The Lost Soul 1
By : pipi_tembam
"Jadi ternyata kau wanita iblis!" Sonoko menunjuk Haibara Ai, "Pantas saja cara bicaramu angkuh untuk ukuran anak-anak! Aku tak pernah suka padamu!"
"Sudahlah Sonoko," pinta Ran, "Ai-Chan juga dipaksa membuat obat itu,"
"Dia telah menempatkan Shinichi-Kun dalam bahaya!"
"Shinichi jadi mengecil karena kecerobohannya sendiri ketika mengikuti komplotan itu di Tropical Land. Ai-Chan tidak pernah tahu kepada siapa saja obat itu digunakan," bela Ran.
"Cih!" Sonoko melipat lengannya dengan angkuh.
"Apa kau bisa membuat obat penawarnya, Ai-Chan?" tanya Ran seraya menunduk menghadapi Haibara.
"Aku masih mengusahakannya, sejauh ini aku hanya bisa menciptakan prototipenya. Jika aku mendapatkan data-data lengkapnya dari server organisasi, mungkin aku bisa membuatkan antidote yang sifatnya permanen," jawab Haibara.
"Aku yakin kau pasti berhasil membuat penawarnya,"
"Tidak perlu khawatir Ran-San. Walaupun aku harus mati, aku pasti akan menciptakan antidotenya agar Kudo-Kun kembali padamu,"
"Uhm," Ran mengangguk, "Aku akan menunggu, aku percaya padamu, Ai-Chan,"
"Haibara!" teriak Shinichi yang telah kembali ke tubuh aslinya. Ia berusaha mendobrak pintu besi di mana di dalamnya adalah ruang pendingin.
Identitas Sherry yang mengecil sebagai Haibara Ai telah diketahui oleh organisasi. Gin menculik Haibara sepulang sekolah. Ia dikurung di ruang pendingin.
"Minggir Kudo!" seru Akai dengan suara parau.
Shinichi menyingkir.
Akai menembak gagang pintu berkali-kali hingga kuncinya rusak.
Shinichi menendang pintu hingga terbuka dan menemukan Haibara pingsan di lantai. Tubuhnya terbujur dingin dan kaku. Shinichi melepas jaketnya untuk menyelimutinya dan menggendongnya keluar. Dalam perjalanan ke rumah sakit, Shinichi tak henti-hentinya berdoa dalam hati agar Haibara dapat bertahan hidup.
"Bagaimana Dokter?" tanya Shinichi menghampiri ketika melihat dokter keluar.
Akai dan Jodie Sensei juga menghampiri.
"Haibara-San baik-baik saja, tapi..."
"Tapi apa?" tanya Jodie.
"Karena terlalu lama di ruang dingin, tubuhnya akan menjadi rentan. Di musim panas mungkin tidak apa-apa. Namun dia harus berhati-hati di musim dingin, kenakan pakaian hangat dan juga makan-makanan hangat. Sebaiknya dia juga jangan sampai tertekan dan terguncang, paru-parunya sudah lemah,"
Akai memejamkan matanya.
Jodie menutup mulutnya tampak prihatin.
Shinichi juga terdiam muram, Haibara...
.
.
.
.
.
Enam bulan kemudian...
Dalam pengepungan markas Black Organization, Gin, Vodka dan Vermouth malah akhirnya memilih bunuh diri. Jenazah mereka dibawa oleh petugas polisi untuk diautopsi sebelum dikremasi. Sisa-sisa anggota ditangkap dan beberapa yang kabur masih ditelusuri pencariannya.
Shinichi yang sudah kembali ke ukuran tubuh normalnya, menjalani kehidupannya di SMA Teitan. Namun Shiho belum menelan antidotenya, ia masih menjalani hari-harinya sebagai Haibara Ai di SD Teitan bersama Detektif Cilik. Edogawa Conan dikabarkan sudah kembali ke rumah orang tuanya di Amerika.
"Tadaima" ucap Haibara yang baru sampai rumah setelah pulang dari sekolah. Ketika baru saja meletakkan tas sekolahnya di sudut ruangan, ia dikejutkan oleh pemandangan di ruang tamu. Akai Shuichi, Jodie Sensei, Masumi, Shinichi dan Profesor Agasa sudah berkumpul menunggunya.
"Okairi Ai-Kun," sambut Profesor Agasa.
Haibara melipat lengannya seraya memejamkan matanya dengan angkuh, "Jadi, kenapa dia di sini?" tanyanya. Yang dimaksud adalah Akai Shuichi.
Jodie Sensei berusaha mencairkan suasana itu, "Ah begini Sherry. Kami datang untuk menawarimu posisi di FBI dan ngomong-ngomong kenapa kau tidak kembali ke tubuh aslimu?"
"Itu urusanku dan aku tidak tertarik pada tawaran FBI," jawab Haibara singkat.
"Aku lebih sering kerja di lapangan daripada di kantor, kau akan jarang bertemu denganku," timpal Akai Shuichi dingin.
"Apapun itu, aku tidak mau," sahut Haibara.
"Jangan begitu Haibara," pinta Shinichi pelan, "Akai-San selama ini telah melindungimu,"
"Aku tak memintanya!" seru Haibara membuat semuanya tersentak.
"Ai-Kun..." Profesor Agasa cemas melihat sikapnya.
"Dia lakukan itu karena dia harus membayarnya! Dia memanfaatkan onee-chan dan aku untuk menyusup organisasi itu! Hasilnya? Onee-Chan mati!" bentak Haibara kepada Akai Shuichi.
"Shiho, Shunee pun menyesali perbuatannya," gumam Masumi.
"Aku tak peduli!"
"Tenangkan dirimu Haibara," pinta Shinichi seraya merengkuh lengannya.
"Jangan dikira..." rintih Haibara dengan mata berkaca-kaca, "Menyelamatkanku akan menghapus dosamu... Kau telah menghilangkan nyawa orang yang satu-satunya kumiliki di dunia ini... Onee-Chan takkan hidup lagi!"
"Kau masih punya kami Shiho," sahut Masumi, "Kau tidak sendiri, kau punya kami sepupumu, keluargamu,"
"Persetan!" kutuk Haibara.
"Haibara..." Shinichi harus memegang dua lengannya untuk mengendalikannya.
"Aku tidak punya sepupu! Aku tidak punya keluarga! Aku hanya punya onee-chan! Dan dia sudah tiada gara-gara kau! Moroboshi Dai! Uhuk..." Haibara terbatuk seraya memegang dadanya.
"Haibara!" Shinichi merengkuhnya, namun batuk Haibara tidak mau berhenti.
"Sebaiknya bawa dia ke kamar Shinichi. Obatnya ada di laci," pinta Profesor Agasa.
Shinichi pun menggendong Haibara ke kamar.
"Gomene," kata Profesor Agasa pada tamunya, "Ai-Kun belum siap saat ini. Biarkan dia tenang dulu. Dia tidak boleh tertekan, aku sungguh khawatir dengan kondisinya,"
"Eh, kami mengerti," sahut Jodie Sensei, "Maaf telah membuat kekacauan ini,"
"Haibara!" panggil Shinichi suatu pagi saat berangkat ke sekolah.
Haibara menoleh, "Nani?!" sahutnya galak.
Hup. Shinichi memakaikan topi rajutan ke kepala Haibara.
"Eh?" Haibara bingung.
"Hakase menitipkannya padaku, katanya kau lupa pakai topimu. Ingat kau tidak boleh kedinginan," ujar Shinichi.
Mereka pun jalan bersama.
"Jangan mentang-mentang kau besar dan aku kecil, kau dapat memperlakukan aku seenaknya," gerutu Haibara.
"Karena itu, kenapa kau tidak jadi besar saja? Kan obatnya sudah permanen,"
Haibara tidak menyahut.
"Ayumi, Genta dan Mitsuhiko pasti akan mengerti," Shinichi menebak alasan Haibara tidak mau kembali ke ukuran normal adalah karena anak-anak itu.
"Aku suka begini," sahut Haibara.
"Takuu..."
"Lagipula aku masih mengumpulkan data dan memastikan, kau tidak akan mengalami efek samping jangka panjang,"
Shinichi bergidik, "Serius?"
Haibara membuang wajah, "Aku ingin memastikan paling tidak sampai setahun ke depan. Kalau kau tidak mati, mungkin aku mempertimbangkan untuk menelannya,"
"Oi Oi! Seriuslah Haibara! Jangan menakutiku!" Shinichi merajuk.
"Shinichi!" mendadak terdengar Ran memanggil.
Ran bersama Sonoko dan Masumi menghampiri mereka.
"Oh rupanya kau di sini Shinichi, bersama wanita iblis," sindir Sonoko.
Shinichi mengernyit tidak suka.
"Sonoko!" Ran memperingatkan sahabatnya.
"Maaf Sonoko, bagaimanapun juga Shiho masih sepupuku, tolong hargai," pinta Masumi.
"Hai hai..." sahut Sonoko malas.
"Aku tak minta kau bela," kata Haibara tajam pada Masumi.
"Shiho..." Masumi menatapnya memohon.
"Aku tak merasa punya sepupu,"
Masumi tampak sedih.
"Oi Haibara, jangan marah-marah terus. Ingat paru-parumu," Shinichi mengingatkan.
"Karena itu jangan mengusikku, toh aku hanya wanita iblis,"
"Ai-Chan!" tiba-tiba dari kejauhan Ayumi memanggil sembari melambai. Genta dan Mitsuhiko berdiri di belakangnya.
"Ayo ke sekolah!" teriak Mitsuhiko.
"Hai..." sahut Haibara dengan suara manis lalu mendekati teman-temannya dan mereka jalan bersama ke sekolah.
"Ai-Chan masih tidak ingin kembali?" tanya Ran pada Shinichi.
"Eh," sahut Shinichi, "Entah sampai kapan dia mau begitu," gumam Shinichi yang cemas memikirkan Haibara.
.
.
.
.
.
"Shiho! Aku sudah menunggumu dari tadi," panggil Masumi ketika melihat Haibara keluar dari gerbang sekolah.
"Mau apa lagi?" tanya Haibara dingin seraya berjalan cepat.
Masumi mengikutinya dari belakang, "Anooo..." ia bingung untuk berbicara.
"Jika ini menyangkut kakakmu, simpan saja tenagamu. Aku tidak akan memaafkannya,"
"Bukan bukan. Aku bukan ingin membujukmu untuk memaafkan Shunee," sahut Masumi, "Aku mengerti kemarahanmu padanya. Jika aku jadi kau, aku juga mungkin akan begitu,"
"Tidak usah sok mengerti perasaanku. Kau tidak paham apapun,"
Masumi mendesah, "Shunee memang keras, aku dan terutama Okasan juga sulit untuk berbicara dengannya tanpa berdebat. Jadi aku maklum saja,"
"Terima kasih atas pengertianmu,"
Masumi berdiri di depan Haibara untuk menghentikan langkahya.
"Nani?" tanya Haibara.
"Ada seseorang yang sangat ingin bertemu denganmu," Masumi memberitahu.
"Siapa?"
"Seseorang yang sangat menyayangi ibumu,"
"Eh?"
"Ayo!" Masumi menggandeng lengan sepupunya dan mengajaknya pergi.
"Eh? Tunggu! Aku belum setuju!" gerutu Haibara.
Masumi membawa Haibara ke sebuah kamar hotel. Di dalam sana, ibunya Mary Sera sudah menunggu. Ketika melihatnya datang, Mary menghampirinya dan berjongkok di hadapan Haibara.
"Kau benar-benar mirip Elena," ucap Mary dengan mata berkaca-kaca.
Haibara tak bisa berkata-kata.
"Ayo kita berbincang-bincang sebentar," Mary mempersilakannya duduk di sofa.
Mary mengambil sebuah album dari lemari dan duduk di sebelah Haibara sementara Masumi di sofa seberangnya. Mary menyerahkan album itu ke tangan Haibara.
"Apa ini?" tanya Haibara.
"Bukalah," pinta Mary.
Haibara membukanya, rupanya album itu adalah foto-foto masa kecil ibunya bersama Mary. Mereka berdua kakak-adik yang sangat cantik, ceria dan begitu dekat. Tampak saling menyayangi.
"Okasan..." gumam Haibara dengan mata penuh kerinduan.
"Eh," Mary mengangguk, "Kau sebelum ini, tidak pernah melihat wajahnya kan?"
Haibara menggeleng.
"Sejak kecil aku memang lebih suka latihan fisik, sedangkan Elena sangat cerdas di bidang sains. Setelah dewasa, aku jadi agen rahasia dan Elena menjadi ilmuwan. Kau pun mewarisi kejeniusannya," Mary menatap Haibara penuh sayang.
Haibara membalik albumnya lagi dan melihat foto pernikahan orang tuanya.
"Ini Otosan?" Haibara menunjuk.
"Benar. Itu Atsushi-San. Itu foto pernikahan mereka," jelas Mary.
Haibara menyentuh foto-foto itu dengan mata berkaca-kaca. Betapa ia sangat merindukan orang tuanya dan juga kakaknya.
"Tapi... Apa maksud Mary Obasan menunjukkan semua ini?" tanya Haibara.
Mary meraih tangan Haibara dan menggenggamnya lembut, "Kalau kau mau, aku bisa membawamu ke tempat-tempat favorit ibumu di Inggris,"
"Inggris?"
"Eh," Mary mengangguk, "Kita mulai segalanya dari awal di Inggris,"
"Tapi..."
"Aku mengerti kalau kau masih marah pada Shuichi. Aku tak dapat menyalahkanmu, aku juga menyayangkan tindakannya yang membahayakan kalian. Sebagai ibu dan anak kami sendiri sering berselisih pendapat. Karena itu, kalau kau tak mau bergabung dengan FBI di Amerika, kau bisa ikut denganku dan Masumi ke Inggris. Kami masih memiliki apartemen di sana. Aku akan mengenalkanmu dengan teman-teman sejawat Elena, agar kau dapat menjadi ilmuwan di sana,"
"Lebih baik begitu Shiho," timpal Masumi, "Daripada kau terus-menerus dikucilkan Sonoko, lagipula Atshuhi-Ojisan juga sudah terlanjur di cap ilmuwan gila oleh para perkumpulan ilmuwan di Jepang. Di Inggris, kau takkan tersisihkan seperti itu. Hidup dan karirmu pasti lebih baik di sana,"
Haibara tampak menunduk mempertimbangkan.
"Masumi sudah bercerita padaku," lanjut Mary, "Kau keberatan meninggalkan teman-teman kecilmu, tapi... Kau juga harus melanjutkan hidupmu Shiho... Jangan menyia-nyiakannya. Hanya kau peninggalan Elena, beri aku kesempatan untuk menjagamu... Aku yakin, itu yang Elena inginkan," ia memohon dengan sangat.
Haibara terenyuh melihat ketulusannya.
Hening sejenak.
"Beri aku waktu Mary Obasan," kata Haibara akhirnya, "Aku perlu memikirkannya,"
"Eh," Mary mengangguk, "Pelan-pelan saja, aku akan menunggumu,"
Dalam hatinya, Haibara memang merasa berat meninggalkan teman-teman kecilnya, tapi selain itu ada satu lagi yang lebih berat untuk ia tinggalkan.
Kudo-Kun...
.
.
.
.
.
"Haibara mana, Hakase?" tanya Shinichi suatu malam.
"Di teras atas," jawab Hakase.
"Takuuu... Sudah tahu dingin, kenapa malah nongkrong di atas?"
"Mungkin lagi cari inspirasi," sahut Hakase sambil menuang coklat panas dari teko.
Shinichi mendesah, "Aku akan menemuinya,"
"Tunggu dulu Shinichi," cegat Hakase, "Kalau mau ke atas tolong bawakan coklat ini padanya dan perlengkapan baju hangatnya,"
"Nani? Baju hangatnya saja tidak dipakai?"
"Cuma pakai selapis jaket doank tadi,"
"Ya ampun,"
Sambil membawa secangkir coklat hangat dan menenteng sweeter rajutan, Shinichi menaiki teras atas. Di sana ia menemukan Haibara tengah duduk termangu menatap langit malam. Shinichi meletakkan cangkirnya dulu di kursi, lalu menyelimuti Haibara dengan sweeter rajutan.
"Eh?" Haibara kaget dengan kedatangannya.
Shinichi melingkarkan syal ke lehernya lalu memakaikan topi rajutan juga ke kepalanya.
"Kau membuatku tenggelam," gerutu Haibara.
"Yang penting aman dan hangat," ujar Shinichi mengambil cangkir itu lagi dan menyodorkannya ke tangan Haibara, "Coklatmu, hati-hati panas," akhirnya ia duduk di sebelah Haibara, "Jangan membuatku terus-menerus memakaikan baju hangatmu seperti barbie saja,"
"Aku tak memintanya,"
Shinichi menghela napas, "Kau harus merawat dirimu sendiri Haibara. Sekarang juga tak perlu buat penawar APTX lagi kan? Jadi jangan begadang terus atau selamanya kau jadi Putri Setan Mengantuk nanti,"
"Jangan menceramahiku seolah aku anak kecil,"
"Memang kau anak kecil hehe..." Shinichi terkekeh.
"Hmph!" Haibara membuang muka.
"Ngomong-ngomong, kau mau sampai kapan seperti ini?"
Haibara terdiam, ia mengerti arah pembicaraan Shinichi.
"Walaupun kau jadi Miyano Shiho, kau masih bisa berteman dengan Detektif Cilik,"
Haibara menunduk menatap coklatnya, "Aku masih belum bisa meninggalkan mereka. Tidak setelah mereka kehilangan Edogawa Conan,"
"Ataukah kau takut?"
"Takut?" Haibara menoleh pada Shinichi.
"Kau takut dengan ketidakpastian yang menantimu ketika kau kembali menjadi Miyano Shiho," tebak Shinichi.
Haibara mendesah, "Ya sedikit," ia mengakui.
"Karena Sonoko?"
Haibara terdiam.
"Ayolah tak usah hiraukan dia, kau tahu sendiri dia memang sifatnya aneh begitu. Lagipula, kau telah mengalami hal yang lebih parah saat berhadapan dengan Gin, kenapa sekarang harus takut pada Sonoko?"
Kau tidak tahu Kudo-Kun... Kau tidak tahu apa-apa... Batin Haibara. Jika ia kembali ke tubuh wanitanya, ia tidak ingin semakin memperparah ketidaknyamanan di antara Ran, Shinichi dan Sonoko. Kalau ia tetap menjadi anak kecil, Ran hanya memandangnya sebagai gadis imut, bukan wanita iblis yang mengancam.
"Jangan hindari takdirmu Haibara," pinta Shinichi, "Kau harus terus melanjutkan hidupmu sebagai Miyano Shiho. Nama pemberian orang tuamu,"
"Begitukah menurutmu?"
"Memang mau sampai kapan kau memakai nama pemberian Hakase? Ai yang berarti kesedihan dan Haibara campuran mawar dan nama aktris sana sini. Sembarangan saja, memangnya dikira kuis. Nama Shiho lebih cantik,"
"Eh?" wajah Haibara merona ketika mendengar hal itu.
"Shiho yang artinya feminine, penuh perhatian, penyayang, wanita anggun dan elegan. Bukankah itu lebih bagus didengar?" Shinichi menatapnya seraya tersenyum.
Haibara menunduk lagi menatap gelas coklatnya untuk menyembunyikan wajahnya yang merah padam.
"Kau cerdas, banyak yang membutuhkanmu sebagai ilmuwan," lanjut Shinichi.
"Aku... Aku akan mempertimbangkannya..."
"Eh... Pelan-pelan saja..."
"Tapi, maukah kau berjanji satu hal?"
"Apa?"
Haibara mendongak memandangnya, "Jika nanti aku kembali ke tubuh normalku, jangan panggil aku Haibara lagi... Tapi panggil aku Shiho..."
Shinichi mengerjap sebelum kemudian tersenyum lagi, "Aku janji,"
Haibara menjulurkan kelingkingnya.
Shinichi menyipit, "Seperti anak kecil saja,"
"Kan aku memang anak kecil,"
Shinichi nyengir namun mengaitkan kelingkingnya ke sana.
"Arigatou, Shinichi nii-chan..." goda Haibara dengan suara imut.
Shinichi bergidik, "Mengerikan..."
Kemudian mereka menengadah menatap langit malam yang bertaburan bintang.
"Malam ini indah sekali kan Ai-Chan," ucap Shinichi seraya menepuk lunak kepala Haibara.
"Hentikan itu! Aku bukan barbie!" gerutu Shiho.
Shinichi tergelak.
"Loh, Ai-Kun kenapa?" tanya Hakase yang melihat Shinichi turun dari teras sambil menggendong Haibara di belakang punggungnya.
"Ssst!" Shinichi menaruh telunjuknya di bibir, memintanya tenang, "Dia cuma ketiduran,"
"Oh," Profesor Agasa tampak lega, "Baguslah dia tidur, biasanya dia suka begadang,"
"Aku akan membawanya ke kamar,"
"Eh," Profesor Agasa mengangguk.
Perlahan Shinichi menurunkan Haibara dari punggungnya dan membaringkannya di tempat tidur. Ia melepas topi rajutan dan syal Haibara lalu menutup tubuhnya dengan selimut. Haibara berguling sedikit dan tidur miring, namun tidak terbangun.
Shinichi terdiam memandang wajahnya yang sedang tidur. Lama-lama ia tersenyum karena merasa wajah Haibara imut juga. Padahal ia sudah sering melihatnya tidur, namun jika melihatnya dari sudut pandang tubuh dewasanya, rasanya berbeda. Ia pun pernah melihat versi Miyano Shiho namun waktu dirinya sebagai Edogawa Conan, ia tidak pernah berhadapan dengan Miyano Shiho dalam bentuk Kudo Shinichi. Tapi cepat atau lambat, hal itu akan terjadi. Shinichi cukup menantikannya.
"Oyasumi... Shiho..." bisik Shinichi sebelum berlalu pergi.
.
.
.
.
.
"Ini untukmu Ai-Chan," Ayumi menyerahkan sebuah album kepada Haibara di bandara.
"Itu adalah kumpulan foto-foto Detektif Cilik," Mitsuhiko memberitahu, "Kami menyusunnya bersama-sama,"
"Arigatou Minna. Aku akan menyimpannya baik-baik," kata Haibara.
"Sedih ya, setelah Conan pergi, Haibara juga pergi," gumam Genta.
"Tak perlu sedih, kita masih bisa saling mengirim email kan?" hibur Haibara.
"Oh Ayumi ada satu lagi," kemudian Ayumi menyerahkan boneka lumba-lumbanya.
"Bukankah ini boneka kesayanganmu?" tanya Haibara ketika menerimanya.
"Uhm," Ayumi mengangguk, "Ayumi ingin Ai-Chan memilikinya, agar Ai-Chan merasa selalu dekat dengan Ayumi,"
"Arigatou Yoshida-San,"
Mereka bertiga berpelukan.
Kemudian Haibara menghadapi Profesor Agasa dan memeluknya.
"Terima kasih Hakase telah menjagaku selama ini," bisik Haibara.
"Aku senang melakukannya Ai-Kun," isak Profesor Agasa sedih.
"Aku titip Kudo-Kun padamu,"
Profesor Agasa mengangguk, "Aku sudah menguasai programnya,"
"Ayo Shiho. Sudah waktunya," Mary mengingatkan dengan lembut.
"Sampai nanti semuanya," Haibara melambai.
Profesor Agasa dan Detektif Cilik membalas lambaiannya.
Haibara, Mary dan Masumi berjalan menuju toilet lebih dulu. Di sana Haibara menelan antidote APTX nya untuk menjelma menjadi Miyano Shiho, karena nama Haibara Ai tidak pernah terdaftar resmi. Keluar dari toilet ia telah melangkah untuk mengawali hidup barunya.
Mary tersenyum melihat perubahannya, "Sudah kuduga, kau sangat cantik,"
Masumi juga tersenyum.
"Kita pergi sekarang?" tanya Mary.
"Uhm," Shiho mengangguk.
Shiho melempar pandangan ke bandara untuk terakhir kali sebelum masuk boarding room.
Ketika Profesor Agasa dan Detektif Cilik berbalik badan untuk pulang, mereka bertemu dengan Shinichi yang baru sampai dengan napas terengah-engah. Ran menyusul di belakangnya.
"Eh? Shinichi-niichan?" Ayumi memandangnya bingung.
"Haibara... Dimana Haibara?" tanya Shinichi.
"Sudah masuk ke dalam," kata Mitsuhiko.
"Sial!" Shinichi berlari ke arah counter check in, matanya gelapan mencari-cari. Namun ia tak dapat menemukan sosok mungil Haibara.
"Ai-Kun pasti sudah masuk pesawat Shinichi," kata Profesor Agasa.
"Haibaraaa!" Shinichi berteriak putus asa, orang-orang di sekitar sampai menatapnya bingung.
"Shinichi..." Ran terpana melihat kepedihan Shinichi.
Tubuh Shinichi terpuruk di lantai.
"Shinichi nii-chan seperti kehilangan kekasihnya saja," gumam Mitsuhiko.
"Kenapa... Kenapa harus begini..." rintih Shinichi sedih dengan mata berkaca-kaca. Hatinya bagai diremas, rasanya ngilu sekali. Ia kehilangan parternya, Haibara telah pergi.
Setelah dari bandara, Shinichi memasuki kamar Haibara untuk mencari petunjuk kepergiannya. Namun ia tidak menemukan apapun. Haibara si ilmuwan pintar itu tampaknya telah memperkirakannya, sehingga tak ada barang-barang penting yang tersisa selain botol parfumnya saja yang isinya tinggal setengah dan gantungan HP boneka Higo di meja.
"Shinichi..." tiba-tiba Profesor Agasa memasuki ruangan.
"Kenapa Hakase?" tanya Shinichi muram.
"Eh?"
"Kenapa kau tidak memberitahuku tentang rencana kepergiannya?"
"Ai-Kun melarangku memberitahumu dan aku menghargai keputusannya,"
Shinichi terisak, "Apakah aku salah? Kenapa dia begitu padaku?"
"Mungkin dia memberitahumu di sini," kata Profesor Agasa seraya menyodorkan sebuah amplop tertutup.
"Nani?" Shinichi memandang amplop itu dengan bingung.
"Ai-Kun menitipkannya padaku untuk diberikan padamu setelah ia pergi,"
Shinichi menerima amplop itu.
Profesor Agasa keluar dari kamar.
Shinichi membuka amplop itu dan membaca suratnya.
Dear Partnerku Kudo-Kun,
Maaf kalau aku harus pergi dengan cara seperti ini, karena aku lebih tidak sanggup jika harus berpisah denganmu di bandara. Setelah pembicaraan kita di teras, aku tahu kau benar, aku tidak boleh menghindari takdirku. Aku juga harus melanjutkan hidupku sebagai Miyano Shiho. Dan jalan hidup inilah yang kupilih, memulai segalanya dari awal bersama Mary Obasan, satu-satunya keluargaku yang tersisa.
Aku tidak bisa berada terus-menerus diantara dirimu, Ran-San dan teman-temannya. Itu sebabnya aku tak berani kembali sebagai Miyano Shiho di hadapanmu dan semuanya. Sebagai Haibara Ai mungkin akan terlihat lucu, tapi sebagai Miyano Shiho, aku akan dianggap ancaman bagi beberapa orang. Aku tidak ingin ketidaknyamanan itu terjadi. Kau telah banyak membantuku dan melindungiku, aku tak mau membebanimu lebih jauh lagi. Kau tidak salah, tapi aku lah yang salah. Aku takut bila aku berhadapan dengan Kudo Shinichi sebagai Miyano Shiho, aku tak dapat lagi bersikap objektif. Aku takut tidak dapat mengendalikan harapanku yang melambung tinggi. Karena itu aku memilih mundur.
Aku sudah membuatkan beberapa program yang telah dikuasai Hakase untuk membantu penyelidikanmu. Semoga berguna. Aku berharap kau bahagia bersama Ran-San. Aku sungguh beruntung dapat bertemu denganmu di kehidupan ini. Kau selamanya adalah partner terbaikku. Jaga dirimu Kudo-Kun.
Partnermu,
Miyano Shiho.
Air mata Shinichi menetes ke pipi ketika ia memejamkan matanya. Ia tidak tahu dan tidak pernah menyangka, kehilangan Haibara Ai sangat menghantam hidupnya. Meruntuhkan dinding pertahanannya. Haibara Ai ternyata memiliki pengaruh besar pada dirinya. Shinichi bagai kehilangan separuh jiwanya.
"Kenapa kau diam Haibara... Kalau ada masalah, seharusnya kau ceritakan saja padaku... Seperti aku yang selalu bercerita padamu... Lalu sekarang aku harus bercerita pada siapa lagi..." bisik Shinichi pahit dengan air mata masih berlinang.
Kemudian Shinichi meraih gantungan Higo di meja. Haibara sangat menyayangi gantungan itu, Shinichi pernah mati-matian mencarinya waktu gantungannya hilang. Sebelah matanya yang copot, Shincihi sendiri yang menggambarkannya lagi dengan spidol. Aneh juga Haibara meninggalkan barang ini di sini dan tidak dibawa pergi.
Shinichi menggenggam erat boneka itu dan membawanya bersamanya. Entah kenapa ia melakukannya. Namun dengan adanya gantungan itu, ia dapat merasakan kehadiran Haibara. Gantungan boneka Higo itu adalah bukti persahabatan mereka pernah ada.
.
.
.
.
.
Lima tahun kemudian...
Shinichi termenung di kamar Shiho di rumah Profesor Agasa. Lima tahun telah berlalu, entah sudah berapa juta kali ia termenung di sana. Kalau menghadapi kasus sulit, ia juga akan menenangkan diri di sana. Seakan hawa Shiho dapat memberinya jalan keluar. Ia selalu membayangkan apa-apa saja yang akan dikatakan Shiho jika menghadapi kasus-kasus itu.
Surat Shiho juga sudah beribu kali dibaca. Parfum Shiho sesekali ia hirup, agar ia tidak melupakan sosok Shiho dalam angannya. Semua itu kini sudah menjadi kebiasaannya. Ia merindukan partnernya, ia ingin Shihonya kembali. Seringkali ia bertanya-tanya apa saja yang sedang dilakukan Shiho sekarang? Shinichi yakin dia pasti telah kembali ke ukuran normalnya, karena paspornya adalah atas nama Miyano Shiho. Seperti apa kira-kira wujudnya sekarang?
"Shinichi," panggil Profesor Agasa.
Shinichi menoleh, "Hakase,"
"Sudah lima tahun, tak baik kalau kau begini terus,"
"Aku hanya berpikir, kalau-kalau ada bagian yang terlewat,"
"Ai-Kun pasti sudah bahagia sekarang,"
"Dia tidak pernah memberi kabar lagi?" tanya Shinichi.
Profesor Agasa menggeleng.
"Ayumi? Genta? Mitsuhiko?"
"Kau tahu kita telah berusaha Shinichi. Ai-Kun hanya berkomunikasi dengan mereka melalui email dan kita sudah mencoba melacaknya namun Ai-Kun pasti telah mengacaukan sinyalnya agar kita tidak bisa mengetahui keberadaannya,"
Shinichi mendesah, "Dia memang pintar,"
"Kalau memang ada jalannya, kelak kalian pasti akan bertemu,"
"Aku seringkali berpikir apa yang salah Hakase? Apakah aku menyinggungnya? Apakah aku ada membuatnya tak nyaman?"
"Lima tahun berlalu dan kau sudah menjelma menjadi pria dewasa, masihkah kau tidak mengerti hal itu Shinichi?"
"Nani?"
"Perasaan Ai-Kun yang terdalam,"
"Perasaan terdalam?" Shinichi tak mengerti.
Profesor Agasa menghela napas, "Sesekali jangan gunakan deduksimu sebagai detektif untuk menganalisisnya. Ai-Kun hanya wanita biasa, gunakan perasaanmu untuk lebih peka,"
Shinichi tertegun merenung, berusaha mengerti maksud Profesor Agasa.
"Terima kasih Hakuba-Kun, berkat bantuanmu kasus ini dapat selesai dengan cepat," ucap Shinichi seraya menjabat tangan Hakuba Saguru.
Saat itu mereka baru keluar dari gedung kepolisian.
"Berkat deduksimu juga Kudo-Kun," Hakuba balas memuji.
"Itu juga karena kau cepat mengumpulkan informasi mengenai latar belakang para tersangka," sambung Shinichi.
"Ah! Aku tidak sendirian dalam hal itu. Aku punya partner yang sangat hebat dalam membantu semua investigasiku. Dia dapat mencari informasi dengan cepat. Aku sangat bergantung padanya, entah apa jadinya diriku tanpa dia," jelas Hakuba dengan tatapan mata lembut.
"Partner ya..." Shinichi mendesah, "Dulu aku juga pernah punya partner seperti itu. Dia sangat genius. Dia suka membantuku hingga aku bergantung padanya,"
"Oh ya? Lalu di mana partnermu sekarang,"
"Pergi karena sesuatu hal,"
"Sayang sekali,"
"Kau sungguh beruntung Hakuba-Kun. Jaga partnermu baik-baik,"
"Tentu saja! Kapan-kapan aku akan mengenalkan partnerku padamu,"
"Aku menantikannya,"
"Sampai nanti," Hakuba melambai.
"Sampai nanti," Shinichi membalas lambaiannya.
"Shinichi, menurutmu gaun yang mana yang bagus untuk pernikahan kita nanti?" tanya Ran.
Shinichi terdiam, tidak menanggapi.
Ran menyipit kesal, "Shinichi!"
"Eh? Kenapa Ran?" Shinichi memandangnya terkejut.
"Kau tidak dengar ya?"
"Dengar apa?"
"Takuuu!" gerutu Sonoko, "Pernikahannya padahal sudah dekat tapi masih saja cuek,"
Saat itu mereka sedang double date di sebuah kafe di pinggir jalan. Shinichi dengan Ran lalu Sonoko dengan Makoto.
"Aku sedang menanyakan pendapatmu tentang gaun pengantin," kata Ran.
"Oh, yang mana sajalah. Kau pakai apa saja cantik. Aku tidak terlalu mengerti. Kau dan Sonoko saja yang putuskan," ujar Shinichi.
"Duh! Kau sebenarnya serius mau menikahiku tidak sih?"
"Tentu saja serius, aku hanya sedang memikirkan kasus," dusta Shinichi.
"Kasus terus!" keluh Ran.
"Pokoknya kau pilih saja apa yang kau suka, aku kan tinggal bayar, daripada aku juga milih-milih nanti jadinya malah ribut," kata Shinichi.
"Ya juga sih," kata Ran, "Bagaimana menurutmu Sonoko?"
Ran dan Sonoko mulai berdiskusi.
Shinichi mengambil gagang cangkirnya, bermaksud menyeruput kopinya lagi. Namun mendadak matanya menangkap sesuatu di luar jendela, di seberang jalan. Seorang wanita berambut pendek berwarna kemerahan dan mengenakan setelan blazer resmi sedang berjalan sambil mengetik di HP. Sosoknya sangat familiar. Jantung Shinichi berdegup cepat.
Shiho!
Shinichi buru-buru bangkit dari kursi dan keluar kafe.
"Eh?" Ran, Sonoko dan Makoto yang tampak bingung jadinya ikut menyusul.
Shinichi berlari menyebrangi jalan dan menyusuri pertokoan mengejar wanita itu, hingga ia akhirnya berhasil berhenti di belakangnya.
"Shiho!" panggil Shinichi.
Wanita itu berhenti sesaat sebelum berjalan lagi, seolah pura-pura tidak dengar.
"Miyano Shiho!" panggil Shinichi lagi.
Wanita itu membeku, tampak bimbang harus menanggapinya atau tidak.
"Aku sudah berjanji untuk memanggilmu Shiho ketika tubuhmu kembali seperti semula," Shinichi mengingatkan.
Akhirnya lambat-lambat wanita itu memutar tubuhnya dan memandang Shinichi, "Kudo-Kun..." bisiknya pelan.
Mata mereka bertemu, saling mengunci dan menatap begitu dalam. Aliran nostalgia memenuhi benak mereka.
"Itu..." Sonoko juga tertegun memandangnya.
"Ai-Chan?" gumam Ran.
"Dia... Cantik..." gumam Sonoko mengakui.
Ran dan Sonoko pun terpana memandang Shiho. Sebagai Haibara Ai, ia memang imut namun sebagai Miyano Shiho dewasa, auranya sangat berbeda. Dia cantik, modis, anggun dan elegan. Kecerdasannya juga terpancar. Ia begitu memukau.
"Ah! Kudo-Kun! Akhirnya kau sudah bertemu partnerku!" mendadak Hakuba Saguru muncul sambil merangkul Shiho.
"Partner?" ulang Shinichi.
"Eh partner kerjaku sekaligus partner hidupku,"
"Partner hidup?"
"Aku dan Shiho-Chan akan menikah dua bulan lagi," Hakuba mengumumkan sembari menatap Shiho dengan mesra.
"B-bagus sekali... Benar-benar berita bagus... Selamat," ucap Shinichi terbata. Segala informasi ini terlalu mendadak menghantamnya.
Kecanggungan itu dipecahkan oleh suara teriakan dari kejauhan.
.
.
.
.
.
Shinichi dan Hakuba memeriksa mayat seorang lelaki yang jatuh dari gedung. Tidak ada denyut nadi lagi, ia sudah meninggal.
"Telpon polisi Shiho," pinta Hakuba.
"Eh," sahut Shiho seraya mengeluarkan ponselnya.
Shinichi merasa agak kehilangan momen itu, biasanya ia yang memberi instruksi itu kepada Haibara alias Shiho untuk memanggil polisi atau ambulan.
"Anatta!" mendadak terdengar teriakan seorang wanita hamil besar ketika melihat mayat suaminya yang tergeletak di aspal dengan darah segar berceceran.
Wanita itu sangat terguncang hingga kehilangan keseimbangannya. Shiho dan Hakuba dengan sigap menangkapnya sebelum jatuh bedebum di aspal. Saking syoknya, wanita itu terserang sesak napas.
"Periksa tasnya Kuba-Kun, mungkin ada inhaler!" seru Shiho seraya membaringkan tubuh wanita itu dengan posisi miring. Shiho menggunakan tas tangannya sendiri sebagai bantalan untuk kepala wanita itu.
Hakuba menarik keluar sebuah inhaler dari tas tangan wanita itu dan memberikannya pada Shiho. Shiho meminta wanita itu menghirupnya seraya memberikan instruksi.
"Sekali lagi..." pinta Shiho agar wanita itu menghisap inhalernya lagi untuk yang ketiga kali, "Atur napasmu, tarik dari hidung dan keluarkan dari mulut..."
"Apa yang terjadi?" tanya Hakuba tidak mengerti.
"Terkadang hal ini terjadi pada wanita yang kehamilannya sudah besar, dinding rahim yang melebar mendorong ruang jantung menjadi sempit. Telpon ambulan, Kuba-Kun," kata Shiho.
"Baiklah," gantian Hakuba menelpon ambulan, sementara Shiho masih menjagai wanita itu seraya menghitung denyut nadinya.
Melihat kekompakan mereka, Shinichi menyadari hubungan mereka bukanlah kepura-puraan. Hakuba dan Shiho terlihat telah terbiasa menjadi satu tim. Entah kenapa Shinichi merasa iri, ia tidak tahu perasaan iri ini sebagai partner ataukah karena hal lainnya. Ia toh sudah memiliki tunangan, tapi ada yang salah di sini.
Investigasi itu berlangsung hingga sore. Shinichi, Hakuba bersama Inspektur Megure telah berhasil menemukan pelakunya yang tidak lain adalah adik ipar si korban sendiri, yang cemburu karena pria itu lebih memilih kakaknya untuk menjadi istrinya. Kepolisian akhirnya menangkap pelaku itu dan membawanya ke kantor pusat.
"Deduksi yang hebat sekali Kudo-Kun," puji Hakuba.
"Berkat kau yang mengumpulkan petunjuknya dengan cepat Hakuba-Kun," Shinichi memuji balik.
"Ah karena aku curang," sahut Hakuba seraya merangkul Shiho dengan tatapan mesra, "Aku dibantu oleh Shiho hehe..."
Ran terdiam melihat pemandangan itu. Hakuba memang menatap Shiho penuh cinta, namun ekspresi Shiho biasa saja, tidak terlihat seperti wanita yang tengah jatuh cinta atau berseri-seri karena akan menikah. Malah matanya sesekali mencuri-curi pandang pada Shinichi.
"Ngomong-ngomong kau dan Ran-San juga akan menikah tahun ini kan?" tanya Hakuba.
"Eh, akhir tahun ini," sahut Shinichi.
Tangan Shiho yang mengenggam tali tasnya terkepal erat ketika mendengar pernyataan itu keluar dari mulut Shinichi.
"Wah, berarti aku dan Shiho duluan ya yang menikah!" kata Hakuba ceria tanpa menyadari gelagat Shiho.
"Kami turut senang, Hakuba-Kun," sela Ran.
"Arigatou," ujar Hakuba, "Kalian tadi sedang double date ya?" ia memandang Shinichi, Ran, Sonoko dan Makoto, "Berarti lain kali ditambah aku dan Shiho jadi triple dateya. Pasti menyenangkan, ya kan Shiho-Chan?"
Shiho tersentak memandang Hakuba, "E-eh...Uhuk..." ia terbatuk.
Shinichi mengerjap, begitu juga Hakuba yang langsung melepas mantel luarnya dan mengenakannya pada Shiho.
"Sudah kubilang untuk memakai mantel lebih tebal, kau kan tak bisa dingin, takuu..." ia membungkus tubuh Shiho dan meninggikan kerahnya agar menutupi leher Shiho sehingga aman dari dingin, "Aku seperti memakaikan baju pada barbie saja,"
Shinichi terhenyak, ingatannya mau tak mau melayang ke waktu lima tahun lalu.
Jangan membuatku terus-menerus memakaikan baju hangatmu seperti barbie saja...
"Gomene," gumam Shiho.
"Kami pulang dulu, sampai ketemu lagi," Hakuba melambai.
"Eh, sampai nanti," Shinichi balas melambai.
Sambil merangkul Shiho, Hakuba berbalik dan mereka berjalan pulang bersama, "Nanti akan kubuatkan sup hangat untukmu," terdengar ia berbisik pada Shiho.
"Arigatou," ucap Shiho.
"Ehhh... Sepertinya Hakuba-Kun sayang sekali pada Shiho ya..." gumam Sonoko.
"Uhm," Ran mengangguk, "Mereka juga sangat serasi, satunya tampan dan satunya lagi cantik,"
"Mungkin itu karena mereka sama-sama keturunan Inggris," sambung Sonoko.
"Tapi baguslah, Shiho akhirnya menemukan kebahagiannya, ya kan Shinichi?" Ran menoleh pada tunangannya.
Shinichi hanya diam, tak mendengar.
Ran langsung termangu, Shinichi...
Shiho masih rentan akan hawa dingin... Apa dia baik-baik saja? Batin Shinichi.
Sampai di kamarnya, Shinichi membuka jas dan menghempasnya asal saja di tempat tidur. Ia menggulung lengan kemeja dan melepas beberapa kancing di dadanya. Kemudian ia menghenyakkan diri di kursi di hadapan meja belajarnya sembari mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Gantungan boneka Higo yang selalu dibawanya bagai jimat.
"Shiho..." Shinichi mengelus wajah boneka Higo dengan ibu jarinya. Terbayang dulu ekspresi syok Haibara saat kehilangan boneka Higonya.
"Akhirnya aku menemukanmu..." bisik Shinichi namun ekspresi wajanya sedih. Shiho terasa begitu jauh dari dirinya. Sekarang sudah ada Hakuba Saguru.
Melihat betapa Hakuba Saguru begitu perhatian pada Shiho, Shinichi merasa malu. Ia teringat dulu saat masih berpartneran dengan Haibara. Ia tak pernah memperlakukannya dengan baik. Kalau pun ia baik-baik kepada Haibara, biasanya karena ada maunya. Ia membutuhkan data investigasi atau antidote APTX untuk berkencan dengan Ran. Pernah satu kali ia membelikan Haibara takoyaki, itupun karena Haibara yang minta. Sepertinya, selama ini ia telah memperlakukan Haibara dengan tidak adil, karena itulah Haibara memilih pergi meninggalkannya. Pelajaran klise yang selalu menyedihkan. Kau baru akan merasa kehilangan setelah orang itu pergi.
"Maafkan aku Shiho..." gumam Shinichi pada boneka Higo seakan-akan boneka itu adalah Shiho.
.
.
.
.
.
"Metode cuci otak dilakukan dengan mengombinasikan Digital Substraction Angiography (DSA) dan injeksi heparin. DSA adalah teknik pencitraan X-ray untuk memvisualisasikan pembuluh darah. Sementara heparin digunakan sebagai anti-koagulan (pengencer darah), untuk mencegah pembekuan darah sebelum operasi serta untuk mengobati pembekuan darah. Heparin diberikan melalui suntikan ke pembuluh darah pasien," jelas Shiho pada suatu seminar. Video-video tiga dimensi mengenai proses operasi cuci otak itu terpampang di layar hologram.
"Kenapa heparin?" ada sebuah pertanyaan dari peserta seminar.
"Karena stroke biasanya disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah karena penumpukan plak di dinding bagian dalam pembuluh, heparin digunakan untuk membersihkan plak dengan menyuntikkan antikoagulan ke paha pasien. Selain itu, pengencer darah ini juga terkadang digunakan untuk mengurangi kerusakan akut atau risiko stroke pada pasien," Shiho menjawab pertanyaan tersebut dengan lancar.
Kira-kira satu jam kemudian seminar itu ditutup. Shinichi menunggu setelah para peserta semuanya keluar ruangan baru ia turun podium untuk menghampiri Shiho.
"Shiho," panggil Shinichi.
Shiho berhenti dan menoleh, "Kudo-Kun? Aku tak tahu kau datang,"
"Aku baru masuk setelah lampu redup,"
"Ada apa?"
"Lama tak bertemu, ada waktu ngobrol?" Shinichi tahu Hakuba Saguru sedang ada penyelidikan di Osaka untuk beberapa hari, ia berharap Shiho tidak menolak ajakannya.
Setelah bimbang sesaat, akhirnya Shiho mengiyakan, "Baiklah,"
Beberapa menit kemudian mereka sudah berada di sebuah kafe kecil yang sangat privasi dan duduk bersebrangan seraya menikmati teatime. Shinichi tak mengerti kenapa mereka berdua jadi begitu canggung seperti ini. Namun detik itu juga Shinichi mengerti, ia tak pernah berhadapan dengan Miyano Shiho sebagai Kudo Shinichi. Mereka tak pernah berkomunikasi sebagai sesama orang dewasa.
"Kau masih tak kuat dingin?" tanya Shinichi.
Shiho menatapnya, "Eh. Sepertinya akan selalu begitu,"
"Seandainya aku menemukanmu lebih cepat di ruangan itu,"
"Kau sudah melakukan lebih dari cukup, lagipula itu sudah lama berlalu, tak perlu diungkit lagi,"
Shinichi mengangguk, "Jadi selama ini kau ke Inggris?"
"Eh" Shiho mengangguk seraya menghirup teh hangatnya.
"Kenapa kau pergi?"
"Aku sudah menjelaskannya di surat,"
"Memulai hidup baru?"
"Dan mencari di mana tempatku seharusnya berada," sambung Shiho tanpa memandang Shinichi.
Shinichi melihat cincin tunangan di jari manis Shiho, "Bagaimana kau bertemu dengan Hakuba?"
"Tidak sengaja, saat dia sedang melakukan investigasi di laboratoriumku,"
"Sejak itu kalian jadi berkencan?"
"Ya setelah melalui proses yang tidak singkat,"
"Hakuba pria yang baik, aku dapat melihatnya, dia begitu perhatian padamu,"
Shiho mengangguk, "Dia memang sangat baik,"
"Kau pasti sangat mencintainya,"
"Ya," sahut Shiho namun jarinya yang memegang gagang cangkir menjadi gemetar. Hal itu tak luput dari perhatian Shinichi.
"Ada sesuatu yang ingin kukembalikan padamu,"
"Eh?" Shiho akhirnya memandang Shinichi kembali.
Shinichi mengeluarkan sesuatu dari jasnya, menaruhnya di meja dan menyodorkannya pada Shiho. Gantungan boneka Higo.
Shiho meraihnya, "Ini..."
"Gantungan kesayanganmu, kau meninggalkannya di kamarmu,"
"Pantas saja, aku tak dapat menemukannya,"
"Aku menyimpannya untukmu..."
"Uhm?"
"Aku membawanya setiap waktu sehingga jika aku bertemu denganmu kapan saja, aku dapat mengembalikannya..."
"Terima kasih karena kau telah menjaganya untukku,"
"Kau tak menjenguk Hakase?"
"Aku baru sampai Jepang seminggu lalu dan masih disibukkan oleh seminar. Rencananya akhir minggu ini aku akan ke sana,"
"Dia pasti senang melihatmu,"
"Eh," sahut Shiho.
"Aku... Aku juga ingin minta maaf Shiho..."
"Nani? Maaf untuk apa?" Shiho tampak bingung.
"Melihat Hakuba memperlakukanmu sebagai partnernya dengan begitu baik, aku sadar mungkin selama ini aku selalu bertindak sesukanya padamu. Sejak kau pergi, aku seringkali berpikir apa yang salah, tapi kini akhirnya aku mengerti. Aku benar-benar minta maaf kalau aku ada membuatmu tak nyaman Shiho,"
"Kau tidak salah Kudo-Kun. Aku juga sudah mengatakannya di surat. Kau tidak salah, akulah yang salah...Aku..." karena aku mencintaimu.
"Kenapa?"
Shiho menggeleng, "Intinya kau tidak salah, aku pergi bukan karena itu. Tidak perlu membebani dirimu dengan hal itu Kudo-Kun. Kau telah berbuat banyak untukku, jika bukan karenamu mungkin aku sudah lama tewas. Aku tidak ingin kau terus-menerus melindungiku, aku pergi karena aku ingin mandiri, itu saja..."
"Aku tenang karena ada Hakuba yang begitu sayang padamu. Semoga kau bahagia dengannya, Shiho,"
"Semoga kau juga bahagia bersama Ran-San, Kudo-Kun,"
"Tidak ada yang berbeda Shiho-Kun. Semuanya masih sama sejak terakhir kali kau meninggalkannya," kata Profesor Agasa ketika Shiho mengunjunginya.
Profesor Agasa senang bukan main saat melihat Shiho di depan pintu rumahnya. Ia sangat merindukan Shiho dan menyayanginya seperti putrinya sendiri. Ia bangga melihat Shiho kini begitu matang dan dewasa serta sangat cantik.
Shiho menyentuh meja kerjanya dan melihat botol parfumnya masih tertinggal di sana, banyak kenangan yang berputar di benaknya saat ini. Di kamar inilah ia melakukan pencarian untuk membantu investigasi Shinichi. Di kamar ini juga, ia berhasil membuat penawar APTX 4869.
"Sejak kau pergi, Shinichi sering kemari meski hanya untuk duduk dan merenung, terutama jika sedang menghadapi kasus sulit. Seolah-olah dengan duduk di sini, ia dapat berdiskusi denganmu," Profesor Agasa mengutarakan.
"Benarkah?"
"Eh," sahut Profesor Agasa, "Dia begitu terpukul dengan kehilanganmu,"
Shiho mengeluarkan boneka Higo dari mantelnya, Kudo-Kun...
"Ya meski dia tetap melanjutkan hidupnya," Profesor Agasa meneruskan, "Ia kuliah, berpacaran dan bertunangan, tetap saja aku merasa ada yang berbeda. Aku mengenalnya dengan baik sejak dia masih kecil. Ia tak pernah menjadi Shinichi yang sama lagi,"
"Aku tak mengerti. Tak sama bagaimana?" Shiho memandangnya.
"Dia ceria di depan Ran-Kun dan teman-temannya, tapi aku merasa ia hanya memaksakan diri untuk hal itu. Ia bagai robot yang disetel, namun ketika dia termenung di ruangan ini, dia meruntuhkan pertahanannya dan menjadi dirinya sendiri. Aku sebenarnya sangat sedih melihatnya, ia seperti telah kehilangan separuh jiwanya. Shinichi tak henti-hentinya menyalahkan dirinya karena kau pergi,"
"Bakane...," bisik Shiho seraya memandang boneka Higo seakan itu adalah Shinichi.
"Jadi, kau telah bertunangan dengan Hakuba Saguru?"
"Eh," Shiho mengangguk, "Pernikahannya dua bulan lagi, karena itu aku kemari. Aku tidak punya orang tua lagi, aku ingin Hakase yang mendampingiku ke altar. Itu pun kalau Hakase bersedia,"
Profesor Agasa mengerjap terharu, "Tentu saja aku bersedia Shiho-Kun. Aku mau mendampingimu di hari pentingmu,"
Shiho tersenyum, "Arigatou Hakase,"
"Tapi Shiho-Kun. Apa kau yakin pada keputusanmu untuk menikah dengan Hakuba-Kun?" Profesor Agasa bertanya memastikan.
"Tentu saja, dia sangat baik padaku, dia mencintaiku,"
"Apa kau mencintainya?"
Shiho tak mampu menjawab, ia malah memeluk boneka Higo itu erat-erat di dadanya.
Profesor Agasa mendesah, tanpa perlu Shiho menjawab, ia sudah tahu jawabannya. Ia tidak memaksa Shiho mengatakannya agar tidak semakin menambah kepedihannya.
.
.
.
.
.
Putri Inspektur Megure menikah. Resepsinya diadakan di sebuah hotel mewah. Yang diundang adalah para kolega di kepolisian dan juga para detektif baik dari pemerintah maupun swasta.
"Eh? Sonoko, kau diundang juga?" tanya Ran ketika melihat sahabatnya datang bersama pasangannya, Makoto.
"Iya, mempelai prianya salah satu orang penting di Suzuki Group," sahut Sonoko.
"Oh begitu,"
"Kau cantik sekali Ran-Chan, serasi dengan Kudo-Kun," puji Sonoko.
"Eh, terima kasih," sahut Ran dengan wajah merona, "Sonoko juga cantik kok,"
Mendadak terdengar gumaman dari para undangan.
"Eh ada apa ya?" Sonoko memandang berkeliling.
Para undangan ternyata bergumam kagum, semuanya melihat ke satu arah di pintu kedatangan. Sonoko, Makoto, Ran dan Shinichi mengikuti arah pandang mereka. Mereka pun menemukan apa yang dikagumi oleh para undangan.
Hakuba Saguru dan Miyano Shiho baru saja tiba dan memasuki ruangan. Sebagai sama-sama keturunan Inggris, mereka sangat mencolok di antara para undangan yang kebanyakan orang Jepang. Hakuba Saguru begitu tampan dan memikat, para wanita diam-diam tergila-gila padanya. Sementara Miyano Shiho tampak elegan dengan gaunnya yang memperlihatkan kulit punggungnya yang mulus. Rambutnya dikeriting bergelombang dengan anggun dan dihiasi oleh jepitan kristal berbentuk bunga lili di rambut merahnya yang berkilauan. Shiho benar-benar cantik bagai peri. Para pria juga diam-diam iri dengan Hakuba yang bisa menggandeng wanita secantik itu.
Shiho... Cantik... Dalam hati, Shinichi juga terpukau melihatnya.
Sonoko mengernyit tak suka karena Shiho mendapatkan semua atensi itu.
Dengan bangga dan gagah, Hakuba menggandeng lengan Shiho melangkah ke tengah ruangan. Setelah menyalami pasangan pengantin, Hakuba menangkap kehadiran Shinichi di ruangan itu. Ia pun mengajak Shiho untuk menghampiri Shinichi dan teman-temannya.
"Kita bertemu lagi Kudo-Kun," sapa Hakuba.
"Hakuba-Kun," Shinichi menyapa balik.
"Kau cantik sekali, Shiho-San," puji Ran.
"Arigatou, Ran-San," sahut Shiho.
"Aku sampai tidak enak hati menyalami pengantin karena tunanganku lebih cantik dari mempelai wanitanya hehe..." Hakuba terkekeh menggoda.
"Kuba-Kun," Shiho memperingatkan.
"Maaf maaf, hanya becanda,"
"Kalian begitu serasi, aku jadi penasaran bagaimana kalian bisa bertemu dan berkencan?" tanya Sonoko ingin tahu.
"Oh, aku sedang melakukan investigasi di laboratorium tempat Shiho bekerja. Ada kasus ledakan kimia yang tampaknya disengaja. Shiho membantuku melakukan penyelidikan. Dia benar-benar cerdas seolah sering membantu detektif melakukan investigasi," cerita Hakuba.
Sonoko mengernyit, Ran terkesiap, Shinichi dan Shiho mengerjap. Hakuba tidak tahu, Shiho memang sudah terbiasa membantu Shinichi.
"Lalu kalian berkencan setelah itu?" tanya Sonoko lagi.
"Duh Sonoko! Ingin tahu saja!" tegur Ran.
"Tidak apa-apa. Aku malah senang," kata Hakuba, "Tidak semudah itu mengajak Shiho kencan. Entah sudah berapa juta kali aku merayunya dari menggunakan kata-kata manis sampai hadiah, Shiho tetap bergeming. Tapi memang dasar aku penasaran, aku tidak menyerah mengejarnya. Sampai akhirnya ia malah luluh setelah aku mencandainya,"
"Eh? Mencandainya apa?" Sonoko penasaran.
Hakuba terkekeh, "Aku mengejeknya Putri Setan Mengantuk,"
Eh? Shinichi terkesiap.
Shiho mengepalkan tangannya, "Kuba-Kun!"
"Nani?" Hakuba memandang tunangannya.
"Tidak perlu dilanjutkan, hal itu memalukan," pinta Shiho berusaha tidak melihat Shinichi.
"Gomen Shiho-Chan, aku memang tidak dapat menahan diri jika sudah menyangkut tentang dirimu," ujar Hakuba dengan tatapan mesra.
"Ehhh? Kenapa kau mengejeknya begitu?" Sonoko bingung seraya garuk-garuk kepala.
"Karena Shiho sangat gila kerja dan suka begadang, membuatnya terlihat mengantuk sepanjang waktu. Jadi aku mengejeknya begitu, eh dia malah mau diajak kencan setelah itu hehe..." Hakuba terkekeh lagi."
"Kuba-Kun!" Shiho memperingatkan lagi.
"Maaf maaf, aku tidak akan bicara lagi. Kenapa kau begitu malu? Padahal aku merasa prestasi besar karena berhasil mendapatkanmu Shiho-Chan,"
Mendadak di atas panggung terdengar pengumuman dari MC. Acara dansa akan segera dimulai, namun dibuat lebih menarik. Mereka dipersilakan berdansa bersama pasangan mereka selama lima menit pertama, setelah musik berhenti mereka harus segera berganti pasangan dengan siapa saja yang dekat. Yang tidak berhasil mendapatkan pasangan dansa, akan mendapat hukuman.
"Ehhh! Menarik juga hihihi..." Sonoko terkikik mendengar aturan itu.
Lagu pelan romantis mengalun. Setelah dimulai oleh pasangan pengantin, para undangan satu persatu turun ke lantai dansa. Sonoko dengan Makoto, Shinichi dengan Ran lalu Shiho dengan Hakuba. Mereka menikmati dansa selama beberapa waktu. Kemudian setelah lima menit, lagu mendadak berhenti. Para undangan mulai rusuh sembari tergelak geli ketika mulai mencari pasangan siapa saja yang bisa digapai, kenal maupun tidak kenal, agar tak mendapat hukuman.
Hup... Shiho terkesiap ketika tangannya ditangkap oleh Kudo Shinichi.
Hakuba mendapat Sonoko sedangkan Ran mendapat Makoto.
Musik mulai mengalun lagi, para undangan berdansa dengan pasangan baru mereka. Mau tak mau Shiho pun berdansa dengan Shinichi.
Shiho nyaris tak bisa bernapas ketika Shinichi mengaitkan jari-jarinya dan merengkuh pinggangnya. Jantungnya berdebar tak menentu. Ia tak pernah sedekat ini dengan Shinichi, tidak dalam versi sama-sama dewasa.
"Kau cantik, Shiho," Shinichi bergumam memuji.
Kedua alis Shiho melengkung, "Ah... Biasanya kau lebih suka mengejekku Putri Setan Mengantuk..."
Shinichi nyengir.
Shiho akhirnya tersenyum.
"Aku tak pernah tahu kau ternyata pintar dansa," gurau Shinichi.
"Kau tak pernah tanya, sekalinya kau bertanya hanya masalah kasus,"
Shinichi terkekeh, "Maaf maaf,"
"Aku sekolah di Amerika, di sana dari kecil sudah belajar dansa. Kau sendiri?"
"Jangan lupa ibuku artis. Tentu saja aku bisa,"
"Oh ya? Sejauh apa?"
"Kau menantangku? Kita lihat apa kau sanggup menyamaiku,"
"Coba saja,"
Shinichi akhirnya membuat gerakan yang lebih berani. Ia memutar-mutar tubuh Shiho dan Shiho mampu menyamainya, masih sesuai dengan irama lagunya. Ia melengkungkan punggung Shiho di lengannya, hingga wajah mereka yang dekat nyaris berciuman.
"Kau memang cerdas, Putri Setan Mengantuk,"
"Kau juga lumayan Tantei-San,"
Hakuba dan Ran yang berdansa dari kejauhan melihat pemandangan itu. Shinichi dan Shiho yang berdansa dengan bersemangat. Hakuba tak ingat, kapan terakhir kali melihat Shiho tersenyum dan bahagia seperti itu. Begitu juga dengan Ran, Shinichi selama ini memang tampak baik dan ceria di hadapannya, tapi seolah ia memaksakan diri untuk hal itu. Namun saat melihatnya berdansa dengan Shiho seperti ini, pancaran kebahagiaan itu begitu lepas dan mengalir alami.
Shinichi meraih pinggang Shiho dengan rangkulan lengannya dan mengangkat tinggi tubuhnya untuk berputar bersama. Sementara Shiho melingkarkan lengannya ke bahu dan pundak Shinichi saat Shinichi menggendongnya seperti itu. Tidak sedikit para undangan yang menyadari dansa mereka. Shiho menari bagai kupu-kupu yang hinggap di tubuh Shinichi. Semua terpukau dan terkagum-kagum, membuat Hakuba dan Ran semakin tidak nyaman.
Diantara para undangan ada satu sosok misterius yang berpakaian sebagai waiter. Sosok gelap itu bergerak ke arah Shiho. Dari balik rompinya ia mengeluarkan sebuah benda yang ternyata pistol kecil. Ia menutup pistol itu dengan kain serbet agar tidak terlihat oleh para undangan. Moncongnya diarahkan pada Shiho.
Shinichi telah melihat kilauan besi itu dari jauh dan menyadari moncongnya tertuju pada Shiho. Seketika ia menjadi waspada.
"Awas Shiho!" Shinichi memeluk tubuh Shiho.
Duar! Letupan itu mengenai lengan kiri Shinichi.
"Kudo-Kun!" Shiho terkejut melihat darah segar mengalir dari lengan Shinichi.
Pesta langsung menjadi rusuh.
Makoto menghajar pelaku itu, namun pelaku itu juga pandai karate. Mereka bertarung sesaat sebelum pelaku itu kabur. Makoto mengejarnya.
"Cepat panggil ambulan! Apa ada dokter di sini?" Inspektur Megure berseru.
"Aku dokter! Aku ilmuwan!" teriak Shiho berusaha mengendalikan situasi meski ia gemetar, "Aku butuh alkohol, air panas dan beberapa handuk bersih," beberapa undangan buru-buru pergi mengambil, "Kuba-Kun! Ambil peralatanku di mobil!"
"Eh?" Hakuba kaget dengan instruksi tiba-tiba itu.
"Cepatlah! Pelurunya harus dikeluarkan sebelum infeksi!" desak Shiho.
"Hai," Hakuba segera berlari ke mobilnya untuk mengambil peralatan kedokteran Shiho yang selalu dibawa-bawa di bagasi.
.
.
.
.
.
Shiho membalut lengan Shinichi ketika sudah selesai mengeluarkan pelurunya. Mereka tengah berada di salah satu ruang ganti di ballroom, berdua saja. Shiho memerlukan konsentrasi ketika melakukan operasi kecil itu.
"Untunglah pelurunya tidak dalam," gumam Shiho, "Aku bisa membuatkan resep penahan sakit untukmu,"
"Arigatou Shiho," ucap Shinichi.
Shiho menunduk muram, "Kau melindungiku lagi... Kau tahu kau bisa tewas..." bisiknya gemetar, airmatanya mengalir lagi.
"Dan kau tahu, aku tak mungkin membiarkanmu terluka..."
"Baka,"
Shinichi menghapus airmata Shiho dengan ibu jarinya, "Yang penting kan sekarang aku baik-baik saja..."
Shinichi mengenakan kemejanya kembali. Kemudian ia dan Shiho keluar dari ruangan itu untuk menemui para penyidik.
"Shinichi," Ran memanggil cemas ketika melihat Shinichi keluar.
"Kau baik-baik saja Kudo-Kun?" tanya Inspektur Megure.
"Eh," sahut Shinichi, "Shiho mengeluarkan pelurunya dan memberiku beberapa jahitan,"
Shiho menyerahkan selembar catatan kepada Ran, "Ini resep untuk penahan sakit dan mencegah infeksi. Berikan padanya sesuai dosis," jelas Shiho.
"Uhm, arigatou," ucap Ran penuh rasa terima kasih.
Kemudian Shiho menyerahkan kantong plastik mungil berisi sebutir peluru kecil kepada Inspektur Megure, "Ini jenis pelurunya, mungkin Anda ingin menyelidikinya,"
"Hanya pistol kaliber kecil," kata Inspektur Megure ketika memeriksa peluru itu.
"Tapi cukup mematikan bila ditembak dari jarak dekat apalagi jika tujuannya kepala," gumam Hakuba seraya bertopang dagu.
"Apa pelakunya berhasil ditangkap?" tanya Shinichi.
Inspektur Megure menggeleng, "Makoto-Kun kehilangan jejaknya, kami masih terus melakukan pencarian,"
Shinichi beralih pada Hakuba, "Hakuba-Kun, apa kau memiliki dugaan kira-kira siapa?"
"Kau bilang tadi pistol itu mengarah pada Shiho?" tanya Hakuba.
"Eh," Shinichi mengangguk, "Aku yakin itu,"
Hakuba mendesah, "Aku curiga, ini mengenai kasusku di Osaka,"
"Kasus perburuan manusia itu?" tebak Shinichi.
"Eh" Hakuba mengangguk.
"Tapi bukankah pelakunya sudah tertangkap?" tanya Inspektur Megure.
"Aku curiga ada dua,"
"Nani?" Inspektur Megure terbelalak.
"Tersangka memiliki hobi memajang foto-foto korbannya di dinding. Kecurigaanku bermula dari jumlah korban jiwanya adalah 32, tapi foto yang terpajang hanya 16,"
"Berarti, 16 lainnya dikerjakan oleh pelaku lainnya?" tebak Shinichi.
"Begitulah kesimpulanku, sepertinya mereka tengah melombakan sesuatu siapa yang membunuh paling banyak dalam periode waktu tertentu,"
Shinichi merasa mual mendengarnya.
"Aku berhasil membongkar kedok salah satunya, tentu satunya lagi tidak akan melepaskanku karena aku telah merusak kesenangan mereka. Mereka ingin menyakitiku melalui Shiho, orang yang kusayangi, kelemahanku," Hakuba memandang Inspektur Megure seraya menunduk sopan, "Maaf telah mengacaukan pesta putrimu,"
"Tidak perlu sungkan Hakuba-Kun. Semua ini di luar kehendakmu," ucap Inspektur Megure.
"Aku juga ingin berterima kasih padamu Kudo-Kun, karena telah menyelamatkan Shiho. Entah bagaimana jadinya tanpa dirimu,"
"Dengan senang hati, Hakuba-Kun," sahut Shinichi.
Shiho memeluk tubuhnya sendiri, mulai merasa kedinginan dengan gaun minimnya. Hakuba yang menyadari itu melepas jasnya dan memakaikannya pada Shiho, "Maaf Shiho-Chan, telah membuatmu berada dalam bahaya,"
"Sudahlah, ini juga bukan pertama kalinya aku dalam bahaya," sahut Shiho sembari berusaha meredakan getar tubuhnya karena serangan dingin.
"Eh?" Hakuba mengangkat alisnya dengan bingung, Kapan?
"Kami akan terus melakukan pencarian dan mengabarkan perkembangannya," kata Inspektur Megure.
"Baiklah, besok aku juga akan ke kepolisian pusat untuk menyelidiki hal ini lebih jauh," kata Hakuba.
"Sebaiknya untuk sementara Miyano-San diberikan pengawalan sampai pelakunya tertangkap," saran Inspektur Megure.
"Itu juga yang kupikirkan, aku dapat mengusahakannya dari ayahku, tidak perlu merepotkan kepolisian pusat,"
"Baiklah kalau begitu,"
"Shiho sudah kedinginan, aku harus mengantarnya pulang dulu," Hakuba merangkul Shiho erat untuk memberikan kehangatan.
"Eh, malam yang berat untuknya. Takagi, kawal mobil mereka," Inspektur Megure memberi instruksi pada Inspektur Takagi.
"Hai," Inspektur Takagi menyahut sigap.
"Ayo Shiho," Hakuba membawa Shiho berjalan. Shiho membiarkan dirinya dibimbing oleh Hakuba, karena sudah kelelahan.
Shinichi memandang kepergian mereka dengan cemas.
Sampai di apartemennya, Shiho segera menyalakan penghangat ruangan. Ia melepas jas Hakuba dan duduk di kursi di hadapan meja kerjanya.
"Sebaiknya kau mandi air hangat Shiho. Aku akan buatkan teh untukmu," kata Hakuba.
"Uhm," Shiho mengangguk.
Hakuba berlutut di depan kursinya dan menggenggam tangan Shiho, "Aku sungguh-sungguh minta maaf Shiho. Aku tak bisa memaafkan diriku jika terjadi sesuatu padamu karena kasus yang kutangani,"
"Sudah kukatakan tidak apa-apa Kuba-Kun..." gumam Shiho.
"Kau tadi bilang ini bukan pertama kalinya, apa kau pernah berada dalam bahaya sebelumnya?"
"Eh?"
"Kadang-kadang aku berpikir, kau ilmuwan tapi begitu familiar dengan kasus kriminal, apa kau pernah bekerja di kepolisian sebelumnya? Atau pernah menjadi asisten detektif mungkin?"
Shiho bangkit dari kursi untuk menghadapi jendela.
Hakuba sangat menghormati Shiho, ia tidak pernah banyak bertanya mengenai masa lalu Shiho. Ia hanya tahu Shiho adalah ilmuwan yang tinggal bersama bibi dan sepupunya sewaktu masih di Inggris. Hakuba merasa, jikalaupun ada yang disembunyikan Shiho, ia ingin Shiho yang menceritakannya sendiri karena merasa nyaman dan percaya padanya.
"Aku memang pernah menjadi asisten seorang detektif swasta," ungkap Shiho akhirnya.
"Benarkah? Pantas saja, kau mengerti cara kerjaku,"
"Eh," Shiho mengangguk.
"Boleh aku tahu siapa detektif itu?"
Shiho mengangkat bahu, "Hanya detektif biasa, tidak terkenal seperti dirimu. Lagipula aku tidak lama menjadi asistennya, cuma dua tahun saja,"
"Oh begitu," kemudian mata Hakuba menangkap ada sesuatu di meja kerja Shiho yang sebelumnya tidak ada. Ia meraih gantungan boneka Higo yang sudah usang, "Ini apa Shiho?"
Shiho menoleh dan tersentak ketika melihat Hakuba memegang boneka itu, ia buru-buru menghampirinya dan meraih boneka itu kembali.
"Aku menemukannya di rumah Hakase," ujar Shiho.
"Profesor Agasa yang akan mendampingimu ke altar?"
"Uhm," Shiho mengiyakan.
"Itu sudah jelek sekali Shiho. Matanya juga sudah rusak. Nanti aku belikan yang baru saja,"
"Tidak!" sahut Shiho tegas, seraya mendekap boneka itu penuh perlindungan.
Hakuba bingung dengan ketegasannya itu.
"Boneka ini memiliki banyak kenangan,"
"Baiklah, kalau kau memang masih mau menyimpannya," ujar Hakuba sabar.
Shiho mengamankan boneka itu di laci meja, "Aku perlu mandi, gaunku kotor semua karena darah Kudo-Kun," katanya seraya berjalan ke arah kamar mandi.
"Mengenai Kudo-Kun..."
Shiho berhenti dan menoleh kembali pada Hakuba.
"Tadi, kau tampak begitu khawatir padanya,"
"Tentu saja, dia terluka karena melindungiku,"
"Entah kenapa Shiho... Aku merasa ada yang tidak biasa pada dirimu..."
Shiho melipat lengannya, "Tidak biasa bagaimana? Aku dokter sekaligus ilmuwan dan sudah tugasku menyelamatkan orang-orang yang terluka..."
"Apa kau kenal dengan Kudo-Kun sebelumnya?"
"Kau mulai melantur, aku mau mandi," Shiho yang tidak ingin membahasnya lebih lanjut langsung masuk ke kamar mandi.
Hakuba memandang laci di mana tadi Shiho menyimpan boneka Higo nya. Ada sesuatu... Pasti ada sesuatu... Hakuba membatin ketika insting detektifnya mulai bekerja.
Mungkin jika Shiho tidak ingin menceritakannya, Hakuba harus menyelidikinya sendiri meski hal itu bertentangan dengan hati nuraninya. Mencari masa lalu calon istrinya sendiri. Tapi... Ia tak dapat berdiam diri. Mata Shiho dan Shinichi tidak berbohong, kemudian dari cara Shinichi memanggil nama depan Shiho, mereka tidak hanya pernah saling mengenal, tapi juga akrab. Mungkinkah detektif yang dimaksud ketika Shiho menjadi asisten, adalah Shinichi?
.
.
.
.
.
"Oh Hakuba-Kun, aku sering melihatmu di berita," sambut Profesor Agasa ketika Hakuba Saguru datang seorang diri mengunjungi rumahnya.
"Eh," sahut Hakuba tersipu, "Maaf baru sempat mengunjungimu sekarang ini. Shiho sering sekali bercerita tentangmu. Sepertinya dia sangat sayang padamu sehingga memintamu untuk mengantarnya ke altar di hari pernikahan kami,"
Profesor Agasa tersenyum hangat, "Aku sudah menganggap Shiho-Kun seperti putriku sendiri,"
"Jadi dulu dia tinggal di sini?" Hakuba memandang berkeliling.
"Benar, kurang lebih selama dua tahun. Mendiang ayahnya Miyano Hakase adalah rekan sejawatku. Shiho-Kun juga banyak membantu penelitianku. Kami kan sama-sama ilmuwan hehe..."
"Kedengarannya menyenangkan,"
"Eh kami memang melewati masa-masa yang menyenangkan saat itu,"
Hakuba menengadah ke jendela besar di mana terlihat rumah Shinichi, "Jadi di sebelah itu ternyata rumah Kudo-Kun ya?"
"Iya benar,"
"Berarti benar Shiho dan Kudo-Kun pernah saling kenal?"
"Eh?" Profesor Agasa tampak sedikit kikuk, "Seharusnya tidak,"
"Eh? Bagaimana bisa? Kan sebelahan,"
"Apa kau ingat kasus Shinichi pernah menghilang selama dua tahun?" tanya Profesor Agasa.
"Ah aku ingat, gosipnya ia sedang menghadapi kasus besar dengan organisasi hitam. Kasus itu juga sampai melibatkan FBI,"
"Benar. Ketika Shiho-Kun tinggal di sini, Shinichi sedang menghadapi kasus itu. Rumah sebelah kosong, jadi tak mungkin mereka saling kenal," dusta Profesor Agasa. Ia sudah diberitahu oleh Shiho perihal ini sebelumnya.
"Oh begitu," Hakuba tampak lega sesaat. Ia mulai memandang berkeliling lagi sembari melihat-lihat. Kemudian ia menemukannya di atas lemari pajangan, terdapat beberapa pigura kecil yang memajang foto-foto Detektif Cilik. Hakuba meraih salah satu bingkai, "Detektif Cilik?" ia membaca judul foto itu.
"Ah," Profesor Agasa tampak bangga, kemudian menunjuk satu persatu anak sambil menyebutkan namanya "Tsuburaya Mitsuhiko, Yoshida Ayumi, Kojima Genta, Edogawa Conan dan Haibara Ai,"
"Oh ya! Edogawa Conan! Nama itu tak asing. Aku pernah melihatnya masuk koran dulu sekali. Sekarang anaknya kemana?"
"Ah dia sudah kembali ke Amerika bersama orang tuanya,"
Hakuba memandang foto itu lekat-lekat, "Kok sepertinya dia mirip Kudo-Kun ya?"
Profesor Agasa terkekeh canggung, "Dia memang masih saudara jauh Shinichi,"
"Hooo..." Hakuba melongok lagi ke foto, "Yang ini tadi Haibara Ai?"
"Benar,"
Hakuba mengernyit, "Kok seperti Shiho versi kecil ya?"
Profesor Agasa tertawa kecil, "Ibu Ai-Kun juga berasal dari Inggris, mungkin itu yang membuatnya mirip,"
"Sekarang anaknya di mana? Kalau sudah besar, harusnya wajahnya tidak jauh-jauh dari Shiho. Mirip begini,"
"Ai-Kun juga sudah kembali ke Inggris bersama orang tuanya,"
"Ehhh..."
Hakuba meletakkan bingkai itu kembali dan melihat foto-foto lainnya. Otaknya mulai bekerja menganalisis. Ia sungguh tertarik pada Edogawa Conan dan Haibara Ai. Masa iya ada orang semirip itu dengan Shinichi dan Shiho? Tapi versi kecilnya? Ada yang tak beres di sini.
"Kalau kulihat dari semua foto ini sepertinya Edogawa Conan dan Haibara Ai dekat sekali ya? Diantara yang lainnya mereka selalu nempel berduaan. Lalu di saat tiga anak ini melakukan gaya grup detektif seperti Power Ranger, Conan dan Ai ini sepertinya enggan mengikuti gaya teman-temannya. Wajah mereka seolah berkata hal itu sungguh konyol. Mereka memilih menghindar dan foto dengan gaya datar biasa saja,"
"Conan-Kun dan Ai-Kun memang lebih dewasa dibandingkan dengan teman-teman lainnya. Mereka cerdas dan bisa dikatakan genius. Mungkin karena terbiasa dengan didikan luar sehingga mereka tampak lebih matang daripada anak-anak lainnya,"
"Aku mengerti. Mereka cukup serasi juga,"
Profesor Agasa terbahak, "Dulu Ran-Kun sering menjodoh-jodohkan Conan-Kun dengan Ai-Kun. Sementara Sonoko-Kun menjodohkannya dengan Ayumi-Kun. Mitsuhiko-Kun terjebak tak bisa memutuskan, ia lebih suka Ayumi-Kun atau Ai-Kun,"
Hakuba terkekeh, "Kecil-kecil saja sudah mengerti cinta ya,"
"Begitulah," Profesor Agasa ikut terkekeh.
"Lalu akhirnya Conan-Kun lebih suka yang mana? Ai-Kun atau Ayumi-Kun?"
Profesor Agasa berpikir, "Kalau suka-sukaan entahlah, tidak terlalu kelihatan karena mereka masih kecil. Tapi kalau diskusi, Conan-Kun lebih suka berdiskusi dengan Ai-Kun, lebih nyambung,"
"Ehhh... Mereka seperti partner ya..."
"Begitulah kira-kira. Conan-Kun suka main detektif-detektifan dan Ai-Kun yang selalu membantunya,"
"Mereka tampaknya akrab sekali ya,"
"Ya cukup dekat,"
"Pernah bertengkar?"
Profesor Agasa tertawa, "Sering,"
"Biasanya bertengkar karena apa?"
Profesor Agasa angkat bahu, "Apa saja. Paling sering sih kalau Conan-Kun telpon malam-malam untuk minta bantuan Ai-Kun menyelidiki kasus. Ai-Kun walaupun marah-marah tapi tetap membantunya juga. Bertengkar mereka hanya bertengkar lucu dan saling mengejek. Tak ada yang serius,"
"Mereka saling mengejek? Apa saja ejekannya? Aku penasaran dengan julukan dari anak-anak yang terkadang sangat unik,"
"Ehtooo... Ai-Kun sering mengejek Conan-Kun 'penggila misteri', 'magnet mayat,' 'pecinta Holmes,' semacam itulah,"
"Lucu ya dan bagaimana Conan-Kun membalas ejekan itu?"
Profesor Agasa tertawa lagi mengenang masa-masa itu, "Conan-Kun paling terkenal mengejek Ai-Kun sebagai 'Putri Setan Mengantuk,'"
Hakuba terkesiap, Putri Setan Mengantuk? "Kenapa ia memanggilnya begitu?"
"Karena Ai-Kun suka main komputer sampai begadang dan selalu terlihat mengantuk sepanjang hari, itu sebabnya Conan-Kun mengejeknya 'Putri Setan Mengantuk,'"
"Benar-benar lucu sekali!" Hakuba tertawa canggung, "Tapi meskipun begitu mereka saling menyayangi kan?"
"Eh," Profesor Agasa mengangguk, "Kalau Ai-Kun sakit, Conan-Kun suka menginap di sini untuk membantuku merawatnya. Mulutnya saja yang suka menggerutu tapi sebenarnya dia perhatian dan peduli pada Ai-Kun,"
"Ai-Kun suka sakit?"
"Namanya juga anak-anak, wajar saja kalau terkena flu atau demam, hanya saja belakangan tubuh Ai-Kun semakin rentan, dia tidak tahan dingin. Sementara itu Ai-Kun anaknya tegar dan suka sok kuat. Di hawa dingin, dengan tubuh seperti itu ia harusnya berpakaian lebih tebal daripada biasanya. Namun selalu ada saja yang dilupakannya, kalau tidak syal, sarung tangan atau topinya. Aku suka meminta tolong pada Conan-Kun untuk mengingatkannya,"
"Ehhh... Begitu ya..."
"Walau suka ngomel, namun Conan-Kun tetap membantu memakaikan perlengkapan hangatnya sambil menggerutu, jangan membuatku terus-menerus memakaikan baju hangatmu seperti barbie saja..."
Hakuba terpaku, Tidak mungkin... Tidak mungkin ada kebetulan semacam ini... Tapi tunggu mereka hanya anak-anak sementara Shiho dan Shinichi adalah orang dewasa... Kalau lima tahun telah berlalu, seharusnya usia mereka baru 11 tahun...
Kemudian Hakuba menangkap benda kecil itu di foto. Yang menjulur keluar dari kantong jaket Haibara Ai. Gantungan boneka Higo.
"Sepertinya mereka semua suka sepakbola ya? Ai-Chan ini bahkan memiliki gantungan Higo dari tim Big Osaka," Hakuba menunjuk.
"Iya. Tadinya dia tidak suka bola, tapi gara-gara pengaruh Conan-Kun, ia jadi penggila bola terutama Higo dari Big Osaka,"
"Diantara semua pemain yang keren seperti Hide atau Sanada, kenapa dia memilih Higo?"
"Sepertinya ia terinspirasi dari cerita hidup Higo,"
"Ah, Higo yang dianggap pengkhianat oleh Tokyo Spirit karena pindah club? Namun akhirnya Higo mampu membuktikan kemampuannya sehingga teman-teman dan penggemar dari Big Osaka menghormatinya,"
"Benar sekali. Saking cintanya sama Higo, Ai-Kun sangat syok waktu boneka itu hilang di kereta. Conan-Kun dan teman-temannya mati-matian mencarinya. Bahkan Conan-Kun sampai nyebur ke laut demi mendapatkan boneka itu kembali,"
"Apakah akhirnya dia berhasil mendapatkannya?"
"Dia berhasil, hanya saja bonekanya jadi kotor. Salah satu matanya copot sampai ia menggambarkan matanya menggunakan spidol sebagai pengganti,"
Boneka ini memiliki banyak kenangan...
Hakuba teringat perkataan Shiho dan betapa wanita itu melindungi bonekanya.
"Eh ngomong-ngomong apa kau mau minum? Teh atau kopi?" tawar Profesor Agasa.
"Kopi ide bagus. Apa aku boleh melihat-lihat lagi?"
"Anggap saja rumah sendiri," Profesor Agasa mempersilakan.
"Di mana Shiho tidur?"
"Di ruang bawah sana, masuk saja,"
"Maaf merepotkan,"
"Tak perlu sungkan,"
Hakuba menuruni tangga melingkar menuju kamar bekas Shiho tempati. Kamar itu sudah kosong, bahkan tak ada sehelai bekas pakaian pun yang tertinggal. Hakuba hanya melihat botol parfum kecil dengan isinya sisa setengah tergeletak di meja kerja. Ia meraih botol itu dan menghirup aromanya. Aroma itu adalah aroma sakura yang biasa dipakai oleh Shiho. Hakuba semakin bingung. Apakah anak SD kelas 1 sudah mengerti parfum berkelas macam ini?
Hakuba mulai membuka laci satu per satu. Tidak ada apa-apa, hanya bekas sisa-sisa obat saja. Itupun tanggalnya sudah pada kadaluarsa. Hakuba membuka laci yang lain lagi, ada sebuah buku program di sana. Hakuba meraih buku itu dan membolak-balik hingga ada sesuatu terjatuh dari sana. Sebuah amplop. Hakuba meraihnya dan membaca bagian depan amplop itu, Untuk partnerku Kudo-Kun. Tulisannya adalah tulisan Shiho. Dengan hati berdebar-debar, Hakuba membuka amplop itu dan membaca isi suratnya.
Dear Partnerku Kudo-Kun,
Maaf kalau aku harus pergi dengan cara seperti ini, karena aku lebih tidak sanggup jika harus berpisah denganmu di bandara. Setelah pembicaraan kita di teras, aku tahu kau benar, aku tidak boleh menghindari takdirku. Aku juga harus melanjutkan hidupku sebagai Miyano Shiho. Dan jalan hidup inilah yang kupilih, memulai segalanya dari awal bersama Mary Obasan, satu-satunya keluargaku yang tersisa.
Aku tidak bisa berada terus-menerus diantara dirimu, Ran-San dan teman-temannya. Itu sebabnya aku tak berani kembali sebagai Miyano Shiho di hadapanmu dan semuanya. Sebagai Haibara Ai mungkin akan terlihat lucu, tapi sebagai Miyano Shiho, aku akan dianggap ancaman bagi beberapa orang. Aku tidak ingin ketidaknyamanan itu terjadi. Kau telah banyak membantuku dan melindungiku, aku tak mau membebanimu lebih jauh lagi. Kau tidak salah, tapi aku lah yang salah. Aku takut bila aku berhadapan dengan Kudo Shinichi sebagai Miyano Shiho, aku tak dapat lagi bersikap objektif. Aku takut tidak dapat mengendalikan harapanku yang melambung tinggi. Karena itu aku memilih mundur.
Aku sudah membuatkan beberapa program yang telah dikuasai Hakase untuk membantu penyelidikanmu. Semoga berguna. Aku berharap kau bahagia bersama Ran-San. Aku sungguh beruntung dapat bertemu denganmu di kehidupan ini. Kau selamanya adalah partner terbaikku. Jaga dirimu Kudo-Kun.
Partnermu,
Miyano Shiho.
Tangan Hakuba masih gemetar ketika ia mengembalikan surat dan buku itu di tempat semula.
Dulu aku juga pernah punya partner seperti itu. Dia sangat genius. Dia suka membantuku hingga aku bergantung padanya... Kata Shinichi beberapa waktu lalu.
Aku memang pernah menjadi asisten seorang detektif swasta...Kata Shiho beberapa hari lalu.
Dugaannya benar, Shiho pernah menjadi asisten Shinichi. Tapi masih ada satu hal yang ganjil. Kenapa mereka bisa menjadi anak-anak?
Hakuba meraih ponselnya untuk menelpon seseorang.
"Aku membutuhkan bantuanmu," kata Hakuba pelan di telpon, "Kasus ini cukup sulit dan tampaknya hanya FBI yang menyimpan arsipnya,"
.
.
.
.
.
Sudah ketiga kalinya Hakuba menghela napas bosan di tempat tidur Shiho. Ia sengaja melakukannya untuk menarik perhatian wanita di hadapannya yang sibuk mengetik cepat di depan komputernya.
"Kalau kau bosan pulang saja," gumam Shiho, menyadari trik Hakuba untuk menyita perhatiannya.
Hakuba berdecak, "Nee Shiho. Pernikahan kita tinggal bulan depan. Kalau wanita lain biasanya sudah sibuk mencari pernak-pernik sana-sini. Tapi kau malah masih bekerja,"
"Justru itu, aku harus menyelesaikan esay cuci otak ini sebelum pernikahan. Tenggat waktuku terbatas," sahut Shiho sambil terus mengetik.
"Takuuu..."
"Lagipula ibumu kan bersikeras mengatur semuanya. Aku menurut saja. Kalau aku juga bersikeras, kau mau seperti orang-orang lain? Calon menantu dan mertua ribut soal pesta pernikahan?"
"Hmmm... Benar juga ya..." gumam Hakuba, kemudian ia bangkit untuk merangkul leher Shiho dari belakang, "Kau memang calon istri dan calon menantu yang pengertian," ia mengecup pipi Shiho.
"Hentikan itu Kuba-Kun, tanggung ini,"
"Ayolah Shiho, apakah monitor itu lebih menarik daripada aku?"
"Untuk saat ini ya,"
"Kalau aku telanjang bagaimana? Tertarik?" goda Hakuba.
"Jangan memancing. Aku takkan melakukannya sebelum pernikahan,"
Hakuba mendesah, "Hai hai..." kemudian ia mengecup pipi Shiho lagi.
"Kuba-Kun, sudah kubilang jangan ganggu dulu," Shiho merajuk.
"Aku mencintaimu Shiho..."
Shiho hanya terdiam sesaat sebelum lanjut ngetik, "Aku tahu..."
Dalam hati Hakuba kecewa, Selalu tidak pernah membalas pernyataan cintaku. Hakuba mengecup kepala Shiho sebelum meluruskan tubuhnya lagi dan mengambil jasnya. "Aku mau keluar sebentar beli kopi. Kau mau?"
"Boleh, yang biasa,"
"Oke. Aku takkan lama,"
Baru saja Hakuba keluar dari apartemen, ia mendapatkan email baru. Hakuba melihat layar handphonenya dan mengenali email itu dari suruhannya untuk mendapatkan arsip di FBI. Hakuba membuka tautan email itu. Wajahnya mengernyit ketika membaca APTX 4869?
Sebulan kemudian...
Pemberkatan itu diadakan di sebuah gereja di Tokyo Jepang. Yang hadir kebanyakan adalah kolega-kolega penting Hakuba dan beberapa teman sejawat Shiho. Shinichi, Ran, Sonoko dan Makoto juga turut hadir di gereja itu. Mary Sera, Masumi dan Haneda Shukichi juga terbang dari Inggris sebagai perwakilan keluarga dari Shiho. Hakuba Saguru sangat tampan dengan tuksedo putihnya. Ia berdiri di depan sana menanti mempelai wanitanya yang sedang berjalan perlahan melalui lorong untuk diserahkan kepadanya.
Shinichi berdiri di ujung dan dua baris dari depan setelah barisan keluarga. Ia juga tampak tampan dengan tuksedo hitamnya. Ia memandang Shiho yang tengah melangkah sembari digandeng oleh Profesor Agasa. Bahkan di balik veil tipisnya, ia dapat melihat kecantikan Shiho. Rambutnya disanggul sederhana namun anggun. Sisa-sisa anak rambut yang keriting berjatuhan natural di kiri-kanan telinganya. Ketika Shiho melewatinya, ekor mata Shiho meliriknya dan mata mereka sempat bertemu sesaat. Di balik veilnya Shiho menatap lembut Shinichi sebelum memandang ke depan lagi, ke tempat di mana calon suaminya menunggu. Tanpa sadar Shinichi menyentuh dadanya, ada rasa tersengat di sana. Rasa kehilangan yang jauh lebih besar.
Profesor Agasa menyerahkan Shiho pada Hakuba, menyatukan genggaman tangan mereka berdua. Ia ingin bahagia namun rasanya sulit. Di lubuk hatinya Profesor Agasa tahu, siapa yang dicintai Shiho sebenarnya. Tanggung jawab ini terlalu besar untuknya, semoga Hakuba dapat mengerti dan bersabar menunggu hingga Shiho mencintainya setulus hati.
Dengan senyuman bahagia memikat, Hakuba membimbing mempelainya untuk bersujud di altar dan memulai pemberkatan. Namun mendadak ekor mata Shinichi menangkap kejanggalan dari sudut kanan gereja. Seorang anak altar tengah meraih sesuatu dari lengan jubahnya yang lebar. Shinichi melihat kilauan sebuah mata pisau yang cukup besar. Pelaku yang menyamar itu tampak menatap tajam ke arah Hakuba.
"Mati kau Hakuba!" teriak anak altar palsu.
"Awas Hakuba!" Shinichi berlari mendekati Hakuba untuk melindunginya.
"Kudo-Kun!" teriak Shiho panik. Ia juga menghampiri Shinichi untuk melindunginya. Veilnya terlepas.
Crasss! Mata pisau itu menancap dalam ke rusuk belakang Shiho. Gaun pengantin putihnya dengan cepat bernoda darah. Keadaan menjadi rusuh, teriakan ketakutan dan kepanikan terdengar di sana-sini. Makoto dan Masumi segera membekuk pelaku itu.
Shinichi terhenyak ketika menangkap Shiho dalam dekapannya, "Shiho..." bisiknya dengan airmata berlinangan.
Wajah Shiho dalam sekejap menjadi pucat, darah mengalir dari sudut bibirnya.
"Shiho!" ketakutan merayapi Shinichi ketika melihat Shiho muntah darah.
Shiho menatap Shinichi dengan lembut, tangannya yang gemetar berusaha menggapai wajah Shinichi. Shinichi menangkupnya lebih dulu dan menempelkan tangan itu ke pipinya. Tangan Shiho sangat dingin.
"K-Kudo..." Rintih Shiho dengan suara pelan sekali nyaris berupa bisikan, "My part-ner..." ia pun memejamkan matanya.
"Shiho! Tidak Shiho!" raung Shinichi.
"Berikan dia!" Hakuba merebut Shiho dari Shinichi.
"Hakuba?" Shinichi memandangnya bingung.
"Dia milikku!" Hakuba menggendong Shiho dan membawanya ke rumah sakit.
Pelaku itu akhirnya berhasil dibekuk oleh kepolisian berkat bantuan Makoto dan Masumi. Kini semua orang tengah berkumpul di rumah sakit. Semua keluarga Shiho dan keluarga Hakuba. Ran, Shinichi, Sonoko, Makoto dan Profesor Agasa. Shinichi dan Hakuba telah membuka dasi dan jas mereka, hanya mengenakan kemeja saja yang berlumuran dengan darah Shiho. Mereka menunggu selama satu jam sebelum akhirnya dokter keluar dari ruang operasi.
"Bagaimana dokter?" tanya Hakuba yang menghampiri dokter lebih dulu.
"Meski tidak mengenai bagian vital seperti jantung dan paru, namun luka tusukan itu cukup dalam. Miyano-San kehilangan banyak darah," kata dokter, "Kesadarannya begitu rendah, sulit diprediksi kapan dia akan siuman,"
"Tidak," rintih Mary seraya menutup wajah dengan kedua tangannya.
"Mama," Masumi memeluknya.
Hakuba dan Shinichi tampak terpukul.
"Apa ada yang bernama Kudo di sini?" tanya dokter tiba-tiba.
Shinichi mengerjap, "Aku,"
"Walau tidak sadar, Miyano-San kerapkali mengigau dan memanggil-manggil nama 'Kudo.' Mungkin jika kau menemuinya, akan dapat membantu," jelas dokter.
"Eh," Shinichi mengangguk, namun ketika baru berjalan satu langkah ingin masuk ruang operasi. Lengan Hakuba menghalanginya.
Shinichi menatapnya bingung.
"Aku adalah calon suaminya," kata Hakuba dingin dan tajam. Keceriaan telah pudar dari wajahnya setelah ia mengetahui kasus Shinichi dan Shiho lima tahun lalu.
"Hakuba-Kun?" Shinichi memandangnya heran.
"Kau tidak boleh menemuinya, karena Shiho adalah milikku!"
"Tapi dia memanggil Shinichi," sela Profesor Agasa, "Di saat genting seperti ini, tolong jangan bersikap egois Hakuba-Kun,"
"Shiho lebih membutuhkanku karena aku calon suaminya. Dia tidak akan memerlukan Kudo," Hakuba bersikeras.
Shinichi mengepalkan tangannya, "Pemberkatannya belum terjadi, Shiho belum istri sahmu. Dia bukan milikmu. Aku akan menemuinya,"
Kali ini Hakuba menghalangi dengan tubuhnya, "Aku sudah tahu masa lalumu..."
"Nani?"
"Aku tahu perihal APTX 4869," Hakuba tertawa pahit, "Boneka barbie, Putri Setan Mengantuk dan boneka Higo. Aku tak percaya ini... Shiho bersedia berkencan denganku karena dia melihat bayang-bayangmu melalui diriku dan kebetulan kita sama-sama detektif..."
Shinichi bergeming, Hakuba benar-benar tampak kacau.
"Karena itu Hakuba, biarkan Shiho bertemu Shinichi," pinta Masumi.
"Tidak!" sahut Hakuba keras kepala.
"Hakuba!" hardik Shinichi.
"Shiho jadi begini karena kau! Karena dia mau melindungimu!" tuduh Hakuba.
"Jangan lupa hal ini terjadi juga karenamu Hakuba!" sungut Masumi tajam. "Shinichi berusaha melindungimu dari pelaku perburuan itu! Beginikah balasan sikapmu terhadapnya?!"
"Aku tak peduli! Aku takkan membiarkan Kudo dekat-dekat lagi dengannya! Kembalilah pada tunanganmu Kudo-Kun! Aku akan mengurus segala sesuatunya mengenai Shiho! Jika terjadi sesuatu pada Shiho, aku takkan pernah memaafkanmu!" raung Hakuba sebelum berlalu dan masuk ke ruang operasi.
Hakuba mendekati pembaringan Shiho, meraih tangannya dan menempelkannya ke wajahnya, "Shiho-Chan... Aku di sini... Aku tahu kau hanya butuh aku... Aku mencintaimu Shiho..." bisik Hakuba dengan airmata berlinangan.
Sementara itu di luar ruangan semua orang menunduk lesu.
"Shinichi?" Ran memanggil ketika ia melihat Shinichi berpaling.
"Aku sedang ingin sendiri," gumam Shinichi sebelum meninggalkan mereka semua.
.
.
.
.
.
Tiga bulan kemudian...
Shinichi tertegun ketika Ran mengembalikan cincin pertunangan mereka, "Ran?"
Ran meraih tangan Shinichi dan meletakkan cincin itu ke telapak tangannya, "Harusnya aku melakukannya dari dulu. Jika begitu, hal ini tidak mungkin terjadi,"
Shinichi menunduk murung. Tiga bulan sudah berlalu, Shiho belum juga siuman dan sampai saat ini Hakuba tidak mengijinkan dirinya bertemu Shiho.
"Terakhir kali aku melihat Shiho sebagai Haibara Ai, mungkin karena tubuh kecilnya, aku tak menyadari dia menyimpan perasaan itu padamu dan Shinichi sendiri juga tidak menyadarinya sebelum kepergiannya kan?"
"Uhm," Shinichi mengangguk.
"Aku adalah temanmu dari kecil Shinichi, setelah kepergian Shiho, aku tahu kau tak pernah kembali seperti dulu. Kau berbeda, jiwamu seperti hilang separuh. Kau bukan lagi kau,"
"Gomene Ran..."
Ran menggeleng, "Aku tak menyalahkanmu. Masalah perasaan adalah di luar kuasa siapapun, kita tidak dapat memilih siapa yang ingin kita cintai,"
"Terima kasih Ran,"
"Akulah yang seharusnya berterima kasih Shinichi. Aku tahu Shinichi tidak mau menyakitiku, sehingga memendam semua perasaanmu terhadap Shiho dan Shiho sendiri juga pergi demi aku. Ayolah aku bukan Angel sehingga kalian harus berkorban seperti itu untukku. Sebagai sahabatmu, aku tak mungkin bersikap kejam macam itu dengan pura-pura tak peduli. Karena itu aku memutuskan untuk melepaskanmu,"
"Apa rencanamu setelah ini?"
"Aku baru saja diterima di UNICEF,"
"UNICEF? Bagus sekali,"
"Eh, aku akan tur ke luar negeri untuk mengunjungi anak-anak yang membutuhkan pertolongan," jelas Ran.
Shinichi akhirnya tersenyum, "Benar-benar sesuai passionmu,"
"Uhm," Ran mengangguk, "Shinichi juga tidak boleh menyerah. Aku yakin cepat atau lambat Shiho pasti akan bangun,"
Shinichi tampak muram lagi, "Hakuba belum mengijinkanku mengunjunginya,"
"Hakuba-Kun pria cerdas. Setelah dia tenang nanti, dia pasti akan mengerti. Ia tak bisa terus-menerus menghalangi cinta Shiho padamu karena cinta tidak bisa dipaksakan. Bersabarlah Shinichi," Ran menyemangatinya.
"Arigatou Ran,"
Hakuba tertegun ketika melihat Ran melambai dari luar jendela. Hakuba memandang Shiho sebentar sebelum akhirnya keluar untuk menemuinya.
"Ran-San?"
"Boleh bicara sebentar?" tanya Ran.
"Kudo-Kun menyuruhmu datang kemari?" tebak Hakuba.
Ran menggeleng, "Dia bahkan tidak tahu aku kemari,"
"Eh?"
Ran memandang Shiho melalui jendela, "Belum ada kemajuan?"
Hakuba menunduk murung, "Belum,"
"Aku ingin melihat Shiho untuk terakhir kali sebelum aku pergi,"
"Pergi? Kau mau ke mana?"
"Aku baru diterima di UNICEF, aku akan keliling dunia untuk mengunjungi anak-anak yang membutuhkan pertolongan,"
"Lalu pernikahanmu?"
"Aku sudah putus dengan Shinichi,"
Hakuba terkesiap, ia akhirnya menyadari tak ada cincin tunangan lagi di jari Ran, "Berarti pernikahan kalian juga batal?"
"Uhm," Ran mengangguk.
"Kenapa?"
Sambil memandang Shiho, Ran berbicara, "Lima tahun lalu, setelah Shiho pergi... Saat itu juga separuh jiwa Shinichi hilang..."
Hakuba bergeming namun menyimak.
"Aku kira setelah kembali ke ukuran normal, Shinichi akan seperti Shinichi yang dulu, namun ternyata tidak... Dia hanya seperti boneka yang ada tombol on/offnya... Di depanku dia menekan tombol on agar bisa tertawa dan ceria, tapi setelah itu tombol offnya bekerja dan dia menjadi dirinya sendiri ketika termenung di kamar Shiho..."
"Termenung di kamar Shiho?"
"Eh. Shinichi kira aku tidak tahu, padahal aku tahu. Selama lima tahun ini dia suka duduk lama di kamar Shiho, apalagi jika ada kasus-kasus rumit, seolah Shiho akan berbicara padanya di sana," Ran menghela napas, "Aku sampai bingung harus bagaimana jika melihat dia begitu,
"Sampai akhirnya ketika aku melihat Shinichi dan Shiho berdansa. Shinichi begitu lepas dan bahagia. Separuh jiwa yang hilang sepertinya telah kembali. Meski aku sedih karena bukan aku wanita yang membuatnya bahagia, tapi aku senang melihat Shinichi begitu hidup dan ceria seperti Shinichi sebagaimana biasanya..."
"Apa maksudmu mengatakan semua ini padaku?" tanya Hakuba.
Ran beralih memandang Hakuba, "Hakuba-Kun begitu cerdas. Hakuba-Kun pasti mengerti. Aku berteman dengan Shinichi sejak kecil, tapi aku tak ingin gara-gara aku Shinichi temanku itu menjadi hilang. Walau aku tak dapat memilikinya, aku bahagia karena Shinichi temanku ada, bukan Shinichi yang kehilangan rohnya...
"Hakuba-Kun. Jika kita terus memaksa, maka akan ada 4 orang yang tidak bahagia. Kau, aku, Shinichi dan Shiho. Tapi jika kita lepaskan, maka ada dua orang yang bahagia..."
Hakuba tersentak.
"Aku lelah bersikap ceria dan polos seolah aku tak tahu apa-apa sementara aku memahami Shinichi menderita di lubuk hatinya. Aku yakin Hakuba-Kun juga merasakannya, kau begitu mencintai Shiho, berpura-pura menutup mata akan perasaan Shiho pada Shinichi. Itu juga namanya penderitaan. Kalau kau mencintainya, biarkan dia bahagia, selagi masih memiliki kesempatan atau kau akan menyesalinya..."
Hakuba terdiam, tampak berusaha mencerna kalimat itu.
Ran kembali memandang Shiho, sembari menempelkan tangannya di jendela ia berkata pelan dan ditujukan pada Shiho, "Cepatlah bangun Shiho. Setelah semua kejadian pahit dalam hidupmu, kau masih berhak untuk bahagia... Bahkan kaulah yang paling berhak untuk itu..."
Ran akhirnya pamit.
Hakuba memandangnya hingga belok di koridor sebelum ia kembali ke kamar Shiho dan duduk di tepi ranjangnya. Ia memandang wajah Shiho yang masih terlelap dan mengenakan masker oksigen. Sudah tiga bulan dan tidak ada perkembangan. Shiho benar-benar menjadi Putri Mengantuk yang sangat lama.
"Shiho..." panggil Hakuba lembut seraya menggenggam tangan Shiho yang terlipat rapi di atas perutnya.
"Katakan aku harus bagaimana Shiho..." gumam Hakuba sedih, "Aku tak tahu apakah aku bisa seperti Ran-San... Aku tak sanggup kehilanganmu..."
Hening lama.
"Kudo..." terdengar Shiho mendesahkan nama itu pelan sekali.
Hakuba menatapnya. Sudah tiga bulan berlalu, selama itu pula ia mendengar Shiho sesekali mengigau menyebutkan nama Kudo.
"Selalu Kudo... Tak sekalipun Kuba..." Hakuba tersenyum pahit. Ia menghapus air mata di sela-sela ekor matanya sebelum menegarkan diri. "Baiklah jika itu maumu Shiho... Aku akan mengabulkannya..." ia bangkit mengecup kening Shiho sebelum keluar dari kamar.
.
.
.
.
.
Sesuai dugaan Hakuba, ia menemukan Shinichi berada di SD Teitan tengah memandang majalah dinding yang memajang foto-foto lama. Hakuba menghampirinya dan berdiri sejajar di sisi kiri Shinichi, ikut memandang foto-foto itu juga. Shinichi tak perlu menoleh untuk melihat siapa yang datang. Ia terus asik memandang foto-foto lamanya bersama Haibara Ai dan Detektif Cilik.
"Jadi ini Shiho sewaktu mengecil?" tanya Hakuba.
"Eh," sahut Shinichi.
Foto-foto itu berbeda dengan yang Hakuba lihat di rumah Profesor Agasa. Hakuba melihat foto itu sesuai timelinenya.
"Ini waktu Shiho baru masuk?" Hakuba menunjuk.
"Benar," jawab Shinichi, lalu ia menunjuk foto yang terakhir sebelum dirinya kembali ke tubuh semula, "Dan yang ini adalah foto terakhir sebelum aku menelan antidote, beberapa bulan sebelum Shiho pergi ke Inggris,"
Hakuba memeriksa foto itu sekali lagi sesuai timeline, "Dia berubah,"
"Uhm?" Shinichi memandang Hakuba untuk pertama kalinya.
"Waktu baru masuk, dia tampak dingin, tidak tersenyum dan tampak menarik diri. Tapi semakin ke sini, dia terlihat lebih berekspresi, lebih hidup dan ceria, seperti anak-anak sungguhan,"
"Eh," Shinichi mengangguk membenarkan, "Awalnya dia memang kesulitan berbaur dengan sekelilingnya. Meski dia tampak tenang, tapi sebenarnya dia tertekan memikirkan organisasi yang terus-menerus mengejarnya. Ayumi, Genta dan Mitsuhiko tidak menyerah untuk menghiburnya. Aku dan Hakase juga memikirkan segala cara agar dia dapat hidup normal. Kami sering mengajaknya jalan-jalan atau nonton bola. Untunglah akhirnya kami berhasil, Shiho mampu hidup normal dan berbaur sebagaimana anak-anak pada mestinya,"
"Aku tak dapat membayangkan kesulitan kalian di masa itu. Menjadi kecil tak berdaya dan dikejar-kejar oleh mafia. Di dunia ini siapa yang akan percaya bahwa orang dewasa dapat mengecil lagi hingga 10 tahun ke belakang. Tidak heran, kalau kau dan Shiho memiliki perasaan senasib yang akhirnya membuat kalian menjadi partner dan saling bergantung satu sama lain,"
"Begitulah kira-kira,"
"Kau berulang kali menyelamatkannya dari kejaran organisasi, terutama ketika dia hampir tewas di ruang pendingin itu,"
Shinichi menunduk muram, "Tubuh Shiho menjadi rentan gara-gara dikurung di sana. Andaikan aku datang lebih cepat..."
"Shiho..."
"Uhm?"
"Dia tak pernah mengatakan cinta padaku, meski aku sudah berulang kali berkata aku mencintainya..."
Shinichi tertegun.
"Aku kira ketika aku berhasil mengajaknya kencan, ia telah jatuh cinta padaku. Tapi mungkin dia melihat dirimu melalui diriku," Hakuba mendengus lemah, "Putri Setan Mengantuk, hanya karena itu... Betapa dia begitu terikat pada dirimu Kudo-Kun...
"Aku menganggap dia wanita yang berbeda, tidak sentimentil seperti wanita pada umumnya, karena itu bagiku wajar saja kalau dia tidak mengatakan cinta... Tapi paling tidak aku ingin sekali melihat pancaran cinta di matanya... Namun itu tidak pernah terjadi sampai akhirnya malam itu, malam ketika Shiho berdansa denganmu. Dia tersenyum, dia tertawa, matanya begitu lembut dan ceria, penuh cinta, sangat cantik, sangat indah... Meski pandangan itu bukan untukku... Melainkan untukmu Kudo-Kun..."
"Hakuba-Kun..."
"Betapa aku iri padamu karena hal itu..."
Shinichi menggeleng, "Kaupun membuatku malu Hakuba,"
"Nani?"
"Melihatmu begitu perhatian pada Shiho, aku sungguh malu. Aku sering meminta bantuan pada Shiho dan tidak sedikit permintaan itu demi keegoisanku sendiri," Shinichi teringat dulu ia suka merayu Haibara Ai agar dapat diberikan penawar APTX untuk berkencan dengan Ran, "Aku melakukannya tanpa memikirkan perasaan Shiho. Bahkan hanya untuk sekotak takoyaki, harus ia minta dulu padaku," mata Shinichi berkaca-kaca, "Aku bersikap seolah dia akan selalu ada untukku. Aku tidak memandangnya. Tanpa sadar, aku menyakitinya. Ketika dia pergi..." Shinichi menarik napas sesaaat "Aku tak menyangka hal itu menjadi pukulan telak untukku... Begitu tiba-tiba... Orang yang kukira akan selalu ada mendadak hilang. Setiap hari aku bertanya apa yang salah... Apa yang membuatnya pergi... Setengah jiwaku seakan hilang dan aku tidak tahu harus mencarinya di mana... Aku rela memberikan apa saja agar dia kembali dan bertahan di sisiku..." Shinichi mengusap tetesan air mata di ekor matanya dengan punggung telunjuknya.
Hakuba diam termangu dengan pengakuan mengejutkan dari Shinichi.
Shinichi tampak menegarkan dirinya ketika berkata dengan tenggorokan tercekat, "Kau lebih pantas untuk bersanding dengannya Hakuba-Kun. Aku tahu kau akan memperlakukan Shiho lebih baik dariku," ia kemudian memejamkan matanya pasrah.
Hakuba hanya tersenyum pahit, "Andaikan semudah itu. Aku memang bersedia menjadi belahan jiwa Shiho, tapi masalahnya, dia hanya menginginkan dirimu," lalu ia meraih sesuatu dari kantong jasnya dan menyodorkannya pada Shinichi.
Shinichi memandang benda itu, gantungan boneka Higo.
"Temuilah. Selama tiga bulan ini, ia tak henti-hentinya memanggil namamu..."
"Kau yakin Hakuba-Kun?"
"Cepatlah Kudo-Kun. Shiho menunggumu..."
Shinichi menerima boneka itu, "Arigatou," dan tanpa pikir panjang lagi, ia bergegas ke rumah sakit untuk menemui Shiho.
Hati Shinichi bagai teriris ketika melihat Shiho berada di pembaringannya. Ia tak kuat membendung air matanya. Serangan kerinduan menyerbu urat-urat sarafnya.
"Kudo..." terdengar desahan pelan Shiho.
Shinichi mengecup kening Shiho, "Ini aku Shiho..." bisiknya, "Aku sudah di sini..."
Shinichi duduk di tepi ranjang, mengeluarkan boneka Higo dari sakunya dan meletakkannya dalam genggaman Shiho. Ia juga menggenggam tangan Shiho erat.
"Sekarang setelah Higo-San pensiun, apakah kau masih akan mendukung Big Osaka?" tanya Shinichi, "Sudah lama sekali ya kita tidak nonton bola bareng..."
Shiho tidak menyahut, matanya tetap terpejam.
Shinichi terisak seraya lanjut bicara, "Aku juga sudah lama tidak mentraktirmu takoyaki, ah tidak, kau sebenarnya mau okonomiyaki, tapi karena buru-buru akhirnya aku hanya beli takoyaki... Sekarang aku sudah tahu tempat okonomiyaki yang enak, setelah kau sembuh, aku akan mengajakmu ke sana, kau boleh makan sebanyak apapun sesukamu asal jangan seperti Genta..."
"Atau kau mau sandwich blueberry dan kacang? Aku bisa minta Okasan mengirimkan selainya dari Amerika. Asal jangan sampai ketahuan Hakase saja, nanti dia yang habiskan..."
"Aku sekarang sudah punya kantor agensi, kau belum pernah ke sana kan? Aku tidak tahu apa yang kurang. Aku masih tidak sreg dengan dekorasinya. Ran juga tidak pandai mendekorasi. Aku tahu seleramu bagus... Mungkin kau bisa memberi masukan untukku... Kalau kau mau, aku juga akan langganan majalah fashion kesukaanmu sehingga kau tidak perlu terus-menerus memaksakan dirimu membaca Holmes agar dapat membantuku..."
Shiho masih tidak bereaksi.
Air mata Shinichi mengalir lagi, "Aku juga sudah tahu tempat mi ramen yang enak... Kau sekarang rentan dingin, harus banyak makan makanan hangat... Jangan coba-coba untuk diet..."
"Kau juga tidak boleh begadang lagi..." tenggorokan Shinichi sakit tercekat sementara ia terus berbicara dengan air mata berlinangan, "Kalau kau memaksa begadang... Aku akan menggendongmu dan membawamu ke tempat tidur... Menyelimutimu seperti barbie..."
"Kau juga harus mengurangi kopi... Kopi tidak baik untuk kesehatanmu... Nanti kau tambah susah tidur... Aku akan membuatkanmu coklat hangat saja... Kita akan menikmatinya bersama di teras sambil melihat langit malam... Tapi kali ini kau jangan lupa memakai baju hangatmu... Atau aku akan menenggelamkanmu dalam selimut setebal lima senti..."
Shiho masih tak menampakkan perubahan.
"Bangunlah Shiho... Apa saja yang kau mau... Aku akan melakukannya... Kau mau apa? Tas Fusae? Boleh. Tapi kalau kau minta high heels aku tak mau membelikannya. Nanti kakimu sakit... Kau bisa jatuh dan terkilir..."
Shinichi akhirnya tak sanggup berbicara lagi karena sesenggukan dan tenggorokannya semakin sakit. Air matanya terus mengalir dan menetes ke tangan Shiho. Hingga akhirnya entah setelah tetes ke berapa, tangan Shiho mulai bergerak-gerak.
Shinichi yang merasakannya jadi tertegun, "Shiho?" ia mengaitkan jari-jarinya ke jari-jari Shiho untuk memastikannya lagi.
Jari-jari Shiho perlahan bergerak mengatup-atup. Shinichi mengulurkan punggung telunjuk dengan tangan satunya lagi untuk mengelus pipi Shiho yang tidak tertutup masker oksigen.
"Shiho..." ia terus memanggil.
Shiho mengernyit sebagai reaksi atas sentuhan Shinichi, kemudian perlahan-lahan mata indah itu terbuka memandang langsung ke mata Shinichi. Ia ingin memanggil Shinichi namun masker oksigen itu membuatnya tak nyaman.
Shinichi mendesah lega, ia menjulurkan wajahnya untuk mengecup kening Shiho lagi. Lalu ia berbisik di telinga Shiho, "Aku mencintaimu Shiho... Kau dengar itu? Aku mencintaimu..."
Shiho mengedip lemah, saat ia melakukannya air mata mengalir melalui ekor matanya.
Aku juga mencintaimu Kudo-Kun...
.
.
.
.
.
Dear Shiho,
Ketika kau membaca surat ini, mungkin aku sudah berada di penerbangan kembali ke Inggris. Maaf aku tidak pamitan langsung, kalau aku melakukannya, semakin sulit bagiku untuk pergi.
Kau tak perlu khawatir akan pernikahan kita yang batal. Aku sudah merelakannya. Aku juga sudah menjelaskannya pada Otosan dan Okasan, mereka pun mengerti. Tidak ada yang menyalahkanmu. Mereka senang ketika mendengar kau sudah siuman dan itu sudah lebih dari cukup.
Maaf karena kebodohanku kau sampai koma tiga bulan. Seandainya dari awal aku membawa Kudo-Kun padamu, mungkin sekarang kau sudah sembuh total. Aku telah bersikap kekanakan dengan keegoisanku. Kini aku mengerti, melihatmu hidup dan bahagia barulah itu arti kebahagiaan sesungguhnya untukku. Paling tidak, pernah mengenalmu itu sudah merupakan anugerah untukku.
Hiduplah dengan baik Shiho. Jaga kesehatanmu. Jangan begadang dan tetap hati-hati pada udara dingin. Tapi aku yakin Kudo-Kun mengerti dan akan menjagamu dengan sebaik-baiknya. Sampaikan pesanku pada Kudo-Kun, dia harus membahagiakanmu, jika dia menyakitimu sekali saja, aku bersumpah aku akan datang dari ujung dunia manapun untuk menghajarnya dan membawamu pergi. Kali ini aku takkan mau melepasmu lagi. Jadi ingatkan dia untuk berhati-hati atau aku akan memaksanya menelan APTX lagi.
Cepatlah sembuh Shiho-Chan. Bila suatu hari kita bertemu lagi, aku ingin melihat pancaran kebahagiaan di mata indahmu.
Partner yang akan selalu mencintaimu
Hakuba
Shinichi yang baru datang sambil membawa sweeter rajutan melongok ke wajah Shiho.
"Nani?" Shiho memandangnya.
"Apa ada yang lucu dari surat Hakuba? Sampai kau senyum-senyum begitu?" kata Shinichi seraya menyelimuti tubuh Shiho dengan sweeter rajutan.
Saat itu mereka sedang berada di taman rumah sakit. Shiho duduk di kursi roda. Luka tusukan itu cukup dalam dan karena Shiho koma tiga bulan, tubuhnya masih kaku dan belum dapat berjalan lurus. Shinichi harus menggendongnya jika Shiho ingin ke kamar mandi atau pindah duduk dari ranjang ke sofa.
"Benar ingin tahu?" tanya Shiho.
"Paling surat pernyataan perpisahan dengan embel-embel cinta," tebak Shinichi sambil membetulkan kerah sweeter di leher Shiho.
"Aduh geli," Shiho bergidik.
Shinichi berdecak, "Takuuu... kau selalu begitu sih. Sudah tahu tidak boleh kena dingin, masih suka malas pakai dobel,"
"Kan ada kau yang akan memakaikannya,"
Wajah Shinichi merona, "Jadi, Hakuba berkata apa lagi?"
"Dia bilang kau harus membuatku bahagia atau dia akan menghajarmu,"
Shinichi mendengus, "Dia bilang begitu?"
"Dia juga bilang akan memaksamu menelan APTX lagi kalau kau menyakitiku,"
"Nani?"
"Dia lupa kalau akulah pencipta APTX itu. Sebelum dia melakukannya, aku yang akan melakukannya lebih dulu. Membuatmu jadi kecil dan memasukkanmu ke dalam koper agar bisa kubawa-bawa pergi sepanjang waktu,"
"Shiho! Mengerikan,"
"Becanda becanda," Shiho terkekeh sebelum meringis, "Aduh,"
"Kenapa? Sakit?"
"Mungkin karena aku bersemangat, kesenggol dikit jadi sakit,"
"Mau kupanggil dokter?"
Shiho menggeleng, "Tidak usah,"
Shinichi meraih tengkuk Shiho dan memberinya kecupan ringan namun berkali-kali.
"Aku senang ini bukan mimpi," Shinichi menyandarkan keningnya pada kening Shiho, "Maafkan detektif bodoh ini yang tidak peka pada perasaanmu. Mungkin aku sudah jatuh cinta padamu sejak kau masih Haibara Ai,"
Shiho menggeleng, "Saat ini pun belum terlambat,"
"Untunglah kau mengambil keputusan untuk menelan penawar itu, atau nanti aku akan dikira pedofil karena jatuh cinta pada anak kecil"
Shiho terkekeh, "Bagaimana jika aku tetap memilih untuk menjadi kecil?"
"Aku sungguh akan menelan APTX itu lagi untuk menjadi kecil bersamamu,"
Shiho menangkup wajah Shinichi, "Aku telah belajar dari seseorang agar aku tidak menghindari takdirku. Aku berusaha untuk hidup berani sebagai Miyano Shiho,"
"Dan kau melakukannya dengan sangat baik,"
Shinichi memagut bibir Shiho lagi, lebih mesra. Shiho menanggapinya dengan penuh kehausan hingga napasnya terengah-engah.
Shinichi memberinya jeda untuk bernapas seraya berkata, "Ngomong-ngomong. Aku mau tanya sesuatu,"
"Nani?"
"Kapan kau akan berhenti memanggilku Kudo?"
"Eh?" Wajah Shiho memerah. Ia melingkarkan lengannya ke leher Shinichi dan memeluknya erat seraya berbisik memanggil, "Shinichi... Shinichi..."
Shinichi tersenyum, "Terdengar lebih baik,"
Shiho menenggelamkan wajahnya yang tersipu malu di bahu Shinichi.
.
.
.
.
.
Setahun kemudian...
"Kuserahkan Shiho padamu Shinichi. Buatlah dia bahagia," pinta Profesor Agasa ketika menyatukan tangan Shiho dan Shinichi di gereja. Ia yakin kali ini ia tidak salah. Mengantarkan Shiho ke pelaminan kepada seseorang yang sungguh-sungguh dicintainya.
"Dengan seluruh hidupku, Hakase," sahut Shinichi dengan mata penuh cinta memandang mempelai wanitanya.
Shinichi membimbing mempelainya untuk bersujud di altar dan menjalani prosesi pemberkatan. Setelah mereka diresmikan menjadi suami istri, Shinichi membuka veil itu dan memandang mata indah istrinya yang cantik juga menatap balik dengan pancaran kebahagiaan dan penuh cinta.
Hakuba diam-diam memandang hal tersebut dari jauh. Ia memang diundang secara resmi ke pemberkatan itu, namun ia memberi alasan tidak bisa datang karena kasus penting. Padahal ia benar-benar terbang dari Inggris untuk menghadiri pernikahan itu tapi secara diam-diam. Ia tidak ingin kehadirannya menimbulkan perasaan tidak enak hati atau perasaan bersalah pada Shinichi dan Shiho. Ia ingin hari penting Shiho dan Shinichi berlangsung sempurna. Ketika ia melihat pancaran kebahagiaan di mata Shiho, Hakuba merasa senang. Ia tahu keputusannya tidak salah. Shiho terlihat lebih hidup dan berwarna, wanita itu berhak mendapatkannya.
Para undangan bersorak sorai ketika Shinichi mencium istrinya tepat di bibir. Bukan pagutan panas, hanya kecupan ringan namun lama.
Hakuba tersenyum tulus melihatnya, Syukurlah Shiho...
Lalu seperti datangnya, ia juga meninggalkan gereja itu dalam keheningan.
"Bulan madu nanti jangan terlibat kasus ya!" seru Masumi seraya melempari pasangan pengantin itu dengan bunga ketika sudah berada di luar pintu gereja.
"Bikin anak yang banyak!" seru Haneda Shukichi.
"Shiho! Bikin obat kuat buat Kudo-Kun agar bisa tahan beronde-ronde!" seru Heiji iseng.
"Diam kau Hattori!" oceh Shinichi dengan wajah memerah.
Shiho hanya terkekeh geli.
"Jadi nanti malam mau gaya apa?!" Nakamichi teman SMA Shinichi juga ikut menggoda.
"Awas kau Nakamichi!" amuk Shinichi.
Mendadak terdapat hujan sakura. Padahal saat ini bukan musim sakura berguguran. Lalu ada bayangan sesuatu terbang bolak-balik. Mereka semua menoleh ke atas, ternyata Kaito Kid yang melakukannya sebagai hadiah untuk pernikahan Shinichi dan Shiho.
"Selamat menempuh hidup baru Kudo-San!" seru Kaito memberi selamat sebelum terbang pergi dengan hang glidernya.
Shinichi nyengir, menertawakan gaya sok kerennya.
"Ciuman lagi donk!" Heiji menyerukan request itu dengan nakal.
"Oi! Oi!" Shinichi tampak salah tingkah.
"Cium! Cium! Cium!" para undangan menyoraki.
Shinichi akhirnya mencium Shiho lagi di bibir dan membuat para undangan histeris.
THE END
