar menunggu. Aku sangat bergairah,"
Kiyosuke terkekeh senang.
Pagi itu Shiho dikirimkan nampan pakaian bersama sebuah amplop di atasnya. Pakaian itu berupa kemeja, rompi dan jeans koboi, lengkap dengan sepatu botnya. Shiho membaca kartu di dalam amplop yang merupakan peraturan permainan baru. Mereka akan memainkan permainan koboi, adu menembak cepat. Mereka harus menembak sampai lawannya mati. Yang berhasil memenangkan itu, akan mendapat rewards terbebas dari permainan berburu dan mendapatkan posisi khusus di sisi Kiyosuke.
Shiho mendengus dalam hati Seperti aku mengharapkan posisi khusus itu saja...
Ia lebih menginginkan kebebasan.
Shiho akhirnya mengenakan pakaian koboi konyol itu dan keluar dari kamar setelah beberapa penjaga menjemputnya. Ia digiring seorang diri ke sebuah bangunan kayu besar yang tampak seperti panggung gladiator. Matanya memandang berkeliling, ia tak melihat peserta lainnya. Ia juga tak melihat Shinichi. Shiho mulai gugup dan cemas.
Shiho diberikan senjata laras panjang, ia dipersilakan menaiki sebuah papan. Papan itu merupakan lift yang akan membawanya ke arena tembak. Setelah bel berbunyi, ia harus berbalik dengan cepat dan menembak mangsanya.
Berulang kali Shiho menarik napas panjang. Kini ia seorang diri dan tak memiliki partner. Biasanya Shinichi yang selalu memberi ide dan memecahkan masalah. Ia memandang senapan di tangannya. Di organisasi hitam, ia memang pernah belajar menembak, bahkan sepupunya Akai Shuichi juga pernah mengajari lebih dalam tentang menembak dengan cepat, akurat dan mematikan. Semoga saja pelajaran itu berguna untuknya saat ini.
Lift papan itu bergerak. Tak lama kemudian Shiho menemukan dirinya berada di arena berpasir. Terdapat puluhan pasang mata dari panggung-panggung penonton. Shiho tak habis pikir, bagaimana mereka mampu dengan tenang menonton permainan mematikan ini bagai menyaksikan pertandingan olimpiade saja.
Ting! Bel berbunyi. Shiho berbalik dengan cepat. Jarinya sudah siap menarik pelatuk, namun ia membeku tegang.
"Kudo-Kun?"
Shinichi yang memegang senjata laras panjang juga bersikap sama, "Shiho?"
.
.
.
.
.
Zero alias Rei Furuya harus mengerahkan segenap kekuatannya untuk mengendalikan diri ketika melihat Shinichi dan Shiho saling menodong senjata. Dalam hati ia mengutuk kelambanan para petugas kepolisian dan FBI.
Shinichi dan Shiho saling mematung. Kini mereka mengerti arah tujuan Kiyosuke. Meminta para tawanan berpasangan satu kamar, berhubungan seks hingga akhirnya menjadi akrab, dekat dan saling bergantung satu sama lain. Kemudian setelah itu, mereka akan dibuat saling membunuh seperti ini. Benar-benar menyedihkan.
Shinichi menjatuhkan senjatanya, "Tembak aku Shiho,"
Shiho menggeleng, "Kau tahu, aku tak bisa..."
"Tembak saja, jika kau hidup, masih ada harapan untuk selamat,"
Tangan Shiho yang memegang senjata bergetar. Para penonton telah menyoraki, meminta Shiho segera menembak.
Kemudian hal itu tak luput dari Shiho. Ekor matanya menangkap podium utama, tempat di mana Kiyosuke duduk menonton. Dia duduk tepat di belakang punggung Shinichi.
Zero terkesiap dalam hati, menyadari ide Shiho. Tidak Shiho... Jangan lakukan itu... Kau tidak boleh gegabah... Tembakanmu bisa meleset, kau bukan Akai...
Shiho mengokang pistolnya dan bersiap. Matanya fokus dan tajam. Ia mendengar suara Akai Shuichi ketika mengajarinya menembak, berbulan-bulan yang lalu.
Senjata ini hanyalah perpanjangan tangan kananmu Shiho... kata Akai seraya membenarkan posisi Shiho dalam menembak. Tangan kanan yang selalu berhasil mengambil targetnya... Rasakanlah bagaimana perbatasan antara kulitmu dan besi itu tiada... Kalian menyatu... Fokus tapi jangan terlalu dipikirkan...
Duar!
Peluru itu melesat cepat, Shinichi dapat mendengar desingannya ketika peluru itu melewati tepi daun telinganya kemudian mengarah lurus ke podium belakangnya dan mengenai bahu kiri Kiyosuke. Agak meleset, Shiho sebenarnya mengincar kepalanya.
Shinichi kaget, "Shiho?"
Keadaan langsung rusuh. Beberapa penjaga mengamankan Shiho dan menodongkan pistol ke kepalanya karena telah bertindak lancang. Shinichi ingin membantunya, namun para penjaga juga memegang tubuhnya.
"Bunuh wanita itu!" raung Kiyosuke.
Shiho memejamkan mata, bersiap mati, namun.
Duar! Terdengar tembakan lain.
"FBI!" Jodie berseru.
FBI, polisi rahasia Jepang dan kepolisian Jepang telah mengepung tempat itu dengan membawa pasukan besar. Para penonton mulai lari gonjang-ganjing. Kiyosuke juga kalut ingin kabur, namun Rei Furuya menghajarnya dengan karatenya. Ia tidak membawa pistol dan borgol karena pemeriksaan di ranch itu. Tapi tinju Rei mampu merontokkan gigi-giginya. Kiyosuke jatuh terjerembap melewati beberapa kursi. Akai Shuichi langsung menodongnya dengan senjata.
"Shiho!" terdengar seruan Masumi berlari menghampiri sepupunya.
"Masumi..." kaki Shiho lemas, kesadaran baru merasuki benaknya. Ia selamat. Ia dan Shincihi selamat. Semua aparat keamanan ada di sini, "Masumi!" ia memanggil lebih lantang.
"Shiho!" Masumi memeluknya, Shiho nangis sejadi-jadinya.
"Kau sudah aman Shiho... Kau aman..." bisik Masumi seraya mengusap-usap punggung Shiho.
"Kudo-Kun..." Inspektur Takagi menyentuh pundak Shinichi.
"Inspektur Takagi..."
Takagi memeluknya juga, bagai seorang kakak pada adiknya, "Syukurlah..."
"Eh..."
Semua yang menjadi anggota club Kiyosuke dan rumah lelang itu, diperiksa penyidik satu persatu. Kiyosuke sendiri dipenjara dan diawasi dengan ketat. Para tawanan dilarikan ke rumah sakit, termasuk Shinichi dan Shiho. Masing-masing dari mereka diinterogasi terpisah dan tertutup. Shinichi mengungkapkan semuanya pada Akai Shuichi, Rei Furuya dan Inspektur Megure. Sementara Shiho diperiksa oleh Miwako Sato dan Jodie Starling.
"Aku benar-benar hina..." bisik Shiho lirih, ia sesenggukan dalam pelukan Masumi.
"Tidak Shiho," Masumi menenangkannya seraya mengusap-usap bahunya, "Kau dan Shinichi-Kun hanya bertahan hidup,"
"Aku sungguh malu... Aku tak punya muka lagi untuk berhadapan dengan semua orang..."
"Tidak Shiho ssshhh! Kami semua sayang padamu," ujar Masumi dengan air mata ikut berlinangan.
"Sebaiknya Shinichi dan Sherry diberikan sesi terapi dengan psikiater," gumam Jodie pada Miwako Sato.
"Eh," Miwako Sato mengangguk, "Kami juga sudah mengatur untuk hal itu,"
"Tenanglah Sherry," pinta Jodie lembut, "Kami akan memasukan perihal ini di berita acara tertutup. Hanya kami saja yang tahu, tidak semua kesatuan. Setelah proses penyelidikan, rekaman itu akan kami hancurkan,"
Shiho tak sanggup menanggapi.
Masumi mewakilinya, "Arigatou Jodie-Sensei, Sato-San. Shiho tampaknya masih memerlukan waktu untuk pulih..."
"Tidak apa-apa, kami mengerti," sahut Jodie bersimpati.
"Kami pergi dulu untuk melaporkan, jaga Shiho, Sera-San," kata Sato.
"Eh," Masumi mengangguk.
Lalu tepat di kamar sebelah merupakan kamar Shinichi.
Buk! Tangan Shinichi mengepal erat ketika ia meninju tembok di pinggiran jendela.
"Kudo-Kun!" Inspektur Megure berseru cemas, takut Shinichi menyakiti dirinya sendiri.
"Harusnya kau menembakku juga Akai-San... Aku bajingan..." gumam Shinichi, membenci dirinya sendiri.
Akai Shuichi mendekatinya dan meletakkan tangannya pada pundak Shinichi seraya meremasnya, seolah memberi pesan tidak mempermasalahkan, "Kau melakukannya untuk melindungi Shiho. Jika tidak begitu, Shiho akan mengalami hal yang lebih buruk. Aku yakin Shiho juga takkan menyalahkanmu untuk hal itu,"
Meski perkataan itu menenangkan, namun tidak membuat Shinichi menjadi lebih baik.
"Kami akan memastikan, mereka yang terlibat mendapat hukuman berat," kata Inspektur Megure penuh tekad.
"Gomene, seharusnya aku dapat bertindak lebih cepat," gumam Rei.
Inspektur Megure menggeleng, "Yang kau laukan sudah tepat, Furuya-San,"
"Bagaimana kondisi Shiho?" tanya Shinichi pada Akai.
"Dia masih terguncang, Masumi bersamanya," jawab Akai.
"Inspektur Megure," Shinichi memanggil.
"Kau ingin sesuatu?" tanya Inspektur Megure dengan figure kebapakan.
"Aku... Aku tak ingin bertemu dengan Ran... Aku belum siap saat ini..." pinta Shinichi.
"Eh," Inspektur Megure mengangguk, "Aku mengerti, aku akan mengaturnya. Karena kau dan Miyano-San merupakan korban sekaligus saksi, kami juga akan melakukan pengawalan dengan ketat. Kalian tidak boleh dikunjungi siapapun kecuali keluarga dekat dan tim medis,"
"Uhm," Shinichi mengangguk.
"Setelah proses penyelidikan, rekaman itu akan kami hancurkan," lanjut Inspektur Megure.
"Arigatou Inspektur Megure,"
"Sekarang sebaiknya kau pulihkan dirimu, Kudo-Kun. Tidak perlu terburu-buru. Kami akan membereskan semuanya," pinta Inspektur Megure.
Sekali lagi Shinichi mengangguk, ia juga belum dapat berpikir dan menggunakan deduksinya kembali. Entah sampai berapa lama.
"Shiho, kau belum tidur?" tanya Masumi, suatu tengah malam.
Shiho menggeleng, "Aku tak bisa," sahutnya sambil duduk memeluk lututnya dan menghadap jendela.
Masumi terdiam mencemaskan kondisi sepupunya.
"Dokter sudah memberiku obat tidur, tapi aku selalu bangun lagi dan bangun lagi. Setiap kali terbangun, aku seperti masih berada di ranch itu," gumam Shiho muram.
"Yah, lagipula ini rumah sakit. Mungkin besok setelah kau pulang ke rumah, kau akan merasa lebih nyaman untuk tidur," ujar Masumi.
Mendadak terdengar ketukan pelan di luar pintu. Shinichi membuka pintu dan masuk ke dalam kamar.
"Shinichi-Kun? Kau tak bisa tidur juga?" tanya Masumi.
"Kurasa takkan bisa," sahut Shinichi kemudian memandang Shiho.
Masumi mengerti, "Aku mau cari kopi dulu," lalu ia keluar dari kamar, meninggalkan Shinichi dan Shiho berdua saja.
"Bagaimana keadaanmu Shiho?" tanya Shinichi.
Shiho mengedikkan bahunya tanpa melepas pandangannya dari jendela, "Entahlah. Walaupun aku tahu sudah aman, tapi aku tetap tak merasa lebih baik,"
Hening sejenak.
"Shiho, mengenai perkataanku..."
"Aku sudah memikirkannya," potong Shiho.
"Eh?"
"Jangan pernah beritahu Ran-San, apa yang terjadi diantara kita,"
"Nani?"
"Dia tidak perlu tahu, dengan begitu, kau tetap bisa bersamanya,"
"Mana aku bisa?! Menutupi semuanya dari Ran dan berpura-pura seakan tidak ada yang terjadi diantara kita? Aku tak bisa Shiho! Tidak adil untuk Ran, aku dan terutama dirimu,"
"Kita sama-sama tahu, kita tak punya pilihan di sana. Aku tidak menyalahkanmu dan tidak mempermasalahkannya. Anggap saja tidak ada yang terjadi. Lanjutkan hidupmu bersama Ran-San,"
"Aku tetap akan bertanggungjawab, Shiho," kata Shinichi tegas. Ia sudah membulatkan tekad itu ketika pertama kali ia menyentuh Shiho.
Shiho menoleh dan memandang Shinichi untuk pertama kali, "Aku berhak memutuskan jalan hidupku sendiri Kudo-Kun. Dalam hal ini, aku tidak menginginkan pertanggungjawabanmu,"
"Shiho!"
Shiho menutup kedua telinganya, "Aku tak mau membahasnya lagi, tinggalkan aku sendiri,"
Shinichi mengepalkan tangannya ketika berbalik memunggungi Shiho, "Walaupun kau tidak menginginkan pertanggungjawabanku... Aku tetap takkan kembali pada Ran... Aku tak bisa..." ucapnya sebelum keluar dari kamar.
Ketika pintu telah menutup di belakangnya, Shiho membuka telinganya. Kemudian tangannya menyusup ke bawah bantal kepalanya, meraih secarik kertas hasil tes urinnya yang diberikan oleh salah satu perawat tadi siang.
Shiho membuka kertas tersebut dan isinya tetap tidak berubah. Ia positif hamil 4 minggu. Anaknya dengan Shinichi, hasil perbuatan mereka di ranch itu. Shiho menurunkan tangannya untuk menyentuh perutnya yang masih rata di balik piyamanya. Airmatanya mengalir, terisak tertahan seraya menggigit bibirnya.
Gomene Kudo-Kun... Gomene...
.
.
.
.
.
Hari ini Shinichi dan Shiho diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Shinichi baru saja menutup rapat kopernya ketika Masumi menerobos masuk kamarnya dengan kalut.
"Shinichi!" panggil Masumi panik.
"Ada apa?" tanya Shinichi.
"Shiho! Shiho tidak ada di kamarnya!"
"Apa?!"
"Dia membawa semua barang-barangnya dan tidak mau mengangkat telponku!"
Shinichi berdecak kesal. Bersama Masumi, ia kembali ke kamar perawatan Shiho. Benar kata Masumi, Shiho membawa pakaian seadanya yang dibawa Masumi dari rumah Profesor Agasa ke rumah sakit. Tidak ada tanda-tanda penculikan. Bahkan Shiho merapikan tempat tidurnya sebelum pergi. Tidak ada pemberitahuan melalui surat atau apapun.
"Periksa semuanya, siapa tahu ia meninggalkan petunjuk," pinta Shinichi.
"Eh," Masumi mulai memeriksa laci satu per satu.
Shinichi masuk ke kamar mandi. Tapi kamar mandi juga tidak ada apapun. Semua sudah bersih dan rapi. Shinichi juga mengecek sprei, selimut, kasur dan bantal. Tidak ada apapun. Masumi bahkan sampai menuang tong sampah hingga isinya berhamburan.
"Shin... Shinichi..." panggil Masumi takut-takut.
"Nani? Kau menemukan sesuatu?" Shinichi berjongkok di belakangnya. Ia melihat Masumi memegang secarik kertas yang sudah diremuk.
Masumi tak sanggup berbicara, hanya menyerahkan kertas tersebut pada Shinichi dengan tangan gemetaran.
Shinichi membaca kertas itu dan tercengang. Jantungnya berdegup cepat. Hal inikah yang membuat Shiho pergi? Tapi kenapa?
"Shiho... hamil?" Tangan Shinichi bergetar ketika ia meremuk kertas itu kembali.
"Anakmu... Shinichi..." ucap Masumi lirih.
"Sial! Dia pasti belum jauh! Kita harus menemukannya!" Shinichi berlari meninggalkan kamar.
Selama dua bulan ke depan, Shinichi tidak menerima kasus lain. Ia toh belum siap untuk bekerja normal. Seluruh waktu dan tenaganya dicurahkan hanya untuk mencari Shiho. Masumi, Akai dan kepolisian Jepang juga turut mencari. Namun tak ada tanda-tanda ke mana Shiho pergi.
"Shinichi," panggil Ran suatu sore, ketika Shinichi baru mau membuka pagar rumahnya.
Shinichi menoleh, "Ran?"
"Melihat raut wajahmu sepertinya belum ada petunjuk mengenai kepergian Miyano-San," tebak Ran.
"Eh," Shinichi menunduk muram, ia mengulurkan tangannya untuk membuka pagar.
"Shinichi," panggil Ran lagi.
Shinichi bergeming.
"Aku tahu mungkin saatnya tidak tepat. Tapi sejak kau kembali, kau selalu menghindariku. Apakah terjadi sesuatu? Apakah aku salah mengganggumu?"
Shinichi mendesah pelan, "Kau tidak salah. Akulah yang bermasalah,"
"Eh?"
"Ran," Shinichi memanggil, ingin mengakhiri hal ini dengan cepat.
"Ya?"
"Aku tak pantas untukmu, carilah pria lain,"
Ran terhenyak, "Tapi kenapa?"
"Karena aku bajingan," tangan Shinichi yang memegang pagar mengepal.
"Shinichi... Sebenarnya apa yang terjadi di ranch itu?"
"Banyak hal... Banyak hal yang terjadi, yang memaksaku untuk tidak menjadi manusia..."
"Kau membunuh?"
"Tidak secara langsung, tapi ya beberapa. Namun apa yang kulakukan pada Shiho, lebih hina dari pembunuhan," ungkap Shinichi yang telah siap membocorkan segalanya pada Ran.
"Nani?" tubuh Ran menegang.
"Kiyosuke memiliki kelainan jiwa. Ia suka menonton para tawanan melakukan adegan seks dari monitor ruang tidurnya. Ia menyaksikan kami bersetubuh, menikmatinya seolah sedang menonton discovery channel,"
"Bersetubuh? Jadi maksudnya?" Ran merasa mengerti arah pembicaraan ini.
"Aku dan Shiho tak luput dari matanya. Ia memaksa kami berhubungan seks,"
Ran terguncang, tubuhnya sedikit terhuyung. Ia tak habis pikir, tempat macam apa ranch yang telah menahan Shinichi dan Shiho selama berminggu-minggu.
"Aku tak punya pilihan. Jika aku tak melakukannya, Shiho akan diseret untuk melayani pria-pira lain," Shinichi mendengus pahit, "Dengan menidurinya, aku menyelamatkannya. Menjijikan bukan?"
"Shinichi..." air mata Ran mengalir, meski terpukul tapi ia masih bersimpati.
"Ketika kami pertama kali melakukannya, Shiho tak henti-hentinya menangis. Ia lebih baik mati daripada membuatku mengkhianatimu..."
Ran menutup mulutnya untuk meredam isakannya.
"Setelah kami kembali, Shiho memintaku untuk tidak mengatakannya padamu. Ia tak ingin aku berpisah denganmu. Tapi aku tidak menyetujuinya... Aku tidak mungkin menutupi hal ini darimu Ran... Aku tak bisa..." ucap Shinichi dengan mata berkilauan karena membendung air mata.
Ran menarik napas dalam-dalam, "Aku mengerti Shinichi. Aku menghargai kau mengatakan sejujurnya padaku. Aku pun setuju denganmu, kau tidak boleh menutupi hal ini dariku. Lalu, kepergian Miyano-San..."
Shinichi memejamkan matanya dengan berat, "Karena dia sudah mengandung anakku,"
Ran mencengkram dadanya.
"Dia tidak mau menerima pertanggungjawabanku. Dia memilih mengorbankan diri untuk pergi agar kita bisa bersama..."
Ran dapat melihat bulir-bulir airmata jatuh dari mata Shinichi.
"Gara-gara aku, kami terjebak ketika menyelidiki kasus itu... Seharusnya aku mendengarkan kata-katanya untuk tidak gegabah... Aku telah menjerumuskannya dalam semua ini... Seumur hidup aku merasa bersalah padanya..." Shinichi menyandarkan keningnya pada pagar besi. Tampak frustasi dan hancur. Ran tidak pernah melihatnya sedemikian terpuruk seperti itu.
Ran menegarkan dirinya. Ia menghampiri Shinichi, meraih tangannya dan menggenggamnya hangat, "Pergilah Shinichi..."
Shinichi memandangnya.
"Carilah Miyano-San... Lindungi dia..."
"Ran?"
"Sama sepertimu, aku juga tak bisa bahagia di atas penderitaan orang lain. Aku tak ingin membebanimu lebih jauh lagi. Aku baik-baik saja, Miyano-San lebih membutuhkanmu. Selamatkan dia dan bayinya..." kata Ran dengan mata berkaca-kaca.
"Tapi aku tidak tahu ke mana dia pergi," ujar Shinichi putus asa.
"Shinichi. Kau bisa menemukan aku di mana pun aku berada kan? Kau juga harus bisa menemukan Miyano-San di mana pun dia berada. Mungkin karena kau masih trauma, sehingga kau belum dapat menggunakan deduksimu sepenuhnya. Coba pikirkan... Ke mana sekiranya Miyano-San akan pergi... Sebagai partnernya kau pasti mengerti..."
Hening sejenak sementara Shinichi memutar otak.
"Kalau Shinichi suka pergi ke tempat-tempat Holmes di Inggris. Kira-kira Miyano-San lebih suka ke mana?"
Shinichi tersentak, "Inggris?"
"Eh?"
"Inggris! Kenapa tidak terpikirkan olehku?! Ibu Shiho adalah orang Inggris!"
"Mungkinkah dia ke sana?"
Shinichi merengkuh kedua bahu Ran, "Arigatou Ran!"
Inggris...
Praaang! Terdengar suara piring pecah di dapur.
Andrew tampak kesal. Ini sudah kesekian kalinya pegawai baru itu memecahkan piring di dapur. Dia benar-benar tak bisa diandalkan. Sambil menggerutu, ia melangkahkan kaki beratnya ke dapur untuk melabrak pegawai baru itu.
"Kau lagi Sherry?!" hardik Andrew seraya berkacak pinggang.
"M-Maaf..." ucap Shiho gemetar.
"Maaf! Maaf! Itu saja yang kau bisa!" amuk Andrew, "Mau sampai kapan? Sampai semua piringku habis?!"
"Aku benar-benar tidak sengaja..."
Andrew mencengkram kedua pipi Shiho dengan kedua tangannya, "Kau begitu cantik. Kalau kau memang tidak berbakat di dapur, kenapa kau tidak gunakan kecantikanmu itu saja untuk melayani pelanggan-pelangganku?" kemudian ia melepas Shiho begitu tiba-tiba hingga Shiho terhuyung dan harus memegang pinggiran tempat cuci piring untuk menjaga keseimbangan.
Andrew melirik pelayan lainnya, "Berikan dia baju pelayan!" perintahnya.
Baju pelayan adalah baju seksi ketat one piece dengan buntut kelinci di belakangnya.
Shiho menggeleng kalut, "Aku tidak mau, aku lebih suka di sini, di dapur,"
"Sudah bodoh! Banyak milih lagi!" Andrew yang naik pitam mengangkat tangannya untuk menampar Shiho.
Shiho memejamkan mata.
Hup! Ada seseorang yang menahan tangan itu.
"Don't touch her!" kata sebuah suara dingin.
Merasa suara tersebut familiar di telinganya, Shiho membuka mata dan terhenyak, "K-Kudo-Kun?"
"Siapa kau?" Andrew menarik tangannya dari Shinichi seolah jijik.
Shinichi meraih lengan Shiho, "Ayo Shiho,"
"Dia milikku! Kau mau bawa ke mana?"
"Dia sudah mengundurkan diri!" hardik Shinichi.
"Kau siapanya?"
"Aku calon suaminya!"
"Aku tak mau bayar gaji terakhirnya!"
"Simpan saja uangmu brengsek!" umpat Shinichi seraya mengajak Shiho keluar dari bar memuakkan itu.
Setelah jauh dari bar itu, mereka berhenti di sebuah taman.
Shinichi berdecak kesal sebelum mengomeli Shiho, "Bagaimana kau bisa berada di bar busuk itu? Kau ilmuwan! Astaga!"
Shinichi sudah mencari ke perkumpulan ilmuwan di Jepang dan Inggris. Mana ia sangka malah menemukan Shiho bekerja sebagai pegawai rendahan di bar remang-remang?
Shiho berjongkok seraya memeluk lututnya, "Aku tak bisa..." bisiknya lirih.
"Nani?"
"Aku sudah mencoba ke perkumpulan ilmuwan di Inggris... Tapi aku tak bisa... Tak satupun rumus muncul di kepalaku... Tak satupun formula yang kuingat..." ia menangis seraya menutup wajah dengan kedua tangannya, "Aku tidak berguna..."
Shinichi tampak iba, ia membuka mantel luarnya dan mengenakannya pada Shiho seraya ikut berjongkok di hadapannya.
"Jangan memaksakan dirimu Shiho..." bisik Shinichi seraya mengusap-usap kedua bahu Shiho yang gemetar karena tangis dan kedinginan.
"Aku tak mengenal diriku lagi..." isak Shiho.
"Sshhh..." Shinichi memeluknya.
"Aku harus bagaimana... K-Kudo..." Shiho semakin sesenggukan.
"Sudah ada aku di sini Shiho... Sudah ada aku... Biar aku yang berpikir..."
Shinichi membiarkan Shiho menangis beberapa saat lagi, namun kemudian ia menyadari perubahan itu. Perubahan suhu tubuh Shiho.
"Kau panas," Shinichi menyentuh kening Shiho, "Kau demam Shiho..."
"Aku tidak apa-apa..."
"Masih bicara begitu! Kau harus ke rumah sakit, ayo..." Shinichi membantunya berdiri dan memapahnya. Mereka pergi ke rumah sakit menggunakan taksi.
.
.
.
.
.
Dua jam kemudian, setelah sampai di rumah sakit menjalani sejumlah pemeriksaan dan pengambilan sampel darah beserta urin, akhirnya Shiho tidur pulas di kamar perawatannya karena kelelahan. Jam 9 malam di Inggris mataharinya masih cerah, sehingga Shinichi harus merapatkan gorden agar tidur Shiho tidak terganggu. Ia sudah menelpon sejumlah orang-orang untuk mengabari keberadaan Shiho. Kemudian ia duduk di sana, di kursi di hadapan ranjang Shiho. Kedua tangannya menggenggam tangan Shiho yang terlipat rapi di atas perutnya yang sudah sedikit membulat menandakan usia kandungannya sudah tiga bulan. Sesekali Shinichi mengelusnya, hanya untuk sekedar menyapa makhluk mungil di dalamnya.
Meski Shinichi sendiri lelah, tapi ia tidak bisa tidur. Ia hanya diam saja di sana, memandang Shiho yang tidur nyenyak. Shinichi teringat, perasaan senasib sewaktu ia masih menjadi Edogawa Conan dan Shiho sebagai Haibara Ai, telah membuat mereka menjadi sepasang partner yang kompak dan saling mengandalkan satu sama lain. Hal itu terus berlanjut walau organisasi hitam telah hancur dan tubuh mereka telah kembali ke ukuran semula. Kini perasaan senasib itu semakin dalam ketika mereka berhasil keluar dari ranch Kiyosuke yang mengerikan. Keterikatan batin yang hanya dapat dimengerti oleh mereka yang telah merasakan permainan mematikan di neraka tersebut. Shinichi tidak tahu, hal ini cinta atau bukan. Tapi dadanya membuncah oleh perasaan ingin melindungi yang sangat besar terhadap Shiho dan bayi mereka. Shiho bukan hanya sekedar partner, tapi bagian dari hidupnya, belahan jiwanya. Sepasang kekasih yang saling mencintai belum tentu merupakan belahan jiwa, jika mereka tidak saling mengerti. Namun sepasang belahan jiwa sudah pasti saling mengerti satu sama lain. Walaupun bukan cinta, tapi kasih sayangnya tak terhingga.
Perlahan Shiho membuka matanya dan menemukan dirinya telah berada di sebuah ruang kamar VIP. Salah satu tangannya diinfus oleh cairan elektrolit. Lalu ia melihat Shinichi berada di sana sembari menggenggam tangannya.
"Kau ingin sesuatu Shiho?" tanya Shinichi.
Shiho menggeleng lemah, lalu bertanya, "Dokter ada mengatakan apa?"
"Belum ada. Mereka masih menunggu hasil tesmu,"
"Kudo-Kun..."
"Uhm?"
"Kau di sini tidak apa-apakah?"
"Maksudmu?"
"Ran-San bagaimana?"
Shinichi tersenyum, "Tidak perlu mencemaskan hal itu. Ran mendapatkan beasiswa S2 psikologi anak di Amerika,"
"Nani? Lalu bagaimana..."
"Aku sudah putus dengannya,"
"Tapi..."
"Intinya Shiho," Shinichi meremas tangan Shiho, memintanya tenang, "Kami putus baik-baik dan masih bersahabat. Dia akan menghajarku dengan karatenya kalau aku tak menjagamu. Aku sekarang sepenuhnya milikmu Shiho,"
Wajah Shiho merona, "Kudo-Kun..."
"Aku minta kau tidak memikirkan hal lain selain kondisimu dan kandunganmu, oke?" pinta Shinichi lembut namun dengan nada suara tak ingin dibantah.
"Uhm," Shiho mengangguk.
"Aku sudah menelpon Masumi. Malam ini juga Masumi, Mary-San dan Akai-San terbang dari Jepang. Ayah dan ibuku juga akan datang dari Amerika,"
Shiho mengerjap, "Mereka mau datang semua?"
"Eh," Shinichi mengangguk, "Karena itu Shiho, kau jangan pergi lagi. Kau tidak tahu betapa kami semua cemas ketika kau pergi dalam keadaan hamil pula,"
"Gomene..."
"Sekarang istirahatlah," Shinichi mengecup kening Shiho dan menyelimutinya, "Aku selalu di sini kalau kau ingin sesuatu,"
Shiho pun memejamkan matanya.
"Shiho!" Mary segera memeluk keponakannya begitu masuk kamar.
"Shiho!" Masumi ikut memeluknya.
"Obasan... Masumi..." panggil Shiho terharu.
Mary melepasnya dan menangkup wajah Shiho, "Kau baik-baik saja Shiho? Tak ada yang terluka? Mana yang sakit?"
"Aku baik-baik saja Obasan," Shiho menenangkannya.
"Jangan pergi seperti itu lagi Shiho... Takuuu... Aku kan mau lihat keponakanku lahir," gerutu Masumi setengah berkelakar.
"Gomene..." ucap Shiho.
"Sudah sudah. Yang penting kau baik-baik saja..." ujar Mary seraya mengusap-usap bahu Shiho penuh sayang.
Yukiko, Yusaku, Shinichi dan Akai tersenyum melihat para wanita itu saling melepas rindu.
Tak lama kemudian, Yusaku, Yukiko, Shinichi dan Mary berkumpul di ruangan dokter. Sementara Akai dan Masumi menemani Shiho di kamar perawatan. Hasil tes Shiho sudah keluar dan dokter mulai menjelaskan diagnosisnya.
"Kami tidak memiliki data riwayat medis Nona Miyano. Tapi setelah kami tanyakan kemarin, beberapa waktu lalu Nona Miyano memang pernah mengalami flek," kata dokter pria usia lima puluhan berkebangsaan Inggris.
"Flek?" Mary mengernyit.
"Nona Miyano mengalami inkompetensi serviks,"
"Apa maksudnya?" tanya Yukiko.
"Leher rahimnya membuka terlalu awal,"
"Apa yang menyebabkannya seperti itu, Dokter?" tanya Mary.
"Karena Nona Miyano tidak memiliki riwayat melahirkan sebelumnya, itu bisa terjadi karena memang bawaan Nona Miyano yang memiliki kelainan pada leher rahim,"
"Lalu bagaimana Shiho dan kandungannya nanti, Dokter?" tanya Yukiko cemas.
"Tenang, Nyonya," ujar Dokter sabar, "Untungnya kita mengetahui hal ini di awal, saat kandungannya masih 14 minggu. Satu-satunya cara adalah memasang pessary untuk menopang rahimnya agar tetap di posisinya. Pemasangan pessary juga dapat mengurangi tekanan pada leher rahim. Namun setelah pemasangan tersebut, Nona Miyano harus bedrest sampai saatnya melahirkan,"
"Berarti, Shiho belum bisa dipulangkan ke Jepang?" tanya Shinichi.
"Sangat tidak disarankan menempuh perjalanan jauh,"
Hasil diagnosis itu memaksa keluarga Kudo dan keluarga Sera untuk berembuk lagi. Di jam makan siang, mereka berkumpul bersama di sebuah restoran dekat rumah sakit.
"Aku masih memiliki apartemen di London," kata Mary, "Aku bisa merawat Shiho di sana sampai melahirkan dan kondisinya telah kuat untuk pulang ke Jepang,"
"Itu ide yang bagus," gumam Yusaku.
"Aku tak menyalahkan Shinichi-Kun, sungguh. Sebaliknya aku ingin berterima kasih, karena Shinichi melindungi Shiho. Hal yang terjadi diantara mereka aku tak akan mempermasalahkannya. Bagiku asalkan Shiho dapat kembali dari ranch itu hidup-hidup, sudah lebih dari cukup. Aku juga tak ingin menuntut pertanggungjawaban dari keluarga Kudo. Kami akan merawat Shiho dan bayinya. Kalian boleh menemuinya kapan saja," jelas Mary.
"Mana bisa begitu Mary-San," sela Yukiko, "Aku juga sudah menganggap Shiho-Chan seperti putriku sendiri. Aku menyayanginya sejak ia masih Haibara Ai. Kini ia mengandung cucu kami, darah keluarga Kudo. Mana mungkin kami melepas tanggung jawab begitu saja?"
"Benar, Mary-San," sambung Yusaku bijak, "Anak itu adalah anak Shinichi, lagipula aku yakin, Shinichi juga tak bersedia diam diri. Bukankah begitu Shinichi?"
Shinichi mengangguk, "Aku juga akan ikut tinggal di London untuk merawat Shiho,"
"Shinichi-Kun..." Mary terpana.
"Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, jika aku dan Shiho berhasil selamat dari ranch itu, terjadi kehamilan atau tidak, aku ingin menikahinya,"
"Demo... Bagaimana dengan agensimu? Lalu kekasihmu?" Mary tampak tak enak hati.
"Aku sudah putus baik-baik dengan Ran. Dia sudah tahu semuanya dan mengerti,"
"Tapi..." Mary masih keberatan, ia meragukan perasaan Shinichi.
"Aku menyayangi Shiho," ucap Shinichi yang mengerti keraguan Mary.
Mary mengerjap, tak menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulut Shinichi.
"Aku menyayangi Shiho dan menginginkan bayinya," ulang Shinichi.
Yusaku dan Yukiko menatap putra mereka dengan bangga.
"Masumi bisa mengurus agensiku. Lagipula aku memang belum siap bekerja normal. Dia bisa menghubungiku kapan saja jika ingin berdiskusi,"
"Shinichi-Kun... Apa kau yakin dengan keputusanmu? Pernikahan adalah sebuah hal yang besar. Komitmen selamanya,"
"Aku akan menjaga Shiho dan membahagiakannya," janji Shinichi.
Yukiko akhirnya menyudahi pembahasan itu, "Baiklah kalau sudah diputuskan. Sebaiknya mereka menikah saja di sini, sebelum kami kembali ke Amerika,"
.
.
.
.
.
Seminggu setelah pemasangan pessary, Shiho diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Hari itu ia pulang, hari itu juga Shinichi dan Shiho menikah dengan pemberkatan sederhana di gereja setempat. Tidak ada pesta, tidak ada gaun, hiasan bunga, maupun undangan. Hanya keluarga Kudo dan keluarga Sera saja. Shiho bahkan harus duduk di kursi roda. Namun ketika Shinichi mengecup istrinya, ia sadar kebahagiaannya tak sedikitpun berkurang.
"Aku janji, setelah Shiho-Chan pulih dan kembali ke Jepang. Aku akan menggelar pesta resepsi yang meriah, gaun cantik dan bunga-bunga," kata Yukiko seraya menyelipkan anak rambut Shiho ke balik telinganya.
Sore hari itu juga, Shiho menempati apartemen dan bedrest di ranjang.
"Aku tak mengharapkannya Yukiko-San..."
"Ehhh... Okasan," Yukiko membenarkan.
Wajah Shiho merona, "O-Okasan... Tidak ada pesta juga tidak apa-apa..."
"Mana boleh begitu? Seorang anak perempuan yang masuk ke keluarga baru, tentu saja harus dirayakan. Shiho-Chan begitu cantik, jadi harus memakai gaun yang cantik juga dan bunga-bunga yang banyak. Kau dan Shin-Chan juga harus foto pernikahan, kalau tidak nanti anak-anak kalian bertanya bagaimana?"
"E-eh... Aku menurut saja..."
"Begitu baru benar," Yukiko memeluk menantunya itu, "Jaga dirimu Shiho-Chan. Kami akan kemari lagi setelah kau melahirkan nanti,"
"Jaga dirimu juga, Okasan,"
Gantian Masumi memeluk Shiho, "Aku akan merindukanmu Shiho..."
"Arigatou Masumi..."
"Otosan, Okasan, maaf tidak dapat mengantar sampai bandara," ujar Shinichi.
"Tidak apa-apa," sahut Yusaku, "Kau lebih baik jaga Shiho saja,"
"Eh," Shinichi mengangguk, berterima kasih atas pengertian orang tuanya.
"Kami pergi dulu," Yusaku dan Yukiko pamit, mereka akan kembali ke Amerika.
"Kami juga pergi dulu, sampai nanti semua," Masumi melambai, ia dan Akai Shuichi akan kembali ke Jepang.
"Telpon saja kalau kau perlu sesuatu Masumi," seru Shinichi.
"Eh," Masumi mengulurkan jempolnya sebelum hilang di pintu depan.
"Nah Shiho-Chan," Mary menatap keponakannya, "Sekarang aku akan membuatkan sup hangat untukmu,"
"Arigatou Obasan," ucap Shiho.
"Biar kubantu," Shinichi menawarkan diri.
"Tidak tidak, kau temani Shiho saja Shinichi. Aku bisa melakukannya sendiri," kata Mary seraya keluar dari kamar dan menutup pintu di belakangnya.
Shinichi menghela napas, "Akhirnya sepi juga..." lalu ia menghampiri Shiho, bergelayut manja di kakinya seraya menempelkan pipinya pada perut Shiho.
Wajah Shiho merona, "K-Kudo..."
Mata Shinichi menyipit ketika mendongak pada Shiho, "Nani? Kau lupa? Kau janji akan memanggilku Shinichi ketika kita sudah keluar dari tempat sialan itu. Bahkan sekarang kau sendiri Nyonya Kudo dan masih memanggilku Kudo? Takuuu..."
"Gomene... Belum terbiasa..."
"Apakah susah memanggilku Shin-Ni-Chi?"
"Shinichi..." ucap Shiho dengan wajah merah padam.
Shinichi tersenyum, "Begitu lebih baik," lalu ia menyandarkan wajahnya lagi ke perut Shiho.
"Kau sedang apa?" tanya Shiho.
"Mendengar gerakan bayi,"
Shiho tampak geli, "Baru mau jalan empat bulan, belum kedengaran,"
"Eh begitu ya?" gumam Shinichi dengan nada kecewa. Tapi ia tidak beranjak dan tetap mempertahankan posisi itu. Shiho membelai rambutnya dengan lembut. Shinichi begitu terbuai, ia tak pernah tahu si partner galaknya ini ternyata memiliki sisi keibuan.
"Di bulan enam, baru mulai terasa," Shiho memberitahu.
"Aku sudah penasaran, wajahnya nanti seperti apa. Laki-laki atau perempuan?"
"Kau lebih mengharapkan yang mana?"
"Yang mana saja oke. Tapi sepertinya asik juga kalau laki-laki,"
"Kenapa?"
"Agar ada yang membantuku untuk melindungimu,"
Mata Shiho berkilauan karena terharu.
"Dan bisa menemaniku main bola,"
Shiho tersenyum lagi, "Kurasa, anaknya laki-laki atau perempuan, kau akan tetap mengajaknya main bola,"
Shinichi terkikik, "Ya sih,"
"Sudah kuduga,"
"Shiho..."
"Uhm?"
"Kemampuanmu pasti kembali..."
Shiho terkesiap.
"Kau adalah ilmuwan hebat, aku yakin kau pasti kembali... Aku pun sempat kehilangan kemampuan deduksiku... Tapi ketika kau hilang, kemampuan itu perlahan-lahan muncul lagi..."
"Shinichi..."
"Ya, aku memang masih trauma untuk menghadapi kasus secara langsung. Tapi bila mendiskusikannya secara tak langsung untuk mencari kebenaran, aku masih dapat menerimanya. Kau juga harus beri dirimu waktu,"
"Uhm," Shiho mengangguk.
"Sampai menunggu bayi kita lahir, kita rehat saja sejenak. Aku juga ingin menikmati masa-masa ini bersama dirimu," mata Shinichi semakin lama semakin berat sebelum akhirnya jatuh tertidur di pangkuan Shiho. Belaian Shiho yang nyaman membuatnya mengantuk.
Shiho tersenyum lembut menatap wajah Shinichi yang tidur pulas. Ia juga tak berhenti membelai rambut Shinichi. Ini adalah pemandangan paling indah yang pernah dilihatnya.
Tengah malam Shiho terbangun. Ia melongok ke sisi sebelahnya di mana Shinichi tidur sangat nyenyak. Pelan-pelan sekali ia menyibak selimutnya agar Shinichi tidak terbangun. Kemudian ia menurunkan kedua kakinya ke lantai.
"Kau mau apa Shiho?" tanya Shinichi.
Shiho membeku.
"Kau mau ke mana?" Shinichi bangun duduk dan melongok menatap Shiho.
"Kamar mandi," sahut Shiho.
"Kenapa tidak bangunkan aku?"
"Kamar mandi kan dekat,"
"Tapi masih bisa kepeleset kan?" gerutu Shinichi.
"Iya sih,"
"Takuuu..." Shinichi bangkit berdiri mengelilingi tempat tidur lalu menggendong Shiho, "Kalau mau sesuatu panggil aku saja, daripada kau kenapa-napa,"
"Uhm," Shiho mengangguk.
Shinichi membantu Shiho di kamar mandi, setelah itu ia kembali menggendongnya dan meletakkannya di tempat tidur. Tapi Shiho tak bisa kembali tidur, ia hanya bergerak-gerak gelisah.
"Mau ke kamar mandi lagi?" tanya Shinichi.
"Tidak, bukan itu,"
Shinichi merangkul pinggang Shiho, "Lalu? Kau takut mimpi buruk?"
"Bukan itu,"
"Apa donk?"
"Anooo..." Shiho tampak ragu mengatakannya.
"Uhm?" Shinichi mengerjap menunggu.
Shiho mendesah, "Entah kenapa aku tak bisa menghilangkan bayangan okonomiyaki dari kepalaku,"
Shinichi akhirnya paham, "Ngidam rupanya..."
"Tapi di sini kan tidak ada okonomiyaki,"
"Kita buat saja, aku lihat bahan-bahannya di kulkas,"
"Sekarang?"
"Kau mau sekarang atau bisa nunggu besok?"
"Maunya sih sekarang,"
Shinichi nyengir, "Ayo," ia menggendong Shiho lagi dan mendudukkannya di kursi roda.
Pelan-pelan mereka keluar dari kamar menuju dapur. Mereka melakukannya dengan hati-hati agar tidak membangunkan Mary. Shinichi menyiapkan bahan-bahan dan mulai membuatnya, dibantu arahan dari Shiho. Dalam sekejap okonomiyaki itu sudah jadi dengan penyajian cukup bagus.
Wajah Shiho tampak berseri-seri melihat okonomiyaki itu. Sembari meletakkan kedua tangannya di pipi, ia menghirup aroma okonomiyaki itu dalam-dalam, "Harum... Mereka seperti sedang memantraiku, aku benar-benar menginginkan ini..."
Shinichi tak dapat menahan cengirannya, ternyata begini ya wanita hamil kalau ngidam. Tapi ia senang, ini pertama kalinya Shiho tampak bahagia sejak mereka terbebas dari ranch itu.
"Jangan cuma dihirup saja," Shinichi mengambil garpu seraya memotong okonomiyaki itu menjadi kecil, ia meniupnya hingga dingin sebelum menyuapi Shiho.
"Hmmmm..." Shiho bergidik senang, "Enak..." ia menjilat lidahnya, menyebabkan mayonaisenya belepetan di bibir.
Shinichi menjulurkan tangannya dan membersihkan sisa mayonnaise di bibir Shiho dengan ibu jarinya, "Lihatlah dirimu, seperti gadis kecil saja,"
Wajah Shiho merona.
Shinichi memotong okonomiyaki lagi, meniupkannya dan menyuapkannya pada Shiho.
Shiho mengunyah dengan lahap, "Aku benar-benar rindu makanan Jepang,"
Shinichi memberinya suapan ketiga.
"Kau sendiri tidak makan?" tanya Shiho.
"Tidak, untukmu saja semua. Kan kau yang ngidam,"
"Masih banyak begini," Shiho mengambil sebuah garpu, memotong okonomiyaki, meniupnya dan gantian menyuapi Shinichi.
Mau tak mau Shinichi melahapnya, "Enak,"
"Ya kan..."
"Gara-gara kau memancingku, jadinya lapar juga,"
Shiho terkekeh seraya menyuapinya lagi.
Shinichi juga menyuapinya. Mereka melakukannya bergantian sampai okonomiyaki ukuran besar itu habis tak bersisa.
"Haduh, gara-gara menemanimu ngidam, aku jadi ikutan gemuk," Shinichi mengelus perutnya yang kekenyangan.
Shiho tertawa.
"Shhhh!" Shinichi meletakkan jarinya di telunjuk.
Shiho buru-buru menutup mulutnya.
"Mary-San bangun nanti,"
Padahal Mary memang sudah terbangun. Sambil tersenyum geli, ia memandang suami-istri muda itu dari celah pintu kamarnya.
"Kau senang?" tanya Shinichi.
"Eh," Shiho mengangguk.
"Besok mau apalagi?"
"Aku tidak tahu, belum terpikirkan,"
"Semoga tidak aneh-aneh,"
"Yang pasti, takkan jauh-jauh dari masakan Jepang," Shiho memberikan petunjuknya.
"Hoo... Aku akan mengingatkan Mary-San untuk menyediakan bahan-bahan masakan Jepang saja kalau begitu," lalu ia menjulurkan tangannya untuk menyentuh perut Shiho, "Kau puas sekarang Aka-Chan?"
"Apakah kita sudah boleh memikirkan sebuah nama?"
"Boleh saja, kalau laki-laki aku yang beri nama, kalau perempuan kau yang beri nama. Bagaimana?"
Shiho mengangguk setuju, "Boleh. Kau mau kasih nama apa?"
"Hmmm..." Shinichi menimbang-nimbang, "Kalau dia lelaki, berarti anak pertama seperti aku. Pertama itu 'ichi,' aku juga ingin dia menjadi anak yang berani 'yuuki' kalau digabung jadi Yuichi. Kudo Yuichi? Bagaimana?"
"Kudo Yuichi," Shiho mengulang, "Cocok juga, aku suka,"
"Lalu kalau perempuan, kau mau kasih nama apa?"
"Hmmmm... Namamu Shinichi mengandung 'kebenaran', aku juga ingin menamainya yang mengandung 'kebenaran'. Michi. Artinya adalah 'kebenaran' dan masih ada unsur 'ichi' nya. Aku merasa itu lucu didengar untuk anak perempuan,"
"Michi. Kudo Michi. Imut sekali. Aku juga suka,"
"Kudo Yuichi dan Kudo Michi. Kita sepakat kalau begitu,"
"Eh," sahut Shinichi seraya menepuk lunak kepala Shiho.
Mary hanya menutup pintu dengan senyum yang semakin mengembang. Setelah berhasil lolos dari maut, menikah dengan sederhana dan tanpa bulan madu, sepasang anak muda itu memiliki caranya sendiri untuk bahagia. Memang yang terpenting bukanlah tempat, namun dengan siapa.
.
.
.
.
.
Shiho terbangun dari tidur siangnya. Ketika melongok ke ujung tempat tidurnya, dilihatnya Shinichi tengah berdiri di luar balkon, memandang pemandangan di bawah apartemen sana. Kedua tangannya bergantung di saku celananya. Shiho menyukai postur tegap punggung dan bahunya. Shinichi sangat atletis karena suka bermain bola. Ingin sekali ia turun dari tempat tidur dan memeluknya. Namun ia urungkan niat itu, mengingat perutnya sekarang sudah lebih besar. Ia tidak ingin terjadi sesuatu pada rahimnya. Shinichi belum menyadari istrinya sudah terjaga. Diam-diam Shiho menarik laci di samping tempat tidur, ia melakukannya dengan lambat sekali supaya tidak ketahuan suaminya. Ia meraih pensil kayu dan sebuah buku catatan polos tanpa garis. Sembari tersenyum kecil, ia mulai menggambar, membuat sketsa tubuh Shinichi.
Shiho dengan asik menggoreskan pensilnya di atas kertas, Shinichi benar-benar tidak sadar dirinya tengah menjadi objek seni Shiho. Ketika sketsa Shiho sudah 90% jadi, Shinichi akhirnya berbalik badan dan mengerjap.
"Lho? Kapan kau bangun?" tanya Shinichi seraya berjalan masuk ke kamar.
Shiho memeluk buku sketsa itu erat-erat, "Dari tadi,"
Shinichi duduk di hadapan Shiho, "Apa itu?" tunjuknya.
Shiho menggeleng, "Nandemonai,"
Mata Shinichi menyipit curiga, "Pasti gambar yang aneh-aneh,"
"Tidak,"
"Lihat kalau begitu,"
"Tidak boleh,"
"Bolehhhh..." Shinichi merajuk, setelah berkutat sedikit, akhirnya ia mendapatkan buku sketsa itu. Ia melongo memandang hasil karya Shiho. Untuk ukuran bukan pelukis, sketsanya bagus sekali. Shiho melukis tampak belakang dirinya dan menambahkan sepasang sayap besar di kanan-kirinya. Sketsa itu begitu nyata.
Wajah Shiho merah padam, "Bilang saja kalau jelek,"
"Bagus kok,"
"Eh?"
"Aku kira kau cuma bisa buat sketsa rumus kimia,"
"Tentu saja tidak," sahut Shiho tanpa memandang wajah Shinichi, pipinya masih merona.
"Kenapa diberi sayap? Bukan Lucifer (Dewa Kematian/Neraka) kan maksudnya? Kau kan selalu mengataiku magnet mayat,"
"Tentu saja bukan! Wujud asli Lucifer kan seram bukan tampan seperti di film,"
"Lalu maksud sayapnya apa? Aku terbang dari balkon?"
"Bukan,"
"Terus?" Shinichi mengangkat sebelah alisnya.
"Anooo..." Shiho merasa wajahnya memanas, "Maksudnya Guardian Angel,"
"Guardian Angel?"
"Eh. Dulu waktu aku baru melarikan diri dari organisasi, aku hanya teringat untuk mencarimu meminta pertolongan,"
"Ah," Shinichi teringat, "Kau pingsan di depan rumahku sebelum ditemukan Hakase,"
"Uhm. Walaupun aku tidak begitu mengharapkannya, sebaliknya kemarahanmu padaku sudah kuperkirakan. Tapi pada akhirnya kau tidak hanya membantuku, kau melindungiku dan berkali-kali menyelamatkanku di saat terdesak," mata Shiho berkilauan membendung airmata ketika mengingat masa-masa itu, "Aku kira kau melakukannya demi mendapatkan antidote APTX karena hanya aku satu-satunya yang dapat membuatnya. Tapi setelah organisasi hancur, setelah tubuhmu kembali, kau masih melindungiku juga, terutama di ranch itu..."
"Shiho..." Shinichi menggenggam tangan Shiho.
"Kau Guardian Angelku. Kadang aku merasa, Otosan, Okasan dan Onee-Chan dari surga, mengirimmu padaku untuk melindungiku,"
Tatapan Shinichi melembut oleh rasa haru.
"Aku menyukaimu," Shiho akhirnya mengaku.
"Eh?"
"Aku sudah lama menyukaimu, tapi aku tahu di mana posisiku. Aku tak pantas mendapatkan tempat. Kau seperti cahaya, sementara aku hanya wanita dari kegelapan,"
"Bakane..." ucap Shinichi seraya menepuk lunak kepala Shiho.
Shiho akhirnya menatapnya, ketika ia melakukan itu, airmatanya mengalir.
"Cahaya dan kegelapan harus berdampingan," kata Shinichi, "Jika tidak ada kegelapan, siapa yang dapat memastikan seberapa terangnya cahaya?"
"Shinichi..."
Shinichi memeluknya, "Selamanya, aku adalah Guardian Angelmu Shiho,"
Air mata Shiho semakin merebak.
"Dan kau akan selalu memiliki tempat di hatiku..."
"Aku mencintaimu Shinichi... Eh tapi!" Shiho melepaskan pelukannya dan buru-buru menjelaskan, "Meski begitu aku tidak mengharapkan kita bersama dengan cara seperti ini. Bila ada kesempatan lain... Aku memilih kita menikah dengan jalan yang lebih baik... Bukan melalui peristiwa buruk dan tidak mengorbankan perasaan..."
Shinichi mendiamkan Shiho dengan ciumannya.
Shiho hanya kaget sesaat sebelum menanggapi ciuman Shinichi.
"Aku mengerti... Kau tak perlu menjelaskannya..." bisik Shinichi di bibir Shiho.
"B-Bolehkah?"
Shinichi mendekapnya lagi, "Ah... Aku kan Guardian Angelmu... Tak perlu takut untuk mencintaiku... Aku pun menyayangimu Shiho... Kau Dr. Watsonku sekaligus Irene Adlerku," ucapnya seraya mengecup kepala Shiho.
Shiho memejamkan matanya, merasa nyaman dalam tempat paling indah sedunia. Pelukan Shinichi.
"Amazing Grace sudah, Canon in D sudah. Request apalagi?" tanya Shinichi sambil memanggul biolanya.
"Hmmm..." Shiho mempertimbangkan seraya berbaring miring, "Ah... Aku mau Kenny G, Away In A Manger..."
"Oke," Shinichi pun memainkan biolanya sesuai permintaan Shiho.
Shiho memandangnya sambil senyum-senyum.
Banyak cara bagi mereka untuk menghabiskan waktu bersama. Shinichi memainkan biola atau Shinichi membacakan novel kesukaan Shiho. Dengan perut yang semakin besar, Shiho suka kesemutan. Kalau sudah begitu Shinichi akan memijit pinggang dan punggungnya. Terkadang memijat kakinya juga kalau kram.
Kadang-kadang mereka juga video call dengan Profesor Agasa bersama Detektif Cilik, atau bersama Yusaku, Yukiko dan Masumi. Masumi hanya sesekali saja menelpon Shinichi untuk kasus yang benar-benar sangat rumit. Semaksimal mungkin ia menangani kasus-kasus itu sendiri bersama tim detektif lain di agensi.
"Aduh aduh... Shiho-Chan manjanya..." goda Mary suatu hari, ketika melihat Shinichi menyuapi Shiho di meja makan, "Aku jadi seperti lalat pengganggu," ia terkekeh geli.
"Biar saja, selama ini kan aku yang disuruh-suruh. Gantian sekarang aku yang menyuruh," gerutu Shiho pura-pura ngambek.
"Hai Hai Maam...," sahut Shinichi seraya nyengir canggung.
Tak jarang juga Shinichi dan Shiho bermalas-malasan bersama sambil menonton berseri-seri film di Netflix. Atau hanya rebahan di tempat tidur sambil memandang perut besar Shiho yang suka bergerak-gerak sendiri.
"Sedang apa Yui-Chan?" tanya Shinichi seraya membelai-belai perut telanjang Shiho.
"Bagaimana kalau dia Mi-Chan?" tanya Shiho seraya memilah-milah perlengkapan bayi di tabnya.
"Karena itu, kenapa kau tidak memperbolehkan dokternya memberitahu apa jenis kelaminnya?" gerutu Shinichi.
"Buat kejutan,"
"Takuuu..."
'Tapi aku yakin dia pasti Michi,"
"Tahu darimana?"
"Feeling seorang ibu,"
Shinichi mendesah, "Hai terserah kau saja,"
Tempat tidur bayi sudah dibeli. Beberapa baju bayi yang netral untuk bayi laki-laki maupun perempuan juga sudah disediakan. Lengkap dengan popok, sabun dan shampoonya. Hanya tinggal menunggu bayinya saja. Operasi cesar Shiho juga telah dijadwalkan. Dokter tidak menyarankannya melahirkan normal.
"Sampai kapan kita akan lihat-lihatan seperti ini?" tanya Shinichi.
Ia dan Shiho tengah berbaring miring dan saling menghadap.
"Kau sendiri belum tidur," kata Shiho.
"Karena aku menunggumu tidur. Kau sendiri?"
"Aku juga menunggumu tidur,"
Mereka berdua tertawa, sama-sama saling menunggu tidur, akhirnya keduanya malah sama-sama terjaga.
"Kau duluan saja yang tidur," kata Shinichi.
"Tidak, kau duluan saja," kata Shiho.
"Ya sudah sama-sama,"
"Oke,"
"Hitungan ke tiga. Satu, dua, tiga,"
Tidak ada yang memejamkan mata. Mereka tertawa lagi.
"Aku serius Shiho, sudah, tidur sekarang," Shinichi meraih kepala Shiho dan mendekapnya di dada, supaya mereka tidak adu melotot lagi.
"Oyasumi," gumam Shiho di dada suaminya.
"Oyasumi," balas Shinichi.
.
.
.
.
.
Tenggorokan Shinichi tercekat oleh keharuan, ketika ia masuk ke kamar perawatan setelah Shiho selesai dioperasi cesar. Shiho terbaring di sana seraya memeluk bayi perempuan mungil di dadanya. Shiho tersenyum saat melihat Shinichi berjalan menghampirinya.
"Kita dapat Michi," kata Shiho.
"Eh, feeling seorang ibu," kata Shinichi membalas senyumannya.
"Mau gendong?" tawar Shiho.
"Tentu saja,"
Hati-hati Shinichi meraih bayi mungil itu dan meletakkannya di lengannya. Bayi itu semuanya mirip Shiho. Mata, hidung, bibir sampai rambutnya. Cantik sekali. Ia tidak pernah menyangka perpaduannya dengan Shiho bisa menghasilkan malaikat seimut ini. Belum lagi aromanya, ya ampun. Aroma bayi meresap ke seluruh indera Shinichi, rasanya sangat menyenangkan.
Kehadiran Michi telah memberi harapan baru bagi Shinichi. Meski ia muncul sebagai hasil bertahan hidup di ranch, tapi Shinichi merasa segalanya sepadan. Michi membawa keberanian baru baginya. Ia akan menghapus kepedihan yang tertinggal di tanah ranch itu. Michi telah menghadirkan sebuah awal kembali baginya dan mungkin bagi Shiho.
Shinichi mendekap Michi di dadanya seraya memejamkan mata. Setetes bulir airmata mengalir melalui ekor matanya. Shiho menyadari hal itu.
"Shinichi?"
Shinichi membuka matanya lagi dan memandang Shiho, "Arigatou Shiho..."
Shiho terdiam terpana.
"Terima kasih kau telah melahirkannya," ucap Shinichi seraya mengecup kening Shiho.
Air mata bahagia mengalir dari mata indah Shiho.
Tak berapa lama kemudian ketenangan mereka terganggu. Yusaku, Yukiko, Mary dan Masumi menyerbu masuk untuk berebut menggendong Michi.
Enam bulan setelah Michi lahir, Shiho mulai pulih sepenuhnya. Ia dan Michi akhirnya mendapat persetujuan dari dokter untuk kembali ke Jepang. Akhirnya Shinichi bersama keluarga kecilnya dan Mary Sera, menempuh penerbangan yang sama untuk pulang ke Jepang.
Setelah lebih dari 1 tahun vakum, Shinichi akhirnya siap kembali bekerja normal di agensinya. Mary Sera datang ke rumah keluarga Kudo hampir setiap hari, untuk membantu Shiho mengurus Michi. Kadang-kadang Profesor Agasa bersama Detektif Cilik juga datang untuk bermain bersama Michi. Rumah Keluarga Kudo yang tadinya mendapat julukan Rumah Hantu itu telah berubah menjadi rumah yang ramai dan ceria.
Kalau sedang di rumah, Shinichi dan Shiho bergantian mengurus Michi. Shinichi memandikan, mengganti popoknya dan menyuapinya makan. Sementara Shiho menyusuinya dan menyiapkan segala makanan bayi serta cemilannya.
"Michii..." Shinichi mengusap-usapkan hidungnya ke hidung Michi.
Hari Minggu pagi itu sungguh cerah. Shinichi menggendong Michi dan membawanya ke luar balkon kamar untuk berjemur.
Michi tersenyum dengan tangannya menggapai-gapai wajah Shinichi. Bayi campuran Inggris-Jepang yang lucu. Seperti boneka, pikir Shinichi.
Shinichi terus menimangnya hingga Michi tertidur sambil mengulum jempolnya. Entah kenapa, Shinichi tak pernah bosan melihatnya. Kalau sedang kerja, rasanya mau buru-buru pulang saja untuk menggendong Michi. Segela kepenatan kasus langsung menghilang saat memandang wajah malaikatnya.
"Ugh," Shiho mengeluh seraya menyentuh keningnya, sementara tangan satunya lagi mengepal. Dokumen penelitiannya berserakan di meja, laptopnya yang menyala dianggurkan.
Shinichi menoleh memandang istrinya. Ia tahu, Shiho telah memulai lagi penelitiannya, namun tampaknya belum ada kemajuan. Ia masuk ke dalam kamar dan menempatkan Michi di box tempat tidurnya. Lalu ia menghampiri Shiho, meletakkan tangannya di bahu Shiho seraya mulai meremasnya.
"Jangan memaksakan diri, Shiho," bisik Shinichi, pijatannya beralih ke tengkuk Shiho.
Shiho mendesah nikmat, lebih rileks.
Shinichi berjalan ke lemari TV, lalu menyalakan audio yang mengalunkan musik klasik romantis nan lembut. Ia kembali ke kursi Shiho, meraih kedua tangannya, mengajaknya berdiri.
"Kau mau apa?" tanya Shiho.
"Membuatmu rileks," jawab Shinichi seraya mengalungkan lengannya pada pinggang Shiho dan membuat tubuh mereka rapat.
"Dengan berdansa?"
"Eh," Shinichi mengangguk, "Kita belum pernah dansa berduaan kan?"
Shiho akhirnya mengalungkan lengannya ke leher Shinichi, "Patut dicoba,"
Mereka bersedekap bersama, berdansa perlahan mengikuti irama musik. Michi masih tidur nyenyak di boxnya, tidak mengganggu orang tuanya sama sekali.
"Memangnya kau ingin meneliti apa?" tanya Shinichi.
"Tidak jauh-jauh dari skincare wanita," jawab Shiho.
"Kolagen?"
"Salah satunya dan teknik untuk mengaktifkannya kembali di bawah epidermis,"
"Kalau memang tidak ada yang mau mensponsori, kau teliti saja sendiri dan ajukan hak patennya," usul Shinichi.
Shiho menatap Shinichi, "Begitukah menurutmu?"
"Kau bisa menggunakan garasi kita, banyak perusahaan besar dimulai dari garasi kan?"
"Hmmm... Aku akan mempertimbangkannya..."
"Tinggal kita cari saja kira-kira apa brandnya,"
"Eh," Shiho mengangguk.
Shinichi melonggarkan dekapannya untuk menatap wajah Shiho. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Shiho dengan punggung jari-jarinya. Wajah Shiho merona, jantungnya berdegup cepat.
"Gomene..." desah Shinichi.
Shiho mengerjap, "Kenapa?"
Shinichi tersenyum, "Aku bertanya-tanya ke mana diriku selama ini? Kenapa aku baru menyadari kau cantik?"
Mata Shiho menyipit, "Oh ya? Bukan Putri Setan Mengantuk?"
"Kau juga sering menyebutku magnet mayat. Tapi ternyata kau suka padaku,"
Wajah Shiho merona lagi, "Apa itu berarti kau juga suka padaku ketika mengejekku Putri Setan Mengantuk?"
"Mungkin saja," sahut Shinichi cepat.
"Eh?" Shiho terpana.
"Itu mungkin saja, tapi aku tak pernah tahu..." ucap Shinichi seraya mencondongkan wajahnya, mempertemukan bibirnya dengan bibir Shiho.
Awalnya perlahan, namun semakin lama semakin mengganas. Dalam sekejap Shinichi telah menurunkan ritsleting belakang dress Shiho dan menjatuhkannya ke lantai. Kemudian ia sendiri melucuti blusnya, Shiho duduk di tepi kasur seraya membantu melucuti celana suaminya.
Selama kehamilan Shiho yang lemah, mereka sama sekali tidak bercinta. Terlebih lagi, selama ini mereka melakukannya karena di bawah ancaman Kiyosuke. Kini, mereka melakukannya atas inisiatif mereka sendiri. Mereka saling mencumbu dengan bebas, tanpa dibayang-bayangi ketakutan, tanpa lagi merasa bersalah maupun sungkan. Semua beban itu telah mereka lepaskan.
Shiho membuka pahanya lebih lebar untuk menerima Shinichi seutuhnya. Shinichi menyambutnya, memasukinya dan bergerak berirama. Tidak menyentak namun sangat dalam hingga Shiho mengerang dibawah pagutan bibir Shinichi. Kedua tangan mereka saling terkait di atas kepala Shiho. Mereka begitu melekat erat, peluh menjadi satu, keduanya seakan melebur ketika telah mencapai kenikmatan tertinggi.
Shinichi dan Shiho jatuh tertidur hingga hari menjelang siang. Tangisan Michi yang menyentak mereka hingga terbangun.
"Apa dia ngompol?" tanya Shinichi masih mengantuk.
"Biar kulihat, sepertinya lapar," Shiho bangkit dari tempat tidur seraya meraih kimono tidurnya dan memakainya sebelum mengambil Michi dari boxnya.
Popok Michi kering. Ia ingin menyusu. Shiho menyibak sedikit kimononya di bagian dada agar Michi dapat menyusu. Akhirnya bayi mungil itu kalem. Shinichi bangkit duduk dan memeluk pinggang Shiho dari belakang seraya menyandarkan dagunya ke bahu Shiho. Selimutnya merosot hingga sebatas pinggang.
"Ah lapar ya... Dia mau berebut jatah denganku..." gumam Shinichi yang mengintip Michi menyusu dari balik bahu Shiho.
"Hentikan itu... Namanya juga bayi..." gumam Shiho.
Shinichi terkekeh, "Dia menggemaskan,"
"Eh," Shiho sependapat, kemudian ia terdiam seperti teringat sesuatu.
"Kenapa Shiho?" Shinichi menyadari diamnya.
"Aku berpikir... Mungkinkah ada satu masa di kehidupanku pernah disambut seperti ini oleh Otosan, Okasan dan Onee-Chan?"
"Shiho..."
"Aku tak pernah mengenal Okasan kecuali dari rekaman suaranya. Aku tak punya contoh, jadi ketika melihat Michi aku jadi bertanya-tanya... Apakah aku bisa menjadi ibu yang baik?"
Shinichi mengecup leher Shiho dengan lembut, "Aku yakin kau akan jadi ibu yang hebat, Shiho. Segalanya memang terlalu mendadak bagi kita berdua. Penyekapan itu telah menjadi titik balik untuk hidup kita, tapi lihatlah Michi... Dia bagai keajaiban... Aku dapat menemukan hidup yang baru hanya dengan melihatnya... Tidakkah kau juga merasakan hal yang sama?"
Shiho mengecup bayinya, "Eh... Dia segalanya..."
"Jangan menekan dirimu sendiri terlalu keras, Shiho. Apapun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu..."
Shiho menarik napas dalam seraya memejamkan matanya, kemudian ketika membukanya kembali, ia menoleh pada Shinichi, "Jadi, aku boleh pinjam garasi?"
"Eh? Kau benar-benar mempertimbangkan ideku?"
"Kurasa itu ide yang bagus,"
Shinichi tersenyum, "Pakai saja garasinya sesukamu, rumah inikan juga rumahmu,"
Shiho balas tersenyum, "Tenang saja, aku takkan meledakkannya seperti Hakase menjebol tembok rumahnya sendiri,"
Shinichi tertawa, "Jadi, kira-kira mau pakai brand apa?"
"Aku ingin menggunakan nama Okasan. Elena,"
"Nama yang bagus. Elena artinya cahaya,"
Shinichi senang ketika akhirnya dapat melihat binar-binar harapan baru di mata indah Shiho.
.
.
.
.
.
Dua tahun kemudian...
"Baik, besok aku akan ke kepolisian untuk membuat laporannya. Terima kasih, Inspektur Megure," Shinichi menyudahi pembicaraannya di telpon.
"Oi Shinichi-Kun!" panggil Masumi yang sedang kebingungan menjaga Michi.
"Nani?" Shinichi menoleh padanya.
"Michi susah disuapi ini, buang muka terus setiap aku angkat sendok ke mulutnya," lapor Masumi.
"Takuuu... Kau wanita bukan sih?" gerutu Shinichi.
"Hehehe..." Masumi hanya terkekeh.
Siang itu, Shinichi membawa Michi ke kantor agensinya karena Shiho sedang mengurus hak cipta dari penemuannya. Mary Sera juga menemani Shiho ke sana. Sejak kejadian penyekapan di ranch, Shinichi tidak memperbolehkan Shiho pergi kemana-mana seorang diri. Mary Sera menguasai beladiri dengan baik. Shinichi bisa tenang jika membiarkan Shiho pergi bersamanya.
"Tuh kan! Kepalanya meleng lagi ih!" Masumi berkata gemas. Michi yang sudah berusia dua tahun dan sangat lincah, selalu kabur dari suapan Masumi.
Shinichi akhirnya turun tangan, "Pegang dagunya dari belakang," ujarnya seraya mengambil sendok mungil dari tempat makan yang dipegang Masumi, "Michi, sini Michi," ia memanggil putrinya seraya memegang dagu Michi dari belakang lalu menyuapinya. Michi tak dapat berkutik lagi, ia pun melahap makanannya.
"Hooo begitu..." Masumi mengerti.
"Iya, tapi jangan dicekik ya,"
"Hai hai... Aku akan mengontrol tenagaku hehe..."
Shinichi melirik arlojinya. Ia cukup gugup juga dengan pengajuan hak cipta Shiho.
"Belum ada kabar dari Shiho?" tanya Masumi seakan mengerti jalan pikiran Shinichi. Ia akhirnya berhasil menyuapi Michi dengan cara yang diajarkan Shinichi, tapi berantakan. Makanannya jatuh belepetan hingga ke baju Michi.
"Belum. Seharusnya sudah selesai..."
Tepat saat itu pintu ruangan terbuka, Shiho masuk bersama Mary.
"Hooo panjang umur," celetuk Masumi.
"Bagaimana Shiho?" tanya Shinichi tak sabar.
Shiho tersenyum penuh kemenangan, "Aku dapatkan hak ciptanya,"
"Benarkah?" Shinichi tampak senang.
"Eh, aku bisa menggunakan nama Elena Clinique,"
"Bagus sekali!" Shinichi memeluknya, "Aku bangga padamu Shiho,"
"Semua juga berkat ide dan dukunganmu Shinichi,"
Masumi dan Mary tersenyum melihat suami-istri yang tengah berpelukan itu.
"Ka-chann... Ka-chaaan..." terdengar Michi memanggil ibunya.
Shiho menunduk menghadapi putrinya, "Eh? Kenapa Michi berantakan begini?"
"Pasti ulahmu," Mary menatap Masumi.
Masumi terkekeh, "Hehehe... Kami main petak umpet sambil makan..."
"Baka," gerutu Mary.
"Aku ganti bajunya dulu," Shiho menggendong Michi dan membawanya ke sofa, di mana Shiho menaruh perlengkapan Michi sebelum pergi.
"Ngomong-ngomong Shinichi, kudengar orang tuamu akan kembali ke Jepang?" tanya Mary.
"Iya, akhir minggu ini. Proyek film Otosan sudah selesai dan belum ada proyek lagi dalam waktu dekat, sehingga mungkin kali ini mereka akan menetap lebih lama di Jepang," jawab Shinichi.
"Eh, itu kabar bagus. Ada yang membantu menjaga Michi selama kau dan Shiho bekerja," ujar Mary.
"Eh, Otosan dan Okasan juga senang karena akan bertemu Michi," tambah Shinichi, "Terutama Okasan, dia ingin segera menggelar resepsi pernikahanku dan Shiho yang sudah tertunda dua tahun,"
"Padahal aku sudah bilang tidak apa-apa, tapi Okasan bersikeras. Lagipula sudah lewat 2 tahun sejak pernikahan didaftarkan," timpal Shiho yang sudah selesai mengganti baju Michi. Kini ia menidurkan gadis kecil itu di lengannya sambil memberinya susu melalui botol.
"Tapi kali ini aku setuju dengan Okasan," sambung Shinichi, "Pernikahan kita harus dirayakan, kau pantas untuk itu Shiho,"
"Benar Shiho-Chan," Mary ikut menimpali, "Kau harus memakai gaun yang cantik. Elena pasti akan senang melihatnya dari sana,"
"Obasan..."
"Dengan begitu, aku bisa lega karena telah memenuhi janjiku kepada Elena untuk menjagamu," Mary memandang Shiho penuh sayang.
"Benar, Michi juga pasti senang melihat foto pernikahan orang tuanya nanti setelah dia mengerti," ujar Masumi.
Shiho memandang putrinya. Yang dikatakan Masumi masuk akal. Ia sendiri tidak pernah tahu wajah orang tuanya. Ia tidak ingin Michi mengalami hal yang sama.
"Eh... Baiklah kalau begitu..." Shiho akhirnya menerimanya.
"Ini benar-benar bagus sekali, ada perayaan hak cipta dan perayaan pernikahan. Kebahagiaan yang berlipat ganda!" kata Masumi semangat.
Yusaku dan Yukiko akhirnya tiba di Jepang. Mereka amat senang bertemu dengan cucu perempuan mereka yang menggemaskan. Yukiko juga tidak membuang-buang waktu, ia segera menyiapkan pesta resepsi untuk Shinichi dan Shiho. Resepsi tersebut diadakan di sebuah hotel mewah di Tokyo. Selain teman-teman Yusaku dan Yukiko, kebanyakan undangannya dihadiri oleh para rekan sejawat Shinichi dan kepolisian. Shiho tidak memiliki teman sejawat ilmuwan sejak ia meneliti penemuannya sendiri. Namun karena ia partner investigasi Shinichi, teman-teman polisi Shinichi sama juga dengan temannya Shiho.
Di hari resepsi, Shinichi sangat tampan dengan tuksedonya sementara Shiho cantik dengan gaun pengantinnya yang ringan. Michi juga mendapatkan gaun mungil berwarna putih serta bando putih berpita untuk menghiasi rambut bob kemerahannya. Ia tampak seperti boneka imut. Sepanjang pesta, ia dipangku oleh Yukiko yang tak henti-hentinya memamerkan cucunya dengan bangga kepada teman sesama artisnya.
"Cucumu cantik sekali! Mungkin suatu hari dia akan jadi artis juga seperti dirimu!" terdengar pujian dari teman Yukiko.
"Eh! Sepertinya begitu hahaha..." dan Yukiko sangat menikmatinya.
Acara dansa juga diadakan dan cukup meriah. Tidak sedikit wartawan yang datang meliput mereka. Pamor Keluarga Kudo sangat besar di Jepang, ditambah Elena Clinique yang didirikan Shiho juga mulai dikenal dan diminati para wanita Jepang.
"Kau bahagia Shiho?" tanya Shinichi yang memandang istrinya mesra tanpa melepas dekapannya di lantai dansa.
Shiho tersenyum, "Entah apa aku bisa lebih bahagia daripada ini,"
Shinichi membalas senyumannya, "Jangan sebut dirimu wanita dari kegelapan lagi,"
"Ah lalu apa? Putri Setan Mengantuk?"
Shinichi tertawa, "Aku Guardian Angelmu bukan?"
"Eh," Shiho mengangguk.
"Maka kau adalah Kudo Shiho, istri dari Guardian Angel,"
Shiho tersipu dengan wajah merona.
Tim kepolisian yang melihat dansa mereka tampak bergosip seru.
"Aku kira Kudo-Kun selama ini suka pada Ran-Chan. Tapi ternyata cocok juga dengan Shiho ya..." kata Miwako Sato.
"Tidak heran, mereka dari dulu memang partner yang kompak kalau ada investigasi yang sulit," kata Takagi.
"Tapi mungkin, kejadian di ranch itu juga yang mempersatukan mereka," timpal Chiba.
"Apapun itu, setidaknya aku senang, mereka berakhir bahagia," kata Inspektur Megure.
"Eh," Sato mengiyakan, "Semoga tidak ada kejadian buruk lagi yang menimpa mereka di masa depan," ujarnya penuh harap.
Ruang tamu Keluarga Kudo akhirnya ada pajangan foto keluarga. Keluarga Kudo, Keluarga Sera termasuk tambahan Profesor Agasa. Di kamar tidur Shinichi dan Shiho, tepatnya di kepala ranjang, juga memajang foto pernikahan mereka plus Michi ditengah-tengah mereka.
"Bagus ya..." kata Shinichi seraya merangkul Shiho yang menggendong Michi.
"Eh..." Shiho sependapat.
Mereka bertiga memandang foto itu. Foto yang mampu merefleksikan kebahagiaan mereka yang sebenarnya. Bayangan kekelaman di ranch itu seakan begitu jauh dan hanya mimpi buruk. Shinichi dan Shiho akhirnya mampu pulih serta lebih optimis menjalani kehidupan mereka selanjutnya, tanpa menyadari, mungkin masih ada yang dendam di luar sana.
.
.
.
.
.
Lima tahun kemudian...
"Ehhh... jadi kau sudah menikah dengan Araide Sensei?" tanya Sonoko takjub.
Pagi itu Sonoko dan Ran sedang berjalan-jalan di sekitar taman Beika.
"Iya hehehe..." sahut Ran seraya terkekeh dengan wajah merona.
"Kapan? Kok aku tak diundang?"
"Baru sebulan lalu kok di Amerika. Aku memang tidak merayakannya di sana. Aku dan Tomoaki merencanakan untuk merayakannya di Jepang karena teman-teman kami kebanyakan di sini kan," jelas Ran.
"Ohh begitu,"
"Jadi, kau mau bantu aku kan Sonoko? Untuk menyusun list undangannya paling tidak?" pinta Ran.
"Eh, tentu saja! Semuanya akan kupersiapkan untukmu! Serahkan saja padaku!" kata Sonoko bangga menunjuk dirinya sendiri.
"Duh! Tidak usah semuanya juga. Kandunganmu sudah cukup besar, aku tak mau kau kelelahan. Aku bisa bertarung dengan Makoto-San nanti,"
Sonoko terkekeh sambil mengusap-usap perut besarnya. Ia sudah hamil lima bulan, "Tenang saja. Bayi ini pasti kuat karena ayahnya jago karate hehehe..."
Mendadak langkah mereka terhenti karena ada bola sepak yang menggelinding.
"Eh?" Ran memungut bola itu.
"Gomene..." ada sebuah suara.
Ran menoleh, ada gadis kecil yang mendekatinya. Entah kenapa, melihat gadis kecil ini Ran merasa tak asing.
"Boleh aku minta bolanya?" tanya gadis kecil itu sopan.
"Punyamu?" tanya Ran.
"Uhm," gadis kecil itu mengangguk.
"Ini," Ran memberikannya.
"Arigato!" gadis kecil itu berlari lagi pada teman-temannya untuk bermain bola.
"Kok aku merasa anak itu familier ya?" gumam Sonoko di sebelah Ran.
"Eh? Kau juga merasa begitu ya? Aku juga,"
"Sepertinya dia agak mirip Haibara Ai, ya tidak?"
"Ah iya! Benar juga!"
Mendadak mereka tersentak oleh seruan itu.
"Kudo Michi!" panggil Shiho tegas.
Michi bergidik melihat ibunya, "Okasan..."
"Takuuu..." keluh Shiho seraya berkacak pinggang, "Kan sudah Okasan bilang jangan pergi sembarangan. Okasan sedang memeriksa pabrik sebentar dan kau sudah menghilang,"
"Aku bermain bola dengan teman-teman,"
"Kalau mau main harus bilang dulu dan kau tidak boleh pergi sendiri, kalau ada orang jahat bagaimana?"
"Gomene Okasan. Tapi Michi tidak pernah lepas jam tangan Michi kok," jam tangan Michi ada pemancar sinyalnya.
"Tidak boleh begitu lagi ya Mi-Chan,"
"Haii..." sahut Michi patuh.
"Shiho-Chan?" panggil Ran.
Shiho menoleh dan baru menyadari kehadiran Ran serta Sonoko, "Ran-San? Sonoko-San?"
"Jadi ini anakmu dengan Shinichi? Pantas saja aku merasa familiar," kata Ran.
"Eh," Shiho mengangguk, "cepat beri salam, mereka teman Otosan," pinta Shiho pada putrinya.
Michi memandang Ran dan Sonoko, "Konichiwa! Kudo Michi desu!"
"Waaah! Kawaiii!" Sonoko tampak gemas, "Tak disangka si penggila misteri itu ternyata anaknya imut ya!"
"Kapan kau kembali dari Amerika, Ran-San?" tanya Shiho.
"Baru seminggu," sahut Ran, "Apa kau ada waktu Shiho-Chan? Kita bisa berbincang-bincang sebentar,"
Shiho melirik arlojinya, "Eh tidak masalah,"
Mereka berempat akhirnya ke kafe terdekat di Kota Beika. Saling bertukar cerita tentang apa yang telah terjadi selama tujuh tahun terakhir ini.
"Jadi kau menetap di Inggris sampai melahirkan?" tanya Ran.
"Eh," Shiho mengangguk, "Aku memiliki kelainan leher rahim, sehingga harus bedrest sampai melahirkan. Itupun dengan cesar. Aku sama sekali tidak bisa berjalan-jalan seperti Sonoko-San sekarang,"
Ran dan Sonoko tampak prihatin.
"Pasti sangat berat untukmu Shiho-Chan," ucap Ran.
Shiho mengangguk, "Ya memang. Tapi untungnya sepadan," ia memandang Michi penuh arti. Michi tengah melahap eskrimnya dengan bersemangat. Shiho meraih selembar tisu, untuk membersihkan bibirnya yang belepetan.
"Kita belum sempat bertemu sejak kau dan Shinichi kembali dari tempat mengerikan itu. Aku turut prihatin Shiho-Chan," kata Ran sungguh-sungguh.
"Arigato Ran-San. Aku memang sempat mengalami trauma berat, mimpi buruk hingga kehilangan seluruh kemampuanku sebagai ilmuwan,"
"Eh? Tapi kau akhirnya berhasil mendirikan Elena Clinique. Wanita Jepang mana yang tidak pakai perawatan dan produknya sekarang?" ujar Sonoko.
"Aku putus asa karena tidak ada yang bersedia memberi sponsor untuk penelitianku. Akhirnya aku melakukannya sendiri, meminjam garasi rumah Shinichi. Setelah aku mendapatkan hak cipta dan produknya laris, aku akhirnya mampu membuka cabang dan membangun pabrik sendiri," jelas Shiho.
"Ahh pasti sekarang mereka menyesal tidak memberi sponsor," celetuk Sonoko.
"Tapi, Ran-San," Shiho memandang Ran, "Bagaimanapun juga aku ingin minta maaf,"
"Eh? Minta maaf kenapa?"
"Aku... Aku dan Shinichi..." Shiho tak sanggup meneruskannya.
Namun Ran mengerti, ia menggenggam tangan Shiho, "Tidak perlu sungkan Shiho-Chan. Shinichi milikmu. Dia memperlakukanmu dengan baik kan?"
"Eh," Shiho mengangguk, "Entah apa jadinya tanpa dia,"
"Baguslah kalau begitu. Aku akan menghajarnya jika dia tidak membuatmu bahagia. Aku dan Shinichi sudah masa lalu, kau tak perlu tak enak hati. Lagipula sekarang aku sudah menikah dengan Tomoaki Araide,"
"Eh? Benarkah?" Shiho baru mendengar berita itu.
"Karena itulah Ran pulang kemari, untuk mengadakan resepsi di Jepang," sela Sonoko.
"Nanti Shiho datang bersama Shinichi ya dan juga Michi," Ran menepuk lunak kepala Michi.
"Haii..." sahut Michi imut.
"Aduh semoga kalau bayiku perempuan bisa seimut dia," doa Sonoko seraya membelai-belai perut besarnya.
Mereka tertawa bersama.
Dua minggu kemudian undangan resepsi Ran dan Araide Sensei diterima oleh Shinichi. Resepsinya diadakan di sebuah restoran mewah di Tokyo. Kebanyakan dihadiri oleh rekan-rekan sejawat Araide Sensei dan teman-teman Ran. Sonoko dan Makoto sudah pasti datang. Masumi dan Shinichi sekeluarga juga turut hadir.
"Selamat Ran, Araide-Sensei," ucap Shinichi.
"Arigatou!" sahut Araide dan Ran bersamaan.
"Halo Michi," Ran menjawil pipi tembam Michi yang digendong oleh Shinichi.
"Halo," balas Michi. Ia tampak menggemaskan dengan gaun pink lembutnya. Rambutnya disematkan bandana yang terdapat bunga sakura dan warnanya senada dengan gaunnya. Berada diantara nenek mantan artis dan ibu yang mengerti fashion, Michi pun tampak sangat modis untuk anak seusianya.
"Lucu ya Makoto-Chan," Sonoko menyenggol suaminya seraya menunjuk Michi, "Semoga nanti anak kita selucu itu, hehehe..." katanya sambil mengusap-usap perut mengamini.
"Eh..." Makoto hanya mengangguk dengan wajah merona.
"Michi-Chan lebih mirip ibunya ya," kata Araide.
Shinichi terkekeh, "Wajahnya iya, tapi Michi tomboy, suka main bola hehehe..."
"Oh iya, ketika kami bertemu pertama kali, Michi juga sedang main bola. Tapi melihatnya sekarang sangat feminine seperti boneka imut," ujar Ran.
"Hasil karya Shiho," Shinichi memandang istrinya.
"Eh," Shiho mengangguk, "Michi sempat bersikeras menggunakan kaos Big Osaka untuk kemari," gerutunya.
"Kan kau juga yang meracuninya untuk mendukung Big Osaka," Shinichi mengingatkan istrinya.
Masumi tertawa geli, "Shiho sengaja merekrutnya lebih dulu sebelum Michi keracunan Tokyo Spirit,"
"Waduh, jangan-jangan nanti berebutan lagi. Yang satu suruh jadi detektif, yang satu suruh jadi ilmuwan," kelakar Sonoko.
"Tambah satu lagi, disuruh jadi artis," Masumi teringat Yukiko, ibu Shinichi yang suka mengambil foto-foto Michi dalam berbagai gaya busana.
"Jadi Michi nanti mau jadi apa?" tanya Ran.
"Ahli forensik," jawab Michi bersemangat.
"Eh?" Ran melongo, "Kenapa mau jadi itu?"
"Biar bisa bantu Otosan," sahut Michi polos.
"Hai hai... Jadi ahli forensik juga keren..." puji Ran.
"Michi pintar ya, kecil-kecil sudah tahu ahli forensik. Biasanya anak-anak tahunya dokter, polisi atau guru kalau ditanya cita-cita," ujar Araide.
"Hasil bibit unggul," kelakar Masumi.
"Ran-Chan, kau juga harus segera memberiku satu," pinta Araide pada istrinya.
"Takuuu... Baru sebulan menikah sudah minta saja..." gerutu Ran dengan wajah merona.
"Tentu saja. Lihat, Shinichi sudah satu, Sonoko juga sudah mau satu. Kita belum sama sekali," gumam Araide penuh harap.
Shiho berdehem, "Sebenarnya sudah mau dua,"
"Eh?" Semua melongo pada Shiho, termasuk Shinichi.
"Shiho... Maksudmu..." Shinichi menatap istrinya.
Shiho mengumumkan dengan wajah merona, "Sudah empat minggu,"
"Eh?" Shinichi terbelalak, "Kenapa baru kasih tahu sekarang?"
"Aku juga baru tahu kemarin," kata Shiho.
"Waaah! Keponakanku akan tambah lagi!" ujar Masumi girang.
"Michi sebentar lagi punyak adik ya!" kata Ran juga tampak senang.
"Nah Ran-Chan! Kita juga harus kejar target!" pekik Araide.
"Tomoaki!" Ran mengingatkan suaminya dengan wajah merah padam.
Semua menertawakan tingkah pengantin itu.
"Okasan," Michi mendadak memanggil ibunya.
"Nani?" Shiho memandang putrinya.
"Aku mau cake stroberi," kata Michi.
"Ayo," Shiho mengajak, Shinichi pun menurunkan Michi dari gendongannya.
Shiho menggandeng Michi ke tempat cake. Malam itu Shiho juga tampak cantik dengan gaun pink muda lembutnya, serasi dengan gaun Michi. Rambutnya digelung dengan sanggulan sederhana dengan sisa-sisa rambut keriting berjatuhan di sisi telinganya.
"Untunglah, semua berakhir baik ya Shinichi," gumam Ran pelan pada Shinichi. Sementara suaminya sedang berbincang-bincang dengan yang lain.
"Eh," Shinichi mengangguk, "Memang berat pada awalnya, berusaha hidup normal setelah tekanan peristiwa itu. Tapi, kehadiran Michi telah mengubah segalanya. Dia benar-benar harapan baru bagiku dan Shiho,"
"Kau bahagia?"
Sambil memandang istrinya dan putrinya di sana, Shinichi berkata, "Sangat bahagia. Mereka segalanya untukku,"
Ran lega mendengarnya.
.
.
.
.
.
"Ini sudah korban ketiga," Inspektur Megure berkata pada Shinichi.
Di hadapan mereka terdapat mayat seorang wanita muda.
"Tidak ada petunjuk, pesan kematian dan motifnya sepertinya acak, tapi ini sudah tiga kali berturut-turut dalam dua minggu terakhir," lanjut Inspektur Megure.
Shinichi terdiam, semua orang terdekat korban telah diselidiki. Mereka memiliki alibi yang sudah terbukti benar. Para korban tidak memiliki musuh. Tiga korban yang semuanya wanita juga tidak saling mengenal. Shinichi cukup kesulitan menginvestigasinya.
"Entah kenapa ini mengingatkanku pada kasus Jack The Ripper," gumam Shinichi.
Inspektur Megure bergidik mendengarnya.
"Aku memerlukan agenda hariannya, aku akan coba membandingkan kembali persamaan dari dua kasus sebelumnya," kata Shinichi.
Inspektur Megure mengangguk, "Takagi akan memberikan laporannya,"
Shiho tertegun ketika melihat Shinichi datang ke ruang kantornya bersama Inspektur Megure dan Miwako Sato.
"Ada apa Shinichi?" tanya Shiho, "apa kau perlu bantuanku untuk penyelidikan kasus?"
Shinichi dan Inspektur Megure bertukar pandang sesaat. Shinichi tampak tak enak hati ketika menghampiri Shiho seraya merengkuh kedua bahunya.
"Shiho..." dengan halus Shinichi mendudukkan Shiho di sofa, untuk mencegahnya terguncang dengan berita yang akan ia sampaikan, terlebih Shiho sedang hamil muda.
"Ada apa?" tanya Shiho lagi, tak mengerti dengan perangai suaminya.
"Kau tahu mengenai kasus pembunuhan tiga orang wanita selama dua minggu ini?"
"Eh," Shiho mengangguk.
"Aku telah menemukan persamaan dari ketiga kasus tersebut,"
"Nani?"
"Ketiga wanita itu adalah, pelanggan tetap Elena Clinique. Dua diantaranya pusat Beika dan satunya cabang Haido,"
Shiho menegang menatap suaminya, "Tapi kenapa..."
"Shiho-San," sela Miwako Sato, "Coba kau ingat-ingat lagi. Apakah ada kompetitor yang tidak suka padamu?"
"Kompetitor pasti ada, tapi mana mungkin mereka sampai membunuh seperti itu?" ucap Shiho tampak terguncang.
"Tenang Shiho," Shinichi menggenggam tangannya.
"Apakah benar hanya itu persamaannya? Mungkin kebetulan..." Shiho memandang Shinichi.
"Mereka tidak saling kenal," kata Shinichi, "Tidak punya musuh, alibi orang-orang terdekat dapat dibuktikan. Aku sudah memeriksa agenda mereka, mereka merupakan pelanggan tetap di Elena Clinique selama empat tahun. Mereka dibunuh sehari setelah melakukan perawatan terakhir,"
"Cara mereka dibunuh juga sangat brutal, wajah mereka sengaja dikoyak," sambung Sato.
Shiho bergidik, Shinichi menggenggamnya semakin erat.
"Lalu aku harus bagaimana?" tanya Shiho.
"Kami menyarankan untuk menutup klinik sementara waktu," kata Inspektur Megure, "sampai pelakunya tertangkap,"
"Hanya klinik saja Shiho. Pabrik dan penjualan online dapat tetap beroperasi dengan sejumlah pengamanan dari kepolisian," tambah Shinichi.
Shiho mengangguk muram, "Lakukan saja apa yang harus dilakukan,"
"Aku janji akan segera menemukan pelakunya Shiho, agar segalanya bisa berjalan normal lagi," hibur Shinichi seraya mengusap-usap bahu istrinya.
"Uhm," Shiho mengangguk lagi, "Tapi kalau memang tidak suka padaku, kenapa harus sampai membunuh mereka seperti itu..." ia menyayangkan, ia telah jatuh bangun membangun Elena Clinique dan sekarang harus menghadapi kasus seperti ini di masa kejayaannya.
Sato mengerjap seperti teringat sesuatu, "Shinichi-Kun, Shiho-San, aku minta maaf kalau harus mengungkitnya. Tapi apakah mungkin ada yang dendam terhadap kalian dari kasus permainan mematikan di ranch itu?"
Shiho memejamkan matanya sesaat, ia benci jika harus mengingat masa lalu yang sudah berusaha ia lupakan itu. Tapi kemudian ia tersentak ketika teringat sesuatu. Begitu pula dengan Shinichi.
"Mungkinkah..." gumam Shiho seraya bertukar pandang dengan Shinichi.
"Nani?" tanya Inspektur Megure dan Sato bersamaan. Bingung dengan bahasa tubuh yang hanya dimengerti oleh suami-istri itu.
Shiho mengepalkan tangannya, "Aku pernah membunuh,"
"Bukan salahmu Shiho," Shinichi menggenggam tangannya semakin erat.
"Bagaimana ceritanya?" tanya Inspektur Megure.
Melihat Shiho tak sanggup berkata-kata, akhirnya Shinichi yang bicara, "Hari itu aku dan Shiho menjadi pemangsa. Aku dan Shiho jika menjadi mangsa, sebisa mungkin kami akan menghindar dan mencari tempat tersembunyi di hutan sampai waktu berakhir. Begitu juga saat menjadi pemangsa, sebisa mungkin kami tidak membunuh, kecuali dalam keadaan bahaya,"
"Kanagawa," potong Shiho.
Semua memandangnya.
"Aku hanya ingat dia dipanggil Kanagawa," Shiho mengorek ingatannya lagi, "Waktu itu hujan lebat dan terdapat kabut tebal. Aku dan Shinichi terpencar. Aku ketakutan dan berusaha mencarinya kembali. Kemudian aku mendengar pergulatan itu. Aku berlari ke arah suara dan menemukan Kanagawa, seorang dari grup mangsa menjerat leher Shinichi dari belakang menggunakan akar pohon,
"Shinichi berhasil melepaskan diri, namun tubuh Kanagawa lebih besar. Ia merebut senjata Shinichi dan berusaha menembaknya," tubuh Shiho mulai gemetar, "Aku tidak memiliki arloji bius lagi saat itu. Aku juga tak dapat berpikir panjang, yang aku tahu aku hanya ingin menyelamatkan Shinichi. Aku menembak Kanagawa dengan target bahu atau lengannya, tapi karena berkabut. Aku mengenai kepalanya..." airmata Shiho merebak.
Shinichi memeluknya, "Salahkan aku yang tidak cukup tangguh,"
"Lalu apakah ada yang melihat kejadian itu?" tanya Sato.
"Seorang rekan Kanagawa, seorang pria, aku tak ingat namanya. Tapi ia meneriakan Kanagawa dengan panggilan nama kecil Kei-Chan," lanjut Shinichi.
"Dia berteriak padaku," isak Shiho, "dan bersumpah akan membalas dendam. Namun saat itu aku tidak terlalu menghiraukannya karena kami tidak punya masa depan di sana. Hidup dan mati dipertaruhkan setiap detiknya. Saling membunuh juga kami lakukan dengan terpaksa untuk bertahan hidup. Tempat itu membuat kami semua menjadi hina,"
Inspektur Megure dan Miwako Sato tampak prihatin. Mereka tak sanggup membayangkan yang harus dilalui Shinichi dan Shiho di sana.
"Kanagawa dan Kei-Chan," Sato bertopang dagu, "Hanya itu petunjuk yang kita punya,"
"Tampaknya kita harus mendata kembali, para korban selamat dari ranch itu. Apa kira-kira kalian masih ingat wajahnya jika kami membawa foto-fotonya?"
"Bisa saja," sahut Shinichi.
"Baiklah kalau begitu,"
Inspektur Megure dan Sato akhirnya undur diri.
Shiho menyandarkan keningnya di bahu Shinichi, "Aku merasa buruk. Tampaknya kita takkan pernah bisa lepas sepenuhnya dari bayang-bayang ranch itu,"
"Gomene... Shiho... Kau melakukannya untuk melindungiku. Aku yang salah..."
"Aku benar-benar takut saat itu. Kalau sampai terjadi sesuatu padamu, kalau Kanagawa berhasil membunuhmu, aku pasti akan bunuh diri saat itu juga..."
"Aku mengerti Shiho... Aku mengerti... Itu sudah berlalu sudahlah. Kita akan mencari pelakunya, yang telah membunuh para wanita itu..."
Shiho menarik napas dalam, "Aku ingin pulang,"
"Kau pucat. Tidak mau ke dokter saja?" tawar Shinichi.
Shiho menggeleng, "Aku akan lebih baik setelah melihat Michi,"
"Baiklah," Shinichi pun menuntun Shiho ke mobil untuk pulang bersama.
"Kanagawa Keichi," Inspektur Megure menyodorkan foto tersebut di hadapan Shinichi dan Shiho di rumah Keluarga Kudo.
Shinichi dan Shiho memandang foto itu.
"Tidak salah lagi. Pria ini yang aku tembak," kata Shiho.
"Dia adalah seniman, pelukis tepatnya. Menurut informasi dari teman-temannya, dia merupakan pria yang sangat tertutup. Sering berimajinasi untuk dituangkan ke dalam lukisan-lukisannya. Belakangan dia dinyatakan menghilang. Ada yang melihatnya masuk Hutan Aokigahara untuk bunuh diri. Mayatnya diketemukan kurang lebih sebulan setelah dia menghilang," jelas Inspektur Megure.
"Itu adalah waktu ketika aku menembaknya," sambung Shiho.
"Korban-korban dari permainan Kiyosuke akan diletakkan di hutan itu, seolah mereka mati bunuh diri," tambah Shinichi.
"Benar," Inspektur Megure mengangguk, "Lalu apa kalian pernah melihat orang ini?" ia menunjukkan satu foto lagi seorang pria.
Shinichi dan Shiho tersentak saling pandang.
"Dia yang berteriak padaku, ingin membalaskan dendamnya Kanagawa," kata Shiho.
"Matsuyama Arata," Inspektur Megure mengungkapkan, "Dia juga seniman, pelukis. Dia adalah kekasih Kanagawa Keichi,"
Shinichi mengerjap, "Jadi maksudnya mereka adalah pasangan sejenis?"
"Eh," Inspektur Megure mengangguk, "Orang tua dan teman-teman mereka mengetahui hubungan mereka lebih dari sahabat. Mereka berkencan. Akibat hal itu, mereka dikucilkan. Sampai akhirnya mereka merasa tertekan dan tak tahan lagi, mereka memutuskan untuk bunuh diri bersama dan memasuki Hutan Aokigahara. Lalu Kiyosuke mendapatkan mereka untuk permainan,
"Kami sudah mendata para korban yang berhasil bertahan hidup dari ranch itu selain kalian. Kami tidak menemukan Matsuyama Arata. Kami menduga pada saat polisi mengepung dan melakukan penyisiran, dia bersembunyi, melarikan diri," Inspektur Megure mengakhiri.
"Kalau begitu kemungkinan besar dia di balik pembunuhan para wanita itu?" tanya Shiho.
"Dia pasti melihat pamor Elena Clinique yang kau dirikan," sela Shinichi, "Lalu mulai melancarkan balas dendamnya,"
"Permainan di ranch itu dan perasaannya kepada Kanagawa telah membuatnya menjadi gelap mata. Sudah tujuh tahun berlalu dan selama itu, tidak ada yang pernah melihat Matsuyama lagi. Ia bagai menghilang ditelan bumi," ujar Inspektur Megure.
Shiho memegang keningnya, tampak tertekan.
"Shiho..." Shinichi tampak cemas dengan kondisi istrinya.
"Kami akan menugaskan beberapa anggota untuk memberikan penjagaan kepada kalian untuk sementara ini," kata Inspektur Megure berusaha mengatasi persoalan.
Shinichi mengangguk, "Terima kasih Inspektur Megure,"
.
.
.
.
.
Keadaan tak menjadi lebih baik. Walaupun klinik sudah ditutup untuk sementara, teror terus menerus terjadi di pabrik Elena Skin Care. Satu per satu staf mengundurkan diri karena ketakutan. Shinichi dan kepolisian juga belum dapat menemukan Matsuyama Arata yang bekerja dalam kesenyapan. Shiho mulai frustasi, Shinichi mencemaskan kondisinya dan kandungannya. Puncaknya, ketika Michi menghilang dari sekolah. Polisi yang bertugas menjaganya kehilangan jejaknya dan hanya menemukan jam tangan pemancar sinyalnya.
"Kalau dia dendam padaku, seharusnya dia langsung saja berhadapan denganku..." isak Shiho dalam dekapan Shinichi, "Jangan melibatkan Michi..."
Shinichi hanya bisa memeluknya, sudah kehabisan kata-kata penghiburan.
Saat itu rumah Keluarga Kudo sudah didatangi pasukan polisi yang memasang sejumlah peralatan pendeteksi sinyal. Mereka menduga cepat atau lambat pelaku itu pasti akan menghubungi. Tak lama kemudian terdengar dering di HP Shiho. Semua orang diam tertegun. Shiho tampak gugup.
"Nomor tak dikenal," kata Shiho.
"Mungkin itu dia, cobalah untuk berbicara lebih lama, sementara kami melacak sinyalnya," pinta Inspektur Megure.
Shiho menegarkan dirinya sebelum menjawab telepon.
"Kudo-San..." sapa suara di seberang sana.
Shiho terhenyak, suara ini, tidak salah lagi, "Kau Matsuyama?"
"Eh, tak disangka kau masih ingat namaku setelah 7 tahun berlalu,"
"Apa yang kau inginkan? Lepaskan Michi!"
"Bagaimana rasanya? Kehilangan seseorang yang kau cintai?"
"Michi masih kecil, jangan libatkan dia," pinta Shiho.
"Kau membunuh Kei-Chan!"
"Aku terpaksa! Kau tahu kita semua terpaksa di sana! Dia nyaris membunuh Shinichi!" pekik Shiho yang semakin gemetar tak karuan. Shinichi merangkul bahunya untuk menguatkannya.
"Aku merana! Aku merana! Sementara kau berhasil dengan perusahaanmu dan rumah tanggamu bersama detektif itu!"
"Lalu aku harus bagaimana? Apa yang harus kulakukan agar kau melepaskan Michi?!"
"Pergilah ke Pelabuhan Ushimado, Okayama dan naiki sebuah boat di sana. Hanya kau saja seorang diri. Tanpa polisi. Aku akan memberitahu instruksi selanjutnya," Matsuyama memutuskan hubungan.
Shiho lemas, Shinichi memeluknya.
"Dapat sesuatu?" tanya Inspektur Megure pada timnya.
Para timnya menggeleng, "Dia menggunakan pengacau sinyal. Titik koordinatnya di luar Jepang. Hal yang mustahil,"
"Sial!" Inspektur Megure mengumpat.
"Aku akan pergi," kata Shiho.
"Nani?" Shinichi menatapnya begitu juga dengan Inspektur Megure.
"Aku akan mengikuti instruksinya," Shiho menguatkan tekadnya.
"Aku tak bisa membiarkanmu pergi sendiri Shiho," Shinichi tidak mengizinkan.
"Tidak ada cara lain. Dia menginginkanku, biarkan aku ditukar dengan Michi,"
"Aku tidak setuju! Kau sedang hamil Shiho!" seru Shinichi tegas.
"Lalu bagaimana dengan Michi?! Matsuyama bisa melukainya kapan saja!" pekik Shiho putus asa.
"Bagaimana jika aku saja? Aku yang menyamar sebagai Shiho?" Yukiko menawarkan diri.
"Tidak Okasan!" Shiho menolak mentah-mentah, "Aku tidak mau melibatkanmu dalam perkara ini. Michi adalah putriku dan aku yang membunuh Kanagawa, maka aku juga yang harus menyelesaikannya,"
"Sepertinya memang tidak ada cara lain. Shiho harus pergi sendiri," Yusaku berpikir seraya bertopang dagu.
"Otosan?" Shinichi memandang ayahnya tak percaya.
"Tapi tentu saja, kita tidak akan membiarkan Shiho pergi tanpa membekali apapun," ucap Yusaku penuh perhitungan.
"Aku sudah di dermaga," kata Shiho di HP nya.
"Kau lihat sebuah speedboad warna biru dengan tulisan 'Kei'?" tanya Matsuyama.
Shiho memandang berkeliling dan melihat speedboat yang dimaksud terparkir beberapa meter di hadapannya di sisi sebelah kanan.
"Aku melihatnya,"
"Naiki itu, nyalakan mesinnya. Koordinatnya sudah disetting,"
"Aku mengerti,"
Mereka memutuskan sambungan. Dengan hati berdebar-debar Shiho menaiki speedboat tersebut seorang diri dan mengemudikannya sesuai koordinat yang sudah diatur. Sebisa mungkin ia tidak banyak melirik kanan-kirinya. Ada beberapa polisi yang menyamar berjaga. Helikopter pun sudah siaga di suatu tempat. Shiho membawa pemancar sinyal di balik pakaiannya. Matsuyama tidak meminta tebusan apapun. Ia hanya menginginkan Shiho.
Setengah jam kemudian Shiho sampai di sebuah pulau yang sepi, Pulau Setouchi. Namun ia tidak ke daratan utama pulau, melainkan berbelok lagi di belakangnya yang terdapat pulau lebih kecil dan terpencil. Tampaknya pulau itu lebih pribadi. Hati Shiho mencelos, seandainya dalam keadaan normal, ia pasti akan mengagumi keindahan pulau-pulau ini.
Shiho akhirnya memarkir speedboadnya di sebuah dermaga kecil yang ujungnya terdapat villa yang berbentuk rumah kayu. Ia mengalungkan tambang ke salah satu tiang kayu, lalu melangkah keluar kapal dan memasuki dermaga.
Matsuyama menyambutnya di dermaga. Pria itu berdiri beberapa meter di hadapannya seraya mengacungkan pistolnya pada Shiho. Refleks Shiho mengangkat kedua tangannya.
"Buka bajumu," perintah Matsuyama.
Shiho mengernyit, "Apa?"
"Aku tahu Kudo Shinichi memiliki ibu yang pandai menyamar. Aku harus memastikan kau sungguh-sungguh Kudo Shiho,"
"Ah, kau sudah banyak menyelidiki kami rupanya," sindir Shiho tajam.
"Ya, cukup tahu banyak,"
"Tapi aku sungguh-sungguh Kudo Shiho!"
"Aku juga harus memastikan kau tidak membawa pemancar!"
"Cih!"
"Buka bajumu! Tanggalkan semuanya!"
"Di mana Michi?!"
"Buka dulu bajumu! Toh, aku tidak tertarik pada tubuhmu!"
Tentu saja! Kau gay! Gerutu Shiho dalam hati. Shiho memejamkan matanya sesaat karena geram. Ia membayangkan Michi ketika harus memaksa membuang rasa malunya. Ia membuka semua pakaiannya dan menanggalkannya tanpa sisa.
"Aku sudah melakukannya," kata Shiho.
"Hmph!" Matsuyama mendengus memandang kemolekan tubuh Shiho, "Tidak heran Kudo Shinichi tergila-gila padamu,"
"Mana Michi?!"
Matsuyama menekan sebuah remote, pintu di vila otomatis terbuka sendiri. Michi berlari keluar dari dalamnya.
"Okasan!" panggil Michi. Ia tampak bingung melihat situasi itu, ibunya yang telanjang ditodong pistol oleh penjahat ini.
"Michi!" Shiho memanggil putrinya.
"Tahan!" cegat Matsuyama agar mereka tidak bergerak.
"Suruh putrimu naik ke speedboat,"
"Apa yang akan kau lakukan padanya?"
"Speedboat itu bisa autopilot kembali ke pelabuhan sendiri,"
Shiho memandang Michi, "Pergilah Michi! Naik ke speedboat,"
"Tapi Okasan..." Michi tampak ragu.
"Cepat!" desak Shiho.
Michi pun buru-buru berlari menaiki speedboat. Ia melepaskan tambang dari tiang kayu. Matsuyama menyalakan speedboat dengan sistem IOT. Shiho mengawasi speedboat yang membawa Michi pergi. Anak itu tidak bisa melepas pandangannya dari ibunya sampai menghilang di ujung lautan. Shiho berharap Shinichi dan tim kepolisian segera menemukannya.
"Sekarang, kau ikut aku," Matsuyama menunjukkan jalan dengan moncong pistolnya.
Shiho mau tak mau mengikutinya.
"Sial! Titik sinyal Shiho berhenti!" umpat Shinichi yang melacak posisi Shiho dari kacamata pelacaknya. Ia berada di helikopter bersama Miwako Sato dan Takagi.
"Shinichi-Kun!" Sato memanggilnya, "Kami baru saja dapat kabar, Michi sudah bersama Inspektur Megure di tengah laut. Sekarang mereka sedang membawanya ke pelabuhan untuk menyerahkannya pada ayahmu,"
"Yosh!" Shinichi tampak sedikit lega, "Sekarang tinggal Shiho. Sebaiknya kita meluncur ke sana!" pintanya.
"Yokai!"
Helikopter menambah kecepatannya. Sepuluh menit kemudian mereka mendarat di tanah pulau dekat villa. Shinichi segera melompat keluar dan berlari menuju dermaga. Di sana ia menemukan pakaian Shiho dan pemancarnya yang tertinggal.
Sial! Dia memaksa Shiho menanggalkan semuanya! Shinichi mengutuk tampak murka.
"Pasti mereka masih di sekitar pulau ini, speedboat Matsuyama masih terparkir," kata Takagi.
"Ayo kita cari!" kata Sato.
Shinichi, Sato dan Takagi pun mencari di sekitar area villa. Namun ia hanya menemukan Matsuyama seorang diri di halaman belakang villa.
"Di mana Shiho?!" Shincihi memburunya.
Bahu Matsuyama berguncang ketika ia mulai tertawa, namun akhirnya ia tak sanggup membendungnya lagi. Tawanya lepas dan bahagia.
"Matsuyama!" Sato dan Takagi mengancam seraya menodong pistol mereka.
"Dia sebentar lagi... Akan menyusul Kei-Chan untuk meminta maaf..."
"Cih!" Shinichi tampak geram, "Seharusnya kau balas dendam padaku, Shiho terpaksa membunuhnya karena berusaha menyelamatkan diriku,"
Matsuyama tertawa pahit, "Benar-benar cerita yang indah. Kalian berdua. Terlepas dari neraka itu, kalian malah memiliki akhir yang bahagia... Sementara aku merana...
"Kalian juga harus merasakan kemeranaan ini... Aku hanya ingin menyusul Kei-Chan ke sana..." Matsuyama mengangkat pistolnya ke kepalanya sendiri, bermaksud bunuh diri.
"Nanii?" Shinichi terguncang melihatnya.
Duar! Tembakan Miwako Sato lebih cepat dan tepat mengenai tangan Matsuyama yang memegang pistol. Takagi segera memborgolnya.
"Di mana Shiho?!" Shinichi mencengkram kerah kemeja Matsuyama.
"Dia akan mati tenggelam hahaha..."
Shinichi mencari di sekitar vila sekali lagi. Tapi di mana-mana tak ada tanda-tanda keberadaan Shiho. Inspektur Megure bersama tim kepolisian sudah tiba. Mereka berpencar dan mulai mencari Shiho di area hutan.
Tenggelam? Berarti Shiho ada di air... Shinichi terus berlari sambil sesekali melirik arlojinya. Di mana itu... Apakah ada danau atau sungai di sekitar sini... Atau mungkin di laut... Shinichi bergidik ngeri membayangkannya.
Kau Guardian Angelku. Kadang aku merasa, Otosan, Okasan dan Onee-Chan dari surga, mengirimmu padaku untuk melindungiku...
Shinichi teringat kata-kata Shiho tujuh tahun lalu.
Guardian Angel... Shinichi menatap langit seraya berdoa dalam hati, Akemi-San, Elena-San, Atsushi-San... Jika kalian benar mengirimku pada Shiho untuk menjadi Guardian Angelnya... Aku mohon berikan aku petunjuk agar bisa menyelamatkan Shiho dan tetap menjadi Guardian Angelnya...
Shiho terendam di sana, di sebuah sumur tua di sebuah bukit yang landai di hutan. Kakinya terikat di dasar, tangannya juga diikat dijadikan satu. Ia dibekali tabung oksigen yang isinya sedikit. Shiho tidak dapat memutuskan yang mana yang akan membuatnya mati lebih dulu. Oksigennya yang habis, atau mati kedinginan di sini. Tubuhnya masih telanjang, tidak mengenakan apapun. Air sumur yang dingin mengoyak-oyak seluruh sarafnya.
Tabung oksigennya habis, mata Shiho mulai kabur dan berkunang-kunang. Di antara perbatasan hidup dan mati itu, Shiho membayangkan suami dan putrinya.
Michi... Gomene... Okasan harus pergi... Batin Shiho.
Shinichi... Guardian Angelku... Gomene... Aku harus kembali kepada kegelapan... Shiho memejamkan matanya, pasrah menyambut maut.
Entah bagaimana, Shiho merasakan air beriak seperti ada hantaman dari atas. Ada sebuah lengan kuat merangkul pinggangnya. Seseorang menciumnya dan memberikan penyaluran udara. Shiho hanya mampu membuka mata sedikit dan melihat Guardian Angelnya telah datang. Cahaya kehidupannya.
"Tarik sekarang!" Sato memberi instruksi.
Tim kepolisian secara serempak langsung menarik tali seperti bermain tarik tambang. Tali itu terikat pada tubuh Shinichi, yang memeluk Shiho kuat-kuat pada saat proses pengangkatan mereka dari dalam sumur.
"Sedikit lagi! Tarik terus!" pinta Sato seraya melongok ke sumur.
Ketika Shinichi dan Shiho sudah sampai pinggir sumur, Sato membantu mereka naik dan buru-buru menutup tubuh Shiho dengan selimut tebal. Para polisi pria memalingkan wajah mereka.
"Uhuk!" Shiho terbatuk-batuk seraya memuntahkan air.
"Shiho!" Shinichi menepuk-nepuk punggungnya hingga Shiho berhenti muntah.
Shiho menggigil hebat karena kedinginan.
"Ya ampun Shiho..." Shinichi memeluknya erat-erat, meraih tengkuknya dan mengecupnya berulang kali, "Nyaris saja Shiho..." airmata mengalir dari ekor mata Shinichi, "Nyaris saja ..."
Sato menghela napas lega, "Yukata ne..."
Shinichi... Guardian Angelku... Shiho yang kelelahan dan kedinginan masih menampakkan senyum lembutnya di bahu Shinichi.
Shinichi memandang ke langit dan berterima kasih pada mendiang keluarga Shiho. Mereka masih dipersatukan.
.
.
.
.
.
Shiho segera dibawa helikopter ke rumah sakit, namun untungnya tidak ada luka yang fatal. Hanya sedikit hipotermia. Dalam beberapa hari saja, ia sudah diperbolehkan pulang. Kini di kamar, Shinichi terus memeluknya seakan takut kehilangan. Kepalanya bersandar ke dada Shiho yang telanjang seraya merajuk manja. Mereka baru saja selesai bercinta.
"Shinichi... Aku kan sudah tidak apa-apa..." kata Shiho lembut, seraya membelai-belai rambut Shinichi. Ia seperti sedang menghibur bocah kecil.
Mata Shinichi berkilauan karena air mata, "Sedikit lagi saja Shiho... Sedikit saja terlambat..." ia tak sanggup meneruskan kata-katanya. Shiho memberi sebuah kecupan di ubun-ubunnya.
"Tapi... Bagaimana akhirnya kau bisa menemukan aku di sana? Sumur itu cukup tersembunyi," tanya Shiho.
"Entahlah. Aku seperti mendengar ada orang yang memanggilku dari arah bukit. Aku tak ingat suaranya, seperti suara Inspektur Megure. Ketika aku mengucapkan terima kasih padanya di rumah sakit, ia bilang tidak melakukannya. Ia malah tahu kau di sana dari diriku. Lagipula kalau dipikir-pikir tak masuk akal juga kalau dia sampai lebih dulu di sana. Dia kan gendut,"
"Oh ya? Aneh juga. Pulau itu kan tidak ada penghuni lain,"
"Mungkin saja ayahmu,"
"Eh? Apa hubungannya dengan ayahku?"
Shinichi akhirnya mendongak untuk memandang istrinya, "Aku berdoa dan meminta pada seluruh mendiang keluargamu, untuk mengirimku kembali padamu. Mengutusku sebagai Guardian Angelmu..."
Mata Shiho bergetar ketika memandang mata Shinichi.
"Lalu aku mendengar panggilan itu dari arah bukit. Mereka sungguh-sungguh menuntunku padamu Shiho,"
"Eh," Shiho mengangguk terharu.
Shinichi mencium bibir Shiho seraya berbisik, "Aku mencintaimu Shiho,"
"Shinichi..." Shiho tak menyangka ucapan itu keluar dari bibir Shinichi.
"Aku benar-benar mencintaimu..." Shinichi kembali menguasai tubuh Shiho untuk mencumbunya lagi. Menghujaninya dengan kecupan, turun hingga berhenti di perutnya. Ia mencium perut itu agak lama, berulang kali, agar mahkluk mungil di dalam sana dapat merasakan cintanya juga. Calon bayi kedua mereka.
"Shiho..."
"Uhm?"
"Bisa kau cuti dua minggu lagi? Sebelum Elena Clinique beroperasi kembali?" pinta Shinichi penuh harap.
Setelah Matsuyama tertangkap dan terbukti dia lah dalang di balik pembunuhan tiga wanita pelanggan tetap Shiho. Elena Clinique akan dibuka kembali dan beroperasi normal.
"Memangnya kenapa?" tanya Shiho.
"Aku masih rindu padamu,"
Shiho terkekeh, menertawakan kemanjaan suaminya, "Hai... Hai... Sesuai keinginanmu saja Tantei-San..."
Shinichi naik lagi mengulum bibir Shiho seraya terus berulang kali berkata, "Aku mencintaimu Shiho... Aku mencintaimu..."
THE END
