Saving Your Life

By : pipi_tembam

Satu tahun setelah kehancuran Black Organization...

"Ini untuk Shiho nee-san," Ayumi menyerahkan sebuah album.

Shiho melihat album itu. Ternyata kumpulan foto-foto Detektif Cilik sewaktu dirinya dan Shinichi masih mengecil sebagai Haibara Ai dan Edogawa Conan.

"Kami membuatnya bersama-sama dibantu Shinichi nii-chan dan Ran onee-san," kata Ayumi lagi.

Shiho memandangnya seraya tersenyum, "Arigatou nee. Ini bagus sekali. Nee-san akan menyimpannya baik-baik,"

"Jangan lupakan kami ya nee-san," pinta Mitsuhiko.

"Kami akan merindukan nee-san," kata Genta.

"Eh," Shiho mengangguk, "Aku juga akan merindukan kalian semua,"

Shiho memeluk Ayumi. Lalu satu persatu mengecup pipi Genta dan Mitsuhiko hingga dua bocah lelaki itu wajahnya memerah karena malu.

Hari itu mereka semua berada di bandara untuk melepas kepergian Shiho ke Amerika. Setelah Black Organization hancur dan penawar APTX 4869 berhasil diciptakan. Shiho akan bergabung dengan perkumpulan ilmuwan di Amerika untuk menapaki karirnya kembali sebagai peneliti.

"Hakase," Shiho beralih pada Profesor Agasa dan memeluknya, "Terima kasih untuk segalanya. Hakase sudah seperti ayahku sendiri,"

"Kau juga sudah seperti putriku Shiho-Kun," isak Profesor Agasa sedih.

Lalu Shiho memeluk Mary dan Masumi, bibi dan sepupunya.

"Jaga dirimu Shiho," pinta Masumi.

"Eh," Shiho mengiakan.

"Shu tolong jaga Shiho," pinta Mary pada putra sulungnya.

"Pasti," sahut Akai Shuichi yang berdiri di sebelah Jodie Sensei. Mereka akan kembali ke Amerika dengan penerbangan yang sama bersama Shiho.

Terakhir Shiho berpamitan pada Shinichi. Ran sengaja berdiri agak jauh di belakang, untuk memberi privasi kepada mereka berdua.

"Terima kasih untuk segalanya Kudo-Kun," kata Shiho.

"Aku yang seharusnya berterima kasih Shiho," kata Shinichi.

Mereka berpelukan sebagai partner.

"Jaga dirimu my partner," bisik Shinichi.

"Bisa kau panggil aku Putri Setan Mengantuk sekali lagi?" pinta Shiho.

Shinichi nyengir, "Putri Setan Mengantuk,"

Shiho terkekeh, "Jaga dirimu juga Kudo-Kun,"

Mereka akhirnya saling melepaskan diri.

"Ayo Sherry," ajak Jodie Sensei.

Shiho melambai untuk terakhir kalinya kepada rombongan yang mengantarnya pergi sebelum berlalu ke konter check in bersama Jodie dan Akai Shuichi. Shinichi memandang mereka, terutama Shiho hingga hilang ke ruangan berikutnya. Walau lubuk hatinya merasa kehilangan, tapi ia bahagia karena akhirnya Shiho dapat menemukan dunianya lagi.

Yukata ne... Shiho...

Setelah kepergian Shiho, Shinichi menjalani hidup normal. Kuliah jurusan kriminal di Universitas Tokyo dan lulus tepat waktu tanpa masalah berarti. Ia mendirikan kantor detektif dan agensinya berkembang pesat. Ia banyak menerima kasus dalam dan luar negri hingga harus merekrut beberapa detektif hebat lagi untuk membantunya. Masumi yang juga lulus dari Universitas Tokyo dengan jurusan kriminal yang sama, menjadi wakil pimpinan alias asisten Shinichi.

Sementara itu Mouri Ran mengambil jurusan psikologi anak. Hubungannya bersama Shinichi juga berjalan dengan baik. Di sela-sela kesibukan pekerjaan, mereka masih menyempatkan waktu untuk berkencan. Puncaknya pada saat Shinichi melamar Ran di restoran dulu Yusaku juga melamar Yukiko. Ran menerima lamarannya tanpa ragu. Mereka kini merencanakan pernikahan mereka agar dapat digelar akhir tahun ini juga.

"Profesor Miyano mendapatkan hak paten sebagai penemu sumsum tulang belakang bionik. Sejauh ini penemuannya berhasil menyelamatkan beberapa orang utan dan simpanse. Dalam waktu dekat, akan mulai diuji coba kepada manusia. Penemuan ini mendapat sambutan hangat. Para penderita kanker darah yang membutuhkan transplantasi kelak tidak perlu menunggu lagi sumsum tulang yang cocok untuk melakukan cangkok sumsum tulang belakang..." Shinichi membaca koran pagi tersebut di kantornya seraya menyeruput kopinya.

"Ah, aku sudah baca itu berulang kali," kata Masumi yang menyeruput kopinya juga, "Sekarang Shiho sangat dielu-elukan di Amerika,"

Shinichi tersenyum bangga, "Aku tahu dia memang hebat,"

"Eh," Masumi sependapat, "Tapi dia benar-benar gila kerja sekali. Jodie Sensei sudah berusaha mengajaknya kencan dengan beberapa anggota FBI yang keren-keren. Shiho tetap saja tidak menghiraukannya,"

Shinichi tertawa, "Perlu pria kriteria khusus untuk melunakkan wanita seaneh dia,"

Masumi tertawa, "Aku kira juga begitu,"

Shinichi menyeruput kopinya lagi.

"Ngomong-ngomong sudah sejauh mana persiapan pernikahanmu dengan Ran-Chan? Tanya Masumi.

"Oh, tinggal beli cincin saja akhir pekan ini,"

"Wah, pasti menyenangkan,"

"Eh," Shinichi mengangguk, "Betapa menyenangkan hidup normal,"

"Ran-Chan pasti cantik sekali nanti di pesta pernikahan,"

Shinichi tersenyum seakan dapat membayangkannya juga, "Oh ya, Shiho kira-kira apa bisa datang ya kalau aku kirim undangan?"

"Entahlah, tapi seharusnya bisa, kau kan partnernya. Tak mungkin dia tak datang hehehe..."

"Ah, semoga saja," Shinichi memandang surat kabar itu lagi di mana terpampang foto Shiho yang keren dalam setelan jas putihnya. Aku akan menikah Shiho... batin Shinichi dan ia sungguh berharap partner lamanya dapat hadir di hari bahagianya.

.

.

.

.

.

"Shin-Chan, kenapa kau tampak lesu?" tanya Yukiko di suatu minggu pagi yang cerah.

"Ah, mungkin hanya kelelahan karena begadang semalaman memikirkan kasus," kata Shinichi seraya duduk di meja makan dan mengambil selembar roti tawar.

Yukiko menyentuh kening putranya, "Agak demam sepertinya,"

"Tidak apa-apa, aku akan minum parasetamol sehabis sarapan," kata Shinichi seraya menggigit roti tawarnya yang sudah diolesi selai.

"Tidakkah sebaiknya hari ini kau istirahat saja?" usul Yukiko.

"Tidak bisa, aku sudah janji pada Ran mau cari cincin pernikahan hari ini,"

"Ah iya, sudah dekat juga sih ya,"

"Iya,"

"Ya sudah kalau bisa jangan pergi lama-lama, setelah ketemu cincinnya langsung pulang saja," pinta Yukiko.

"Hai," sahut Shinichi.

Maka hari itu pergilah Shinichi bersama Ran untuk mencari cincin pernikahan mereka. Setelah memasuki beberapa toko perhiasan, akhirnya mereka menemukan sepasang cincin yang bagus dan cocok. Namun dasar wanita, walaupun sudah menemukan yang dicari, masih ada saja beberapa pritilan yang harus dicari lagi. Shinichi pun mau tak mau menemaninya, sementara udara panas siang hari itu membuatnya sesak dan lelah.

Shinichi berpegangan pada tiang tembok ketika merasa sedikit terhuyung. Ran masih di dalam toko untuk mencari souvenir dan tidak menyadari kondisinya. Shinichi memegang keningnya berusaha mendapatkan keseimbangannya kembali. Tapi ternyata ia malah menemukan tetesan darah di tangannya.

Nani? Darah? Shinichi bingung memandang telapak tangannya.

Ia merasakan aliran amis itu di hidungnya. Ternyata hidungnya yang berdarah. Ia mengalami mimisan. Demamnya sepertinya semakin parah. Ia melongok ke dalam toko dan melihat Ran masih asik melihat-lihat. Shinichi bermaksud pergi ke toilet untuk membersihkan mimisannya. Namun baru berjalan dua langkah, pandangannya buram. Dalam sekejap saja, ia kehilangan kesadarannya.

"Shinichi..."

"Shin-Chan..."

Shinichi mendengar dua suara wanita yang berbeda memanggil-manggil namanya. Ketika ia membuka mata, ia melihat Ran dan Yukiko memandangnya dengan cemas. Ayahnya Yusaku berdiri di belakang dua wanita itu. Ia sekarang berada di kamar perawatan sebuah rumah sakit.

"Bagaimana perasaanmu Shin-Chan?" tanya Yukiko khawatir.

"Aku baik-baik saja," Shinichi menenangkan ibunya.

"Kenapa kau tidak bilang kalau kau sakit? Kita kan bisa pergi lagi kapan-kapan," ujar Ran.

"Hanya demam saja, tak usah dibesar-besarkan," ujar Shinichi.

"Demam juga kan tidak boleh diremehkan," kata Ran.

"Apa kata dokter?" tanya Shinichi.

"Dokter masih menunggu hasil labnya sebelum memberikan diagnosis," jelas Yukiko.

Tak lama kemudian seorang dokter senior pria berusia lima puluhan masuk ke dalam ruangan. Meski ia memiliki raut-raut wajah kebijaksanaan, tapi ia tampak murung jika harus memberitahu sesuatu yang tidak baik. Entah kenapa Yusaku memiliki firasat buruk.

"Bagaimana Sensei?" tanya Yusaku.

"Hasil lab Shinichi-Kun sudah keluar," kata Dokter, "Dengan sangat menyesal saya harus memberitahu. Shinichi-Kun mengidap leukemia stadium dua,"

Semua yang ada di ruangan itu terperanjat.

"Ti-Tidak mungkin dokter," Yukiko terbata, "Shinichi sangat sehat. Ia suka olaharaga. Mana mungkin kena leukemia?"

"Leukimia bisa menyerang siapa saja Yukiko-San. Para atlet pun banyak yang kena. Hasil lab Shinichi-Kun menunjukkan tingkat sel darah putih yang tinggi. Shinichi-Kun sendiri mengalami gejala anemia hingga mimisan. Itu adalah gejala awal leukemia,"

"L-Lalu bagaimana dokter? Apa bisa disembuhkan?" tanya Ran.

"Karena masih stadium dua, Shinichi-Kun harus menjalani kemoterapi dan terapi radiasi untuk membunuh sel-sel kankernya. Semoga saja stadiumnya tidak berlanjut,"

"Shin-Chan..." Yukiko memeluk putranya.

Shinichi menggenggam tangan ibunya, "Daijobu Okasan. Aku pasti bisa menghadapinya," bisiknya tabah.

"Padahal kau sebentar lagi mau menikah," isak Yukiko.

"Masih akhir tahun, siapa tahu saat itu aku sudah sembuh," Shinichi berusaha optimis, "Apapun yang terjadi, aku takkan menyerah,"

Ran menguatkan dirinya, "Aku percaya Shinichi pasti bisa sembuh dan pernikahan akan berjalan tepat waktu. Aku mendukungmu Shinichi,"

Shinichi memandang Ran penuh arti, "Arigatou Ran,"

Sejumlah jadwal kemoterapi dan terapi radiasi dipersiapkan untuk Shinichi. Shinichi menjalani semua itu dengan tegar. Ran dan Yukiko selalu menemani di setiap sesi terapinya. Namun terapi-terapi itu telah membuat tubuhnya semakin lemah. Bobot badannya juga menurun. Ia terlihat lebih kurus dan pucat. Rambutnya juga semakin lama semakin tipis karena rontok, sehingga kini ia harus mengenakan topi rajutan sepanjang waktu untuk menutupi kepalanya. Belum lagi efek samping mual-mual. Shinichi tak mampu lagi menerima kasus banyak. Masumi yang menangani kasus-kasus secara langsung, hanya sesekali saja ia mendiskusikannya pada Shinichi kalau kasusnya sangat sulit. Shinichi membenci ketidakberdayaannya. Tidak jarang ia sendiri merasa putus asa, namun Ran dan kedua orang tuanya selalu menyemangatinya.

"Saya mohon maaf Yukiko-San," kata dokter di suatu senja. Di ruangan itu hanya ada tiga orang. Dokter, Yukiko dan Ran.

"Ada apa Dokter?" tanya Yukiko.

"Perkembangannya tidak begitu baik. Shinichi-Kun sudah masuk stadium tiga. Ia harus menjalani transplantasi sumsum tulang belakang. Kita harus mulai mencari sumsum tulang yang cocok untuknya," jelas dokter.

"Aku akan memeriksakan diri. Aku ibunya dan Yusaku ayahnya, sumsum tulang kami pasti cocok," kata Yukiko penuh harap.

"Aku juga akan memeriksakan diriku," timpal Ran.

Namun sayangnya tidak satupun dari mereka cocok.

.

.

.

.

.

"Maaf mengajakmu ketemuan mendadak Shinichi-Kun. Padahal kondisimu sedang lemah," kata Eri Kisaki lugas seperti biasa.

Hari itu Eri Kisaki mengajak Shinichi makan siang di sebuah kafe.

"Tidak masalah Kisaki Sensei. Aku juga sudah merasa lebih baik," sahut Shinichi.

"Baguslah kalau begitu,"

"Ada apa Kisaki Sensei ingin menemuiku?"

Eri berdeham sedikit sebelum memulai dengan hati-hati. Ia mengaitkan jari-jarinya di meja, di sebelah tehnya ketika berkata, "Begini Shinichi-Kun. Aku ingin membahas perihal pernikahanmu dan Ran,"

Shinichi diam menyimak.

"Mengingat kondisimu tidak begitu baik, tidakkah sebaiknya pernikahan kalian dibatalkan saja?"

Shinichi membeku, ia sudah memperkirakan cepat atau lambat hal ini akan terjadi.

"Sebagai ibu, aku hanya ingin putriku bahagia. Aku juga yakin kau begitu mencintai Ran. Kalau kau mencintainya, kau pasti ingin Ran bahagia. Jangan biarkan dia bersedih karena melihat penderitaanmu," lanjut Eri.

Shinichi menunduk muram, "Aku mengerti,"

"Aku menginginkan Ran bisa bersama seseorang yang lebih sehat. Aku harap kau tidak menyalahkanku Shinichi,"

Shinichi menggeleng, "Sama sekali tidak," tentu saja, orang tua mana yang setuju anaknya menikah dengan orang penyakitan.

"Aku harap pengobatanmu berjalan dengan lancar,"

"Terima kasih Sensei,"

"Kau ingin aku yang bicara pada Ran atau kau sendiri?"

"Biar aku yang melakukannya, beri aku waktu beberapa hari lagi,"

"Baiklah, aku mengerti,"

"Kenapa tiba-tiba kau mengajakku ke Tropical Land?" tanya Ran.

"Ingin bersenang-senang saja. Bosan juga kan bolak-balik rumah sakit dan kantor?"

"Iya juga sih,"

"Ayo kita ke Menara Bintang!" ajak Shinichi.

"Ayo!" sahut Ran riang.

Mereka bersenang-senang sampai puas seharian itu. Melepaskan dan melupakan semua masalah dan beban. Menaiki hampir semua wahana. Sayang malam datang begitu cepat, pertanda semua ini harus diakhiri.

"Ran..." panggil Shinichi ketika mereka dalam perjalanan pulang.

"Nani?"

Shinichi menarik napas panjang sebelum berkata, "Mari kita putus saja..."

"Eh?" Ran menoleh mendadak padanya, "Apa?"

"Kita putus saja," ulang Shinichi.

"Apa maksudmu Shinichi?" tuntut Ran.

"Aku tidak pantas untukmu. Kau berhak mendapatkan pendamping yang lebih sehat,"

"Kau sudah berjanji tidak akan menyerah!" kata Ran berkaca-kaca.

"Tapi kenyataannya aku sudah stadium tiga! Tidak lama lagi mungkin empat, lima dan aku akan mati!"

"Shinichi!"

"Pergilah Ran! Jangan muncul lagi di hadapanku!" seru Shinichi kasar sebelum berlari pergi.

"Shinichi!" Ran berteriak memanggilnya, namun Shinichi tak kembali.

Ran berjalan dengan bahu lunglai hingga sampai di rumah. Kogoro dan Eri sudah menunggu kepulangannya. Ketika melihat kedua orang tuanya, airmatanya merebak lagi.

"Otosan... Okasan..."

"Ran? Kenapa?" tanya Eri.

"Shinichi... Shinichi memutuskan aku..." Ran mengadu seraya terisak.

Kogoro dan Eri bertukar pandang penuh arti.

"Aku harus bagaimana?" rintih Ran pedih.

"Memang sudah seharusnya Ran," kata Eri.

"Nani?" Ran menatap ibunya tak menyangka.

"Shinichi sakit, sebagai pria yang mencintaimu tentu dia takkan membiarkanmu melihatnya menderita. Ia juga memiliki ego," kata Eri.

"Tapi kenapa?! Kami tumbuh bersama dari kecil! Apa yang harus malu?!"

"Kata-katamu terlalu halus Eri," sela Kogoro, "Intinya Ran. Kau tidak pantas bersama anak itu. Kau seharusnya mendapatkan suami yang lebih sehat,"

"Otosan?!"

"Lupakan Shinichi!" pinta Kogoro tegas, "Anggap saja kalian memang tidak berjodoh!"

"Tapi Otosan! Okasan! Mana mungkin aku meninggalkan Shinichi di saat seperti ini? Dia membutuhkan aku!"

"Apapun yang terjadi jangan menemuinya lagi!" amuk Kogoro, "Atau kami terpaksa mengurungmu di kamar!"

Ran berdecak kesal lalu berlari ke kamarnya untuk menangis sejadi-jadinya.

"Shinichi sudah pulang? Bagaimana jalan-jalannya?" tanya Yukiko ketika melihat Shinichi memasuki rumah.

"Okasan..." panggil Shinichi lesu.

"Uhm?"

"Aku... Aku sudah putus dengan Ran..."

"Nani?" Yukiko terkesiap.

"Aku benar-benar menyedihkan..." Shinichi terhuyung dan tak sadarkan diri di ruang tamu.

"Shinichi! Yu-Chan!" Yukiko memanggil suaminya dengan kalut.

Shinichi segera dilarikan ke rumah sakit.

"Bagaimana keadaannya Dokter?" tanya Yukiko.

"Tidak apa-apa. Shinichi hanya kelelahan dan sedikit stress," sahut Dokter.

"Apa sudah ada kabar mengenai sumsum tulang yang cocok, Dokter?" tanya Yusaku.

Dokter menggeleng, "Memang tidak mudah menemukan sumsum tulang yang cocok,"

"Jadi kami harus bagaimana dokter?" tanya Yukiko putus asa.

"Selama menunggu, kami hanya bisa melakukan kemoterapi dan terapi radiasi,"

Malam itu suami istri Kudo menunggui putra mereka di kamar perawatan. Yukiko tak henti-hentinya menangis memandangi putra satu-satunya. Shinichi yang biasanya begitu atletik dan lincah, sekarang hanya terbaring tak berdaya.

"Kenapa Ran-Chan tega... Putus di saat seperti ini... Di saat Shin-chan sedang membutuhkannya... Tidak bisa! Aku harus bicara padanya dan juga Eri," kata Yukiko seraya mengeluarkan HPnya.

"Sudahlah Yukiko," Yusaku menggenggam tangannya, mencegah istrinya, "Percuma saja. Sebagai orang tua, Kogoro dan Eri pasti menginginkan putri mereka menikah dengan seseorang yang lebih sehat,"

"Yusaku..."

"Tak perlu memaksakan diri,"

Yukiko menunduk muram.

"Kau nyaris belum makan apa-apa, aku akan ke kantin untuk membawakanmu sesuatu," kata Yusaku sembari berdiri.

"Aku tak ingin apa-apa,"

"Kau harus merawat dirimu juga Yukiko, jangan sampai sakit," Yusaku mengingatkan dengan bijak sebelum keluar dari kamar.

Yukiko berdiri menghampiri pembaringan Shinichi. Ia mengelus kepala Shinichi penuh sayang lalu menunduk untuk mencium keningnya. Ketika ia berbalik untuk duduk lagi, ia melihat surat kabar lama itu di lemari televisi. Surat kabar yang memajang foto Profesor Miyano Shiho. Yukiko meraih surat kabar itu dan membacanya.

"Sumsum tulang belakang bionik?" gumam Yukiko dan sepercik harapan mendadak menyala di lubuk hatinya.

Yukiko berjalan ke jendela seraya mengeluarkan HP nya. Sekarang memang sudah tengah malam, tapi di Amerika pasti masih siang. Ia menanti dengan berdebar-debar ketika mendengar nada sambung. Kemudian wanita itu menjawab pada dering kelima.

"Halo?" terdengar suara merdu Shiho di seberang sana.

"Shiho-Chan..." panggil Yukiko gugup.

"Yukiko-San? Ada apa?" tanya Shiho, dari nada suaranya terdengar ia tak menyangka akan mendapat telepon dadakan tersebut.

Yukiko tak langsung menjawab karena air matanya mengalir, "Shiho..."

"Ada apa Yukiko-San? Kau menangis?"

"Shin-Chan... Shinichi..."

"Ada apa dengan Kudo-Kun?" Shiho mengetahui perihal rencana pernikahan Shinichi dan Ran. Namun dari gelagat Yukiko, Shiho merasa ini bukan pemberitahuan mengenai undangan pernikahan tersebut.

Yukiko menegarkan dirinya, "Shinichi... Mengidap leukemia stadium tiga,"

"Nani??" Shiho terdengar kaget, "Tapi bagaimana bisa? Bukannya dia akan menikah?"

"Pernikahannya dibatalkan. Shinichi sudah putus dengan Ran," Yukiko sesenggukan, "Mereka takkan mau menikahkan anak mereka dengan seorang pria yang sakit..."

"Bagaimana kondisi Kudo-Kun sekarang?"

"Di rumah sakit, dia pingsan tadi di rumah. Kondisinya semakin lemah,"

"Ada yang bisa kubantu Yukiko-San?"

"Ano... Aku baru saja membaca berita mengenai penemuanmu. Sumsum tulang belakang bionik. Aku tidak tahu apa kau bisa membantu Shinichi, Shiho? Sejauh ini kami belum menemukan sumsum tulang belakang yang cocok. Aku dan Yusaku orang tuanya sendiri bahkan tidak bisa menjadi pendonor,"

"Sumsum tulang belakang bionik baru lolos uji coba pada simpanse dan orang utan. Belum pernah diuji pada manusia," Shiho memberitahu.

"Kalau begitu biarkan Shinichi mencobanya,"

"Tapi resikonya sangat besar Yukiko-San,"

"Tidak ada jalan lain Shiho-Chan," kata Yukiko gemetar, "Aku sudah putus asa. Apapun resikonya selama ada harapan walau kecil, biarkan kami mencobanya,"

"Yukiko-San..."

"Hanya kau harapanku satu-satunya Shiho... Hanya kau saja, aku tidak tahu harus bagaimana lagi..." air mata Yukiko merebak lagi.

Shiho benar-benar tak tega. Ia tahu Yukiko orang yang sangat ceria, mendengar tangis putus asanya seperti ini, Shiho merasa turut prihatin.

"Tapi jika gagal..."

"Aku percaya padamu Shiho. Aku percaya kau akan berusaha semaksimal mungkin. Kalau pun gagal, aku takkan menyalahkanmu, karena aku tahu kau telah melakukan yang terbaik,"

"Baiklah," Shiho menyetujui, "Aku janji akan melakukan yang terbaik. Kalau begitu Kudo-Kun harus dikarantina di sini. Kami harus mengambil sample sumsum tulang belakangnya untuk membuat sumsum tulang belakang bionik sesuai dengan DNAnya,"

Yukiko terdengar sedikit lebih lega, "Baiklah, kami akan mempersiapkan semuanya,"

.

.

.

.

.

"Jaga dirimu Shin-Chan. Kami akan menyusul setelah launching novel baru ayahmu selesai," kata Yukiko seraya memeluk putranya.

Hari itu keluarga Kudo dan Profesor Agasa berkumpul di bandara, untuk melepas kepergian Shinichi ke Amerika. Shiho sendiri khusus datang menjemputnya di bandara Haneda.

"Tenang saja Okasan. Ada Shiho yang menjagaku," kata Shinichi menenangkan ibunya.

"Shinichi," Yusaku memeluk putranya.

"Otosan," Shinichi membalas pelukan ayahnya.

"Aku yakin kau bisa melewati semua ini," Yusaku menguatkan.

"Eh," Shinichi mengangguk.

Lalu Shinichi bergilir memeluk Profesor Agasa.

"Jangan menyerah Shinichi. Shiho-Kun ilmuwan hebat, aku yakin dia bisa menyembuhkanmu," pesan Profesor Agasa.

Shinichi tersenyum, "Jaga dirimu Hakase, jangan melakukan percobaan berbahaya lagi karena aku tidak bisa mengobatimu untuk sementara waktu,"

"Eh," Profesor Agasa mengiakan.

"Shiho," Yukiko beralih pada Shiho dan menggenggam tangannya penuh harap, "Kami titip Shinichi. Tolong jaga dia..."

Shiho mengangguk, "Tenang saja, Yukiko-San," ujarnya menenangkan.

"Sudah waktunya kalian berangkat," Yusaku mengingatkan.

"Ayo Kudo-Kun," ajak Shiho seraya menyentuh lengan Shinichi.

"Eh," Shinichi mengangguk.

"Kami pergi dulu," kata Shiho pada semuanya.

"Kabari kami terus Shiho," pinta Yukiko.

"Pasti," kata Shiho.

Mereka memandang Shiho dan Shinichi hingga masuk boarding room seraya berdoa penuh harap di dalam hati, kelak Shinichi pasti akan kembali ke Jepang dalam keadaan sehat.

"Buatlah dirimu nyaman Kudo-Kun," kata Shiho ketika menunjukkan kamar Shinichi di tempat karantina.

Shinichi memandang berkeliling. Kamar itu seperti kamar di hotel bintang lima, "Ini jauh lebih baik dari bayanganku,"

Shiho menyipit seraya melipat tangannya, "Memangnya kau membayangkan apa? Jeruji penjara?"

Shinichi nyengir, "Semacam itulah,"

"Dasar!" gerutu Shiho.

Mereka tertawa bersama.

Shinichi mendesah, "Sudah lama rasanya tidak tertawa,"

"Eh?" Shiho mengerjap.

"Maaf Shiho. Sekian lama tidak bertemu, aku membayangkan kita bertemu di pernikahanku nanti. Tapi jadinya malah merepotkanmu seperti ini,"

"Sama sekali tidak merepotkan. Hmmm... Lagipula kalau dipikir-pikir lucu juga, kenapa kau selalu menjadi objek percobaanku? Dulu APTX 4869 dan penawarnya lalu sekarang sumsum tulang belakang bionik? Aku malah beruntung memiliki relawan percobaan,"

Shinichi tertawa lepas, "Kau tidak berubah, tetap tajam seperti biasa. Aku kangen juga mendengarmu bicara begini," memang Shiho yang selalu bisa membuatnya merasa lepas dan bebas dari beban.

Shiho tersenyum, "Selama bisa membuatmu senang, tidak apa-apa kan?"

"Arigatou Shiho. Ah, aku juga ingin bilang, aku turut senang dengan kesuksesanmu,"

"Berkat dirimu juga Kudo-Kun. Rencana cerdikmu dalam menghancurkan organisasi itu, sehingga aku kini dapat hidup normal,"

"Ya, hidup normal. Kehidupan yang selama ini kuidamkan. Sampai akhirnya penyakit ini datang dan menghancurkan semuanya,"

"Aku turut menyesal soal pernikahanmu,"

Shinichi menggeleng, "Ini yang terbaik. Ran pantas mendapatkan suami yang lebih sehat,"

Shiho menyentuh lengan Shinichi, "Istirahatlah. Mulai besok kau harus menjalani sejumlah pemeriksaan. Ku harap kau sabar menghadapinya, karena banyak tahapannya,"

"Selama kau dokternya, tidak masalah,"

"Kalau kau butuh sesuatu tinggal pencet bel saja. Aku sendiri tinggal di asrama di gedung sebelah. Asrama khusus ilmuwan,"

Shinichi mengangguk, ia menggenggam tangan Shiho yang menyentuh lengannya, "Hontou ni arigatou Shiho..."

Shiho tersenyum sebelum keluar dari kamar.

Esok harinya Shiho datang bersama asistennya untuk memeriksa kondisi Shinichi. Apapun yang dikatakan Shiho, semua dicatat asistennya secara detail.

"Detak jantung normal," kata Shiho setelah memeriksa Shinichi dengan stetoskopnya.

Asistennya mencatat.

"Tensi 120/80, normal," kata Shiho lagi.

Asistennya mencatat lagi.

Shinichi memerhatikan bagaimana Shiho bekerja. Ia tahu sebenarnya hal remeh temeh seperti ini tak perlu dilakukan Shiho sendiri. Asistennya pun cukup. Ia menduga Shiho sengaja melakukannya untuk membuatnya nyaman, agar ia tidak merasa terasingkan di tempat karantina ini.

"Aku minta setelah makan siang nanti, kau puasa 12 jam Kudo-Kun. Hanya diperbolehkan minum air putih saja. Aku ingin mengambil sample darahmu dan melakukan pemeriksaan menyeluruh," pinta Shiho.

"Aku mengerti," sahut Shinichi.

"Aku tinggal dulu, nanti aku datang lagi. Kau istirahat saja,"

"Eh, arigatou,"

Shiho tersenyum seraya menepuk lunak bahu Shinichi sebelum keluar kamar bersama asistennya.

"Ehtooo secara keseluruhan hasilnya oke," kata Shiho beberapa hari kemudian seraya membaca hasil tes darah Shinichi, "Apa yang kau rasakan sekarang?"

"Hanya tidak bertenaga saja,"

"Untuk ukuran orang yang terkena leukima stadium tiga, kau cukup kuat," ujar Shiho seraya menutup map berkas kesehatan Shinichi, "Aku akan menjelaskan padamu terlebih dahulu mengenai sumsum tulang belakang bionik. Kau tahu bayi tabung? Atau In Vitro Vertilization?"

"Tentu aku tahu,"

"Ini juga mirip seperti itu. Ada sebuah tabung dan sebuah inang yang bentuknya seperti tulang belakang. Formula tulang belakang itu sudah dibuat khusus aman untuk tubuh manusia. Yang harus kami lakukan di sini adalah mengambil sample sumsummu. Menanamkannya pada inang tersebut dan menumbuhkannya. Setelah sumsum tersebut tumbuh dan informasi DNA mu berkembang baik di sana, baru kami akan melakukan transplantasi,"

"Aku mengerti, kau menjelaskannya dengan sangat baik Shiho,"

"Masalahnya, sama seperti halnya bayi tabung. Kegagalan juga bisa terjadi, bahkan sebelum pencangkokan dilakukan. Ada kemungkinan sumsummu tidak berkembang di inang tersebut. Jika sudah begitu, ya bisa saja dicoba lagi, tapi aku harus memberitahumu. Pengambilan sumsum tulang itu tidak menyenangkan. Punggungmu akan ditusuk dengan jarum cukup besar,"

Shinichi mengangguk, "Aku akan menghadapinya,"

Shiho mengangguk, "Baiklah kalau kau sudah mengerti. Selama menunggu kami mengembangkan DNA mu. Kau harus jaga kondisimu. Karena transplantasi hanya bisa dilakukan kalau keadaanmu stabil,"

"Wakata," sahut Shinichi.

"Besok kami akan melakukan pengambilan samplenya. Lalu aku juga akan menjadwalkan kemoterapi dan terapi radiasi lagi. Harimu akan melelahkan Kudo-Kun, ku harap kau tidak bosan. Istirahatlah dengan baik malam ini,"

Shinichi menggenggam tangan Shiho.

"Eh?" Shiho merasa jantungnya berdebar-debar.

"Kau juga harus jaga dirimu Shiho. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri terutama hanya untuk orang sepertiku," pinta Shinichi.

"Ini sudah tugasku,"

"Kalau kau banyak begadang, nanti kau jadi Putri Setan Mengantuk lagi,"

Shiho nyengir, "Sudah lama tidak mendengarmu memanggilku begitu,"

Shinichi ikut nyengir.

Shiho menepuk lunak tangan Shinichi yang menggenggamnya, "Kau bisa membalas kebaikanku nanti setelah kau sembuh,"

"Pasti,"

"Yang pasti Okonomiyaki dan Tas Fusae saja tak cukup,"

Shinichi tertawa, "Sudah kuduga,"

Shiho tersenyum, senang mendengar tawanya, "Aku tinggal dulu. Oyasumi,"

"Oyasumi,"

.

.

.

.

.

Yusaku dan Yukiko akhirnya menyusul ke Amerika. Namun karena di karantina diberlakukan jam besuk bagi pengunjung luar, mereka hanya bisa mengunjungi Shinichi sesuai jam besuk. Mereka banyak membawakan barang-barang Shinichi dan makanan kesukaannya. Shiho sendiri diluar jam kerja dan profesinya juga banyak membawakan barang-barang keperluan Shinichi terutama buku-buku misteri. Di hari minggu yang libur, Shiho akan seharian menemani Shinichi di kamarnya. Kadang mereka membaca buku misteri bersama, atau video call dengan Masumi untuk mendiskusikan kasus sulit yang tengah dihadapi Masumi di Jepang. Terkadang mereka juga video call dengan Profesor Agasa dan Detektif Cilik. Sesekali Shiho juga mengajaknya bermain karuta atau monopoli. Atau menonton Netflix bersama hingga kejar tayang beberapa seri sekaligus. Atau hanya sekedar mengobrol mengenang masa lalu. Apapun dilakukan agar Shinichi tidak meratapi penyakitnya. Entah bagaimana Shinichi mampu melalui karantina yang membosankan itu, bila tidak ada Shiho di sisinya. Shinichi sungguh sangat berterima kasih padanya.

"Kudo-Kun?" Shiho melongo ketika memeriksa kamar yang kosong di luar jam tugasnya.

Kemudian ia mendengar suara-suara dari kamar mandi, perlahan Shiho mengetuk. Namun karena tidak ada jawaban, ia pun membukanya.

"Tetap di sana!" pekik Shinichi dari dalam kamar mandi.

"Eh?" Shiho terkejut.

Shinichi sedang berdiri membungkuk di wastafel. Ia baru saja menjalani kemoterapi tadi siang, sekarang ia muntah-muntah karena efek sampingnya.

"Kudo-Kun,"

"Jangan masuk!" teriak Shinichi bersikeras. Ia tak mau Shiho melihat keadaannya sekarang. Sangat berantakan dan menjijikan.

Shinichi muntah lagi ke wastafel. Air mata Shiho merebak, tak tega melihatnya. Tak peduli dengan peringatan Shinichi, Shiho menerobos masuk kamar mandi.

"Sudah kubilang..."

Shiho memeluk pinggangnya dari belakang.

Shinichi bergeming, "Shiho..."

"Kumohon Kudo-Kun," isak Shiho, "Biarkan aku membantumu..."

"Aku menjijikan Shiho..." air mata Shinichi juga mengalir.

Shiho menggeleng, "Tidak, sama sekali tidak. Kumohon..."

Shinichi muntah lagi.

Shiho membantu menepuk-nepuk punggungnya. Ia menunggu dengan sabar sampai muntah Shinichi selesai. Kemudian ia menyiram wastafel dan mengambil handuk bersih. Membasahinya dengan air hangat untuk membasuh wajah Shinichi.

Shinichi merosot di lantai di bawah wastafel.

"Kudo-Kun..." Shiho menyentuh bahunya.

Bahu Shinichi berguncang karena tangis, "Aku menyedihkan bukan..."

"Tidak..." kata Shiho dengan wajah banjir air mata sekarang.

"Aku tidak berguna... Shiho..."

"Tidak Kudo-Kun!" Shiho memeluknya, mendekap kepala Shinichi di dadanya.

"Aku benci diriku Shiho..."

"Ada aku di sini Kudo... Kau tidak sendiri..." kemudian Shiho menangkup wajah Shinichi dengan kedua tangannya, "Sekarang adalah giliranku untuk menjagamu dan melindungimu. Biarkan aku yang memikirkan semuanya... Aku akan menemukan jalan keluarnya... Kau pasti sembuh..."

"Shiho..."

Shiho mengecup keningnya dan memeluknya lagi, "Percayalah padaku, seperti halnya aku percaya padamu selama ini..."

Beberapa saat kemudian, Shiho membantu Shinichi berdiri dan memapahnya ke tempat tidur. Shiho memasangkan uap aroma terapi di kamar untuk membantu mengurangi mual Shinichi. Ia juga mengusapkan sedikit minyak gosok hangat di dada Shinichi untuk membuatnya lebih nyaman agar bisa tidur.

"Apa lebih baik sekarang?" tanya Shiho seraya menyelimuti Shinichi setelah mengusapkan minyak dan mengancingkan kembali piyamanya.

"Eh," sahut Shinichi lelah.

Shiho menggenggam tangannya, "Katakan padaku kalau kau ingin sesuatu lagi,"

"Maaf Shiho... Untuk segalanya..."

"Bakane... Kau bicara apa... Kenapa harus begitu sungkan padaku? Kita kan partner," bisik Shiho gemetar, ia menempelkan punggung tangan Shinichi ke pipinya sendiri.

"Shiho..."

"Uhm?"

"Berhenti panggil aku Kudo,"

"Eh?"

"Panggil aku Shinichi saja, aku juga tak memanggilmu Miyano,"

"Aku... Ano..."

"Bukankah kau sendiri yang bilang kita partner? Kenapa harus begitu sungkan?"

"Shin... Shinichi..." panggil Shiho kikuk.

Shinichi tersenyum, "Terdengar lebih baik,"

"Tidurlah," pinta Shiho.

"Maukah kau tetap di sini sampai aku tidur?"

"Uhm," Shiho mengangguk, dengan lembut ia membelai kepala Shinichi dan mengecup keningnya lagi, "Aku akan di sini sampai kau lelap. Sekarang istirahatlah,"

Shinichi akhirnya memejamkan matanya.

Sambil tetap menggenggamnya, Shiho terus membelai kepalanya hingga Shinichi terbuai, merasa sangat nyaman.

"Sakura..." bisik Shinichi tanpa membuka matanya.

"Eh?" Shiho bingung.

"Kau harum sakura Shiho... Aku menyukainya..."

Wajah Shiho merona, namun Shinichi tidak melihatnya karena sudah terlelap.

Begitu terus setiap kali Shinichi mengalami efek samping kemoterapi. Shiho akan menemaninya, membantu membasuh wajahnya, memasangkan aroma terapi dan mengusap dadanya hingga Shinichi tertidur lelap. Shiho sangat sabar setiap kali Shinichi mengeluh dan mulai merajuk. Shiho tak menyalahkannya, siapapun yang berada di posisi Shinichi sekarang, pasti akan merasa sangat lelah baik fisik maupun mental.

"Shinichi, aku bawakan beberapa buku misteri lagi," kata Shiho seraya memunggungi Shinichi untuk menaruh buku-buku itu di meja.

Hari itu hari minggu, seperti biasa, Shiho membawakan barang-barang keperluan Shinichi. Kadang Yukiko juga menitip padanya untuk dibawakan.

"Eh arigatou," kata Shinichi.

"Ibumu juga menitipkan beberapa buah, akan ku cuci dulu dan ku taruh kulkas,"

"Shiho..." panggil Shinichi seraya menyentuh bahu Shiho.

"Nani?" tanya Shiho berusaha tidak menatap wajah Shinichi.

Namun Shinichi memaksa memutar tubuhnya, ia terkejut melihat bayangan gelap di bawah mata Shiho, "Kau begadang lagi?"

"Sedikit," sahut Shiho asal saja.

"Kau kenapa Shiho? Tidak biasanya kau lesu begini?"

Shiho memejamkan matanya sesaat sebelum membuka lagi, ada kilauan air mata terbendung di sana, "Sumsummu... Tidak berkembang..." ungkapnya dengan berat hati.

Shinichi terdiam.

"Semalaman aku berpikir dan mencari-cari apa yang salah, tapi aku tidak menemukannya,"

"Bukankah kau bilang kita bisa mencoba lagi? Ambil saja samplenya sebanyak kau mau,"

"Terus terang saja, aku mulai takut..." gumam Shiho sambil mengepalkan kedua tangannya.

"Eh?"

"Ini berbeda dari APTX. Kalau dulu aku gagal, kita hanya akan sama-sama mengulang siklus hidup dari awal. Tapi jika kali ini gagal..." Air mata Shiho mengalir, "Entah apa aku bisa memaafkan diriku jika terjadi sesuatu padamu..."

"Shiho..."

"Aku takut Shinichi," air mata Shiho semakin merebak.

Tatapan Shinichi melembut, "Gomene Shiho, telah membuatmu tertekan seperti ini. Tapi aku dan orang tuaku tidak akan pernah menyalahkanmu andaikan sesuatu yang terburuk terjadi. Kalau kau memang merasa berat, kau boleh berhenti. Aku bisa menunggu sumsum tulang yang cocok,"

"Tidak Shinichi!" Shiho mencengkram dada Shinichi, "Aku juga tak mungkin lepas tangan! Tidak di saat aku bisa melakukan sesuatu! Aku harus menyembuhkanmu bagaimana pun caranya! Aku tidak ingin kehilanganmu! Aku tak bisa! Aku..." ia menghentikan kata-katanya karena menangis lagi.

"Shiho? Kau... kenapa?" Shinichi bingung.

"Aku mencintaimu Shinichi..." ucap Shiho sembari menyandarkan keningnya ke dada Shinichi.

Shinichi kaget sesaat dengan pengakuan Shiho, namun perlahan tangannya naik melingkari tubuh Shiho dan memeluknya.

"Maaf Shiho... Maaf telah membuatmu sedih... " bisik Shinichi.

Shiho terus menangis di dada Shinichi.

Beberapa menit kemudian mereka duduk bersama di lantai, menyandarkan punggung pada tepi ranjang. Televisi memutar film Netflix, tapi baik Shinichi maupun Shiho tidak terlalu menyimaknya. Mereka duduk di sana seraya bergandengan tangan, jari-jari mereka saling terkait. Shiho menyandarkan kepalanya pada bahu Shinichi.

"Sejak kapan?" tanya Shinichi memecahkan keheningan.

"Uhm?"

"Sejak kapan kau suka padaku?"

"Sejak kita masih kecil," jawab Shiho seraya memandang menerawang pada TV.

"Kenapa kau tak pernah bilang?"

"Apa aku bisa? Sementara di matamu hanya ada Ran-San,"

"Aku benar-benar minta maaf Shiho, aku tak pernah menyadarinya,"

"Aku tak menyalahkanmu. Kau tidak bisa memilih ingin suka pada siapa. Tapi ya, kadang aku membayangkan, andai aku bertemu denganmu lebih dulu daripada Ran-San. Mungkin semuanya akan berbeda,"

"Karena itu kah kau menolak pria-pria yang disodorkan Jodie Sensei?"

"Aku menyukai eksperimen, tapi aku tak mau coba-coba dengan pria lain. Aku tak ingin membuat orang lain kecewa karena aku tahu, aku takkan bisa mencintai mereka,"

"Tidak seharusnya kau menyukai penggila misteri sepertiku Shiho. Bahkan Ran saja sering muak dengan pekerjaanku..."

"Apa aku punya pilihan?" ujar Shiho seraya memeluk lengan Shinichi lebih erat, "Kau menyukai misteri sama seperti aku menyukai sains. Aku takkan pernah menarikmu keluar dari dunia yang kau minati. Tapi aku akan berusaha mengerti duniamu. Walau aku tak begitu suka misteri, paling tidak aku mengerti Sherlock Holmes,"

Shinichi tertegun, tak menyangka kalimat itu akan keluar dari bibir Shiho. Bahkan Ran, belum tentu akan mengerti dan menoleransi dirinya hingga sejauh itu.

"Tak ada misteri maka tak ada Shinichi. Bila tak ada Shinichi, maka tak ada pria yang akan kucintai lagi. Aku menyukaimu, karena kau seperti apa adanya dirimu sekarang,"

"Shiho..." tenggorokan Shinichi tercekat karena terharu.

"Aku suka ekspresimu jika sedang ingin membuat deduksi, karena itu aku tak pernah mengganggu keheninganmu kecuali jika kau sendiri yang mulai ingin bertanya padaku,"

Shinichi termenung, betapa Shiho jauh berbeda dari Ran. Kalau melihat dirinya bertopang dagu, pasti Ran akan memanggilnya dan berusaha minta perhatiannya.

"Aku mengagumi deduksimu dan prinsipmu dalam menemukan kebenaran. Mana mungkin aku memaksamu meninggalkan semua itu? Nanti kau tidak akan utuh lagi sebagai Kudo Shinichi,"

Shinichi mengecup ubun-ubun Shiho.

"Eh?" Shiho mendongak menatapnya.

"Padahal aku detektif... Tapi kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Kau tahu betapa perkataanmu itu sangat berarti untukku?" sesuatu yang tidak pernah ia dengar dari Ran.

"Shinichi..."

"Aku benar-benar merindukan kita bisa berpartneran lagi,"

Shiho tersenyum, "Pasti bisa,"

"Maaf kalau dulu kau sering kusuruh-suruh, tanpa menghargai semua yang kau lakukan untuk membantuku,"

Shiho menyandarkan kepalanya lagi, "Kau adalah penyelamatku, cahayaku. Otosan, Okasan dan Onee-Chan mengirimmu padaku untuk melindungiku. Menjadi partnermu adalah masa-masa di mana aku merasa benar-benar hidup,"

"Tapi sekarang aku tak bisa melindungimu lagi..."

"Yang terpenting adalah kau hadir dan kau ada. Itu sudah lebih dari cukup,"

Shinichi menyandarkan pipinya pada kepala Shiho. Arigatou Shiho... Arigatou... Seandainya ada kesempatan... Seandainya...

.

.

.

.

.

Shinichi menghela napas dengan malas sambil bertopang dagu hingga Shiho menoleh. Saat itu tengah malam pergantian tahun. Mereka menunggu hitung mundur dan kembang api dari balkon tempat mereka berdiri.

"Kenapa?" tanya Shiho.

"Lusa harus ambil sumsum tulang lagi ya?" gumam Shinichi.

"Eh," Shiho mengangguk, "Gomene,"

"Adakah sesuatu yang bisa kau berikan padaku Shiho?"

"Sesuatu maksudnya?"

"Jimat gitu,"

Mata Shiho menyipit, "Kau detektif percaya begituan?"

"Apa saja, supaya aku semangat,"

Shiho tampak menimbang-nimbang, "Baiklah, biar kupikirkan dulu,"

Kemudian terdengar paduan suara orang-orang menghitung mundur, "Lima! Empat! Tiga! Dua! Satu!" suara sorak sorai orang-orang meneriaki 'selamat tahun baru' dengan bunyi terompet berkumandang.

Duar! Duar! Duar! Kembang api warna-warni meluncur ke angkasa dan meledak dengan indahnya bagai bunga-bunga yang bermekaran, menawarkan harapan dan kehidupan yang lebih baik di tahun baru.

"Selamat tahun baru Shiho," ucap Shinichi.

"Selamat tahun baru Shinichi," ucap Shiho.

Seketika saja mereka saling berpandangan. Perlahan tapi pasti, kepala Shinichi bergerak maju. Terdorong nalurinya, Shiho juga ikut membantu mempersempit jarak itu. Bibir mereka saling bertemu di udara. Bukan pagutan panas. Hanya sebuah kecupan ringan dan lama, hingga waktu seolah berhenti.

"Sudahlah Okasan. Sampai di sini saja," pinta Shinichi ketika Yukiko mendorong kursi rodanya hingga tiba di depan ruangan yang akan melakukan tindakan untuk mengambil sampel sumsum tulang belakangnya.

"Shiho mana?" tanya Yukiko seraya memandang berkeliling.

"Entahlah," sahut Shinichi.

"Bukan dia yang akan melakukan tindakan?" tanya Yusaku.

"Mengambil sampel sumsum? Tidak. Dia tidak pernah melakukannya," jawab Shinichi. Dalam hati ia pun berharap bukan Shiho yang melakukannya. Terlalu menyedihkan.

Namun Yukiko juga mengerti, Shiho tak bersedia melakukannya karena ia tak sanggup menyakiti Shinichi.

"Eh itu Shiho," Yukiko menunjuk.

Shiho muncul menghampiri mereka.

"Kau dari mana saja?" tanya Shinichi.

"Maaf, ada beberapa hal yang harus kulakukan," kata Shiho seraya meraih sesuatu dari kantung jas putihnya dan memberikannya ke tangan Shinichi.

"Eh? Ini?" Shinichi menatap kantung kecil itu. Warnanya putih dengan sulaman berbentuk kura-kura. Lambang kesehatan dan panjang umur. Ada tulisan kanji namanya dan juga simpul tali merah yang indah dengan lonceng kecil.

"Susah mencari kuil Jepang di Amerika, aku akhirnya membuatnya sendiri. Jimat untukmu, semoga kau suka," ujar Shiho.

Shinichi memandang jimat itu dengan terharu, ia mendongak memandang Shiho seraya tersenyum, "Aku menyukainya,"

Yusaku dan Yukiko juga tersenyum.

"Tapi, boleh aku minta booster lagi?" tanya Shinichi.

"Eh? Booster apa?"

"Yang di malam tahun baru," kata Shinichi penuh harap.

Wajah Shiho merona, "Ada orang tuamu, Shinichi," desisnya.

"Kalau begitu pipi saja," Shinichi menunjuk pipinya.

Yusaku dan Yukiko mulai mengerti. Mereka berdeham bersamaan.

"Yu-Chan, tampaknya ada kotoran di bajumu," kata Yukiko belagak membersihkan jas Yusaku dengan kibasan tangannya.

"Oh ya mana?" Yusaku juga belagak mencari-cari.

"Ini di sini, ah di sini juga ada..."

Dasar! Gerutu Shiho melihat persekongkolan suami istri itu. Shiho melirik kiri-kanan dengan cepat, memastikan rekan sejawatnya tidak melihat. Lalu dengan cepat ia mengecup pipi Shinichi. Wajahnya langsung merah padam, sementara wajah Shinichi merona namun lebih ceria.

Tak lama kemudian seorang petugas medis keluar dari ruangan dan mengambil alih kursi roda Shinichi.

"Jangan tunggu aku ya," pinta Shinichi pada Shiho.

"Siapa juga yang mau menunggumu. Aku banyak kerjaan," dusta Shiho belagak ketus.

"Otosan dan Okasan juga, tak perlu menungguku," kata Shinichi pada orang tuanya.

"Kami akan menunggu di kantin," dusta Yusaku.

"Ah," Shinichi tampak lega. Ia pun dibawa masuk ke ruangan.

Tim medis melakukan sejumlah persiapan. Shinichi berbaring dengan posisi miring dan nyaris memeluk lututnya. Piyama bagian belakangnya disibak. Ia merasa bagian punggungnya diolesi entah semacam salep atau apa dan kemudian ditempeli lapisan seperti plastik. Ketika salah satu tim medis memberikan aba-aba. Shinichi bersiap menahan napasnya. Kemudian benda tajam itu menghujam seluruh sarafnya. Shinichi berteriak kesakitan. Bahkan ia tak bisa menggeliat karena banyak tangan tim medis menahan tubuhnya, memaksanya agar tidak banyak bergerak. Jimat pemberian Shiho digenggamnya dengan erat.

"Yu-Chan..." Yukiko menangis dalam dekapan suaminya ketika mendengar teriakan kesakitan Shinichi.

Yusaku juga memeluk istrinya erat, tak sanggup membayangkan derita putra satu-satunya.

Shiho menggigit bibirnya untuk menahan isakan. Air mata membanjiri wajahnya. Gomene Shinichi... Gomene... Ia berharap ini pengambilan sampel terakhir.

Beberapa menit kemudian Shinichi dibawa kembali ke ruang perawatan. Karena kelelahan, dalam sekejap Shinichi tidur dengan pulas, sementara Shiho memeriksanya dengan stetoskop dan mengecek denyut nadinya sebelum merapikan selimutnya kembali.

"Bagaimana Shiho?" tanya Yukiko cemas.

"Tidak apa-apa, semuanya normal. Shinichi hanya kelelahan," ujar Shiho seraya berdiri menghampiri Yukiko.

"Arigatou Shiho. Terima kasih atas segala yang kau lakukan untuk Shinichi,"

Shiho merengkuh kedua bahu Yukiko, "Ini sudah tugasku Yukiko-San,"

Yukiko menggeleng, "Tidak. Aku tahu kau bahkan melakukannya melebihi tugasmu sebagai dokter Shinichi,"

Shiho tersenyum lembut, "Tentu saja, dia partnerku. Dulu Shinichi dan Yukiko-San juga melakukan banyak hal untuk melindungiku. Sekarang giliran aku yang melakukannya,"

Namun melihat tatapan Shiho, Yusaku tahu. Ada suatu alasan yang lebih dari sekedar partner maupun hutang budi.

"Arigatou Shiho. Kami benar-benar sangat menghargainya. Entah apa jadinya tanpa dirimu," ujar Yukiko dengan mata berkaca-kaca.

Shiho memeluknya, "Akan kulakukan segala cara untuk membuatnya sembuh,"

.

.

.

.

.

Shinichi menghirup udara pagi dalam-dalam, "Senang juga rasanya bisa keluar kamar," ujarnya ketika Shiho membawa kursi rodanya jalan-jalan ke taman.

"Eh, cahaya mataharinya juga sedang bagus. Cocok untukmu berjemur,"

Shiho menghentikan kursi roda dan menurunkan tuas remnya di bawah sebuah pohon besar yang rindang.

"Duh, aku lupa," gerutu Shiho.

"Apa?"

"Kau belum memakai sweetermu,"

"Tidak apa-apa,"

"Aku kembali ke kamar sebentar, kau tunggu saja di sini,"

"Eh," Shinichi mengangguk.

Shiho bergegas masuk kembali ke gedung.

Shinichi menengadahkan kepalanya. Mendongak memandang langit yang cerah dan sorot cahaya matahari yang menembus melalui celah-celah dedaunan yang rindang. Betapa indahnya. Ia jadi merindukan langit di Jepang, di mana saat ini mungkin pohon-pohon sakura tengah berbunga. Kenapa? Kenapa selama ini ia tak pernah menyadari betapa setiap helaan napasnya begitu berarti? Bahwa dunia ini mengagumkan.

Perlahan Shinichi memejamkan matanya, berusaha membayangkan bahwa saat ini dirinya sedang berada di Jepang. Ia berkonsentrasi pada napasnya, menghayati aliran udara yang masih mampu ia hirup dan hembuskan. Kulit-kulitnya juga dapat merasakan gesekan halus dengan partikel-partikel oksigen. Indera pendengarannya ditajamkan, berusaha menangkap setiap suara sekecil apapun. Ia tengah memuja nyanyian alam dan denyut kecil kehidupan di sekitarnya.

Shiho tertegun ketika baru saja datang seraya membawa sweeter. Ia membeku melihat mata Shinichi yang terpejam. Seketika tubuhnya menjadi dingin. Apakah mungkin? Apakah iya secepat itu? Tadi dia baik-baik saja!

Dengan langkah tertatih-tatih Shiho mendekati Shinichi. Jantungnya berdegup kencang sekali. Tangannya gemetar ketika ia mengulurkan punggung telunjuknya untuk menyentuh wajah Shinichi. Air mata mengalir dari pelupuk matanya, menetes mengenai pipi Shinichi.

"Uhm?" Shinichi langsung membuka matanya memandang Shiho.

Shiho mengeluarkan desahan kelegaan, Shinichi ternyata masih hidup.

"Shiho?" Shinichi bingung melihatnya.

"Aku... Aku kira... kau..."

"Eh?"

Shiho memeluknya, melingkarkan lengannya ke leher Shinichi. Menangis sejadi-jadinya. Melampiaskan semua ketakutannya tadi.

"Aku kira kau sudah..." Shiho tak mampu meneruskannya. Tenggorokannya sakit tercekat. Ia sesenggukan sembari mendekap kepala Shinichi di dadanya.

Shinichi menyentuh lengan Shiho, mengusapnya menenangkan, "Maaf sudah membuatmu takut. Aku hanya sedang menikmati suasana saja. Maaf ya..." dan ia merasa dekapan Shiho sudah cukup hangat daripada sweeter.

Sumsum tulang belakang Shinichi yang ditanam Shiho dalam sebuah tabung akhirnya berhasil berkembang. Sel-sel darah merah yang membawa informasi DNA Shinichi tumbuh. Shiho melakukan terobosan dengan membawa enzim simpanse yang sukses sembuh untuk menjadi boosternya. Berita ini disambut baik oleh Yusaku dan Yukiko. Jadwal transplantasi Shinichi pun telah ditetapkan. Shiho sendiri yang akan memimpin operasinya dibantu dengan tim medisnya.

"Kenapa murung? Padahal besok kau mau operasi," tanya Shiho suatu malam.

"Ah, aku senang sekaligus gugup," kata Shinichi yang duduk di tepi tempat tidurnya.

"Kau tahu? Suasana hati yang senang sebelum operasi, akan membantu kelancaran operasi dan meningkatkan persentase kesembuhan," ujar Shiho seraya menghampiri lemari TV dan mengutak-atik alat audio. Tak lama kemudian terdengar alunan musik 'You Are The Reason.'

"Kau mau apa Shiho?" tanya Shinichi tak mengerti.

"Ayo," ajak Shiho seraya menarik tangan Shinichi.

Mereka mulai berdansa pelan.

"Lebih baik?" tanya Shiho yang menyandarkan dagunya di bahu Shinichi.

"Eh," Shinichi mengiakan, meresapi kedekatan itu.

I'd climb every mountain

And swim every ocean

Just to be with you

And fix what I've broken

Oh, 'cause I need you to see

That you are the reason

"Apa kau seperti ini juga pada pasien-pasienmu lainnya?" tanya Shinichi.

"Uhm?"

"Mengajak mereka dansa sebelum operasi?"

"Kenapa? Kau cemburu?"

"Eh? Tidak kok," sahut Shinichi dengan wajah merona.

Shiho terkekeh, "Sejak aku tiba di Amerika sampai sebelum dirimu. Pasien-pasienku hanya orang utan dan simpanse. Kau mau cemburu pada mereka?"

Wajah Shinichi merah padam. Kemudian ia mempererat dekapannya akan Shiho, "Kupercayakan hidupku di tanganmu Shiho,"

"Ah, aku juga bertekad membuatnya berhasil. Kau akan menjadi manusia pertama yang sukses menjadi kelinci percobaanku mengenai sumsum tulang belakang bionik. Aku akan semakin terkenal nanti hehehe..." kelakar Shiho.

"Takuu... Ada udang di balik batu juga rupanya..."

"Kau juga harus berusaha Shinichi. Aku hanya mediator, kau pun harus bertekad untuk sembuh..."

"Tentu saja. Aku ingin sembuh, aku punya banyak alasan untuk tetap hidup,"

"Agar tetap bisa menjadi detektif terkenal?"

"Itu hanya salah satunya, tapi yang terpenting, aku tak ingin menjadikan perjuanganmu sia-sia Shiho..."

"Eh?"

"Karena itu aku bertekad untuk sembuh," dan aku juga memiliki alasan kuat lainnya.

"Bagus sekali,"

"Tapi aku punya satu permintaan padamu,"

"Apa?"

"Ketika aku sadar nanti, aku ingin kau menjadi orang pertama yang ku lihat,"

Shiho mengerjap sebelum matanya melembut, "Baiklah,"

"Janji?"

"Janji,"

Operasi akhirnya dilaksanakan. Shiho yang melakukan pembedahan dengan sejumlah tim medis yang membantunya. Sebelum tidur karena bius, Shinichi memandang wajah Shiho lekat-lekat. Merekamnya dalam ingatannya, berharap agar dapat menemukan jalan kembali bila jiwanya harus terlepas selama beberapa saat dari tubuhnya.

Yusaku dan Yukiko menunggu di luar ruang operasi. Setelah kurang lebih lima jam, operasi pun selesai. Ketika Shiho keluar ruangan, Yusaku dan Yukiko menghampirinya.

"Bagaimana Shiho?" tanya Yukiko.

"Operasinya berjalan lancar," kata Shiho, "Sekarang tinggal menunggu, apakah tubuh Shinichi mampu menerima cangkok itu dengan baik,"

"Apa kami bisa melihatnya?"

"Bisa, setelah dipindah ke ruangan HCU nanti,"

"Arigatou Shiho,"

"Eh," Shiho mengangguk seraya tersenyum lembut.

Penantian itu serasa tak berujung. Hingga empat minggu berlalu, Shinichi belum sadarkan diri. Sejauh ini tidak ada komplikasi, namun juga tidak ada tanda-tanda siuman. Dikhawatirkan tubuhnya tak mampu beradaptasi dengan sumsum tulang belakang bionik. Dia dalam keadaan koma. Yusaku dan Yukiko tampak sedih. Shiho sendiri mulai tertekan.

.

.

.

.

.

Shiho memasuki ruang kamar yang biasa Shinichi tempati. Langsung saja dadanya tersengat oleh kerinduan. Ia masih bisa merasakan sisa aroma khas Shinichi tertinggal di sana. Shiho memandang buku-buku misteri yang selama ini dibaca Shinichi. Permainan karuta dan monopoli mereka. Lalu Shiho menghampiri tempat tidurnya dan duduk di sisi biasa Shinichi tidur.

Aku merindukanmu Shinichi... Kenapa kau belum sadar juga?

Hanya iseng, tanpa maksud apapun, Shiho membuka laci di samping tempat tidur. Namun kemudian ia tertegun ketika melihat sebuah agenda di sana. Shiho meraihnya dan menemukan ternyata agenda itu adalah buku harian Shinichi. Walau ini pribadi, tapi karena terdorong rasa ingin tahunya, Shiho akhirnya membacanya.

Hari ini adalah hari ke-40 aku berada di karantina. Aku kira, aku akan mati karena bosan, namun Shiho selalu menemaniku. Kami melakukan banyak hal, menonton, membaca buku misteri maupun video call dengan Hakase. Entah kenapa, di depannya aku merasa bebas untuk menjadi diri sendiri. Hal yang kusadari, bahkan tidak kurasakan ketika berada bersama Ran. Ngomong-ngomong mengenai Ran, aku juga mengira aku akan bersedih meratapi kegagalan rencana pernikahan kami selama di karantina ini. Tapi kenyataannya, aku malah tak begitu memikirkannya. Aku sungguh harus berterima kasih pada Shiho...

Hari ini aku mendengar kabar dari Hakase, Ran akan dinikahkan dengan Araide Sensei. Aku terkejut, tapi anehnya aku tidak sakit hati. Araide Sensei pria yang baik, Ran berhak mendapatkannya. Aku benar-benar berharap dia bahagia bersama Araide Sensei. Sementara hari ini aku sangat bersyukur, karena Shiho memasak nasi kari yang enak sekali...

Aku dalam kondisi terburukku karena baru saja menjalani sesi kemoterapi. Aku mual dan muntah-muntah semalaman. Shiho tiba-tiba muncul di ambang pintu kamar mandi. Aku sudah memarahinya untuk jangan masuk. Aku tidak mau dia melihatku dalam keadaan berantakan. Aku malu terlihat menjijikan. Tapi dia memaksa masuk sambil menangis. Ketika aku terpuruk di kamar mandi, dia memelukku. Lalu dia memasang aromaterapi dan membantu menggosok dadaku dengan minyak hangat, agar aku bisa tidur. Dia lembut sekali. Aku tidak pernah melihat sisi dirinya yang seperti itu. Selama ini kan dia galak dan selalu tsundere. Aku sudah lelah sekali ketika dia membuaiku dan menggenggam tanganku sambil menungguku terlelap. Aku hanya ingat parfumnya beraroma sakura. Bahkan ketika pagi tiba dan dia sudah tidak ada, aku masih bisa menghirup sisa parfumnya. Aneh, aku seakan baru menyadarinya. Aku menyukai aromanya...

Hari ini, Shiho kelihatan lesu. Ia tampaknya tertekan karena takut tidak berhasil menyembuhkanku. Aku sungguh tak tega, karena harus melibatkannya dalam semua ini. Lalu, tiba-tiba saja dia membuat pengakuan yang mengejutkan. Dia ternyata mencintaiku. Aku merasa bersalah karena tidak menyadarinya selama ini. Aku terlalu fokus pada Ran, sehingga kurang menghargainya.

Akhirnya seharian kami hanya duduk di depan TV sambil terus menautkan jari-jari kami. Shiho menyandarkan tubuhnya padaku. Baru kali ini kedekatan kami begitu intim, aku sungguh berharap waktu dapat terhenti dalam keadaan ini saja.

Aku terharu dengan perkataan Shiho. Tak ada misteri maka tak ada Shinichi. Dia menyukai aku apa adanya, utuh sebagai Kudo Shinichi. Dia tidak akan menarikku untuk meninggalkan dunia yang aku suka. Hal-hal seperti itu, mustahil akan dikatakan oleh Ran. Aku merasa begitu bodoh. Kenapa aku tidak bisa melihat detil-detil seperti ini sejak dia masih menjadi partnerku? Jika Ran berusaha membuatku pergi dari dunia misteri. Shiho sebaliknya, dia malah justru mencemplungkan dirinya dalam misteri untuk membuatku bergantung padanya.

Aku sebenarnya ingin sekali mengatakan padanya. Andaikan... Andaikan aku sembuh dan ada kesempatan untuk hidup sekali lagi... Aku ingin bersamanya... Aku ingin mencintainya... Mencurahkan hidupku untuk mengagumi dan menghargainya, menjaganya seakan dia harta yang paling berharga... Tapi aku tak berani mengatakannya karena aku takut memberikan harapan palsu, sebab aku tak tahu, apakah aku akan bertahan hidup... Tapi aku janji, kalau aku hidup, aku akan mengatakannya...

Tangan Shiho yang memegang buku harian bergetar. Tetesan airmatanya jatuh menimpa halaman-halaman agenda tersebut. Shinichi...

Kami berciuman di malam tahun baru. Bisa bayangkan itu? Aku mencium Putri Setan Mengantuk! Tampaknya menggelikan kalau dulu aku membayangkannya. Tapi entahlah, sekarang rasanya begitu alamiah dan mengalir. Jantungku rasanya mau melompat keluar. Astaga, aku menyukainya, ciuman itu. Rasa Shiho ternyata seperti itu ya. Apakah ini berarti aku telah jatuh cinta padanya? Apakah ciuman itu telah menandakan bahwa sekarang kami sepasang kekasih? Duh, jadi malu. Jika aku tidak sakit, rasanya aku mau menggendongnya ke tempat tidur. Nah loh, mulai berpikir yang tidak-tidak ini. Benar kata Shiho, aku memang echi.

Proses pengambilan sample sumsum tulang belakang hari ini sungguh menyakitkan namun Shiho telah membuatkan jimat untukku. Jahitan, sulaman dan simpulannya rapi sekali. Ada aroma sakura Shiho juga di sini. Ternyata dia punya sisi kewanitaan juga untuk menjahit selain masak hehehe... Aku akan menjaga jimat ini baik-baik. Jimat ini sangat berarti. Aku akan menyayanginya seperti Shiho menyayangi boneka Higonya...

Hari ini Shiho menangis. Ia kira aku sudah meninggal ketika melihat mataku terpejam di bawah pohon. Aku benar-benar tidak tega melihatnya sedih. Aku janji pada diriku sendiri, aku tidak akan menyerah. Aku akan berjuang hidup demi Shiho. Supaya dia tidak sedih lagi dan supaya aku bisa mengutarakan keinginanku untuk bersama dengannya...

Besok aku akan operasi dan malam ini Shiho mengajakku berdansa supaya aku tidak tertekan. Aku janji, jika aku sembuh, aku akan sering-sering berdansa dengannya...

"Bakane... Bakane Shinichi..." rintih Shiho seraya memeluk buku harian itu erat-erat di dadanya. Ia menangis sejadi-jadinya.

Kemudian HP nya bergetar. Shiho buru-buru menghapus air matanya dan mengangkatnya. Rupanya panggilan dari salah satu asistennya.

"Ada apa?" tanya Shiho.

"Profesor. Tuan Kudo kondisinya kritis!"

"Nani?!"

Tanpa buang waktu Shiho lari menuju HCU, ruangan di mana Shinichi dirawat. Sampai di sana ia melihat Yukiko menangis keras dalam pelukan Yusaku. Shiho melihat dari kaca. Dokter dan tim medis telah melepaskan alat-alat monitor Shinichi dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Jantung Shiho berdegup kencang. Ini tidak mungkin!

"Apa yang terjadi?" tanya Shiho begitu dokter keluar.

"Profesor Miyano," dokter itu memanggilnya, "Ada kegagalan fungsi organ vital dalam menopang hidup. Kesadaran Tuan Kudo juga turun. Dia sudah tiada, kami sungguh menyesal,"

Yukiko menangis semakin kencang hingga terpuruk di lantai. Yusaku susah payah menenangkannya sementara ia sendiri juga diselimuti kesedihan.

Shiho mengepalkan tangannya, tidak dapat menerima kenyataan ini, "CPR!"

"Apa?" dokter pria muda itu kebingungan.

"Persiapkan CPR!" Shiho langsung menerobos ruang HCU.

"Tapi Profesor..."

"Lakukan saja!" bentak Shiho tak sabaran.

Seluruh tim buru-buru melakukan perintahnya. Memasang kembali alat monitor kehidupan pada Shinichi. Doker muda itu mengambil alat kejut dan menempelkannya ke dada Shinichi.

Tubuh Shinichi menghentak sekali, namun garis kehidupan itu masih lurus di monitor.

Dokter muda itu melakukan percobaan kedua, hasilnya nihil.

Percobaan ketiga dan tetap sama saja.

"Percuma saja Profesor," kata dokter muda itu, "Sudah tiga kali,"

Shiho tetap tak terima, ia menghampiri pembaringan Shincihi. Menumpu dua telapak tangannya di dada Shinichi dan mulai memompanya.

"Profesor!" dokter muda dan tim lain terkejut dengan sikapnya.

"Dengar Shinichi! Kau memang magnet mayat! Tapi belum saatnya kau menjadi mayat!" pekik Shiho dengan airmata berlinangan sambil terus memompanya.

"Kau berjanji untuk mengajakku berdansa! Kau janji untuk mencintaiku dan menjagaku! Dan aku tahu kau bukan pria yang mengingkari janji!

"Kau juga tidak mudah menyerah! Kau sudah bertahan hingga sejauh ini! Bangunlah Shinichi! Bangun sekarang!"

Otosan! Okasan! Onee-Chan! Aku mohon! Jika kalian bertemu Shinichi di sana, usir dia dari sana! Kembalikan dia padaku! Aku mohon! Shiho berdoa dalam hati.

.

.

.

.

.

"Eh? Di mana aku?" Shinichi terbengong-bengong memandang sekelilingnya. Baju rumah sakitnya sudah diganti dengan kemeja dan celana bahan berwarna putih. Ia juga tengah berada di taman yang sangat indah sekali. Ada pelangi, air terjun dan bunga warna-warni.

Kemudian ia melihat hal aneh itu. Banyak orang berdatangan berjalan menuju ke arahnya. Shinichi melihat mereka semua juga mengenakan baju putih baik pria, wanita, orang tua maupun anak kecil. Wajah mereka tampak sangat bahagia sekali. Rombongan itu berjalan tanpa terburu-buru. Beberapa bahkan ada yang saling bercengkrama satu sama lain. Ketika orang-orang itu melewati dirinya, Shinichi pun menoleh ke arah di mana mereka menuju.

Ada sebuah istana besar di sana. Istana besar berwarna putih. Shinichi tak pernah melihat istana itu di dunia. Istana yang sangat indah dan bercahaya terang. Demi memenuhi rasa penasarannya, Shinichi akhirnya berjalan mengikuti para rombongan itu menuju istana. Ia sendiri ingin tahu itu istana apa dan bagaimana isi di dalamnya.

Di depan gerbang istana ada seorang wanita yang tampaknya sedang mengabsen. Ia membawa buku catatan dan pena di tangannya. Ia memeriksa satu per satu orang yang masuk gerbang. Tidak terlalu detil, cukup sepintas saja. Shinichi juga memerhatikan yang masuk gerbang itu tidak memiliki tiket tertentu. Sepertinya istana ini sedang open house, Shinichi pun semakin bersemangat untuk masuk ke sana. Ia pasti bisa masuk.

Orang-orang berangsur-angsur masuk ke gerbang istana dan menghilang. Shinichi melihat dua pintu besar gerbang istana hampir menutup. Hanya ia yang ketinggalan. Shinichi buru-buru berlari supaya bisa ikutan masuk. Ia tidak mau kehilangan kesempatan ini.

"Tunggu!" teriak Shinichi.

"Eh? Shinichi-Kun?" panggil wanita yang melongok dari celah gerbang.

Shinichi termangu di depan gerbang, "Kau?"

"Kau ingat aku?" kata wanita yang bertugas mengabsen.

"A-Akemi San?" kata Shinichi, "Kau kakaknya Shiho kan?"

"Eh," Akemi mengangguk, "Sedang apa kau di sini?"

"Eh?" Shinichi tampak bingung, "Aku mau masuk ke dalam,"

Akemi terkekeh, "Gomene Shinichi-Kun. Tapi kau tidak bisa masuk lagi, karena peserta di dalam sudah penuh,"

"Nani? Masa satu saja tidak bisa? Aku juga mau melihat ke dalam,"

Akemi menggeleng, "Aku mengerti sebagai detektif rasa ingin tahumu sangat besar. Tapi untuk yang ini, belum saatnya kau tahu,"

"Kenapa?"

"Sudah sudah pergi sana. Pokoknya istana ini tidak muat lagi untukmu. Kau belum ada tempat di sini. Dadah!" Akemi melambai sebelum menutup pintu gerbang.

"Eh?! Akemi-San! Aku mau masuk! Akemi-San!"

Tubuh Shinichi seakan disedot dari belakang.

"Kembalilah padaku Shinichi!" teriak Shiho putus asa.

"Profesor sudahlah. Anda tidak bisa begini terus," dokter muda itu berusaha menjauhkan Shiho dari tubuh Shinichi.

"Jangan hentikan aku!" Shiho berontak.

"Tapi Profesor!"

Tut... Tut... Tut...

Monitor itu bergerak lagi. Garis yang tadinya lurus kini berkedip-kedip membaca degup jantung Shinichi. Para tim medis kebingungan. Shiho pun tercengang, tubuhnya gemetar hebat.

"Dia... dia hidup lagi!" kata salah satu tim medis.

"Cepat tangani!" perintah Shiho.

Semua buru-buru menangani Shinichi, memasangkan kembali infus dan selang-selang penopang kehidupannya.

Shiho keluar dari ruang HCU. Tubuhnya masih lemas dan gemetaran. Kakinya begitu lemah untuk menopang tubuhnya. Ia terpuruk di lantai.

"Shiho!" Yukiko menunduk menghampirinya, merengkuh dua bahunya.

"Dia kembali..." Rintih Shiho dengan suara bergetar dan air mata membanjiri wajahnya, "Dia menepati janjinya... Dia hidup..."

Yukiko memeluknya, "Shin-Chan... Shin-Chan pasti sembuh..."

Shiho menangis sejadi-jadinya, "Yukiko-San... Dia kembali..."

"Eh... Gomene Shiho... Maaf telah melibatkanmu dalam semua ini..." isak Yukiko.

Yusaku menunduk untuk memeluk kedua wanita itu.

"Kenapa kau di luar Yukiko?" tanya Yusaku beberapa jam kemudian ketika hari sudah tengah malam. Ia baru saja balik dari toilet.

"Shiho meminta kita pulang untuk istirahat," jawab Yukiko.

"Eh? Tapi kan dia juga pasti lelah karena seharian bekerja ditambah kejadian tadi siang," ujar Yusaku.

"Shiho ingin menepati janjinya,"

"Janji?"

"Uhm. Shinichi bilang ingin melihatnya ketika dia sadar nanti,"

"Baiklah, kita pulang saja kalau begitu,"

"Eh. Shiho akan mengabari jika ada perkembangan,"

"Ayo, kau juga pasti lelah," Yusaku merangkul istrinya untuk pulang bersama.

Shiho menunggui Shinichi seraya menggenggam tangannya dan menangkupkannya di pipinya. Sementara tangan satunya lagi, menepuk-nepuk pelan selimut Shinichi di bagian dada, seperti sedang menidurkan bocah. Petugas medis asistennya tadi baru saja masuk untuk mengecek kembali kondisi Shinichi. Semuanya masih terkendali.

Lambat-lambat Shiho melihat kelopak mata Shinichi bergerak kiri dan kanan. Shiho tertegun menanti penuh harap.

"Shinichi..." panggil Shiho pelan.

Perlahan Shinichi membuka matanya dan memandang langsung pada Shiho.

"Hei..." bisik Shiho seraya mengusap pipi atas Shinichi yang tidak tertutup masker oksigen dengan punggung telunjuknya.

Shinichi mengedip, matanya berkilauan karena membendung air mata. Sorotnya memandang Shiho penuh dengan keinginan yang tidak terucapkan. Ia yang sebelum menutup mata melihat wajah itu, sekarang ia pulang kembali disambut oleh wajah Shiho.

"Semuanya akan baik-baik saja..." bisik Shiho seraya kemudian mengecup kening Shinichi lama sekali.

"Aaa..." pinta Shiho seraya mengangkat sendoknya ke mulut Shinichi.

"Sudah Shiho, aku sudah kenyang," tolak Shinichi halus.

"Tanggung, tinggal sesuap lagi saja,"

"Demo yoo..." Shinichi berusaha protes.

"Cepat," Shiho memberikan tatapan membunuhnya.

Shinichi bergidik, "Hai hai..." ia pun menyambut suapan Shiho.

"Anak pintar," kata Shiho seraya meletakkan piringnya kembali di nampan, "Sekarang minum obat dulu," ujarnya sambil memberikan beberapa tablet pada Shinichi dan membantunya minum air.

"Arigatou Shiho," ucap Shinichi.

Shiho membantu membersihkan bibir Shinichi dengan serbet seraya bertanya, "Bagaimana perasaanmu sekarang?"

"Sudah lebih ringan, tapi..."

"Apa?"

Shinichi mengusap-usap dadanya, "Dadaku sakit ya, kayak pegal begitu..."

Shiho tersenyum kikuk, merasa bersalah sedikit, "Aku terlalu bersemangat ketika memompa dadamu. Tapi tidak apa-apa, tidak ada yang retak, hanya memar saja. Aku tidak sekuat itu juga untuk meremukkan tulang dadamu,"

Shinichi meraih tangan Shiho dan menggenggamnya, "Aku minta maaf, pasti kau sangat ketakutan saat itu,"

Shiho menunduk, "Eh. Sangat takut. Aku takut kau pergi selamanya,"

"Kau tahu? Aku ada bermimpi seperti nyata,"

"Mimpi?"

"Uhm, aku bertemu kakakmu..."

"Eh? Onee-chan?"

Shinichi akhirnya menceritakan perihal mimpinya.

Mata Shiho berkaca-kaca setelah mendengar cerita mimpi Shinichi. "Mereka benar-benar mengirimu kepadaku,"

"Maafkan aku yang nyaris tersesat,"

"Tenang. Ada aku untuk memaksamu kembali,"

"Ah ya, sedikit saja aku terlambat kembali, mungkin tulang dadaku sudah sungguhan retak,"

"Tentu saja, aku akan sangat bersikeras. Kau harus menepati janji terhadap dirimu sendiri,"

Shinichi mengernyit, "Janji?"

"Eh," Shiho memalingkan wajahnya dengan merona, "Janji untuk sering-sering mengajakku berdansa dan menjagaku seolah aku harta berharga..."

Shinichi terkesiap, wajahnya merah padam, "Bagaimana kau tahu itu?! Astaga! Kau buka-buka laciku?"

"Eh, aku menemukan buku harianmu," Shiho mengaku.

"Itu kan privasi! Kenapa kau baca?"

"Mau bagaimana lagi? Aku terlalu lama berteman dengan detektif, rasa ingin tahuku jadi sangat besar," sahut Shiho enteng.

Shinichi menutup wajah dengan selimutnya karena malu, "Kau jahat Shiho,"

"Tentu saja, kan aku Setan Mengantuk,"

Yusaku dan Yukiko yang diam-diam mendengar mereka dari luar hanya tersenyum geli.

.

.

.

.

.

Tubuh Shinichi perlahan-lahan beradaptasi dengan baik terhadap cangkokan sumsum tulang baru. Proses penyembuhannya juga cukup cepat. Pelan-pelan bobot tubuhnya kembali. Pipinya lebih berisi, bayangan gelap di bawah matanya memudar hingga menghilang. Rambutnya yang rontok telah tumbuh lagi. Bertahap ia mulai diperbolehkan olahraga jalan kaki untuk melenturkan otot-ototnya. Kurang lebih empat bulan kemudian, ia sudah bisa rawat jalan. Shinichi menempati apartemen Yusaku dan Yukiko untuk sementara karena masih dalam pengawasan, belum diizinkan kembali ke Jepang. Shinichi tak mempermasalahkannya, ia juga tidak buru-buru. Ia masih bisa menangani kasus-kasusnya dari Amerika lewat video call dengan Masumi.

Kesuksesan transplantasi sumsum tulang belakang bionik telah membuat Shiho menjadi semakin tenar. Media Amerika menyerbunya. Kumpulan ilmuwan juga memburunya, berharap bisa mendapatkan pelajaran. Para penderita leukemia juga berbondong-bondong ingin menjalani transplantasi bionik tersebut. Shiho akhirnya membentuk tim khusus untuk menanganinya, ia kewalahan jika harus menghadapinya seorang diri.

Keberhasilannya tak hanya terdengar di Amerika. Namun seantero dunia. Tak terkecuali Jepang. Foto-foto Shiho dan Shinichi terpampang di mana-mana dengan judul besar-besar, 'Detektif Terkenal Kudo Shinichi Diselamatkan Oleh Mantan Partnernya, Ilmuwan Miyano Shiho' atau 'Kudo Shinichi Berhasil Bertahan Hidup Berkat Miyano Shiho,' bahkan majalah gossip pun tak mau ketinggalan, 'Cinta Bersemi Di antara Dokter dan Pasiennya.'

Yukiko tertegun ketika melihat sosok itu berada di depan pintu apartemennya.

"Yukiko-San..." panggil Ran takut-takut.

"Kau mau apa Ran-Chan?" tanya Yukiko dingin.

"Anoo... Apa Shinichi ada?"

"Untuk apa kau tanyakan? Kalian kan sudah putus,"

"Aku... Aku..."

"Ku dengar kau juga sudah mau menikah dengan Araide Sensei,"

"Aku akan membatalkannya,"

"Tidak perlu. Kau tidak ada selama Shinichi berada di titik terendah hidupnya. Sekarang setelah dia sembuh, kau mau kembali?"

"Tapi aku..."

"Lupakan Shinichi!" pinta Yukiko.

Mata Ran berkaca-kaca.

Mendadak Yusaku muncul dari belakang Yukiko.

"Shinichi sedang pergi ke Taman Central Park," kata Yusaku.

"Arigatou, aku akan menemuinya di sana," kata Ran. Ia mengangguk sopan pada suami istri Kudo sebelum berlalu pergi.

Yukiko melipat tangannya seraya menatap Yusaku dengan tatapan membunuh, "Kenapa kau bocorkan Shinichi ke sana?!"

"Biarkan anak-anak selesaikan masalahnya sendiri, kita orang tua tidak usah ikut campur,"

"Demo yo!"

"Percayakan saja pada Shinichi," kata Yusaku seraya tersenyum

"Shiho mana ya?" gumam Shinichi seraya memandang berkeliling mencari-cari di Taman Central Park. Hari ini hari minggu, taman itu cukup ramai pengunjung.

"Shinichi!" terdengar seseorang memanggil.

"Shi... eh?" Shinichi membeku.

Ran mendadak muncul dan memeluknya.

"R-Ran?"

"Yukata ne... Kau berhasil pulih," kata Ran dengan mata berkaca-kaca.

Dengan halus Shinichi melepas pelukan Ran, "Kenapa kau ke sini?"

"Aku melihat beritamu di surat kabar, aku langsung menyusul kemari,"

"Bukankah kau akan menikah dengan Araide Sensei?"

"Aku... Aku akan membatalkannya..."

Diam-diam Shiho telah melihat hal itu dari jauh. Ia pun langsung berbalik pergi seraya melipat tangannya dengan kesal.

Bodoh kau Shiho! Kalau dia sudah sembuh ya berarti dia akan balikan lagi sama Ran-San! Kau diperlukan hanya karena otakmu saja! Magnet mayat itu tidak mencintaimu! Dia hanya memanfaatkanmu demi sumsum tulang bionik itu, sama seperti dia dulu membutuhkan antidote APTX darimu! Gerutu Shiho dalam hati, membenci kebodohannya sendiri hanya karena dimabuk cinta.

"Bisakah kita mulai lagi dari awal Shinichi?" tanya Ran penuh harap.

Shinichi langsung menjaga jarak dari Ran.

"Shinichi?" Ran tampak bingung.

"Araide Sensei orang yang sangat baik, ku harap kau tidak membuatnya kecewa," kata Shinichi.

"Dia memang sangat baik, tapi aku tidak mencintainya,"

"Ran... Kurasa sudah saatnya kau lebih mensyukuri terhadap kehadiran orang-orang di sekitarmu,"

"Eh? Maksudnya?"

"Kau sering mengeluhkan orang tuamu yang tak pernah akur. Tapi bersyukurlah kau masih memiliki orang tua lengkap. Banyak di luar sana, tidak punya orang tua lagi,"

Ran terkesiap.

"Bersyukurlah ada Araide Sensei yang sangat mencintaimu. Dia juga sehat. Kau harus menghargainya sebagai anugerah," Shinichi memandang menerawang pada langit cerah, "Aku juga baru mengerti hal ini setelah selamat dari kematian. Aku bersyukur karena aku masih memiliki orang-orang yang sangat menyayangiku di masa-masa tersulitku..."

"Shinichi..."

"Jangan lagi mengejar yang tidak kau miliki. Hargailah yang telah kau miliki Ran..."

"Kau tidak mencintaiku lagi?"

"Bukan masalah cinta tidak cinta, tapi aku tak mau menjadi egois. Jika kita memaksa bersama, akan ada banyak orang yang kecewa. Orang tuamu, orang tuaku, Araide Sensei dan Shiho,"

Ran terhenyak, "Shiho? Apakah gossip itu benar? Kalian... Kalian berkencan?"

"Aku nyaman bersamanya. Aku bisa menjadi diriku sendiri di hadapannya,"

Ran menunduk sedih.

"Lagipula, sumsum tulang bionik ini masih harus dipantau hingga beberapa tahun ke depan. Tidak ada kepastian apakah aku dapat benar-benar sembuh total atau akan mengalami komplikasi. Ayah dan ibumu tentunya akan tetap keberatan jika kau bersamaku. Sementara Araide Sensei adalah pria yang sehat, profesinya sebagai dokter tidak dekat dengan mara bahaya seperti aku yang detektif. Dia lebih bisa memerhatian Ran daripada aku si penggila misteri ini. Aku yakin suatu hari kau akan mencintainya Ran,"

"Shinichi... Apa kau marah padaku? Aku sudah tahu Okasan ada berbicara padamu untuk meninggalkan aku, sehingga aku tidak bisa berada di masa-masa tersulitmu,"

Shinichi menggeleng, "Sama sekali tidak. Aku sudah tahu sejak divonis penyakit ini, cepat atau lambat perpisahan kita akan terjadi. Yang mau pergi silahkan pergi. Tapi yang tersisa, akan aku pertahankan,"

Ran mengusap air matanya, berusaha menegarkan diri, "Tapi kita tetap berteman kan?"

"Eh," Shinichi mengangguk, "Tentu saja,"

"Semoga kau sembuh total tanpa komplikasi, Shinichi,"

"Arigatou. Semoga kau bahagia juga bersama Araide Sensei,"

Mereka pun bersalaman sebagai sahabat.

.

.

.

.

.

"Shiho!" panggil Shinichi suatu siang di tempat kerja Shiho.

Shiho langsung memalingkan wajahnya. Sembari melipat lengannya, ia berjalan cepat ke arah lain yang berlawanan dengan Shinichi.

"Tunggu Shiho!" Shinichi mengejarnya.

"Kau mau apa?" tanya Shiho galak tanpa menghentikan langkahnya, "Aku sibuk,"

"Kenapa kau tidak datang ke taman kemarin?" tanya Shinichi yang mengikutinya di belakang.

"Ada panggilan dadakan,"

"Kenapa tidak mengabariku?"

"Untuk apa? Nanti aku ganggu,"

Shinichi mengerjap, "Shiho... Kau... Apa kau melihat Ran?"

"Kalau ya kenapa?"

"Aku bisa menjelaskannya,"

"Tak perlu! Bukan urusanku!"

"Shiho..." Shinichi merajuk.

"Kau kan sekarang sudah sembuh, kau bisa kembali padanya dan merencanakan pernikahan lagi. Aku toh juga sudah senang penemuanku berhasil. Aku semakin terkenal, uangku semakin banyak. Kita berdua sudah sama-sama diuntungkan dari percobaan ini," omel Shiho.

"Shiho... Kau cemburu?"

"Tidak! Untuk apa?"

Terbersit sebuah ide di benak Shinichi. Ia pun pura-pura mengaduh kesakitan seraya memegang kepalanya. Lututnya tersuruk di tanah.

"Eh?" Shiho menoleh padanya.

"Ugh..." Shinichi terus mengeluh.

Shiho buru-buru berlutut memeriksanya, "Kau kenapa? Apa yang sakit? Katakan padaku,"

Shinichi langsung memeluknya erat.

Shiho kaget, "Shinichi..."

"Kenapa sih, harus aku sakit dulu baru kau peduli padaku?"

"Kau pura-pura?"

"Kalau tidak begitu kau tidak peduli kan?"

"Ck," Shiho berusaha melepaskan diri, namun Shinichi malah semakin mempererat dekapannya.

"Sebagai partner, kau percaya padaku. Tapi sebagai kekasih, kenapa kau sulit sekali percaya?"

"Aku tidak tahu kalau kita sepasang kekasih," gerutu Shiho.

"Aku meminta Ran kembali ke Jepang dan melanjutkan pernikahannya dengan Araide Sensei," ungkap Shinichi.

"Eh?"

"Aku berkata padanya untuk menghargai orang-orang sekitarnya yang menyayanginya sama seperti halnya aku akan melindungi orang-orang di sekitarku yang mencintaiku,"

Shiho terdiam.

"Aku juga memintanya untuk mempertahankan yang telah dia miliki alih-alih mengejar yang tidak dapat dimiliki..."

"Shinichi,"

"Aku pernah bodoh sekali, apa kau kira aku akan bertindak bodoh lagi? Aku sudah bertekad ingin bersamamu, wanita yang mencintaiku seutuhnya. Hanya di hadapanmu, aku bisa menjadi diriku sendiri Shiho..."

Mata Shiho bergetar ketika mendengar hal tersebut.

Shinichi melepaskan dekapannya dan menangkup wajah Shiho dengan kedua tangannya, "Tapi, aku mengerti kalau misalnya kau tidak bersedia bersamaku. Kau sendiri yang bilang, sumsum tulang bionik ini masih dalam pantauan. Komplikasi bisa saja terjadi, masa depanku tidak pasti. Aku tidak mau membuatmu sedih lagi Shiho,"

Tatapan Shiho melembut, "Baka. Memang siapa yang bisa memastikan masa depan?"

"Eh?"

"Aku yang belajar ilmu pasti pun tidak dapat memastikan masa depanku bukan? Memang komplikasi bisa saja terjadi, tapi bisa juga tidak. Belum tentu juga, usiaku akan lebih panjang darimu. Semuanya serba tidak pasti. Hidup manusia sangat singkat. Tapi bukankah dalam waktu yang singkat itu, kita tidak boleh menyia-nyiakannya?"

"Shiho..."

"Sampai beberapa bulan lalu ketika aku mendengar rencana pernikahanmu dengan Ran-San. Aku harus menerima dengan lapang dada, perasaanku akan bertepuk sebelah tangan selamanya. Lalu ketika melihat kalian di Central Park kemarin, mungkin aku harus menerima takdirku untuk tidak bersamamu. Paling tidak melihatmu hidup walau tidak kumiliki lebih baik daripada melihatmu tiada. Dan sekarang ketika kau mengajakku bersama, apa mungkin aku akan menyia-nyiakannya? Sepuluh tahun, sepuluh bulan atau bahkan satu hari. Aku tetap ingin bersamamu, menghargai waktu meski sangat singkat,"

"Shiho..." Shinichi tercekat karena haru. Ia memeluk Shiho lagi, "Kau sungguh-sungguh lebih dari Irene Adler bagiku. Jadilah partner hidupku selamanya..."

"Eh," Shiho menyatakan kesediaannya.

Shinichi akhirnya memutuskan untuk menetap di Amerika dan membuka cabang agensi detektifnya di sana. Sementara Masumi diangkat menjadi pimpinan detektif untuk agensi yang berada di Jepang. Shinichi memilih Amerika karena mengingat pekerjaan Shiho tidak bisa ditinggalkan di sana dan sumsum tulang belakangnya juga harus selalu dipantau. Jika terjadi sesuatu atau membutuhkan treatment tambahan, akses di Amerika lebih mudah dan cepat ketimbang ia harus bolak-balik Jepang-Amerika.

Setahun setelah operasi transplantasi, Shinichi pulih sepenuhnya. Shiho memang masih memantaunya dan mengatur diet serta pola hidupnya agar seimbang. Mereka akhirnya menikah di kapal pesiar. Sederhana saja, hanya dihadiri oleh keluarga dekat. Keluarga Kudo, Keluarga Sera dan Profesor Agasa. Media-media langsung heboh memberitakan mereka, 'Dokter Dan Pasien Yang Saling Jatuh Cinta' atau 'Di Bawah Ancaman Maut, Cinta Bersemi,'

"Oi, kedengaran tidak?" tanya Shiho tampak bosan.

"Tunggu tunggu," Shinichi meminta Shiho tidak bergerak-gerak.

Saat itu di ruang tamu, di bawah jendela besar, Shinichi tengah berlutut menempelkan telinganya ke perut besar Shiho yang hamil enam bulan.

"Aku pegal, mau duduk," keluh Shiho.

"Sebentar lagi. Eh tuh... terasa..."

"Oh ya?"

"Kok sepertinya berputar-putar,"

"Tentu saja. Nanti kalau sudah mau lahir kepalanya putar lagi ke bawah,"

Mereka berdua tidak menyangka dengan kehamilan ini. Bahkan tidak begitu mengharapkannya mengingat Shinichi yang baru sembuh dari leukemia sementara Shiho sendiri pesimis, karena tidak tahu apakah gennya bermutasi gara-gara APTX dan antidotnya. Tapi ternyata setelah menikah, Shiho hanya kosong dua bulan sebelum dinyatakan positif hamil.

"Sehat-sehat di dalam ya Aka-Chan..." Shinichi mengusap-usap perut besar Shiho, "Jangan nakal... Otosan dan Okasan menunggu di luar sini..." ia mengecup perut Shiho berulang kali.

"Ah... Hanya anaknya saja yang dicium, ibunya bagaimana?" Shiho belagak cemburu.

Shinichi tersenyum, ia berdiri untuk menghadapi istrinya, menatapnya dengan penuh cinta lalu mengecup keningnya, "Aku mencintaimu Shiho,"

Shiho tersenyum, "Aku jauh lebih mencintaimu tantei-san," ujarnya seraya merangkul leher Shinichi dengan kedua lengannya.

Mereka saling berpagutan mesra.

Diam-diam Yusaku dan Yukiko mengintip pemandangan itu dari lantai atas. Mereka saling bertukar senyum. Mereka sangat bahagia karena Shinichi tidak hanya selamat dari kematian, namun ia juga menemukan belahan jiwa yang sesungguhnya.

THE END