The Lost Soul 2

(7 tahun setelah The Lost Soul 1)

By : pipi_tembam

"Jadi ini surat ancaman yang kau terima mengenai KTT Osaka?" tanya Takagi setelah membaca sepucuk surat di tangannya.

"Eh," Hakuba Saguru mengangguk, "Tidak kurang dari 20 negara akan hadir di KTT tersebut,"

"Aku akan segera melapor pada Inspektur Megure. Jika begini, kepolisian Tokyo pasti ikut diterjunkan ke Osaka untuk mengamankan jalannya KTT,"

"Benar," sahut Hakuba seraya kemudian bertopang dagu, "Hanya, yang membuatku aneh, surat itu dikirim melalui pos, bukan ditinggalkan secara langsung di kantorku di Osaka. Cap pos di amplop itu adalah kode pos Tokyo,"

Takagi memeriksa amplop tersebut untuk melihat cap posnya, "Benar juga. Berarti pelakunya berada di Tokyo dan akan menjalankan aksinya di Osaka?"

"Atau itu hanya pengalihan," kata sebuah suara anak kecil.

Hakuba dan Takagi terkejut. Mereka menoleh pada bocah lelaki yang baru masuk ruangan. Bocah itu berjalan menghampiri Takagi dan Hakuba seraya mengantongkan kedua tangannya di saku celananya.

"Nani?!" Takagi terbelalak melihatnya nyelonong masuk tiba-tiba.

"Pengalihan maksudmu?" Hakuba menunduk menatap bocah itu, tampak tertarik.

"Eh," Bocah itu mengangguk. "Dia melakukan ancaman bom tujuan KTT Osaka. Sehingga kepolisian pusat Tokyo dan mungkin wilayah lainnya akan berbondong-bondong bergabung dengan kepolisian Osaka untuk mengamankan KTT. Dengan begitu, Tokyo akan mengalami kekosongan penjagaan,"

Hakuba mengerjap, tampak kagum dengan analisis bocah ini, "Kau benar sekali. Hal itu bisa menjadi salah satu kemungkinan terlebih kita belum mengetahui apa modus dari si pelaku yang mengirimkan ancaman ini,"

"Uhm," Bocah itu mengangguk bersemangat.

Hakuba akhirnya berjongkok di hadapan bocah itu, "Kau tampak familiar ya. Siapa namamu?" tanyanya.

"Kudo Yuichi," sahut bocah itu.

Hakuba terpana, "Eh? Kudo?"

"Dia putra Kudo Shinichi dan Miyano Shiho," ungkap Takagi. Mantan pacarmu, lanjutnya dalam hati.

Hakuba tampak terpesona, "Hooo pantas saja dia begitu pintar, dia mewarisi ketajaman ayah dan ibunya,"

Yuichi hanya terkekeh senang.

"Dia persis seperti ayahnya sewaktu masih menjadi Edogawa Conan. Sangat antusias akan misteri dan kasus," jelas Takagi.

Hakuba tertawa, "Tentu saja, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya,"

Yuichi terkikik bangga.

Hakuba menatap Yuichi penuh arti. Benar juga, sudah tujuh tahun berlalu sejak Shinichi dan Shiho menikah. Ternyata kini mereka telah dikaruniai seorang putra yang sangat cerdas. Putra yang tidak akan lahir, kalau Hakuba yang menikahi Shiho.

"Takuuu..." Shiho mengeluh seraya berkacak pinggang memandang koridor-koridor yang kosong. "Ke mana sih perginya anak itu? Cuma meleng sebentar dia sudah hilang. Kebiasaan. Benar-benar mewarisi sifat ayahnya," gerutunya seorang diri.

Shiho akhirnya terpaksa mencari lagi. Ia membawa putranya Yuichi ke markas kepolisian pusat untuk menjemput Shinichi. Malam ini mereka berencana makan malam bersama di luar untuk merayakan wedding anniversary Yusaku dan Yukiko.

"Mungkin sebaiknya jangan cepat terpancing menurunkan semua anggota ke Osaka," kata Yuichi santai.

"Benar sekali kata Yuichi-Kun. Aku akan berunding dengan Inspektur Megure. Harusnya sekarang ini dia sudah selesai meeting," kata Takagi seraya melirik arlojinya.

"Ah, dia meeting bersama Otosan," tambah Yuichi.

"Kudo Yuichi!" Shiho memanggil putranya galak.

Yuichi langsung bergidik ketika mendengar suara ibunya, "O-Okasan..."

"Kau ke mana saja? Bukannya kau sudah janji tidak akan nakal? Besok-besok Okasan tidak mau mengajakmu ke sini lagi," omel Shiho pada putranya.

"H-Hai... Gomene Okasan..." gumam Yuichi mengkerut.

"Shiho," panggil Hakuba.

Shiho mengerjap dan menoleh, "Kuba-Kun?" ia baru menyadari kehadiran Hakuba.

Hakuba tersenyum, "Jangan memarahinya begitu Shiho. Yuichi sangat pintar, baru tujuh tahun tapi bisa melakukan deduksi yang bagus,"

Yuichi terkekeh senang.

"Sejak kapan kau kembali ke Jepang?" tanya Shiho.

"Baru setahun. Aku dipanggil untuk turut serta dalam pengamanan KTT,"

"Oh begitu,"

Mendadak dari koridor seberang muncul Shinichi bersama Inspektur Megure.

"Untuk sementara seperti itu saja Inspektur Megure. Aku akan memberitahumu apabila ada petunjuk baru," ujar Shinichi.

"Eh," Inspektur Megure mengangguk, "Kami juga akan terus update perkembangannya,"

"Otosan!" panggil Yuichi girang.

"Ah Yuichi," Shinichi tersenyum memandang putranya seraya menghampirinya dan kemudian menyadari kehadiran Hakuba di sana.

"Lama tak bertemu Kudo," sapa Hakuba ramah.

Shinichi balas tersenyum ramah, "Lama tak bertemu Hakuba-Kun,"

Mereka bersalaman sebagai teman lama.

"Sudah lama menunggu Shiho?" tanya Shinichi pada istrinya.

"Cukup lama untuk bermain petak umpet dengan Yuichi," sahut Shiho.

"Eh? Petak umpet?"

"Anakmu ini nyelonong masuk ke ruangan rapat Kuba-Kun dan Inspektur Takagi," ungkap Shiho masih agak kesal.

Anakmu jugagumam Inspektur Megure dalam hati.

"Benarkah?" Shinichi memandang putranya.

"Eh," Hakuba yang menanggapi, "Untuk ukuran anak tujuh tahun, Yuichi sangat cerdas. Dia bisa melakukan analisis mengenai ancaman pengeboman KTT Osaka,"

"Oh ya? Kau menganalisis apa?" tanya Shinichi penuh minat pada putranya.

"Shinichi!" Shiho menatap suaminya dengan tatapan membunuh.

Shinichi buru-buru meralat kalimatnya, "Eh... Lain kali jangan begitu ya Yuichi. Anak kecil tidak boleh ikut campur urusan orang dewasa,"

"Hai..." sahut Yuichi.

"Inspektur Megure, apa kau ada waktu? Sekalian kami ingin mendiskusikan ancaman itu," tanya Inspektur Takagi.

Inspektur Megure melirik arlojinya, "Tidak masalah,"

"Lebih cepat diselesaikan lebih baik," ujar Hakuba.

"Aku mau ikuut..." Yuichi merajuk.

"Ck," Shiho berdecak seraya meraup anak itu dalam gendongannya, "Belum saatnya untukmu,"

"Hai..." Sahut Yuichi dengan bahu terkulai di tangan ibunya.

"Kami pamit dulu," kata Shinichi undur diri.

"Sampaikan salamku pada Yusaku-San dan Yukiko-San," kata Inspektur Megure.

"Eh," sahut Shinichi seraya mengangguk.

"Dadah! Hakuba-ojisan!" Yuichi melambai dari gendongan Shiho.

"Sampai nanti Yuichi-Kun," Hakuba balas melambai.

Hakuba melihat keluarga kecil itu berjalan bersama. Sampai di ujung koridor Shiho menurunkan Yuichi. Bocah itu digandeng oleh ayah dan ibunya. Sesekali Shinichi dan Shiho mengangkatnya hingga kaki Yuichi melayang dari lantai. Anak itu hanya tergelak seraya sesekali berteriak, "Aku terbaaang..." dan Shinichi serta Shiho hanya terkekeh geli melihat tingkah putra mereka. Hakuba membayangkan andaikan dulu ia yang menikah dengan Shiho, mungkin ia yang berada di posisi Shinichi sekarang.

"Ehem," Inspektur Megure berdehem untuk mengambil perhatian Hakuba kembali.

Hakuba mengerjap memandangnya.

"Mari Hakuba-Kun," Inspektur Megure menunjukkan jalan.

"Oh, hai..."

.

.

.

.

.

"Hakuba bukannya di Inggris?" tanya Shinichi yang baru keluar dari kamar mandi.

Setelah makan malam merayakan ulang tahun pernikahan Yusaku dan Yukiko, mereka pulang ke rumah sementara Yusaku dan Yukiko ke bandara untuk kembali ke LA.

"Katanya baru setahunan balik ke Jepang," jawab Shiho seraya terus mengetik di keyboard laptopnya, "Dia dipanggil ke Jepang untuk ikut mengawasi KTT di Osaka,"

"Oh begitu,"

"Eh," sahut Shiho.

Shinichi menghampiri kursi Shiho dan menunduk merangkul bahunya dari belakang, "Jadi bagaimana?"

"Bagaimana apanya?"

"Setelah ketemu mantan pacar?" goda Shinichi usil.

"Ck, aku tak pernah tanya ketika Ran-San kembali setelah berkeliling dengan UNICEF, kenapa sekarang kau malah tanya aku mengenai mantan pacarku?"

"Ran kan waktu kembali sudah berkencan dengan Araide Sensei dan menikah tak lama kemudian. Sementara Hakuba masih lajang,"

"Siapa tahu saja dia sudah punya kekasih,"

"Dia masih menatapmu,"

"Kau cemburu?"

"Tidak," dusta Shinichi dengan wajah merah, "Aku pemenangnya untuk apa cemburu,"

"Benar, kau tidak seharusnya cemburu. Anak kita saja sudah tujuh tahun,"

"Tujuh tahun ya... Hmmm... Hei..." Shinichi menggoda lagi.

"Apa?"

"Tambah yuk,"

"Nani?" Shiho menoleh menatap suaminya.

"Kita buat bayi lagi,"

"Ah tidak mau," tolak Shiho mentah-mentah.

"Kenapa?"

"Satu saja sudah pusing. Yuichi persis sekali seperti dirimu. Penuh rasa ingin tahu. Aku tak sanggup jika punya satu lagi yang seperti dia,"

"Siapa tahu kali ini perempuan yang manis seperti dirimu,"

"Tidak tidak, aku bisa kewalahan kalau ada satu detektif lagi,"

"Mungkin juga ilmuwan,"

"Tidak tidak,"

Shinichi menutup laptop Shiho dan mulai menggendongnya.

"Kau mau apa?" tanya Shiho bingung.

"Kan aku sudah bilang kau tak boleh begadang, aku akan memaksamu untuk tidur,"

"Tidur? Atau olahraga malam?"

Shinichi terkikik penuh modus seraya membaringkan istrinya di tempat tidur.

"Aku belum setuju tambah anak lho," Shiho mengingatkan.

"Oke Maam, tapi paling tidak kau harus dapat dosis kehangatan atau penyakit dinginmu kambuh," ujar Shinichi sebelum memagut bibir Shiho.

Shiho pun tak kuasa menolak, ia menyambut cumbuan Shinichi dengan gairah menggebu-gebu yang sama. Suara ocehannya telah hilang digantikan dengan desahan kenikmatan. Tujuh tahun sudah mereka berumah tangga, namun romantisme mereka tak pernah surut.

"Wah Ran sebentar lagi ya," kata Sonoko seraya memandang perut besar Ran yang sudah delapan bulan lebih.

"Iya," kata Ran seraya mengusap-usap perut besarnya penuh sayang.

"Semoga aku bisa cepat menyusul dengan Makoto, kami mungkin akan mengikuti program bayi tabung," ujar Sonoko penuh harap.

"Uhm. Suatu hari Sonoko-Chan dan Makoto-San pasti menyusul. Jangan menyerah," Ran menyemangati.

"Arigatou Ran!"

Ran terkekeh.

"Eh sepertinya di sana ada yang lucu," Sonoko menunjuk sebuah toko.

"Ayo kita lihat!" ajak Ran.

Saat itu Ran dan Sonoko sedang jalan-jalan di mall untuk belanja beberapa perlengkapan bayi. Ran sebentar lagi melahirkan dan menurut hasil USG, bayinya perempuan. Mereka membeli beberapa baju yang lucu-lucu, sepatu dan juga boneka.

"Kau lelah tidak Ran?" tanya Sonoko setelah mereka keluar dari toko dan membawa beberapa kantong belanja.

"Tidak kok. Tidak sama sekali,"

"Ah, ibunya jago karate sih, jadi bayinya kuat hehehe..."

Ran melirik arlojinya, "Bagaimana kalau kita makan siang dulu?"

"Oke, aku tahu sushi yang enak di sini. Ayo!"

Duar! Mendadak terdengar ledakan. Mall berguncang. Para pengunjung berteriak ketakutan. Ada bom meledak di seberang mall mereka, namun getarannya sangat terasa sampai tempat mereka.

"Ran!" Sonoko refleks memeluk Ran penuh perlindungan.

Ran terduduk di lantai. Orang-orang berlari buru-buru untuk keluar mall sehingga tidak memerhatikan sekitar. Sonoko melindungi Ran agar tidak terinjak-injak.

"Kau tidak apa-apa Ran?" tanya Sonoko cemas.

Ran menggeleng, "Aku tidak apa-apa," kemudian mendadak ekor matanya menangkap sosok yang mencurigakan. Orang itu tidak ikut berlari, melainkan jalan dengan santai. Ran melihat dari sisi sebelah wajahnya, orang itu menyeringai puas.

Jangan-jangan... Ran berusaha bangkit untuk mengejar namun bayinya protes.

"Aduh," keluh Ran seraya memegang perutnya.

"Ran!"

"Sakit Sonoko... Sepertinya aku mau melahirkan..." rintih Ran seraya berusaha mengatur napasnya untuk mengimbangi kontraksi.

Sonoko berteriak minta tolong dengan kalut.

Seseorang muncul membantu membawa Ran ke rumah sakit.

.

.

.

.

.

"Terjadi ledakan di gedung perkantoran seberang mall Beika..." berita di TV melaporkan.

Shinichi, Shiho dan Yuichi yang sedang makan siang bersama di rumah, tertegun menyimak seorang pembawa acara wanita yang memberitakan hal tersebut.

"Di saat Jepang sedang menjadi sorotan karena KTT?" Shiho mengernyit.

Shinichi bertopang dagu, "Sepertinya dugaan Yuichi benar. Tujuan bom itu bukan di Osaka. Melainkan di Tokyo ketika terjadi kekosongan penjagaan dan kebetulan sekali, gedung yang terkena bom itu adalah perusahaan trading yang sedang kuselidiki kasusnya,"

"Eh? Mungkinkah semua ini berkaitan?" tanya Shiho.

"Mungkin saja," sahut Shinichi.

Mendadak HP Shinichi berdering. Ia mengangkatnya pada dering kedua.

"Moshi Moshi," Shinichi menjawab telponnya.

"Shinichi..."

"Oh Sonoko. Ada apa?"

Sonoko menceritakan kejadiannya.

Shinichi mengerjap, "Nani? Lalu bagaimana kondisinya? Eh baik, aku mengerti..."

"Ada apa?" tanya Shiho setelah Shinichi menutup telponnya.

Shinichi menatap istrinya dengan serius, "Saat bom itu meledak. Ran dan Sonoko sedang berada di mall seberang gedung,"

Shiho terkejut, "Nani?"

"Gara-gara itu, Ran tegang dan mendadak melahirkan normal begitu sampai di rumah sakit. Padahal seharusnya masih tiga minggu lagi,"

"Lalu bagaimana kondisinya?"

"Mereka baik-baik saja, ibu dan bayinya. Namun ada kemungkinan Ran melihat pelakunya. Orang yang memicu bom tersebut meledak,"

"Aku akan menemanimu untuk menjenguknya,"

"Eh," Shinichi mengangguk.

"Aku ikut!" Yuichi mengajukan diri.

"Satu syarat," kata Shiho tajam, "Jangan sembarangan berkeliaran di rumah sakit,"

"Haiii..." Yuichi menyahut patuh.

"Ah itu mereka," Sonoko menunjuk kedatangan Shinichi, Shiho dan Yuichi.

"Ran, Sensei," sapa Shinichi pada Ran dan Araide Sensei.

"Shinichi, Shiho, halo Yuichi..." Ran menyapa keluarga Kudo satu per satu.

"Halo..." balas Yuichi riang.

"Bagaimana keadaanmu Ran?" tanya Shinichi.

"Aku baik-baik saja. Meski sempat tegang juga," jawab Ran.

"Paling tidak masih ada sisi bagusnya, kami tidak perlu menunggu tiga minggu lagi untuk kelahiran putri kami," timpal Araide Sensei seraya tersenyum.

"Dedek bayinya mana?" tanya Yuichi mencari-cari.

"Masih disinari, sebentar lagi dibawa ke sini," kata Araide manis.

"Kau sudah menghubungi Makoto?" tanya Ran pada Sonoko.

"Eh," Sonoko mengangguk, "Dia langsung terbang ke Jepang,"

"Maaf Sonoko, kau pasti tegang sekali melihatku kesakitan," ujar Ran.

"Tidak apa-apa. Sebagai sahabatmu tentu saja aku harus melindungimu dan calon keponakanku. Tapi untung saja tadi ada Hakuba-Kun,"

Shinichi mengerjap seraya bertukar pandang dengan Shiho, "Hakuba?"

"Iya, dia yang membawa Ran ke rumah sakit," jelas Sonoko.

"Duh, aku belum sempat berterima kasih padanya," kata Ran.

Tak lama kemudian pintu diketuk dan masuk dua orang lagi. Hakuba Saguru bersama Inspektur Megure.

"Hakuba-Kun, Inspektur Megure," Shinichi memanggil mereka.

"Oh, ternyata kau di sini juga Shinichi," sapa Inspektur Megure.

"Bagaimana keadaanmu Ran-San?" tanya Hakuba.

"Aku baik. Terima kasih Hakuba-Kun, entah apa jadinya tanpa dirimu," ucap Ran.

"Sama-sama Ran-San," balas Hakuba.

"Tapi bagaimana Hakuba-Kun bisa kebetulan di sana?" tanya Shinichi.

"Ah, ini berkat analisis awal Yuichi," kata Hakuba seraya menatap Yuichi.

"Eh?" Yuichi melongo.

"Aku seharusnya di Osaka, tapi aku mendapat surat ancaman susulan. Petunjuknya mengacu pada logo perusahaan trading yang meledak. Aku sedang menuju bagian teras mall untuk memantau gedung tersebut dari seberang ketika ledakan itu terjadi. Aku buru-buru turun untuk mengejar pelaku yang mungkin saja masih berkeliaran di sekitar mall. Lalu aku menemukan Ran-San dan memutuskan membawanya ke rumah sakit lebih dulu," jelas Hakuba.

"Oh ya Ran. Apa kau melihat pelakunya?" tanya Inspektur Megure.

"Uhm... Aku tak yakin apakah dia pelakunya. Hanya saja di saat para pengunjung buru-buru turun untuk keluar mall, orang itu hanya berjalan santai saja sambil mengantungkan kedua tangannya di saku mantel. Aku hanya melihat sepintas dari sisi samping wajahnya, ia tersenyum tampak puas,"

"Bagaimana ciri fisiknya?"

"Dia mengenakan mantel coklat panjang dan topi flat cap. Tinggi tegap dan seorang pria. Kalau melihat kerutan wajahnya dari samping, sepertinya sekitar usia 40 an," jelas Ran.

"Bisa kau mengulanginya lagi jika kami mengirimkan ahli sketsa?" tanya Inspektur Megure.

"Bisa," sahut Ran.

Inspektur Megure memandang Shinichi, "Shinichi, mengingat gedung yang meledak itu. Apa mungkin hal ini berkaitan dengan kasus tersebut?"

"Eh," Shinichi mengangguk, "Aku juga mencurigainya,"

"Besok sebaiknya kita meeting bersama. Kau, aku dan Hakuba-Kun," saran Inspektur Megure.

"Wakata," sahut Shinichi.

"Baiklah," sahut Hakuba.

Mendadak pintu terbuka dan seorang perawat masuk seraya membawa bayi mungil perempuan dalam dekapannya.

"Wahh... itu bayinya," Sonoko tampak kagum.

Perawat itu memberikan bayinya pada Ran sebelum keluar lagi.

"Selamat Ran," ucap Inspektur Megure.

"Arigatou," kata Ran berseri-seri.

"Kau ingin memberi nama apa Ran?" tanya Sonoko.

"Hana-Chan," kata Ran.

"Hana-Chan, kawaiiii..." kata Sonoko gemas.

"Aku mau lihat Aka-Chan," celetuk Yuichi.

"Yuichi," gumam Shiho memperingatkan putranya.

"Tidak apa-apa Shiho," kata Ran.

"Sini Yuichi-Kun," Araide Sensei memanggilnya lalu menggendongnya untuk duduk di sisi Ran di ranjang.

"Wah kawaiii..." gumam Yuichi setelah ia memeluk Hana.

"Yuichi nanti bantu kami jaga Hana-Chan ya," kata Araide.

"Uhm," Yuichi mengangguk.

Ran terkekeh, "Ehhh... Yuichi tampaknya suka adik bayi ya..."

"Suka," sahut Yuichi imut.

Sonoko nyengir, "Nah Yuichi-Kun, kalau mau punya adik bayi minta saja sama Otosan dan Okasan,"

"Yuichi mau, tapi Otosan dan Okasan tidak mau kasih," kata Yuichi polos.

"Yuichi!" Shiho menegur.

"Tuh kan aku bilang juga apa," bisik Shinichi.

"Hmph, tidak mau. Satu saja sudah repot," sahut Shiho seraya memalingkan wajah.

"Sudah sudah kalau belum mau jangan dipaksa," Ran menengahi.

"Eh, sampai aku menemukan cara memindahkan rahim kepada pria untuk mengandung dan melahirkan," sungut Shiho.

"Wah, kalau bisa begitu aku juga mau," timpal Ran, "Biar Pak Dokter ini tahu sakitnya bagaimana," kata Ran seraya menyipit memandang suaminya.

Araide Sensei hanya tertawa kikuk.

"Eh? Ada apa memangnya?" gumam Inspektur Megure bingung.

"Anoo... Tanganku habis dicakar Ran-Chan waktu melahirkan normal tadi. Benar-benar satu jam yang menyengsarakan," cerita Araide Sensei.

"Cakaranku belum seberapa dibanding kontraksinya," gerutu Ran.

"Satu jam? Masih mending," gumam Shinichi iri.

"Eh?" Ran dan Araide memandang Shinichi.

Shiho menjelaskan dengan kalem namun miris, ia juga iri pada Ran, "Perlu 15 jam untuk melahirkan Yuichi sejak pembukaan satu,"

Ran bergidik, tak sanggup membayangkannya.

"Kau dicakar juga Shinichi-Kun?" tanya Araide Sensei seakan mencari teman sependeritaan.

"Bukan dicakar lagi. Habis babak belur seluruh badan," gerutu Shinichi.

"Eh, kalian para pria juga harus merasakan penderitaannya," geram Shiho.

Shinichi, Araide Sensei dan Inspektur Megure tampak bergidik canggung. Hakuba hanya tersenyum, dalam hati berharap bisa merasakan derita itu juga. Pria-pria beristri.

.

.

.

.

.

"Jadi, kau akan ke pelabuhan besok?" tanya Shiho saat baru saja naik ke tempat tidur dan menyusup di bawah selimutnya.

"Eh," sahut Shinichi seraya menutup bukunya dan meletakkannya di lemari kecil sebelah tempat tidur.

"Sendiri saja? Tidak ada yang menemanimu?"

"Tidak ada. Lagipula juga belum pasti apakah ada transaksi illegal itu besok,"

"Mau kutemani?" Shiho menawarkan diri.

Shinichi meraih tangannya dan mengecupnya, "Aku baik-baik saja. Lagipula kau sendiri kan banyak pekerjaan. Penelitianmu ditambah Yuichi,"

"Baiklah kalau begitu. Jangan pulang larut malam saja,"

"Wakata," sahut Shinichi kemudian bergelung memeluk tubuh istrinya, "Ngomong-ngomong kapan terakhir kali aku memberikan dosis kehangatan padamu?"

Mata Shiho menyipit, "Tadi pagi Tantei-San. Baru tadi pagi,"

"Oh ya? Kirain sudah beberapa hari lalu,"

"Lagipula berhentilah menggunakanku sebagai tameng alasan, padahal kau yang butuh kehangatan seolah kau yang punya penyakit dingin,"

Shinichi terkikik sebelum mulai mencumbui Shiho. Namun Shiho menggunakan berat tubuhnya untuk berguling balik, memosisikan Shinichi di bawah tubuhnya. Shiho menahan pergelangan tangan kiri-kanan Shinichi di ranjang, di sisi kepala suaminya.

"Eh?" Shinichi bingung memandang istrinya, dikira akan ditolak.

"Gantian malam ini kau yang harus mengikuti permainanku Tantei-San,"

Shinichi nyengir, "Hai... Terserah kau saja... Perlakukan aku sesukamu Maam..."

Shiho pun mulai menyerang Shinichi dengan pagutan liarnya.

"Yui-Chan. Kau membaca Holmes, apa kau sudah mengerjakan PR mu?" tanya Shiho menyelidik ketika mengintip Yuichi sedang membaca buku di sofa ruang tamu.

"Sudah kok," sahut Yuichi.

"Memangnya PR apa?"

"Cuma matematika, soal mudah,"

"Baiklah kalau begitu. Jangan baca sambil tiduran ya,"

"Haii..."

Shiho tidak harus mengecek PRnya karena ia tahu betul Yuichi sangat menguasai matematika. Selain otak misteri Shinichi, putranya juga mewarisi otak sainsnya. Shiho melirik arlojinya, masih ada beberapa jam lagi sebelum ia menyiapkan makan malam. Shinichi sudah berjanji tidak pulang larut malam ini.

Mengingat Shinichi membuat Shiho kembali tersenyum. Semalam mereka bercinta gila-gilaan, bahkan pagi ini pun mereka melakukannya lagi dengan cepat sebelum Shinichi berangkat kerja. Tujuh tahun lebih mereka berumah tangga, namun hasrat mereka tidak pernah surut. Libido Shinichi begitu tinggi dan anehnya ternyata dirinya juga begitu. Ia selalu siap menyambut kapanpun Shinichi menginginkannya dan sebaliknya pula, Shinichi selalu memenuhinya giliran ia yang memintanya lebih dulu.

Kalau dipikir-pikir lagi padahal dulu ia berkencan cukup lama dengan Hakuba Saguru, yang secara fisik bahkan lebih tampan dari Shinichi. Hakuba Saguru layaknya pangeran Inggris yang memesona. Shiho tahu para wanita seringkali meliriknya dengan iri kalau ia sedang jalan bersama Hakuba. Ada saat-saat ketika ia menyambut kecupan Hakuba namun di benaknya malah terbayang wajah Shinichi. Waktu itu Shiho takut keceplosan mendesahkan nama Shinichi, karena itu sebisa mungkin ia tidak terlalu intim dengan Hakuba.

Shiho menggeliat untuk melenturkan otot-otot tubuhnya. Sudah seharian ia berkutat dengan laptopnya. Ia memutuskan untuk bangkit sebentar dan membuat sesuatu di dapur. Ketika melewati ruang tengah di mana terdapat banyak pajangan bingkai keluarga Kudo, ia mendengar suara benda jatuh ke lantai.

Prang!

Shiho menoleh. Ada salah satu bingkai foto yang jatuh. Ia bingung karena ia tidak merasa menyenggol bingkai tersebut. Angin juga tidak ada. Shiho akhirnya memungut bingkai itu dari lantai. Bingkai itu memajang foto keluarga kecil mereka. Shinichi, Shiho dan Yuichi saat mereka sedang liburan ke Inggris. Kemudian Shiho memerhatikan, keretakan kacanya hanya ada pada foto Shinichi. Entah kenapa mendadak ia mendapat firasat tidak enak.

Shinichi... Ku harap dia baik-baik saja... batin Shiho.

Shinichi mengendap-endap di celah-celah sempit di antara tumpukan container di pelabuhan tersebut. Ia telah melihat sosok yang ia incar tengah berjalan ke suatu arah. Mungkin saja transaksi illegal itu memang dilakukan hari ini.

Kemudian Shinichi melihat sebuah sedan hitam mewah muncul dan parkir di tepi dermaga. Ia menunggu, mungkin akan ada pihak lain yang muncul. Beberapa menit berlalu dan tidak ada pihak lain yang datang. Mendadak Shinichi melihat bayangan besar di hadapannya, ia reflex berbalik namun sudah tak sempat untuk mempertahankan diri.

Buk!

Seseorang memukul belakang kepalanya. Darah Shinichi mengalir dari pelipis hingga ke sisi wajahnya. Lalu ia merasa seseorang menyeret tubuhnya ke hadapan pemilik sedan mewah itu. Shinichi terpuruk di tanah aspal.

Terdengar suara seorang lelaki terkekeh dengan kejam.

"Kehebatanmu telah membuatmu menjadi lancang, Kudo Shinichi,"

Terakhir kali sebelum mereka membungkamnya, yang ada di kepala Shinichi hanya Shiho dan Yuichi.

Shiho terbangun ketika mendengar bunyi bel pagi hari itu. Ia melirik arlojinya yang menunjukkan pukul delapan pagi. Ia memandang meja makan yang masih meninggalkan beberapa lauk pauk untuk makan malam Shinichi. Shiho menunggunya semalaman hingga ketiduran dan jika ia sampai terlelap di meja makan berarti Shinichi belum pulang. Shinichi takkan membiarkannya tidur di sini. Suaminya pasti akan menggendongnya ke tempat tidur.

Ting tong! Bel berbunyi lagi.

Shiho akhirnya bangkit untuk membukakan pintu dan melihat Inspektur Megure, Takagi dan Miwako Sato berdiri di hadapannya.

"Shiho-San," panggil Inspektur Megure muram.

"Ada apa? Shinichi belum pulang," kata Shiho.

"Justru itu, kami ingin memberi kabar tentang Shinichi," kata Inspektur Megure.

"Nani?"

Inspektur Megure tampak menegarkan diri ketika berkata, "Shinichi sudah tiada,"

Shiho menegang, tapi ia tak mau langsung percaya, "Apa?"

"Tubuhnya ditemukan terikat di sebuah sedan hitam yang sengaja disetting pedal gasnya hingga terus melaju sampai jatuh ke laut," tambah Inspektur Megure.

"Tidak... Tidak mungkin..." Shiho menggeleng.

"Ia sepertinya dihajar oleh beberapa orang hingga wajahnya hancur dan tidak dapat dikenali lagi," lanjut Inspektur Megure.

"Kalau wajahnya hancur bagaimana kalian bisa tahu itu Shinichi?" tanya Shiho.

"Bentuk tubuh dan ukurannya semuanya sama. Aku juga sempat bertemu dengannya pagi-pagi kemarin sebelum dia berangkat ke pelabuhan. Pakaiannya adalah pakaian Shinichi,"

Shiho terhuyung seraya memegang keningnya.

"Shiho-San," Sato menopang tubuhnya.

"Aku mau melihatnya," kata Shiho.

"Nani?" Inspektur Megure mengerjap.

"Aku ingin memeriksa jasadnya dengan mata kepalaku sendiri," tegas Shiho.

"Tapi kondisinya sudah tidak begitu bagus," ungkap Inspektur Megure.

"Aku ilmuwan! Aku bisa menghadapinya!" seru Shiho, "Shinichi suamiku, walaupun mungkin tubuhnya hancur, aku yakin aku masih bisa mengenalinya!"

"Baiklah kalau begitu," sahut Inspektur Megure dengan berat hati.

.

.

.

.

.

Shiho tertegun memandang jenasah yang diyakini sebagai jenasah Shinichi di kamar mayat itu. Shiho memang tak bisa mengenali wajahnya, tubuh itu juga persis tubuh Shinichi, tapi entah kenapa ia tak yakin.

"Shiho-San?" Inspektur Megure memandangnya.

"DNA..." gumam Shiho.

"Eh?"

"Aku ingin dilakukan tes DNA, untuk mengetahui apa ini benar-benar Shinichi!" Shiho bersikeras, tubuhnya gemetar.

"Kami sudah melakukannya, hasilnya keluar sebentar lagi,"

Shiho akhirnya menunggu di sebuah ruang rapat di markas kepolisian. Miwako Sato selalu menemaninya. Ia sudah menitipkan Yuichi pada Profesor Agasa.

Aku yakin... Itu bukan Shinichi... Lalu di mana Shinichi... batin Shiho. Tangannya mencengkram tali tas tangannya dengan erat.

Tak lama kemudian Inspektur Megure masuk bersama Takagi. Shiho dan Sato segera berdiri menghampiri mereka.

"Bagaimana?" tanya Shiho.

Takagi memberikan sebuah amplop coklat ukuran A4 kepada Shiho.

Shiho segera membukanya dan membaca hasil tes itu dengan gemetar.

"Maaf Shiho," kata Inspektur Megure dengan sangat menyesal, "Hasil itu menunjukkan jasad itu benar-benar jasad Shinichi,"

"Tidak... Ini tidak mungkin..." Shiho tak dapat memercayai ini.

"Shiho..." Sato merengkuh bahunya.

"Ini pasti akal Shinichi... Dia juga pernah melakukannya pada Akai Shuichi, membuatnya seolah-olah meninggal bahkan bisa menghasilkan tes DNA yang sama... Shinichi belum mati..." isak Shiho kalut.

"Tidak ada keraguan itu tubuh Shinichi," kata Inspektur Megure.

"Wajahnya sengaja dibuat rusak! Jadi itu bukan Shinichi!"

"Kau harus menerima kenyataannya Shiho-San. Dengan profesi Shinichi sebagai detektif, resiko ini sudah dapat diperkirakan," pinta Inspektur Megure tampak prihatin.

"Tidak! Ini tidak mungkin!" Shiho tersungkur di lantai.

"Shiho..." Sato memeluknya.

"Ini tidak mungkin... Kemarin dia masih baik-baik saja..." Shiho sesenggukan seraya menggigit bibir bawahnya.

Inspektur Megure tak tega menatapnya. Perasaan baru kemarin ia menghadiri pernikahan Shinichi dan Shiho yang spektakuler. Siapa sangka jodoh mereka ternyata begitu singkat.

Shiho tak ingat bagaimana akhirnya waktu berlalu. Yusaku dan Yukiko pulang ke Jepang untuk mempersiapkan pemakaman. Orang-orang terdekat dan teman-teman datang untuk mengucapkan belasungkawa. Tubuh Shinichi dibakar sebelum abunya dikubur di sebuah komplek pemakaman. Seluruh prosesi itu, Shiho tidak menghadirinya. Ia bersikeras meyakini, tubuh itu bukan tubuh Shinichi suaminya. Ia tak tahu bagaimana, tapi instingnya mengatakan demikian. Ia percaya suatu hari Shinichi akan muncul dan mengatakan semua ini hanya triknya.

Shinichi... Kau pasti pulang kan... batin Shiho pedih. Aku akan menunggumu... Aku janji kalau kau pulang aku akan melakukan apa saja yang kau inginkan... Kau mau tambah bayi? Satu atau beberapa pun akan kupenuhi...

Sudah berhari-hari Shiho mengurung diri di kamarnya seraya memeluk sehelai kemeja putih Shinichi yang belum tercuci di tempat pakaian. Berulang kali ia menghirupnya untuk melampiaskan kerinduannya akan aroma Shinichi. Yukiko sudah berkali-kali membujuknya untuk makan, tapi Shiho hanya mampu makan sesuap. Yusaku juga telah memberikan wejangan padanya untuk menerima kenyataan. Shiho hanya manggut-manggut tak jelas karena menghormati ayah mertuanya, namun lubuk hatinya ia tidak terima.

Terdengar suara pintu terbuka. Yuichi masuk ke kamar dan menghampiri ibunya. Shiho memandangnya dan baru ingat, sudah berhari-hari pula ia tidak berbicara pada putranya, bahkan tidak menyadari keberadaannya karena terlalu tenggelam dalam duka.

"Okasan..." panggil Yuichi pelan.

Melihat Yuichi hati Shiho semakin sakit. Yuichi baru tujuh tahun dan kini sudah harus kehilangan ayahnya. Belum lagi wajahnya, Shiho sudah lama menerima dengan lapang dada karena seluruh fisik Yuichi mirip dengan Shinichi. Tak ada satupun ciri Shiho menurun pada Yuichi, tidak sehelai rambut pun karena rambut Yuichi hitam.

Shiho tak sanggup berbicara. Tenggorokannya sakit tersumbat karena air mata membanjiri wajahnya lagi. Ia telah gagal untuk tampil tegar di hadapan putranya sendiri.

Yuichi menaiki ranjang dan duduk di hadapan ibunya. Ia meletakkan kedua tangannya yang mungil di atas tangan Shiho dan menggenggamnya hangat.

"Okasan... Aku akan menemani Okasan menunggu Otosan pulang..." kata Yuichi.

"Yu-Yuichi..."

"Selama itu, aku akan menggantikan Otosan untuk menjaga Okasan..."

"Oh Yuichi," Shiho memeluk putranya, "Gomene Yuichi... Gomene..."

Shiho tak tahu sudah berapa lama ia menangisi diri sendiri di kamar. Setiap hari terbangun ia berharap hari itu Shinichi akan pulang, namun hasilnya tetap nihil. Keyakinannya mulai surut dengan kemungkinan Shinichi masih hidup, sebagian dirinya tahu harus menerima kenyataan kematian Shinichi tapi tetap saja ada setitik kecil di hatinya yang masih meyakini Shinichi sedang berada di suatu tempat dan mungkin sedang memerlukan pertolongan.

Yukiko sudah bolak-balik untuk menceramahinya agar tetap tabah menjalani hidup. Para tamu juga sudah tidak berdatangan lagi. Yuichi sesekali menjenguknya, bocah itu kini lebih sering mengerjakan PR ditemani oleh Yusaku. Melihat kondisinya yang mengkhawatirkan, Yusaku dan Yukiko memutuskan untuk menetap di Jepang sampai semua keadaannya stabil.

Kemudian Shiho akhirnya sampai pada titik itu. Titik di mana logikanya kembali bekerja dan pikirannya mulai jernih. Ia akhirnya bersedia makan dengan normal agar staminanya pulih. Bila tidak ada yang memercayainya, maka ia harus berusaha sendiri untuk membuktikan Shinichi masih hidup. Mungkin sebagian besar orang akan menganggapnya gila dan putus asa, tapi Shiho tak peduli. Sebagai partner dan istri seorang detektif, ia sudah terlatih untuk memercayai instingnya sendiri. Hal itu juga yang selalu diajari oleh Shinichi kepadanya. Shiho akan menguji firasatnya sebagai istri mengenai keberadaan suaminya, belahan jiwanya.

Shiho melihat kalender dan baru menyadari ternyata ia sudah berminggu-minggu mengurung diri. Ia telah membuang banyak waktu. Lalu tanpa menunda lagi, ia mengumpulkan data-data dari kasus terakhir yang tengah ditangani Shinichi. Ia mempelajarinya dan berusaha berpikir seperti Shinichi. Mungkin ada keganjilan dan detail yang terlewatkan.

Ayo berpikirlah Shiho... Bayangkan kau adalah Shinichi... Shiho memacu dirinya sendiri.

"Okasan?" panggil Yuichi tiba-tiba.

Shiho menoleh, tidak sadar kapan putranya masuk, "Kau mau apa Yuichi?"

"Okasan sedang apa?" tanya Yuichi memandangi dokumen yang bertebaran di ranjang dan juga laptop ayahnya yang terbuka.

"Hanya mempelajari kasus," jawab Shiho.

Yuichi melirik salah satu data, "Itu kasus terakhir yang sedang diselidiki Otosan kan? Perusahaan trading yang diduga melakukan pencucian uang?"

"Eh," Shiho mengangguk, "Okasan penasaran, sepertinya ada sesuatu yang tidak beres di sini karena itu Okasan ingin memeriksanya,"

"Okasan masih yakin Otosan masih hidup?"

Shiho memejamkan matanya, "Kalaupun benar dia sudah meninggal, paling tidak kita harus menemukan pelakunya. Orang yang telah membuat Otosan seperti itu,"

"Aku bantu ya Okasan?"

"Tapi Yuichi..." Shiho ingin memarahinya agar tidak ikut campur urusan orang dewasa namun kemudian ia tertegun. Yuichi sangat pintar seperti Shinichi, mungkin dua kepala akan lebih baik daripada dirinya seorang diri.

"Boleh ya?" Yuichi meminta penuh harap.

"Baiklah, kita akan menjadi partner,"

"Hai," sahut Yuichi semangat.

.

.

.

.

.

Shiho kini tengah merenung seraya bertopang dagu di tepi dermaga di mana tubuh Shinichi ditemukan. Selain bercak hitam di aspal yang merupakan bekas darah Shinichi yang diduga dipukul, Shiho belum menemukan keanehan lainnya.

"Okasan lihat ini," Yuichi mendadak memanggilnya.

"Nani?" Shiho menghampirinya.

Yuichi menunjukkan tiang kayu di pinggir dermaga, "Ada bekas tali lain di sini dan sepertinya belum begitu lama,"

Shiho memeriksa yang ditunjuk Yuichi. Benar juga. Ada bekas simpulan lain di luar tali-tali yang mengikat tiang dermaga. Bekas simpulan itu terlihat masih baru.

"Di sana juga ada," Yuichi menunjuk tiang yang satu lagi.

Shiho mengeceknya juga dan memang benar ada. Ketinggian bekas simpulan itu juga sama persis. Apa maksudnya?

"Mereka tidak menyetting pedal gasnya untuk langsung tenggelam ke laut," kata sebuah suara yang mendekati mereka.

Shiho dan Yuichi menoleh.

"Hakuba Ojisan!" panggil Yuichi riang.

"Halo Yuichi-Kun!" Hakuba menepuk lunak kepala Yuichi.

"Kenapa kau bisa di sini Kuba-Kun?" tanya Shiho.

"Aku mendapat tugas untuk menangani kasus terakhir Kudo-Kun," jawab Hakuba.

"Oh begitu,"

"Aku turut berduka Shiho," ucap Hakuba prihatin.

"Simpan saja, sampai aku memastikan Shinichi benar-benar meninggal,"

Hakuba mengerjap, "Eh? Kau yakin Shinichi masih hidup?"

"Aku memeriksa jasadnya dengan mata kepalaku sendiri, aku merasa itu bukan tubuhnya,"

"Nani?" Hakuba tampak takjub dengan keberanian Shiho. Walaupun dia dokter dan ilmuwan, namun memeriksa jasad hancur suami sendiri tetaplah bukan hal yang mudah.

"Wajahnya yang rusak menjadi keraguanku. Maksudku, kau tahu Kudo Shinichi begitu terkenal. Kalaupun musuh berhasil membunuhnya, apa menurutmu mereka akan membuatnya bias seperti itu? Membunuh Shinichi merupakan prestasi, mereka pasti akan memamerkannya dengan bangga," jelas Shiho.

Hakuba seperti mendapatkan AHA momentnya, "Masuk akal Shiho. Sangat masuk akal,"

"Mungkin saja itu tubuh lain yang dipakaikan baju Shinichi tapi, mereka sepertinya lupa memindahkan cincin pernikahan kami,"

"Cincin itu bisa saja hilang saat tenggelam di laut,"

"Memang, tapi tak ada bekas cincin di jari manisnya. Shinichi tak pernah melepaskan cincin itu, seperti halnya diriku. Sehingga ada bekas putih di jari manis kami,"

Hakuba bertopang dagu untuk berpikir.

"Tubuhnya terlalu sempurna, sementara Shinichi pernah tertembak di perut kirinya sewaktu masih menjadi Edogawa Conan. Seharusnya ada bekas putih jahitan di sana. Lututnya juga pernah terkilir, tapi aku tidak menemukan bekas pergeseran sendi di jenasah itu,"

Hakuba melongo, "Kau benar-benar memeriksanya hingga seteliti itu Shiho?"

"Eh," Shiho mengangguk, "Masalahnya, aku tak mengerti bagaimana hasil tes DNA itu bisa menunjukkan bahwa jenasah itu Shinichi? Bagaimana mereka memanipulasinya?"

"Bisa jadi ada orang dalam kepolisian atau tim forensik,"

"Itu juga yang kutakutkan. Aku telah mengumpulkan data-data kasus terakhir Shinichi. Ternyata kasusnya tidak sederhana, ada orang-orang besar berpengaruh bermain di dalamnya,"

"Aku juga sedang menyelidikinya. Mereka melakukan pengalihan dengan membuat ancaman bom di Osaka, tapi mereka malah meledakkan gedung mereka sendiri untuk menghilangkan bukti-bukti yang mungkin masih tersimpan di sana. Server semua hancur, tidak ada data transaksi yang bisa diselamatkan lagi,"

"Ck, kalau memang sudah begitu, dengan data yang sudah hancur, kenapa mereka masih mengincar Shinichi? Apa yang telah ditemukan Shinichi sehingga mereka merasa terintimidasi?"

"Aku juga sudah memeriksa mobil yang digunakan untuk mengikat Shinichi. Mobil itu hanya mobil sewaan atas nama Hirota Minami. Tapi ketika Inspektur Megure menangkap dan menginterogasinya, ia bersumpah tidak pernah melakukan transaksi penyewaan itu. Berulang kali dia berteriak ada yang menyabotase datanya. Cukup masuk akal mengingat Hirota hanya bekerja sebagai cleaning service, mustahil mampu menyewa mobil sedan yang bagus,"

"Berarti mereka memilik hacker canggih,"

"Eh. Lalu jika aku melihat bekas simpulan baru yang tadi ditemukan Yuichi, dugaanku mobil itu sengaja tidak dibuat langsung tenggelam"

"Inspektur Megure sempat bilang pedal gasnya disetting,"

"Tapi tidak ditemukan pengganjalnya. Lagipula jika begitu keadaannya mobil itu bisa tenggelam terlalu jauh dan tali penahan mobil akan putus. Mereka tampaknya membuat simpulan kendor yang akan lepas sendiri setelah beberapa waktu. Mereka telah mencocokan waktu dengan bongkaran container sehingga..."

"Mobil dan jasad itu dapat ditemukan,"

"Benar,"

Shiho mendesah, "Aku muak dengan segala konspirasi ini,"

"Kita bisa bertukar data, aku akan membantumu menyelidiki ini Shiho. Mungkin saja benar bahwa Kudo-Kun masih hidup,"

"Arigatou Kuba-Kun... Hanya saja aku cemas jika benar Shinichi masih hidup, sekarang dia di mana? Apakah dalam bahaya? Ugh..." tiba-tiba Shiho mengeluh seraya memegang keningnya.

"Okasan!" Yuichi menatap ibunya khawatir.

"Shiho!" Hakuba menahan tubuh Shiho yang sedikit terhuyung.

"Aku tidak apa-apa," gumam Shiho seraya memijit-mijit keningnya sendiri.

"Sakit dinginmu kambuh?"

Shiho menggeleng, "Mungkin hanya darah rendah,"

"Sebaiknya kuantar kau ke dokter,"

Shiho mengangguk dan membiarkan Hakuba menuntunnya ke mobil.

"Anda hamil enam minggu Kudo-San," dokter memberitahu beberapa saat lalu.

Kini Shiho berjalan murung di koridor setelah keluar dari ruangan dokter. Hakuba berjalan di sisinya sementara Yuichi mengekornya di sisi yang lain. Sebulanan ini ia begitu tertekan dan kalut sehingga tidak memerhatikan siklus bulanannya. Ia juga tak ingat kapan terakhir kali meminum pil KBnya. Tak lama setelah ia bercinta terakhir dengan Shinichi, kabar buruk itu datang. Shiho sepertinya memang lupa meminumnya.

"Shiho..." Hakuba memanggilnya dengan cemas. Wajah Shiho tidak terlihat bahagia selayaknya wanita yang mengetahui kehamilannya. Namun ia memang tidak menyalahkannya karena Shiho masih berduka.

Kepala Shiho tertunduk dengan mata berkaca-kaca, tangannya terkepal erat, "Shinichi... Dia selalu meminta agar kami menambah anak..."

Hakuba terdiam.

"Aku menolaknya... Dan kini ketika calon bayinya muncul... Dia tidak ada..." air mata Shiho mengalir.

Hakuba tampak sedih melihat deritanya.

"Seharusnya... Seharusnya aku memenuhi permintaannya dari awal... Ketika dia masih ada..." Shiho terpuruk di lantai, menangis seraya menutup wajah dengan kedua tangannya.

"Shiho!" Hakuba merengkuh bahunya.

"Okasan!"

"Detektif bodoh itu! Kenapa dia tidak pulang kalau memang masih hidup! Apa dia menelan APTX lagi?!" isak Shiho. Kini ia bisa mengerti bagaimana perasaan Ran sewaktu menanti Shinichi yang mengecil. Sekarang apakah ia telah terkena karma? Karena merebut Shinichi dari Ran?

"Tenangkan dirimu Shiho," pinta Hakuba.

"Okasan..." panggil Yuichi.

Shiho menurunkan tangannya untuk menatap putranya.

Dengan tangan mungilnya, Yuichi menyentuh wajah ibunya seraya berujar, "Jangan sedih, aku akan menggantikan Otosan untuk menjaga Okasan dan Aka-Chan..."

Shiho memeluk putranya erat-erat, "Gomene Yuichi... Gomene..." ia malu karena putranya lebih tabah dan tegar daripada dirinya. Yuichi mewarisi sifat ayahnya.

.

.

.

.

.

Byuurr! Seseorang menyiramnya dengan air dingin.

Shinichi tersentak bangun dan terbatuk-batuk. Ia duduk di kursi dan tangannya terikat ke belakang, kedua kakinya juga diikat ke kaki kursi. Kemeja putihnya basah kuyup dan warnanya keruh karena telah ternoda oleh darah. Mata kanannya luka parah hingga menutup, hanya tersisa mata kirinya saja untuk melihat.

Seorang pria menarik kursi dan duduk di hadapan Shinichi. Ia menatap Shinihi seraya menyeringai kejam.

"Bunuh aku..." gumam Shinichi terengah-engah.

"Kelak kau akan kami bunuh, tapi ada yang lebih menyakitkan dibanding kematian..." ujar Kenji Masaru. Orang suruhan dari dalang di balik semua ini.

Kenji meraih sesuatu dari saku jasnya dan menunjukkannya pada Shinichi.

Shinichi mengernyit tak mengerti.

"Kau sudah dinyatakan meninggal, ini adalah foto pemakamanmu dan nisanmu..."

"Tidak... Itu tidak mungkin..." rintih Shinichi.

"Kami telah mengaturnya, seorang jenasah yang dikira dirimu. Bentuk, ukuran tinggi dan berat semua sama denganmu. Hanya wajahnya sudah kami hancurkan,"

"Tes DNA seharusnya membuktikannya..."

"Kami juga sudah mengaturnya, ada orang dalam yang memalsukannya,"

Tidak... Itu tidak mungkin... Shiho pasti akan tahu itu bukan diriku... batin Shinichi.

"Dan satu hadiah lagi," Kenji menunjukkan foto Shiho dan Hakuba saat di dermaga. Di foto itu tampak Hakuba sedang menuntun Shiho ke mobil. Fotografernya sangat ahli, sengaja mengambil sudut pandang yang tidak menampakkan keberadaan Yuichi di sana, jadi seolah Shiho dan Hakuba hanya berdua saja, "Cinta lama yang bersemi kembali,"

Shinichi menggertakan rahangnya.

"Tampaknya istrimu tidak merasa kehilangan akan kematian suaminya, dengan cepat ia menemukan penggantinya yang jauh lebih baik darimu,"

"Aku percaya pada Shiho!" teriak Shinichi.

"Kita lihat saja sejauh mana kepercayaanmu akan bertahan..."

"Apa yang sebenarnya kau inginkan?!" Shinichi menggeram.

"Kau harus tanyakan hal itu pada bosku. Dia yang sangat ingin menghancurkan dirimu bukan aku. Meski secara pribadi kita tidak ada masalah, tapi aku muak saja melihat gayamu di TV," ujar Kenji seraya bangkit berdiri, "Tak perlu khawatir, aku akan terus update perkembangan hubungan istrimu dengan kekasih barunya," kata Kenji tajam sebelum berbalik pergi meninggalkan ruangan.

"Sial!" umpat Shinichi. Kemudian ia termenung. Shiho... Shiho tidak mungkin berkencan dengan Hakuba. Shiho sangat mencintainya. Mungkin saja Shiho dan Hakuba sedang menyelidiki kematiannya. Shinichi berdoa dalam hati, berharap Shiho tahu dirinya masih hidup. Shiho wanita cerdas, ia pasti tahu.

Aku percaya padamu Shiho...

Lima bulan kemudian...

"Gomene Shiho-Chan. Okasan tidak bisa ikut menemani check up kandungan. Yuichi masih demam dan Yu-Chan menghilang entah ke mana," kata Yukiko tak enak hati.

"Tidak apa-apa Okasan. Aku bisa pergi sendiri, maaf merepotkan Okasan untuk menjaga Yuichi," kata Shiho.

"Sama sekali tidak repot. Tapi Okasan tidak tenang membiarkanmu pergi sendiri. Apa tidak sebaiknya minta Hakase mengantar saja?"

"Hakase sedang ada seminar,"

"Masumi?"

"Masumi sudah cukup kelabakan menangani agensi sejak Shinichi tidak ada. Aku tidak mau membuatnya repot lagi,"

"Sumimasen..." mendadak Hakuba muncul.

"Kuba-Kun?" Shiho menatapnya, "Ada apa?"

"Anoo... ada beberapa perkembangan penyelidikan yang ingin kubahas. Kau sepertinya mau pergi ya?" tanya Hakuba.

"Ahhh! Kebetulan sekali!" Yukiko memekik, "Bagaimana kalau kau diantar Hakuba saja, Shiho-Chan? Aku bisa lebih tenang,"

Hakuba mengerjap, "Eh? Ke mana?"

"Ke rumah sakit, sudah waktunya Shiho check up kandungan. Masalahnya aku harus menjaga Yuichi yang sedang demam. Yu-Chan dan Hakase tidak ada lalu Masumi..."

"Tidak masalah Yukiko-San. Aku akan mengantarnya," kata Hakuba.

"Kuba-Kun, merepotkanmu saja," kata Shiho tak enak hati.

"Tidak apa-apa, kita bisa sekalian membahasnya sambil jalan," ujar Hakuba.

"Tolong ya Hakuba-Kun. Tolong jaga Shiho," pinta Yukiko seraya mengatupkan kedua telapak tangannya.

"Dengan senang hati Yukiko-San,"

Akhirnya Hakuba mengantar Shiho ke rumah sakit. Sementara Shiho tenggelam dalam plot-plot konspirasi kasus Shinichi. Hakuba memikirkan hal lain. Betapa ia membayangkan, jika dulu mereka menikah, ia juga akan mengalami hal ini. Mengantar Shiho check kandungan ke rumah sakit. Selama Shiho menemui dokter, Hakuba hanya menunggu di luar di ruang tunggu. Pria itu membayangkan, andaikan ia suaminya, pasti seru rasanya memandang monitor USG bersama.

"Isamu Yamagata?" Shiho mengernyit.

Saat itu Hakuba dan Shiho berhenti di sebuah kafe untuk makan siang bersama sambil bertukar data mengenai kasus terakhir Shinichi.

"Eh," Hakuba mengangguk, "Meski masih belum ada buktinya, tapi semuanya mengarah ke sana. Hal ini berhubungan dengan kampanye Isamu Yamagata. Kandidat terkuat calon perdana menteri baru,"

"Agak menarik sebenarnya,"

"Nani?"

Shiho mengeluarkan HP nya, "Hakase telah membongkar simcard lama dari HP Shinichi yang ditemukan di mobil itu dan ada rekaman suaranya,"

Kehebatanmu telah membuatmu menjadi lancang, Kudo Shinichi... Shiho memutar rekaman itu dari HP nya untuk didengar Hakuba.

Hakuba tersentak, "Suara Isamu Yamagata,"

"Eh," Shiho mengangguk, "Tapi ini masih belum cukup kuat dijadikan bukti. Aku masih berusaha mencari jejak digital transaksi itu,"

"Apa bisa? Dengan server yang sudah hancur?"

"Selama enkripsi tersebut sudah mengudara, jejak digital akan selalu ada. Hanya saja perlu beberapa waktu bagiku untuk menelusurinya,"

Hakuba tersenyum, "Kau memang cerdas seperti biasa,"

Shiho menyeruput tehnya dengan tenang.

"Aku seperti bernostalgia sewaktu kita menjadi partner dulu," kata Hakuba dengan wajah merona.

"Eh?" Shiho memandangnya.

Tangan Hakuba tiba-tiba menangkup tangan Shiho di atas meja.

Shiho tertegun.

"Seandainya waktu itu kita menikah, pasti saat ini kita sudah menjadi partner yang hebat. Mungkin saat ini anak yang sedang kau kandung adalah anakku,"

Shiho menarik tangannya lepas dengan tegas, "Hentikan Kuba-Kun,"

Hakuba tersentak.

"Aku sudah istri orang lain. Tidak pantas mengungkit dan membicarakan hal ini," Shiho mengingatkan dengan tajam.

Hakuba langsung tidak enak hati, "Gomene Shiho... Aku tidak bermaksud..."

"Jika sudah tidak ada lagi yang dibahas, sebaiknya kau antar aku pulang. Saling berkabar saja kalau ada perkembangan lebih lanjut,"

"Oke oke baiklah,"

Hari sudah menjelang sore ketika Shiho sampai di rumah. Saat memasuki ruang tamu, Yusaku dan Yukiko sudah menunggunya.

"Shiho, bisa bicara sebentar?" tanya Yusaku.

"Eh," Shiho mengangguk lalu duduk di sofa seberang mertuanya.

"Akhir-akhir ini tampaknya kau sering berhubungan dengan Hakuba-Kun," kata Yusaku.

"Kami hanya teman, Otosan. Harap jangan salah paham. Kuba-Kun sekarang ditugaskan untuk menangani kasus terakhir Shinichi. Aku membantunya karena aku juga ingin tahu. Kematian Shinichi masih banyak pertanyaan," jelas Shiho.

"Aku tidak meragukan kesetiaanmu pada Shinichi, Shiho. Tapi, bukankah sudah saatnya kau menerima kenyataan bahwa Shinichi sudah meninggal?" lanjut Yusaku.

"Aku tetap tidak merasa tubuh yang dibakar itu adalah tubuh Shinichi," gumam Shiho lalu memandang Yusaku, "Otosan, kau juga memiliki deduksi yang tajam, bahkan melebihi Shinichi. Apakah kau tak merasakannya juga? Tubuh itu tubuh orang lain. Shinichi mungkin saja masih hidup entah di mana dan memerlukan pertolongan,"

"Shinichi sangat cerdas, kalau memang dia masih hidup dia pasti akan segera kembali. Tapi ini sudah enam bulan sejak kematiannya. Apa kau kira dia memerlukan waktu selama itu untuk kembali? Dengan kecerdikan yang dia miliki? Kau harus mengakuinya Shiho, dia sudah meninggal,"

"Biarkan aku tetap menyelidikinya Otosan," pinta Shiho.

"Lalu bagaimana jika hasilnya yang dimakamkan kemarin adalah benar Shinichi?"

Shiho menunduk, "Aku akan menerimanya, paling tidak, aku harus mengetahui siapa dalang dibalik pembunuhan ini,"

Yusaku mendesah, "Baiklah, terserah kau saja kalau begitu,"

"Aku ingin melihat Yuichi," kata Shiho seraya ingin beranjak.

"Ano Shiho-Chan," Yukiko mencegahnya, "Masih ada satu hal lagi yang ingin kami bicarakan,"

Shiho duduk lagi menatap mertuanya.

"Shiho," Yukiko memulai dengan hati-hati, "Okasan mengerti, kau masih muda. Jika nanti hasil penyelidikan ini berhasil meyakinkanmu bahwa Shinichi sudah meninggal, kau tetap harus menjalani hidupmu. Hakuba pria yang baik, kami bisa melihat dia masih mencintaimu. Dia juga akrab dengan Yuichi. Kami tidak keberatan jika kalian..."

"Tidak!" Shiho menyahut tegas.

"Eh?" Yukiko tersentak.

"Aku takkan pernah menikahinya," kata Shiho dingin.

"Shiho..."

"Aku takkan pernah menikahi Hakuba maupun pria lain dalam keadaan Shinichi masih hidup ataupun sudah meninggal," Shiho menegaskan.

Yusaku dan Yukiko terjebak antara kagum dan prihatin.

"Sampai aku mati, aku akan menyandang marga Kudo. Kudo Shiho istri Kudo Shinichi. Aku tak ingin kehilangan wajahku ketika bertemu Shinichi di akhirat nanti," ujar Shiho seraya bangkit berdiri.

"Shiho..." Yukiko merajuk.

"Aku hargai perhatian Otosan dan Okasan padaku. Tapi aku tetap pada keputusanku. Selamanya aku adalah istri Shinichi," Shiho pun berlalu menaiki tangga.

.

.

.

.

.

Untunglah ruangan kayu itu tak ada cermin, Shinichi sendiri tak berani membayangkan wajahnya sekarang seperti apa. Rambut gondrong awut-awutan dan wajah belum bercukur. Tubuhnya mulai beraroma busuk. Para penjaga itu menghajarnya hingga ada luka menganga di pipi kanannya di bawah matanya yang menutup. Sehari dua kali para penjaga menjejalkan makanan. Meski rasanya mungkin tak karuan, Shinichi terpaksa menelannya demi bertahan hidup. Ia punya alasan kuat untuk hidup, walaupun Kenji terus-menerus mencekokinya dengan foto Shiho bersama Hakuba Saguru.

Mendadak pintu terbuka dan Kenji masuk ke dalamnya. Ia duduk di kursi di hadapan Shinichi. Ia tampak senang melihat keadaan Shinichi bagai hidup dan mati. Ia berharap berhasil membuatnya gila perlahan-lahan.

"Aku punya kabar terbaru," kata Kenji seraya mengeluarkan foto terbaru Shiho dan Hakuba. Foto Hakuba yang menangkup tangan Shiho di sebuah kafe.

Shinichi mengernyit menatapnya.

"Mereka semakin intim dan ada sesuatu yang menarik kali ini," Kenji mengeluarkan HP nya dan memperdengarkan sebuah rekaman.

Mungkin saat ini anak yang sedang kau kandung adalah anakku...

Shinichi terhenyak. Itu suara Hakuba. Apa yang terjadi? Anak?

"Istrimu sedang mengandung dan kemungkinan anak Hakuba Saguru," gumam Kenji.

"Tidak! Itu tidak mungkin!" pekik Shinichi. Shiho takkan mengkhianatinya.

"Kau sudah mati Kudo Shinichi. Kau tak dibutuhkan lagi di dunia ini," Kenji tertawa kejam seraya keluar dari ruangan.

Shinichi geram. Ia semakin mempercepat gerakannya. Sudah sejak lama Shinichi mematahkan kaca arlojinya untuk memotong tali. Tentu saja tidak mudah. Kaca itu cuma kaca kecil, nyaris mustahil memotong tali yang tebal. Namun Shinichi tak mau putus asa, secuil apapun harapan akan dilakukannya demi kembali kepada keluarganya.

Tolonglah! Tolonglah! Gumam Shinichi seraya terus menggesek kacanya pada tali. Berbulan-bulan sedikit demi sedikit tali itu berhasil menipis.

Shinichi merasakan ikatannya mulai mengendor, ia dapat melepaskannya dalam sekali hentakan, tapi ia menunggu hingga tengah malam.

Penjaga pondok itu ada empat orang termasuk Kenji. Shinichi pernah mendengar percakapan mereka, bahwa sekarang mereka berada di wilayah terpencil Prefektur Tokushima. Bukan tempat yang terlalu menarik. Mungkin pemandangan gunung dan hutannya luar biasa, namun tinggal berbulan-bulan di sini, para penjaga itu mulai merasakan kebosanan, menjaga tawanan yang tak mungkin lolos. Semakin lama mereka semakin malas dan lengah. Mereka mabuk-mabukan sampai pulas hingga besok siang.

Shinichi menyentak lepas ikatan di pergelangan tangannya. Lalu ia membungkuk untuk melepaskan ikatan di kakinya. Ia mencoba berdiri, kakinya agak gemetar karena kaku terlalu lama diikat. Ia juga merenggangkan sedikit otot-otot tubuhnya sebelum mulai mengendap-endap pergi. Shinichi menyelipkan setumpuk koran melalui bawah pintu. Ia mencongkel lobang pintu hingga anak kuncinya jatuh di atas permukaan koran. Ia menarik kembali koran tersebut dan mendapatkan anak kuncinya. Dengan mudah ia membuka kunci dan memutar engsel. Keempat penjaganya puas molor di ruang tamu yang sempit dengan liurnya mengalir ke mana-mana. Tanpa suara Shinichi pergi meninggalkan mereka.

Terlalu lama dikurung, membuat fisiknya lemah dan mudah lelah. Shinichi tak bisa berlari jauh. Terengah-engah ia berjalan melalui hutan-hutan menuju cahaya di pedesaan. Ia harus meraih rumah sakit untuk mengobati luka-lukanya setelah itu meminta pihak rumah sakit menghubungi polisi. Tapi Shinichi tak tahu di desa ini ada rumah sakit atau tidak. Shinichi terus berjalan, matanya semakin lama semakin berkunang-kunang. Akhirnya ia berhasil menemukan sebuah bangunan putih. Bukan rumah sakit besar, hanya klinik kecil, namun sepertinya hal itu cukup. Ia tak mampu bicara lagi, tubuhnya terhuyung, kesadarannya hilang dan tubuhnya terpuruk di depan pintu klinik. Dokter yang berjaga kaget, ia dan seorang suster akhirnya membawa Shinichi ke dalam.

"Bagaimana keadaannya Sensei?" tanya perawat pada seorang dokter.

"Peralatan di sini tidak cukup memadai. Aku hanya bisa menjahit luka di pipinya sebisanya. Mengenai mata kanannya, harus dilakukan penyeriksaan menyeluruh di rumah sakit besar dengan peralatan yang lebih canggih,"

"Lalu sekarang bagaimana?"

"Bersihkan dia dulu dan rawat luka-lukanya. Kasihan, mungkin dia turis atau pendaki yang tersesat digunung selama berminggu-minggu. Setelah dia pulih akan kita tanyai dia,"

"Baik Sensei,"

"Dia kabur!" Kenji berteriak murka.

"Tapi bagaimana bisa?!" teman-temannya tampak terguncang.

"Sial! Cepat cari dia! Tak mungkin dia bisa lari jauh di pulau ini!"

"Tapi cari di mana? Hutan ini sangat luas!"

"Bodoh! Tak mungkin dia di hutan! Pasti dia lari ke desa! Cari ke rumah sakit, klinik, dokter atau semacamnya!"

"Haik!"

Mereka akhirnya mulai kalang kabut mencari Shinichi. Menelusuri desa-desa seraya bertanya-tanya pada penduduk setempat. Tidak banyak orang asing di desa ini. Kalau penduduk desa tidak tahu, berarti mereka belum melihat Shinichi.

Shinichi perlahan membuka mata dan menemukan dirinya terbaring di sebuah ruang perawatan di klinik. Tubuhnya telah bersih, bajunya diganti dengan piyama. Hanya rambut dan wajahnya saja yang belum bercukur.

"Anoo apakah ada yang melihat kawan saya?"

Shinichi mendengar percakapan di luar.

"Kawan kami tersesat di gunung, kami sudah lama mencarinya,"

"Oh apakah orang yang semalam?"

Shinichi menegang. Para penculiknya pasti telah mengetahui pelariannya. Tak begitu banyak tempat untuk melarikan diri di sini. Cepat atau lambat mereka pasti akan menemukannya. Shinichi harus segera bertindak. Ia memaksa dirinya untuk bangkit duduk. Seraya menahan sakit dan pening, Shinichi turun dari tempat tidur dan membuka jendela dan kabur, tepat pada saat dokter dan suster membawa Kenji masuk ke dalam.

"Loh? Tidak ada? Tadi dia masih di sini," suster tampak bingung.

Kenji melihat jendela yang terbuka seraya mengutuk dalam hati. Sial!

Shinichi berlari dan menyelip-nyelip di antara belakang-belakang rumah penduduk lalu memasuki hutan. Mendadak ia melihat seorang anak laki-laki lebih besar sedikit dari Yuichi. Kira-kira usia 10 tahun.

"O-ojisan?" anak itu menatapnya polos tampak bingung.

"Cari dia ke sana!" terdengar suara orang-orang yang mencarinya.

"Ssst!" Shinichi menaruh telunjuk di bibirnya lalu menyembunyikan dirinya di balik sebuah pohon besar dan semak-semak lebat.

"Eh cuma anak kecil di sini," kata salah satu penculik.

"Boy ah! Apa kau melihat pria aneh di sekitar sini? Rambutnya gondrong? Wajahnya brewokan?" tanya Kenji.

Bocah itu hanya melongo mengerjap-ngerjap lalu menggeleng pelan, "Tidak... Tidak lihat..."

"Takuuu... Ayo kita cari lagi," ajak Kenji.

Shinichi menghela napas lega ketika melihat kepergian mereka.

"Ojisan sementara di sini saja," kata bocah lelaki yang menyelamatkan Shinichi. Namanya Akio. Bocah itu membawanya ke sebuah gudang, membuka penutup lantai dan menuruni beberapa anak tangga untuk memasuki sebuah bunker.

"Tidak apa-apakah Akio-Chan?" tanya Shinichi.

"Eh," sahut Akio, "Otosan bekerja merantau di Tokyo dan Okasan jarang sekali masuk ke bunker sini karena banyak barang-barang Otosan. Okasan tidak mau menyentuhnya. Aku sering kemari karena ini tempat rahasiaku kalau lagi bosan,"

"Arigatou Akio-Chan," ucap Shinichi penuh rasa terima kasih.

"Ngomong-ngomong Ojisan siapa?"

"Shinichi. Kudo Shinichi,"

Mata Akio membesar, "Ehhh... Kudo Shinichi detektif yang terkenal itu? Bukannya sudah meninggal?"

Shinichi menggeleng, "Aku belum meninggal. Aku diculik dan para penculik itu meletakkan tubuh palsu untuk menjadi Kudo Shinichi yang meninggal,"

"Jahat sekali mereka!" kutuk Akio sebal.

"Eh," Shinichi mengangguk sependapat.

"Lalu apa rencana Ojisan?"

"Kau tahu bagaimana caranya kembali ke Tokyo, Akio-Chan? Selain menggunakan pesawat?" tanya Shinichi.

"Otosan biasanya menggunakan bus sampai Stasiun Osaka. Baru dari sana naik kereta ke Tokyo. Ongkosnya jauh lebih murah,"

"Osaka?" Shinichi langsung teringat Heiji. Mungkin ia memang sebaiknya ke Osaka dahulu.

"Apa Ojisan mau pergi sekarang?"

Shinichi memandang tubuhnya yang masih berantakan, ia takkan dikenali kalau kembali ke Tokyo dalam keadaan seperti ini, "Mungkin ojisan harus berberes-beres sedikit sebelum pergi. Sekalian memastikan pencuri itu berhenti mencari,"

"Kalau begitu Ojisan tinggal saja di sini selama beberapa hari. Aku takkan memberitahu Okasan. Aku akan membawakan makanan, perlengkapan mandi dan pakaian Otosan kemari,"

"Kau baik sekali Akio-Chan,"

"Aku dan Otosan sudah lama mengagumi Ojisan. Lihat!" Akio menunjuk sekelilingnya seraya merentangkan lengannya lebar-lebar.

Shinichi melongo baru menyadari itu semua, jejeran rak-rak yang penuh dengan buku-buku, "Buku misteri?"

Akio terkekeh, "Makanya Okasan tak mau sentuh-sentuh. Okasan tak suka membaca. Aku selalu membaca di sini bersama Otosan. Kami mengagumi Shinichi Ojisan yang sudah seperti Holmesnya Jepang,"

Shinichi tersenyum, merasa hatinya begitu hangat setelah berbulan-bulan terkurung di pondok itu.

"Tapi aku hanya punya kantong tidur, tidak apa-apakah?" tanya Akio tak enak hati.

"Lebih dari cukup,"

"Kalau begitu Ojisan istirahat saja dulu. Aku akan ambil barang-barangnya sebentar ke atas,"

"Sekali lagi terima kasih, Akio-Chan,"

"Dengan senang hati, Shinichi Ojisan,"

"Anooo... Boleh ojisan tanya satu hal?"

"Apa?"

"Apakah ada yang mirip Ojisan di desa ini?"

"Eh?"

.

.

.

.

.

"Kenji-San! Aku melihatnya ada di dermaga!" lapor salah seorang anak buah Kenji.

"Sial! Dia pasti ingin kembali ke Tokyo! Kita harus mendapatkannya!"

Kenji dan anak buahnya memburu Shinichi ke dermaga. Kemudian mereka melihatnya, seorang pria berperawakan seperti Shinichi mengenakan jaket dan topi bisbol. Pria itu mengantungkan kedua tangannya di saku jaketnya. Kenji dan komplotannya melihat pria itu menaiki speedboat. Tak mau ketinggalan, Kenji dan tiga anak buahnya ikut menaiki speedboat.

Mereka melewati bangku demi bangku dari belakang ke depan hingga sampai ke sosok itu. Dengan kasar mereka meletakkan tangan mereka di bahu pria tersebut.

"Kena kau, Kudo Shinichi," kata Kenji puas.

Pria itu menoleh memandang Kenji dengan tatapan polos, "Maaf apa kita saling kenal?" tanyanya.

Kenji dan komplotannya terperangah, pria itu bukan Shinichi. Mereka menoleh kembali ke arah pulau. Sudah terlampau jauh untuk kembali dan mustahil meminta speedboat putar balik saat ini juga. Kenji tertipu.

Sial kau Kudo Shinichi!

"Gomene Akio-Chan, jadi menggunakan tabunganmu untuk membeli tiket bus," kata Shinichi di Stasiun Tokushima. Saat itu dirinya sudah cukuran rapi dan bersih. Hanya menyisakan mata kanan yang masih cedera dan bekas jahitan kasar dari dokter di klinik.

"Tidak apa-apa. Ojisan lebih membutuhkannya," kata Akio tulus.

"Ojisan janji akan mengembalikannya. Setelah semua urusan selesai, aku akan membawa istriku dan Yuichi kemari. Dia pasti senang berteman denganmu,"

"Uhm," Akio mengangguk bersemangat, "Aku akan menunggu,"

"Sampai jumpa Akio-Chan,"

"Sampai juma Shinichi ojisan!"

Setelah melambai untuk terakhir kali, Shinichi menaiki bus. Perlahan-lahan bus berjalan meninggalkan Stasiun Tokushima menuju Stasiun Osaka. Ia sudah menghubungi Heiji untuk menjemputnya di sana. Tentu saja, awalnya Heiji tak percaya. Detektif dari Barat itu menanyakan sejumlah hal yang hanya diketahui oleh Shinichi. Setelah Shinichi menjawabnya dengan tepat, akhirnya Heiji pun yakin dirinya benar-benar Shinichi, dirinya masih hidup. Pandangan Shinichi menerawang melalui jendela memandang barisan pegunungan bukit dan hutan hijau yang indah. Prefektur Tokushima meski di remote area namun sebenarnya sangat menakjubkan. Ia bertekad suatu hari ia akan kembali kemari bersama Shiho dan Yuichi untuk liburan sekaligus memenuhi janjinya pada Akio.

Kurang lebih tiga jam kemudian, bus yang ditumpangi Shinichi memasuki Stasiun Osaka. Shinichi turun dari dalamnya seraya merapatkan topinya. Ia belum siap untuk diketahui public bahwa dirinya masih hidup. Hanya Heiji orang yang dipercayainya untuk saat ini. Kemudian Shinichi melihat bayangan panjang itu mendekatinya.

"Aku benar-benar tak percaya ini," gumam Heiji yang tampak sangat terguncang melihat sahabatnya dari Timur.

"Lama tak bertemu Hattori," balas Shinichi.

Hattori memeluknya sebagai pertanda simpati, "Ayo, kita bicarakan di tempat yang aman,"

Heiji membawa Shinichi ke rumah orang tuanya di Osaka. Di sana Shinichi lebih aman karena ayah Heiji merupakan kepala polisi Osaka yang sangat disegani. Shinichi pun menumpahkan segala yang telah dia alami kepada Heiji.

"Bajingan si Yamagata itu!" Heiji meninju meja.

"Aku tidak punya cukup bukti untuk menjeratnya. HP ku yang sempat merekam suara ancamannya di dermaga mungkin sudah hilang tenggelam di laut," gumam Shinichi murung.

"Lalu kenapa kau menghubungiku? Kenapa kau tidak kembali pada Shiho?"

"Dengan kondisiku sekarang, bagaimana aku kembali?" Shinichi menunjukkan wajahnya.

"Kau kira Shiho dan Yuichi akan mempermasalahkan hal itu?!"

"Sebenarnya ada satu hal lagi," Shinichi meraih kantong dalam saku jaketnya. Lembaran-lembaran foto Shiho dan Hakuba yang dilempar Kenji padanya.

Hattori melihat itu semua, "Pasti ada penjelasan di balik semua ini," katanya tenang. "Sebulan setelah kau dinyatakan meninggal, Hakuba ditunjuk untuk menyelesaikan kasus terakhirmu. Aku sendiri datang ke pemakamanmu, di sana Shiho tidak datang. Masumi bilang kepadaku Shiho tidak bersedia datang karena dia tidak yakin tubuh yang ditemukan adalah tubuhmu. Mungkin saja Shiho tengah menyelidikinya bersama Hakuba,"

"Itu juga yang kuyakini pada awalnya. Sampai akhirnya aku melihat foto Hakuba menggenggam tangan Shiho dan rekaman..." Shinichi menggantungkan kalimatnya.

"Rekaman apa?"

"Rekaman dari HP Kenji. Ada suara Hakuba di sana yang mengatakan, bahwa yang dikandung Shiho mungkin saja anaknya,"

Heiji tampak terguncang.

"Shiho bersikeras tidak mau menambah anak ketika aku memintanya," tambah Shinichi.

"Sepertinya tidak mungkin Kudo! Shiho mencintaimu sejak kalian masih mengecil. Dia sendiri hampir mati demi melindungimu tujuh tahun lalu. Tak mungkin ia mengkhianatimu dengan Hakuba!"

"Ya jika aku masih hidup. Tapi bagaimana kalau aku sudah mati? Shiho bisa saja melihat diriku melalui Hakuba. Yah... Aku tak dapat menyalahkannya kalau begitu..."

Heiji meletakkan tangannya pada dua bahu Shinichi, "Jangan berpikiran negative dulu Kudo. Kita ini detektif, tidak boleh menyimpulkannya dengan sesederhana itu. Lagipula coba kau ingat-ingat lagi, masa-masa yang kau lewati bersama Shiho. Kau tahu sendiri bagaimana tangguhnya Shiho sebagai wanita. Masa iya dia akan mengkhianatimu?"

"Uhm," Shinichi mengangguk.

"Begini saja. Besok kita akan ke Tokyo dan tinggal di hotel untuk sementara. Kita akan mengawasi Shiho dari jauh. Setelah keraguanmu hilang, segeralah pulang,"

"Ide bagus,"

"Sekarang kau istirahatlah,"

"Arigatou Hattori,"

"Haduh aku pusing!" kata Masumi seraya menjambak rambut dengan kedua tangannya.

"Semakin ditelusuri semakin rumit, benar-benar merembet ke banyak pihak," gumam Miwako Sato seraya bertopang dagu.

Siang itu, Masumi, Sato, Shiho dan Hakuba tengah berkumpul di ruang tamu keluarga Kudo untuk membahas penyelidikan pencucian uang Isamu Yamagata.

"Masalahnya hacker yang mungkin menyabotase dan memutarbalikkan hasil pemungutan suara menghilang entah ke mana," gumam Shiho.

"Sebenarnya menghilangnya juga sudah merupakan dugaan kuat ada permainan di balik semua ini, tapi ya kita butuh kesaksiannya," gumam Hakuba.

"Aku butuh kopi," Masumi beranjak ke dapur.

"Cemilannya sudah habis juga, aku akan mengambilkannya lagi," kata Shiho seraya ikut beranjak.

"Aku juga ingin pinjam toilet ya," Sato beranjak juga.

"Silahkan," ujar Shiho.

Tinggal Hakuba sendiri di meja. Mendadak telepon rumah Keluarga Kudo berdering. Hakuba tertegun ragu.

"Angkat saja Kuba-Kun," Shiho berseru dari dapur.

"Eh Baiklah," Hakuba berdiri dan mengangkat telpon, "Moshi moshi..."

Tidak ada jawaban.

"Moshi moshi... rumah Keluarga Kudo di sini," kata Hakuba sekali lagi.

Telpon terputus.

"Aneh..." Hakuba mengernyit.

"Dari siapa?" tanya Shiho yang baru keluar dari dapur seraya membawa setoples biscuit.

Hakuba mengangkat bahu, "Tidak tahu, tidak dijawab,"

"Paling cuma iseng," gumam Shiho tidak terlalu peduli.

"Kopi memang terbaik," Masumi yang baru keluar dari dapur mendesah lega sambil membawa kopinya ke ruang tamu.

"Eh sudah kumpul kembali semua. Ayo lanjut lagi," kata Sato yang baru keluar dari toilet.

"Kok tidak jadi bicara?" tanya Heiji saat melihat Shinichi menutup telponnya. Mereka sudah berada di sebuah hotel di Tokyo.

"Hakuba... Hakuba ada di rumahku. Dia yang menjawab..." gumam Shinichi muram.

Heiji berdecak kesal, "Jangan murung begitu! Bisa saja mereka cuma membahas penyelidikan. Mana mungkin sih Shiho sebodoh itu mau selingkuh terang-terangan di rumahmu? Apalagi ada Hakase di sebelah,"

Shinichi mempertimbangkan kemungkinan itu.

"Sudahlah ayo coba kita lihat dulu ke sana!" ajak Heiji seraya menggamit lengan Shinichi.

"Aduh maaf, aku harus pergi sekarang," kata Hakuba setelah menutup HPnya. "Inspektur Megure memerlukanku di markas kepolisian,"

"Eh, tidak apa-apa. Terima kasih atas bantuanmu Kuba-Kun," ucap Shiho.

Hakuba memandang Sato, "Sato-San, apa kau ingin ikut kembali ke markas?"

"Tidak, aku di sini saja dulu. Nanti Takagi akan menjemputku," jawab Sato.

"Mobilmu memang di mana?" tanya Masumi.

"Di bengkel hehehe..." jawab Sato seraya terkekeh.

"Kalau begitu aku pergi dulu, tak perlu diantar. Sampai nanti," Hakuba melambai ringan sebelum keluar pintu.

"Sampai nanti," sahut Shiho.

Beberapa blok dari rumah keluarga Kudo, Heiji dan Shinichi diam-diam mengintip. Mereka melihat sebuah mobil sedan silver terparkir di depan gerbang rumah. Tak lama kemudian Hakuba keluar dari sana, masuk mobil dan pergi.

"Benar kan dia di rumah," ucap Shinichi lirih.

"Kenapa kau tidak pulang saja sih dan tanya langsung?" Heiji gemas.

"Aku belum siap,"

Heiji mendengus, "Ya sudah begini saja. Aku akan pastikan sekali lagi. Aku akan pura-pura mampir kantormu dan menanyai Masumi, bagaimana?"

"Terserah kau saja,"

Mata Heiji menyipit, "Kau benar-benar tidak seperti Kudo yang biasanya,"

.

.

.

.

.

"Sumimasen!" sapa Heiji yang kental dengan logat Osakanya. Ia berseru melalui celah pintu yang baru setengah dibukanya.

Masumi yang sedang berada di ruangan Shinichi, menoleh, "HEEEH! Hattori Kun!" sambutnya cerah dan riang.

Heiji tersenyum lebar seraya menghampirinya.

"Tumben kau kemari, ada apa?" tanya Masumi.

"Ah ada sedikit kasus saja daerah sini, saat melewati kantor ini aku jadi teringat Kudo-Kun, karena itu aku memutuskan mampir sebentar untuk melihat-lihat," dusta Heiji.

"Oh begitu,"

"Jadi sejak Kudo-Kun meninggal, kau yang menangani agensinya?" tanya Heiji.

"Eh," sahut Masumi, "Habis mau siapa lagi? Tak mungkin Shiho kan? Sementara Yuichi masih kecil,"

"Oh ya, ngomong-ngomong bagaimana keadaan Shiho? Kudengar terakhir kali kau cerita di pemakaman Kudo, dia tidak percaya bahwa yang meninggal itu adalah Kudo,"

"Benar, sampai detik ini, Shiho masih bersikeras tidak percaya Shinichi sudah meninggal. Ia selalu merasa Shinichi-Kun masih hidup entah di mana dan memerlukan bantuan. Yusaku dan Yukiko-San sudah menasehatinya untuk menerima kenyataan dan melanjutkan hidup. Tapi Shiho tidak menghiraukannya, ia terus mencari,"

"Kenapa dia bersikeras begitu? Apa karena terlalu sedih?"

Masumi menggeleng, "Dia memiliki penjelasan masuk akal juga. Shiho memeriksa sendiri jenasah itu. Meski bentuk, ukuran tinggi dan berat sama, Shiho yakin itu bukan Shinichi. Tidak ada bekas putih cincin di jari manisnya. Tidak ada bekas luka tembakan di perutnya dan tidak ada tanda-tanda tulang lututnya pernah bergeser,"

"Kudo, memang pernah tertembak dan terkilir di lutut,"

"Benar sekali,"

"Tapi tes DNA nya?"

"Bisa jadi dipalsukan. Awalnya aku juga mengira Shiho terlalu sedih hingga tidak bisa menerima kenyataan Shinichi meninggal. Tapi setelah aku ikut menyelidiki lebih jauh, aku merasa memang banyak keganjilan. Aku mulai memercayai Shiho,"

"Kau menyelidiki kematian Shinichi?"

"Ya, bukan hanya aku dan Shiho saja. Hakuba-Kun dan Sato-San juga ikut menyelidiki,"

"Hakuba? Si mantan pacar?"

"Eh, sekarang dia yang menangani kasus terakhir Shinichi-Kun,"

"Hmmmm... Ada bau-bau cinta lama bersemi kembali..." Heiji sengaja memancing.

Masumi mendengus, "Andaikan benar begitu... Tapi Shiho bergeming..."

"Eh?"

"Yusaku dan Yukiko-San pernah menasehati Shiho. Dia masih muda, mereka bilang tak keberatan jika Shiho ingin menikah lagi. Terutama Hakuba begitu baik, akrab dengan Yuichi dan masih mencintai Shiho. Mereka menyarankan Shiho untuk menikah dengannya supaya tidak sedih terus menerus,"

"Eh? Sampai begitu? Lalu bagaimana tanggapan Shiho?"

"Sampai mati Shiho tetap ingin bermarga Kudo,"

Heiji tampak lega, "Dia memang wanita luar biasa,"

"Begitulah, karena itu aku bangga menjadi sepupunya," Masumi mendesah, "Hanya saja si Shinichi bodoh itu, tega sekali meninggalkannya dalam kondisi hamil,"

Heiji pura-pura mengerjap, "Shiho hamil lagi? Berapa bulan?"

Masumi menghitung-hitung dengan jarinya, "Hitung saja dari Shinichi meninggal. Sekarang sudah memasuki awal ke sembilan,"

Heiji tampak simpati, "Setidaknya, Shiho tidak akan begitu kesepian karena ia akan punya dua anak. Peninggalan terakhir Kudo,"

"Benar. Hal itu lah yang membuatnya bertahan hingga sejauh ini. Terutama Yuichi, dia benar-benar turunan Shinichi. Anak itu begitu tabah, dia yang lebih banyak menghibur dan menenangkan Shiho,"

"Semoga saja penyelidikan kalian membuahkan hasil,"

"Arigatou,"

"Okasan," Yuichi menghampiri Shiho di kamar.

"Ada apa Yui-Chan?" tanya Shiho.

"Aku menemukan amplop ini tadi di gerbang depan. Tulisannya untuk Okasan," kata Yuichi sambil menyerahkan sebuah amplop putih dengan tangan mungilnya.

"Arigatou Yui-Chan," ujar Shiho seraya menerima amplop itu dan mulai membukanya.

Tak perlu jauh-jauh mencari dalang di balik kematian suamimu, Kudo-San. Dia selalu ada di hadapanmu. Hakuba Saguru...

Tubuh Shiho menegang ketika membaca surat itu. Tangannya bergetar. Yuichi memandangnya dengan bingung.

"Aku tak sekotor itu Shiho. Aku tak mungkin membunuh Shinichi. Meski aku masih mencintaimu, tapi aku menghormati kalian berdua sebagai suami istri," kata Hakuba setelah membaca surat kaleng itu.

Saat ini, Shiho, Hakuba, Miwako Sato, Masumi dan Inspektur Megure sedang berada di sebuah ruang rapat tertutup di markas kepolisian pusat.

"Aku tahu. Aku juga tidak memercayai surat kaleng itu, karena itu aku kemari," kata Shiho.

"Apa kira-kira maksud semua ini?" Inspektur Megure bertopang dagu.

"Surat kaleng itu hanya menandakan, otak dari semua ini diam-diam mengawasiku dan Hakuba," ujar Shiho, "Dia mulai takut dengan perkembangan penyelidikan ini, sehingga dia berusaha menciptakan kesalahpahaman antara aku dan Hakuba. Bahkan mungkin agar Hakuba dibebastugaskan dari menangani kasus ini,"

Semua terkesiap.

"Itu benar, masuk akal" kata Sato.

"Kau lama-lama semakin mirip Shinichi-Kun," gumam Masumi memandang sepupunya.

"Tentu saja," sahut Shiho seraya melipat lengannya, "Dan aku juga akan menggunakan cara yang mungkin akan digunakan oleh Shinichi dalam menghadapi mereka,"

"Eh? Bagaimana?" Inspektur Megure menatapnya.

Shiho memaparkan idenya.

.

.

.

.

.

"Shiho percayalah padaku, aku tidak melakukannya," kata Hakuba yang tak mampu berkelit ketika dua petugas polisi menahannya di pintu depan markas kepolisian.

"Aku tidak menyangka kau sekeji itu Kuba-Kun," kata Shiho dingin, "Padahal kau detektif! Tapi kau membunuh Shinichi!"

"Aku tidak membunuhnya! Aku difinah!" pekik Hakuba.

"Persetan! Semuanya sangat masuk akal! Shinichi mati dan kau berusaha mendekatiku menggunakan alasan kasus terakhir Shinichi! Aku benci padamu Kuba-Kun!" isak Shiho seraya menutup wajah dengan kedua tangannya.

"Tenanglah Shiho," pinta Sato seraya merengkuh bahu Shiho.

"Sampai kau terbukti tidak bersalah, kau akan dibebastugaskan dari semua kasus yang kau tangani Hakuba-Kun," kata Inspektur Megure tegas.

Hakuba terperangah, "Nani?!"

"Bawa dia!" kata Inspektur Megure pada dua petugas polisi.

"Aku akan buktikan aku tidak bersalah!" seru Hakuba sebelum dibawa masuk ke markas.

"Tak apa-apakah kau pergi sendiri Shiho-Chan?" tanya Yukiko.

"Aku baik-baik saja Okasan. Aku pergi dulu, taksi sudah menungguku," kata Shiho.

"Eh hati-hati," pinta Yukiko.

Shiho pun masuk ke dalam taksi.

Tak berapa lama kemudian di perjalanan mendadak ada sebuah motor besar menghadang jalannya taksi. Sopir taksi terpaksa rem mendadak. Sebuah motor lain muncul dari belakang dan memecahkan kaca penumpang. Sopir taksi dibungkan sementara Shiho digeret keluar.

"Siapa kalian?! Mau apa?!" Shiho menggeliat berusaha melepaskan diri.

"Serahkan data itu!" kata seorang pelaku.

"Data apa?"

"Kami tahu kau berhasil meretas transaksinya," salah satunya lagi mengancam Shiho seraya menodongnya dengan pistol.

Mata Shiho menyipit, "Kalian orang suruhan Yamagata?"

"Begitulah," sahut salah satunya.

"Cepat serahkan USB nya!" yang lain mendesak.

Shiho alias Sato langsung menggunakan berat tubuhnya untuk membanting salah satu dari mereka ke tanah dan menimpa yang lainnya. Dalam sekejap Sato berhasil melumpuhkannya dan memborgol mereka.

"Ti-Tidak mungkin... Padahal dia sedang hamil..."

Sato membuka wignya dan mengempiskan perutnya, "Kena kalian!"

Dua pelaku itu terbelalak.

Mobil polisi datang, Takagi dan Hakuba keluar dari dalamnya. Mereka saling bertukar pandang puas dengan ide Shiho.

"Yosh! Aku akan kembali ke markas untuk menginterogasi mereka," kata Inspektur Megure yang berada di rumah keluarga Kudo. Ia baru saja menerima laporan dari Takagi.

"Bagaimana Inspektur?" tanya Shiho.

"Idemu brilian Shiho," kata Inspektur Megure, "Sato sudah menangkapnya, kami akan segera menginterogasi mereka di markas. Semoga ada titik terang dari kasus ini,"

"Eh," Shiho mengangguk penuh harap.

"Nani? Hakuba dibebastugaskan dari kasus itu?" tanya Shinichi mendongak menatap Heiji.

"Begitulah yang kudengar. Hakuba diduga ikut terlibat dalam kasus ini. Dia melenyapkanmu untuk mendekati Shiho," kata Heiji.

Shinichi mengernyit, "Apa iya Hakuba seperti itu?"

"Masuk akal sih dari bagaimana caranya ia mendekati Shiho,"

BRAKKK! Seseorang mendobrak pintu hingga terbuka.

Shinichi dan Heiji terlonjak kaget.

Shinichi menegang melihat sosok itu, "M-Masumi..."

"Sudah kuduga," kata Masumi dingin.

"Maksudmu?" Heiji melongo.

"Aku sengaja mengikutimu," kata Masumi pada Heiji, "Aku sudah curiga sejak kau datang ke agensi menanya-nanyai Shiho. Bahkan kau tampak lega setelah aku mengatakan 'sampai mati Shiho tetap ingin bermarga Kudo.' Kau menyelidiki sesuatu untuk seseorang. Siapa lagi kalau bukan untuk Shinichi,"

Heiji tampak canggung karena tertangkap basah, "Kau lumayan juga,"

Masumi menghampiri Shinichi, tampak marah, "Jadi? Kenapa kau tidak langsung pulang? Kau tidak tahu apa bagaimana Shiho sangat menderita?!"

Shinichi hanya menunduk, tak mampu menjawab.

"Oi oi kau jangan marah dulu. Dengar cerita lengkapnya dulu," bela Heiji, "Kudo juga baru saja lepas dari maut," ia pun menceritakannya dengan cepat.

"Foto? Foto apa sih?" Masumi berkacak pinggang.

Heiji memberikan foto-foto Shiho dan Hakuba. Masumi memeriksanya satu per satu seraya kemudian mendengus.

"Kau detektif hebat masa tertipu dengan foto ini?" Masumi melambai-lambaikan foto itu di hadapan Shinichi.

"Foto itu asli, bukan rekayasa," tunjuk Heiji.

"Memang. Tapi aku bisa menceritakannya, sejak Shinichi dinyatakan meninggal, aku menginap di rumah keluarga Kudo untuk menemani Shiho. Jadi, yang ini," Masumi menunjuk foto di dermaga, "Ini adalah tempat terakhir mayatmu ditemukan. Kau kira Shiho dan Hakuba akan berkencan di tempat ini? Shiho adalah satu-satunya orang di dunia yang tidak percaya kau meninggal. Ia berusaha menyelidikinya dan Hakuba juga diberi tugas untuk menyelidiki kasus terakhirmu. Mereka kebetulan bertemu di TKP di dermaga dan mereka tidak hanya berdua. Yuichi juga ada di dermaga tapi tentu saja, tukang foto sialan itu takkan mengambil gambar Yuichi,

"Hakuba baru ditunjuk menangani kasus itu sebulan setelah kau dinyatakan meninggal. Shiho sendiri baru keluar kamar setelah mengurung diri selama sebulan. Foto ini adalah foto pertama kalinya Shiho dan Hakuba bertemu setelah kau meninggal. Di foto ini, Shiho sudah hamil enam minggu. Sekarang bagaimana caranya anak itu menjadi anak Hakuba? Bodoh!"

"Tapi bagaimana dengan foto di kafe? Hakuba memegang tangannya? Dan suara Hakuba yang mengatakan kemungkinan Shiho mengandung anaknya?" tanya Heiji.

"Rekaman itu tidak lengkap. Shiho menceritakan semuanya padaku. Pada saat mereka bertemu di kafe itu, Hakuba memang sedikit bernostalgia dengan masa lalu. Ia mengatakan kira-kira 'seandainya kita menikah, mungkin sekarang yang sedang kau kandung adalah anakku,'"

Heiji dan Shinichi terkesiap.

"Betapa kalimat yang tidak lengkap memiliki makna berbeda," gumam Heiji.

"Memang. Hakuba memegang tangannya dan Shiho melepasnya, mengingatkannya bahwa ia sudah istri orang lain. Sejak saat itu Shiho tidak ingin berdua saja dengannya. Setiap pembahasan kasus, ia akan mengajakku dan Sato-San,"

"Lalu bagaimana dengan Hakuba menjawab telpon dari rumah?" tanya Heiji lagi.

"Ya memang Hakuba suka ke rumah untuk membahas kasus. Tapi selain Shiho ada aku dan Sato-San. Aku ingat Hakuba memang pernah mengangkat telpon karena saat itu aku dan Shiho sedang di dapur dan Sato-San di toilet, karena itu dia angkat,"

"Di depan rumah hanya ada mobil Hakuba, tidak ada mobil Sato-San," kata Heiji.

"Mobil Sato-San di bengkel, dia dijemput Takagi. Lagipulaaa... Di rumah ada Yusaku dan Yukiko-San. Mereka tidak kembali ke Amerika. Kau kira Shiho gila apa mau selingkuh di depan kedua mertuanya? Walaupun mertuanya sendiri sudah menyuruhnya menikahi Hakuba,"

"Nani?" Shinichi mendongak menatap Masumi, "Otosan dan Okasan melakukan hal itu?"

"Kau tidak cerita padanya?" tanya Masumi pada Heiji.

"Takut dia tambah sakit hati sama orang tuanya," gumam Heiji.

"Yusaku dan Yukiko-San hanya prihatin Shiho menjanda di usia muda. Karena itu mereka meminta Shiho melanjutkan hidup dan menikah dengan Hakuba. Tapi Shiho menolak mentah-mentah. Ia ingin menjadi istri Kudo Shinichi sampai akhir,"

Mata Shinichi berkaca-kaca, "Shiho..."

Masumi berdecak seraya menunduk meraih kerah baju Shinichi, "Intinya kau harus pulang brengsek! Masa kau lebih percaya pada penjahat itu daripada istrimu sendiri!"

"T-Tapi... wajahku..."

"Kau kira Shiho dan Yuichi akan mempermasalahkan wajahmu! Kau aslinya juga sudah jelek!" umpat Masumi.

Heiji mengerjap, "Sadis,"

Mendadak HP Masumi berdering. Masumi melepaskan cengkramannya akan kerah Shinichi untuk menjawab telponnya.

"Moshi... Moshi..." sahut Masumi.

Shinichi dapat mendengar kekalutan suara Yukiko.

"Baik, aku akan segera ke sana!" Masumi menutup telponnya.

"Ada apa?" tanya Shinichi.

"Kita harus ke rumah sakit sekarang! Shiho mau melahirkan!"

.

.

.

.

.

Di rumah sakit, Yusaku, Yukiko, Yuichi, Miwako Sato dan Hakuba sudah berkumpul. Setelah menangkap pelaku, Sato masih ditugaskan untuk menjagai Shiho, kalau-kalau ada pelaku lain yang mengincarnya. Beberapa saat setelah Inspektur Megure meninggalkan rumah keluarga Kudo untuk bertukar tempat dengan Miwako Sato, Shiho mengalami serangan kontraksi.

"Bagaimana keadaan Shiho, Dokter? Apakah bayinya sudah lahir?" tanya Yukiko ketika melihat seorang dokter pria senior keluar dari ruangan.

Dokter tersebut menggeleng, "Untuk ukuran anak kedua, ini sulit sekali. Mungkin nyonya Kudo terlalu tertekan sehingga bayinya juga tidak tenang,"

"Apa bisa diganti operasi?" tanya Sato.

"Tidak mungkin, sudah tanggung," kata Dokter.

"Lalu bagaimana Dokter?" tanya Yukiko cemas.

"Nyonya Kudo terus-menerus memanggil nama Shinichi," Dokter memberitahu.

"Tapi Shinichi-Kun kan sudah..." Miwako Sato tak sanggup melanjutkan.

"Shinichi di sini!" teriak Masumi yang baru tiba dengan napas terengah-engah.

Semua menoleh padanya dan ternganga melihat sosok yang baru datang itu. Shinichi muncul di koridor dengan Heiji menyusul di belakangnya.

"Kudo-Kun?" Sato terperangah.

"Shinichi?" Yusaku dan Yukiko juga kaget.

"Otosan!" teriak Yuichi riang langsung menyerbu ayahnya.

Shinichi menunduk memeluk putranya. Ia sangat merindukan Yuichi.

"Otosan akhirnya pulang," isak Yuichi terharu.

"Gomene Yuichi," Shinichi mengusap-usap belakang kepala Yuichi.

"Selama Otosan tidak ada, aku menjaga Okasan dan Aka-Chan,"

"Yuichi memang anak baik,"

"Shin-Chan..." Yukiko menghampiri putranya.

Shinichi berdiri menghadapi ibunya, "Okasan..."

"Shin-Chan!" Yukiko memeluknya, "Ternyata Shiho benar, kau masih hidup!"

"Eh," Shinichi mengangguk.

"Ayo Shin-Chan, Shiho membutuhkanmu. Masuklah ke dalam," pinta Yukiko seraya mendorong Shinichi.

"Uhm,"

Dokter pun mempersilakan Shinichi masuk.

"Kita coba lagi Shiho-San..." Asisten dokter berkata.

"Aku tak bisa... Aku tak kuat..." rintih Shiho seraya berlinangan air mata.

Mendadak Shiho merasakan ada yang melepaskan tangannya dari pegangan besi, mengaitkan jari-jarinya dan menggenggamnya. Shiho menoleh dan terperangah.

"Shin... Shinichi..." bisiknya.

Shinichi tersenyum, "Aku pulang Shiho..."

Air mata Shiho mengalir lagi, "Ini... Benar kau?"

"Eh" Shinichi mengangguk seraya mengecup kening Shiho. Kemudian ia mengelus perut besar Shiho seraya mendekatkan bibirnya untuk berbisik, "Tenanglah Aka-Chan. Otosan dan Okasan menunggumu di sini," lalu mengecupnya.

"Shinichi..." Shiho merindukannya bukan main. Feelingnya selama ini benar, Shinichi sungguh-sungguh masih hidup.

"Ayo Shiho. Kau pasti bisa..." Shinichi menyemangatinya.

Dokter memberikan aba-aba lagi. Shiho mulai mengejan. Shinichi menggenggam tangannya dengan erat. Shiho merasa ada kekuatan baru mengalir di dalam dirinya dengan Shinichi bersamanya. Ia mengejan lagi dan pecahlah suara tangis bayi itu.

Shinichi menerima bayinya setelah tim medis membersihkannya, kemudian ia membawanya kepada Shiho. Kebahagiaan Shiho terasa lengkap dengan kembalinya suaminya dan kehadiran buah hati mereka yang kedua. Bayi perempuan yang cantik.

"Ojisan!" Yuichi memanggil Hakuba di lobi depan rumah sakit.

Hakuba menoleh, "Yuichi-Kun?"

"Ojisan mau pergi?"

Hakuba berjongkok di hadapannya, "Eh," sahutnya.

"Kembali ke Osaka?"

"Belum. Tidak dalam waktu dekat ini karena masih ada kasus yang harus diselesaikan,"

"Tidak menemui Okasan dulu?"

"Tidak. Sekarang Okasan pasti lebih ingin bersama Otosan,"

"Kita tetap bisa berteman kan Ojisan?"

"Tentu saja," jawab Hakuba seraya tersenyum kemudian menepuk kepala Yuichi, "Sekarang kau seorang oni-chan. Jaga adikmu baik-baik ya,"

"Uhm," Yuichi mengangguk.

"Senang akhirnya kalian berkumpul lagi,"

"Kalau nanti aku ke Osaka, janji ya ajak makan okonomiyaki yang enak,"

Hakuba terkekeh, "Baiklah, ojisan tunggu. Sampai nanti," ia berdiri dan berlalu pergi.

Yuichi memandang punggung Hakuba yang menjauh. Meski masih berusia tujuh tahun, tapi Yuichi mengerti perasaan Hakuba kepada ibunya. Ia berharap dan berdoa dalam hati, semoga suatu hari Hakuba juga akan menemukan belahan jiwanya.

Shiho membuka mata dan melihat Shinichi sedang berdiri di sisi box bayi seraya mengantungkan kedua tangannya ke saku celananya. Saking asiknya memandang bayi mungil itu, Shinichi tidak sadar Shiho sudah bangun.

"Shinichi..." Shiho memanggil.

Shinichi menoleh, "Shiho?" ia menghampirinya dan mengenggam tangan Shiho yang terulur padanya, "Masih sakit?"

"Sedikit saja,"

"Maaf Shiho, aku tidak ada di sisimu selama sembilan bulan ini," ucap Shinichi.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Meski mengerikan, aku bersikeras memeriksa jenasah itu untuk memastikan. Aku tahu itu bukan dirimu. Aku yakin kau masih hidup dan kelak akan pulang, walau kadang aku nyaris putus asa juga menunggumu,"

"Aku akan menceritakannya, sekaligus pengakuan dosa..."

"Eh? Pengakuan dosa?"

Shinichi akhirnya menceritakannya dan ia menunduk malu saat mengaku mencurigai adanya hubungan di antara Shiho dan Hakuba. Sisanya Shinichi hanya menunggu Shiho meledak marah. Namun Shiho hanya menyentuh wajah Shinichi dengan tangan hangatnya.

Shinichi memandangnya, "Kau tidak marah Shiho?"

Shiho menggeleng, matanya berkilauan air mata, "Aku tak dapat membayangkan apa yang kau alami di sana, sehingga kau sampai kehilangan kepercayaan dirimu. Kau bisa saja gila, tapi mengingat kau berusaha bertahan hidup dan kembali, menandakan kau masih menaruh harapanmu padaku. Untuk apa aku marah?"

Shinichi menangkup tangan Shiho yang menyentuh wajahnya, "Aku memang nyaris gila, tapi ya aku sangat ingin kembali. Bertemu denganmu dan Yuichi. Kalaupun... Kalaupun akhirnya kau benar bersama Hakuba... Aku tetap ingin melihatmu..."

"Baka... Apakah aku kelihatan kurang mencintaimu sehingga terbersit pemikiran seperti itu di benakmu? Apa aku harus menambah dosisnya? Dosis untuk mencintaimu?"

"Tidak, aku yang akan menambah dosisku untuk mencintaimu. Kau sudah banyak menderita, aku harus lebih mencintaimu,"

Shiho mendesah, "Sayang sekali, seberapa banyakpun kau tambah dosismu, kau takkan pernah melampauiku. Aku pasti lebih mencintaimu,"

"Shiho..." mata Shinichi berkaca-kaca.

Kemudian jari-jari Shiho menelusuri luka di pipi Shinichi dan mata kanannya yang menutup karena cedera.

"Maaf kalau aku tampak mengerikan," gumam Shinichi.

"Aku tak mengerti dengan dokter di Tokushima. Jahitanku pasti jauh lebih rapi dari itu," Shiho mengecup mata kanan Shinichi dan bekas jahitannya, "Kau tampan Shinichi. Apapun yang terjadi, di mataku kau selalu tampan,"

Shinichi memeluknya, "Arigatou Shiho..." bisiknya.

Shiho tersenyum, "Senang kau kembali Tantei-San,"

Mendadak terdengar tangisan bayi. Mereka berdua otomatis melepaskan diri dan melongok ke arah box bayi di sebelah ranjang.

"Biar kuambilkan dia untukmu," kata Shinichi.

"Eh tolong,"

Shinichi meraih bayi perempuan itu dan membawanya kepada Shiho. Di tangan Shiho, bayi itu langsung tenang. Kali ini fisik anak kedua mereka persis Shiho.

"Aku kira kau tak mau menambah anak," kata Shinichi.

"Kebobolan sebenarnya. Aku begitu frustasi dengan berita kematianmu sehingga aku tidak memerhatikan siklusku dan lupa minum pil. Tapi tidak apa-apa, ini sangat sepadan," Shiho mengecup bayinya.

"Kau sudah memikirkan namanya?"

"Baru saja terpikirkan. Aku ingin memberinya nama Miyuki. Keberuntungan. Dia lahir tepat di saat kau pulang,"

Shinichi tersenyum, "Kudo Miyuki. Aku menyukainya,"

"Terima kasih kepada para undangan yang telah bersedia menghadiri pelantikan Perdana Menteri baru Jepang, Isamu Yamagata," seorang pembawa acara berbicara di panggung.

Terdengar tepuk tangan riuh dari para undangan dan jurnalis. Tampak Isamu Yamagata membusungkan dadanya dengan bangga.

"Sebelum mendengar kata-kata sambutan dari Isamu Yamagata, mari kita saksikan terlebih dahulu video cuplikan serpak terjang Isamu Yamagata sejak mengawali karirnya di dunia politik hingga mencapai posisi sekarang ini,"

Pembawa acara menyingkir agar para hadirin dan wartawan bisa melihat video di layar besar podium dengan lebih leluasa. Kemudian video itu pun berputar. Namun ada yang salah, yang ditayangkan bukanlah mengenai kehidupan Isamu Yamagata melainkan konspirasi-konspirasinya beserta transaksi pencucian uang. Isamu Yamagata dan hadirin tampak terkesiap.

"Apa-apaan itu? Hentikan semua ini!" seru Isamu.

"Kau tidak bisa mengelak lagi Yamagata-San," kata Hakuba dingin seraya berjalan ke tengah ruangan. Seluruh pasang mata dan sorot kamera kini mengarah padanya.

Isamu mengernyit, "Kau? Bukannya kau..."

"Ditahan polisi? Sama sekali tidak," kata Hakuba dengan senyum kemenangan, "Aku bersahabat baik dengan Kudo-Kun dan istrinya, apa kau kira surat kalengmu bisa memecah belah kami? Penahananku hanya sandiwara dan dua anak buahmu telah mengakuinya. Kau melakukan transaksi pencucian uang di perusahaan Akita Trading untuk mendanai kampanyemu. Namun itu tidak cukup karena sebenarnya kau tidak memenangkan hasil pemilu. Kau menyewa seorang hacker canggih untuk memutarbalikkan hasilnya sehingga kau tampak memenangkan pemilu ini,"

Terdengar suara gemuruh para hadirin.

"Kau mengirimkan padaku surat ancaman bom di KTT Osaka untuk mengarahkan pasukan polisi ke sana sehingga Tokyo mengalami kekosongan penjagaan. Tapi sebenarnya bom itu ditujukan di kantor Akita Trading untuk menghancurkan bukti-bukti yang ada di server. Tapi untunglah jejak digital di udara masih dapat diterjemahkan enkripsinya. Partnerku Kudo Shiho berhasil melacaknya dan yang ada di monitor itu adalah bukti-bukti transaksi ilegalmu,"

Isamu Yamagata mengepalkan kedua tangannya.

"Rekan sejawatku Kudo Shinichi mengetahui perihal ini lebih dulu, mengenai rekayasa hasil pemilu. Dia juga tahu kau berencana melenyapkan hackermu Kazuo Masaki di pelabuhan Tokyo. Untungnya Kudo-Kun berhasil bertemu Kazuo Masaki lebih dulu di pelabuhan dan memintanya bersembunyi di tempat yang aman sampai petunjuk lebih lanjut. Kazuo Masaki berhasil melarikan diri namun sayang kau memergoki Kudo-Kun dan berusaha melenyapkannya,"

"Hmph! Apa kau punya buktinya? Kecuali Kudo Shinichi bangkit kembali?" Isamu mencemooh.

"Eh," Hakuba mengangguk, "Anggap saja aku seperti Hakim Bao, aku sanggup menginterogasi hantu dari neraka,"

Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang mantap, Shinichi muncul dan berjalan ke tengah ruangan. Seluruh hadirin terbelalak melihatnya, belum hilang di ingatan mereka bagaimana kematian Kudo Shinichi begitu tragis. Sekarang mendadak dia muncul di sini segar bugar kecuali hanya bekas luka dan mata kanan yang cedera.

"Senang bertemu kembali, Yamagata-San," kata Shinichi dingin.

"Ka-Kau?! Tidak mungkin!" Isamu murka, Kenji tidak melaporkan apapun padanya.

Seakan mengetahui jalan pikirannya, Shinichi menjelaskan, "Aku berhasil melarikan diri dari kurungan anak buahmu. Aku meminta seseorang yang mirip denganku menaiki speedboat menuju Tokyo. Di sana sudah ada beberapa polisi dari Tokushima. Kenji dan tiga orang anak buahnya ditahan. Melalui jeruji, polisi memintanya untuk terus melapor padamu seolah semuanya baik-baik saja, sambil menunggu instruksi dariku selanjutnya,"

Isamu Yamagata sekarang banjir keringat.

Shinichi melanjutkan, "Kau menggunakan seseorang yang mirip denganku untuk berpura-pura menjadi mayatku. Orang itu adalah salah satu pekerja kebersihan di perusahaanmu. Kau membunuhnya dan merusak wajahnnya untuk menyamarkan dia sebagai diriku. Kau menyuap petugas forensik untuk memalsukan hasil tes DNA sehingga semuanya percaya, aku sudah meninggal,"

Hakuba menambahkan, "Kau menggunakan mobil sewaan untuk mengatur rekayasa kematian itu dengan mencuri data identitas orang lain. Hirota Minami juga merupakan salah satu petugas kebersihan di perusahaanmu. Dia hanya petugas kebersihan dengan gaji kecil, tak mungkin sanggup menyewa mobil sedan tersebut. Dia juga merupakan sahabat baik Shiro Takeda, orang yang kau bunuh untuk menjadi mayat Kudo Shinichi. Hirota Minami menginformasikan Shiro Takeda menghilang misterius, waktu hilangnya bertepatan dengan waktu kematian Kudo Shinichi,"

"Jangan asal menuduh! Kalian tak memiliki bukti!" umpat Isamu Yamagata.

Kehebatanmu telah membuatmu menjadi lancang, Kudo Shinichi... Shinichi memutar rekaman tersebut dari HP nya.

Isamu Yamagata terkesiap.

"Itu adalah suara dari malaikat mautku, Yamagata-San," kata Shinichi tajam, "Dan jika masih belum cukup, aku punya dua bukti lainnya,"

Mendadak muncul dua orang pria. Yang satu adalah petugas forensik yang disuap untuk memalsukan hasil tes DNA Shinichi dan satunya lagi Kazuo Masaki, hacker yang merupakan saksi kunci rekayasa hasil pemilu.

Isamu Yamagata terpuruk di lantai.

"Hukuman seumur hidup mungkin masih tak cukup untuk menebus dosa-dosamu Yamagata-San. Demi ambisimu untuk menjadi perdana menteri kau telah bermain kotor dan mengorbankan banyak nyawa yang tidak bersalah. Kau berusaha menghancurkan aku dan keluargaku. Namun kebenaran akan selalu menang," ujar Shinichi.

Inspektur Megure muncul bersama pasukannya. Mereka memborgol Isamu Yamagata dan menyeretnya ke markas kepolisian.

Kasus itu akhirnya ditutup.

.

.

.

.

.

"Masih takut tidur?" tanya Shiho lembut seraya membelai dahi Shinichi sambil menyibak poninya.

Saat itu Shiho sudah pulang dari rumah sakit. Kini Shinichi tengah menyandarkan wajahnya di pangkuan Shiho dan memeluk pinggulnya. Tempat yang paling nyaman sedunia bagi Shinichi, terutama setelah berbulan-bulan menderita karena dikurung di tempat terpencil.

"Aku akan membiarkan lampunya tetap menyala kalau kau mau," tambah Shiho.

Shinichi hanya menggeliat dan merajuk sedikit.

Shiho tersenyum, memaklumi kemanjaan suaminya. Ia juga suka melihat Shinichi seperti ini, mengingat beberapa waktu lalu suaminya masih dinyatakan meninggal. Kembalinya Shinichi merupakan anugerah, Shiho ingin menghargai segala kedekatannya. Sekarang setelah kebenarannya terungkap, nisan Kudo Shinichi telah diganti menjadi Shiro Takeda.

"Ada aku di sini, kalau kau mengigau, aku akan membangunkanmu. Lagipula kita juga takkan bisa tidur nyenyak karena ada Mi-Chan," Shiho melirik box bayinya di mana Miyuki masih tidur dengan pulas.

"Sebentar lagi," gumam Shinichi seraya meraih tangan Shiho yang membelainya, mengecupnya dan menggenggamnya.

"Nani?"

"Shiho,"

"Uhm?"

"Aku ingin operasi,"

"Eh?"

"Aku ingin melihatmu lagi dengan kedua mataku. Memandangmu secara utuh,"

"Aku akan mendukungmu,"

"Setelah itu, aku ingin memenuhi janjiku pada seseorang,"

"Siapa?"

Enam bulan kemudian...

Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, Shinichi akhirnya dijadwalkan operasi untuk memperbaiki saraf-saraf mata kanannya. Penanganan luka di pipi kanannya juga diperbaiki. Jahitannya dilepas dan digantikan dengan lem fibrin. Meski hasilnya tidak dapat membuat wajah Shinichi menjadi mulus sempurna lagi karena ada sedikit bekas, namun bekas lem fibrin lebih rapi dan tidak begitu mengerikan dengan bekas jahitan yang dibuat oleh dokter di Tokushima.

Shiho menanti dengan harap-harap cemas ketika dokter sedang membuka perban di mata Shinichi perlahan-lahan. Setelah melepaskan kapas terakhir, dokter meminta Shinichi membuka matanya pelan-pelan.

Shinichi agak mengernyit sedikit ketika melihat cahaya. Shiho menahan napasnya. Shinichi mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri sebelum membuka matanya sepenuhnya. Ia langsung memandang wajah Shiho di hadapannya.

"Bagaimana?" tanya Shiho.

Shinichi menangkup wajah istrinya seraya tersenyum, "Sempurna,"

Shiho mendesah lega seraya memeluknya.

Sebulan setelah itu, Shinichi mengajak keluarga kecilnya berlibur ke Prefektur Tokushima. Sekalian untuk memenuhi janjinya pada Akio.

Orang tua Akio tertegun bingung memandang kedatangan Shinichi sekeluarga. Tak menyangka rumah sederhana mereka akan dikunjungi oleh seorang detektif terkenal.

"Eh? Akio melakukan itu? Kami tidak tahu," kata ayah Akio seraya memandang putranya.

Akio hanya terkekeh seraya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Maaf, kami melakukannya tanpa sepengetahuan kalian," kata Shinichi.

"Terima kasih telah menolong Shinichi," tambah Shiho yang memegang Miyuki di pangkuannya.

"Kalau memang begitu adanya, ya sama-sama," kata ibu Akio terkekeh canggung dan polos.

"Tapi sungguh tidak disangka Anda bersedia datang lagi setelah kejadian buruk di sini," kata ayah Akio.

"Sebenarnya di sini sangat indah, ketika aku berhasil kabur aku berpikir untuk kembali lagi mengajak keluarga berlibur," ujar Shinichi.

"Ngomong-ngomong kalian menginap di mana?" tanya ibu Akio.

"Kami menyewa villa di sekitar sini," sahut Shiho.

"Otosan, apa aku boleh memancing ikan?" tanya Yuichi.

"Tentu saja boleh," sahut Shinichi.

"Aku akan mengajarimu, aku bisa memancing," kata Akio.

"Wah asik!" sahut Yuichi senang.

Para orang tua hanya terkekeh melihat dua bocah lelaki yang cepat akrab tersebut.

"Okasan! Mi-Chan ngompol!" seru Yuichi ketika mendapati adiknya ngompol dan membasahi bajunya saat ia sedang memeluknya di sofa untuk sesi foto.

Hari itu tepat Miyuki setahun. Yukiko dan Shiho memutuskan untuk melakukan sesi foto di rumah keluarga Kudo. Foto keluarga dan anak-anak.

"Eh gomene Yui-Chan," kata Shiho seraya mengambil Miyuki dari pangkuannya.

"Sini Yuichi, kau harus ganti baju," Shinichi menggandeng Yuichi untuk membantu membersihkan tubuhnya dan mengganti kostum.

Yuichi dan Miyuki dipakaikan kostum-kostum detektif ala Sherlock Holmes yang lucu-lucu. Sekali dua kali masih oke, tapi lama-lama Yuichi bosan juga kalau harus gonta ganti kostum, belum kalau Miyuki ngompol atau buang kotoran. Yuichi harus dilap lagi dilap lagi dengan handuk basah.

"Okasan sudah dong..." pinta Yuichi.

"Sedikit lagi Yui-Chan," Yukiko lah yang menyahut. Disamping fotografer, ia sendiri ikut foto menggunakan HPnya dengan bersemangat.

Terakhir kali anak-anak itu dipakaikan setelan resmi untuk foto seluruh keluarga bersama. Ketika yang lainnya tersenyum dengan elegan, hanya Yuichi yang tersenyum dengan terpaksa karena sudah terlampau bosan. Foto itu dipajang di atas perapian di ruang utama keluarga dengan judul, "Tim Detektif Kudo."

THE END