Memory Lost
By : pipi_tembam
Duar! Terdengar ledakan di sebuah markas.
"Ayo Shiho!" Shinichi menarik tangan Shiho melewati koridor-koridor untuk keluar dari markas tersebut.
"Aku tak sanggup! Tinggalkan saja aku Kudo-Kun!" kata Shiho terengah-engah. Napasnya sesak karena asap dari api yang berkobar.
"Kau bicara apa! Jangan menyerah! Ayo!" Shinichi terus memaksanya berlari.
Duar! Terdengar ledakan lagi disusul suara gemuruh atap-atap yang mulai runtuh.
Shiho terhenyak, fondasi langit-langit di atasnya akan jatuh mengenai dirinya. Shinichi menyadari hal itu.
"Awas Shiho!" Shinichi memeluk Shiho, menjadikan diriya sendiri sebagai tameng.
Fondasi itu menimpa mereka berdua.
"Kudo-Kun!" Shiho terguncang dengan darah yang mengalir di kepala Shinichi. Detektif muda itu pingsan namun masih sambil memeluk Shiho.
Shiho tak mampu bergerak sementara markas itu sebentar lagi akan menjadi abu.
Mendadak samar-samar terdengar suara sirine di luar sana. Akai Shuichi, Jodie Sensei dan Tim Kepolisian Jepang datang tepat waktu menyelamatkan mereka semua.
"Shinichi..." terdengar suara Ran memanggil.
Saat itu semua orang tengah berkumpul di ruang perawatan Shinichi di rumah sakit Kota Beika. Kepala Shinichi dililiti perban putih.
"Shin-Chan..." Yukiko memanggil putranya dengan cemas.
Perlahan-lahan Shinichi membuka matanya dan menatap mereka semua yang ada di ruangan itu. Yusaku, Yukiko dan Ran mengeluarkan desah kelegaan. Lambat-lambat Shinichi bangun duduk.
"Bagaimana perasaanmu Shin-Chan?" tanya Yukiko.
Shinichi mengerjap menatap ibunya, "Anda siapa?" gumamnya.
Yukiko tertegun, begitu juga dengan yang lainnya.
"Shin-Chan, aku ibumu, kau tidak ingat?" kata Yukiko.
Shinichi menggeleng.
"Shinichi, apa kau ingat aku? Aku Ran," kata Ran seraya menunjuk dirinya sendiri.
Shinichi sekali lagi menggeleng.
"Kau ingat siapa namamu?" tanya Dokter.
Walau tampak bingung sesaat namun Shinichi akhirnya mengangguk, "Aku ingat. Shinichi,"
"Lalu apa lagi yang kau ingat?" tanya Dokter lagi.
Shinichi memejamkan matanya sesaat untuk mengingat-ingat. Kemudian ia tersentak seraya membuka matanya, "Shiho! Mana Shiho!" katanya seraya mencari-cari.
"Eh?" Dokter dan yang lainnya bingung.
"Shiho dalam bahaya! Mana Shiho?!" desak Shinichi seraya berusaha turun dari ranjang.
Sambil merangkul Shiho, Miwako Sato maju menyorongkan ilmuwan muda itu ke hadapan Shinichi, "Shinichi-Kun. Ini Shiho,"
Shinichi menatap Shiho dan tampak lega, ia langsung menarik Shiho ke dalam dekapannya.
"Eh?" Shiho bingung sekaligus malu.
Orang-orang memandangnya dengan bingung juga.
"Yukata... Kau baik-baik saja Shiho?" tanya Shinichi.
"E-Eh..." jawab Shiho kikuk, wajahnya merona.
"Kau tidak perlu takut, aku akan selalu melindungimu..." bisik Shinichi.
Shiho tak tahu harus jawab apa. Ia risi diperhatikan semua orang terlebih oleh Ran yang jelas-jelas kekasih Shinichi.
"Shinichi-Kun mengalami amnesia sebagian," kata Dokter yang menjelaskan kepada mereka semua di koridor.
Semua yang mendengarnya terkesiap.
"Ia masih mengingat satu hal namun lupa beberapa hal lainnya," lanjut Dokter.
"Tapi bagaimana mungkin?" sela Yukiko, "Shinichi melupakan orang tua dan kekasihnya yang merupakan orang-orang terdekatnya. Sementara Shiho yang hanya temannya, ia bisa mengingatnya dengan jelas?"
"Mungkin ini disebabkan oleh peristiwa terakhir sebelum ia hilang ingatan. Shinichi-Kun berusaha menyelamatkan Shiho-San sebelum tidak sadarkan diri saat tertimpa runtuhan bangunan. Karena itu ia hanya mengingat Shiho-San," jelas Dokter.
"Lalu kami harus bagaimana Dokter?" tanya Yukiko muram.
"Ikuti saja apa yang dia ingat saat ini. Jangan dipaksakan. Kita lihat saja perkembangannya nanti apakah ingatannya bisa kembali normal,"
Semua orang mengangguk paham.
.
.
.
.
.
"Kau siapa?" tanya Shinichi.
"Aku Mouri Ran. Aku datang membawakan sarapan untukmu," ujar Ran seraya menunjukkan tentengan bawaannya.
"Kenapa kau repot-repot membawakan sarapan untukku?" tanya Shinichi lagi.
Wajah Ran memerah, "Karena... Karena kita dekat..."
"Sedekat apa?"
"Kita... Kita berkencan..."
"Pacaran maksudmu?"
"Eh" Ran mengangguk.
"Maaf, aku tidak ingat," kata Shinichi datar.
"Tidak apa-apa, aku mengerti. Aku bantu siapkan sarapannya ya,"
"Tidak perlu, terima kasih. Aku ingin sendiri,"
"Eh?" Ran mengerjap bingung.
"Tolong tinggalkan aku,"
"Shin-Chan," Yukiko mendadak masuk dan menegur pelan, "Ran-Chan hanya membawakan sarapan untukmu, kenapa kau mengusirnya?"
"Aku tak memintanya. Lagi pula aku juga sama sekali tak ingat apapun tentangnya,"
"Dia temanmu sejak kecil," Yukiko mengingatkan.
Shinichi membuang muka ke arah jendela, "Shiho mana?"
"Eh?" Yukiko mengerjap.
"Aku tak ingat siapa-siapa kecuali Shiho. Aku mau Shiho. Aku hanya bisa percaya padanya," kata Shinichi tegas.
Yusaku diam-diam mengambil HP nya seraya keluar dari kamar untuk menghubungi Shiho.
"Shin-Chan..." Yukiko merajuk.
"Aku tidak mau makan kalau tidak ada Shiho," Shinichi bersikeras.
Mata Ran tampak berkaca-kaca.
"Lihat perbuatanmu! Kau telah melukai Ran-Chan,"
"Lalu apa kalian mengerti perasaanku?!" suara Shinichi meninggi, "Aku tidak ingat apa-apa! Tapi aku dipaksa begini dan begitu! Aku hanya tahu Shiho dalam bahaya!"
"Shinichi!"
"Tidak apa-apa Yukiko-San. Aku baik-baik saja," Ran melerai.
Shinichi mencengkram dahinya, kepalanya mulai berdenyut, "Tinggalkan aku sendiri,"
"Kau sakit? Apa mau dipanggilkan dokter?" tawar Ran.
"Selain Shiho, aku hanya ingin sendiri!"
"Shiho di sini," Yusaku mendadak masuk seraya merangkul Shiho yang baru datang.
Mata Shinichi tampak cerah, "Shiho,"
Shiho menatap Yusaku tampak ragu, namun Yusaku mengangguk. Shiho akhirnya menghampiri Shinichi di pembaringan. Setelah berada dalam jangkauan, Shinichi meraih pergelangan tangan Shiho hingga Shiho terduduk di tepi ranjangnya.
"Temani aku Shiho, jangan pergi lagi," pinta Shinichi.
Shiho memandang Yusaku, Yukiko dan Ran. Bingung, tidak tahu harus bagaimana.
Yusaku dan Yukiko mengangguk, meminta Shiho menuruti maunya Shinichi. Ran terpaksa harus menahan rasa cemburunya.
"E-eh..." Shiho mengangguk, "Aku akan menemanimu di sini,"
Mata Shinichi menyipit, "Kau masih suka begadang ya? Matamu masih seperti Putri Setan Mengantuk,"
Shiho mengerjap, "Kau ingat aku suka begadang? Kau ingat suka mengejekku Putri Setan Mengantuk?"
"Eh, tentu saja. Kita kan partner,"
Yusaku dan Yukiko juga bertukar pandang heran. Shinichi melupakan semua hal kecuali tentang Shiho. Sementara Ran, merasa tidak diperlukan, akhirnya diam-diam pergi dari ruangan itu.
"Lalu apa lagi yang kau ingat?" tanya Shiho.
"Hmmm..." Shinichi berpikir sejenak, "Kau suka lagu Okino Yoko dan juga Higo-San, pemain dari Big Osaka,"
Mata Shiho bergetar, bahkan Shinichi mengingat hal itu. Tiba-tiba seorang perawat datang membawakan sarapan dari dapur rumah sakit.
"Nah Shin-Chan, karena Shiho-Chan sudah di sini, sekarang kau sarapan ya!" kata Yukiko manis seraya membuka plastik wrap di nampan.
"Uhm," Shinichi mengangguk.
Yukiko menyerahkan piringnya pada Shiho, "Tolong bantu suapi ya Shiho-Chan,"
Shiho menatapnya tak percaya, "De-Demo..."
"Tolonglah Shiho-Chan..." bisik Yukiko penuh permohonan.
"Ha-Hai..." Shiho akhirnya patuh dan membantu menyuapi Shinichi.
Yusaku dan Yukiko akhirnya menarik napas lega melihat Shinichi begitu manis setelah ada Shiho.
Seminggu kemudian, Shinichi diperbolehkan pulang ke rumah dan melakukan rawat jalan saja serta check up rutin.
"Kau sedang membuat apa?" tanya Shinichi ketika melihat Shiho mengolesi sesuatu pada permukaan roti tawar di dapur rumah keluarga Kudo.
"Ah aku sedang membuat sandwich dengan selai blueberry dan kacang," jawab Shiho.
"Memang enak ya?"
"Mau coba?" Shiho menyerahkan selembar sandwich.
Shinichi menggigitnya langsung dari tangan Shiho, "Enak juga,"
Shiho tersenyum. Sejak dari rumah sakit hingga pulang, Shiho membantu Yukiko mengurus segala keperluan Shinichi. Hilang ingatan sebagian membuat Shinichi lebih sensitif dan mudah marah. Sebisa mungkin Yusaku tidak membiarkannya bertemu dengan banyak orang dulu. Hingga saat ini hanya Shiho yang mampu menenangkannya.
Shinichi akhirnya mengambil duduk di seberang Shiho dan memandangnya seraya bertopang dagu, "Ngomong-ngomong Shiho,"
"Uhm?"
"Aku ingat kau dalam bahaya, tapi aku tidak ingat, bahaya apa ya?"
"Ah, ada organisasi hitam yang mengincar kita,"
"Kenapa mereka mengincar kita?"
"Karena kau detektif kan? Dan aku partnermu," sahut Shiho sekenanya saja, tidak ingin membebani memori Shinichi yang masih belum stabil.
"Bagaimana akhirnya organisasi itu?"
"Mereka semua terbakar di markas. Mereka bermaksud membuat kita mati bersama, tapi pada akhirnya kita masih selamat,"
"Oh begitu,"
"Eh," angguk Shiho seraya merapikan potongan segitiga sandwich dalam sebuah piring.
"Mereka bilang aku kencan dengan Ran,"
"Memang begitu adanya,"
"Kenapa?"
"Kau mencintainya,"
"Kenapa aku mencintainya?"
"Dia temanmu sejak kecil,"
"Hanya karena itu?"
"Dia baik dan sangat pedulian,"
"Oh ya?"
"Ya. Tidakkah sebaiknya kau menemuinya?"
Shinichi mengangkat bahu, "Untuk apa? Aku tidak ingat juga,"
"Mungkin dia bisa membantumu mengingat sesuatu,"
"Bagaimana hubunganku dengannya memangnya?"
Mata Shiho menyipit, "Kau yang pacaran, mana aku tahu. Aku kan tidak membuntuti kalian kencan,"
Shinichi menimbang-nimbang, "Aku tak ingat Otosan dan Okasan, tapi aku bisa merasakan kedekatan. Tapi kenapa aku tak merasakan apapun dengan Ran?"
"Bisa saja itu pengaruh amnesia,"
"Apa aku benar mencintainya?"
"Sepengetahuanku ya,"
"Atau aku jadian dengannya hanya karena terbiasa berteman dari kecil?"
"Aku tak tahu Kudo-Kun. Aku sungguh tidak tahu,"
"Bagaimana aku denganmu?"
"Kita hanya partner. Kau detektif dan aku membantumu dalam penyelidikan,"
"Berarti kau cerdas donk,"
"Mungkin, karena aku ilmuwan,"
"Apa Ran cerdas?"
"Standar saja setahuku,"
"Kenapa aku tidak pacaran denganmu saja?"
"Eh?" Shiho terpana dengan wajah memerah, "Kita hanya teman, tidak lebih dan yang kau cintai adalah Ran-San,"
"Aku tak ingat apapun, apa mungkin sebenarnya dulu di alam bawah sadarku, sebenarnya aku menyukaimu? Sehingga aku hanya ingat dirimu sekarang ini?"
"Mustahil kita pacaran,"
"Kenapa? Kau menarik,"
Shiho tertawa, "Kau yang dulu tak pernah menganggapku menarik. Aku Putri Setan Mengantuk, ingat? Kita sering bertengkar dan saling meledek,"
"Bukankah saling meledek itu merupakan pertanda suka?"
"Tidak dalam kasus kita,"
"Lalu kenapa wajahmu merah?"
Shiho terdiam, Shinichi yang hilang ingatan sebagian ini kenapa menjadi begitu frontal? Jantungnya jadi berdebar tak karuan.
"Intinya Kudo-Kun. Kita hanya teman. Bagaimana jika kau coba dulu menemui Ran-San dan jalan bersamanya? Mungkin dari sana kau akan merasakan kedekatan. Aku sungguh tidak enak hati padanya belakangan ini,"
Shinichi hanya mendengus malas.
"Ayolah, beri kesempatan padanya dan untuk dirimu sendiri," pinta Shiho.
"Baiklah, aku coba saja. Aku melakukannya karena kau,"
"Terserah kau saja,"
"Tapi kalau dalam beberapa hari, aku tidak merasakan apa-apa, jangan dipaksa lagi,"
"Oke,"
.
.
.
.
.
"Ini foto-foto kita waktu kecil," Ran menunjukkan album foto lama sambil bercerita dengan bersemangat. Ia senang ketika akhirnya Shinichi bersedia bertemu dengannya. Kini mereka tengah berada di kafe Poirot.
Shinichi mengamati foto-foto itu dan mendengarkan semua ocehan Ran.
"Apa kau ada ingat sesuatu?" tanya Ran setelah mengakhiri ceritanya.
Shinichi menggeleng.
"Ya sudah tidak apa-apa. Jangan dipaksa,"
"Aku hanya ingin tahu," kata Shinichi akhirnya.
"Apa?"
"Hubungan kita bagaimana sebenarnya?"
"Cukup baik kok,"
"Kalau kita pacaran, biasanya bicara apa saja?"
"Anooo... Kebanyakan Shinichi yang bercerita tentang kasus dan juga Sherlock Holmes,"
"Lalu?"
"Aku sering marah padamu, karena kalau kau sudah menemui kasus suka lupa segalanya. Kau bahkan meninggalkanku yang sedang bertanding karate,"
"Lalu?"
"Aku sering bercerita tentang Otosan dan Okasan yang suka ribut,"
"Apa kita pernah bertengkar?"
"Sering,"
"Karena apa?"
"Ya itu, biasanya karena aku marah sebab kau sangat penggila misteri,"
"Kenapa kau begitu marah karena aku penggila misteri? Ayahmu sendiri kan detektif. Memangnya kau tidak mengerti passionku?"
"Eh... Anooo..."
"Hubungan yang seperti itu kah pacaran kita selama ini? Kalau kau bahkan tidak mendukung passionku dan impianku untuk menjadi detektif, apakah itu yang dinamakan mencintai?"
"Shinichi..."
Shinichi mendesah seraya bangkit dari kursinya, "Gomene Ran, tapi aku tak ingat apapun. Mendengar ceritamu, aku juga tak merasa hubungan kita dulu berbobot. Bahkan terkesan membosankan,"
"Beri aku kesempatan lagi, Shinichi," pinta Ran.
"Sebaiknya jangan membuang-buang waktumu Ran. Aku tidak berharga," ujar Shinichi seraya berlalu pergi.
Shinichi... Ran menunduk sedih.
Shiho tertegun memandangnya di depan pintu, "Kudo-Kun?"
"Boleh aku masuk?" tanya Shinichi.
Shiho membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Shinichi masuk.
"Hakase sedang keluar untuk seminar," Shiho memberi tahu.
"Aku tidak mencari Hakase. Aku ingin bertemu denganmu,"
"Aku? Kenapa? Oh ya, bukannya hari ini seharusnya kau menemui Ran-San?"
Shinichi menghela napas bosan, "Sudah. Aku sudah mendengar semuanya. Aku tak mengerti bagaimana mungkin diriku yang dulu bertahan dalam hubungan yang monoton seperti itu?"
"Kudo-Kun..."
Shinichi mengangkat tangannya, "Jangan paksa aku lagi Shiho..." pintanya.
"Baiklah. Kau memang perlu waktu. Ran-San juga pasti mengerti,"
"Meski aku amnesia, aku juga berhak mengambil keputusan kan?"
"Maksudmu?"
"Aku tidak mau dengan Ran,"
"Kau akan menginginkannya lagi kalau ingatanmu kembali,"
"Bagaimana kalau tidak kembali,"
"Kudo-Kun,"
"Aku menginginkanmu,"
"Nani?"
Shinichi menarik Shiho dalam pelukannya, "Aku menginginkanmu Shiho," bisiknya, "Aku menyukaimu,"
"K-Kudo... Jangan begini..." Shiho berusaha melepaskan diri. Namun Shinichi malah memeluknya semakin erat.
"Jangan tinggalkan aku Shiho. Di dunia yang asing bagiku saat ini, aku hanya bisa percaya padamu. Aku ingin kau selalu di sisiku,"
"Setelah kau ingat semuanya, kau takkan menginginkanku lagi,"
"Kalau begitu aku tak mau ingatanku kembali,"
"Jangan bodoh!"
"Aku sungguh-sungguh! Aku takkan melepaskanmu Shiho. Aku tahu kau juga merasakan hal yang sama. Aku dapat melihatnya,"
"Kudo..." Shiho akhirnya berhenti menggeliat. Perlahan tangannya naik ke punggung Shinichi dan balas memeluknya.
Shinichi memejamkan matanya, merasa nyaman dengan kedekatan itu.
.
.
.
.
.
"Sudah kuduga, walaupun hilang ingatan sebagian, tapi kau tidak kehilangan kecerdasanmu," ujar Shiho.
Siang itu Shinichi baru saja menjalani ujian masuk Universitas Tokyo dan ia lulus dengan nilai terbaik. Ia memutuskan untuk mengambil jurusan psikologi kriminal pada perkuliahan yang akan dimulai akhir tahun ini. Selama ujian berlangsung, Shiho menunggu dengan setia di kafe sekitar kampus sambil membaca buku.
"Tentu saja," sahut Shinichi seraya tersenyum.
Shiho melirik arlojinya, "Sudah jam makan siang, kau mau makan sesuatu?"
"Boleh, setelah melewati ujian rasanya lapar juga,"
"Makan apa?"
"Kau mau apa?"
"Aku sepertinya ingin okonomiyaki,"
Shinichi nyengir, "Seperti biasa. Baiklah kita makan okonomiyaki saja, aku tahu tempat yang enak di sini. Ayo," ajaknya seraya menggandeng tangan Shiho.
"Eh?" wajah Shiho memerah melihat tangannya digandeng Shinichi.
Mereka akhirnya menuju sebuah kedai kecil yang menyajikan okonomiyaki terbaik di Tokyo. Okonomiyaki dengan rasa genuine dari Osaka. Shinichi dan Shiho duduk di meja bar di hadapan penggorengannya langsung. Seorang bibi paruh baya akan memasak okonomiyaki di depan mereka dan langsung menghidangkannya.
"Hmmm Oishi..." gumam Shiho seraya mengunyah suapan pertama okonomiyakinya, "Untunglah kau ingat tempat enak juga,"
Shinichi terkekeh, "Yang bagus-bagus aku ingat,"
"Dasar,"
"Eh..." Shinichi mengambil sehelai tisu kertas dan membersihkan sudut kanan bibir Shiho yang terdapat kecap.
Dengan wajah Shinichi berada sedekat ini di depan wajahnya sendiri, sulit bagi Shiho untuk bernapas.
"Sudah bersih," ujar Shinichi.
"Arigatou," ucap Shiho malu.
"Wah-wah... romantis sekali... kalian pacaran ya?" kata bibi koki yang memasak okonomiyaki.
"Eh... tidak..." Shiho tampak kikuk.
"Lebih dari sekedar pacar," ujar Shinichi percaya diri.
"Eh?" bibi koki mengerjap.
Shiho tertegun memandangnya.
Shinichi menggenggam tangan Shiho sambil berkata, "Kami adalah partner,"
"Heeeh? Partner?" bibi koki terheran-heran.
"Pacar belum tentu bisa jadi partnership. Tapi partnership mampu menghadapi segalanya," Shinichi mengedipkan sebelah matanya.
"Manis sekali!" puji bibi koki.
Shinichi terkekeh lagi.
"Kudo!" Shiho memperingatkan.
"Kudo? Ehhh jangan-jangan kau Kudo Shinichi detektif SMA yang terkenal itu ya?" tebak bibi koki.
"Benar. Tapi sudah bukan SMA lagi, karena aku sudah diterima di Universitas Tokyo," kata Shinichi.
"Sugeeee... Aku yakin kau pasti akan jadi detektif yang sangat hebat!" kata bibi koki dengan kekaguman yang tak mampu ditutupi.
"Eh," Shinichi mengangguk, "Aku akan seperti Sherlock Holmes dan Shiho adalah Dr. Watson sekaligus Irene Adlerku," tambahnya seraya menatap Shiho penuh arti.
Bibi koki bertepuk tangan senang, "Bagus sekali! Kalian juga sangat serasi! Eh, boleh foto bersama? Supaya aku bisa pajang di kedai sebagai bukti kalau detektif terkenal dan partnernya pernah kemari,"
"Tentu saja boleh!"
Akhirnya mereka foto bertiga.
Setelah itu Shinichi dan Shiho lanjut pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan terutama ketika melewati pinggir sungai, Shinichi tak pernah melepaskan genggaman tangannya dari tangan Shiho.
"Kudo..." Shiho berusaha melepaskan tangan Shinichi dengan halus.
Namun Shinichi malah semakin mempererat genggamannya, "Kita sudah besar, suka sama suka, kenapa harus malu?"
"Tapi..."
"Ck sudahlah, jangan banyak pikiran,"
Mereka mampir ke sebuah taman yang terdapat ayunan. Refleks Shiho duduk di ayunan dan Shinichi mulai mengayunkannya perlahan.
"Aku tak sabar rasanya ingin cepat-cepat lulus dan menjadi detektif," kata Shinichi.
"Baru juga daftar," kata Shiho.
"Kau sudah menjadi ilmuwan di usia yang begitu muda, aku juga ingin mengejar ketertinggalanku,"
"Bukan kau yang tertinggal, aku yang kecepatan,"
"Tapi seorang pria harus bisa menjadi sandaran bagi wanita. Jika aku tidak kuat dan sukses, bagaimana aku bisa menjadi tempat sandaranmu?"
Shiho tersenyum lembut, "Selama ini aku juga sudah bersandar padamu kan? Kau menyelamatkanku dari markas itu sampai hilang ingatan. Kau sudah hebat Kudo-Kun. Tak perlu berkeras diri,"
Shinichi merasa hangat mendengarnya, "Ran cerita dia sering marah-marah kalau aku selalu sibuk dengan kasus dan misteri. Apakah salah dengan menjadi penggila misteri?"
"Kau menjadi Kudo Shinichi karena kau mencintai misteri. Kalau kau tidak penggila misteri maka tidak ada Kudo Shinichi. Sama seperti aku juga yang mencintai sains,"
Shinichi menangkap rantai untuk menghentikan ayunan Shiho.
"Eh?" Shiho yang kaget menoleh pada Shinichi.
"Perkataanmu barusan bahkan menambah nilai bahwa aku seharusnya bersamamu bukan Ran," ujar Shinichi.
"Kudo... Aku tidak bermaksud..."
"Bukankah memang seharusnya seperti itu? Dua orang yang saling mencintai? Menghargai apa yang menjadi kesukaan pasangannya? Aku takkan menghalangimu dengan sainsmu dan kau juga mendukungku dengan kasus misteriku. Itulah partner sebenarnya,"
"Sebaiknya kita pulang sekarang..." Shiho berusaha mengalihkan pembicaraan.
Namun Shinichi tidak membiarkannya, sebelum Shiho beranjak dari kursi ayunan, ia memeluk Shiho dari belakang.
"Kudo..." Shiho merasa canggung.
"Shiho... Jangan jadikan aku seperti Sherlock Holmes sungguhan, yang tidak mampu memiliki Irene Adler," bisik Shinichi di telinga Shiho, "Aku tak dapat membayangkan jika kau menikahi pria lain,"
"Kau berpikir terlalu jauh Kudo,"
"Holmes memang pandai berdeduksi, tapi ia kurang memperjuangkan Irene Adler. Aku mengagumi kecerdasannya tapi aku tak ingin membuang-buang waktu seperti dirinya, yang hanya merindukan Irene Adler dari lukisan. Aku ingin memilikimu Shiho, aku ingin bersamamu dalam keadaan yang sesungguhnya,"
Shiho tidak tahu harus berkata apa.
Shinichi mempererat rengkuhannya, "Aku mencintaimu Shiho,"
Shiho terkesiap, jantungnya berdegup cepat. Haruskah ia melayang dengan perkataan Shinichi barusan? Shinichi yang hilang ingatan sebagian?
"Aku tak bisa hidup tanpamu," tambah Shinichi.
Lambat-lambat tangan Shiho menyentuh tangan Shinichi yang memeluknya. Ia memejamkan matanya, meresapi kedekatan ini. Ia pinjam Shinichi sebentar saja kalau begitu, namun ia sangat berharap waktu berhenti.
.
.
.
.
.
"Sudah kuduga, walaupun hilang ingatan sebagian, tapi kau tidak kehilangan kecerdasanmu," ujar Shiho.
Siang itu Shinichi baru saja menjalani ujian masuk Universitas Tokyo dan ia lulus dengan nilai terbaik. Ia memutuskan untuk mengambil jurusan psikologi kriminal pada perkuliahan yang akan dimulai akhir tahun ini. Selama ujian berlangsung, Shiho menunggu dengan setia di kafe sekitar kampus sambil membaca buku.
"Tentu saja," sahut Shinichi seraya tersenyum.
Shiho melirik arlojinya, "Sudah jam makan siang, kau mau makan sesuatu?"
"Boleh, setelah melewati ujian rasanya lapar juga,"
"Makan apa?"
"Kau mau apa?"
"Aku sepertinya ingin okonomiyaki,"
Shinichi nyengir, "Seperti biasa. Baiklah kita makan okonomiyaki saja, aku tahu tempat yang enak di sini. Ayo," ajaknya seraya menggandeng tangan Shiho.
"Eh?" wajah Shiho memerah melihat tangannya digandeng Shinichi.
Mereka akhirnya menuju sebuah kedai kecil yang menyajikan okonomiyaki terbaik di Tokyo. Okonomiyaki dengan rasa genuine dari Osaka. Shinichi dan Shiho duduk di meja bar di hadapan penggorengannya langsung. Seorang bibi paruh baya akan memasak okonomiyaki di depan mereka dan langsung menghidangkannya.
"Hmmm Oishi..." gumam Shiho seraya mengunyah suapan pertama okonomiyakinya, "Untunglah kau ingat tempat enak juga,"
Shinichi terkekeh, "Yang bagus-bagus aku ingat,"
"Dasar,"
"Eh..." Shinichi mengambil sehelai tisu kertas dan membersihkan sudut kanan bibir Shiho yang terdapat kecap.
Dengan wajah Shinichi berada sedekat ini di depan wajahnya sendiri, sulit bagi Shiho untuk bernapas.
"Sudah bersih," ujar Shinichi.
"Arigatou," ucap Shiho malu.
"Wah-wah... romantis sekali... kalian pacaran ya?" kata bibi koki yang memasak okonomiyaki.
"Eh... tidak..." Shiho tampak kikuk.
"Lebih dari sekedar pacar," ujar Shinichi percaya diri.
"Eh?" bibi koki mengerjap.
Shiho tertegun memandangnya.
Shinichi menggenggam tangan Shiho sambil berkata, "Kami adalah partner,"
"Heeeh? Partner?" bibi koki terheran-heran.
"Pacar belum tentu bisa jadi partnership. Tapi partnership mampu menghadapi segalanya," Shinichi mengedipkan sebelah matanya.
"Manis sekali!" puji bibi koki.
Shinichi terkekeh lagi.
"Kudo!" Shiho memperingatkan.
"Kudo? Ehhh jangan-jangan kau Kudo Shinichi detektif SMA yang terkenal itu ya?" tebak bibi koki.
"Benar. Tapi sudah bukan SMA lagi, karena aku sudah diterima di Universitas Tokyo," kata Shinichi.
"Sugeeee... Aku yakin kau pasti akan jadi detektif yang sangat hebat!" kata bibi koki dengan kekaguman yang tak mampu ditutupi.
"Eh," Shinichi mengangguk, "Aku akan seperti Sherlock Holmes dan Shiho adalah Dr. Watson sekaligus Irene Adlerku," tambahnya seraya menatap Shiho penuh arti.
Bibi koki bertepuk tangan senang, "Bagus sekali! Kalian juga sangat serasi! Eh, boleh foto bersama? Supaya aku bisa pajang di kedai sebagai bukti kalau detektif terkenal dan partnernya pernah kemari,"
"Tentu saja boleh!"
Akhirnya mereka foto bertiga.
Setelah itu Shinichi dan Shiho lanjut pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan terutama ketika melewati pinggir sungai, Shinichi tak pernah melepaskan genggaman tangannya dari tangan Shiho.
"Kudo..." Shiho berusaha melepaskan tangan Shinichi dengan halus.
Namun Shinichi malah semakin mempererat genggamannya, "Kita sudah besar, suka sama suka, kenapa harus malu?"
"Tapi..."
"Ck sudahlah, jangan banyak pikiran,"
Mereka mampir ke sebuah taman yang terdapat ayunan. Refleks Shiho duduk di ayunan dan Shinichi mulai mengayunkannya perlahan.
"Aku tak sabar rasanya ingin cepat-cepat lulus dan menjadi detektif," kata Shinichi.
"Baru juga daftar," kata Shiho.
"Kau sudah menjadi ilmuwan di usia yang begitu muda, aku juga ingin mengejar ketertinggalanku,"
"Bukan kau yang tertinggal, aku yang kecepatan,"
"Tapi seorang pria harus bisa menjadi sandaran bagi wanita. Jika aku tidak kuat dan sukses, bagaimana aku bisa menjadi tempat sandaranmu?"
Shiho tersenyum lembut, "Selama ini aku juga sudah bersandar padamu kan? Kau menyelamatkanku dari markas itu sampai hilang ingatan. Kau sudah hebat Kudo-Kun. Tak perlu berkeras diri,"
Shinichi merasa hangat mendengarnya, "Ran cerita dia sering marah-marah kalau aku selalu sibuk dengan kasus dan misteri. Apakah salah dengan menjadi penggila misteri?"
"Kau menjadi Kudo Shinichi karena kau mencintai misteri. Kalau kau tidak penggila misteri maka tidak ada Kudo Shinichi. Sama seperti aku juga yang mencintai sains,"
Shinichi menangkap rantai untuk menghentikan ayunan Shiho.
"Eh?" Shiho yang kaget menoleh pada Shinichi.
"Perkataanmu barusan bahkan menambah nilai bahwa aku seharusnya bersamamu bukan Ran," ujar Shinichi.
"Kudo... Aku tidak bermaksud..."
"Bukankah memang seharusnya seperti itu? Dua orang yang saling mencintai? Menghargai apa yang menjadi kesukaan pasangannya? Aku takkan menghalangimu dengan sainsmu dan kau juga mendukungku dengan kasus misteriku. Itulah partner sebenarnya,"
"Sebaiknya kita pulang sekarang..." Shiho berusaha mengalihkan pembicaraan.
Namun Shinichi tidak membiarkannya, sebelum Shiho beranjak dari kursi ayunan, ia memeluk Shiho dari belakang.
"Kudo..." Shiho merasa canggung.
"Shiho... Jangan jadikan aku seperti Sherlock Holmes sungguhan, yang tidak mampu memiliki Irene Adler," bisik Shinichi di telinga Shiho, "Aku tak dapat membayangkan jika kau menikahi pria lain,"
"Kau berpikir terlalu jauh Kudo,"
"Holmes memang pandai berdeduksi, tapi ia kurang memperjuangkan Irene Adler. Aku mengagumi kecerdasannya tapi aku tak ingin membuang-buang waktu seperti dirinya, yang hanya merindukan Irene Adler dari lukisan. Aku ingin memilikimu Shiho, aku ingin bersamamu dalam keadaan yang sesungguhnya,"
Shiho tidak tahu harus berkata apa.
Shinichi mempererat rengkuhannya, "Aku mencintaimu Shiho,"
Shiho terkesiap, jantungnya berdegup cepat. Haruskah ia melayang dengan perkataan Shinichi barusan? Shinichi yang hilang ingatan sebagian?
"Aku tak bisa hidup tanpamu," tambah Shinichi.
Lambat-lambat tangan Shiho menyentuh tangan Shinichi yang memeluknya. Ia memejamkan matanya, meresapi kedekatan ini. Ia pinjam Shinichi sebentar saja kalau begitu, namun ia sangat berharap waktu berhenti.
.
.
.
.
.
"Nyaman sekali tempatnya," kata Shiho seraya membuka pintu shoji yang memperlihatkan onsen di baliknya.
Saat itu mereka berada di sebuah ryokan di Hokkaido. Kamar yang mereka pesan juga menghadap pegunungan salju yang sangat indah.
"Ngomong-ngomong Shiho," panggil Shinichi.
"Uhm?" Shiho menoleh padanya.
"Kenapa tiba-tiba kau mengajakku liburan ke sini?"
"Eh? Kenapa? Kau tidak suka?"
"Bukan begitu. Kau berencana membuatku senang supaya aku bersedia dioperasi kan?" tebak Shinichi tepat sasaran.
Shiho mendesah, memang percuma mendustai Shinichi.
"Percuma saja, bagaimanapun kau membujukku, aku tak mau dioperasi,"
"Kudo..."
"Aku tak mau melupakanmu Shiho!"
"Karena itu, aku mengajakmu kemari,"
"Eh?"
Shiho menghampirinya, "Aku ingin kita membuat kenangan yang banyak di sini, supaya kau tidak lupa padaku," dan kenangan untukku sendiri.
"Shiho?"
"Kalau kau memang mencintaiku? Kenapa takut lupa padaku?"
Shinichi tertegun.
"Selama beberapa hari ini, lupakan saja dulu perihal operasi itu. Lepaskan semua bebanmu, kita bersenang-senang di sini menikmati liburan, makan, main salju dan foto-foto, oke?" usul Shiho.
"Uhm," Shinichi mengangguk.
Akhirnya mereka pun bersenang-senang. Bermain ski salju, lempar-lemparan salju dan membuat boneka salju sambil tertawa-tawa bersama. Sore hari, mereka berendam di onsen terpisah. Lalu setelah menikmati sajian makan malam yang luar biasa lezat, kini mereka duduk di tatami menghadap pemandangan gunung salju yang gelap. Mereka hanya mengenakan kimono penginapan. Selimut besar menyelimuti punggung mereka berdua. Sambil menghirup ocha hangat, mereka mengagumi Hokkaido di kala malam.
"Banyak sekali fotonya," kata Shinichi seraya memeriksa ponselnya.
"Kumpulkan saja sampai mau pulang nanti," kata Shiho.
"Memoriku bisa kepenuhan hehehe..."
"Nanti kita simpan saja di USB,"
"Di USB bisa hilang nanti. Cetak saja,"
"Cetak? Bisa berapa album nanti?"
"Lalu?"
"Kalau begitu copy saja ke memory card, aku punya cara yang bagus untuk menyimpannya,"
"Bagaimana?"
"Nanti saja,"
"Takuuu... Sok rahasia..."
Shiho terkekeh.
Hening sesaat.
"Ne Shiho..."
"Uhm?"
"Apakah aku benar-benar harus operasi?"
"Kau tahu sendiri akibatnya jika tidak operasi,"
"Tapi aku tidak mau melupakanmu,"
"Itu kan baru dugaan, belum tentu terjadi,"
"Bagaimana jika iya?"
"Aku akan mengingatkanmu kembali, oke?"
"Janji?"
"Janji. Karena itu aku mengajakmu liburan kan?"
"Tapi aku tetap saja resah,"
"Hal yang normal untuk orang yang mau operasi. Lagipula jika kau enggan operasi, berarti sama saja kau meninggalkanku karena kau toh akan mati,"
"Aku tidak akan meninggalkanmu!"
"Makanya operasi,"
Shinichi tertegun sesaat sebelum akhirnya berkata, "Baiklah, aku mau operasi. Tapi.."
"Tapi apa?"
"Ketika aku sadar nanti, kau harus menjadi orang pertama yang kulihat,"
"Oke,"
Shinichi menggenggam tangan Shiho.
"Uhm?" Shiho menatapnya.
"Berikanlah kenangan yang kuat agar aku dapat mengingatmu,"
"Eh?"
Shinichi meraih tengkuk Shiho dan mengecupnya. Tangannya membuka simpul kimono Shiho dan menyusup masuk untuk menyentuh kulit telanjangnya. Di balik kimono itu, Shiho tak mengenakan apapun.
Shiho mendesah dan tubuhnya bergidik menyenangkan ketika tangan Shinichi menggerayanginya dengan lembut dan meremas payudaranya penuh pemujaan. Bibirnya menanggapi pagutan-pagutan Shinichi. Shiho tahu, cepat atau lambat hal ini akan terjadi dan ia sudah siap menghadapinya. Menyerahkan dirinya pada Shinichi malam ini.
"Malam ini akan menjadi kenangan paling indah dan paling kuat untukku," bisik Shinichi di wajah Shiho.
Masih tanpa busana, Shinichi memeluk Shiho berhadap-hadapan di bawah selimut di atas futon.
Aku juga... batin Shiho.
"Kau cantik Shiho,"
Shiho terkekeh, "Bukan Setan Mengantuk lagi?"
Shinichi ikut terkekeh.
"Masih takut melupakanku?" tanya Shiho.
"Tidak," kata Shinichi, "Aku yakin tak akan lupa,"
Shiho tersenyum.
Shinichi mengecup kening Shiho dan mendekapnya erat, "Aku mencintaimu Shiho,"
"Aku juga mencintaimu Tantei-San," balas Shiho.
Gomene Ran-San... Biarkan aku memiliki Kudo-Kun sebentar saja... kata Shiho dalam hati.
.
.
.
.
.
Shinichi dan Shiho menikmati sisa liburan dengan berjalan-jalan di sekitar kota Hokkaido. Membeli pernak-pernik lucu dan oleh-oleh. Memasuki kuil-kuil untuk berdoa bersama.
"Setelah melewati cobaan, bahagia selamanya," kata Shinichi yang membaca secarik kertas ramalan. Hasil ramalan akan masa depan hubungannya dan Shiho.
Shiho terkekeh geli, "Kau detektif percaya itu?"
"Kau sendiri ilmuwan percaya tidak?" Shinichi balas tanya.
Shiho mengangkat bahu, "Entahlah, kurasa buat menyenangkan diri, cukuplah,"
"Akan kusimpan di dompetku," ujar Shinichi seraya melipat kertas itu menjadi kecil sekali dan menaruhnya di selipan dompet yang dalam supaya tidak hilang.
Mereka kemudian memasuki sebuah gereja tua yang sepi.
"Miyano Shiho, bersediakah kau menjadi istri Kudo Shinichi, mendampinginya disaat susah dan senang, sehat maupun sakit?" tanya Shinichi seraya berdiri di depan altar dan mengulurkan tangannya pada Shiho.
Shiho tersenyum sambil menyambut uluran tangan itu, "Aku bersedia,"
Shinichi menariknya dan memeluk pinggangnya, "Giliran kau yang bertanya,"
"Kudo Shinichi, bersediakah kau menjadi suami Miyano Shiho, mendampinginya disaat susah dan senang, sehat maupun sakit?" tanya Shiho.
"Aku bersedia," sahut Shinichi, lalu menambahkan, "Dengan ini, kita resmi menjadi suami istri," kemudian mereka berciuman.
"Kudo-Kun, ayo bangun! Sudah siang, katanya mau jalan-jalan!" Shiho membangunkan Shinichi esok paginya.
"Hai hai..." sahut Shinichi yang masih mengantuk.
"Sarapannya sudah tersedia,"
"Sarapan apa?"
"Rumput laut, telur dan salmon,"
"Ah tidak mau,"
"Eh? Kau mau yang lain? Biar kupesankan,"
"Tidak. Aku maunya sarapan dirimu," kata Shinichi usil seraya meraih pergelangan tangan Shiho.
"Eh? Aku bukan salmon!"
"Tapi kau lebih enak dari salmon!" ujar Shinichi terkekeh seraya menarik Shiho ke dalam selimut dan membuka simpulan kimononya.
"Kan baru semalam!"
"Pagi ini belum!"
"Echi!"
"Aku akan bercinta denganmu sampai kau berhenti memanggil Kudo!" Shinichi meraup bibir Shiho dengan bibirnya.
Mereka jalan-jalan lagi hari itu. Kini mereka ke salah satu studio foto di kota Hokkaido. Shinichi dan Shiho memakai kimono Jepang. Shinichi terpukau melihat Shiho dalam balutan kimono berwarna pink lembut, seperti boneka cantik. Mereka mengambil foto banyak sekali. Fotografernya juga sangat bersemangat karena mereka begitu serasi.
"Selesai!" kata Shiho ketika sore harinya mereka telah kembali ke ryokan.
Shiho baru saja mengcopy semua foto-foto mereka selama di Hokkaido ke sebuah memory card. Lalu Shiho mengeluarkan gelang kulit dari tasnya. Ia menyelipkan memory card tersebut ke bagian dalam gelang kulit tersebut dengan aman. Kemudian memakaikannya ke tangan Shinichi.
"Eh? Ini kah yang kau maksud? Cara yang bagus untuk menyimpan kenangan?"
"Eh," Shiho mengangguk, "Aku sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Sedang menjadi trend di kalangan pasangan. Gelang itu terbuat dari kulit asli, tidak mudah rusak, tahan debu dan air. Kantung penyimpan memory cardnya juga sangat ketat dan aman. Dengan begini lebih mudah kau bawa-bawa dan bagus juga sebagai aksesoris,"
Shinichi memandang cerah gelang tersebut, "Memang ide yang cerdas Shiho. Ini lebih baik daripada simpan di HP apalagi cetak album,"
"Uhm," Shiho mengangguk senang.
"Aku juga ada sesuatu," ujar Shinichi seraya mengeluarkan dua buah gantungan ponsel berbentuk koin yang tengahnya berlubang dan terdapat simpulan cantik dengan tali berwarna merah. Ia memakaikan salah satunya ke ponsel Shiho dan satu lagi ke ponselnya sendiri.
"Eh? Sepasang?"
"Benar, talinya merah seperti benang jodoh," Shinichi terkikik, "Begitu kata penjualnya,"
"Termakan iklan," ejek Shiho.
Shinichi mendadak berdiri, "Ayo,"
"Ke mana?"
"Mandi," Shinichi meraih Shiho dalam gendongannya.
"Eh?!"
Mereka berendam bersama di dalam onsen, lalu bercinta di kolam air panas tersebut. Kemudian Shinichi menggendongnya ke futon dan bercinta lagi. Hari ini adalah hari terakhir liburan. Shinichi dan Shiho tampak tidak ingin menyia-nyiakan waktu barang sedetikpun. Mereka bercinta sampai puas seakan tak ada hari esok.
.
.
.
.
.
"Janji, kau ada saat aku bangun," kata Shinichi yang tak mau melepaskan genggamannya dari tangan Shiho walau sudah sampai di depan ruang operasi.
"Eh," Shiho mengangguk, "Kau kan sudah kubekali dengan kenangan yang banyak. Jadi tak usah takut,"
"Uhm," Shinichi mengangguk.
Shiho mengecup kening Shinichi seraya berbisik, "Aku mencintaimu Shinichi,"
"Aku juga mencintaimu Shiho," Shinichi balas berbisik.
Tim medis membawa ranjang Shinichi masuk, perlahan-lahan genggaman tangan mereka terlepas. Shinchi dan Shiho tidak melepas pandangan sampai akhirnya pintu ruang operasi ditutup memisahkan mereka. Operasinya akhirnya dimulai.
Shiho menunggu di depan bersama Yusaku dan Yukiko. Tak lama kemudian Ran datang ikut menunggu. Setelah lebih dari tiga jam, lampu di atas ruang operasi menjadi hijau. Dokter pun keluar dari dalam untuk menghampiri keluarga Kudo.
"Bagaimana Dokter?" tanya Yukiko.
"Operasinya berjalan lancar, gumpalannya berhasil diurai. Kami akan segera memindahkannya ke ruang HCU. Mengenai perkembangan atau efek sampingnya akan terus dimonitor," jelas dokter.
"Yukata ne Yukiko-San," kata Ran lega seraya menghadapi Yukiko.
"Uhm," Yukiko mengangguk.
Shiho ikut tersenyum lega. Ketika Shinichi telah dipindahkan ke ruangan HCU dan Yusaku, Yukiko serta Ran sedang beralih perhatiannya pada Shinichi. Diam-diam Shiho pun menghilang. Pergi dalam kesenyapan.
"Pergi sekarang Shiho?" tanya Mary Sera yang telah menjemput di luar gedung rumah sakit.
Shiho menoleh ke belakang, memandang rumah sakit untuk terakhir kali.
Gomene Shinichi... batin Shiho.
"Shiho?" Mary memanggilnya lagi.
"Ayo," kata Shiho seraya masuk ke dalam taksi.
"Shinichi..."
"Shin-Chan..."
Shinichi perlahan-lahan membuka matanya dan melihat mereka satu per satu. Wajah mereka semua tampak khawatir.
"Okasan..." bisik Shinichi, "Otosan... Ran..."
"Shin-Chan? Kau ingat kami semua?" tanya Yukiko penuh haru.
Pelan sekali Shinichi mengangguk.
"Yukata," Ran menangis lega.
Shiho tak pernah disebut-sebut.
Sebulan kemudian Shinichi diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Ia tidak mencari Shiho sama sekali. Yusaku, Yukiko, Ran dan Profesor Agasa akhirnya sepakat untuk tidak mengungkit-ungkit Shiho lagi di depan Shinichi supaya Shinichi tidak bingung. Shinichi mengingat orang tuanya dan Ran sebagai kekasihnya. Tapi ia lupa mengenai konfrontasinya dengan Black Organization, tubuhnya mengecil karena APTX4869 dan terlebih lagi Shiho. Setelah ditelusuri lebih jauh, ingatan Shinichi ternyata terputus saat di Tropical Land. Tempat janjiannya terakhir kali bersama Ran.
"Bagaimana perasaanmu sekarang Shinichi?" tanya Ran yang sedang menyiapkan sarapan di dapur rumah keluarga Kudo.
"Baik, lebih ringan dan segar," sahut Shinichi cerah.
"Baguslah kalau begitu,"
"Kau sedang membuat apa Ran?"
"Membuat sandwich stroberi untukmu," kata Ran seraya mengolesi selai stroberi di permukaan lembaran roti tawar.
"Stroberi? Tumben,"
"Eh?"
"Biasanya kan kau olesi selai blueberry dan kacang,"
Ran melongo. Ia tak ingat pernah melakukan hal itu. Ia tak pernah mencampur dua selai sekaligus dalam satu tangkupan roti tawar.
"Mau kuganti?" tawar Ran.
"Stroberi tidak masalah juga," kata Shinichi.
"Oke," Ran melanjutkan kegiatannya mengolesi.
Shinichi melongok ke kalender, "Eh, ngomong-ngomong dua minggu lagi ada pertandingan antara Big Osaka dan Tokyo Spirit. Nonton yuk,"
"Boleh, kalau kau memang sudah merasa sehat,"
"Ah," Shinichi mengangguk, "Ran pasti mendukung Higo-San dari Big Osaka. Ya kan?"
Lagi-lagi Ran terbengong-bengong. Ran terkadang oke saja menonton sepak bola, tapi ia selalu netral dan tidak pernah menjadi pendukung siapapun terlebih Higo-San dari Big Osaka. Yang jelas-jelas mengagumi Higo dari Big Osaka adalah Shiho.
"Ran? Kenapa?"
"Eh tidak, tidak apa-apa,"
"Nonton ya dua minggu lagi?"
"Oke,"
Shinichi tersenyum, "Aku ingat Ran saking sukanya dengan Higo-San sampai membeli boneka kecilnya untuk digantung di ponsel. Waktu boneka itu hilang kau syok sekali, aku setengah mati mencarinya sampai nyemplung ke laut,"
Sementara Shinichi terus mengoceh, Ran tertegun. Ada yang tidak beres di sini. Shinichi ingat dirinya sebagai Ran tapi kenangan-kenangan yang diingatnya adalah kenangannya bersama Shiho. Lalu kenapa dia tidak ingat Shiho? Bagaimana mungkin Shinichi salah bahwa kejadian-kejadiannya yang telah dilewati bersama Shiho adalah Ran?
"Nanti kalau kita ke Osaka, aku akan tanya Hattori di mana tempat okonomiyaki yang enak. Kau suka okonomiyaki kan Ran? Waktu itu kau minta okonomiyaki tapi aku malah belikan Takoyaki. Maaf ya, nanti aku ganti,"
"E-Eh..." Ran menganguk kikuk.
Namun melihat Shinichi begitu bersemangat, Ran tidak berani mengklarifikasi. Ia takut Shinichi kembali labil. Ran akhirnya terpaksa mengiakan semua yang diingat Shinichi walaupun sebenarnya itu adalah kenangannya bersama Shiho.
.
.
.
.
.
Tujuh tahun kemudian...
"Benar-benar aneh!" Inspektur Megure menggebrak meja, "penjahat mana yang memiliki alat semacam itu? Ahli forensik kita banyak yang tewas!"
Kepolisian Jepang sedang dihebohkan oleh kasus berat. Ada sebuah organisasi hitam yang tampaknya sedang melakukan percobaan teknologi tertentu. Anggota-anggota mereka ditanami microchip di kepala. Belum ada satu pun anggota hidup yang mampu ditangkap oleh kepolisian. Kebanyakan anggota-anggota itu tewas dalam bertugas atau bunuh diri. Namun ketika tim forensik mau melalukan autopsi, tersenggol sedikit saja, microchip itu akan meledakkan ruangan. Serba salah, jika tidak diautopsi microchip tersebut tetap aktif, jika diautopsi nyawa ahli forensik terancam.
"Aku juga mendapat laporan dari Hattori," sela Shinichi dingin, "Ada dua ahli forensik Osaka tewas. Pergerakan mereka mulai meluas,"
Tiba-tiba Inspektur Shiratori memasuki ruangan, "Inspektur Megure, kami baru saja mendapat kabar. Kasus ini pernah dihadapi oleh MI6,"
Inspektur Megure terkesiap "MI6? Inggris?"
"Eh," Shiratori mengangguk, "Meski MI6 belum berhasil menumpas organisasi tersebut namun ahli forensik mereka sudah menemukan cara untuk menonaktifkan microchipnya. Mereka bisa mengautopsi jenasah tanpa terjadi kecelakaan,"
"Berarti organisasi ini merupakan perpanjangan dari Inggris?" Miwako Sato bertanya-tanya.
"Tampaknya begitu," sahut Megure.
"Bagaimana dengan perkembangan kasusnya di Inggris?" tanya Shinichi.
"Jadi ahli forensik di MI6 tidak hanya berhasil menonaktifkan microchip tersebut, mereka juga menemukan chip tersebut berisi informasi. Chip-chip yang ditemukan dikumpulkan informasinya sehingga mereka berhasil mengepung markas organisasi tersebut. Tapi sayang, organisasi tersebut sepertinya telah curiga dengan pergerakan MI6. Ketika markas dikepung, sudah dalam keadaan kosong. Para anggota organisasi telah melarikan diri," jelas Shiratori.
"Shiratori, coba kau hubungi MI6, jelaskan perihal kasus yang tengah menimpa Jepang. Minta bantuan mereka untuk menjadi konsultan bagi kita," pinta Inspektur Megure.
"Baik, aku akan menghubungi mereka sekarang," sahut Inspektur Shiratori.
Setelah melalui negosiasi kesepakatan yang cukup alot, pihak MI6 Inggris akhirnya bersedia meminjamkan ahli forensik terbaik mereka ke Jepang selama 1 tahun untuk memberikan pelatihan kepada ahli forensik Jepang. Kepolisian Jepang juga berjanji menjamin keamanan anggota MI6 tersebut sepenuhnya selama berada di Jepang. Dua bulan kemudian, pertemuan besar diadakan di aula markas kepolisian pusat. Pertemuan tersebut dihadiri oleh petugas-petugas senior kepolisian Jepang, Polisi Rahasia, detektif-detektif terkemuka dan sisanya kebanyakan ahli forensik.
"Silahkan," Miwako Sato memasuki ruangan seraya mempersilakan seseorang.
Ahli forensik MI6 itu memasuki ruangan. Seluruh peserta seminar terkesiap. Mereka mengira yang datang dari Inggris adalah professor botak yang super renta. Siapa sangka ternyata yang muncul adalah seorang wanita cantik turunan Jepang-Inggris.
Terlihat Inspektur Megure menyambut kedatangannya. Menggiring wanita itu ke tengah podium lalu berbicara pada peserta.
"Selamat siang semuanya," Inspektur Megure berbicara di pengeras suara, "sesuai perjanjian, MI6 meminjamkan anggotanya untuk menjadi konsultan selama setahun. Berikut perkenalkan Miyano Shiho yang akan membantu kita selama satu tahun ke depan. Silahkan Miyano-San,"
"Arigatou," ucap Shiho.
Shinichi mengerjap. Miyano Shiho? Kenapa rasanya terdengar familiar? Sepertinya ia pernah dengar nama itu entah di mana.
Dengan setelan blazer hitam dan resmi serta mengenakan earphone di telinganya, Shiho menjelaskan presentasinya dengan proyektor hologram empat dimensi. Mendengar suaranya, Shinichi bergidik. Suara itu meski dingin namun terdengar merdu. Lafalnya juga sangat jelas dan sangat dewasa. Cerdas dan elegan. Semakin lama Shinichi semakin bingung, ia pernah dengar suara ini di mana?
"Pastikan sel-sel otak itu kedap udara sebelum melakukan vakum pada microchip tersebut. Hindari penggunaan pinset besi karena akan menimbulkan medan listrik," jelas Shiho.
"Apa yang harus dilakukan setelah microchip tersebut berhasil dikeluarkan?" tanya salah satu ahli forensik.
"Mikrochip tersebut berisi informasi berupa data enkripsi. Kebetulan aku mengerti teknis, sehingga aku bisa menerjemahkan datanya. Aku juga akan memberikan penyuluhan kepada tim IT. Untuk ahli forensik yang berhasil mengeluarkan microchip tersebut, sebaiknya serahkan kepada tim IT dengan pengemasan khusus," jawab Shiho.
"Biasanya data-data di microchip itu berupa apa?" tanya salah seorang polisi senior.
"Biasanya data-data itu memiliki nomor seri. Setiap anggota tampaknya diberi nomor seri tertentu. Kemudian berisi tugas-tugas dan titik lokasi,"
"Apa kira-kira tujuan organisasi itu meletakkan chip tersebut?"
"Pertanyaan ini seharusnya dijawab oleh agen MI6, tapi karena kebetulan aku mengetahuinya, aku akan menjelaskannya singkat saja," sahut Shiho, "Organisasi itu tampaknya bertujuan menciptakan manusia super yang mampu mereka kendalikan. Kami juga menemukan, anggota-anggota yang direkrut biasanya adalah orang-orang sekarat yang hampir meninggal untuk dipasang chip agar mampu menerima perintah mereka. Ada kemungkinan anggota tersebut tidak sadar apa yang sudah mereka kerjakan,"
"Seperti inferi? Zombie?" tanya Miwako Sato.
"Kurang lebih begitu. Mereka dikendalikan, diawasi. Bila mereka hampir tertangkap oleh petugas keamanan, chip itu akan memerintahkan mereka untuk bunuh diri,"
Semua yang diruangan itu merasakan bulu kuduk mereka meremang.
"Awalnya mereka percaya diri. Jenasah-jenasah yang memiliki chip tersebut tidak mudah diautopsi. Salah penanganan, chip tersebut akan meledak dan secara otomatis menghancurkan bukti, menghilangkan jejak. Ahli forensik MI6 turut menjadi korban. Tapi ketika kami berhasil menangani chipnya dan menerjemahkan enkripsinya, mereka mulai ketakutan. Mereka melarikan diri sebelum agen MI6 sampai ke markas mereka,"
"Apa ada pertanyaan lain?" Megure bertanya kepada para peserta.
Sunyi.
"Disampaikan dengan sangat baik Miyano-San. Terima kasih," ucap Megure.
Shiho mengangguk sopan.
Pertemuan hari itu akhirnya dibubarkan dengan tertib. Perlahan-lahan para peserta meninggalkan ruangan sampai kosong.
"Lama tak bertemu, kau semakin hebat saja Shiho-San," kata Sato.
"Arigatou," ucap Shiho.
"Bagaimana apartemennya Shiho? Kau merasa nyaman?" tanya Megure.
"Sangat nyaman, terima kasih atas perhatiannya Inspektur Megure,"
Inspektur Megure berdehem ketika melihat Shinichi menghampiri mereka, "Eh Shinichi-Kun, perkenalkan ini Miyano-San,"
"Yoroshiku," sapa Shinichi.
"Yoroshiku," balas Shiho dingin.
"Sepertinya kalian sudah saling kenal dengan Miyano-San, karena hanya memanggil nama depan," Shinichi memandang mereka semua.
"Anooo..." Megure tampak salah tingkah.
"Ahhh... Aku pernah bertemu Shiho-San sewaktu pertukaran pelajar di Inggris," sela Sato, "Ya kan Shiho?"
"Eh," Shiho mengangguk saja.
"Oh begitu. Demo..." Shinichi menatap Shiho lagi, "Miyano-San, apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Sato dan Megure terdiam berkeringat.
Dengan tenang Shiho menjawab, "Tidak, kita tidak pernah bertemu. Tapi aku tahu dirimu Kudo Shinichi, kau sangat terkenal,"
"Anoo Shiho, bagaimana kalau kau kuantar pulang sekarang?" kata Sato manis.
"Oke," sahut Shiho lalu mengangguk sopan pada mereka semua sebelum pergi.
Begitu sampai di lobi depan, Miwako Sato mendadak ingin ke toilet.
"Maaf Shiho, keberatan kalau aku ke toilet sebentar?" tanya Sato tak enak hati.
"Tidak masalah, aku akan menunggu di sini,"
"Sebentar ya,"
"Santai saja, tidak usah terburu-buru,"
"Eh,"
Shiho pun menunggu seraya melihat-lihat bingkai-bingkai yang dipajang di koridor depan. Mendadak sosok itu muncul dan memanggilnya.
"Shiho?"
Shiho menoleh, "Ran-San,"
"Kapan kau kembali dari Inggris?" tanya Ran.
"Baru saja, kepolisian Jepang memintaku menjadi konsultan mereka selama satu tahun,"
"Oh, jadi konsultan yang akan memberikan pelatihan mengenai microchip itu, kau?"
"Eh," Shiho mengangguk.
"Hebat sekali Shiho,"
"Biasa saja," Shiho merendah.
"Uhm anooo... Shiho..." Ran tampak ragu-ragu saat ingin mengatakan sesuatu.
"Nani?"
"Mengenai Shinichi..."
"Tak perlu khawatir, setelah satu tahun aku akan kembali ke Inggris. Toh dia tidak ingat padaku, tidak masalah," sela Shiho.
"Bukan, bukan itu yang ingin kusampaikan,"
"Shiho! Ayo!" Sato tiba-tiba muncul dari toilet, "eh ada Ran-Chan, mau bertemu Shinichi-Kun ya?"
"Eh," Ran mengangguk.
"Kalau begitu kami pergi dulu ya," Sato melambai.
"Sampai nanti Ran-San," kata Shiho sebelum pergi.
"Ran!" mendadak Shinichi memanggil.
"Shinichi!"
"Maaf lama ya?"
"Tidak kok! Baru saja datang,"
"Ayo pergi sekarang, selai bluberry dan kacangku sudah habis,"
Langkah Shiho terhenti mendadak ketika mendengar kalimat itu, ia melirik Shinichi melalui ekor matanya.
Selai blueberry dan kacang? Batin Shiho.
"Shiho?" Sato memanggilnya.
"Hai..." Shiho menghampirinya.
.
.
.
.
.
Shiho mulai memberikan pelatihan pada tim forensik dan IT. Shinichi memerhatikan wanita yang dingin ini ternyata cukup sabar dalam menghadapi berbagai pertanyaan dari orang-orang yang ditrainingnya. Entah kenapa ia penasaran sekali dengan wanita ini. Cantik, elegan, cerdas dan sangat tenang. Nyaris tanpa emosi. Mata indahnya tajam dan datar. Bicara hanya seperlunya saja. Banyak orang-orang menggunjingkannya di belakang. Para wanita iri dengannya sementara para pria mengidam-idamkannya. Walaupun Shiho tahu dirinya diperbincangkan, ia juga tampak tak ambil pusing. Ia mengerahkan segenap energinya untuk berpikir dan bekerja.
Awalnya ada satu atau dua pria mencoba mengakrabkan diri dengannya. Namun Shiho hanya melayani pertanyaan yang berhubungan dengan pekerjaan, di luar itu, Shiho menarik diri. Para wanita yang juga mencoba mendekatinya untuk menanyakan stylenya, tidak begitu Shiho ladeni. Wanita ini tampak ogah membuang waktu untuk hal-hal yang tidak berguna. Satu-satunya yang akrab dan dekat dengan Shiho di markas pusat kepolisisan hanya Miwako Sato.
Shinichi juga jarang berbicara pada Shiho karena tidak terlalu ada hubungan kerja. Shinichi yang memiliki agensi swasta hanya sesekali saja mampir ke markas pusat. Lagipula Shinichi cukup tahu diri untuk tidak memulai hal-hal yang bersifat pribadi, karena Shinichi sendiri sudah punya tunangan. Namun ketika suatu malam terdapat kasus penemuan mayat baru dengan microchip lagi di sebuah pelabuhan, Shinichi dan Shiho akhirnya diturunkan bersama ke lapangan.
"Bagaimana caranya membedakan mayat dengan atau tanpa microchip?" tanya Shinichi.
"Ada alat detektornya, tapi sebenarnya tanpa itu juga bisa," ujar Shiho.
"Eh?"
Shiho menyorotkan senter kecil ke kepala mayat yang sudah berada di kantong mayat tersebut. Shinichi mengerjap. Ada titik-titik kecil menyala di bagian ubun-ubun kepala mayat itu.
"Tidak akan terlalu terlihat di siang hari," kata Shiho seraya mematikan kembali senter kecilnya, "Radiasinya cukup tinggi jika sampai menembus tengkorak,"
Mayat itu akhirnya dibawa ke ruang forensik. Shiho mengeluarkan chipnya dan berusaha menerjemahkan enkripsinya. Shinichi, Inspektur Megure, Takagi, Sato dan Shiratori memerhatikannya bekerja dalam diam. Tapi kemudian ada sesuatu menarik minat Shinichi di laptop Shiho. Terutama program yang digunakannya. Ada tulisan Sherry's Product. Shinichi mengernyit, Sherry's Product adalah program yang digunakan Profesor Agasa untuk membantu investigasi kasus-kasusnya. Bahkan belakangan Shinichi juga bisa menggunakan program itu sendiri.
No. seri 1618A
Pelabuhan Tokyo
Berlian.
Mereka semua memerhatikan terjemahan enkripsi di monitor.
"Maksudnya berlian?" Shiratori bingung.
"Biasanya itu adalah jenis operasi yang ditugaskan," gumam Shiho.
"Transaksi berlian illegal?" tebak Sato.
"Mungkin saja," sahut Shiho.
Mereka akhirnya mendiskusikan kasus tersebut. Shinichi menemukan ternyata di luar mengaduk mayat dan kemampuan IT, Shiho juga memiliki deduksi yang tajam.
"Tak ada laporan kehilangan berlian dari toko-toko perhiasan," lapor Takagi.
"Berlian... Berlian..." Shinichi terkesiap ketika pikiran itu terlintas.
Shiho juga mengerjap.
"Okachimachi!" Shinichi dan Shiho berucap bersamaan.
Shinichi dan Shiho saling pandang. Inspektur Megure dan yang lainnya kebingungan dengan kekompakan mereka.
"Okachimachi?" Megure mengernyit.
Shiho menggelar sebuah peta di meja, sambil Shinichi menyampaikan deduksinya, Shiho melingkari titik-titik penemuan mayat bermikrochip dengan spidol merah.
"Titik-titik itu apabila digabungkan, bertemu di Okachimachi," kata Shinichi.
"Okachimachi juga terkenal sebagai penghasil perhiasan sejak zaman Edo, terutama berlian," tambah Shiho.
"Shiratori! Takagi! Cepat selidiki wilayah Okachimachi, terutama di tempat-tempat umum seperti stasiun dan yang lainnya!" Inspektur Megure memerintahkan.
"Hai!" Shiratori dan Takagi keluar ruangan.
"Aku akan melapor pada Inspektur Kuroda," Megure juga keluar ruangan.
"Deduksi yang bagus," puji Shinichi pada Shiho.
"Arigatou," sahut Shiho datar.
"Selain autopsi, ternyata kau jago program,"
"Aku sebenarnya ilmuwan alih-alih ahli forensik,"
"Oh begitu, pantas saja,"
"Eh," gumam Shiho acuh tak acuh.
"Kemampuan analisismu juga lumayan, kau mengerti cara bekerja detektif dan tim penyelidik," tambah Shinichi.
"Apakah itu mengherankan? Aku bekerja di MI6, wilayah yang dikelilingi agen-agen bertalenta,"
"Eh? Tidak sih," Ketus sekali.
Mendadak ponsel Shiho bergetar.
"Permisi sebentar," Shiho mengeluarkan ponselnya seraya berjalan ke pojok ruangan. Suaranya kecil sekali ketika berbicara di HP.
Mendadak mata Shinichi tertuju pada benda itu. Gantungan kecil di HP Shiho. Gantungan koin dengan simpulan tali merah. Shinichi mengeluarkan HP nya sendiri, ia juga memiliki gantungan yang sama. Shinichi tertegun sejenak sebelum akhirnya menggeleng. Banyak yang menjual gantungan HP seperti itu. Apa herannya?
"Gomene... Aku harus pulang sekarang," kata Shiho setelah menutup ponselnya.
"Ada janji?" tanya Shinichi.
Shiho tidak menjawab, hanya beralih pada Sato, "Aku bisa naik taksi, kalau kau tidak sempat Sato-San,"
Ya ampun, tidak ditanggapi. Juteknya... batin Shinichi.
"Kuantar saja Shiho, aku akan chat Inspektur Megure nanti," kata Sato sambil berdiri.
"Maaf merepotkan," ujar Shiho.
"Sama sekali tidak. Sampai nanti Shinichi-Kun," Sato melambai pada Shinichi.
"Eh" sahut Shinichi.
Sudah satu jam Shinichi hanya berguling bolak-balik di tempat tidurnya, namun kantuk tak juga datang. Pikirannya melayang-layang, tapi anehnya bukan pada kasus mayat bermikrochip. Melainkan pada Miyano Shiho.
Hari ini pertama kalinya mereka terjun ke lapangan bersama. Entah kenapa Shinichi merasa, Shiho seakan sudah mengerti cara kerjanya. Benarkah itu karena pengaruh lingkungan kerjanya di MI6? Shiho bahkan nyaris bisa membaca pikirannya, seolah mereka pernah bekerja bersama sebelumnya.
Lalu program itu, Sherry's Product. Shinichi tahu, program itu bukan program umum. Profesor Agasa pernah cerita program itu dibuat oleh temannya yang ilmuwan. Dan Shiho ternyata adalah seorang ilmuwan. Mungkinkah program itu dibuat oleh Shiho? Tapi kenapa namanya Sherry? Kenapa bukan Shiho's Product? Atau memang bukan Shiho yang buat? Ataukah Shiho memang memiliki nama panggilan barat di Inggris?
Kemudian gantungan ponsel itu. Seingat Shinichi, ia pernah membeli dua gantungan ponsel seperti itu. Satu dipakai dirinya, satu lagi dipakai Ran. Tapi Ran mengaku gantungan tersebut hilang. Kini malah Shiho memiliki gantungan yang sama. Oke, gantungan tersebut mungkin memang banyak yang jual di Jepang, tapi apa mungkin ada yang jual di Inggris?
Shinichi memejamkan matanya. Seorang diri seperti ini di kamar, ia bebas untuk menjadi dirinya sendiri dan mengaku dosa. Ketika berada di pelabuhan tadi, saat Shiho bergerak hingga terdengar kibasan mantel luarnya, Shinichi dapat menghirup parfumnya. Parfum cherry sakura yang menyegarkan. Aroma yang terasa familiar dan membuat darahnya berdesir. Susah payah Shinichi menahan diri ketika saraf-sarafnya menggelitiknya untuk menyentuh Shiho. Shinichi tak mengerti, bahkan dorongan sensual seperti itu tak pernah ia rasakan pada Ran. Shiho seksi ya, meski wanita itu tidak mengumbarnya. Ada daya tarik misterius dari dirinya yang membuat Shinichi sulit untuk berdiam diri. Shinichi memutuskan mungkin tak ada salahnya mencari tahu demi memenuhi rasa pensarannya sebagai detektif, bukan untuk mengkhianati Ran.
.
.
.
.
.
"Bagaimana Shinichi-Kun?" tanya Takagi.
Saat itu Takagi dan Shinichi sedang mengikuti seseorang yang dicurigai sebagai salah satu anggota organisasi hitam yang dipasang chip tersebut. Zombie yang lain.
"Kita ikuti terus," pinta Shinichi.
"Eh," Takagi membawa mobilnya lagi dengan perlahan.
Mereka melihat pria tersebut membawa buntalan masuk ke dalam sebuah villa yang sepi.
"Benda apa itu sebenarnya ya?" Takagi bertanya-tanya.
"Entahlah, tapi aku sempat melihat bungkusan itu sedikit bergerak,"
"Binatang?"
"Melihat ukurannya, anak kecil pun masuk,"
"Dia tidak keluar-keluar," kata Takagi seraya melongok-longok dari jendela mobil.
"Kita turun di sini saja,"
"Ah ayo,"
Takagi dan Shinichi turun dari mobil. Perlahan seraya mengendap-endap mereka mendekati villa tersebut. Takagi sudah bersiap dengan pistolnya. Namun mendadak terjadi hal yang tidak di sangka-sangka dari arah villa.
Duar! Terdapat ledakan di villa tersebut.
"Tidak!" terdengar teriakan seorang wanita.
Shinichi dan Takagi menoleh, mereka menemukan Shiho yang pucat pasi.
"Miyano-San?" gumam Takagi bingung.
Tanpa pikir panjang Shiho langsung berlari ke dalam villa yang terbakar.
"Nani?" Shinichi bingung.
"Tunggu Shiho!" teriak Miwako Sato.
"Apa yang terjadi?!" desak Shinichi pada Sato.
"Yuichi!" kata Sato.
"Yuichi?" Shinichi tak mengerti.
"Mereka menculik Yuichi! Putra Shiho!" teriak Sato kalut.
Shinichi langsung melesat menyusul Shiho.
"Shinichi-Kun?"
"Panggil ambulan dan pemadam kebakaran!" Teriak Shinichi seraya terus berlari ke dalam villa yang terbakar.
"Yuichi!" Shiho berteriak memanggil-manggil putranya seraya mencari-cari.
Shiho melihat jejak-jejak sepatu menuju ke sebuah ruangan tertutup di hadapannya. Susah payah Shiho mencapai ruangan tersebut. Namun saat ia mencoba memegang engselnya, ia meringis. Engsel besi itu terasa panas.
"Miyano-San!" terdengar Shinichi memanggil.
"Aku di sini!" teriak Shiho.
Sambil berkelit-kelit dari api, Shinichi menghampirinya.
"Minggir," pinta Shinichi.
Shiho menyingkir sedikit seraya terbatuk-batuk karena asap.
Shinichi menendang pintu kuat-kuat. Pintu berhasil terdobrak.
"Yuichi!" Shiho melihat putranya pingsan di sebuah ranjang. Buru-buru ia mengambil selimut tebal untuk menutup Yuichi dan menggendongnya.
Shinichi meraih sebuah tabung pemadam kebakaran dan menyemprotkannya pada api untuk membuka jalan.
"Lewat sini!" Shinichi membimbing Shiho, "awas!" ia memeluk Shiho ketika menghindari sebuah plafon yang roboh di atas.
Shinichi menyemprot cairan pendingin lagi, mereka berdua buru-buru melewati jalur itu sebelum api mennjilat-jilat kembali. Mereka berhasil keluar dari villa, namun masih harus berlari.
Duar! Terdengar ledakan kedua.
Shinichi memeluk Shiho dan putranya hingga menelungkup di rerumputan. Tak lama kemudian terdengar suara bising sirine. Petugas pemadam kebakaran datang dan mulai menangani kobaran api.
"Kau baik-baik saja?" tanya Shinichi pada Shiho.
Namun alih-alih menjawabnya, Shiho memeriksa kondisi putranya, "Yuichi," panggilnya seraya menangkupkan tangannnya ke wajah putranya.
Yuichi tidak bergerak, Shiho diserang ketakutan.
"Yuichi..." air mata Shiho mulai mengalir, suaranya bergetar, "Yuichi, bangun nak" panggilnya lirih.
"Uhuk uhuk," terdengar suara batuk Yuichi.
Shiho mendesah lega.
Yuichi membuka mata dan memandang ibunya, "Ka... san..." panggilnya lemah.
Shiho memeluknya erat-erat, "Gomene Yuichi..." isaknya.
Shinichi tertegun, ini pertama kalinya ia melihat Shiho menunjukkan emosinya.
Yuichi langsung diberi pertolongan pertama oleh tim medis dari petugas pemadam kebakaran.
"Hirup sekali lagi Yui-Chan," pinta Shiho.
Yuichi menghirup sekali lagi dari masker oksigen yang diberikan.
"Benar begitu," Shiho mengembalikan oksigen kepada tim medis lalu mengambil gelas kertas berisi air putih dari tim medis yang lain, "minumlah sedikit,"
Yuichi mematuhi ibunya dan meminum beberapa teguk. Lalu anak itu kembali menyandarkan kepalanya pada bahu ibunya dengan manja.
"Okasan..."
"Eh... Kau sudah aman, ada Okasan di sini..." bisik Shiho seraya memeluknya dan menimangnya penuh sayang.
"Aku sayang Okasan,"
Shiho tersenyum, "Okasan juga sayang Yui-Chan,"
Shinichi menatap ibu dan anak itu dari kejauhan. Mata Shiho begitu lembut saat menimang putranya. Sangat cantik dan penuh dengan kasih sayang. Jauh dari kesan dingin dan arogan.
"Anooo Shinichi-Kun," panggil Sato.
"Nani?" Shinichi memandangnya.
"Mengenai Yuichi, tolong kau rahasiakan ya," pinta Sato.
"Eh? Kenapa?"
"Ini sudah kesepakatan dengan pihak MI6. Keselamatan Shiho dan keluarganya harus benar-benar dijaga dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab kami,"
"Oh, baiklah. Aku mengerti,"
"Arigatou,"
Shinichi kembali memandang Shiho dan Yuichi. Ia tak menyangka ternyata Shiho sudah menikah dan memiliki seorang putra. Kalau dilihat-lihat Yuichi itu baru berusia tujuh tahun. Sementara Shiho sendiri hanya lebih tua setahun dari Shinichi. Jika dihitung-hitung, berarti Shiho hamil di usia 18. Muda sekali! Terlebih lagi, potongan tubuhnya itu, sama sekali tidak terlihat ia pernah melahirkan. Sepertinya dia memang wanita yang penuh kejutan.
"Bagaimana Yuichi?" tanya Sato.
"Baru saja tidur," jawab Shiho seraya duduk di sofa sebelah Sato.
"Yukata ne. Semoga dia tidak trauma,"
"Terima kasih Sato-San, kau langsung bertindak setelah kuhubungi,"
"Tidak perlu sungkan Shiho, tapi untunglah arloji Yuichi ada pemancarnya,"
"Eh, aku memang menyiapkannya sejak dia lahir. Mau bagaimana lagi? Aku bekerja di MI6,"
"Ah ngomong-ngomong Shiho, aku sudah meminta Shinichi-Kun untuk tetap merahasiakan keberadaan Yuichi. Dia bisa mengerti dan aku tidak berkata apa-apa lagi,"
Shiho mengangguk, "Aku mengerti, terima kasih,"
"Tapi Shiho... Mau sampai kapan kau menyembunyikan hal ini? Shinichi dan Yuichi begitu mirip. Aku saja sekali lihat Yuichi langsung tahu, apalagi Shinichi?"
"Shinichi hilang ingatan, seharusnya tidak masalah. Lagipula memang kejadian ini benar-benar di luar dugaan. Tadi aku membungkus Yuichi dengan selimut, semoga dia tidak lihat dengan jelas," kata Shiho.
"Shiho, tidakkah kau merasa Shinichi berhak tahu perihal darah dagingnya?"
Shiho menggeleng, "Dia sudah bahagia bersama Ran-San. Sejauh penglihatanku, kondisinya juga telah stabil. Aku tidak mau mencari masalah lagi,"
"Tapi ini tidak adil untukmu Shiho, kau seorang diri membesarkan Yuichi," Sato tampak bersimpati.
Shiho tersenyum, "Yuichi segalanya bagiku dan itu sudah lebih dari cukup,"
"Kau... benar-benar mencintai Shinichi ya?" tanya Sato seraya menggenggam tangan Shiho.
Sato tak habis pikir. Ia sendiri yang begitu tangguh mungkin belum tentu sanggup menghadapi hal yang dialami Shiho. Merelakan pria yang dicintai dengan wanita lain dan merawat buah hati seorang diri.
"Ada bagian dari Shinichi dalam diri Yuichi," ucap Shiho dengan mata berkaca-kaca, "aku sudah cukup bahagia selama tujuh tahun ini,"
"Shiho..."
"Setahun takkan lama. Aku dan Yuichi akan kembali ke Inggris setelah itu. Menghilang dari hidup Shinichi selamanya. Dia tidak akan menyadari apa-apa,"
Sato mengangguk, "Kalau itu memang sudah keputusanmu,"
"Uhm," Shiho mengangguk.
"Istirahatlah Shiho. Hari ini sangat berat untukmu. Besok kau juga harus ke markas untuk membuat laporan,"
"Ya,"
"Chiba dan beberapa timnya sudah berjaga di sekitar apartemen ini. Kau dan Yuichi aman,"
"Eh, arigatou,"
Duar!
"Awas Shiho!"
Shinichi mendadak bangun dengan tubuh bersimbah keringat. Ia memegang keningnya berusaha mengingat-ingat mimpinya tadi.
Dalam mimpinya ia melihat Shiho di sekitar kobaran api dan ia berusaha menolongnya. Tapi kobaran api itu bukan kobaran api di villa tadi. Melainkan kobaran api yang lain, seperti di dalam sebuah markas. Keadaannya juga tampak jauh lebih berbahaya, lebih mencekam, seakan ada orang jahat yang tengah mengejar-ngejar dirinya dan Shiho. Shinichi memejamkan matanya kuat-kuat berusaha mendapatkan gambaran lain. Di mimpi itu, dirinya dan Shiho juga tampak lebih muda. Shiho yang ketakutan nyaris putus asa namun ia terus menyemangatinya.
Apa maksud semua ini? Apakah ini hanya angan-angannya karena penasaran dengan sosok Shiho? Ataukah mimpi itu benar-benar pernah terjadi?
Lalu putra Shiho tadi. Meski hanya sepintas, tapi Shinichi sempat melihatnya. Putra Shiho mirip seperti dirinya waktu kecil. Unsur nama mereka juga sama-sama mengandung 'ichi'. Apakah semua ini berhubungan?
Tidak. Ada yang tidak beres di sini. Insting detektif Shinichi mengatakan ada sesuatu. Ia tak mampu membiarkannya. Ia harus mencari tahu sendiri.
.
.
.
.
.
"Kau yakin mau sekolah?" tanya Shiho ketika mengantar putranya sampai gerbang sekolah.
"Uhm," Yuichi mengangguk mantap.
"Tidak takut?"
"Tidak," kata Yuichi, "Aku kan murid Holmes!"
Shiho mengusap-usap kepala putranya, "Nanti okasan jemput lagi, tunggu saja bersama Sensei kalau okasan telat datang ya,"
"Hai..." sahut Yuichi manis.
"Ohayo," terdengar sebuah suara lain.
Shiho menoleh dan membeku. Shinichi berdiri di sana menghampiri mereka. Shiho berdoa dalam hati semoga Shinichi tidak menyadari kemiripan Yuichi dengan dirinya.
"Hoooo... Aku tahu. Ojisan Kudo Shinichi yang terkenal itu kan?" tunjuk Yuichi dengan mata terpesona.
"Eh," sahut Shinichi seraya tersenyum hangat, "Kau ternyata penyuka Holmes juga ya?"
"Uhm," Yuichi mengangguk.
"Mau apa kau kemari?" tanya Shiho dingin.
"Aku hanya ingin mengetahui keadaanmu dan Yuichi,"
"Seperti yang kau lihat, kami baik-baik saja," kemudian Shiho beralih kembali pada putranya, "masuklah Yui-Chan, sebelum terlambat,"
"Hai. Sampai nanti ojisan!" Yuichi melambai.
"Sampai nanti," balas Shinichi.
Shiho langsung berbalik pergi.
Shinichi menyusulnya seraya bertanya, "Sato tidak menjemputmu?"
"Dia harus ke TKP di Haido," jawab Shiho pendek.
"Kuantar saja,"
"Tidak usah, aku bisa naik taksi,"
"Kebetulan aku juga mau ke markas pusat," Shinichi menghadang jalan Shiho seraya membuka pintu mobil sport putihnya untuk mempersilakan Shiho. Sebuah paksaan halus. Mau tak mau Shiho pun ikut dengannya.
Di mobil mereka hanya diam canggung. Shiho selalu memusatkan perhatiannya ke luar jendela, tidak memandang Shinichi. Sementara Shinichi, sembari nyetir sembari memutar otak mencari-cari bahan yang bisa diobrolkan.
"Yuichi, anak yang cerdas ya," Shinichi berusaha melumerkan kebekuan itu.
"Eh," sahut Shiho pendek, masih memandang jendela.
"Pasti dia persis seperti ayahnya,"
Butuh waktu beberapa saat sebelum Shiho menjawab, "Ya, persis sekali,"
"Miyano-San suamimu, bekerja di MI6 juga?"
"Tidak. Aku juga tidak tahu dia di mana,"
"Eh?" Shinichi terkejut, "Maksudmu dia tidak pernah menemui putranya?"
"Tidak," kemudian Shiho melipat lengannya, "Kami sudah berpisah sejak sebelum Yuichi dilahirkan," ujarnya super dingin.
Mendengar dari nada kekesalannya, Shinichi menebak dengan hati-hati, "Wanita lain?"
"Begitulah,"
Shinichi tampak prihatin sekaligus marah. Pria mana yang tega tidak bertanggung jawab seperti itu? Meninggalkan wanitanya yang sedang mengandung anaknya? Lagipula kenapa dia meninggalkan Shiho yang begitu memukau? Wanita mana lagi sih yang lebih baik darinya? Ada-ada saja. Shinichi rasanya akan meninju pria itu kalau bertemu dengannya. Shinichi kini mengerti kenapa Shiho begitu dingin. Shiho tengah melindungi dirinya agar tidak terluka lagi.
"Pelakunya mungkin saja mengetahui Shiho-San merupakan salah satu kunci untuk menguraikan kasus ini," kata Megure serius.
"Setelah mayat terakhir yang berhasil ditangani dengan aman, kemudian penemuan rangkaian bom sebelum meledak di Stasiun Okachimachi, mereka sepertinya mulai curiga kita mendapat bala bantuan. Ada kemungkinan mereka telah mengintai markas ini dan mengincar Miyano-San," kata Shiratori.
Megure mengangguk, "Kemungkinan besar begitu. Untunglah Yuichi mengenakan arloji yang memiliki pemancar,"
"Eh," Shiho mengangguk, "sebelum pingsan di dalam karung, Yuichi juga sempat mengirimkan sandi morse melalui lencananya,"
"Lencana?"
Shiho mengeluarkan lencana detektif miliknya sendiri. Sementara lencana yang dipegang Yuichi adalah bekas punya Shinichi.
"Ah!" Megure memandang lencana tersebut dengan mata berbinar-binar, "lencana detektif ciptaan Profesor Agasa,"
"Benar, aku melakukan upgrade sendiri," tambah Shiho.
"Yuichi mengerti sandi morse?" Shiratori memandang Shiho tampak kagum.
Shiho mengangguk, "Dia sudah hapal semua sandi itu sejak usia 5 tahun,"
"Benar-benar cerdas!" puji Shiratori.
"Kau kenal Profesor Agasa?" tanya Shinichi pada Shiho.
"Tentu saja. Hakase dan ayahku rekan sejawat. Ayahku juga ilmuwan," sahut Shiho enteng.
Shinichi kini mengerti, kalau begitu keberadaan Sherry's Product bukanlah sesuatu yang mengherankan.
"Kau sempat melihat pelakunya Shinichi-Kun?" tanya Megure.
"Dia mengenakan mantel tinggi dan bertopi. Tidak terlampau jelas," sahut Shinichi.
"Dia tidak berada di dalam villa ya?" tanya Shiratori.
"Aku hanya fokus mencari Yuichi, tidak tahu di mana pelakunya berada," kata Shiho seraya mengingat-ingat.
"Situasi begitu darurat, aku juga tidak sempat mencari pelakunya di dalam villa. Aku berusaha mengeluarkan Miyano-San dan Yuichi sebelum ada ledakan susulan," timpal Shinichi.
"Tidak ada penemuan bangkai mayat di antara serpihan yang hangus," kata Shiratori.
"Inspektur Takagi juga sudah mencari di sekitar komplek villa. Hasilnya nihil," kata Shinichi.
"Hmmm... berarti dia sudah melarikan diri," gumam Shiratori seraya bertopang dagu.
"Keadaan Shiho-San dan Yuichi masih rentan. Tingkatkan keamanan untuk mereka selama 24 jam setiap hari," pinta Megure pada Shiratori.
"Hai!" sahut Shiratori sigap.
"Arigatou Inspektur Megure," ucap Shiho.
"Sudah seharusnya Shiho," Megure menanggapi.
Meeting hari itu disudahi. Begitu mereka keluar ruangan dan berjalan di koridor, Ran yang sudah menunggu dari tadi berdiri menyambut mereka.
"Oh Ran! Kau pasti ingin menjemput Shinichi ya?" tanya Megure.
"Eh," Ran mengangguk.
"Bagaimana kabar Mouri-Kun?" tanya Megure.
"Dia baik-baik saja," sahut Ran seraya tersenyum.
"Okasan!" mendadak terdengar panggilan riang.
Mereka semua menoleh pada asal suara. Shiho menegang. Yuichi baru saja muncul di koridor bersama Sersan Chiba.
"Yuichi? Kenapa kemari?" tanya Shiho tampak kalut.
Okasan? Ran tertegun dan terhenyak terlebih lagi saat melihat Yuichi.
"Maaf maaf," kata Chiba seraya garuk-garuk kepala, "Yuichi pintar sekali, bisa tahu aku sedang jaga. Dia bersikeras minta dibawa kemari, agar bisa beri kejutan untuk ibunya,"
"Kenapa tidak menunggu di sekolah?" Shiho berjongok di hadapan Yuichi, berusaha menutupi putranya dengan punggungnya.
"Habisnya aku sudah tidak sabar, ingin mengajak Okasan ke supermarket import. Kan janji mau belikan selai blueberry dan kacang untuk bikin sandwich," sahut Yuichi bersemangat.
"Blueberry dan kacang? Seperti kesukaanmu?" gumam Shinichi pada Ran.
Ran hanya tersenyum kikuk.
Mendadak Sato muncul dengan napas terengah-engah, "Chiba! Kalau mau ke sini bilang dulu dong! Aku sudah mampir ke sekolah Yuichi untuk tukar shift denganmu tahu!" ocehnya.
"Gomen gomen..." ucap Chiba sekali lagi.
"Yuichi, ayo ke mobil. Di sini bukan tempat bermain," bujuk Sato lembut namun mengandung ketegasan.
"Pergilah bersama Sato-San. Okasan menyusul lima menit lagi," pinta Shiho pada putranya.
"Hai..." sahut Yuichi patuh.
"Ayo," Sato buru-buru mengajak pergi sebelum identitas Yuichi terbongkar. Di markas kepolisian hanya Inspektur Megure dan Miwako Sato yang tahu perihal kebenarannya.
"Aku pergi dulu Inspektur Megure," Shiho pamit.
"Eh, kita saling berkabar saja mengenai perkembangannya," sahut Megure.
"Uhm," Shiho mengangguk lalu menyusul Sato dan Yuichi.
"Kok Yuichi tampak tak asing ya? Mirip siapa ya?" Shiratori mengingat-ingat.
"Bagiku mirip Conan-Kun," kata Chiba.
"Oh iya iya!" timpal Shiratori.
"Conan-Kun? Siapa?" tanya Shinichi.
"Oh dia bocah pintar penyuka misteri," Shiratori berusaha menjelaskan.
Inspektur Megure berdehem keras untuk menghentikan ocehan Shiratori, "Anak-anak jaman sekarang suka main detektif-detektifan. Biasa lah,"
Ran tampak murung, mau sampai kapan mereka berpura-pura seperti ini di hadapan Shinichi?
.
.
.
.
.
"Oper bolanya Yuichi!" teman Yuichi meminta seraya berlari.
Hup! Yuichi mengoper bola sepaknya dengan lincah.
Hari itu ada latihan pertandingan di lapangan SD Teitan. Shiho duduk di pinggir lapangan mengawasi putranya. Melihat Yuichi begitu menyenangi sepakbola, Shiho pun tersenyum. Anak itu benar-benar persis Shinichi.
Mendadak seseorang duduk di sebelah Shiho.
Shiho kaget, "Kau?"
"Sepertinya seru," kata Shinichi seraya memandang lapangan.
"Untuk apa kemari?"
"Ini kan alumni SD ku," sahut Shinichi ringan, "aku juga bermain bola cukup baik, mereka mengundangku untuk lihat-lihat latihan,"
"Terserah lah," Shiho menumpu lututnya untuk menyangga siku dan bertopang dagu.
"Ehhh... Yuichi pintar main bola ya,"
"Ah ya," sahut Shiho asal saja.
"Seperti ayahnya?"
"Begitulah,"
"Kau sering melihat ayahnya main bola dulu?"
"Cukup sering,"
Hening sejenak.
"Kau tak sungguh-sungguh membencinya kan?" tanya Shinichi tiba-tiba.
"Apanya?"
"Ayah Yuichi,"
"Maksudmu?"
"Kau bilang ayahnya pergi dengan wanita lain. Tapi matamu melembut dan tampak bangga setiap kali aku bilang Yuichi mirip ayahnya. Biasanya kalau seorang wanita membenci pria, mereka tidak mau anak-anaknya dibilang mirip ayahnya," jelas Shinichi.
"Kau sedang berusaha membuat deduksi tentang diriku?"
"Aku detektif, sudah otomatis begitu,"
"Berhentilah mencampuri urusanku,"
Terdengar bunyi peluit yang menandakan latihan berakhir. Yuichi menghampiri tempat ibunya. Shiho menyambutnya dengan senyum seraya memberikan botol minuman.
"Permainan yang bagus Yuichi," puji Shinichi.
"Tapi aku gagal dalam tendangan penalti," kata Yuichi murung, "seandainya aku bisa tendangan pisang,"
"Mau ojisan ajari?" tanya Shinichi.
Yuichi membelalak, "Eh? Ojisan bisa?"
"Tentu saja! Ojisan atlit sepakbola waktu sekolah hehehe..."
"Bolehkan Okasan?" tanya Yuichi meminta ijin ibunya.
"Sebentar saja," Shiho tak tega menghancurkan kebahagiaan putranya.
"Asik!" seru Yuichi senang.
"Ayo!" Shinichi mengajaknya ke tengah lapangan.
Shinichi mulai melatih Yuichi. Melihat ayah dan anak itu akrab bercengkrama, hati Shiho dilanda keharuan. Ia sadar, betapa Yuichi merindukan figure seorang ayah. Seandainya saja mereka tahu bahwa mereka adalah ayah dan anak kandung.
"Shiho..." panggil seseorang.
Shiho menoleh, "Ran-San?"
Ran duduk di sebelah Shiho dan memandang Shinichi yang sedang melatih Yuichi.
"Aku ingin bertanya sesuatu," kata Ran.
"Nani?" tanya Shiho meski sudah menduganya.
"Yuichi, anak Shinichi bukan?"
Shiho bergeming, "Kenapa kau bisa berpendapat begitu?"
"Mereka sangat mirip. Aku teman Shinichi sejak kecil dan Yuichi benar-benar persis seperti Shinichi waktu kecil," jelas Ran.
Shiho mendengus bosan.
"Umur Yuichi tujuh tahun kan? Tepat ketika kau pergi tujuh tahun lalu,"
"Ran-San. Kau tahu sendiri wajah Kudo Shinichi itu pasaran. Kaito Kid dan Okita juga mirip dengannya. Jadi, dengan putraku yang mirip dengannya bukan berarti anaknya," ujar Shiho berhasil mengendalikan dirinya tetap santai.
"Tapi..."
"Tujuh tahun lalu begitu baru sampai di Inggris, aku berkencan dengan pria Jepang. Ya memang wajahnya agak-agak mirip Kudo-Kun. Lalu aku hamil tapi dia tidak bersedia bertanggung jawab. Akhirnya aku melahirkan Yuichi dan merawatnya seorang diri,"
"Tapi kemarin di markas pusat, kau berusaha menutupi Yuichi,"
"Karena aku bekerja di MI6. Aku tidak mau anakku terekspos demi keamanannya. Masuk akal kan?"
"Mereka memiliki unsur nama yang sama," Ran bersikeras.
"Apa herannya? Ichi diberikan pada putra pertama. Shinichi, Yuichi bahkan kakak sepupuku sendiri Shuichi," gerutu Shiho tak sabar.
"Benar Yuichi bukan anak Shinichi?" Ran memastikan sekali lagi.
"Bukan," sahut Shiho tegas.
Ran diam, tapi dalam hati masih meragukan.
Mereka menghentikan pembicaraan ketika melihat Shinichi dan Yuichi menghampiri.
"Yuichi benar-benar pintar. Cepat sekali menguasai tendangan pisang," ujar Shinichi seraya mengusap-usap kepala Yuichi.
Yuichi hanya terkekeh.
"Shiho! Yuichi!" terdengar seseorang memanggil dari jauh.
Shiho dan Yuichi menoleh, begitu juga dengan Shinichi dan Ran. Seorang pria yang tampak familiar berlari menghampiri mereka.
Yuichi tampak senang, "Hakuba Ojisan!" ia melambai dengan bersemangat.
"Yuichi!" Hakuba menggendongnya dan mengangkatnya tinggi ke udara.
Yuichi tergelak, lalu mereka melakukan tos rumit ala mereka sendiri.
"Kuba-Kun? Kapan kau sampai Jepang?" tanya Shiho.
"Ini aku baru saja dari bandara langsung ke sini," jawab Hakuba.
"Kenapa kau ke Jepang?" tanya Shiho lagi.
"Mary-San khawatir kau dan Yuichi sendirian di Jepang. Jadi aku menyusul," sahut Hakuba.
Shiho melipat lengannya, "Aku bukan anak kecil, tak perlu repot-repot,"
"Tidak repot kok. Aku memang dipanggil ayahku juga ke Jepang. Mungkin beberapa hari lagi aku akan mampir Osaka,"
"Hoooo Osaka?!" Yuichi melongo, "Ojisan! Yuichi mau ikut ke Osaka! Katanya di sana ada okonomiyaki yang enak,"
"Miyano Yuichi!" Shiho memperingatkan putranya.
"Kita pergi bersama saja Okasan! Kan Okasan juga suka okonomiyaki," Yuichi memberi ide.
"Hakuba ojisan ke Osaka untuk bekerja, tak sempat menemanimu makan okonomiyaki," timpal Shiho.
"Yuichi dan Okasan suka okonomiyaki?" tanya Shinichi.
"Suka!"
"Kok sama seperti kau Ran?" Shinichi memandang Ran.
Ran lagi-lagi hanya tersenyum canggung.
"Okasan... Osaka..." Yuichi merajuk.
"Kalau cuma okonomiyaki, Okasan juga bisa buat sendiri di rumah," Shiho berkata pada putranya.
"Tapi kan beda sama yang di Osaka..." Yuichi merengek.
"Duh Kuba-Kun, kau balik saja ke Inggris lah! Yuichi jadi rewel gara-gara kau!" gerutu Shiho seraya berdecak kesal.
Hakuba hanya terkekeh tak enak hati "Yuichi," panggilnya manis, "Okasan benar. Ojisan ke Osaka untuk bekerja. Kapan-kapan saja ajak Yuichi ya?"
"Hai..." Yuichi menyahut walaupun manyun.
"Sebagai gantinya. Ini!" Hakuba mengeluarkan tiga tiket pertandingan sepakbola.
"Wahhhh! Big Osaka dan Tokyo Spirit besok!" Yuichi terpesona.
"Kuba-Kun! Jangan memanjakannya!" protes Shiho.
"Sesekali tidak apa-apa kan Shiho. Lagipula besok hari Minggu. Kau juga tak mungkin melewatkan pertandingan besok kan? Pertandingan terakhir Higo-San sebelum pensiun hehehe..."
"Hmph!" Shiho mendengus.
"Higo-San? Kau suka Higo-San?" tanya Shinichi pada Shiho.
"Yuichi dan Okasan pendukung fanatik Higo-San dari Big Osaka!" kata Yuichi girang.
"Eh? Kok kebetulan lagi ya? Kau juga suka Higo-San kan?" kata Shinichi pada Ran.
"Uhm," Ran mengangguk kikuk, lelah harus terus-menerus seperti ini.
"Sudahlah, kita pulang sekarang," ujar Shiho seraya meraih ransel Yuichi.
"Dadah ojisan!" Yuichi melambai pada Shinichi.
"Ayo!" Hakuba menggandeng tangan Yuichi di satu sisi sementara Shiho di sisi lain.
Shinichi memandang punggung mereka bertiga yang berjalan menjauh. Hakuba dan Shiho sesekali mengangkat tinggi tubuh Yuichi. Yuichi hanya tergelak senang karena merasa seperti terbang. Hakuba dan Shiho terkekeh melihat tingkahnya. Mereka cukup serasi juga, seperti sepasang suami istri dengan anak. Keluarga kecil yang bahagia. Tapi, entah kenapa Shinichi merasa tak nyaman. Walau sedikit, ada kedut-kedut tak suka jauh di dalam lubuk hatinya. Senyum Shiho memang cantik dan menawan, tapi mengetahui senyum itu tercipta karena Hakuba, Shinichi merasa sedih. Apakah ia cemburu? Tapi ia kan sudah memiliki tunangan?
"Gara-gara ngomong okonomiyaki, aku jadi ingin okonomiyaki," gumam Shinichi seraya memasuki sebuah kedai di Tokyo.
"Eh? Aku baru tahu ada kedai okonomiyaki di sini," kata Ran seraya duduk di sebelah Shinichi, di meja bar.
"Masa? Bukannya dulu sudah pernah kuajak?"
"Belum kok!"
"Sudah ah! Kau yang lupa kali!"
"Masa ya?" Ran bertopang dagu.
"Taku..."
"Ngomong-ngomong aku mau ke toilet dulu sebentar,"
"Eh," sahut Shinichi.
"Ara! Kudo Shinichi? Bawa pacar baru?" tanya bibi koki.
"Eh?" Shinichi melongo memandangnya, "pacar baru?"
"Wanita yang tadi itu pacarmu kan?"
"Iya namanya Ran,"
"Wah berarti benar kau ganti pacar. Tujuh tahun lalu kan pacarmu Shiho, wanita cantik blasteran Inggris,"
Shinichi melongo, "Shiho? Tidak ah, pacarku Ran,"
Bibi koki berdecak, "Duh! Kau seperti orang amnesia saja. Dulu pacarmu itu Shiho, kau sendiri yang bilang Shiho itu seperti Dr. Watson dan Irene Adlermu,"
Shinichi berjengit, "Apa iya aku berkata begitu?"
"Sini, aku punya buktinya," bibi koki melambaikan tangan mengajak Shinichi ke pojok ruangan. Di sana terdapat pajangan bingkai-bingkai foto. Bibi koki menunjuk salah satu bingkainya. Foto Shinichi, Shiho dan si bibi koki bertiga.
Shinichi mengerjap kaget, "Ini..."
"Foto kita bertiga. Aku dulu minta foto supaya bisa dipajang di sini sebagai bukti detektif terkenal Kudo Shinichi bersama partnernya pernah kemari,"
Shinichi menatap foto itu lekat-lekat. Tidak salah lagi. Itu adalah Shiho. Miyano Shiho dengan dirinya. Apa maksud semua ini? Tujuh tahun lalu? Apa jangan-jangan benar pernah ada sesuatu diantara mereka? Lalu apa jangan-jangan Yuichi itu...
.
.
.
.
.
"Terima kasih untuk hari ini Miyano-San," kata para ahli forensik seraya keluar dari ruangan.
Shiho keluar ruangan paling akhir. Baru saja ia menutup pintu di belakangnya, ia bertemu Shinichi di koridor.
"Kudo-Kun?"
"Ada yang ingin kutanyakan Miyano-San," kata Shinichi serius.
"Nani?" Shiho memandangnya ingin tahu.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Shiho mengernyit, "Kau pernah menanyakan hal itu dan jawabanku tetap tidak," ujarnya seraya berlalu.
Shinichi meraih lengannya.
"Kudo-Kun?!" Shiho berusaha menyentak lengannya, namun Shinichi bertahan.
"Siapa ayah Yuichi?"
"Siapapun ayahnya, bukan urusanmu!" Shiho menyentak lebih keras hingga terlepas.
"Shiho!"
"Berhentilah menggangguku!" bentak Shiho, "urus saja urusanmu sendiri dengan tunanganmu. Aku tidak mau gara-gara sikapmu ini menimbulkan salah paham kepada semuanya. Terlebih lagi Hakuba sedang dalam perjalanan kemari,"
"Hakuba? Kau berkencan dengan Hakuba?"
"Eh," Shiho mengangguk untuk mempertegas dustanya, "kenapa? Masalah denganmu?" tantangnya seraya berlalu pergi dengan dagu terangkat.
"Ada apa Shiho? Suasana hatimu sepertinya sedang buruk," tanya Hakuba seraya menyetir.
"Tidak apa-apa," sahut Shiho.
"Mengenai Kudo-Kun?" tebak Hakuba.
Shiho mendengus, "Kalian para detektif sama saja, selalu ingin tahu,"
Hakuba nyengir.
Shiho akhirnya menceritakan mengenai kecurigaan Shinichi.
"Maaf, aku terpaksa bilang kita berkencan," kata Shiho.
Hakuba mengerjap, "Tidak apa-apa," Semoga jadi sungguhan.
"Aku sudah tak tahan lagi ingin segera kembali ke Inggris,"
"Aku memang belum pernah punya anak. Tapi aku tahu antara anak dan orang tua memiliki keterikatan tertentu. Wajar saja jika dia curiga, terlebih lagi mereka memang mirip kan!"
"Eh, itulah yang kutakutkan saat mendapatkan tugas ini,"
"Sabarlah Shiho, tinggal beberapa bulan lagi. Pelakunya tertangkap atau tidak kan bukan urusanmu. Tugasmu hanya memberikan training,"
"Memang,"
"Lagipula beberapa hari lagi Kudo-Kun dan Mouri-San akan menikah. Dia tidak akan sempat lagi mencari tahu perihal dirimu dan Yuichi,"
Shiho menghela napas lelah, "Kuharap begitu,"
"Ada apa Ran?" tanya Shinichi, "Kau tidak seperti wanita yang ingin menikah besok,"
Sore hari itu Shinichi dan Ran sedang berada di ruang tengah rumah keluarga Kudo. Besok adalah hari pernikahan mereka.
Ran bimbang, tidak tahu apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, ia tidak nyaman menjadi sosok orang lain yang diingat Shinichi. Namun di sisi lain, ia juga tidak sanggup kehilangan Shinichi.
"Tidak apa-apa, aku hanya gugup saja," dusta Ran.
Shinichi tersenyum seraya menggenggam tangan Ran, "Semuanya akan baik-baik saja,"
"Eh," Ran mengangguk.
"Setelah pemberkatan besok, kau akan menjadi Kudo Ran,"
"Uhm," Ran tersenyum.
"Mungkin sebaiknya kau istirahat lebih cepat malam ini. Aku tidak mau mempelai wanitaku jadi Putri Setan Mengantuk besok,"
Ran menghela napas sabar seraya berdiri, "Hai,"
Shinichi ikut beranjak, "Kuantar kau sampai rumah,"
"Tidak, tidak usah," tolak Ran halus, "aku pulang sendiri saja, kan dekat,"
"Baiklah, hati-hati,"
"Sampai besok," Ran melambai.
"Sampai besok," Shinichi balas melambai sebelum menutup pintu rumahnya.
Shinichi naik kekamarnya. Ia menaruh tinju di mulutnya saat menguap ngantuk. Ketika melakukan itu, terlihat gelang kulit tali di pergelangan tangan kanannya.
Gelang ini? Sepertinya sudah lama tidak dicuci... gumam Shinichi dalam hati.
Ia akhirnya mencopot gelang itu dan membawanya ke wastafel kamar mandi untuk dicuci. Gelang itu sudah melilit di tangannya selama tujuh tahun dan ia tak pernah melepasnya. Ia bawa-bawa juga saat mandi namun tak pernah benar-benar dicuci. Mengingat besok adalah hari pentingnya, Shinichi ingin semuanya keliahatan bersih. Perlahan-lahan ia pun menggosok bahan kulit yang bagus itu dengan sabun khusus.
Eh? Apa ini? Shinichi tertegun ketika merasakan sesuatu yang keras di bagian dalam gelang itu. Ada sebuah kantong kecil, ia pun mengeluarkan benda dari kantong tersebut.
Memory Card? Shinichi mengernyit. Tujuh tahun mengenakan gelang ini, ia tak pernah tahu ada memory card di dalamnya.
Shinichi membawa memory card itu ke meja kerjanya dan menyambungkannya ke laptop pribadinya. Jantungnya berdebar-debar oleh rasa penasaran akan isi memory card tersebut.
Saat loading sudah selesai, muncul banyak jendela di laptopnya. Shinichi menegang. Bola matanya membesar saat melihat semua itu. Foto-fotonya dan Shiho.
"Janji, kau ada saat aku bangun,"
"Eh, kau kan sudah kubekali dengan kenangan yang banyak. Jadi tak usah takut,"
"Masih takut melupakanku?"
"Tidak, aku yakin tak akan lupa,"
"Ah aku sedang membuat sandwich dengan selai blueberry dan kacang"
"Aku tak sanggup! Tinggalkan saja aku Kudo-Kun!"
"Kau bicara apa! Jangan menyerah! Ayo!"
Cuplikan-cuplikan timeline mundur berputar di benak Shinichi. Shinichi memejamkan mata seraya mencengkram kepalanya, namun adegan-adegan itu terus berlanjut.
"Aku minta okonomiyaki bukan takoyaki!"
"Strap Higo-San itu hanya satu-satunya saja di dunia ini!"
"Maaf deh kalau aku hanya menjadi Putri Setan Mengantuk bagimu,"
"Sepertinya statusku sudah turun dari partner jadi pembantu"
"Kau akan melindungiku kan?"
"Jangan lari dari takdirmu Haibara,"
Kepala Shinichi dibanjiri oleh ingatan-ingatan itu tanpa ia sanggup menghentikannya. Shinichi mencengkram kepala dengan kedua tangannya erat-erat seraya menggeram, "Arghhh!"
.
.
.
.
.
"Sudah jam berapa ini? Kok dia belum datang juga?" tanya Kogoro seraya melirik arlojinya.
"Eh, pemberkatannya padahal sebentar lagi," timpal Eri.
Ran yang sudah mengenakan gaun pengantin putih, menunggu di lorong gereja. Tampak gugup dan cemas.
"Tunggu saja sebentar lagi," pinta Yukiko.
Yusaku hanya diam, entah kenapa ia mendapat firasat tidak enak.
Mendadak HP Ran bergetar.
"Mungkin itu Shinichi," kata Yukiko.
Ran membuka chatnya dan terperangah. Shinichi tidak mengirimkan teks apapun di chatnya, melainkan hanya sebuah foto. Foto Shinichi dan Shiho dengan kimono saat di Hokkaido. Airmata Ran mengalir.
"Ada apa Ran?" tanya Kogoro.
Ran terisak seraya terpuruk di lantai sambil memeluk HP nya di dada. Ia sadar pernikahannya dengan Shinichi takkan pernah terjadi. Dalam lubuk hatinya ia tahu, cepat atau lambat hal ini akan datang. Tapi mengapa harus di hari pernikahannya?
"Ran?" desak Eri.
"Dia ingat semuanya..." ucap Ran lirih.
"Sudah siap?" tanya Hakuba.
"Sudah!" sahut Yuichi riang.
Hari ini Hakuba janji mau mengajak Shiho dan Yuichi ke Tropical Land. Namun ketika baru mau masuk mobil tiba-tiba sosok itu muncul.
"Yuichi," panggil Shinichi.
Yuichi menoleh dan tampak senang, "Shinichi ojisan!"
Shiho dan Hakuba bertukar pandang, bukankah harusnya hari ini Shinichi menikah?
Shinichi menunduk menghadapi Yuichi, "Yuichi suka okonomiyaki kan?"
"Uhm, suka sekali!"
"Hari ini ojisan mau ke Osaka. Hattori ojisan tahu tempat okonomiyaki paling enak di sana. Mau ikut?" tawar Shinichi.
"Eh? Kudo-Kun?" Shiho memandangnya bingung.
Shinichi tidak menghiraukannya.
"Yuichi mau sih, tapi..."
"Ayo kita pergi," ajak Shinichi seraya menggandeng tangan Yuichi.
"Kudo-Kun! Apa-apaan?!" seru Shiho marah, "jangan seenaknya membawa Yuichi pergi!"
Shinichi menghentikan langkahnya dan menoleh sedikit pada Shiho, "Kenapa memangnya?" tanyanya dingin, "aku toh berhak membawanya pergi tanpa seijinmu, karena aku ayah kandungnya,"
Hakuba dan Shiho terkesiap, Yuichi pun kaget.
"Benar kah itu ojisan? Ojisan adalah Otosan?" tanya Yuichi.
Tatapan Shinichi melembut ketika ia berjongkok menghadapi Yuichi, "Eh..."
"Hentikan Shinichi!" teriak Shiho mencegah.
Shinichi lagi-lagi tidak peduli, "Aku ayah kandungmu Yuichi,"
Shiho terhenyak, "Kau... Apa kau ingat?"
Shinichi berdiri lagi seraya memandang Shiho tajam, "Tidak satupun yang terlupakan,"
Shiho gemetar.
"Kau mengingkari janjimu Shiho. Kau bilang kau akan ada saat aku sadar, tapi mana buktinya?! Kau pergi begitu saja! Tidak sekalipun kau berusaha membuatku mengingat!" Shinichi mulai marah.
Air mata Shiho mengalir.
"Selama tujuh tahun aku hidup seperti orang bodoh! Kenangan-kenangan yang kuingat, aku kira melaluinya bersama Ran, tapi ternyata wanita itu adalah dirimu! Lalu kau ke mana? Kau tak ada! Kau membuatku tidak bisa memeluk putraku sendiri! Aku tidak dapat menjalankan tanggung jawabku sebagai ayah, bahkan putraku memiliki Hi5 khusus dengan pria lain! Apa sih susahnya membuatku ingat?! Apa sih sulitnya mempertemukanku dengan Yuichi?!
Shiho menangis seraya menutup wajahnya.
"Tenangkan dirimu Kudo-Kun," pinta Hakuba, "kita bisa bicarakan baik-baik. Asal kau tahu selama tujuh tahun ini Shiho juga menderita,"
"Itu adalah pilihannya sendiri!" tukas Shinichi tajam dengan mata juga berkaca-kaca, "dia memilih untuk menderita sendiri, dia yang tidak membiarkanku untuk menemaninya semasa kehamilan, dia yang tidak memberiku kesempatan untuk mendampinginya saat melahirkan. Bukan aku yang menyuruhnya menanggung semua hal itu sendiri. Aku tidak tahu!"
"Lalu apa kau berusaha?!" Shiho membentak balik.
"Nani?" Shinichi mengernyit.
"Aku bisa apa?! Pada kenyataannya sebelum hilang ingatan, kau berkencan dengan Ran-San! Aku hanya partner biasa! Tiba-tiba kau hilang ingatan di markas itu dan mengaku mencintaiku. Aku tidak tahu itu hanya cinta semu atau bukan! Saat kau melalui operasi itu dan ingatan lamamu kembali, apa kau kira aku punya muka untuk merebutmu dari Ran?!"
"Kenapa kau tidak percaya padaku?!"
"Gelang itu! Sudah tujuh tahun kau memakai gelang itu! Kau detektif tapi kau tidak tahu ada memory card di dalamnya!" Shiho sesenggukan hebat, "aku tak bisa memintamu dari Ran, kecuali kau sendiri yang memilih untuk menemuiku. Aku percaya padamu! Kau bilang akan berusaha untuk mengingatku tapi nyatanya?! Aku menunggumu sampai kau melihat kenangan di gelang itu... Aku berharap kau segera menyusulku ke Inggris... Tapi kau tak pernah datang..." ia terpuruk di aspal seraya mencengkram dadanya yang sakit tersengat.
Yuichi menyentak lepas tangannya dari pegangan Shinichi. Ia menghampiri Shiho, berdiri di depannya dan merentangkan tangannya lebar-lebar.
"Yuichi?" Shinichi bingung dengan sikapnya.
"Ojisan tidak boleh memarahi Okasan," kata Yuichi dingin, "Ojisan tidak boleh membuat Okasan sedih,"
"Yuichi..." Shiho memanggil putranya.
Yuichi berbalik seraya menangkup wajah ibunya, "Okasan... Jangan sedih. Yuichi akan melindungi Okasan,"
"Gomene Yuichi... Okasan yang membuat Yuichi tidak pernah bertemu Otosan... Yuichi tidak marah?" tanya Shiho tercekat.
Yuichi menggeleng, "Yuichi tidak marah. Selama tujuh tahun ini kita sudah bahagia berdua saja. Tidak ada Otosan juga tidak apa-apa. Yuichi tidak mau punya Otosan yang menyakiti Okasan,"
Shinichi terhenyak dengan perkataan putranya.
Shiho memeluk Yuichi sambil terus menangis.
Shinichi menunduk sedih memandang ibu dan anak yang saling berpelukan itu. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya. Ia juga ingin memeluk ibu dan anak itu sekaligus. Tapi ia ragu apakah kehadirannya diperlukan? Namun mendadak ia mengerjap ketika melihat keganjilan itu. Ada sinar laser merah melayang-layang diantara Shiho dan Yuichi. Insting detektifnya pun bekerja.
"Awas!" Shinichi memeluk Shiho dan Yuichi berdua sekaligus dan membawa mereka menyingkir.
Duar! Terdengar suara letupan tembakan.
"Hei!" Hakuba mengejar pelaku yang bersembunyi di gedung seberang dengan mobilnya.
"Kau tak apa-apa Shiho?" tanya Shinichi.
"Aku..." belum sempat Shiho menjawab terdengar suara Yuichi mengeluh.
Yuichi memegang perutnya sebelah kiri dan ada darah bersimbah di sana. Wajah anak itu pucat pasi dan berkeringat. Ia terkena tembakan.
"Yuichi!" Shiho mendekap putranya.
"Ka san..." bisik Yuichi lirih seraya memandang Shiho, "To... san..." lalu ia memandang Shinichi, "jangan... bertengkar... lgi..." ia pun memejamkan matanya.
"Yuichi!" Shiho histeris seraya memeluk putranya erat-erat.
Shinichi segera menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit.
"Yuichi!" Shiho tak rela ketika anaknya dibawa masuk ke ruang operasi seorang diri.
Shinichi merengkuhnya untuk mencegahnya.
"Aku harus bersamanya!" Shiho menggeliat.
"Tenangkan dirimu Shiho, biar mereka menanganinya," pinta Shinichi berusaha mengendalikan Shiho.
"Aku tak bisa kehilangan dia..." Shiho terpuruk di lantai.
"Shiho!" Shinichi merangkulnya.
"Dia putraku satu-satunya," isak Shiho seraya menutup wajahnya.
Shinichi memeluknya, "Gomene Shiho..."
Shiho dan Shinichi akhirnya menunggu dalam diam. Pandangan mata Shiho kosong, namun sesekali masih terdengar suara isaknya. Ketika operasi baru jalan lima belas menit. Mendadak seorang perawat keluar dari dalamnya.
"Keluarga Miyano Yuichi?" panggil perawat tersebut.
Shiho dan Shinichi berdiri menghampiri perawat.
"Bagaimana Yuichi?" tanya Shiho.
"Yuichi-Kun kehilangan banyak darah. Sementara stock golongan darahnya di rumah sakit ini tidak mencukupi," jelas perawat.
Shinichi memandang Shiho.
Shiho menunduk seraya berkata, "Golongan darahku dan Yuichi tidak sama,"
Shinichi mengerti, lalu berkata pada perawat, "Ambil darahku saja, aku ayahnya,"
Perawat itu menyilakan Shinichi masuk.
Selama proses transfusi darah, Shinichi memandang putranya yang terbaring di sisi ranjang sebelahnya. Matanya terpejam dan mengenakan masker oksigen.
Bertahanlah Yuichi... Kau anak yang kuat... Otosan yakin kau sanggup melewatinya... Batin Shinichi penuh harap.
.
.
.
.
.
Yuichi berhasil melewati masa kritisnya. Shiho yang menunggui putranya di pembaringannya akhirnya ketiduran, efek kelelahan karena terlalu banyak menangis. Ketika matahari mulai terbit, Shinichi menutup gorden agar Shiho tidak terbangun. Wanita itu masih perlu istirahat sedikit lagi. Jasnya yang ia pakai untuk menyelimuti Shiho agak merosot. Shinichi membetulkannya sebelum keluar dari kamar.
Shinichi menghempaskan tubuhnya di kursi koridor seraya memijat-mijat tengkuk lehernya. Tiba-tiba ada yang menyodorkannya kopi dalam sebuah gelas kertas. Ternyata Hakuba.
"Arigatou," ucap Shinichi seraya menerima gelas tersebut.
Hakuba duduk di sampingnya sambil menyeruput kopinya sendiri, "Pelakunya berhasil tertangkap. Inspektur Megure dan timnya berhasil menyerbu markas mereka dan menangkap para pimpinan anggota,"
"Berita bagus,"
"Bagaimana Yuichi?"
"Masa kritisnya sudah lewat, masih harus dimonitor,"
"Shiho masih di dalam?"
"Eh, tidur,"
Hening sejenak.
"Aku tak berkencan dengan Shiho," Hakuba memberitahu kebenarannya.
"Uhm?" Shinichi memandangnya.
"Ia bilang begitu supaya kau tidak mengganggunya,"
Shinichi hanya menyeruput kopinya supaya ada kegiatan yang tidak canggung.
"Empat tahun lalu, ada kasus yang membuatku harus datang ke kantor MI6. Saat itulah aku bertemu Shiho untuk pertama kalinya. Yuichi baru berusia tiga tahun," Hakuba mulai cerita.
Shinichi menyimaknya.
"Yah seperti yang bisa kau tebak alurnya. Aku jatuh cinta pada Shiho. Dia cantik, cerdas dan elegan. Berusaha terlihat kuat walaupun sebenarnya tidak. Aku juga sangat menyayangi Yuichi dan sudah menganggapnya sebagai putraku sendiri...
"Bukan satu dua kali saja, tapi seringkali aku mengajak Shiho kencan untuk menaikkan status hubungan kami. Tapi," Hakuba mengedikkan kedua bahunya, "Shiho bergeming. Ia tidak bersedia menerimaku karena takut menyakitiku. Dia tidak mampu menjamin bisa jatuh cinta padaku. Shiho bilang hanya bisa mencintai satu orang saja di dunia ini, baik dia memilikinya atau tidak. Pria yang dicintainya adalah ayah Yuichi. Saat itu aku belum tahu siapa ayahnya, aku jadi bertanya-tanya pria hebat mana yang sanggup menundukkan Shiho. Rupanya kau,"
"Kapan kau tahu aku ayahnya?"
"Ketika Yuichi berusia 5 tahun, fisiknya mirip sekali denganmu. Aku jadi tahu sendiri tapi aku tak mau terlalu membahasnya. Itu privasi Shiho,"
"Aku penasaran, apa yang Shiho katakan tentangku kalau Yuichi bertanya mengenai ayahnya? Apakah aku dibilang sudah meninggal,"
Hakuba mengerjap, "Shiho tak sekejam itu. Dia hanya bilang pada Yuichi ayahnya adalah detektif hebat yang sedang menangani kasus berbahaya sehingga belum bisa pulang supaya keselamatan mereka tidak terancam. Karena itulah Yuichi bercita-cita untuk jadi detektif supaya bisa membantu kasus ayahnya sehingga ayahnya cepat pulang. Kami menjadi akrab karena Yuichi ingin belajar menjadi detektif dariku,"
Shinichi mengusap wajah dengan telapak tangannya.
"Tempatkanlah dirimu di posisinya. Cintanya padamu begitu besar. Wanita mana yang sanggup membiarkan pria yang dicintainya bersama wanita lain. Dia ingin bersamamu namun tidak ingin menghancurkan kebahagiaan orang lain, sehingga dengan memiliki bagian dirimu di dalam Yuichi, itu sudah membuatnya cukup bahagia,"
"Pikiranku kacau. Bagaimana mungkin selama ini bisa begitu? Aku teman Ran dari kecil. Aku mencintainya sebelum tragedi di markas itu. Tapi ketika amnesia aku hanya ingat Shiho. Bahkan setelah operasi itu, kenangan-kenangan yang aku ingat dan kukira melaluinya bersama Ran, ternyata sebenarnya bersama Shiho. Sandwich, okonomiyaki, Big Osaka dan Setan Mengantuk. Semuanya adalah Shiho. Maksudku kenapa Ran tidak memberitahuku? Kenapa dia berpura-pura? Kenapa dia mengakui hal yang tidak pernah kulewati bersamanya?"
Hakuba memberikan analisisnya, "Pertama-tama mengenai ingatanmu pada Shiho, bisa jadi sebenarnya selama ini, terutama sebelum kejadian di markas itu, kau sudah mencintai Shiho. Kau hanya tidak menyadarinya. Kau terbiasa tumbuh bersama Ran-San dari kecil sehingga kau kira kau mencintainya, padahal kau menyukai Shiho. Lalu ketika terjadi amnesia, alam bawah sadarmu yang jujur itu yang muncul. Alam bawah sadarmu yang mencintai Shiho. Bahkan setelah operasi yang kau ingat adalah kenanganmu bersama Shiho, masalahnya yang kau lihat pertama kali begitu kau sadar adalah Ran-San. Jika yang kau lihat adalah Shiho, belum tentu akan tertukar,
"Yang kedua mengenai ketidakjujuran Ran-San. Well, walau aku bukan pakarnya, tapi ada dua jenis cinta di dunia ini. Cinta yang membebaskan dan cinta yang egois. Mungkin Ran-San takut kehilangan dirimu lagi, sehingga ia memilih diam. Atau mungkin juga dia takut kau tambah bingung karena amnesiamu, sehingga ia memilih menutupinya," Hakuba mengakhiri deduksinya.
Shinichi menghela napas seraya menyandarkan kepalanya ke dinding.
"Sekarang ingatanmu telah lengkap kembali. Jujurlah pada dirimu sendiri Kudo-Kun, siapa yang kau cintai saat ini. Kalau kau mencintai Ran-San, biarkan Shiho dan Yuichi kembali ke Inggris untuk hidup tenang. Aku yakin Shiho pasti merestuimu. Tapi bila yang kau cintai adalah Shiho, maka jangan pernah melepasnya lagi. Lagipula aku yakin jika aku berusaha terus, kelak Shiho akan menerima cintaku,"
Mata Shinichi menyipit tajam ketika menatap Hakuba seraya berkata dengan nada suara berbahaya, "Jangan coba-coba,"
"Atau?"
"Atau aku akan menjejalimu dengan APTX 4869," ancam Shinichi.
Hakuba hanya tertawa geli.
.
.
.
.
.
Shiho termangu ketika melihat Yusaku dan Yukiko datang menjenguk Yuichi di rumah sakit. Mereka datang pada saat Yuichi sedang tidur.
"Shiho..." Yukiko menghampiri Shiho.
"Y-Yukiko-San..." Shiho sulit menebak ekspresi wajah Yukiko. Shiho khawatir dia marah karena selama ini menyembunyikan Yuichi. Belum lagi kejadian batalnya pernikahan Shinichi.
"Shiho!" Yukiko akhirnya memeluk Shiho dengan air mata berlinangan.
"Yukiko-San..." Shiho salah tingkah.
"Maaf sudah menyusahkanmu selama tujuh tahun ini," isak Yukiko.
"Kau tidak marah?" tanya Shiho.
Yusaku yang menanggapi, "Mana mungkin kami marah, Shiho. Dulu berkat dirimu Shinichi akhirnya bersedia dioperasi, lalu kau menghadirkan Yuichi. Kau memberi kami keluarga Kudo dua kehidupan. Kami sungguh berhutang padamu,"
Shiho mengerjap, matanya berkilauan karena haru.
Yukiko menggenggam tangan Shiho, "Terima kasih Shiho-Chan. Terima kasih karena kau melahirkannya. Dia luar biasa," ujarnya seraya memandang Yuichi.
"Eh," Shiho mengangguk sambil memandang putranya juga.
"Shinichi tidak melupakanmu," kata Ran.
Sore itu Ran dan Shiho berjalan-jalan di sekitar taman rumah sakit seraya berbincang-bincang.
"Dia mengingat semua yang dilewatinya bersamamu, hanya saja dia salah mengingat. Dia kira itu aku," lanjut Ran, "semua kesukaan Shiho, dia tak pernah lupa,"
Shiho terdiam.
"Padahal kami berteman sejak kecil hingga berkencan setelah dewasa. Tapi dalam amnesianya Shinichi hanya mengingat Shiho. Aku akhirnya menyadari sesuatu. Mungkin dari dulu dia sudah mencintaimu, sejak kau masih Haibara Ai. Dia menyukaimu tapi tidak menyadarinya,
"Aku juga salah. Aku mengetahui kemungkinan itu tapi tetap diam. Awalnya aku bungkam mengenai keberadaan dirimu karena takut kondisi Shinichi yang belum stabil. Aku berpikir mungkin kelak aku akan mengatakannya. Tapi itu tidak pernah kulakukan. Kebohongan demi kebohongan, dusta demi dusta. Aku mengiakan semuanya mengikuti ingatan Shinichi. Aku perlahan-lahan menjadi egois. Aku tak mau kehilangannya, sehingga akhirnya aku diam meski nuraniku terusik. Gomene Shiho, aku memang wanita yang manja. Aku tak setegar dirimu," Ran mengusap air matanya.
"Tidak Ran-San. Sejak dulu Shinichi milikmu, aku memang tidak berhak merebutnya dari sisimu," ujar Shiho.
Ran menggeleng, "Kau mencintainya dan sejak Shinichi menaruh hati padamu, dia bukan lagi milikku. Aku lah pengganggunya,"
"Ran-San..."
Ran menarik napas panjang seraya menengadah memandang langit, "Begini lebih baik Shiho. Aku lega karena tidak harus berpura-pura lagi, aku puas dengan tidak menjadi bayang-bayang dirimu. Aku tidak ingin menjadi wanita kejam yang bahagia di atas penderitaan orang lain. Aku malu mengetahui cintamu pada Shinichi begitu besar. Merawat anaknya seorang diri sementara kau merelakannya bersamaku. Cintamu padanya begitu membebaskan. Kaulah yang paling berhak mendapatkannya,"
"Kau sepertinya mau pergi?" tebak Shiho.
"Uhm," Ran mengangguk, "Okasan mendapat promosi di Amerika dan ia ingin mengajakku. Aku akan memulai kehidupanku di sana,"
"Kau tidak berpamitan pada Shinichi dulu?"
Ran menggeleng, "Sampaikan saja salamku padanya. Aku doakan yang terbaik untuk kalian. Kau, Shinichi dan Yuichi," ujarnya seraya melambai dan berlalu pergi.
Shiho memandangnya hingga punggungnya hilang di belokan koridor.
"Langsung ke rumahku saja Shiho, untuk apa ke apartemen lagi?" gerutu Shinichi seraya berjalan mengikuti Shiho di belakang.
"Aku masih terikat kontrak dengan MI6, apartemen itu adalah tempat dinasku, mana bisa aku keluar dari protokol," sahut Shiho seraya berjalan cepat menuju kamar Yuichi yang akan pulang dari rumah sakit hari itu.
"Pelakunya sudah tertangkap dan bulan depan kan kontrakmu dengan kepolisian sudah selesai. Untuk apa masih di apartemen? Lebih aman di rumahku," bujuk Shinichi.
Shiho berbalik memandangnya seraya melipat tangannya, "Justru karena kontraknya sudah selesai, bulan depan aku harus kembali ke Inggris,"
Shinichi terbelalak, "Nani?"
"Aku harus setor muka dan membuat laporan dinas,"
"Yuichi kau bawa juga?"
"Tentu saja,"
"Tapi Shiho..." Shinichi merajuk.
"Lagipula aku bukan siapa-siapamu, tinggal di rumahmu akan menjadi gunjingan orang,"
"Alasan saja! Kita sudah punya anak satu hasil dari Hokkaido dan kau masih memikirkan gunjingan orang?"
"Hentikan semua ini, aku malas berdebat denganmu," gerutu Shiho seraya membuka pintu kamar Yuichi, "Yuichi... Eh?" mendadak ia melongo.
Shinichi juga bergeming.
"Yuichi mana?" Shiho mencari-cari sampai kamar mandi, namun anaknya tidak ada.
"Lihat ini ada surat," Shinichi meraih sepucuk surat di ranjang.
Shiho ikut membacanya.
Otosan! Okasan! Tolong! Yuichi diculik!
Shinichi dan Shiho saling pandang seraya menyipitkan mata. Mereka memikirkan hal yang sama. Tak ada korban penculikan yang sempat menulis surat.
Penculiknya nanti akan memberi instruksi dari ponsel! Ikuti saja apa mau mereka supaya aku selamat!
"Pasti ini kerjaan Otosan dan Okasan," tebak Shinichi.
"Jadi sekarang bagaimana?" tanya Shiho.
"Ya, ikuti saja dulu permainan mereka,"
Mendadak ponsel Shinichi dan Shiho bergetar. Terdapat sebuah pesan yang isinya sama. Instruksi pertama dari penculik Yuichi.
Shinichi dan Shiho saling pandang lagi, "SD Teitan?"
"Ojiisan, apa ini akan berhasil?" tanya Yuichi yang mengintip orang tuanya dari balik pintu darurat.
Yusaku dan Yukiko bertukar cengiran.
"Tenang saja Yui-Chan. Pasti berhasil," gumam Yukiko seraya mengedipkan sebelah matanya dengan centil.
Permainan pun dimulai.
.
.
.
.
.
"Memangnya ada apa di sini?" gumam Shinichi seraya berjalan melewati koridor kelas-kelas anak SD Teitan.
"Entahlah," sahut Shiho bosan.
Ponsel mereka bergetar lagi.
"Wefie di depan majalah dinding," Shiho membaca pesannya.
Shinichi memutar bola matanya, "Ada-ada saja,"
Mereka menuju majalah dinding. Sesampainya di sana mereka tertegun. Majalah dinding tersebut sudah diatur. Semuanya memajang foto-foto Edogawa Conan dan Haibara Ai. Ada yang berdua saja, ada yang bersama Detektif Cilik juga.
"Ini kan..."
"Foto kita," Shinichi melengkapi kata-kata Shiho.
Mau tidak mau ingatan Shinichi dan Shiho kembali ke masa itu. Masa-masa ketika tubuh mereka masih mengecil bersama. Di waktu itu, hubungan mereka perlahan-lahan berkembang. Kepercayaan tumbuh hingga menjadi partner.
"Ini waktu kau baru masuk," Shinichi menunjuk satu foto, "kau tampak galak sekali,"
"Ah ya," Shiho mengakui.
"Kau mengerjaiku seolah-olah Hakase sudah meninggal,"
Shiho terkekeh meledek, "Kau juga gampang dikerjai,"
Shinichi nyengir lalu menujuk foto lain, "Di sini kau mulai tersenyum dan menyukai sepakbola. Pengagum fanatik Higo-San dari Big Osaka,"
Gantian Shiho nyengir, "Berkat kau yang meracuniku,"
"Ini waktu festival boneka," Shinichi menunjuk foto lain.
"Ah, aku ingat. Yoshida-San berusaha mengatur agar kau menjadi raja dan dia menjadi permaisurinya. Sementara aku, Tsuburaya-Kun dan Kojima-Kun adalah selir,"
Shinichi terkekeh, "Benar-benar, akhirnya semua berantakan,"
Shiho menunjuk satu foto, "Ini foto bersama Inspektur Takagi, sewaktu kita memecahkan kasus menggunakan drone,"
"Yang ini sewaktu kita mencari tanaman bersama Rumi dan Kobayashi-Sensei,"
Mereka tersenyum-senyum ketika bernostalgia.
"Wefie sekarang?" tanya Shinichi.
"Eh, pakai punyamu saja," kata Shiho.
Shinichi mengangkat ponselnya dan foto bersama Shiho di depan majalah dinding.
"Duuuuh... masih kaku..." keluh Yuichi saat melihat hasil foto itu. Shinichi dan Shiho yang tersenyum malas-malasan.
Yuichi, Yusaku dan Yukiko bersembunyi di salah satu ruang kelas SD Teitan.
"Tenang tenang Yui-Chan, misinya masih banyak," Yukiko menenangkan cucunya.
"Kita kirim instruksi berikutnya," kata Yusaku.
"Main sepakbola bersama dan setelah itu wefie. Lagi?!" gerutu Shinichi saat membaca instruksi berikutnya di ponsel.
"Haduh, aku sudah lama tidak main bola," keluh Shiho.
"Mau bagaimana lagi? Ayo kita coba ke lapangan,"
Di lapangan ada beberapa bocah lelaki dan perempuan yang sedang latihan sepakbola bersama. Shinichi menghampiri mereka dan meminta bergabung untuk bermain. Akhirnya Shinichi bergabung dengan grup lelaki dan Shiho dengan grup perempuan. Shinichi begitu lincah sehingga dalam sekejap grup perempuan ketinggalan skor.
"Kau curang Shinichi!" gerutu Shiho ketika Shinichi sekali lagi membuat gol.
"Heh aku sudah pakai kaki kiri ini, tidak pakai kanan!" gerutu Shinichi.
Diam-diam dikejauhan Yukiko merekam permainan mereka. Yuichi terkikik geli melihat orang tuanya bertengkar gara-gara bola.
"Ada mayat!" tunjuk Shiho ke belakang Shinichi.
"Eh?" Shinichi menoleh.
Memanfaatkan perhatian yang teralih, Shiho langsung mengambil bolanya.
"Itu baru namanya curang Shiho!" hardik Shinichi yang baru sadar dikerjai Shiho.
Gol! Akhirnya tim wanita mencetak skor.
"Hmph! Kan sudah kubilang kau gampang dikerjai," Shiho mengangkat dagunya dengan angkuh ketika berjalan melewati Shinichi.
"Taku!"
Mereka mulai menggocek bola lagi dan berhadapan di tengah.
"Inspektur Megure!" tunjuk Shiho.
"Aku takkan tertipu lagi!" oceh Shinichi.
Shiho akhirnya menggunakan taktik lain. Ia mencondongkan tubuhnya dan memberikan kecupan ringan super cepat di bibir Shinichi. Shinichi melongo dengan wajah memerah. Para pemain juga tertegun.
"Wahhhh!" Yukiko dan Yuichi berseru bersamaan.
Memanfaatkan kelengahan Shinichi yang terhipnotis, Shiho berhasil merebut bola dan mencetak skor lagi.
Skor akhirnya dimenangkan grup pria dengan nilai beda tipis, 3-2. Shinichi dan Shiho berfoto wefie bersama anak-anak. Yuichi dan Yukiko terlihat lebih senang dengan foto itu. Tidak terlalu kaku lagi, senyum Shinichi dan Shiho lebih mengembang.
"Ayo sedikit lagi!" Yukiko memberi semangat.
"Taman Bunga Kota Beika. Main ayunan dan wefie," Shiho membaca pesan di ponselnya.
"Apalagi coba," gerutu Shinichi.
Mereka akhirnya menuju Taman Bunga Kota Beika. Hari sudah menjelang sore, sehingga taman tersebut telah sepi pengunjung. Shiho duduk di salah satu ayunan sementara Shinichi membantu mendorong ayunannya.
"Tujuh tahun lalu, kita bermain di sini juga kan?" tanya Shinichi.
"Kau ingat? Waktu itu kau dalam keadaan amnesia sebagian,"
"Aku ingat. Saat itu aku memintamu untuk jangan membuat nasibku seperti Sherlock yang tidak dapat memiliki Irene,"
"Ah ya, aku ingat itu,"
"Tapi kau malah melakukannya,"
"Tidak juga, aku tidak menikah dengan pria lain seperti Irene,"
Shinichi mendengus.
Hening sejenak, hanya terdengar suara gesekan besi yang sedang berayun.
"Shiho," panggil Shinichi tiba-tiba.
"Uhm?"
"Aku minta maaf,"
"Nani?"
"Sebelum Yuichi tertembak, aku marah-marah padamu. Sebenarnya aku tidak sepenuhnya marah padamu, aku marah pada diriku sendiri, bahkan mungkin membencinya,"
"Eh?"
"Kau benar, aku yang salah. Aku melupakanmu dan aku si detektif bodoh ini tidak menemukan memory card itu lebih cepat. Maaf, karena aku membiarkanmu melalui semuanya seorang diri saat melahirkan dan membesarkan Yuichi,"
"Sudahlah, aku juga salah. Aku seharusnya percaya padamu seperti waktu aku menjadi Haibara Ai partnermu," ujar Shiho.
Shinichi menghentikan ayunannya dan menggenggam tangan Shiho yang memegang tali ayunan.
Shiho bergeming salah tingkah.
"Bisa kita mulai lagi dari awal Shiho?" tanya Shinichi.
Shiho terdiam sejenak sebelum berkata, "Kau tahu aku harus kembali ke Inggris,"
"Kau tidak bersedia meninggalkan pekerjaanmu?"
"Aku takkan melarangmu bertemu Yuichi,"
Shinichi memeluknya dari belakang, "Atau aku harus ikut denganmu?"
"Kau tak mungkin meninggalkan agensimu,"
"Lalu katakan aku harus bagaimana?"
"Beri aku waktu untuk menyelesaikannya,"
"Berapa lama? Aku tak sanggup untuk menunggu berbulan-bulan lagi,"
"Shinichi..."
"Aku mencintaimu Shiho. Sekarang dalam ingatan yang seutuhnya, aku katakan aku mencintaimu," ia pun mencium bibir Shiho, lembut, dalam dan lama.
"Mereka lupa mengambil foto, tapi aku suka" kata Yuichi.
"Kalau begitu kita yang foto saja," kata Yukiko seraya mengambil foto Shinichi dan Shiho berciuman dari jauh.
Misi mereka berhasil.
.
.
.
.
.
Buk! Terdengar suara benturan antara punggung Shiho dengan dinding ketika Shinichi menyudutkannya seraya memagut bibirnya dengan membabi buta. Selepas dari Taman Bunga Kota Beika, Shinichi dan Shiho check in di sebuah hotel. Hasrat yang tersimpan selama tujuh tahun tak terbendung lagi.
"Pengaman..." rintih Shiho seraya bibirnya sibuk meladeni pagutan Shinichi.
"Kucari... nanti..." sahut Shinichi sama sibuknya.
Shinichi merenggut mantel Shiho hingga merosot ke lantai setelah ia menghempas mantelnya sendiri. Kancing kemeja Shiho berderet terbuka dalam sekali sibak, dengan cekatan Shiho juga membantu Shinichi melepas celananya. Dalam sekejap semua pakaian mereka telah bertebaran di lantai karpet.
Mereka bercinta dengan liar, sama sekali tiada kelembutan. Seakan dahaga mereka tak pernah terpuaskan. Shiho mengerang ketika Shinichi menghujam begitu tegas dan dalam. Lalu ketika Shiho menggunakan kakinya untuk mengalungi pinggang Shinichi demi memberi tusukan lebih dalam, gantian Shinichi mengerang keras seraya menyebut nama Shiho.
Mereka tidur karena kelelahan dan terbangun keesokan paginya dengan posisi Shinichi memeluk Shiho dari belakang. Ketika Shinichi mengecup punggung bahu Shiho, wanita itu pun membuka matanya.
"Ohayo..." sapa Shinichi.
"Ohayo..." balas Shiho masih mengantuk.
"Apakah kita perlu mengirim wefie seperti ini pada Yuichi?"
"Yang benar saja!" gerutu Shiho.
Shinichi terkekeh.
"Tapi ngomong-ngomong..." Shiho mendadak teringat sesuatu.
"Uhm?"
"Kita lupa mengenakan pengaman semalam,"
Shinichi mendengus, "Aku tidak punya sama sekali,"
"Eh?" Shiho menoleh memandangnya.
"Aku tak pernah simpan begituan,"
"Lalu bagaimana..."
"Aku tak pernah melakukannya dengan Ran. Dia hanya mau melakukannya di malam pertama setelah pernikahan,"
"Oh..." Shiho baru mengetahui hal itu.
"Ne..."
"Nani?"
"Serius kau masih mau ke Inggris?"
"Kan sudah kubilang, aku harus menyelesaikan urusan administrasi,"
Dengan wajah cemberut Shinichi membalikkan tubuh Shiho sampai telentang. Lalu tanpa pemanasan ia menghujam kejantanannya lagi. Shiho yang sudah siap hanya terkekeh.
"Aku sudah milikmu, kau mau apa lagi?" tanya Shiho.
"Kau tidak sadar?" tanya Shinichi seraya terus bergerak, "aku sedang berusaha membuatmu hamil lagi, supaya kau tidak pergi,"
"Sebentar saja oke? Butuh waktu sebulan untuk mengurus pengunduran diriku,"
"Jadi kau mau menetap di Jepang?"
"Iya," sahut Shiho sabar seraya mendesah nikmat akibat gerakan Shinichi.
"Aku ikut kalau begitu, aku akan cuti panjang,"
"Eh? Kau mau ikut ke Inggris?"
"Tentu saja. Kau urus pengunduran dirimu dan aku akan menemui Mary-San untuk melamarmu. Biar cepat beres,"
Shiho tersenyum, "Ide bagus,"
Mereka berpagutan lagi.
Shiho memberikan laporan dinasnya sekaligus submit surat pengunduran dirinya kepada MI6. Shinichi menemui Mary untuk melamar Shiho dan Mary menerimanya dengan baik. Sembari menunggu Shiho membereskan pekerjaannya, Shinichi menghabiskan waktu bersama Yuichi untuk jalan-jalan ke tempat-tempat Sherlock Holmes.
Sebulan kemudian bersama-sama mereka kembali ke Jepang dan menyelenggarakan pesta pernikahan secara sederhana ala tradisional Jepang. Shinichi dan Shiho memilih bulan madu ke Hokkaido dan menginap di ryokan yang sama tujuh tahun lalu. Sementara Yuichi dititipkan kepada kakek dan neneknya.
Shinichi dan Shiho yang mengenakan kimono sehabis berendam di onsen, duduk di atas tatami seraya berangkulan. Selimut menutupi punggung mereka. Mereka memandang perbukitan Hokkaido sambil menikmati ocha hangat.
"Ini seperti tujuh tahun lalu ya," gumam Shinichi.
"Eh," sahut Shiho.
"Ngomong-ngomong aku ingat sesuatu,"
"Apa?"
"Ada yang ketinggalan," Shinichi mengambil dompetnya dan merogoh di kantong dalam yang jarang dibuka dan meraih sepucuk kertas,"
"Itu kan..." Shiho jadi teringat.
"Kertas ramalan tujuh tahun lalu. Setelah melewati cobaan, bahagia selamanya. Kuharap kita telah melewati cobaan itu,"
"Eh," Shiho memandang Shinichi mesra seraya mengangguk.
Shinichi mengecup keningnya dan mereka lanjut bercinta malam itu.
Ting Tong. Terdengar suara bel di rumah keluarga Kudo.
"Aku! Aku! Itu untukku!" seru Yuichi sambil berlari-lari dari atas.
"Yuichi! Tunggu!" Shinichi mengejarnya.
Shiho yang sedang menikmati teh di ruang tamu bersama kedua mertuanya tertegun melihat kelakuan dua makhluk itu.
Seorang kurir datang dan memberikan sebuah paket kepada Yuichi. Seri buku misteri keluaran terbaru hasil pre order.
"Kau kan harus mengerjakan PR!" gerutu Shinichi.
"Sudah selesai kok!" sahut Yuichi.
"Besok ujian kan?"
"Tidak ada kok!" sungut Yuichi seraya memeluk bukunya penuh perlindungan.
"Apa sih Shin-Chan?! Buku saja rebutan," oceh Yukiko.
"Eh," timpal Shiho, "Sudah mau punya dua anak kelakuan masih seperti bocah,"
"Baca bersama saja," ujar Yusaku.
Yuichi menjulurkan lidah meledek ayahnya.
Shinichi menyipitkan matanya, "Kau menang,"
Yuichi terkekeh.
Shinichi dan Yuichi akhirnya menghampiri ruang tamu.
"Okasan," Yuichi menaiki sofa, merangkul leher Shiho dan mengecup pipinya.
"Nah nah, sudah merebut buku sekarang manja lagi," gerutu Shinichi.
"Biarin, ini kan ibuku," sahut Yuichi tak mau kalah.
"Tapi dia juga istriku," sungut Shinichi.
"Sudahlah Shinichi, masa bersaing sama anak sendiri," ujar Shiho.
"Dipeluk bersama saja," celetuk Yukiko.
Shinichi duduk di sofa seraya melingkarkan lengannya pada bahu Shiho. Ia mengecup perut besar Shiho yang sudah tujuh bulan lalu mengecup pipi Shiho.
"Aku sayang Okasan," Yuichi menempelkan pipinya dengan manja pada pipi Shiho.
"Hai... Hai... Okasan juga sayang Yuichi," Shiho menepuk lunak lengan putranya.
"Aku?" tuntut Shinichi.
Shiho tersenyum geli dengan tingkah kekanakan suaminya ini, "Hai hai... Aku mencintaimu tantei-San,"
Shinichi ikut tersenyum, "Aku juga mencintaimu Shiho,"
Shiho terkekeh geli ketika Shinichi dan Yuichi menghujani pipi kanan-kirinya dengan ciuman, "Hentikan kalian, aku geli!"
Yusaku dan Yukiko ikut tersenyum bahagia melihat interaksi mereka. Lengkap sudah kehidupan keluarga Kudo.
THE END
