You Are My World

By : pipi_tembam

Ia mencekik Haibara hanya dengan satu tangan kirinya, mengangkat tubuh mungilnya tinggi-tinggi ke udara seraya terkekeh kejam.

"Aku tak menyangka, rupanya sudah sampai sejauh ini penemuanmu. Jadi selama ini kau bersembunyi dengan tubuh kecilmu, Sherry," Gin menggeram.

"B-Bunuh aku... Gin..." ucap Haibara terbata.

"Kau tak perlu mengingatkannya!" Gin melempar tubuh Haibara menghantam dinding tanpa belas kasih. Kepala dan punggung Haibara menabrak tembok cukup keras.

Duar! Akai Shuichi masuk tepat pada waktunya dan menembak Gin dari belakang hingga menembus bahu bagian depan. Darah Gin merembes ke mana-mana.

Tim FBI, CIA dan Polisi Rahasia Jepang muncul mengepung. Gin, Vodka beserta komplotan lainnya tak berkutik. Mereka pasrah diborgol.

"Haibara!" Shinichi dengan tubuh dewasanya menghampiri Haibara yang tergeletak di lantai. Perlahan ia membaringkan Haibara di lengannya. Kepalanya berdarah cukup banyak. Shinichi tidak tega melihatnya.

"Haibara..." panggil Shinichi dengan mata berkaca-kaca sambil menangkup pipi Haibara.

Haibara hanya membuka mata sedikit saja. Ia dapat melihat Shinichi yang memandangnya begitu cemas. Haibara tak sanggup mempertahankan kesadarannya lebih lama. Dalam sekejap, ia menyerah pada kantuknya.

"Haibara!" Shinichi memeluknya.

Haibara segera dilarikan ke rumah sakit.

.

.

.

.

.

"Apa ini Hakase?" tanya Shinichi memandang surat yang diserahkan Profesor Agasa.

"Surat Ai-Kun. Ia menitipkannya padaku untuk diberikan padamu. Sepertinya ia sudah mengira hal ini akan terjadi," jawab Profesor Agasa.

Shinichi memandang Ran.

"Bukalah," pinta Ran.

Shinichi membuka surat itu dan membacanya.

Dear Kudo-Kun,

Meski kau telah berusaha menutupi semuanya dariku, tapi aku tahu ada sesuatu yang besar yang akan terjadi. Di dalam lubuk hatiku, aku mengerti, pada akhirnya aku harus menghadapi Gin seorang diri. Seperti yang sering kau bilang padaku, aku harus menerima takdirku.

Terima kasih karena kau telah melindungiku selama ini. Maaf, karena kesalahanku dan kedua orang tuaku, kau harus menanggung akibat dari APTX 4869. Namun karena sekarang aku telah menyempurnakan penawarnya dan kau telah kembali ke tubuh normalmu, aku anggap hutangku lunas. Apapun yang terjadi padaku nanti, aku tidak lagi menyimpan beban dan aku harap kau pun begitu.

Bila pada akhirnya aku tak sanggup bertahan hidup, jangan menyalahkan dirimu sendiri Kudo-Kun. Menjadi partnermu adalah masa-masa di mana aku benar-benar hidup dan aku sangat bahagia karenanya. Aku harap kau tetap melangkah ke depan dan bahagia bersama Ran-San.

Partnermu

Haibara Ai a.k.a Miyano Shiho

Shinichi meremuk surat itu seolah merefleksikan kehancuran hatinya.

"Shinichi..." Ran memandangnya prihatin.

"Haibara... Ia sepertinya memang tidak berencana untuk hidup..." gumam Shinichi pahit.

Profesor Agasa mengangguk, "Sepertinya begitu. Aku tak menemukan sisa penawar APTX. Yang kau telan adalah satu-satunya, Shinichi,"

"Baka... Bakane Haibara!" pekik Shinichi pedih.

"Apakah belum ada perkembangan mengenai kondisi Ai-Chan?" tanya Ran pada Profesor Agasa.

Profesor Agasa menggeleng muram, "Sejumlah operasi sudah dilakukan untuk menghentikan pendarahan di kepalanya. Namun sudah seminggu, belum ada tanda-tanda kemajuan,"

"Ai-Chan..." Ran menggumamkan namanya dengan sedih.

Mendadak HP Shinichi berdering. Shinichi segera menjawabnya, "Jodie Sensei?"

"Kudo-Kun. Bisa kau ke rumah sakit sekarang?"

"Ada apa? Apa terjadi sesuatu pada Haibara?" tanya Shinichi cemas.

"Sherry mulai sadar," Jodie Sensei memberitahu.

"Aku akan segera ke sana!"

Tanpa buang waktu lagi, Profesor Agasa, Shinichi dan Ran segera meluncur ke rumah sakit. Sampai di sana, Jodie, Akai, Masumi dan Mary sudah menunggu.

"Ran, Shinichi," Masumi memanggil mereka.

"Masumi," Ran memanggil balik.

"Bagaimana Haibara?" tanya Shinichi.

"Dokter sedang memeriksanya," jawab Masumi.

Shinichi dan Ran melongok ke kaca. Dari sana mereka bisa melihat tim medis sedang menangani Haibara. Tak lama kemudian dokter keluar untuk menemui mereka.

"Bagaimana kondisinya Dokter?" tanya Jodie Sensei.

"Ai-Chan sudah sadar, namun kondisinya masih lemah sekali. Masker oksigennya belum bisa dilepaskan. Kami masih harus memantau perkembangannya lebih jauh," jawab dokter.

"Apa kami boleh menemuinya?" tanya Shinichi penuh harap.

"Boleh, tapi satu orang saja. Jangan banyak-banyak," kata dokter.

Walau keluarga Sera adalah keluarga Haibara secara resmi, namun Shinichi lah yang paling dekat dengannya. Akhirnya mereka membiarkan Shinichi saja yang masuk untuk menemuinya.

Haibara membuka matanya seraya mengedip lemah ketika melihat Shinichi duduk di tepi pembaringannya.

Shinichi tersenyum seraya meraih tangan mungil Haibara, "Hai..." sapa Shinichi.

Haibara hanya mengerjap, tak sanggup berbicara.

"Semuanya baik-baik saja Haibara..." ucap Shinichi dengan mata bergetar, "Aku janji semuanya akan baik-baik saja..."

Haibara yang masih mengantuk, akhirnya tidur lagi.

Terdorong nalurinya, Shinichi mengecup keningnya.

"Coba katakan sesuatu Ai-Chan..." pinta dokter setelah seminggu kemudian, masker oksigen Haibara sudah bisa dilepas.

Haibara mengedip lemah, seraya berbisik, "Ai-Chan?"

Shinichi dan Ran saling bertukar pandang, begitu juga dengan keluarga Sera.

"Apa kau ingat sesuatu Ai-Chan?" tanya dokter.

"Ai-Chan... Apa aku Ai-Chan..."

Dokter tertegun, begitu juga dengan yang lainnya.

"Kau tak ingat namamu sendiri?" tanya dokter lagi.

Perlahan Haibara menggeleng, tampak bingung.

Shinichi akhirnya maju, "Haibara, apa kau ingat aku? Aku Shinichi. Kudo Shinichi..."

Haibara memandang Shinichi. Pria yang mengenggam tangannya dan membisikkan kata-kata menenangkan ketika dirinya baru sadar. Haibara tidak mengingatnya, tapi ia merasa pria ini familiar. Entah kenapa ia merasa nyaman melihatnya.

"Haibara..." Shinichi memanggil lagi.

Haibara menggeleng.

Shinichi terkesiap.

"Apa ada sesuatu yang kau ingat Ai-Chan?" tanya dokter.

Haibara berusaha mengingat-ingat. Namun kemudian ia mengeluh seraya menangis memegang kepalanya, "Sakit..."

"Tidak apa-apa Ai-Chan, tidak usah dipaksa," kata Dokter berusaha menenangkan.

"Sakit..." Haibara terus menangis.

Dokter menyuruh mereka semua keluar. Haibara akhirnya diberi obat penahan sakit yang membuatnya terlelap.

.

.

.

.

.

"Sherry amnesia dan diperkirakan bersifat permanen," Jodie memberitahu.

"Lalu bagaimana? Jika Shiho hilang ingatan, dia tidak bisa membuat penawarnya lagi. Ia akan mengulang siklus hidupnya sekali lagi dari anak-anak," kata Masumi.

Mary menghela napas, "Mungkin sudah seperti ini jalannya. Shiho telah banyak mengalami kepahitan. Bila ia memang harus mengulang siklus hidupnya lagi, kita harus membuatnya menjadi lebih baik,"

"Eh," Jodie mengangguk, "Dokter juga bilang ia akan memiliki sakit kepala kambuhan akibat benturan keras itu. Sebaiknya memang ia tidak dipaksa mengingat, Sherry juga tidak boleh tertekan. Aku sependapat dengan Mary-San. Biarkan Sherry mengawali hidup barunya dengan versi yang lebih bahagia,"

"Kalau begitu, dia tidak bisa menggunakan nama Miyano Shiho lagi," sela Akai Shuichi, "Kelak jika dia dewasa, dia bisa mengetahui kebenarannya dari internet,"

"Kita terlanjur memanggilnya dengan Haibara Ai," lanjut Jodie, "Kami akan mengatur agar nama Haibara Ai terdaftar resmi,"

Mary mengangguk, "Karena hanya dia peninggalan Elena, aku akan merawatnya. Kami akan membawanya kembali ke Inggris,"

"Sebaiknya kita juga harus sepakat untuk mengarang latar belakanganya," tambah Jodie.

"Eh," Marry setuju.

"Shinichi? Kenapa kau diam saja?" tanya Masumi.

Shinichi hanya menunduk murung selama pembicaraan itu. Lalu tanpa kata, ia berlalu pergi. Ia memiliki deritanya sendiri, derita kehilangan partnernya. Ia merindukan Putri Setan Mengantuknya.

Tanpa sadar, kakinya melangkah ke kamar perawatan Haibara dan menemukan para suster yang mengeluh. Mereka tampak kesulitan.

"Ada apa?" tanya Shinichi pada mereka.

"Anooo... Ai-Chan sama sekali tidak mau makan..." kata suster.

Shinichi melongok dari kaca. Ia melihat Haibara duduk di ranjang tampak muram dan hanya memeluk sebuah boneka lumba-lumba pemberian Ayumi. Profesor Agasa dan Detektif Cilik sudah menjenguknya, tapi Haibara tidak mengingat mereka semua.

"Biar aku coba membujuknya," kata Shinichi kemudian memasuki kamar.

Haibara mendongak ketika Shinichi masuk dan duduk di ranjang.

Shinichi tersenyum ketika berkata, "Kata suster ada yang tidak mau makan,"

Haibara memeluk lumba-lumbanya semakin erat. Ia jadi terlihat seperti anak usia 7 tahun sungguhan.

"Kenapa tidak mau makan?" tanya Shinichi.

"Pahit..." sahut Haibara polos.

"Ai-Chan masih belum sembuh, tentu saja rasanya pahit,"

Haibara masih merengut.

"Nii-Chan suapi mau?" Shinichi menawarkan diri.

Haibara hanya diam, tampak malu.

"Supaya tidak pahit," Shinichi mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi permen kenyal warna-warni bertaburan gula.

Mata Haibara membesar penuh minat ketika melihat kotak dan permen cantik itu. Shinichi menyadarinya, Haibara benar-benar kembali ke masa kecilnya.

"Kau mau?" tanya Shinichi.

"Uhm," Haibara mengangguk.

"Tapi satu saja ya dan setelah itu kau harus makan,"

"Uhm," Haibara mengangguk lagi.

Shinichi menaruh telunjuk di bibirnya, "Dan jangan bilang-bilang suster. Ini rahasia kita berdua, oke?"

"Oke," sahut Haibara.

Shinichi menyuapi satu permen kepada Haibara.

Haibara akhirnya tersenyum karenanya.

"Kau suka?"

"Uhm," Haibara mengangguk dan akhirnya mau disuapi Shinichi.

"Setelah kau sembuh nanti, kita jalan-jalan oke?"

"Ke mana?" tanya Haibara.

"Ke mana saja Ai mau,"

"Benar?"

"Benar. Kita jalan-jalan sambil cari makan enak. Ai mau makan apa?"

"Anooo... Okonomiyaki,"

Shinichi mengerjap sesaat sebelum tersenyum lagi. Teringat Haibara memang suka okonomiyaki, "Boleh. Kalau okonomiyaki yang enak, adanya di Osaka,"

"Mama! Lihat itu!" Masumi menunjuk dari luar.

Masumi, Mary, Jodie dan Akai baru saja sampai depan kamar Haibara. Mereka terbengong-bengong melihat Haibara yang jadi ceria karena Shinichi.

"Padahal beberapa saat lalu dia masih murung," gumam Masumi.

"Apa Sherlock Holmes bagus?" tanya Haibara.

"Tentu saja!" sahut Shinichi.

"Ai mau baca kalau begitu,"

"Boleh, nii-chan punya banyak koleksinya di rumah,"

Akai Shuichi tersenyum melihat mereka bercengkrama, "Sekali partner tetap saja partner,"

.

.

.

.

.

"Gawat! Aku tidak bisa menemukan Shiho di mana-mana!" kata Masumi.

Hari itu Haibara sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Mary dan Masumi sudah siap memboyongnya ke bandara untuk terbang ke Inggris. Namun Haibara ternyata tidak ada di kamarnya.

"Ayo kita cari!" kata Jodie Sensei.

Mereka semua akhirnya mencari ke seluruh penjuru rumah sakit. Akai, Jodie, Masumi, Mary, Shinichi, Ran, Yusaku, Yukiko, Profesor Agasa dan Detektif Cilik. Mereka semua datang ke rumah sakit bermaksud untuk melepas kepergian Haibara. Tapi sekarang malah diajak bermain kucing-kucingan.

Tak berapa lama kemudian, akhirnya mereka menemukan Haibara di teras atas rumah sakit. Anak itu sedang duduk bersembunyi di pojokan toren sambil memeluk boneka lumba-lumbanya.

"Ai-Chan..." Masumi berusaha membujuknya, "Ayo kita pulang,"

Haibara menggeleng, "Tidak mau,"

"Eh? Kenapa?" tanya Masumi.

"Aku tidak kenal kalian,"

"Aku kakak sepupumu dan Mary bibimu,"

"Pokoknya tidak mau!" seru Haibara dengan suara bergetar menahan tangis.

"Biar aku coba," kata Shinichi seraya menepuk pundak Masumi.

"Eh," Masumi mengangguk mempersilakan.

Shinichi berlutut beberapa meter di hadapan Haibara, "Ai-Chan... Ayo..." ajaknya.

Haibara membuang muka.

Shinichi mengerjap, "Kau sepertinya marah... kenapa?"

"Nii-Chan bohong!" isak Haibara.

"Nani?"

"Nii-Chan bilang akan mengajakku ke Osaka untuk makan Okonomiyaki..."

Shinichi tertegun.

"Nii-Chan bilang mau bacakan Sherlock Holmes untukku..."

Shinichi tampak sedih.

"Nanti siapa yang akan kasih Ai permen lagi..."

"Ai-Chan..."

"Ai tidak mau ke Inggris," Haibara sesenggukan.

Mereka semua tertegun, Ran juga tak sanggup membendung airmatanya.

"Tidak bisakah...Ai ikut Nii-Chan saja... Ai janji tidak akan nakal... Ai janji tidak akan susah makan..." Haibara sesenggukan semakin hebat.

Mata Shinichi bergetar membendung airmata. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia juga tidak ingin Haibara pergi ke Inggris. Sejak dulu ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk melindungi Haibara sampai akhir. Ia sudah terbiasa menjalankan janji itu.

"Eh," kata Shinichi dengan tenggorokan tercekat, "Ai boleh ikut nii-chan..."

"Benar?"

"Ya,"

"Nii-Chan tidak bohong?"

"Tentu saja tidak. Nanti kita akan baca Sherlock Holmes dan makan okonomiyaki bersama-sama, oke?"

"Selamanya?"

Shinichi tersenyum, "Selamanya," ujarnya seraya mengulurkan tangannya.

Lambat-lambat Haibara bangun dan menyambut uluran tangan itu.

"Jangan nangis lagi, nanti kau tidak imut," kata Shinichi seraya menghapus airmata di wajah Haibara.

"Ai tidak mau ke Inggris..." Haibara melingkarkan lengan mungilnya ke leher Shinichi.

"Iya iya... kita pulang ke Beika ya..." Shinichi memeluknya seraya menepuk-nepuk pelan punggungnya, "kita pulang bersama... Nii-Chan tidak akan pernah meninggalkanmu Ai-Chan... Tidak akan pernah..." ia mengucapkan hal itu lebih untuk dirinya sendiri.

Semua yang melihat adegan itu berlinangan airmata.

Shinichi akhirnya menggendong Haibara dan membawanya pergi.

"Mary-San," Yukiko beralih pada Mary.

"Gomene Yukiko-San..."

"Tidak apa-apa. Biarkan Ai-Chan tinggal bersama kami. Kami akan mengadopsinya menjadi putri kami," kata Yukiko.

"Maaf merepotkanmu Yukiko-San,"

Yukiko menggeleng, "Sama sekali tidak. Selama ini aku sudah menganggap Ai-Chan putriku sendiri. Lagipula kau lihat sendiri, dia begitu terikat pada Shinichi,"

"Benar," Yusaku menimpali, "Lagipula tetap berada di sini juga lebih bagus untuknya. Bersama teman-teman yang menyayanginya," ia memandang para Detektif Cilik.

Mary menangguk, "Baiklah kalau begitu. Demi kebaikan Shiho,"

"Tenang saja Mary-San. Kami akan menjaganya baik-baik," janji Yukiko.

Haibara terpaku di depan gerbang SD Teitan. Hari ini, untuk pertama kalinya ia kembali ke sekolah. Ia merasa sedikit gugup karena ia tidak ingat dengan para guru dan teman-temannya. Ia merasa sendirian.

"Kenapa Ai?" tanya Shinichi seraya berjongkok menatapnya.

"Anoo..." Haibara merasa tak sanggup berkata-kata.

Namun Shinichi mengerti, ia meraih tangan Ai dan meletakkan sebuah lencana detektif di telapak tangan mungilnya. Lencana yang lama sudah hancur, Profesor Agasa membuatkan yang baru lagi untuknya.

"Lencana detektif?" Ai melihat lencana itu.

"Dengan begitu kita akan selalu terhubung. Selama Ai membawa itu, nii-chan akan selalu tahu di manapun Ai berada,"

"Benarkah?"

"Eh," Shinichi mengangguk kemudian mengusap kepalanya, "Jangan takut, teman-teman dan guru semuanya baik. Kalau Ai perlu sesuatu, katakan saja pada mereka. Oke?"

"Uhm," Ai mengangguk.

"Ai-Chan!" Ayumi memanggil seraya melambai menghampiri. Di belakangnya ada Genta dan Mitsuhiko mengikuti.

"Konichiwa Shinichi nii-chan," sapa Mitsuhiko.

"Konichiwa," Shinichi menyapa balik.

"Akhirnya kau masuk sekolah lagi Ai-Chan," kata Ayumi senang.

"E-Eh..." Haibara mengangguk.

"Kalian tolong bantu Ai ya, dia masih bingung," pinta Shinichi.

"Uhm, pasti," Ayumi mengangguk bersemangat.

"Nii-chan akan jemput lagi pulang sekolah nanti," Shinichi memberitahu Haibara.

"Uhm," Haibara mengangguk lagi.

"Ayo Ai-Chan," ajak Ayumi seraya menggandeng tangannya.

Shinichi memandang anak-anak itu hingga masuk ke gedung sekolah. Ia cukup resah karena Haibara Ai harus mengulang hidupnya dari awal dengan ingatan yang hilang. Shinichi tak tahu apakah kehilangan jati dirinya juga membuat kemampuan intelektualnya hilang. Ia harus terus memantau perkembangannya. Ia akan berusaha semaksimal mungkin agar Haibara dapat hidup normal lagi.

.

.

.

.

.

"Hadeeeh Shinichi pasti telat lagi!" gerutu Sonoko seraya bolak-balik melirik arlojinya.

Hari itu Sonoko-Makoto dan Shinichi-Ran janjian double date.

"Sabar sedikit Sonoko," pinta Ran.

"Itu dia!" Makoto menunjuk.

Shinichi muncul seraya menggandeng Haibara.

"Heeeh... kenapa anak itu ikut juga?" gumam Sonoko seraya mengangkat sebelah alisnya.

"Maaf telat," kata Shinichi pada mereka semua.

"Tidak apa-apa," kata Ran lalu menunduk menghadap Haibara, "Ai-Chan ternyata ikut juga?" tanyanya.

Haibara langsung bersembunyi di belakang Shinichi.

"Otosan dan Okasan sedang ada meeting di perusahaan penerbit. Aku tak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah. Tidak apa-apa kan?" tanya Shinichi.

"Tidak apa-apa kok. Ayo Ai-Chan, kita jalan-jalan," ajak Ran seraya mengulurkan tangannya.

Haibara semakin merengut di belakang Shinichi, tangan mungilnya mencengkram celana Shinichi kuat-kuat.

"Maaf Ran, Ai masih takut-takut. Beri dia waktu untuk beradaptasi," ucap Shinichi tak enak hati.

"Tidak apa-apa. Aku mengerti," ujar Ran tetap tersenyum.

"Ayo Ai," Shinichi menggandeng lengannya.

Haibara pun menurut jika digandeng Shinichi.

Hari itu mereka jalan-jalan ke bazar yang baru buka. Ran dan Sonoko yang paling antusias melihat barang-barang wanita yang lucu-lucu. Shinichi dan Makoto hanya mengikuti saja. Haibara sendiri tidak berminat dengan bazar itu, ia terus-menerus menempel pada Shinichi. Ia masih merasa tidak nyaman di antara keramaian.

"Oi Ran," kata Sonoko sewaktu mencuci tangan di wastafel kamar mandi.

"Nani?" sahut Ran yang mencuci tangan di sebelahnya.

"Ngomong-ngomong mau sampai kapan Shinichi jadi pengasuh anak itu?" tanya Sonoko.

Mereka berdua tidak menyadari, Haibara ada di bilik paling pojok.

"Duh kenapa kau bertanya begitu? Kau tidak kasihan padanya? Dia masih terlihat ketakutan," kata Ran.

Sonoko mendengus, "Dia kan sebenarnya penyihir. Hanya karena amnesia di tubuh itu, dia jadi terlihat menyedihkan,"

"Sonoko!"

"Ck Ran! Kau terlalu baik hati. Walaupun dia kecil dan amnesia, tapi aku yakin jiwa iblisnya tidak hilang. Dia akan terus menyusahkan Shinichi. Anak nakal itu jika selalu menempel Shinichi sampai dewasa, bagaimana jadinya nanti? Sungguh merepotkan!"

"Sudahlah Sonoko! Kita lihat saja perkembangannya nanti," ujar Ran menyudahi pembicaraan seraya keluar dari toilet.

Sonoko menyusulnya, "Yang penting sudah kuingatkan,"

Setelah mereka keluar dari toilet, Haibara pun keluar dari bilik toilet. Ia hanya memandang murung pintu toilet di mana Ran dan Sonoko keluar tadi.

Penyihir itu apa? Iblis itu apa? Apa aku anak nakal? Haibara membatin sedih. Kemudian ia mengeluarkan lencana detektif pemberian Shinichi. Ia meletakkannya di wastafel, sengaja meninggalkannya di sana sebelum berlalu pergi.

"Ran, Sonoko. Ai mana?" tanya Shinichi ketika melihat dua wanita itu datang dari toilet.

Ran mengerjap, "Lho? Kan dia bersamamu,"

"Tadi dia minta ijin menyusul toilet, aku kira bertemu kalian,"

"Tidak kok! Tapi coba aku cari lagi di toilet," Ran akhirnya balik lagi ke toilet wanita.

"Aku ikut," Sonoko menyusul.

"Ai-Chan!" Ran memanggil, namun toilet kosong. Kemudian ia tertegun memandang wastafel. Ada lencana detektif tertinggal di sana.

"Itu lencana detektif kan?" Sonoko memandang benda di tangan Ran tersebut.

"Berarti dia tadi ada di sini sewaktu kita mencuci tangan,"

"Matilah! Ran! Jangan-jangan dia dengar pembicaraan kita," Sonoko bergidik.

"Sudahlah! Kita beritahu Shinichi dulu!" Ran berlari lagi pada Shinichi untuk memberitahu hilangnya Haibara. Lencana detektifnya juga sengaja ditinggal, sehingga Shinichi tidak mampu melacaknya dengan kacamata pelacak.

"Ck! Baka!" Shinichi tampak geram, "Ran kau ke bagian informasi untuk melaporkan anak hilang! Aku akan mencarinya!"

"Eh!" sahut Ran, "Ayo Sonoko!"

Mereka berempat mencari ke seluruh area bazar. Siang berganti sore dan sore berganti malam, Haibara belum juga ditemukan. Shinichi mulai panik, belum lagi hujan turun dengan derasnya. Shinichi tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Haibara.

"Shinichi!" panggil Ran.

"Nani?" Shinichi menoleh padanya.

Ran menunjuk ke seberang jalan.

Shinichi melihat arah yang ditunjuknya. Ia menemukannya. Haibara sedang duduk meringkuk di dalam box telepon umum.

"Biar aku bicara padanya," gumam Shinichi seraya menyebrang jalan.

Shinichi membuka pintu kaca telpon umum yang berembun secara perlahan agar tidak mengagetkan Haibara. Ketika ia melakukannya, gadis itu mengangkat kepalanya. Tubuhnya basah kuyup karena air hujan. Wajahnya basah karena air mata. Ia menggigil dan gemetar karena kedinginan dan menangis.

"Ai-Chan..." panggil Shinichi lembut seraya berjongkok di hadapannya, "Kau ke mana saja? Nii-Chan dari tadi mencarimu..."

Haibara semakin menciut di pojok.

"Ai kenapa? Mau cerita sama nii-chan?"

"Nii-Chan..." isak Haibara.

"Nani?"

"Penyihir itu apa? Iblis itu apa?"

Shinichi mengerjap, "Eh? Ai bicara apa? Nii-chan tidak mengerti,"

"S-Sonoko nee-chan... bilang Ai penyihir dan iblis... Apa Ai memang anak nakal? Apa Ai menyusahkan nii-chan?"

Dasar Sonoko! "Ai tidak nakal kok, Ai juga tidak pernah buat susah nii-chan. Sonoko nee-chan cuma asal bicara. Tidak usah dihiraukan,"

"Apa salah kalau Ai mau sama-sama nii-chan? Apa tidak boleh?"

"Tentu saja boleh, kan nii-chan sudah janji kita akan sama-sama selamanya,"

"Benar ya?"

"Eh," Shinichi mengangguk, "Sekarang ayo kita pulang," ajaknya seraya mengulurkan tangannya.

Haibara akhirnya berdiri untuk menyambut uluran tangan Shinichi. Namun sebelum sampai, tubuhnya terhuyung tidak sadarkan diri. Shinichi menangkapnya tepat waktu.

"Ai!" Shinichi menyentuh keningnya, panas. Haibara terserang demam. Tanpa buang waktu Shinichi segera membawanya ke rumah sakit.

"Hanya demam biasa, tidak parah," kata Araide Sensei, "Ai-Chan boleh pulang malam ini juga, tidak perlu opname. Dirawat di rumah saja. Tapi tolong usahakan dia tidak tertekan. Amnesia di usia tujuh tahun, pasti dia bingung bukan main dan juga selalu ketakutan. Dukungan dan kasih sayang keluarga saat ini sangat penting baginya," jelas Araide Sensei.

Shinichi mengangguk, "Terima kasih Sensei,"

Araide Sensei berlalu kembali ke ruangannya.

Shinichi melongok dari kaca, Haibara sudah tidur pulas. Plester kompres ditempel di keningnya. Baju basahnya sudah diganti baju rumah sakit yang kering.

"Bagaimana Shinichi?" tanya Ran yang baru datang menyusul bersama Sonoko.

"Tidak apa-apa. Hanya demam biasa, aku bisa membawanya pulang malam ini juga," jawab Shinichi.

Ran mendesah lega, "Yukata ne,"

Shinichi menghadapi Sonoko, "Aku minta kau jaga ucapanmu Sonoko,"

Sonoko terkesiap, merasa bersalah.

"Haibara yang dulu mungkin berlidah tajam dan tidak akan peduli pada omongan orang terhadapnya. Tapi kau lihat dia sekarang hanya anak 7 tahun yang sangat sensitive. Dia sudah kehilangan segalanya termasuk dirinya sendiri. Apa yang kau harapkan?"

"Aku tahu aku salah. Aku minta maaf," gumam Sonoko penuh sesal.

"Dia juga seperti ini karena salahku. Seandainya aku datang lebih cepat ke markas itu, ia tidak akan terluka oleh Gin," Shinichi mengepalkan kedua tangannya.

"Jangan menyalahkan dirimu Shinichi..." pinta Ran.

"Aku tak akan pernah bisa memaafkannya, Gin membantingnya seperti sampah," air mata mengalir melalui ekor mata Shinichi, "Dia berdarah begitu banyak, saat aku membawanya pergi,"

"Shinichi..." Ran juga tampak berkaca-kaca.

"Karena itu, apapun yang terjadi aku akan melindunginya. Aku takkan biarkan siapapun menyakitinya lagi. Itu janjiku kepada Haibara sebelum maupun setelah dia hilang ingatan dan aku akan menepatinya. Aku akan memastikan dengan mata kepalaku sendiri, dia mampu hidup normal,"

Setelah berkata begitu, Shinichi masuk ke dalam kamar perawatan. Seorang perawat memakaikan sweter hangat dan kering kepada Haibara sebelum Shinichi menggendongnya dan membawanya pulang. Haibara tidur begitu pulas dan tidak terbangun selama perjalanan hingga dibaringkan di tempat tidurnya di rumah.

Semalaman Shinichi menunggui Haibara di tempat tidur. Selama itu pula, pikiran-pikirannya melayang ke masa lalu. Masa-masa di mana Haibara masih normal. Mereka merupakan partner yang sangat kompak. Tempat Shinichi bisa mendiskusikan masalah-masalah kasusnya.

Takuu... Kalau kau memujiku pasti karena ada maunya!

Duh! Statusku sebagai partner sepertinya sudah turun menjadi pembantu!

Shinichi menatap wajah Haibara yang pulas. Matanya berkilauan karena air mata yang terbendung. Ada sorot mata terluka dan kehilangan di sana.

Haibara... Aku merindukan tsunderemu...

Shinichi tertidur di lantai dengan kepala bersandar di tepi ranjang. Ia baru bangun keesokan paginya setelah matahari mengintip melalui celah gorden.

"Kau sudah bangun Ai?" tanya Shinichi ketika memeriksa kondisinya.

"Nii-Chan..." panggil Haibara lemah.

Shinichi menyentuh keningnya, panasnya sudah turun, "Kau mau sesuatu?"

"Permen..."

Mata Shinichi menyipit, "Satu saja ya..."

"Uhm," Haibara mengangguk.

Shinichi mengeluarkan kotak permennya, mengambil satu dan menyuapkannya ke mulut Haibara. Sekarang ia sudah terbiasa membawa-bawa kotak permen itu untuk menyenangkan hati Haibara.

"Enak?"

"Uhm," Haibara tersenyum.

Tak lama kemudian Yukiko masuk seraya membawa nampan yang di atasnya terdapat bubur hangat mengepul.

"Okasan," Shinichi memanggilnya.

"Okasan sudah menelpon sekolah Ai-Chan untuk minta ijin tidak masuk," kata Yukiko seraya meletakkan nampan di sebelah tempat tidur, "Sebaiknya kau bersiap untuk sekolah Shin-Chan. Biar Okasan yang merawat Ai-Chan,"

"Eh," Shinichi mengangguk, "Ai-Chan sama okasan ya?"

"Uhm," Haibara mengangguk.

Shinichi akhirnya keluar dari kamar.

"Ayo Ai-Chan Sayang, makan dulu ya," Yukiko membantu Haibara duduk. Lalu perlahan-lahan meniupi dan menyuapi bubur untuk putri angkatnya.

Haibara patuh, mau disuapi.

"Enak?"

"Uhm," Haibara mengangguk.

"Harus habis ya,"

"Hai,"

"Duh manisnya!" Yukiko mengusap-usap kepala Haibara.

Haibara terkekeh.

Mereka tertawa bersama.

Yukiko merupakan orang kedua setelah Shinichi yang mampu membuat Haibara nyaman.

.

.

.

.

.

"Kami benar-benar minta maaf Yukiko-San. Tapi kami tak sanggup lagi mengajar Ai-Chan. Perkembangannya terlalu cepat. Mungkin sebaiknya dia diberikan homeschooling karena kalau ikut kelas akselerasi di SMA, tidak baik untuk psikologisnya, sebab dia masih berusia 8 tahun," kata Kobayashi Sensei suatu hari.

Akhirnya Yukiko pulang seraya menggandeng Haibara. SD Teitan tak sanggup mengajar Haibara lagi, karena perkembangan intelektualnya terlalu cepat. Bahkan beberapa guru merasa terintimidasi oleh kepandaiannya. Banyak pertanyaan kritis Haibara tidak sanggup dijawab oleh para guru. Entah kenapa para guru merasa, sejak kecelakaan dan amnesia, Haibara malah berubah menjadi anak genius.

"Tadaima," kata Yukiko begitu sampai di rumah.

"Sudah pulang rupanya," sambut Yusaku yang duduk di ruang tamu bersama Shinichi.

"Eh," Yukiko mengangguk seraya duduk di sisi suaminya, sementara Haibara di sisi Shinichi.

"Apa kata Kobayashi Sensei?" tanya Yusaku.

"Mereka menyerah. Mereka tak sanggup mengajar Ai-Chan lagi karena Ai-Chan terlalu pintar. Mereka menyarankan homeschooling alih-alih akselerasi, karena tidak bagus bagi perkembangan Ai-Chan kalau satu kelas dengan anak-anak SMA," jelas Yukiko.

"Okasan..." panggil Haibara dengan ekspresi wajah muram.

"Nani?" Yukiko menatapnya.

"Apa Ai salah? Apa Ai anak aneh? Sehingga sekolah mengeluarkan Ai?" tanya Haibara.

"Tentu saja tidak!" sahut Yukiko cepat, "Ai-Chan genius, anak pintar bukan anak aneh, karena itu mereka tidak sanggup mengajar Ai-Chan lagi,"

"Benar," sahut Yusaku, "Ai-Chan anak spesial, sehingga harus diajar oleh orang yang lebih pintar lagi. Kami akan mencarikan guru homeschooling terbaik untukmu, sepertinya harus yang sudah bergelar professor,"

"Seperti Profesor Agasa?" tanya Haibara.

Shinichi terkekeh geli, "Tidak tidak, professor yang lebih canggih seperti Einstein,"

"Oh begitu,"

"Sebaiknya kau ganti baju dulu Ai-Chan, nanti kita akan makan siang bersama," pinta Yukiko.

"Hai," Haibara pun berlalu dari ruang tamu dan pergi ke kamarnya.

Yusaku, Yukiko dan Shinichi menunggu hingga Haibara naik ke atas dan menutup pintu kamarnya baru lanjut bicara lagi.

"Sudah kuduga," gumam Shinichi, "Kehilangan ingatan tidak membuatnya kehilangan kemampuannya,"

"Eh," Yusaku mengangguk, "Kalau dulu seperti halnya Shinichi yang mengecil, dia bisa mengendalikan diri. Masalahnya sekarang dia amnesia, terjebak di tubuh 8 tahun dengan kecerdasan 18 tahun. Ia tidak bisa lagi mengendalikan dirinya. Pengetahuannya melimpah,"

Yukiko mendesah, "Kasihan Ai-Chan,"

"Mau tidak mau kita harus mencarikan professor untuk menjadi guru homeschoolingnya," ujar Yusaku bijak, "Tapi siap-siap saja, Ai-Chan nantinya malah menjadi dua kali lipat lebih genius dari sebelumnya, karena simpanan lama memorinya dan juga pengetahuan barunya,"

"Tapi aku khawatir," gumam Yukiko, "Jika kecerdasannya tidak diikuti perkembangan mentalnya, dia bisa depresi,"

Yusaku menggenggam tangan istrinya, "Karena itulah kita harus terus mendampinginya,"

Yukiko menatap suaminya seraya mengangguk, "Eh,"

Haibara Ai akhirnya mengikuti homeschooling. Berkat bantuan Mary Sera, mereka menemukan rekan sejawat Atsushi dan Elena yang merupakan professor hebat untuk mengajar Haibara, Profesor Emoto. Lima kali seminggu, Profesor Emoto datang ke rumah keluarga Kudo. Dia juga senang mengajar Haibara, karena Haibara tanggap dengan cepat, perkembangannya juga sangat pesat. Haibara mungkin muridnya yang paling terfavorit dibandingkan murid-murid Profesor Emoto lainnya. Di usia 10 tahun, Haibara telah sanggup menjadi partner diskusi Shinichi kembali.

Shinichi mengambil kuliah jurusan kriminal di Universitas Tokyo untuk mendukungnya menjadi detektif profesional. Ia juga satu jurusan dengan Masumi Sera. Ran mengambil jurusan psikologi anak sementara Sonoko jurusan bisnis. Setiap akhir pekan, mereka keluar jalan-jalan bersama untuk refreshing. Haibara sesekali saja ikut, walau ia tidak penakut lagi dan lebih terbuka tapi ia lebih suka menyendiri di rumah, tenggelam bersama buku-buku pengetahuannya.

"Ini data yang kau minta nii-chan," kata Haibara seraya menyerahkan sebuah USB kepada Shinichi.

Wajah Shinichi tampak cerah, "Arigatou neee... Ai-Chan,"

Haibara tersenyum sebelum kembali tenggelam bersama buku-bukunya.

"Tapi kau serius tidak mau ikut keluar? Lagi ada festival lho,"

Haibara menggeleng, "Aku di rumah saja,"

"Sonoko nee-chan sudah menyesali perbuatannya, lagipula hal itu sudah lama berlalu. Kau masih memikirkannya?"

"Tidak juga. Aku dapat banyak tugas dari Profesor Emoto,"

Shinichi melirik bagan-bagan anatomi tubuh manusia yang berserakan di meja, "Tugas apa? Kok semuanya anatomi?"

"Hanya makalah mengenai tubuh manusia,"

Mata Shinichi menyipit, "Sepertinya itu terlalu berat untuk anak 10 tahun,"

"Tidak juga. Ai sedang mempersiapkan diri supaya bisa kuliah kedokteran 3 tahun lagi. Profesor Emoto juga sangat mendukung,"

Shinichi terbelalak, "13 tahun? Kedokteran?!" tapi kemudian ia berpikir, dulu Haibara juga sudah menjadi ilmuwan organisasi di usia 13 tahun, jadi tidak mengherankan seharusnya.

"Eh," Haibara mengangguk.

"Memang kau mau jadi apa?"

"Dokter forensik,"

Shinichi mengerjap, "Kenapa dokter forensik?"

Haibara tersenyum cerah memandang Shinichi, "Agar aku bisa membantu nii-chan. Jadi kita bisa bersama-sama terus,"

Shinichi ikut tersenyum seraya menepuk lunak kepalanya, "Bagus sekali! Kita pasti akan menjadi partner yang hebat!"

"Uhm," Haibara mengangguk.

"Tapi jangan terlalu memaksa diri Ai-Chan. Kau juga harus bersenang-senang sesekali,"

"Aku tahu,"

"Baiklah, nii-chan pergi dulu. Kau mau dibawakan apa?"

"Okonomiyaki boleh,"

Shinichi nyengir, "Sudah kuduga,"

Seluruh teman Shinichi tahu betapa Shinichi sangat menyayangi dan melindungi Haibara Ai, yang mereka anggap sebagai adik angkat Shinichi. Bahkan julukan 'sister complex' sekarang lebih melekat padanya daripada 'magnet mayat'. Kalau sudah mendengar Haibara sakit, ia akan langsung buru-buru pulang. Ke mana pun dirinya pergi bersama teman-teman, ia akan selalu membeli oleh-oleh untuk Haibara. Shinichi juga membawanya untuk menemaninya di hampir semua kasus yang ditanganinya, karena Haibara mampu menjadi partner diskusi yang selevel dengannya. Masa lalu seakan terulang kembali. Perlahan-lahan Shinichi menjadi bergantung pada Haibara karena begitu mengandalkan kemampuannya.

"Makan dulu ya Ai," bujuk Shinichi.

Satu tahun sebelum masuk kuliah kedokteran, Haibara terserang tifus dan harus diopname di rumah sakit. Terlalu banyak belajar dan beban pekerjaan investigasi yang harus dilakukan untuk membantu Shinichi, telah membuatnya kewalahan. Shinichi jadi semakin merasa bersalah.

"Tidak mau," sahut Haibara lesu.

Shinichi akhirnya menggunakan cara lama seperti biasa, menyuapi sebuah permen ke mulutnya. Haibara tersenyum.

"Sekarang mau makan?" tanya Shinichi.

"Uhm," Haibara mengangguk.

"Takuuu... Masih saja seperti anak kecil selalu mau permen..."

Haibara terkekeh menggemaskan.

Setahun setelah itu, di usia 13 tahun. Haibara resmi menjadi mahasiswi kedokteran.

.

.

.

.

.

2 tahun kemudian (Haibara 15 tahun)

"Kudo-San, saya kira Anda akan langsung pulang ke rumah," kata Emi, sekretaris Shinichi.

Setelah lulus dari universitas, Shinichi membuka kantor agensi detektifnya. Masumi Sera juga bekerja menjadi salah satu detektifnya. Dalam beberapa tahun saja, agensinya berkembang pesat menerima banyak kasus baik dari dalam maupun luar negeri. Shinichi telah merekrut beberapa tambahan detektif hebat. Ia juga mempekerjakan seorang sekretaris untuk mengatur jadwal kerjanya.

"Ada beberapa surat yang harus kuperiksa," kata Shinichi yang pagi itu baru saja tiba dari bandara setelah perjalanan dinasnya ke Singapura.

"Anda ingin dibuatkan sesuatu?" tawar Emi.

"Kopi boleh, seperti biasa,"

"Hai," Emi beranjak ke dapur.

Shinichi memasuki ruang kerjanya. Ia menghempaskan tas kerjanya asal saja ke sofa dan membuka mantel luarnya seraya menggantungnya di tiang. Kemudian ia diam tertegun, merasakan kehadiran seseorang di sana.

Shinichi mendesah seraya berkacak pinggang, "Ai-Chan, keluar kau,"

Haibara muncul tiba-tiba seraya melompat ke punggung Shinichi sambil tertawa-tawa.

"Aduh!" keluh Shinichi, "Kau itu sudah besar! Berat tahu!"

"Bodo amat!" Haibara masih terus merangkul leher Shinichi dari belakang.

"Bisa mati aku Ai! Awas kau!" Shinichi memiringkan tubuhnya agar tubuh Haibara merosot lalu ia balas dendam dengan sengaja menggelitiki Haibara. Mereka terjatuh di sofa bersama sambil terus bergulat.

"Geli nii-chan! Hentikan!" Haibara tergelak sambil menggeliat-geliat.

"Ini hukuman untukmu!" gerutu Shinichi.

Mereka tertawa bersama.

Emi yang mendadak masuk sambil membawa kopi tertegun, "Anoo Kudo-San? Apa aku mengganggu?"

Shinichi dan Haibara akhirnya berhenti.

"Tidak, taruh saja kopinya di meja," pinta Shinichi.

"Hai..." Emi buru-buru menaruh kopinya di meja kerja Shinichi dan keluar seraya bergumam dalam hati, Dasar sister complex!

"Bagaimana nii-chan tahu aku di sini? Padahal aku sudah bersembunyi dengan baik," tanya Haibara.

"Parfummu. Kau sendiri bagaimana bisa tahu nii-chan ke sini?"

Haibara menunjukkan kacamata pelacaknya, "Aku melihatmu berbelok ke kantor alih-alih pulang ke rumah,"

"Takuuu..."

"Lagipula kau sudah dua minggu di Singapura, kenapa tidak langsung pulang?"

Shinichi akhirnya berdiri dan menghampiri mejanya, "Ada beberapa surat yang harus kuperiksa. Emi bilang ada surat kaleng misterius," ia pun meraih salah satu surat di meja yang tidak mencantumkan nama pengirimnya.

"Oh ya?" Haibara ikut melongok dari punggung Shinichi.

Shinichi membuka surat itu dan menemukan isinya hanya berupa aljabar angka-angka. Namun melihat angka-angka itu, Haibara langsung mengerti.

"Itu rumus kuadrat sempurna,"

"Eh?" Shinichi menatapnya.

Haibara memutar meja kerja Shinichi dan duduk di kursi kerja sambil meraih kertas kosong dan pensil. Ia memasukkan angka-angka itu dalam aljabar rumus kuadrat sempurna. Shinichi menyimak bagaimana Haibara menghitung dengan mudah.

"1,618? Itu hasilnya?" tanya Shinichi.

"Eh," Haibara mengangguk, "Golden Ratio, The Most Beautiful Number in The Universe. Apa ini ada hubungannya dengan Da Vinci Code?"

"Entahlah," Shinichi membolak-balik surat itu sekali lagi, "Tidak ada apa-apa lagi di dalamnya,"

"Mungkin nanti ada surat susulan,"

"Perasaanku juga begitu,"

"Ngomong-ngomong tidak ada oleh-oleh dari Singapura?" tagih Haibara.

"Sudah kubawakan coklat sekoper,"

Haibara mendengus, "Cuma coklat?"

"Memangnya kau mau apa?"

"Tas Charles & Keith,"

"Ya ampun, aku ke sana buat kerja, bukan belanja,"

"Hai hai, cuma becanda. Ngomong-ngomong mana handphonemu?"

"Handphone? Buat apa?"

"Iiih keluarkan saja," Haibara merajuk sembari merogoh saku celana Shinichi.

"Iiih!" Shinichi menggerutu karena risih.

Namun Haibara malah mendapat dompetnya dan ia tertegun memandang foto Shinichi dan Ran di sana, "Apa ini?" ia menunjuk.

"Fotoku dan Ran. Kenapa?"

"Kenapa bukan fotoku?"

"Ya ampun, kau lihat di sepanjang meja ini," Shinichi menunjuk meja kerjanya yang dipenuhi bingkai kecil, "Semuanya sudah fotomu,"

"Tapi kenapa di dompet tidak?"

Shinichi mengeluarkan handphonenya dan menunjukkannya pada Haibara, "Lihat, di HP saja foto kita berdua. Foto Ran cuma nyelip di dompet,"

"Tetap saja! Nii-Chan memasang foto kita berdua hanya di tempat yang bisa kulihat tapi tidak di tempat yang tidak kulihat. Artinya nii-chan hanya memikirkanku kalau aku lihat, kalau aku tidak lihat, kau tidak memikirkan aku," Haibara merengut seraya melipat lengannya.

Mata Shinichi menyipit Ya bagaimana? Ran kan pacarku... "Sudahlah tidak usah ribut gara-gara foto,"

Masih dengan tampang kesal, Haibara merebut handphone Shinichi dan memasangkan jimat di samping gantungan sepak bolanya.

"Itu apa?" tanya Shinichi.

"Kemarin aku dan Okasan pergi ke kuil. Aku membeli jimat ini untuk nii-chan, supaya tidak jadi magnet mayat lagi," jelas Haibara lalu mengembalikan handphone Shinichi.

"Ungu dan pink? Feminin sekali..." Shinichi bergidik melihat kantung jimat itu.

"Mau gimana? Cuma tinggal itu, tidak ada yang lebih maskulin,"

"Hai Hai... Arigatou neee..."

"Awas kalau nii-chan copot!" ancam Haibara.

"Iyaaa..."

Mendadak pintu ruangan terbuka dan Ran masuk ke dalamnya.

"Ran," Shinichi menyambutnya.

"Aku dengar kau sudah pulang dari Singapura dan langsung kemari," kata Ran lalu ia memandang Ai, "Hai Ai-Chan," sapanya.

"Hai..." sahut Haibara malas-malasan.

"Ada beberapa surat yang harus kuperiksa, makanya aku langsung kemari," jelas Shinichi.

"Kau pasti belum sarapan, bagaimana kalau kita sarapan bersama?" ajak Ran.

"Boleh juga, kau mau ikut?" tanya Shinichi pada Haibara.

Haibara bangkit seraya menyahut, "Eh boleh juga, aku memang belum sempat sarapan di rumah. Ayo!" ia langsung menggandeng Shinichi sebelum keduluan Ran.

Mereka bertiga akhirnya sarapan bersama di salah satu restoran chinnese food.

"Shinichi baru saja pulang jadi harus makan banyak," kata Ran seraya mengangkat sumpitnya ke arah tauge, "Aku ambilkan ya..."

Haibara langsung menghalangi sumpit Ran.

"Eh?" Ran bergeming menatapnya.

"Nii-Chan sudah tidak terlalu muda lagi," kata Haibara tajam, "Dan tauge bisa menyebabkan encok,"

Setua itukah aku? Batin Shinichi.

Lalu Haibara mengambilkan sawit putih dan menaruhnya ke mangkuk Shinichi, "Sawi putih lebih bagus untuk kesehatan tulang dan mengurangi risiko penyakit jantung,"

"H-Hai... Ai-Chan lebih mengerti karena kuliah kedokteran..." ujar Ran kikuk.

"Arigatou neee Ai-Chan..." ujar Shinichi lembut, "Kau sendiri harus makan banyak karena jadwal kuliahmu padat," ia mengambilkan sepotong lemak babi kecap ke mangkuk Haibara.

Haibara terbelalak menatap daging di mangkuknya itu, "Nii-chan!" ia protes.

"Kau sudah kurus! Tidak usah diet-dietan!" omel Shinichi.

"Tapi ini lemak!"

"Sesekali tidak apa-apa!" Shinichi bersikeras.

"Takuuu..."

Ran hanya tersenyum melihat mereka bertengkar lucu.

.

.

.

.

.

2 tahun kemudian (Haibara 17 tahun)

"Tadaima," kata Haibara begitu sampai rumah suatu sore.

"Okairi," sambut Shinichi.

"Eh sudah pulang calon dokter kita!" sambut Yukiko bersemangat.

"Wisudanya minggu depan kan?" tanya Yusaku.

Haibara mendesah pelan, wajahnya tampak muram, "Lupakan saja, aku takkan menghadiri acara wisuda,"

"Eh?" Yusaku, Yukiko dan Shinichi melongo.

Haibara naik tangga untuk menuju kamarnya.

"Ada apa ya?" Yukiko penasaran.

"Biar aku lihat," Shinichi akhirnya menyusul ke kamar Haibara.

Shinichi mengetuk pintu tiga kali sebelum membukanya. Ia menemukan Haibara sedang menelungkup di tempat tidur sambil memeluk boneka lumba-lumbanya.

"Kau kenapa Ai?" tanya Shinichi.

Haibara beranjak dari tempat tidur, meraih tasnya dan mengeluarkan kartu undangan wisudanya lalu menyodorkannya pada Shinichi.

"Proom night?" Shinichi membaca undangan tersebut.

"Mereka mengganti temanya,"

"Bukannya bagus ini? Kenapa kau malah murung?"

"Pesta dansa nii-chan! Pesta dansa!" kata Haibara gregetan.

"Lalu?"

"Aku tidak punya pacar!" Haibara menghempaskan tubuhnya di kursi seraya melipat tangan kesal, "Mentang-mentang aku paling muda di kelas. Mereka selalu saja mengejekku kutu buku lah, kuperlah dan sekarang menggunakan pesta dansa untuk memojokkanku,"

"Mereka cuma iri karena kau genius! Nilaimu paling tinggi,"

"Tetap saja, bagi mereka aku anak kecil, tidak pantas pacaran. Aku tak mau ke pesta itu dan membiarkan mereka mengejekku lebih jauh,"

"Kau bisa pergi bersama Otosan," Shinichi mengusulkan.

"Nani? Ayah dan putrinya berdansa itu cuma di pesta pernikahan, bukan pesta dansa wisuda. Aku hanya akan menjadi bulan-bulanan kalau pergi bersama Otosan,"

"Shin-Chan saja!" teriak Yukiko yang mendadak mendobrak kamar, ia telah menguping pembicaraan dari luar pintu.

"Okasan?" Shinichi bingung dengan gelagat ibunya.

Yukiko meraih undangan di tangan Shinichi, "Uhhh pesta dansa! Ini kesempatanku untuk mendadani Ai-Chan supeeeer cantik huhuhu..."

Haibara mengernyit, "Okasan?"

Yukiko menatap putranya, "Pokoknya kau harus menemaninya Shin-Chan. Kau saja yang jadi pasangan dansanya. Kapan lagi ada pesta dansa seperti ini untuk Ai? Uhhhh, kau akan jadi dokter terhebat dan tercantiiiik nanti..." ia begitu menggebu-gebu seolah dia sendiri yang akan wisuda.

"Nii-Chan takkan mau, dia sudah sering diejek Sister Complex oleh teman-temanku," gerutu Haibara.

"Aku tak keberatan kok," kata Shinichi.

"Eh?" Haibara mengerjap, "Benar?"

"Biarkan saja mereka mau berkata apa, memang aku Sister Complex. Aku tak mungkin membiarkanmu melewati hari pentingmu begitu saja," ujar Shinichi seraya tersenyum.

"Nii-Chan..." Haibara menatapnya terpana.

"Asiiiik! Beres kalau begitu! Ayo Ai-Chan kita belanja! Okasan akan pilihkan gaun yang indah untukmu!" kata Yukiko bersemangat.

"Okasan... Aku cuma wisuda, bukan mau menikah," ujar Haibara.

"Hai hai tidak apa-apa, wisuda kan juga sekali seumur hidup. Pokoknya Ai-Chan harus cantik dan terlihat dewasa supaya mereka tidak akan mengejekmu anak kecil lagi!" sambil berkata begitu, Yukiko menarik lengan Haibara dan menggeretnya untuk pergi belanja.

"Tunggu Okasan!" Haibara bingung dengan sikap ibu angkatnya namun hanya bisa pasrah saja.

Shinichi hanya menghela napas, "Sepertinya Okasan benar-benar mendambakan anak perempuan,"

"Lama amat," gerutu Shinichi seraya melirik arlojinya berulang kali, "Sebagai lulusan terbaik, Ai kan harus pidato paling pertama,"

"Kau seperti tidak tahu ibumu saja, sudah lama dia memimpikan mendandani Ai-Chan," ujar Yusaku santai sambil mengecek naskahnya.

"Mau didandani sampai bagaimana sih? Okasan bilang mau membuatnya tampak dewasa, asal jangan sampai ketuaan saja,"

"Sabarlah, paling sedikit lagi,"

Tak lama kemudian terdengar langkah-langkah sepatu dari lantai atas.

"Nah itu mereka," kata Yusaku.

"Taraaaaa..." Yukiko menunjukkan hasil karyanya.

Haibara muncul dengan mengagumkan. Ia menggunakan gaun berwarna silver metalik dengan belahan dada agak rendah, tali gaunnya menyilang di belakang, menampakkan kulit punggung putihnya yang mulus. Ada pita besar di belakang pinggangnya di mana dua ujungnya menjuntai hingga ke lantai seperti ekor kupu-kupu. Rambut kemerahannya di keriting bergelombang sehingga tampak lebih bervolume dan disematkan hiasan sebuah mawar perak dengan rantai tipis. Yukiko berhasil menguarkan aura ladynya. Lady berdarah Inggris yang berkelas.

Dia cantik... Shinichi terpana menatapnya. Sulit untuk menyematkan status 'adik angkat' jika melihat Haibara dalam keadaan seperti ini.

Yusaku bahkan sampai berdiri juga, mengagumi pesona putri angkatnya.

Yukiko terkekeh, "Sesuai dengan namanya Haibara, mawar abu-abu, tapi aku pilih warna perak saja,"

"Kerja bagus Yukiko," puji Yusaku.

Yukiko tersenyum, "Jangan sampai kelihatan Pangeran Inggris, nanti Ai-Chan akan diboyong ke istana,"

"Okasan..." Haibara tersipu.

"Uh aku harus ambil foto yang banyak," Yukiko mengeluarkan handphonenya dan sibuk memotret, "Shin-Chan berdiri di sini!" ia menyeret Shinichi ke sebelah Haibara, "Uhhh! Kalian benar-benar serasi!"

"Sudahlah Yukiko, nanti mereka terlambat," tegur Yusaku.

"Hai hai sudah..." kata Yukiko.

"Ayo," Shinichi menawarkan lengannya.

"Eh," Haibara menggandengnya.

Mereka pun keluar rumah bersama. Suami-Istri Kudo memandang mereka hingga masuk mobil sport putih.

"Senangnya," Yukiko meletakkan kedua tangannya di pipi.

"Apa-apaan Yukiko, mereka kan cuma kakak-adik angkat,"

"Ya justru itu karena tidak sedarah, tidak apa-apakan,"

"Lalu Ran-Chan?"

"Eh iya ya," Yukiko bertopang dagu.

"Pidato yang bagus," kata Shinichi seraya berdansa dengan Haibara.

"Cuma basa-basi, tidak penting," kata Haibara, "Lagipula aku masih harus menempuh dua tahun lagi menjadi coas sebelum resmi menjadi dokter dan mengambil spesialis forensik. Ini bukan akhir segalanya,"

"Kau tetap ingin menjadi ahli forensik?"

"Tentu saja. Untuk membantumu menemukan kebenaran di antara kematian,"

Shinichi tersenyum seraya memutari tubuh Haibara.

"Eh itu Kudo Shinichi kan? Detektif yang sister complex?" terdengar bisik-bisik di antara pasangan dansa lainnya.

"Iya benar, tapi cantik ya si Ai-Chan,"

"Jangan-jangan Sister Complexnya sudah akut lagi,"

"Akut juga tidak apa-apa, mereka bukan kakak-adik kandung setahuku,"

"Ya ampun dasar penggosip," gerutu Haibara.

"Sudahlah biarkan saja, jangan sampai mereka merusak malammu," hibur Shinichi.

"Malamku? Aku bukan artis seperti Okasan yang mendapatkan awards,"

Shinichi nyengir, "Kita buat mereka semakin tak berkutik,"

"Eh?"

Shinichi meraih pinggang Haibara dengan lengannya dan mengangkatnya dari lantai. Haibara merangkul bahu Shinichi untuk berpegangan. Mereka berdansa dengan lincah mengikuti irama lagu. Gemerlap keperakan dari gaun Haibara, membuat putaran-putaran mereka berkilauan bagai berlian hingga menarik perhatian seluruh pasang mata. Teman-teman penggosip itu sampai kehilangan kata-kata melihat pesona mereka. Banyak orang bergumam kagum memandangi mereka menari bagai boneka pasangan yang menari di kotak musik.

Haibara tak menghiraukan lagi mereka yang memandangnya. Di matanya saat ini hanya ada Shinichi. Senyum dan matanya sangat lembut ketika menatap Shinichi. Sangat cantik.

"Kau senang?" tanya Shinichi.

"Eh," Haibara mengangguk.

Yukata ne... Yukata ne Putri Setan Mengantuk... Batin Shinichi turut senang. Haibara Ai akhirnya dapat hidup normal kembali dan menemukan kepribadiannya lagi.

Ketika Shinichi menurunkannya dari putaran terakhir, lagu semakin melambat. Haibara mengalungkan kedua lengannya ke leher Shinichi seraya menenggelamkan wajahnya di bahu kokohnya. Sengaja menghilangkan jarak di antara mereka.

Andai bisa terus seperti ini... Andai malam ini tidak pernah berakhir... Haibara berandai-andai dalam hati.

Dug... dug... dug... Shinichi dapat merasakan jantungnya berdegup cepat.

Nani? Apa ini? Kenapa aku mendadak berdebar-debar begini? Gumam Shinichi dalam hati.

Kau akan melindungiku bukan? Shinichi teringat perkataan Haibara bertahun-tahun lalu sebelum hilang ingatan dan sebelum organisasi hancur.

Aku tenang karena ada kau... kata Haibara suatu hari saat ia baru masuk ke SD Teitan.

Ingatan-ingatan itu membuat dada Shinichi semakin membuncah oleh perasaan ingin melindungi. Tanpa sadar ia mempererat dekapannya terhadap Haibara. Merefleksikan naluri perlindungannya. Bibirnya bergerak mengecup kening Haibara.

Aku akan melindungimu... Aku akan selalu melindungimu... bisik Shinichi dalam hati.

.

.

.

.

.

3 tahun kemudian (Haibara 20 tahun)

"Heeeh... Jadi Shinichi sudah melamarmu?" tanya Sonoko seraya melihat cincin di jari manis Ran dengan takjub.

"Eh," Ran mengangguk seraya tersipu malu.

"Bagus sekali! Aku iri! Sementara Makoto-Chan masih sibuk turnamen hadeh!" Sonoko menepuk jidatnya.

"Hehehe... Sabar Sonoko," hibur Ran.

"Ah itu Shinichi sudah datang!" Sonoko menunjuk.

"Ran!" Shinichi melambai.

"Shinichi," Ran balas melambai.

Mendadak dari belakang Shinichi terlihat Haibara.

"Lho kau ikut juga?" Sonoko memandang Haibara.

Haibara menatapnya tajam, "Kenapa? Keberatan?" tantangnya. Ia bukan lagi gadis kecil yang takut diintimidasi.

"Tidak juga sih," sahut Sonoko menahan kesal, "Cuma tumben saja,"

Haibara mengangkat bahu, "Nii-Chan ku ini magnet mayat, ke mana pun dia pergi pasti ada saja pembunuhan. Sebagai mahasiswa jurusan forensik, itu sangat bagus untuk menambah pengetahuanku bukan?"

"Oi oi..." gumam Shinichi menatap Haibara dengan kikuk.

"Benar juga, kalau ada Ai-Chan jadi bisa langsung tertangani tanpa menunggu ahli forensik datang," timpal Ran.

"Eh," Haibara mengangguk.

"Sudah sudah," Shinichi menengahi, "Ayo jalan,"

"Tenang Ran, aku akan berusaha mengajaknya menjauh nanti supaya kau bisa berduaan dengan Shinichi," bisik Sonoko.

"Sudah tidak apa-apa," kata Ran.

Mereka akhirnya jalan bersama ke pasar festival. Melihat beberapa pernak-pernik yang bagus dan lucu-lucu. Bahkan Haibara juga tertarik pada pin berbentuk mawar perak.

"Kau suka?" tanya Shinichi.

"Eh," Haibara mengangguk, "Aku ingin memasangnya di stetoskopku, supaya tidak terlalu monoton dan tidak tertukar dengan yang lain,"

"Aku akan membelikannya kalau begitu,"

"Tidak usah, aku bayar sendiri saja," tolak Haibara.

"Eh?" Shinichi bingung.

"Aku tidak suka kau membuka dompetmu," kata Haibara seraya berjalan ke kasir.

Shinichi melongo, "Tumben, biasanya minta ini itu,"

Setelah dari pasar festival, mereka lanjut jalan ke taman air mancur. Baru saja mereka memasuki area taman, terdengar suara teriakan seorang wanita.

Dengan tenang Haibara mengeluarkan sarung tangan dari tasnya seraya menatap Shinichi penuh arti, "Pelajaran pertama untukku hari ini,"

Mata Shinichi menyipit, "Ini pembunuhan oi,"

Detik berikutnya Shinichi dan Haibara tiba di TKP. Haibara menunduk memeriksa mayat seorang wanita yang tergeletak di taman.

"Bagaimana?" tanya Shinichi.

"Tidak ada bau almond, bukan arsenik. Tapi," Haibara memeriksa mulut wanita itu, "Gusinya menghitam, jelas dia keracunan. Walau perlu diautopsi lebih lanjut, tapi aku yakin ini karena merkuri,"

Shinichi mengernyit, "Merkuri?"

"Eh," Haibara mengangguk, "Merkuri yang tidak diberikan dalam jumlah besar sekaligus, namun dicicil sedikit demi sedikit,"

Inspektur Megure dan tim kepolisian akhirnya tiba di TKP. Setelah diselidiki lebih jauh ternyata pelaku pembunuhannya adalah suami korban sendiri. Suaminya adalah dokter yang membubuhi merkuri di krim wajah istrinya. Sehingga istrinya keracunan sedikit demi sedikit sampai meregang nyawa.

"Sepertinya aku tahu kenapa kau memilih jurusan forensik," ujar Sonoko ketika ia dan Haibara berdua saja di taman. Sementara Shinichi yang ditemani Ran masih memberikan keterangan kepada Inspektur Megure.

Haibara menoleh pada Sonoko.

"Karena kau ingin bersama Shinichi kan?" tebak Sonoko.

Haibara melipat lengannya, "Kalau ya kenapa?"

"Kau sudah dewasa Ai-Chan. Kau tidak bisa terus-menerus menempel padanya,"

"Nii-Chan saja tidak keberatan, kenapa kau harus protes?"

"Shinichi memiliki kehidupan pribadinya sendiri, bersama Ran,"

"Oh? Apa Ran-San bisa membantunya menginvestigasi kasus? Yang kulihat dia hanya sering merengek minta perhatian kalau nii-chan sibuk dengan kasus,"

"Kau!"

"Aku benar kan? Yang seorang pria butuhkan adalah wanita yang berguna, bukan suka merengek,"

Sonoko tampak geram karena temannya diejek, "Ai-Chan, tampaknya kau tidak normal,"

"Tidak normal bagaimana?"

"Kau tidak menyayangi Shinichi sebagai nii-chan. Kau menyukainya selayaknya wanita terhadap pria?"

"Kalau ya kenapa? Toh kami bukan saudara kandung,"

"Dia milik Ran!" suara Sonoko meninggi.

"Dari apanya?!" suara Haibara juga meninggi, "Atas dasar pertemanan sejak kecil? Apa yang Ran-San miliki untuk dicintai nii-chan?"

"Kau benar-benar iblis!"

"Eh! Benar aku iblis! Tapi kenyataannya Kudo Shinichi membutuhkan si iblis ini!"

"Kau takkan punya kesempatan! Mereka akan segera menikah! Shinichi sudah melamar Ran dan Ran sudah menerimanya!"

Haibara tampak terguncang, "Nani?"

Sonoko tersenyum penuh kemenangan, "Tidakkah kau lihat di jari manis Ran ada cincin? Shinichi sudah melamarnya. Di mata Shinichi, kau takkan lebih dari adik kecilnya. Shinichi hanya mencintai Ran. Buang impianmu jauh-jauh!"

"Aku juga memiliki hak untuk bermimpi! Hanya karena Ran-San teman kecil nii-chan bukan berarti dia lebih berhak. Apakah dia mengerti nii-chan? Selain merengek perhatian? Yang mengerti dirinya hanya aku. Aku juga memiliki hak untuk mencintai Kudo Shinichi dan bermimpi bersamanya!"

"Ai-Chan?" panggilan Ran membuat Sonoko dan Haibara menoleh.

Haibara terhenyak, di belakang Ran ada Shinichi yang juga tampak terguncang setelah mendengar pengakuan Haibara. Haibara mengepalkan tangannya dengan gemas karena malu. Ia menyukai Shinichi, tapi bukan dengan cara ini ia ingin mengungkapkan perasaannya. Kemudian Haibara melihat kilauan itu, cincin di jari manis Ran. Hatinya sakit sekali. Demi menyelamatkan harga diri yang masih tersisa, ia berlari pergi setelah menabrak Sonoko dengan kasar.

"Ai-Chan!" seru Ran.

Shinichi langsung mengejarnya.

Sonoko sialan! Aku benci dia! Dia telah mengacaukan semuanya! Kutuk Haibara dalam hati seraya terus berlari tanpa arah.

"Ai!" Shinichi memanggil seraya terus mengejarnya.

Haibara mendengar panggilan itu tapi ia tidak menghiraukannya. Ia sudah tidak punya muka lagi untuk bertemu Shinichi. Kemudian ia melihat hal itu. Ada seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun mengambil bola di tengah jalan, sementara ada truck melaju kencang dari arah lain. Tanpa pikir panjang Haibara berlari ke arah bocah itu untuk meraihnya.

Tiiiiin! Terdengar raungan klakson dari truck.

"Ai!" Shinichi panik bukan main. Ia melompat dan meraup Haibara serta bocah itu sekaligus. Mereka jatuh di pinggir trotoar sementara truck melaju melewati mereka. Mereka bertiga selamat, namun Haibara tidak sadarkan diri karena dahinya terpentur aspal.

"Ai!" Shinichi mendekapnya kemudian membawanya ke rumah sakit.

"Ai-Chan," Yukiko masuk ke kamar perawatan dengan panik. Yusaku menyusul di belakangnya.

"Okasan..." panggil Haibara lemah.

Yukiko duduk di ranjang dan memeluknya.

Haibara menangis di bahu ibu angkatnya.

"Tidak apa-apa Sayang, ada Okasan di sini..." hibur Yukiko seraya mengelus-elus punggung Haibara.

"Apa kata dokter?" tanya Yusaku pada Shinichi.

"Luka benturan biasa, tidak ada yang fatal. Hanya perlu istirahat beberapa hari saja," jelas Shinichi.

"Syukurlah," Yusaku tampak lega.

"Shinichi," Yukiko memanggil putranya tanpa melepas pelukannya terhadap Haibara, "Ini sudah kedua kalinya Sonoko menyakiti Ai-Chan. Kalau Ai kenapa-kenapa bagaimana? Sebaiknya kalau kau pergi dengan dia, tak usah ajak Ai lagi," naluri melindungi Yukiko sebagai ibu keluar.

"Eh, aku akan bicara padanya," ujar Shinichi.

"Tidak ada yang boleh menyakiti putri kesayanganku," Yukiko memeluk Haibara lebih erat.

Tak lama kemudian terdengar ketukan pintu dari luar. Bocah laki-laki yang diselamatkan Haibara melongok dari celah pintu, ia datang bersama ayahnya.

"Anooo..." bocah itu mulai bicara tampak tak enak hati, "Namaku Yuki, aku ingin berterima kasih kepada nee-chan karena sudah menyelamatkanku,"

Haibara menghapus air matanya dan menatap Yuki.

"Gomene nee-chan, aku hampir membuat nee-chan celaka," kata Yuki lagi.

"Saya benar-benar minta maaf," ayah Yuki menunduk dalam.

"Tidak apa-apa," kata Haibara, "Aku senang Yuki-Kun baik-baik saja,"

Lalu Yuki memandang Shinichi, "Arigato nii-chan, karena sudah menyelamatkanku,"

"Eh," Shinichi mengangguk, "Lain kali kau harus lebih berhati-hati Yuki-Kun,"

"Uhm," Yuki mengangguk kemudian memandang Haibara lagi, "Tenang saja nee-chan, suatu hari nanti setelah aku besar, gantian aku yang akan melindungi nee-chan,"

"Eh?" Haibara mengerjap menatapnya.

"Karena aku suka nee-chan sejak pandangan pertama," kata Yuki dengan wajah merona.

Haibara dan Yukiko saling bertukar pandang sebelum terkekeh.

"Aduh maaf-maaf, anak ini memang blak-blakan," kata ayah Yuki.

"Tidak apa-apa," kata Haibara lalu memandang Yuki lembut, "Arigatou ne Yuki-Kun. Tapi sebelum itu, sebaiknya kau belajar dulu yang rajin ya,"

"Hai," sahut Yuki.

"Bagaimana Ai-Chan?" tanya Ran ketika melihat Shinichi di koridor baru keluar dari kamar perawatan.

"Tidak ada yang fatal, besok dia sudah boleh pulang untuk rawat jalan saja di rumah," jelas Shinichi, kemudian ia memandang Sonoko.

Sonoko tak berani memandangnya, ia hanya memalingkan wajah.

"Sebaiknya, kau tidak bertemu dengan Ai lagi, Sonoko," pinta Shinichi.

Sonoko akhirnya memandang Shinichi, "Shinichi, dia tidak sebaik yang kau kira,"

"Aku percaya padanya,"

"Kau terlalu dibutakan oleh kepolosannya. Dia hanya pura-pura, kau tidak perlu lagi menebus rasa bersalahmu padanya," Sonoko bersikeras.

"Sonoko!" Shinichi tidak suka.

"Bagaimana kalau selama ini dia tidak benar-benar amnesia?"

"Kau pikir saja sendiri?! Apa ada orang mau mengulang siklus hidupnya sekali lagi? Belajar semua tetek bengek sains? Sementara aslinya dia sudah ilmuwan?"

Sonoko terdiam.

"Jika bukan karena aku yang terlambat, dia sudah menjadi ilmuwan hebat, tidak perlu mengulang kuliah remeh kedokteran,"

"Sudahlah Sonoko," Ran berusaha menengahi, "Shinichi, aku juga percaya pada Ai-Chan,"

Sonoko berdecak tidak sabaran, "Ran. Dia tidak menganggap Shinichi kakaknya, dia mencintai Shinichi," ia mengingatkan.

"Itu adalah haknya," sela Shinichi, "Terlepas dari apa yang kau bicarakan dengannya, aku tak suka melihatnya disakiti. Bagaimana jika dia sampai tertabrak truck tadi? Aku juga tak bisa hidup lagi! Aku sudah berjanji untuk melindunginya, bila terjadi sesuatu padanya, aku pun lebih baik mati,"

"Shinichi!" Ran mengingatkannya.

"Aku sedang ingin sendiri," Shinichi memunggungi mereka.

"Atau jangan-jangan kau juga suka padanya?" tembak Sonoko.

"Sonoko!" desis Ran gemas.

Shinichi membeku.

"Jangan-jangan kau bukan Sister Complex, tapi kau suka padanya," kata Sonoko tajam.

"Aku sayang padanya," Shinichi mengaku, "Dan aku tak bisa hidup tanpanya," ia pun masuk kembali ke kamar perawatan.

.

.

.

.

.

"Kau sudah tidur Ai?" tanya Shinichi pelan dari celah pintu kamar.

Haibara sedang berbaring miring memunggungi Shinichi dengan selimut menutupi tubuhnya hingga sebatas leher. Shinichi tahu ia belum tidur, tapi pura-pura tidur. Haibara tidak pernah bisa membohonginya kalau soal pura-pura tidur.

"Aku taruh okonomiyakinya di meja ya," kata Shinichi seraya menaruh bungkusan kertas okonomiyaki di meja belajar Haibara.

Kemudian tanpa kata, Shinichi keluar lagi dari kamar.

Baka. Gerutu Haibara dalam hati, Shinichi masih memperlakukannya seperti adik kecil.

"Tada..." Shinichi baru saja pulang kerja. Kata-katanya terputus oleh suara-suara dari arah dapur. Ia pun mengendap-endap ke sana.

"Ai-Chan? Kenapa kau tidak istirahat?" tanya Yukiko.

"Bosan. Okasan sedang buat makan malam?"

"Eh," Yukiko mengiakan.

"Aku bantu ya,"

"Tidak usah Ai-Chan,"

"Tidak melelahkan kok," Haibara mengambil sebatang wortel dan membantu memotongnya.

"Baiklah kalau begitu. Jangan memaksakan diri kalau sudah lelah ya,"

"Hai,"

Shinichi baru akan berjalan menuju kamar atas ketika terdengar suara Haibara meringis.

"Kenapa Ai-Chan?"

"Tidak apa-apa hanya tergores sedikit," Haibara mengemut jarinya yang berdarah.

"Biar Okasan kasih plester," Yukiko mengambil plester dari laci.

"Hanya luka kecil,"

"Tidak boleh diremehkan, tanganmu tangan dokter, kau harus hati-hati," kata Yukiko seraya membalutkan plester kecil ke jari Haibara.

Haibara menatap Yukiko penuh arti.

"Uhm?" Yukiko menyadarinya, "Ada apa Ai? Tidak enak badan?"

Haibara menggeleng, "Okasan baik sekali padaku,"

"Tentu saja. Aku hanya punya putra yang gila misteri, aku senang memiliki putri yang manis seperti dirimu,"

"Maaf Okasan, kalau selama ini Ai banyak merepotkan Okasan,"

Yukiko menggenggam tangan Haibara, "Kau kenapa?"

Haibara menunduk muram.

"Apa tentang Shinichi?" tebak Yukiko.

Shinichi memasang kupingnya tajam-tajam.

"Okasan... Aku sejak kecil hilang ingatan... Aku hanya samar-samar mengingat, entahlah, mungkin pada saat kecelakaan itu... Keadaan begitu kacau, aku seperti sedang dikejar seseorang," Haibara memejamkan matanya untuk mengingat-ingat, "Meski tidak jelas, tapi aku seperti melihat nii-chan..."

"Eh? Benarkah?"

"Uhm," Haibara mengangguk, "Lalu semuanya gelap dan begitu aku terbangun di rumah sakit, nii-chan ada di sana, menggenggam tanganku dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja,

"Aku tidak ingat apa-apa, aku juga tidak tahu nii-chan siapa, tapi... Sejak aku membuka mataku di rumah sakit... Aku sudah memusatkan duniaku padanya..." mata Haibara bergetar karena kilauan airmata yang terbendung.

"Ai-Chan..."

"Di dunia yang begitu asing, aku hanya bisa percaya padanya..." airmata Haibara mengalir, "Aku begitu bergantung padanya... Aku selalu mencari cara bagaimana agar bisa selalu bersamanya... Aku belajar dengan giat, agar aku bisa menjadi ahli forensic untuk menjadi partnernya... Segala yang kulakukan hanya untuk nii-chan..."

Mata Yukiko ikut berkaca-kaca.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku," isak Haibara, "Aku juga tidak tahu sejak kapan... Aku sadar aku tidak pernah menganggap nii-chan sebagai kakakku... Apakah salah Okasan? Apakah Ai salah kalau Ai menyukainya?"

"Ai..."

"Aku begitu iri setiap melihat ia berjalan bersama Ran-San sementara aku hanya anak kecil... Setiap hari aku berharap agar aku cepat dewasa... Setiap hari aku bermimpi, seandainya aku dilahirkan 10 tahun lebih cepat... Mungkin nii-chan tidak akan menganggap aku adik kecilnya...

"Sekarang apakah hanya karena Ran-San teman kecilnya? Dan aku adik kecilnya? Aku tidak boleh bersamanya? Aku tidak boleh mencintainya?"

"Oh Ai-Chan," Yukiko memeluknya.

Haibara sesenggukan di dekapan Yukiko.

"Andai Okasan bisa Ai... Tapi Okasan tidak bisa... Perasaan tidak dapat dipaksakan," lalu ia merengkuh kedua bahu Ai, "Namun Okasan tahu, Ai tidak salah. Mencintai seseorang tidak pernah salah, karena kita tidak bisa memilih kepada siapa kita ingin jatuh cinta,"

"Lalu aku harus bagaimana Okasan? Aku tidak tahu apakah aku bisa melihat nii-chan menikah dengan Ran-San..."

"Ai... Meski Okasan tahu hal ini menyakitkan... Tapi Ai harus melepaskan nii-chan... Nii-chan juga tidak dapat memilih kepada siapa ia ingin jatuh cinta. Kebetulan saja dia mencintai Ran, bukan masalah dia teman kecilnya atau tidak..."

"Bagaimana caranya Okasan? Bagaimana caranya Ai memindahkan dunia Ai? Selama ini nii-chan adalah dunia Ai..."

"Ai... Sesuatu yang bukan milikmu, akan lepas juga meski kau menggenggamnya erat... Tapi sesuatu yang memang milikmu akan kembali meski kau sudah melepasnya. Lepaskan dulu nii-chan. Segala sesuatu serba tidak pasti, ia mungkin akan menikah dengan Ran tapi mungkin juga tidak menikah. Bila nii-chan milikmu, dia pasti akan kembali padamu. Jika dia tidak kembali, maka dia bukan milikmu... Tapi Okasan yakin, di luar sana juga ada seseorang yang lebih baik darinya untuk Ai-Chan. Kau begitu cantik dan cerdas... Kau pasti akan menemukannya..."

Ai mencengkram dadanya yang sesak, "Sakit Okasan... Rasanya sakit sekali..."

Yukiko memeluknya lagi, "Okasan tahu... Rasanya memang sakit... Tapi ini proses yang harus kau lalui untuk menjadi dewasa... Okasan ingin sekali melakukan apa saja, untuk mengurangi sakit Ai-Chan..."

"Apakah Ai bisa amnesia lagi? Untuk melupakan semua ini?"

"Ssst! Bakane! Jangan bicara yang tidak tidak..."

"Okasan..."

Shinichi yang mendengar semua itu hanya menunduk sedih. Ia yang telah bersumpah untuk melindungi Haibara dan tidak membiarkan siapapun menyakitinya lagi, tapi kini malah ia lah yang menyakitinya dan membuatnya paling menderita.

.

.

.

.

.

Beberapa hari kemudian di suatu pagi yang cerah, rumah Keluarga Kudo sudah dibuat bising dengan langkah-langkah kaki Haibara yang tergesa-gesa.

"Ai? Kau kenapa buru-buru?" tanya Yukiko melihat Haibara turun dari tangga seraya menenteng tas tangan, dokumen dan sepatunya.

"Ada symposium, aku kesiangan karena semalaman begadang menyelesaikan materi," Haibara melirik arlojinya seraya mengumpat.

"Tidak sarapan dulu?" tanya Yukiko lagi.

"Sudah tidak sempat. Aku pergi dulu Okasan," Haibara mengecup pipi Yukiko, "Otosan," lalu pipi Yusaku.

"Hati-hati," Yusaku mengingatkan.

"Eh," sahut Haibara.

"Biar aku antar saja," kata Shinichi yang baru muncul dari tangga.

"Tidak usah," tolak Haibara.

"Aku ada kasus searah dengan kampusmu,"

Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka di mobil bersama. Diam dalam kecanggungan. Haibara lebih banyak memandang jalanan melalui jendela seraya bertopang dagu, sementara Shinichi fokus menyetir.

"Mau ku jemput lagi nanti?" tanya Shinichi memecahkan keheningan, ketika sudah memasuki area kampus.

"Tidak usah, aku juga tidak tahu selesai kapan," sahut Haibara tanpa memandang Shinichi.

Shinichi memarkir mobilnya di pinggir.

"Mau ku bawakan sesuatu nanti?" tawar Shinichi.

"Tidak usah,"

"Okonomiyaki mungkin?"

Haibara mulai kesal, "Hentikan itu Kudo Shinichi,"

Shinichi membeku, sikap Haibara seolah ingatannya sudah kembali. Keceriaannya telah hilang digantikan dengan gesture dingin.

"Aku sudah 20 tahun, bukan gadis mungil yang ketakutan lagi. Kalau kau tidak suka padaku, tidak masalah. Tapi berhentilah memandangku sebagai anak kecil. Kalau kau menghargaiku, lihat aku sebagai wanita. Itu saja," kata Haibara sebelum keluar dari mobil.

Shinichi memandang punggung Haibara hingga hilang ke dalam gedung kampus. Sejak pulang dari rumah sakit, mereka jarang berbicara. Padahal biasanya mereka selalu bercerita, berdiskusi dan becanda. Shinichi merasa kehilangan, Haibara kini begitu jauh.

"Memangnya kau simpan di mana Hakase?" tanya Haibara seraya berkacak pinggang, pusing melihat barang-barang Profesor Agasa yang berantakan.

"Aku juga lupa," kata Profesor Agasa sambil garuk-garuk.

"Apa undangannya begitu penting?"

"Eh," Profesor Agasa mengangguk, "Seluruh ilmuwan Jepang akan datang,"

Haibara mendengus, "Baiklah, coba kita cari lagi,"

Haibara mulai mencari lagi di antara kumpulan barang-barang Profesor Agasa. Kemudian ia menemukan foto itu. Selembar foto yang menampilkan detektif cilik dalam personel lengkap.

"Hakase," panggil Haibara.

"Nani?"

"Ini foto kapan ya? Aku tidak ingat," Haibara menunjukkannya pada Profesor Agasa.

"Oh, foto itu diambil sebelum Ai-Kun kecelakaan, sebelum amnesia," jawab Profesor Agasa.

"Oh begitu. Sebentar, sepertinya aku ingat Tsuburaya Mitsuhiko, Kojima Genta, Yoshida Ayumi. Lalu yang ini siapa? Yang kacamata?" Haibara menunjuk bocah laki-laki di sampingnya.

"Oh Edogawa Conan,"

"Edogawa Conan?" Haibara mengingat-ingat, "Aku tidak pernah bertemu dengannya sewaktu masih sekolah di Teitan,"

"Dia kembali ke Amerika bersama orang tuanya,"

"Oh begitu," Haibara memandang foto itu lagi lekat-lekat, "Kok mirip nii-chan ya?"

Profesor Agasa hanya terkekeh canggung, "Tentu saja mirip, dia masih saudara jauhnya Shinichi,"

"Masa? Aku tak pernah tahu, nii-chan dan Okasan tak pernah cerita,"

"Sebaiknya kau cari lagi undangannya," Profesor Agasa berusaha mengalihkan perhatian.

"Oh iya," Haibara lanjut mencari, namun diam-diam ia memasukkan foto itu ke kantong celananya.

"Hakase," terdengar panggilan dari pintu depan.

Profesor Agasa melongok, "Oh Ran-Kun," lalu ia menghampiri Ran, "Ada apa?"

"Ano, apa Ai-Chan ada di sini? Aku baru saja dari sebelah, kata Yukiko-San dia di sini,"

"Ada tuh," Profesor Agasa menunjuk.

Haibara menoleh padanya.

"Aku cari di gudang belakang saja Ai-Kun," kata Profesor Agasa seraya berlalu ke pintu belakang.

"Ai-Chan," Ran menghampiri Haibara.

"Ada apa?" tanya Haibara datar.

"Anooo..." Ran memulai dengan hati-hati, "Aku dan Shinichi sudah berdiskusi semalam. Kami sepakat untuk menunda pernikahan kami,"

Haibara mengernyit, "Nani?"

"Kami akan menunda, sampai mendapat restu dari Ai-Chan,"

Haibara menaikkan salah satu alisnya, "Kalau selamanya aku tidak merestui bagaimana?"

Ran terdiam membisu.

"Tidak perlu restu dariku. Aku bukan Otosan dan Okasan, bahkan bukan adik kandung nii-chan. Aku hanya orang luar,"

"Tidak Ai-Chan. Kau sangat penting bagi Shinichi, tentu saja kami mengharapkan restu darimu," kata Ran.

"Kalau mau menikah ya menikah saja, tak usah menunggu izinku. Aku tak butuh dikasihani seakan aku anak kecil yang manja,"

"Ai-Chan..."

"Lagipula yang membuatku kecewa di sini bukan masalah pernikahannya..."

"Eh?"

"Karena aku tidak diberi kesempatan untuk bersaing secara adil,"

"Maksudmu?"

"Kau menang Ran-San karena kau teman kecil nii-chan, aku kalah karena aku adik kecil nii-chan. Semua karena anggapan-anggapan itu. Aku menginginkan kita bersaing dengan adil, kau dan aku berhadapan sebagai sesama wanita. Jika setelah itu nii-chan tetap memilihmu, aku dapat menerima dengan lapang dada. Tapi kenyataannya? Aku sudah dianggap kalah sebelum bertanding. Kemenanganmu ini, hanya menang WO,"

Ran terhenyak, "Menang WO?"

"Eh," Haibara mengangguk, "Apa yang ada dalam dirimu yang benar-benar bisa dicintai oleh nii-chan? Selain karena kau pedulian dan baik hati? Well, semua orang di dunia ini baik hati kok,"

"Anooo..."

"Jangan bilang mencintai tidak perlu alasan, semua itu hanya omong kosong," Haibara berkata penuh dengan logika, "Belahan jiwa bukan mereka yang bisa hidup dengan satu dan yang lainnya, melainkan mereka yang tidak bisa hidup tanpa satu dengan yang lainnya,

"Bukan mengenai apa yang kau tuntut dari pasanganmu, tapi apa yang telah kau berikan padanya tanpa meminta balik..." Haibara mengakhiri dengan tegas.

Ran merasa terintimidasi, tidak menyangka pemikiran Haibara sejauh itu.

Haibara mendesah, "Sudahlah tak perlu panjang lebar. Toh kau juga sudah menang kan. Tak perlu hiraukan perkataanku. Silahkan kalau mau menikah. Aku tak peduli," ucapnya seraya melipat lengannya dan berlalu pergi.

Ran membeku dalam kebimbangan.

.

.

.

.

.

Edogawa Conan

Haibara mengetik nama itu di google dan mulai melakukan sejumlah penelusuran. Kemudian ia menemukan nama itu ada keterkaitan dengan FBI. Haibara pun mencoba meretasnya. Seketika dahinya mengerut saat membaca kode itu.

"APTX 4869?" gumamnya tak mengerti.

Keesokan harinya, Haibara pergi ke kantor Shinichi untuk menemui seseorang. Ia mengetuk pintu ruangan tiga kali sebelum orang itu mempersilakannya masuk.

"Ai-Chan?" Masumi melongo melihat kedatangannya.

Haibara masuk dan menutup pintu dengan rapat.

"Shinichi sedang makan siang di luar," kata Masumi.

"Aku tidak mencari nii-chan. Aku ingin bicara denganmu," kata Haibara.

"Eh?" Masumi mengerjap, ini tidak biasanya, "Mengenai apa?"

"APTX 4869," kata Haibara tajam.

Masumi terkesiap.

"Miyano Shiho, itu nama asliku bukan?"

"Apa kau sudah ingat semuanya?"

Haibara menggeleng, "Tidak ingat satupun, tapi aku ingin tahu dari mulutmu sendiri. Semuanya. Apa yang terjadi saat itu?"

Masumi akhirnya terpaksa menceritakan semuanya.

Haibara hanya tersenyum pahit setelah mendengar semua kebenarannya, "Jadi, seharusnya aku berumur 31 tahun, bahkan setahun lebih tua dari Kudo Shinichi,"

"Eh," Masumi mengangguk.

"Seandainya tubuhku normal, sejak dulu aku sudah memiliki kesempatan untuk menjadi seorang wanita di matanya," Haibara memandang menerawang dari jendela.

"Ai..."

"Dan menjadi tangan kanannya,"

"Kau sekarang pun telah menjadi tangan kanannya. Kau mengejar ketertinggalan dengan cepat," ujar Masumi.

"Kenapa aku hanya membuat satu penawar?"

Masumi menggeleng, "Tidak ada yang tahu. Kemungkinan, waktu itu kau memang tidak mengharapkan dirimu bertahan hidup,"

"Diriku yang dulu, sebelum amnesia, seperti apa?"

"Sama saja seperti sekarang. Cerdas, anggun, berkelas, tidak ada yang berbeda," sahut Masumi jujur.

"Tapi kedengarannya, aku seperti orang yang sangat putus asa,"

"Wajar saja, organisasi itu menakutkan,"

Haibara menarik napas panjang, "Pantas saja. Aku dianggap genius sejak kecil. Aku ternyata memiliki kecerdasan sebagai ilmuwan di tubuh anak kecil. Semuanya, pengetahuan itu, aku mempelajarinya tanpa kesulitan sama sekali,"

"Sejak dulu kau memang sudah genius, kau partner Shinichi. Karena itulah kau menolak dibawa ke Inggris, kau..."

"Terikat padanya," Haibara melengkapi.

"Ya,"

"Aku mengerti sekarang, aku memahami semuanya. Benar kata Sonoko-San, aku memang penyihir, wanita iblis,"

"Kau sama sekali tidak begitu!" sergah Masumi.

Haibara berjalan ke pintu.

"Ai-Chan?" Masumi memandangnya cemas.

"Terima kasih atas informasinya," kata Haibara sebelum berlalu pergi.

"Shinichi," panggil Ran saat ia dan Shinichi sedang makan siang di sebuah kafe.

"Uhm?" tanya Shinichi seraya menyeruput tehnya.

"Aku sudah bicara pada Ai kemarin,"

"Oh ya? Lalu?"

"Dia menolak. Katanya kalau kita mau menikah ya menikah saja, dia tidak mau dikasihani," kata Ran.

"Sudah kuduga. Mau amnesia atau tidak, dia akan selalu begitu,"

"Lalu bagaimana?"

"Kita tunggu saja beberapa waktu lagi, biar dia lebih tenang sedikit,"

"Baiklah,"

Hening sejenak, sementara Shinichi memeriksa tabnya untuk mengetahui perkembangan kasusnya. Ran sebenarnya agak keberatan, di antara kesibukan Shinichi dan kini mereka tengah makan siang bersama, Shinichi tetap saja memikirkan pekerjaannya.

"Ano Shinichi,"

"Nani?"

"Kenapa kau suka padaku?" tanya Ran tiba-tiba.

Shinichi sampai menoleh padanya, "Kenapa kau tanya begitu? Di saat kita sudah mau menikah,"

"Hanya ingin tahu saja,"

"Kita berteman dari kecil dan aku sudah suka padamu sejak kecil,"

"Lalu?"

"Ehtooo..." Shinichi menimbang-nimbang, "Kau baik dan wanita yang sangat pedulian. Ah dan jago karate,"

"Tapi aku cengeng kan? Aku juga suka marah-marah padamu kalau kau sedang sibuk sekali dengan kasus-kasusmu,"

"Ah, selama aku bisa bertahan hidup dengan kekurangan-kekurangan itu tidak apa-apa kan?" sahut Shinichi enteng.

Belahan jiwa bukan mereka yang bisa hidup dengan satu dan yang lainnya... Ran terngiang oleh perkataan Haibara.

"Uhm, ngomong-ngomong Shinichi. Bagaimana komunikasimu dengan Ai-Chan belakangan ini?" tanya Ran ingin tahu.

Shinichi mendesah, tampak sedikit muram, "Tidak bagus. Ai lebih banyak mengurung diri di kamar bersama tugas-tugasnya. Padahal biasanya sesibuk apapun, dia akan menyambutku pulang dengan manis, walau aku pulang larut malam,"

"Lalu bagaimana kalau kau sedang perlu bantuannya?"

"Dia akan tetap membantu, besok pagi tahu-tahu USB sudah di ada meja belajarku. Sebisa mungkin dia menghindariku,"

"Oh..." Ran tampak bersimpati.

"Selama ini aku berusaha membuatnya hidup normal. Aku ingin dia bahagia, tapi sekarang malah aku yang membuatnya menderita..." Shinichi mendengus pahit.

"Shinichi, kau sangat mencemaskan Ai ya?"

"Setiap kali mengingat bagaimana Gin melemparnya, aku begitu marah bahkan sampai detik ini," Shinichi mengepalkan tangannya, "Sekarang setelah melihat dengan mata kepalaku sendiri, dia tumbuh dewasa, sehat dan mengagumkan. Aku sungguh lega. Hanya saja aku tidak pernah tahu, ada perasaan yang lain di dalam dirinya,"

"Dia begitu bergantung padamu,"

"Mungkin pada awalnya, tapi sekarang sepertinya aku yang bergantung padanya,"

"Shinichi..."

Mata Shinichi melembut ketika mengenang masa-masa indahnya bersama Haibara, tanpa sadar tangannya menyentuh jimat pemberian Haibara yang tergantung di handphonenya, "Sudah belasan tahun kami bersama. Dia sakit, dia senang maupun sedih aku selalu tahu dan sebisa mungkin selalu ada untuknya. Namun sekarang keberadaanku tidak akan banyak membantu. Aku tak bisa memaafkan diriku sendiri, jika dia terluka karena diriku. Tampaknya, kali ini permenku tidak akan ampuh lagi untuk membujuknya...

"Aku tak dapat membayangkan jika terjadi sesuatu padanya... Aku tak sanggup kehilangannya... Tak bisa hidup tanpa dirinya..."

Bagaimana jika dia sampai tertabrak truck tadi? Aku juga tak bisa hidup lagi! Aku sudah berjanji untuk melindunginya, bila terjadi sesuatu padanya, aku pun lebih baik mati... Perkataan Shinichi beberapa waktu lalu saat Haibara hampir tertabrak truck.

Aku sayang padanya... Dan aku tak bisa hidup tanpanya,

Mereka yang tidak bisa hidup tanpa satu dengan yang lainnya... lalu perkataan Haibara terngiang lagi.

Shinichi mengerjap lalu memandang Ran, "Gomene sepertinya penyakit Sister Complexku semakin akut ya?"

"E-Eh... tidak apa-apa. Lagipula masuk akal, kau selama ini bersama-sama dengannya banyak melewati suka duka. Wajar kalau kalian begitu dekat dan terikat,"

"Eh," Shinichi mengangguk, "Selama ini kan aku anak tunggal, ternyata begini ya rasanya kalau punya adik perempuan,"

Benarkah Shinichi? Benarkah hanya Sister Complex? Apakah ada perasaan lain yang berkembang yang kau sendiri tidak sadari? Batin Ran.

Mendadak HP Shinichi berdering, Shinichi mengangkatnya.

"Ada apa Masumi?" tanya Shinichi.

"Ai, tadi Ai menemuiku," kata Masumi.

"Nani?"

"Dia tahu Shinichi, dia tahu mengenai APTX 4869, dia juga tahu dirinya Miyano Shiho,"

Shinichi menegang, "Apa ingatannya kembali?"

"Tidak, belum. Ia tahu karena penelusurannya sendiri, lalu ia mendesakku untuk menceritakan semuanya. Aku akhirnya terpaksa memberitahunya segalanya. Aku menelponmu karena khawatir. Aku takut dia nekad berbuat yang tidak-tidak,"

"Aku mengerti, aku akan mencarinya," Shinichi memutus sambungan lalu mencoba menghubungi Haibara.

Ran menanti dengan cemas, sepertinya mengerti apa yang terjadi.

"Sial! Dia tidak angkat,"

"Apakah terjadi sesuatu pada Ai?"

"Dia tahu masa lalunya," ungkap Shinichi.

"Eh?" Ran tersentak.

"Tapi ingatannya belum kembali. Maaf Ran, aku harus mencarinya," kata Shinichi seraya bangkit berdiri.

"Kabari aku,"

"Oke,"

Shinichi menelpon Haibara sekali lagi, tidak tersambung. Lalu ia menelpon Yukiko, tidak diangkat juga. Ia mengumpat dalam hati, ke mana mereka semua sih? Kemudian ia mengeluarkan kacamata pelacaknya, tapi tidak ketemu titik di mana Haibara berada. Shinichi semakin dilanda ketakutan, ia berharap tidak terjadi sesuatu pada Haibara. Ia akhirnya mencari ke kampus dan lingkungan sekitar teman-temannya. Tidak ada satu pun yang tahu. Tidak heran. Haibara memang terkenal introvert, ia tidak banyak bergaul. Hari sudah sore ketika Shinichi sampai di rumah.

"Eh tumben sudah pulang Shin-Chan," sambut Yukiko.

Shinichi melongo, Yukiko dan Haibara sedang menyiapkan makan malam di meja. Ia lega sekaligus kesal.

"Kenapa kau tak mengangkat telponku?" tanya Shinichi pada Haibara.

"Telpon?" Haibara bingung, lalu mengeluarkan HP dari saku roknya, "Oh, habis baterainya,"

"Di mana lencana detektifmu?"

"Rusak karena jatuh di kereta, Hakase sedang membetulkannya,"

"Okasan juga kenapa tidak angkat telpon?"

"Oh HP Okasan di kamar. Dari tadi Okasan dan Ai sibuk memasak di dapur,"

"Ada apa memangnya?" tanya Haibara.

"Tidak, tidak apa-apa,"

"Sebaiknya kau mandi dulu sana Shin-Chan. Makan malam sebentar lagi siap," pinta Yukiko.

Shinichi naik ke kamarnya untuk mandi dan turun lagi menjelang makan malam. Semua hidangan sudah siap di meja. Anggota keluarga juga lengkap.

"Dimakan ya Ai-Chan. Okasan sudah buatkan udang mayonnaise kesukaan Ai-Chan," kata Yukiko seraya meletakkan udang mayonnaise ke mangkuk Haibara.

"Arigatou Okasan," kata Haibara seraya tersenyum, "Aku akan merindukan masakan Okasan,"

Semua tertegun menatapnya.

"Ai-Chan? Kenapa kau berkata begitu? Seolah kau akan pergi," tanya Yukiko.

"Pengajuanku untuk ikut pertukaran pelajar diterima. Aku akan menyelesaikan studi forensikku di Inggris," Haibara memberitahu.

"Itu kesempatan bagus sekali Ai-Chan," kata Yusaku, "Otosan bangga padamu. Kau pasti akan menjadi ahli forensic yang hebat,"

"Eh," Haibara mengangguk, "Arigatou Otosan,"

"Demo yo..." Yukiko memeluk Haibara, "Okasan bagaimana? Okasan pasti akan kangen sekali sama Ai-Chan..."

Haibara tersenyum seraya mengelus tangan yang merengkuhnya, "Ayolah Okasan. Jaman sekarang sudah serba canggih, kita bisa video call setiap hari,"

Yukiko masih merajuk.

"Atau Okasan ke Inggris saja sesekali, kita bisa belanja bersama,"

Yukiko tampak cerah, "Benar juga! Di sana kan barang brandednya bagus-bagus,"

Mata Yusaku menyipit, "Kesempatan ya Yukiko,"

Yukiko terkekeh.

Hanya Shinichi yang terdiam muram.

.

.

.

.

.

Shinichi mengetuk tiga kali sebelum membuka sedikit pintu kamar, "Boleh aku masuk?"

Haibara hanya melirik dari ekor matanya sebelum kembali pada laptopnya seraya berkata, "Masuk saja,"

"Kau sibuk?"

"Seperti yang kau lihat, banyak makalah. Kenapa? Perlu bantuan?"

"Tidak. Ini mengenai studimu ke Inggris,"

"Kenapa?"

"Ai, kalau kau memang tidak nyaman satu atap bersamaku. Tidak perlu kau yang pergi. Aku dan Ran yang akan pindah setelah kami menikah,"

"Mana mungkin. Kau putra kandung keluarga Kudo dan kalau menikah dengan Ran-San, dia juga akan menjadi menantu keluarga Kudo. Aku hanya orang asing yang menumpang. Aku lah yang harus pergi," ujar Haibara sambil tetap mengetik di keyboardnya.

"Kau bicara apa Ai? Kau juga bagian dari keluarga ini,"

"Aku akan tetap ke Inggris, itu peluang bagus yang tak mungkin aku lewatkan,"

"Kau tetap pada keputusanmu?"

"Ya. Kau tak perlu khawatir, aku sudah menyiapkan program dan mengajari Hakase kalau kau perlu bantuan informasi untuk investigasimu,"

"Kapan kau berangkat?"

"Dua bulan lagi,"

Shinichi tampak sedih, begitu cepat Haibara akan pergi, "Baiklah kalau memang itu keputusanmu. Jaga dirimu baik-baik selama di sana,"

"Aku tahu,"

"Di sana sangat dingin, gunakan pakaian tebal dan jangan diet..."

"Aku mengerti. Kau tidak perlu mengingatkanku, aku bukan anak kecil lagi,"

Shinichi mengangguk, "Aku tidak akan mengganggumu lagi kalau begitu," katanya pelan sebelum keluar dari kamar.

Haibara memejamkan mata seraya mendesah panjang.

Gomene nii-chan... Tapi ini langkah yang tepat... Penyihir pencipta racun ini seharusnya sejak dulu tidak perlu hadir di antara dirimu dan Ran-San... Semoga kau bahagia...

"Ai-Chan, boleh Okasan minta tolong?"

"Ada apa?" Haibara menatap Yukiko.

Yukiko menyerahkan amplop coklat ukuran A4 kepada Haibara, "Itu dokumen Shinichi ketinggalan. Bisa kau bawakan ke kantornya? Dia sedang berada di TKP, tapi setelah kembali ke kantor dia memerlukan dokumen itu,"

"Baiklah," kata Haibara seraya berjalan ke pintu.

"Tolong ya!"

"Hai," sahut Haibara sambil melambai sebelum ke luar rumah.

Sesampainya di kantor agensi, ruangan Shinichi kosong. Haibara meletakkan amplop itu di meja kerjanya lalu berbalik pergi. Namun mendadak langkahnya terhenti ketika ada telpon masuk. Setelah suara mesin penjawab mati, Haibara mendengar ancaman misterius itu.

"Kudo Shinichi, tebak aku berada di mana," kata suara seorang pria, terdengar dingin dan kejam, "Aku berada di sekitar tempat kerja tunanganmu, Mouri Ran,"

Haibara menegang.

"Serahkan data itu, kalau kau ingin dia selamat,"

Telpon terputus.

Haibara mengeluarkan HP nya bermaksud untuk menghubungi Shinichi, namun ia segera mengurungkan niatnya ketika ide itu terbersit di benaknya. Jarak kantor Ran dari agensi tidak jauh, ia akan sampai lebih dulu sebelum Shinichi.

Aku akan menebus hutangku... nii-chan...

Dua orang misterius itu terus mengawasi pintu masuk-keluar gedung di mana Ran bekerja. Ketika mereka melihat seseorang mirip Ran masuk ke area gedung, mereka mulai beraksi.

"Tidak salah lagi sepertinya," salah satu dari mereka membandingkan sosok tersebut dengan foto di HP mereka.

"Ayo!" teman satunya lagi mengajak.

Mereka memepeti sosok Ran dari belakang seraya menodongkan ujung senapan mereka di belakang pinggang Ran.

"Jangan bergerak," ancam mereka.

Ran bergeming.

"Ikutlah dengan kami," mereka melesakkan moncong pistol itu lebih dalam lagi.

Ran pun patuh mengikuti mereka.

Dua orang itu mengajak Ran ke gang sempit yang sepi. Di sana, tengkuknya dipukul hingga tidak sadarkan diri.

Shinichi melihat dokumen yang dimintanya tergeletak di meja. Ia dapat merasakan sisa bau parfum Haibara di sana, berarti Haibara yang telah mengantarnya. Lalu ia mengecek pesan di telponnya, tidak ada pesan.

Mendadak HP nya bergetar. Ada SMS masuk. Shinichi membacanya.

Kami sudah mendapatkan Mouri Ran. Serahkan data itu...

Shinichi menegang, Nani?

Ia langsung mencoba menghubungi Ran.

"Halo?" jawab Ran pada deringan ketiga.

"Ran! Kau di mana?"

"Eh? Di kantor, kenapa?"

"Kau baik-baik saja?"

"Iya, ini aku sedang bersama teman-temanku mau meeting,"

Shinichi mendesah lega, "Yukata ne..."

"Ada apa?"

Shinichi menceritakannya.

"Aneh. Aku di sini aman-aman saja, tidak ada yang mencurigakan,"

"Ya sudah, kau hati-hati saja kalau begitu,"

"Oke,"

Mereka memutuskan sambungan. Namun mendadak HP Shinichi berdering lagi, rupanya dari Yukiko.

"Okasan,"

"Shin-Chan. Apa kau sudah terima dokumennya?"

"Eh sudah,"

"Apa Ai masih di sana?"

"Ai? Tidak ada kok,"

"Loh aneh, harusnya dia sudah pulang dari tadi,"

"Aku akan coba menghubunginya,"

"Oke,"

Mereka memutuskan sambungan, Shinichi mencoba menghubungi Haibara. Tapi tidak ada nada sambung sama sekali. Shinichi juga tidak bisa melacaknya karena lencana detektif masih direparasi oleh Profesor Agasa.

"Ada yang tidak beres..." Shinichi memandang telpon yang tidak ada pesan lalu melirik ke CCTV ruangannya. Ia pun segera menghubungi security gedung.

Beberapa menit kemudian ia mengecek rekaman CCTV bersama Masumi.

"Itu Ai," Masumi menunjuk.

"Dia berhenti lagi, besarkan volume suaranya," pinta Shinichi.

Security langsung memperbesar volumenya.

"Ada telpon masuk," gumam Masumi.

"Aku berada di sekitar tempat kerja tunanganmu, Mouri Ran" terdengar suara telpon itu berkata.

Shinichi dan Masumi menegang.

"Ai sepertinya ingin menghubungi seseorang tapi tidak jadi. Dia juga menghapus semua pesan di telpon," Masumi tersentak, "Apa jangan-jangan..."

"Dia menyamar menjadi Ran," tebak Shinichi memiliki pemikiran yang sama dengan Masumi, "Telpon polisi Masumi!" pintanya seraya bergegas pergi.

"Hai!"

Bakane Ai! Gerutu Shinichi dalam hati.

.

.

.

.

.

"B-Bunuh aku... Gin..."

"Kau tak perlu mengingatkannya!"

Duar!

Haibara tersentak bangun.

Di mana ini? Ia memandang berkeliling.

Perlahan ia bangun duduk dan menemukan dirinya di sebuah ruangan besi dengan banyaknya tumpukan barang. Seperti gudang.

Tunggu dulu... Waktu itu Gin melemparku... Lalu Kudo-Kun menyelamatkanku... Ya akhirnya aku ingat semuanya... Setelah itu aku tinggal di keluarga Kudo, menjadi putri angkat mereka dan mengulang siklus hidup sekali lagi...

Haibara menyentuh keningnya. Setelah ingatannya mendadak kembali, sekarang memorinya melimpah. Ia ingat semuanya, kehidupannya sebelum amnesia dan kehidupannya setelah amnesia.

Kenapa ingatanku kembali di saat seperti ini... Batin Haibara. Mungkin pukulan keras di tengkuknya telah membuat kenangannya kembali.

"Bagaimana ini?! Dia bukan Mouri Ran!"

Terdengar suara-suara di luar sana.

"Dia cuma mengenakan wig dan berpura-pura menjadi Ran,"

"Tunggu lihat ini!" salah satu penculik itu menunjukkan layar handphonenya. Foto Shinichi yang berdansa dengan Haibara di pesta wisuda, "Dia juga sangat berguna. Aku dengar detektif itu sangat menyayangi adik angkatnya, Sister Complex. Langkah kita masih tepat,"

"Baiklah, kalau begitu cepat hubungi dia dan dapatkan datanya,"

Haibara menyipit. Data? Mungkinkah ini berhubungan dengan kasus yang ditangani Shinichi? Kasus pencucian uang di mana Haibara berhasil mendapatkan bukti transaksinya. Shinichi akan menggunakan data itu di pengadilan.

"Mana Ai?" tanya Shinichi yang datang seorang diri, atau begitu tampaknya.

Salah satu dari mereka menggeret Ai keluar dari dalam gudang. Tangannya terikat di belakang dan mulutnya dilakban.

"Ai!" Shinichi tampak geram.

"Mana datanya?" tanya para penculik itu.

Shinichi menunjukkan USBnya.

Haibara menggeleng menatap Shinichi, berharap agar Shinichi tidak menuruti mereka.

"Berikan itu!" para penculik meminta.

"Serahkan Ai dulu!"

"Kau kira kami bodoh!"

"Bersamaan kalau begitu!"

"Tidak! Mana kami tahu kalau data itu adalah asli!"

"Brengsek!"

"Kau tak punya pilihan!"

Shinichi melempar USB itu, salah satu dari penculik menangkapnya dan mengeceknya di laptop dengan cepat.

"Asli, semua lengkap," kata penculik yang memeriksa laptop.

"Lepaskan Ai!"

"Kau perlu diberi pelajaran, Tantei-San," salah satu penculik mengokang pistolnya dan mengarahkannya ke kepala Haibara.

Shinichi murka, "Jangan lukai dia! Kau sudah dapatkan datanya!"

"Sebagai ganjaran atas kesombonganmu!"

Buk! Masumi melompat dari belakang dan menendang mereka tepat pada waktunya. Dengan Jet Kun Do nya yang lincah, ia menghajar para pencuri itu satu per satu. Shinichi segera meraih Ai dan membebaskannya dari ikatan tali dan lakbannya.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Shinichi.

"Eh" Haibara mengangguk.

Mereka tidak menyadari ada seorang yang menyelinap dari belakang. Samurai mengilap di tangannya meminta mangsa. Hanya Haibara yang menyadari kilauan mata pisau itu di atas kepala Shinichi. Waktunya sepersekian detik.

"Awas Kudo-Kun!" Haibara memutar tubuh Shinichi.

Crash! Samurai itu menebas punggung Haibara, darahnya muncrat.

Masumi terkejut, ia langsung menghajar pemilik samurai tersebut.

"Ai!" Shinichi mendekapnya, tampak sangat terguncang.

Wajah Haibara langsung pucat, matanya memandang Shinichi penuh arti.

"Bertahanlah Ai!" pinta Shinichi panik.

Tangan Haibara gemetar saat ingin menyentuh wajah Shinichi. Shinichi meraihnya dan menempelkannya pada wajahnya seraya menangkup tangan Haibara di sana.

"K-Kudo... Kun..." darah mengalir dari sudut bibirnya saat Haibara berusaha berbicara.

Mata Shinichi membesar, Kudo? Apa ingatannya sudah kembali?

"Ai..." air mata Shinichi mengalir, "Kenapa..."

"Di D-dunia ni... Tidak boleh... T-dak ada... K-Kudo Sh-nichi..." bisik Haibara terbata.

"Jangan bicara dulu Ai, simpan tenagamu," bisik Shinichi gemetar.

"S-Saynnara... My P-partner..." Haibara menutup matanya.

"Tidak! Ai! Jangan seperti ini! Ai!" Shinichi meraung seraya memeluk Haibara erat-erat.

"Selamatkan dia Sensei!" pinta Shinichi yang tampak berat melepas Haibara masuk ke ruang operasi.

"Tenang Kudo-Kun, kau tunggu dulu di sini," pinta Dokter seraya masuk ruang operasi.

"Selamatkan dia..." Shinichi menyandarkan keningnya ke pintu ruang operasi yang tertutup. Tubuhnya merosot di lantai.

"Shin-Chan..." Yukiko menyentuh bahu putranya dengan lembut.

"Okasan... Semua karena aku... Ai terluka selalu karena aku..." rintih Shinichi dengan air mata berlinangan.

Ran dan Profesor Agasa tertegun. Shinichi biasanya sangat mampu mengendalikan dirinya. Mereka tidak pernah melihat Shinichi hancur seperti ini.

"Tidak Shin-Chan, itu tidak benar. Kau adalah hidupnya Ai..." bisik Yukiko dengan airmata juga berlinangan.

"Aku tidak sanggup Okasan... Aku tidak mau kehilangan dia..."

Yukiko memeluknya, "Tidak Shin-Chan... Ai pasti baik-baik saja..."

"Aku harus bagaimana... Jika dia pergi aku harus bagaimana..." bahu Shinichi berguncang ketika ia terisak dalam pelukan ibunya, "Ai..."

Yukiko menggigit bibirnya, hatinya juga sedih dengan keadaan ini.

Yusaku menghampiri istri dan putranya, meraup mereka berdua dalam pelukannya, "Kita percayakan saja pada Ai-Chan..." pintanya tenang dan bijak.

Tengah malam operasi masih berlangsung. Shinichi tidak tahu sudah berapa lama bergeming di sana seraya mengaitkan jari-jarinya. Kemejanya belum diganti, masih belepetan darah Haibara. Orang tuanya sedang kembali ke rumah untuk membawakan baju bersih dan baju-baju Haibara bila diperlukan. Masumi, Profesor Agasa dan Ran sedang membeli kopi di kantin. Hanya Shinichi saja di kursi tunggu, menunggu dalam sepi.

Terdengar suara pintu lift dan beberapa lapis pintu otomatis terbuka sebelum menutup lagi. Shinichi sempat mengira mungkin orang tuanya atau Ran dan yang lainnya telah kembali. Tapi tidak ada siapa-siapa dan tidak terlihat apapun. Kemudian Shinichi mendengar suara langkah kaki itu. Suara langkah kaki sepatu wanita. Hanya seorang saja.

Shinichi mengintip dari ekor matanya. Sepatu itu tidak berhak tinggi, namun berwarna putih. Ia tidak mengenalinya, ia tahu Ran, Yukiko apalagi Masumi tak memiliki sepatu itu. Dan itu juga jelas-jelas bukan kaki para perawat. Lambat-lambat ia mendongak untuk menatap sosok itu. Seketika matanya membesar karena ngeri. Bulu kuduk Shinichi meremang, sekujur tubuhnya dingin.

"A... Akemi- San?" gumam Shinichi tak memercayai matanya sendiri. Miyano Akemi yang sudah meninggal, kini berada di hadapannya.

Akemi yang memakai gaun putih hanya tersenyum hangat. Sangat cantik. Ia mengangguk sopan pada Shinichi sebelum berjalan melalui Shinichi. Tubuhnya menembus pintu ruang operasi.

"Tunggu!" Shinichi bangkit berdiri.

Shinichi melihat sosok Akemi berhenti dan menoleh padanya dari balik jendela pintu.

"Kau tidak boleh membawanya," kata Shinichi.

Akemi masih tidak mengeluarkan sepatah kata pun selain tersenyum.

"Kau tidak boleh membawanya pergi! Ai milikku!"

Akemi berbalik memunggungi Shinichi dan menghilang ke dalam ruang operasi.

"Akemi-San! Kau tidak boleh menjemput Ai! Tidak boleh!" raung Shinichi seraya menggedor-gedor pintu.

Buk! Shinichi terjatuh dari kursi dan tersentak bangun.

"Shin-Chan!" Yukiko merengkuh bahunya, "Kau baik-baik saja?"

"Akemi mana?" Shinichi memandang pintu ruang operasi dengan kalut.

"Akemi?" Yukiko bingung.

"Miyano Akemi, kakak kandung Ai, aku melihatnya datang untuk membawa Ai pergi!" pekik Shinichi.

"Kau ketiduran Shin-Chan. Itu hanya mimpi. Ai masih dioperasi,"

"Tidak mungkin, itu seperti nyata. Akemi datang untuk menjemput Ai! Aku tidak bisa membiarkannya! Aku tidak bisa! Dia tidak boleh membawa Ai pergi!" Shinichi benar-benar kacau.

Yukiko memeluknya, "Itu cuma mimpi karena kau terlalu khawatir. Cuma mimpi, kami tidak melihat Akemi di sini,"

"Perasaanku tidak enak Okasan..." Shinichi mencengkram bahu ibunya, "Ai tidak boleh pergi... Aku belum bisa membiarkannya bergabung bersama keluarganya di sana... Tidak bisa..."

Yukiko mengusap-usap punggung putranya berusaha menenangkan, "Jangan berprasangka buruk dulu Shin-Chan..."

Ran dan Profesor Agasa yang memandang hal itu juga tak mampu membendung air mata. Ran kini menyadari, betapa dalam perasaan Shinichi untuk Haibara. Tapi ia tak sempat merasa cemburu, hatinya lebih pedih melihat Shinichi menderita.

Ai-Chan... Kau harus hidup... Kau harus hidup demi Shinichi... Dia membutuhkanmu... Kau adalah dunianya...Sejak dulu kau telah memenangkan hatinya bahkan tanpa perlu bersaing denganku... Ran berdoa tulus dalam hati.

"Tenanglah Shin-Chan... Ini seperti bukan dirimu..." pinta Yukiko sambil mengecup kepala Shinichi berulang kali.

"Aku sayang padanya Okasan..." rintih Shinichi gemetar.

"Kami semua tahu kau sayang Ai," bisik Yukiko lembut.

"Aku sangat menyayanginya... Aku..." mencintainya... Air mata Shinichi mengalir lagi ketika ia menyadari hal itu. Jadi selama ini ia bukan pengidap Sister Complex. Ia sungguh-sungguh mencintai Haibara. Selayaknya pria pada wanita, bukan kakak terhadap adiknya. Shinichi mengumpat dalam hati, betapa dungunya ia.

.

.

.

.

.

Shiho sedang berjalan-jalan di sebuah taman yang indah. Kemudian ia melihat sosok itu di tengah-tengah sebuah jembatan panjang yang melengkung.

"Shiho!" panggil Akemi seraya melambai.

Shiho berlari ke arahnya, wajahnya tampak cerah, "Onee-Chan,"

"Ayo Shiho! Otosan dan Okasan sudah menunggu," ajak Akemi.

"Eh" Shiho mengangguk dan mulai menaiki jembatan.

"Ai!" mendadak terdapat suara panggilan lain di bawah jembatan.

Shiho menoleh, "Kudo-Kun?"

Shinichi tersenyum, "Ayo kita pulang Ai," ajaknya.

"Eh?" Shiho mengerjap, memandangi Shinichi dan Akemi kakaknya bergantian. Bingung memutuskan.

"Shiho ayooo..." ajak Akemi lembut, "Jangan biarkan Otosan dan Okasan menunggu lebih lama lagi, mereka rindu padamu,"

Shiho memandang Shinichi, "Maaf Kudo-Kun. Aku tak bisa ikut denganmu. Kembalilah pada Ran-San. Semoga kalian bahagia," ucapnya seraya berbalik menuju Akemi.

"Aku mencintaimu!" teriak Shinichi.

Shiho bergeming.

"Aku mencintaimu Haibara Ai," ulang Shinichi.

Shiho menoleh lagi menatapnya, untuk memastikan kebenaran perkataannya.

"Aku mencintaimu Miyano Shiho," sekali lagi Shinichi berkata lebih tegas.

"Kudo-Kun..."

"Kembalilah bersamaku, aku membutuhkanmu," pinta Shinichi dengan tatapan memohon.

Shiho jadi tidak tega melihatnya.

"Shiho..." Akemi masih menunggu.

Shiho memandang kakaknya, "Gomene Onee-chan. Tapi aku belum bisa ikut denganmu. Sampaikan maafku pada Otosan dan Okasan. Kudo-Kun masih membutuhkanku,"

Sosok Akemi pun menghilang dalam kepulan asap. Shiho berlari menuju Shinichi yang sudah siap menyambutnya. Shiho melompat ke dalam pelukan Shinichi, yang langsung menggendongnya dengan sigap.

Cahaya putih terang membutakan menyelimuti pandangannya.

"Aku mencintaimu Ai... Tolonglah kembali... Buka matamu,"

Haibara mendengar kata-kata itu dibisikkan di telinganya. Lambat-lambat sekali ia membuka matanya yang terasa sangat berat. Ia menemukan dirinya terbaring lemah di rumah sakit dan mengenakan alat-alat monitor kehidupan. Ia melihat Shinichi memandangnya dengan cemas. Wajahnya sangat pucat dan juga sangat berantakan karena belum bercukur. Matanya bengkak karena kebanyakan menangis dan begadang. Haibara tak mampu memanggilnya karena sedang menggunakan ventilator.

Shinichi mengeluarkan desahan kelegaan ketika melihat Haibara siuman. Ia mengenggam tangan Haibara dan menangkupkannya di pipinya sendiri.

Haibara hanya bisa mengedip lemah sebagai tanda menyadari keberadaan Shinichi.

Shinichi mencondongkan tubuhnya untuk mengecup kening Haibara.

Masumi yang melihat semua itu dari kaca hanya tersenyum seraya mengutip perkataan Akai Shuichi dalam hati. Sekali partner tetap saja partner...

Shinichi menatap cincin itu di telapak tangannya. Ran baru saja mengembalikan cincin pertunangannya. Saat itu mereka tengah berada di teras atas gedung rumah sakit.

"Biarkan cincin itu berada di pemilik sejatinya," kata Ran lembut.

"Kau tidak marah?" tanya Shinichi.

Ran menggeleng, "Sama sekali tidak. Kalaupun marah, lebih ditujukan untuk diriku sendiri. Sebagai teman Shinichi dari kecil, harusnya aku bisa mengingatkan Shinichi akan perasaanmu terhadap Ai-Chan,"

"Ran..."

"Tapi mungkin saja aku sudah menyadarinya, namun berusaha mengingkarinya. Ai-Chan benar, aku egois... Aku menang WO karena status teman sejak kecil, seharusnya kami bersaing secara adil sebagai sesama wanita..."

Ran mendesah sesaat sambil berbicara lagi dengan pandangan menerawang menatap langit, "Aku kini mengerti. Aku banyak mengeluh dan menuntut perhatian dari Shinichi yang penggila misteri. Sementara Ai-Chan, dia malah mati-matian berusaha agar selevel denganmu, menjadi partnermu untuk membantumu memecahkan misteri. Ia menjadikanmu sebagai dunianya, ia berjuang agar dirinya juga bisa bergabung dalam duniamu... Kalau memikirkan hal itu aku sungguh malu dan merasa betapa kekanakannya diriku ini karena kebalikan dari Ai-Chan, aku malah memaksa Shinichi keluar dari dunia kesukaan Shinichi sendiri..."

Shinichi hanya diam membisu, baru menyadari kenyataan itu juga dari perkataan Ran. Betapa telah banyak yang dikorbankan Haibara untuk dirinya.

"Dia menyamar jadi diriku, agar aku tidak terluka. Karena dia tahu, jika aku terluka, Shinichi juga akan sedih... Dia benar-benar mengagumkan... aku sendiri belum tentu sanggup melakukan hal itu..." ungkap Ran dengan mata berkaca-kaca, "Kini aku memahami arti dari belahan jiwa. Bukan Shinichi yang bisa hidup denganku yang rewel. Tapi Shinichi yang tidak bisa hidup tanpa Ai-Chan. Itu lah belahan jiwa yang sebenarnya,"

Shinichi tak dapat menemukan suaranya karena tenggorokannya tercekat.

Ran merengkuh bahunya, "Jaga Ai-Chan..."

Shinichi mengangguk, "Apa rencanamu?"

Ran mengangkat bahu, "Mungkin melanjutkan studiku dan menemukan duniaku sendiri..."

"Arigatou Ran. Jaga dirimu,"

"Eh, kau juga,"

"Apa?" Yukiko melongo, "Jadi kau sudah ingat semua?"

Ventilator Haibara sudah dilepas. Ia sekarang bisa duduk. Namun masih belum dapat banyak bergerak, karena luka sabetan itu belum sepenuhnya kering. Sesekali masih terasa perih.

"Uhm," Haibara mengangguk.

"Apa saja yang kau ingat?"

"Semuanya, sejak Gin melemparku hingga aku mengulang hidup sekali lagi sebagai Haibara Ai, sebagai putri kalian,"

"Ya ampun, setelah belasan tahun, akhirnya ingatanmu kembali,"

"Arigatou Okasan, Otosan, karena bersedia merawatku selama ini. Aku masih boleh panggil Otosan dan Okasan kan?"

Yukiko memeluknya, "Anak bodoh. Tentu saja boleh. Selamanya kau putri kami,"

Yusaku tersenyum, "Lalu setelah ini apa rencanamu? Mau tetap jadi ahli forensik atau kembali jadi ilmuwan? Kau genius berlipat ganda sekarang,"

"Aku juga masih belum tahu, aku akan memikirkannya lagi,"

"Apapun itu, kami akan selalu mendukungmu," kata Yukiko seraya menggenggam tangan Haibara dengan hangat.

"Arigatou Okasan,"

Luka sabetan samurai itu membuat Haibara tidak bisa pulih dengan cepat. Rencana studi ke Inggrisnya terpaksa batal. Ia juga harus mengajukan cuti kuliah selama satu semester sampai kondisinya benar-benar mampu beraktifitas normal lagi. Yukiko banyak memanjakannya dan selalu berada di sisinya, hingga Shinichi belum sempat berbicara berdua saja dengannya.

Tiga bulan kemudian...

Shinichi memandang jendela ruang tamu. Tapi otaknya terus berputar. Sudah tiga bulan sejak Haibara keluar dari rumah sakit. Ia harus segera bicara empat mata dengannya. Sekarang adalah kesempatannya, mumpung rumah kosong karena Otosan dan Okasan sedang keluar. Hanya ia dan Haibara berdua saja di rumah ini. Shinichi telah memutuskannya. Ia pun berbalik tepat pada saat seseorang melempar sebuah benda padanya. Shinichi refleks menangkapnya, ternyata kunci mobil.

"Eh?" Shinichi bingung memandang kunci mobilnya sendiri.

"Masih ada waktu satu jam sebelum pesawatnya lepas landas," kata Haibara seraya melipat lengannya. Meski wajahnya masih pucat, tapi kondisinya sudah jauh lebih baik.

"Kau kira aku mau mengejar Ran?"

Haibara mengangkat bahu, "Memangnya apalagi?" lalu berbalik badan.

"Aku tidak mau mengejarnya kok! Kami sudah putus baik-baik,"

"Sekarang ingatanku sudah kembali," ujar Haibara seraya menoleh dari balik bahunya untuk menatap Shinichi, "Aku bukan adik kecil manja yang akan mengemis perhatian darimu. Aku adalah Miyano Shiho, Putri Setan Mengantuk,"

"Ai..."

"Kejarlah Ran-San. Aku yakin kalian bisa berbaikan lagi," Haibara berlalu pergi dari ruang tamu.

Namun mendadak Shinichi mencegahnya dengan memeluknya dari belakang.

Haibara kaget, "Kudo-Kun?"

"Mau kau Putri Setan Mengantuk atau adik kecilku, tapi perasaanmu tetap sama kan?"

"Nani?"

"Kau mencintaiku,"

Haibara membeku.

"Dan akupun mencintaimu Ai... Atau kini harus kupanggil Shiho?"

"Kudo-Kun..."

"Aku tidak mau kehilanganmu lagi," Shinichi mempererat rengkuhannya.

Tapi Haibara memaksa melepaskan diri.

Shinichi bingung dengan sikapnya.

"Kau tidak bisa seenaknya Tantei-San," kata Haibara dingin, "Kau mencintai Ran-San dan harus mendapatkan Ran-San, sekarang tiba-tiba kau bilang cinta padaku dan ingin mendapatkan diriku. Memangnya kau kira aku apa? Wanita gampangan? Atau bangku cadangan?"

"Aku tidak menganggapmu begitu,"

"Aku perlu bukti,"

"Nani?"

"Bukti kalau kau mencintaiku dan mengerti apa yang menjadi keinginanku,"

"Bukti bagaimana?"

"Sebuah permainan kecil,"

"Eh?" Shinichi semakin bingung.

"Di penitipan loker Stasiun Beika nomor 4869. Kau harus meletakkan barang yang sangat kuinginkan di loker tersebut. Aku akan mengeceknya setiap jam 5 sore. Aku hanya akan memberi kesempatan tiga kali. Selama permainan ini, kita tidak boleh bertemu. Aku akan menginap di rumah Hakase. Kau tidak boleh menaruh benda itu bersamaan dengan waktuku mengecek loker,"

"Kalau benar bagaimana dan kalau salah bagaimana?"

"Kalau benar aku bisa menerimamu, kalau salah yah anggaplah kita tidak berjodoh,"

Shinichi terhenyak, "Nani?"

"Jangan aku terus yang mengemis, aku juga ingin melihatmu berjuang mendapatkan diriku seperti halnya kau berjuang demi Ran-San dulu," kata Haibara angkuh.

"Hanya tiga kesempatan? Kenapa sulit sekali?" keluh Shinichi.

"Kau kan detektif, kau harus bisa memecahkannya,"

"Barang yang kau mau kan banyak,"

"Aku akan memberi petunjuk,"

"Apa?"

"Barang itu tidak terlihat olehku, tapi itu pertanda kau memikirkanku bahkan di saat sedang tidak terlihat olehku,"

"Tidak terlihat tapi memikirkan di saat tidak terlihat? Apa sih?!"

"Selamat berpikir," ejek Haibara seraya pergi ke rumah Profesor Agasa.

Shinichi hanya garuk-garuk kepala, "Pusing aku jadinya,"

.

.

.

.

.

Pada kesempatan pertama Shinichi meletakkan tas Fusae edisi terbaru yang terbatas dan mahal di loker 4869. Esok harinya Haibara hanya meletakkan sebuah kertas dengan tulisan 'BODOH' besar-besar. Tas nya sama sekali tidak diambil.

Di kesempatan kedua Shinichi menaruh okonomiyaki yang masih hangat. Esok harinya okonomiyaki itu hilang bersama sebuah kertas lagi. "Bukan Okonomiyaki yang kumaksud! Tapi karena aku lapar, aku ambil okonomiyakinya!"

Hanya tinggal satu kesempatan lagi, Shinichi merenung seharian di meja dapur. Laptop dan dokumen yang berserakan dianggurkan.

"Masih belum benar juga?" tanya Yusaku menghampiri saat melihat putranya menghela napas berulang kali.

"Ah," sahut Shinichi lesu seraya menyandarkan dagunya di meja dapur.

"Memang apa petunjuknya?"

"Barang yang tidak terlihat olehnya, tapi itu pertanda aku memikirkannya bahkan di saat sedang tidak terlihat olehnya," jawab Shinichi.

"Uhm," Yusaku bertopang dagu, "Coba kau ingat-ingat lagi Shinichi. Mungkin ada yang Ai ingin kau lakukan namun belum kau lakukan,"

"Yang ingin kulakukan namun belum kulakukan? Apa ya? Aku sudah berpikir seharian, sepertinya aku sudah menuruti semua maunya,"

Yusaku nyengir, "Dia benar-benar mengujimu ya?"

"Ah..."

"Yu-Chan!" Yukiko berseru seraya menghampiri suaminya.

"Ada apa?" Yusaku menoleh pada istrinya.

"Pinjam dompetmu sebentar donk untuk bayar kurir. Dompetku di kamar,"

"Takuuu..." Mata Yusaku menyipit seraya merogoh dompet dari sakunya dan menyerahkannya pada istrinya.

"Gomene Yu-Chaan!" Yukiko membawa dompet tersebut keluar.

Dompet... Dompet... Shinichi mengerjap. Tunggu... Dompet? Apa ya?

Tetap saja! Nii-Chan memasang foto kita berdua hanya di tempat yang bisa kulihat tapi tidak di tempat yang tidak kulihat. Artinya nii-chan hanya memikirkanku kalau aku lihat, kalau aku tidak lihat, kau tidak memikirkan aku ...

Shinichi menegakkan tubuhnya, Itu dia!

Shinichi mengeluarkan dompetnya dari saku celananya. Ketika ia membukanya, masih terpajang foto dirinya bersama Ran, belum diganti.

Aku tidak suka kau membuka dompetmu ...

Shinichi juga teringat sewaktu ia ingin membelikan barang yang Haibara mau di pasar festival. Waktu itu ia kira Haibara tidak mau dibayar dan ingin menggunakan uangnya sendiri. Rupanya maksudnya, Haibara tidak suka Shinichi membuka dompetnya karena ada foto Ran di sana.

Shinichi tersenyum cerah. Dasar! Putri Setan Mengantuk... Kau masih saja kekanakan hanya gara-gara foto...

Sambil menenteng anak kunci, sore itu Haibara kembali berjalan ke loker nomor 4869. Ia termenung sesaat di depan loker seraya menarik napas panjang. Entah apalagi yang akan di taruh Shinichi di sana. Takoyaki? Sandwich blueberry-kacang? Atau permen warna-warni kesukaan adik kecilnya? Kalau sampai hal remeh temeh tentang dirinya saja Shinichi tidak aware bagaimana mereka mau jadi sepasang kekasih? Dasar magnet mayat bodoh!

Akhirnya Haibara memasukkan anak kunci dan memutarnya. Ia membuka pintu loker tanpa banyak berharap. Lalu bagai ada lagu romantis berputar di angan-angannya, ia memandang benda tersebut dengan terpana.

Kudo-Kun...

Haibara mengulurkan tangannya untuk meraih benda itu. Dompet Shinichi yang sekarang sudah memajang foto dirinya. Fotonya dengan Shinichi saat di rumah sebelum berangkat untuk wisuda kedokterannya. Haibara ingat saat itu, Yukiko yang memotretnya. Malam pesta dansa itu, juga berakhir sangat indah.

Dasar detektif... gumam Haibara dalam hati seraya tersenyum.

"Aku juga memikirkanmu di saat kau tidak melihatnya," kata suara di belakang Haibara.

Haibara terkejut, lalu berbalik menatap Shinichi, "Kudo-Kun? Bukankah sudah aku bilang peraturannya? Kita tidak boleh papasan,"

Shinichi nyengir, "Tebakanku sudah benar, jadi peraturannya tidak berlaku lagi kan?"

"Taku..."

"Sekarang aku minta rewards ku,"

Haibara mengernyit, "Rewards? Sepertinya aku tidak pernah bilang..."

Namun Shinichi tak mau menunggu Haibara menyelesaikan kalimatnya. Ia langsung meraih tengkuk Haibara dan mempertemukan kedua bibir mereka. Memagutnya mesra. Haibara akhirnya menyerah. Perlahan lengannya merayap menaiki bahu Shinichi dan merangkul lehernya, membuat pagutan itu semakin dalam.

"Nee..." panggil Shinichi ketika mereka telah jalan bersama seraya bergandengan tangan untuk pulang.

"Uhm?" Haibara menatapnya.

"Sekarang ketika ingatanmu sudah kembali, kau tidak mau buat antidote APTX lagi?" tanya Shinichi.

"Untuk apa? Aku toh sekarang sudah dewasa juga,"

"Siapa tahu saja..."

"Kenapa? Kau takut dibilang om ku? Atau sugar daddyku?" goda Haibara.

Mata Shinichi menyipit, "Apa aku terlihat setua itu?"

Haibara terkekeh, "Untuk sugar daddy mungkin tidak. Tapi kalau sister complex, mungkin iya,"

"Bodo amat," sahut Shinichi tak peduli.

"Ngomong-ngomong, apa kau masih menyimpan tas Fusae itu?"

"Kau menginginkannya?"

"Tentu saja!"

"Kenapa kemarin tidak langsung ambil?"

"Gengsi,"

"Takuu..."

"Ada tidak?" tuntut Haibara.

"Sepertinya diambil Okasan,"

"Ya ampun..." keluh Haibara.

Mereka akhirnya malah masuk ke hotel alih-alih pulang ke rumah.

Jarak dari pintu kamar menuju tempat tidur sebenarnya tidak begitu jauh. Tapi entah kenapa Shinichi merasa tidak sampai-sampai. Ia dan Haibara bersusah payah mencapai kasur seraya sambil berpagutan penuh nafsu dan menanggalkan satu per satu pakaian mereka. Ketika akhirnya mereka berhasil mencapai tempat tidur, semuanya sudah terlepas. Pakaian mereka bertebaran dari pintu hingga ke bawah kasur.

"Kau tumbuh dengan baik Putri Setan Mengantuk," gumam Shinichi setelah melihat kemolekan tubuh Haibara. Ia mulai menghujani Haibara dengan ciuman kekaguman.

"K-Kudo..." Haibara merintih lemah ketika Shinichi terus menerus mencumbunya.

"Shinichi... panggil aku Shinichi..." pinta Shinichi di sela-sela ciumannya. Bibirnya mengulum puncak payudara Haibara sementara tangannya menggerayangi kewanitaannya.

"Shinichi..." Haibara mendesah seraya menyebut namanya.

Haibara hanya merasakan sakit sedikit ketika Shinichi memasukinya. Namun setelah itu ia melengkungkan tubuhnya dengan nikmat sebagai respon atas gerakan Shinichi. Air matanya merebak karena haru, betapa ia mencintai pria ini dan ingin meleleh bersamanya.

.

.

.

.

.

"Sepertinya aku telah menjadi Oedipus Complex," gumam Shinichi.

Haibara hanya terkekeh.

Masih belum mengenakan pakaian, Shinichi dalam posisi setengah duduk bersandar di kepala ranjang, sementara Haibara bersandar menelungkup di dadanya. Shinichi membelai-belai punggung telanjangnya penuh sayang, terutama terhadap bekas luka tebasan samurai di sana. Tenggorokan Shinichi tercekat oleh kepedihan, luka itu hampir menghilangkan nyawa Haibara demi menyelamatkan dirinya.

"Aku bisa melalukan operasi plastik untuk menghilangkan bekasnya, kalau kau mau," gumam Haibara seakan mengerti jalan pikiran Shinichi.

"Tidak, biarkan saja. Biar bekas itu menjadi pengingatku," ucap Shinichi sembari mengecup ubun-ubun Haibara. Ia tak peduli bekas luka apapun, di matanya Haibara tetap mengagumkan.

"Nee...," panggil Haibara.

"Nani?"

"Tidak jadi,"

"Sebenarnya kau mau bicara apa?"

"Tadinya aku ingin bertanya sesuatu, tapi sebaiknya tidak usah. Aku tak yakin mau membahasnya lebih jauh," kata Haibara.

"Kau ingin tahu bagaimana biasa aku melakukannya dengan Ran?" tebak Shinichi.

Haibara terkesiap, tak menyangka tebakan Shinichi benar.

Shinichi nyengir, "Tak perlu terkejut, pikiran kita memang terhubung kan?"

"Sebaiknya aku tak usah tahu kalau begitu,"

"Aku tak pernah menyentuhnya," sergah Shinichi cepat.

"Eh?" Haibara juga tak menyangka jawaban itu.

"Ran bersikeras ingin melakukannya setelah pernikahan dan aku menghargainya. Aku tak memaksanya bahkan tak pernah membahasnya,"

"Untuk ukuran pria echi seperti dirimu, aku kaget juga kau tahan,"

"Echi ya hehehe... Yah tapi terus terang saja aku tidak terlalu banyak memikirkannya. Kau sendiri tahu kencanku cukup formil, makan, nonton dan jalan-jalan seperti biasanya,"

Haibara mendongak menatapnya, "Bagaimana dengan Putri Setan Mengantuk ini?"

Mata Shinichi berapi-api ketika berkata, "Kau menggiurkan,"

Haibara tersenyum, "Apa kau ingat ketika kita liburan bersama ke Hawai? Saat itu Ran-San juga ikut,"

"Aku ingat. Kenapa?"

"Waktu itu kau dan Okasan mengajakku berenang di pantai bersama Ran-San,"

"Ah, kau menolaknya. Kau manyun dan mengurung diri di hotel. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku maklum saja karena kau memang tertutup saat itu,"

"Aku masih berusia 11 tahun di siklus keduaku saat itu. Tubuhku belum terbentuk dengan baik. Aku malu dan minder untuk berenang bersamamu sementara tubuh Ran-San dan Okasan jauh lebih bagus. Aku benar-benar berharap cepat dewasa, agar bisa memiliki tubuh yang sempurna seperti Okasan dan Ran-San,"

"Kau cantik Ai. Aku tahu kau akan tumbuh dengan mengagumkan walaupun waktu itu kau masih 11 tahun. Bahkan mungkin di lubuk hati paling dalam, aku menantikannya,"

"Oh ya? Bagaimana kau bisa tahu? Kau hanya 2 kali melihat wujudku dalam postur dewasa sebagai Miyano Shiho. Tak ada jaminan juga aku bisa tumbuh sempurna di siklus keduaku bila ada efek samping APTX,"

"Entahlah. Mungkin karena kau berdarah Inggris. Aku hanya merasa, keturunan barat pasti akan memiliki tubuh yang lebih seksi,"

Haibara tertawa seraya duduk lebih tegak dan merangkul leher Shinichi dengan kedua lengannya. Ia sengaja memperlihatkan payudaranya di hadapan Shinichi, "Jadi menurutmu aku seksi?" godanya seraya mengecup bibir Shinichi.

"Sangat. Jangan sungkan-sungkan kalau mau menggodaku Maam... Aku milikmu," bisik Shinichi seraya menanggapi kecupan-kecupan Haibara.

Haibara mengangkat pinggulnya dan menduduki kejantanan Shinichi. Awalnya ia bergerak perlahan sebelum semakin lama semakin cepat. Rahang Shinichi mengerjap kuat tak mampu membendung gelora yang membanjiri nadi-nadinya. Ia menyerah di bawah kekuasaan Haibara.

"Shin-Chan!" amuk Yukiko. Ia baru saja sampai rumah bersama Haibara dan langsung menjewer telinga Shinichi yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu bersama Yusaku.

"Aduh! Okasan! Apa-apaan?" gerutu Shinichi seraya mengusap-usap telinganya.

"Kau ini benar-benar ya! Apa yang sudah kau lakukan pada Ai-Chan?!"

"Tenang Yukiko, ada apa sebenarnya? Baru pulang sudah marah-marah," kata Yusaku.

"Kelakuan anakmu ini Yu-Chan! Kau tahu? Hari ini aku bawa Ai-Chan ke dokter karena tidak enak badan. Kau tahu apa hasilnya? Ai-Chan hamil! Gara-gara Shinichi!"

Shinichi terperangah, "Eh?"

Yusaku tampak cerah, "Oh ya? Sudah berapa bulan?"

"Yu-Chan!" Yukiko memberi tatapan membunuh pada suaminya.

"Maaf maaf," Yusaku menatap Shinichi seraya belagak tegas, "Kau harus bertanggung jawab Shinichi,"

"Tentu saja aku akan bertanggung jawab," sahut Shinichi cepat.

"Sejak kapan aku mengajarimu menggauli anak di bawah umur!" oceh Yukiko.

Shinichi terbelalak, "Di bawah umur? Okasan! Secara teknis Ai sudah 20 tahun bahkan aslinya 31 tahun. Apanya yang anak kecil? Kami sudah sama-sama dewasa!"

"Okasan..." Haibara berusaha menenangkan, "Jangan menyalahkan Shinichi saja, aku juga salah..."

"Oh tidak mungkin Sayang," Yukiko memeluknya, "Kau putriku yang manis, aku tak mungkin menyalahkanmu,"

Mata Shinichi menyipit, sebenarnya anak kandung Okasan yang mana sih?

"Kita harus segera mengadakan pesta pernikahan kalau begitu, sebelum perutnya besar," kata Yusaku.

"Tentu saja, aku akan membuat Ai-Chan menjadi pengantin yang paling cantik seluruh Jepang," kata Yukiko, "Dan kau Shin-Chan! Kau harus jaga Ai-Chan! Awas kau!"

"Hai hai ..." sahut Shinichi.

"Sekarang ayo kita ke dapur Ai-Chan," ajak Yukiko seraya menggandeng lengan Haibara, "Kau dari pagi belum makan, sekarang kau harus mamam karena kau makan untuk dua orang. Kau ngidam apa sayang..."

"Okasan, aku baik-baik saja..." kata Haibara canggung.

Shinichi menepuk jidatnya, "Otosan, seharusnya dulu kau dan Okasan buat anak perempuan lagi... Jadi Okasan tidak akan norak begitu..."

"Tidak," kata Yusaku tenang seraya membuka naskahnya, "Cukup satu saja yang seperti Yukiko di rumah, jangan tambah lagi hehehe..."

.

.

.

.

.

Pemberkatan Shinichi dan Haibara dilakukan dengan adat Jepang, mereka menggunakan kimono. Sementara resepsinya ala barat, menggunakan tuksedo dan gaun pengantin putih yang cantik. Pesta itu dihadiri oleh rekan-rekan sejawat Shinichi dan Haibara. Bulan madu mereka hanya ke Hokkaido saja, karena kandungan Haibara masih muda, tidak nyaman jika harus menempuh perjalanan yang jauh.

Haibara memutuskan untuk menyelesaikan studinya sebagai ahli forensik, karena sudah tanggung. Namun mengenai pekerjaan di lapangan nanti, ia tetap memilih untuk menjadi ilmuwan. Pengetahuan tambahannya sebagai ahli forensik, akan lebih digunakan untuk membantu investigasi Shinichi dan ia pun telah resmi menjadi konsultan di agensinya.

Haibara memeluk Shinichi dari belakang seraya mengecup pipinya, ketika pria itu baru saja menyelesaikan laporan penutupan sebuah kasus.

"Nani?" tanya Shinichi seraya mengusap-usap lengan istrinya.

"Aku masih penasaran satu hal,"

"Apa?"

"Kau lebih suka aku yang versi apa? Sebelum atau setelah amnesia?" tanya Haibara.

"Uhm..." Shinichi berpikir, "Sebenarnya, dari sisi kecerdasan dan perangai sih sama saja. Tapi ketika kau amnesia, kau lebih blak-blakan. Sementara kau yang sebenarnya, lebih suka menahan perasaan sendiri,"

"Lalu?"

"Aku menyukai semuanya, tapi aku minta padamu untuk tidak menahan perasaanmu lagi. Ungkapkan saja segala yang kau rasakan,"

"Meski nantinya aku akan dicap wanita iblis?"

Shinichi tertawa, "Sini," ia meminta Haibara berdiri di hadapannya. Shinichi mengecup perutnya yang sudah besar. Kandungan Haibara sudah 6 bulan, "Kalau semua iblis seperti dirimu, aku yakin semua orang lebih baik terjerat iblis,"

Mereka berciuman mesra.

"Aku menunggu 15 tahun untuk ini," gumam Shinichi.

"15 tahun? Tidak salah? Selama itu kau punya pacar Tantei-San,"

"Selama itu pula aku menghindari pembahasan pernikahan dengan Ran sampai akhirnya aku tak dapat berkutik lagi. Paman Kogoro dan Eri Sensei juga selalu mendesakku untuk memberi status pada putri mereka. Yah, aku tak menyalahkannya juga sih,"

"Kenapa kau menghindarinya?"

"Entahlah, aku beralasan pada Ran untuk menunggu kau siap, hingga kau mampu hidup normal dan bebas dari ketakutan. Tapi terkadang aku bertanya-tanya apakah benar itu alasannya? Mungkin aku sendiri yang menunggu siap, atau mungkin aku menunggumu dewasa untuk menyelamatkanku dari kejaran itu,"

"Tambah setahun lagi dari itu, aku menunggumu 16 tahun Tantei-San,"

Shinichi menghitung-hitung, "Itu saat kita masih mengecil, aku masih Edogawa Conan,"

"Eh," Haibara mengangguk, "Bahkan dalam keadaan amnesia, aku begitu ingin bersamamu. Mungkin orang-orang akan melihatnya sebagai adik kecil. Tapi sama halnya dengan kecerdasanku yang tidak menghilang, perasaanku padamu juga ikut terbawa saat aku amnesia. Perasaan seorang wanita dewasa yang terjebak di tubuh anak 7 tahun,"

Bibir mereka berpagutan, tangan Shinichi mulai menggerayangi paha Haibara di balik gaun tidurnya, "Aku mencintaimu Ai,"

"Aku lebih mencintaimu Shinichi,"

"Aku tergila-gila padamu," bisik Shinichi seraya bangkit berdiri dan meloloskan gaun tidur Haibara. Ia menggendong istrinya dan membaringkannya di tempat tidur dengan hati-hati. Shinichi mulai mencumbunya, untuk memuaskan dahaganya akan Haibara yang tak pernah habis.

THE END