Tsunade menggoyang-goyangkan pundaknya. Dia dengar gurunya memanggilnya dengan nada khawatir tapi ia tak bisa meresponnya, semuanya terasa samar. Kakinya perlahan-lahan terasa begitu lemas hingga seperti tidak bisa menopang tubuhnya lagi. Sampai pada akhirnya, ia benar-benar tak bisa merasakan apapun lagi. Kegelapan menyelimutinya dan ia terjatuh pada lantai marmer yang dingin.
... Sakura jatuh pingsan. Diikuti teriakan nyaring Tsunade, diiringi derap langkah kaki beberapa orang yang menghampiri.
Just Because
Naruto © Masashi Kishimoto
Genre: Romance & Slice of Life.
Character : Sakura. H, Sasori. A, and others.
Rated : T
Warning : AU, OOC, typo(s), gaje, aneh, bahasa tidak baku, Dan masih banyak keburukan lainnya.
Note: Apapun merk, nama tempat atau suatu judul film lain yang ada di cerita tidak bertujun untuk comercial/promosi apapun ya. Murni hanya sebatas konten dalam cerita.
.
.
Don't like, Just don't read!
Happy Reading~
.
.
Chapter 10 [Part 2]
.
.
Sasori yang baru menyelesaikan rapatnya dengan klien diluar memutuskan untuk langsung saja pulang, mau balik lagi ke kantor waktunya juga sudah nanggung. Jadi ya langsung saja. Lalu dia yang baru sampai di tempat parkir mengernyitkan keningnya karena baru saja ia ingin memencet tombol dial untuk menelpon Sakura. Namun ternyata nama istrinya itu sudah duluan terpampang di layar hpnya—memanggilnya duluan. Tidak biasanya.
"Kau sudah pulang?"
Sasori bertanya tanpa tedeng aling. Tanpa saling menyapa, mereka sudah terbiasa untuk langsung to the point saat di telpon. Hemat pulsa bruhh. Maklum, jaman serba mahal begini.
"Ya, Akasuna Sasori?"
Dan suara yang membalasnya malah membuat kerutan di kening Sasori bertambah—tidak, dia belum keriput. Ia memastikan nama yang tertera dan disana tertulis nama istrinya. Lho, kok suaranya beda.
"Ini aku Senju Tsunade," Tsunade memberitahu karena tak mendengar balasan dari lawan bicaranya. "Jangan bilang kau lupa suaraku?"
"Aa, Tsunade-sama?" Sasori merasa deja vu. "Apa terjadi sesuatu?"
"Benar. Sakura tadi pingsan."
"Apa?! Bagaimana bisa begitu?"
"Tenang, Sasori. Keadaannya tidak terlalu buruk, aku sudah memeriksanya barusan." Tsunade menenangkan karena mendengar nada terkejut campur khawatir dari suami muridnya itu. "Mungkin dia sebentar lagi sadar, bisa kau menjemputnya? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan juga padamu—lebih tepatnya kalian berdua."
"Tentu. Aku akan segera kesana."
Setelah Tsunade memutuskan sambungannya segera saja Sasori memasuki mobilnya dan menjalankannya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit—yang memang sudah sejak awal menjadi lokasi tujuannya.
"Nah, sesuai yang kukatakan. Ada sesuatu yang ingin kubicara—"
"Apa aku punya penyakit parah, Sensei? Apa tadi aku pingsan karena itu?" Sakura memotong ucapan Tsunade, membuat wanita berambut pirang pucat itu sedikit mendelik padanya. "—oh, maaf sensei. Silahkan dilanjutkan."
Kini mereka berdua—ia dan Sasori sedang duduk didepan meja Tsunade yang sejak Sakura sadar tadi berkata ada sesuatu yang ingin dia bicarakan. Entah apa itu, tapi ia berharap tidak akan diberitahu hal-hal yang buruk. Tidak siap dia.
Tsunade mulai melanjutkan perkataannya yang sempat terpotong tadi. "Jadi yang ingin kubicarakan itu bukan mengenai penyakit—kau tenang saja. Kau tidak sedang sakit apapun." ia menatap Sakura yang saat ini bisa bernapas lega. "Pertama-tama aku ingin bertanya padamu, Sakura. Kapan periode terakhirmu?"
"Maksud, sensei?" tanya Sakura bingung. Apa yang gurunya maksud itu periode datang bulannya? Memang hubungannya apa.
"Haruskah kuperjelas, periode datang bulanmu tentu saja."
Sasori berdehem karena salah tingkah sendiri. Sepertinya masalah yang mereka bahas ini menyerempet kearah persoalan kewanitaan. Harusnya ia tidak ikut dilibatkan disini.
"Haruskah aku keluar?" Sasori sudah ingin bangkit berdiri, tapi Tsunade menghentikannya
"Tidak, kau tetap disini. Dan Sakura jawab saja pertanyaanku."
"Ehm.. kalau tidak salah, akhir bulan lalu." Sakura menjawab dengan ragu-ragu, ia sendiri sebenarnya tidak ingat pasti karena kesibukannya akhir-akhir ini membuatnya kurang bisa memperhatikan dirinya sendiri.
"Bagaimana dengan bulan ini?"
"Belum. Kurasa ...agak sedikit terlambat."
"Oke," Tsunade mengangguk-angguk, kemudian ia bertanya lagi. "Adakah sesuatu yang aneh terjadi pada dirimu saat ini?"
"Aneh? Tidak juga."
Tsunade lalu beralih pada satu-satunya laki-laki di ruangan itu, yang dari tadi hanya memperhatikan dalam diam. "Bagaimana Sasori?"
"Aku juga baik, tidak ada yang aneh."
"Aku tidak bertanya keadaanmu. Yang ingin kutanyakan apa kau melihat ada yang berbeda dari istrimu ini? Tingkahnya mungkin?"
"Oh ..." Sasori terlihat berpikir. "Jika bicara soal itu, mungkin dia memang agak berubah."
"Misalnya?"
"pertama, emosinya bertambah labil. Lalu, seleranya juga sekarang berbeda. Dulu dia biasa saja dengan parfumku, sekarang ribut katanya baunya tidak enak bikin mual. Sensitif sekali, bukan cuma perasaannya tapi sampai ke alat indra." Sasori menjelaskan sembari melirik istrinya.
"Kalau dipikir-pikir, sepertinya memang begitu. Tubuhku juga agak terasa tidak enak, mungkin karena kelelahan." Sakura menambahkan dan Tsunade kembali mengangguk.
"Tepat sekali, seperti yang kuduga."
"Apa ada yang salah sensei?" Sakura jadi paham, bagaimana perasaan deg-deg'an para pasien saat dokter mereka sedang mendiagnosa sesuatu.
"Sebaliknya, ini hal yang bagus." Tsunade menumpu kedua sikunya di meja. "Berdasarkan hasil pemeriksaanku, Sakura kau ..." ia menggantung ucapannya membuat orang yang disebutkan namanya secara tidak langsung menahan napasnya.
"—Kau ...kurasa kau hamil."
"APA?!"
Bukan hanya Sakura yang terkejut, bahkan Sasori yang dari tadi kalem-kalem wae sama terkejutnya.
"Tidak mungkin, sensei." Sakura berkata tak percaya.
"Kenapa tidak?"
"Kami bahkan baru melakukannya sekali."
Sasori menendang kaki Sakura yang langsung mengaduh kesakitan. Hazelnya melotot seolah memberi kode Pada istrinya bahwa hal yang seperti itu tidak perlu dibicarakan secara blak-blakan juga kali. Itu kan privasi, terlebih lagi begitu memalukan untuk diumbar-umbar.
"Hoo, kapan tepatnya?" Sebaliknya, Tsunade malah kembali bertanya dengan nada tertarik.
"Errr ...bulan lalu?"
"Nice catche!" Wanita paruh baya yang masih terlihat awet muda itu menepuk tangannya dengan semangat. Perkiraannya tidak ada yang meleset ternyata, "Diperkirakan usia kandunganmu mulai memasuki minggu keempat, Sakura."
"Astaga." Sakura memegang mulutnya masih tidak percaya. "Aku masih sulit percaya, sensei. Masa' bisa secepat itu?"
"Sakura, kau sendiri juga paham teorinya, 'kan? Pembuahan bisa cepat terjadi karena beberapa faktor, bisa saja tepat dengan waktu suburmu, kualitas dan sebagainya. Tidak perlu kujelaskan panjang lebar, karena kuyakin kau pasti masih ingat."
"Ya, aku tahu. Tapi ...tetap saja."
"Hei, ayolah. Kalian kan sudah menikah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Tsunade berujar santai, dia kemudian bangkit dari kursinya. "Baiklah kalau begitu, kuucapkan selamat untuk kalian berdua. Selamat menjadi calon orang tua." ia menyalami kedua orang didepannya yang hanya dapat membalas dengan enggan karena masih tenggelam dalam keterkejutan dan ketidak percayaan. Namun ketahuilah, Tsunade tidak bercanda di setiap perkataannya barusan. Karena memang benar begitulah keadaannya.
Tsunade memandang wajah Sasori dengan raut cerah, secara khusus berkata padanya sambil menepuk-menepuk pundak lelaki didepannya yang masih berwajah ngeblank. "Kerja bagus Sasori, Satu tendangan langsung goal ya, luar biasa akuratnya."
Sasori hanya menanggapi dengan tawa canggung, paham betul apa maksud pernyataan wanita paruh bayah di depannya itu. Ini pasti karena perkataan Sakura sebelumnya, dasar istrinya itu tidak tahu dia terlalu polos atau karena sudah terlanjur percaya pada gurunya tersebut. Tapi yang pasti, digoda seperti itu Sasori malu pakek banget, rasanya mau nyemplung aja ke sungai niil.
.
.
.
Sasori dan Sakura sama-sama membisu bahkan sampai mereka tiba di rumah. Keduanya masih sibuk dengan pikiran masing-masing. Sakura sendiri baru tersadar akan lamunannya saat ia sudah memasuki kamarnya, ketika itu juga dia baru menyadari bahwa Sasori belum mengatakan sepatah kata pun sejak Tsunade-sensei memberitahukan kehamilannya itu.
Apa ...Sasori tidak suka jika Sakura ternyata hamil? Apa dia masih belum mau memiliki tanggung jawab sebagai seorang ayah? Ataukah, dia malah tidak ingin punya anak bersama Sakura?—Akhh ... Pikiran-pikiran jeleknya mulai memenuhi kepalanya lagi. Rasa pusing Sakura yang semula tidak terasa lagi kini kembali.
Sakura menghela napas berusaha menenangkan dirinya sendiri. Karena Sasori tidak masuk-masuk juga, ia berinisiatif untuk bertanya langsung padanya. Dia melangkahkan kakinya menuju ruang tengah dimana suaminya itu sedang sibuk dengan hpnya—sepertinya habis menerima telepon.
"Sasori?" panggil Sakura lembut.
"Ya." Sasori reflek menoleh saat namanya dipanggil.
"Apa kau sibuk? Bisa bicara sebentar?"
"Tidak juga, bicara saja."
"Kau ...tidak ingin mengatakan sesuatu?—Maksudku, kau sendiri juga dengar kan tadi?" Sakura menggigit kecil ujung bibirnya, ia sendiri takut jika ternyata mendengar jawaban Sasori yang—yah seperti yang dibayangkannya sebelumnya. "Apa kau ...tidak suka jika kita akan punya anak?"
Sasori menatap lekat wajah istrinya yang sedang tertunduk, sebelum ia menjawab. "Apa kau bercanda?"
Sakura mendongakkan wajahnya menatap balik suaminya yang kini tersenyum lembut kearahnya.
"Kemari ..." Sasori memberi gestur pada Sakura untuk mendekat. Laki-laki Akasuna itu kemudian memeluk istrinya, ia mengelus pelan helai merah muda itu sambil kembali berkata. "Tentu saja aku suka, aku senang sekali ketika membayangkan akan dipanggil sebagai ayah sebentar lagi. Hanya saja ...ini begitu mendadak. Aku sulit mempercayainya sama sepertimu, tidak tahu apa yang harus kukatakan."
"Benarkah?"
"Iya, aku tidak bohong."
"Sungguh?" Sakura melepaskan pelukan mereka agar ia bisa memastikan melalui wajah Sasori, apakah ada kebohongan disana.
"Iyaaa ...sayang."
Pipi Sakura bersemu, senada dengan warna rambutnya sendiri. Baru kali ini Sasori memanggilnya begitu. Rasanya senang sekali, ia seperti sedang melayang ke langit ketujuh.
"Sekali lagi."
Sasori memandangnya bingung. "Apanya?"
"Panggil aku seperti itu sekali lagi." pinta Sakura.
Mengerti akan maksud istrinya, Sasori hanya bisa mendengus pelan. "Kesempatanmu hanya sekali."
"Aahh... Sasorii."
Meski Sakura terus merengek tapi kali ini tidak digubris olehnya, sampai munculah suatu ide dikepala merah muda itu.
"Kau tahu Sasori tadi ada kejadian besar di rumah sakit dan sayang sekali ..." Sakura menggantung ucapannya.
Membuat Sasori yang lagi memandangi hpnya kini kembali menatap kearahnya, sambil bertanya dengan bingung. "Sayang kenapa?"
"Tidak apa-apa, kok. Sayang. Heheh.."
Sakura nyengir kuda, karena merasa telah berhasil menjebak suaminya. Sedangkan Sasori yang baru menyadarinya hanya mendengus geli.
Meski Sasori itu orangnya gengsian selangit, tapi Sakura tahu jika suaminya begitu menyayanginya. Dan kini ia juga tahu jika mereka berdua mengharapkan hal yang sama. Tidak lama lagi, akan ada kebahagiaan baru yang berada ditengah-tengah mereka. Sakura jadi tidak sabar untuk menantikannya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Ugh ...HOEKK!"
Wanita berambut merah muda langsung beranjak dari ranjangnya dan berlari cepat menuju kamar mandi. Untuk mengeluarkan seluruh isi perutnya. Sudah lebih dari sebulanan ini morning sick-nya bertambah parah. Setiap bangun tidur kepalanya pasti pusing dan terasa mual sekali, hingga kamar mandilah menjadi tujuan utamanya ketika ia baru saja membuka matanya.
"Kau tidak apa-apa?" Sasori menyusul, wajahnya masih kusut sekusut rambutnya. Ia terbangun karena kegiatan 'rutin' istrinya akhir-akhir ini.
"Hm, yah ...kurasa." Sakura membasuh mulut sekaligus wajahnya dengan air. Setelah memuntahkan seluruh isi perutnya kurang lebih dia merasa mendingan, tidak semual sebelumnya.
Bukan hanya di pagi hari, terkadang Sakura juga jadi mual-mual saat mencium bau-bau yang menyengat seperti bau parfum atau bahkan bau masakannya sendiri hingga mengakibatkan dia jadi tidak bisa melaksanakan tugasnya yang satu itu. Ia jadi merasa kasihan pada Sasori, karena suaminya itu yang malah menggantikan tugasnya untuk menyiapkan sarapan atau makan malam mereka. Padahal dia tahu pekerjaan laki-laki itu pasti juga sudah sangat melelahkan, apalagi baru-baru ini dia punya proyek baru yang harus dikerjakan.
"Maaf, ya. Sasori-kun." Sakura berucap pelan saat Sasori sedang meletakkan dua piring nasi goreng dengan telur mata sapi diatasnya, roti panggang, segelas susu untuk Sakura dan secangkir kopi untuk dirinya sendiri.
"Untuk?"
"Kau jadi repot melakukan ini semua."
"Yah ...tidak usah dipikirkan. Hitung-hitung aku bisa meningkatkan skill memasakku, 'kan?" Sasori tertawa ringan.
Benar juga, selama ini dia tidak pernah menyentuh peralatan dapur sama sekali. Biasanya hanya tahu beres dan tahu jadi saja serta tinggal makan. Namun dengan ini dia akhirnya terpaksa harus turun tangan sendiri—kebanyakan pesan makanan diluar juga tidak terlalu bagus, kita tidak tahu kualitasnya bisa dipercaya atau tidak. Karenanya laki-laki berambut semerah darah itu berusaha belajar dikit-dikit untuk menyiapkan makanan yang 'layak' untuk dirinya dan si istri yang sedang hamil muda. Awal-awalnya memang hasilnya sungguh sangat tidak layak untuk dimakan sih, tapi untungnya Sasori itu tipe orang yang cepat belajarnya. Hingga sekarang yahh—meskipun hanya masakan simple tapi sudah cukup lumayanlah.
"Asin?" Sasori bertanya khawatir ketika melihat wajah Sakura yang agak berkerut ketika memasukkan suapan pertama ke mulutnya.
"Tidak, kok. Hanya saja, mulutku masih terasa tidak enak." Sakura berkata cepat. "Ini jauh lebih baik dari sebelumnya, kemampuan memasakmu meningkat cepat." ia tertawa kecil kemudian.
"Syukurlah. Tapi ya ...masih jauh untuk melampauimu."
"Tentu saja." Sakura berucap bangga dan Sasori hanya tersenyum menanggapinya.
Pagi yang cerah—secerah mentari diluar sana. Semua itu seharusnya dilewati dengan hangat, damai dan tentram—sebelum negara api menyerang. Seorang biang kerok datang untuk merusak pagi yang damai di kediaman keluarga Akasuna itu, menggedor-gedor pintu dengan tak sabaran layaknya tukang rentenir yang sedang nagih hutang. Siapa lagi kalau bukan ...si tampan nan perfect Uchiha Sasuke.
Setelah berdamai dengan Sasori, ternyata Sasuke malah semakin sering bertandang ke rumah mereka. Kedua laki-laki itu jadi semakin dekat, saking dekatnya kalau bertemu saling meningkatkan skill adu bacot yang berujung adu hantaman—behh udah kayak tom and jerry versi live action. Sakura kadang dibuat pusing sendiri melihat kelakuan mereka, tapi yah itu lebih baik daripada mereka berperang dingin seperti sebelumnya—begitu mencekam.
"Kau sudah makan Sasuke?" Sakura bertanya begitu Sasuke bergabung dengan mereka di ruang makan setelah dibukakan Sasori pintu.
"Belum. Kenapa? Mau menyuapiku?" Sasuke berkata santai sambil melirik si laki-laki berambut merah.
Sasori yang baru kembali duduk di kursinya hanya melirik singkat sembari membalasnya dengan nada malas, "masih pagi. Jangan ngajak ribut, deh."
Sasuke kemudian ikut duduk disebelah Sasori, lalu mengambil selembar roti panggang. Sasuke itu penganut prinsip 'rumah orang lebih nyaman dari rumah sendiri' hingga ia selalu memilih untuk menghabiskan sebagian besar waktunya di luar ataupun di rumah orang lain. Rumah keluarga Uchiha itu besar—sudah hampir menyamai istana, namun terasa hampa dan kosong hingga Sasuke sendiri lebih senang menyebutnya sebagai kastil tak bertuah. Hh. Harta, tahta, wajah dan intelegensi dia punya semua. Tapi satu yang tak pernah ia rasakan ...kehangatan keluarga. Julukannya jadi bertambah satu lagi, Sasuke si tampan nan perfect yang malang.
Lalu Sasori sendiri yang meski kadang dibuat naik pitam sama kelakuan seenak jidatnya Sasuke, tapi setidaknya kunjungannya itu agaknya sedikit membantu. Dia jadi tidak harus khawatir meninggalkan istrinya yang sedang hamil muda sendirian di rumah—saat dia sedang tidak punya jadwal tugas di rumah sakit seperti hari ini. Apalagi hari ini kebetulan Sasori harus survey lokasi untuk pekerjaannya yang lokasinya juga lumayan jauh hingga dia sendiri tidak yakin akan pulang sampai jam berapa hari ini.
"Jadi bisa pulang jam berapa Sasori-kun?" Sakura menatap suaminya yang sedang sibuk dengan tablet ditangan kanannya dan tangan satunya lagi memegang cangkir kopi.
"Aku tidak janji, tapi kuusahakan bisa cepat selesai dan langsung pulang."
"Tidak usah pulang saja sekalian, Sasori." Sahut Sasuke.
Membuat Sasori ingin melemparkan cangkirnya, tapi dia tahan. "Kau sendiri, tidak punya tempat pulang?"
"Tidak bisakah aku tinggal disini? Rumah ini tidak terlalu besar tapi nyaman."
"Kau mau tinggal bersama kami? Mau jadi orang ketiga alias setan?" Sakura beranjak dari duduknya lalu menuju rak cuci piring.
"Haruskah aku jadi anak kalian?"
Sasori mengangkat wajahnya, lalu membalas, "Ya, boleh. Maka kau harus mati dulu lalu berenkarnasi menjadi anak kami kelak."
"Hush ...Sasori-kun. Jangan bicara yang tidak-tidak, nanti dia bisa dengar, lho." Sergah Sakura.
Mendengarnya, Sasuke lalu menatap Sakura dengan pandangan yang dibuat serius, "Hei, haruskah aku jadi menantu kalian? Kalau anak kalian cewek jodohkan saja denganku."
"KAU MAU MATI?" Kini Sakura yang malah berteriak marah.
Dasar Sasuke itu, pagi-pagi sudah memicu perang dunia. Suka sekali dengan keributan, ada masalah apa sih hidupnya.
.
.
.
.
.
.
.
Bulan demi bulan terlewati, musim demi musim berganti. Suasana di kota Tokyo akan selalu berganti-ganti menyesuaikan musim yang tengah berlangsung, begitupun ornamen-ornamen tokoh-tokoh yang ada di pinggir jalan dibuat sedemikian rupa sesuai dengan vibes yang diberikan alam, demi menarik minat dan perhatian pejalan kaki yang tidak sengaja melirik ke etalase.
Sakura memandang hiruk pikuk pejalan kaki dari balik kaca jendela mobil suaminya. Perasaannya baru kemarin ia bisa menikmati jalanan kota yang didominasi warna pink akibat bunga sakura yang berguguran, eh sekarang tanpa sadar ternyata pohon-pohon sakura yang mekar tersebut telah tergantikan dengan ranting pohon yang gundul dan tidak ada satupun daun yang tersisa. Para pemilik tokoh di pinggir jalan pun tengah sibuk mendekor ulang suasana tokohnya dengan pohon cemara dan beberapa hiasan layaknya tengah menyambut natal dan tahun baru. Lho, ya.. Kenapa juga Sakura baru ngeh ternyata saat ini sudah masuk bulan Desember. Musim dingin sudah kembali didepan mata dan mungkin beberapa minggu kedepan pun benda putih nan dingin akan berjatuhan dari langit. Ia mengelus perutnya yang kini ukurannya sudah lebih dari dua kali lipat ukuran semula, usia kandungannya sudah memasuki fase trisemester akhir yang mana berdasarkan perhitungan Tsunade-sensei waktu kelahirannya kemungkinan menunggu beberapa minggu kedepan lagi. Hm, Sakura jadi sedikit cemas mengingatnya.
Wanita musim semi itu kemudian mengalihkan atensinya pada lelaki berambut merah di sampingnya yang tengah memfokuskan pandangan pada jalanan di depannya. Sejak beban di perutnya dirasa semakin berat, baik pergi maupun pulang kerja Sakura selalu diantar dan dijemput Sasori, dipikir-pikir suaminya tipe yang protektif juga ternyata. Sakura sih senang-senang saja, toh siapa yang tidak mau diperhatikan suami sendiri. Pokoknya sejak Sakura hamil, Sasori jadi siap siaga sekali, apapun yang istrinya inginkan sebisa mungkin selalu ia penuhi. Sakura jadi geli sendiri kala mengingat raut wajah Sasori yang kadang tertekan mendengar permintaan ngidam Sakura yang tidak jarang aneh-aneh.
"Kenapa senyum-senyum sendiri?" Sasori berkata tanpa mengalihkan fokusnya kala melirik sang istri di samping yang senyum-senyum aneh. Sasori jadi cemas sendiri, ide gila apa lagi yang tengah dipikirkan istrinya sebagai permintaan ngidamnya kali ini.
"Hah? Tidak kok," Sakura menggeleng pelan, Sasori menghela napas lega.
Sebagai suami yang baik dan bertanggung jawab, Sasori berkomitmen untuk berusaha memenuhi semua keinginan sang istri yang tengah ngidam. Awal-awal ngidamnya normal sih ya, kayak minta makanan tertentu karena Sakura yang tidak nafsu makan. Mudah itu, masih level easy. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, semakin hari level permintaan jadi semakin tinggi, yang diminta pun makin-makin absurd saja. Masa tiba-tiba disuatu malam Sakura kepikiran pengen naik gajah, setelah nonton drama yang pemeran utamanya sedang berlibur di Thailand dan berwisata naik gajah. Dilain waktu, meminta Sasori untuk cosplay jadi tentara karena pemeran utama dramanya berprofesi sebagai tentara dan dokter, Sakura nya pas sebagai dokter tinggal Sasori yang dipaksa pakai baju tentara—ini disuruh minjem baju tentara siapa coba, kenalan atau teman yang berprofesi sebagai tentara saja tidak ada.
...dan beberapa permintaan aneh lainnya.
Nih kebanyakan idenya didapat dari drama-drama negeri sebelah yang sedang Sakura tonton kayaknya. Sasori akui sutradara dan penulis ceritanya memang kreatif bukan kepalang, ceritanya beragam dan bagus sebagai bahan hiburan. Tapi ya..., yang begini harusnya dijauhkan dari tontonan ibu hamil sepertinya. Ibu hamil pikirannya sembilan puluh persen dipengaruhi hormon, yang sepuluh persen logikanya tidak sedang berjalan sebagaimana mestinya. Mana moodnya naik turun parah lagi, sensitifnya bukan main. Senggol dikit bacok, tidak dipenuhi sekali ngambek. Sasori kudu ottokhe jadinya—nah kan, dia jadi ketularan bahasa mereka karena keseringan ikut nonton juga.
Puncaknya adalah suatu ketika Sasori tidak bisa memenuhi keinginan Sakura alhasil istrinya malah ngambek, ya gimana tidak Sasori tolak gila saja disaat kondisinya lagi begini dia malah kepikiran buat main bungee jumping—itu lho kegiatan lompat dari ketinggian seperti jembatan yang dibawahnya ada sungai. Tidak masuk akal. Mana boleh, yang ada nanti akan mempengaruhi kandungannya, ya kali Sasori bakal ngijinin. Ia lalu memutar otak untuk membujuk dan menjanjikan hal lainnya sebagai pengganti. Kemudian dia berkata begini sebagai usaha merayu agar istrinya tidak marah lagi...
"Coba bungee jumping-nya nanti saja ya? Tunggu si kecil sudah lahir nanti, kau bebas melakukan apapun yang kau mau. "
Sakura cemberut, memanyunkan bibirnya lima centimeter sudah hampir menyamai hidungnya. Mau cosplay pinokio versi bibir kayaknya.
"Ayolah..." Sasori masih berusaha merayu. Kemudian saat lihat Jurnal kedokteran di meja yang baru Sakura baca, memberikannya sebuah ide. "Hei, ini jurnal yang kau tulis kan?"
Sakura melirik suaminya dengan malas, ia tahu Sasori hanya berusaha mengubah topik pembicaraan dan mengalihkan perhatiannya saja.
Meski tak ada tanggapan dari istrinya Sasori kembali berkata, "aku baca sekilas pembahasannya cukup menarik, tapi sayang ada beberapa istilah yang tidak kumengerti. Apa kau bisa menjelaskannya padaku?"
Sakura bergumam pelan, namun tatapan matanya perlahan tertuju pada tulisan yang ditunjuk Sasori. Merasa istrinya mulai terpancing lantas Sasori mulai bertanya, "pericardium ini fungsinya apa?"
"Lapisan untuk melindungi jantung," Sakura menjawab dengan nada enggan.
"Kalo peritonium?"
"Untuk melindungi abdomen."
"Hm, ini—perikondrium?"
"Melindungi tulang rawan."
"Kalo aku?"
"Ha?!"
"Iya, Menurutmu apa fungsi diriku untuk diciptakan?"
Sakura mengangkat sebelah alisnya, memandang suaminya dengan raut wajah heran dan aneh. Pertanyaan terakhir Sasori itu agak nyeleneh rasanya, ga nyambung.
Melihat Sakura yang memandang wajahnya dengan raut aneh seperti itu membuat Sasori tertawa kecil, "masa tidak tahu, kau bilang kan pericardium diciptakan untuk melindungi jantung, peritonium untuk melindungi abdomen, dan perikondrium untuk melindungi tulang rawan, sedangkan aku diciptakan untuk...," Ia menggantung ucapannya sejenak, membuat raut heran Sakura berubah jadi penasaran. "—untuk melindungimu dan malaikat kecil kita yang ada disini." Sasori mengelus lembut perut Sakura yang sudah mulai membentuk bulatan seperti bola.
Sakura mematung. Hah, apa barusan? Apa dia tidak salah dengar. Sejak kapan Sasori yang selalu ngomong to the point dan tegas itu kini malah berkata manis dan terkesan flirting—ngegombal begitu? Meski rada janggal di telinganya, tapi yah rasa hangat mulai menjalar di pipi putih Sakura yang perlahan berubah warna. Apalagi melihat senyum lembut dan manis di wajah tampan itu, siapa coba yang tidak melting.
Sasori sih senyum, tapi dalam hati misuh-misuh. Dia tuh sebenarnya malu mengatakan hal-hal cheesy seperti itu. Sangat. Amat. Diluar karakternya sekali. Ewh. Merinding sendiri ia mengulangi kata-kata tersebut dalam kepalanya. Ya tapi tidak apa-apa deh, kalo cuma sesekali.
—Ya, pikirnya begitu. Namun naasnya, sejak saat itu Sakura malah kecanduan minta Sasori mengeluarkan kata-kata manis seperti itu. Minta digombalin setiap hari dia. Meh. Bakal muntah blewah terus nih Sasori mendengar kata-katanya sendiri kedepannya.
Seperti yang terjadi hari ini, meski Sasori sudah memberikan kode pada istrinya bahwa mereka telah sampai pada tempat tujuan—rumah sakit. Namun Sakura bergeming, dan hanya balik menatapnya dengan pandangan mata yang berharap. Mengerti akan gelagat istrinya tersebut, Sasori menghela napas pasrah sembari memutar otaknya memikirkan kata-kata yang tepat.
"Tahu tidak kenapa langit diluar dari tadi mendung terus?" Mata hazelnya memandang langit diluar sana dari balik kaca mobil depan.
"Mungkin karena sudah mulai musim dingin?" Sakura menjawab dengan ragu.
Sasori menggeleng pelan, "hm, bukan. Itu karena mentari malu menampakkan wujudnya. Meski seterang apapun cahayanya, pasti akan kalah dengan cahaya kecantikanmu hari ini, Sakura."
Aih. Sakura mesem-mesem mendengarnya. Ia terkikik geli, sebelum keluar dari mobil tidak lupa menyempatkan diri untuk mencium pipi suaminya, berkata 'sampai nanti' baru kemudian melesat pergi. Masih dengan pipi yang merona dan perasaan yang ngefly. Seseorang harus segera pegang tangannya, kalau tidak bisa terbang sampai kelangit ketujuh dia.
Meski bukan pertama kali mendengar Sasori flirting begitu, Sakura tetap saja tersipu-sipu, sedangkan yang ngomong malah kejang-kejang dalam mobil. Aughh.. Geli Sasori tuh, geli.
.
.
.
.
.
akura mengelap sudut matanya yang berair dengan sapu tangan yang ia bawa, terharu rupanya moment seperti ini sudah sampai juga pada masanya. Ia menarik napas dalam-dalam, takut ada air yang meler dari hidungnya. Baru setelah itu ia melangkah kedepan, menghambur dalam pelukan sang sahabat karibnya sejak jaman zigot—yang kini telah terbalut kain putih—tidak, bukan kain kafan, Ino masih sehat sentosa kok—maksudnya kain putih adalah gaun cantik mengembang ala-ala princess disney. Iya, gaun pernikahan.
"Inoo...,aaahh.. Akhirnya aku bisa melihatmu memakai gaun ini jugaa."
Sakura nangis bombay, Ino menepuk-nepuk punggung sahabatnya—meski dengan muka yang agak mengkerut. Takut-takut kalo nanti malah ingus Sakura meleber ke gaunnya. Kan sayang kalo ternodai padahal dia udah syantik, syantik maju mundur syantik—eh—begini.
"Lebay deh ah, ini bumil satu."
Sakura melepaskan pelukannya, menghentikan adegan dramatisirnya lalu memperhatikan penampilan Yamanaka Ino yang beberapa menit kedepan akan berganti nama menjadi Shimura Ino—widih cocok juga namanya.
"Bagaimana penampilanku?" Ino tersenyum cerah, seterang mentari yang hari ini bersembunyi dibalik awan-awan tipis. Jangankan Sakura yang tidak menyangka, dirinya pun kini masih sulit membayangkan bahwa predikat jomblowatinya tersebut akan terhempaskan dengan segera.
"Cantik sekali, iya kan Hinata-chan?" Sakura berkata cepat sambil mengacungkan kedua jempolnya, jarang-jarang nih dia mau memuji sahabatnya itu, ia juga meminta pendapat wanita berambut berwarna indigo yang juga bersama mereka di ruang tunggu pengantin wanita saat ini.
Hinata mengangguk, "Tidak diragukan lagi Ino-chan, cantik sekali," Ia lalu menambahkan, "Shimura-san pasti terpesona melihatmu nanti."
Pujian dari Hinata menambah tingkat kepercayaan diri Ino tembus menjadi 120%. Wanita berambut pirang yang kini di gelung rapih dengan aksen pita-pita silver berbentuk bunga itu tertawa kecil. "Ah, kalian bisa saja deh." Tangannya menepak-nepuk bahu Sakura yang duduk disebelahnya. Kebiasaan deh Ino, kalo lagi malu-malu meong pasti tangannya bermain nabok-nabok orang.
"Aku jadi penasaran, yang ngelamar duluan siapa sih?" Sakura bertanya dengan raut penasaran, memang sih Ino sudah memberitahu Sakura sebulan sebelum acara kalo dia memutuskan akan menikah. Namun sejak itu, mereka belum sempat lagi bertemu untuk berghibah—maksudnya ngobrol karena Ino yang sibuk mempersiapkan perintilan-perintilan pernikahannya. Jadi cerita detailnya, Sakura juga belum tahu.
"Ya, Sai-kun dong. Kan waktu pacaran aku yang nembak duluan, masa mau aku juga yang ngelamar..., Rugi dong." Ino menggerlingkan matanya.
"Kau..., tidak memaksanya untuk melamarmu, kan?" Sakura memandang sahabatnya dengan penuh keraguan.
"Tidak kok, yaa... Paling kode-kode dikit aja."
"Bagaimana cara Shimura-san melamar, Ino-chan?" Kali ini Hinata ikutan penasaran. "Pasti romantis yaa?"
Ino mengerucutkan bibirnya, niat hati maunya sok imut jatuhnya malah bikin eneg—eh gak lah imut kok emang. "Dibilang romantis sih tidak juga ya, malah sedikit..., aneh."
"Aneh gimana?" Sakura bertanya heran.
"Yaa. Aneh. Begini ceritanya...,"
Pernyataan Ino menjadi permulaan sesi perghibahan ciwi-ciwi dewasa tersebut, padahal upacara pernikahan dimulai satu jam lagi. Meh. Bodo amat, ghibah still number one in everywhere.
.
.
"HAHAHHA... Masa begitu, sih?..,"
Tawa menggelegar seorang Inuzuka Kiba bahkan dapat menembus sampai keluar ruang tunggu pengantin pria, para crew acara yang mondar-mandir didepan ruangan mengernyit heran mendengar suara tersebut, hal seru apasih yang dilakukan para pria di ruangan itu.
Shimura Sai dengan wajah masam bawaan lahirnya memandang kesal, keki, dan penuh kejengkelan pada ketiga bawahannya yang kini sedang mengunjunginya sebelum upacara pernikahannya dilaksanakan. Selain Kiba, ada Deidara dan Sasori juga disana. Mereka bertiga diminta untuk menjadi pengiring pengantin pria saat akan memasuki altar nanti.
Kiba mengusap sudut matanya yang berair sembari meredakan rasa geli yang masih menggelitik di perutnya, disampingnya ada Deidara yang berjongkok masih terpingkal-pingkal tertawa—untung tidak sampai berguling-guling dia. Sedangkan Sasori yang ada di sofa, berposisi duduk menyilangkan kaki, kepalanya tertunduk bertumpu pada salah satu tangan yang menutupi sebagian wajahnya. Sai yang duduk dihadapannya bisa melihat dengan jelas tubuh lelaki berambut merah itu bergetar, tidak usah ditutupi pun dia sudah tahu mantan adik kelasnya itu pasti sedang menahan tawanya.
Sai berdecih sebal, tau begitu tidak usah dia ceritakan saja tadi. Memang dasar Deidara keparat, tiba-tiba saja bertanya hal yang tidak penting begitu.
"Baru kali ini aku mendengar cara melamar seorang wanita model begitu." Kiba yang sudah meredam tawanya berucap dengan nada mengejek. Ya, betul. Topik yang dibicarakan di ruang pengantin wanita ternyata dibahas juga disini.
Hal ini bermula saat Deidara yang iseng bertanya bagaimana bisa sepupunya itu cepat sekali memutuskan menikah, padahal dari dulu di keluarga mereka sudah sering sekali dilakukan acara jodoh-menjodohkan bahkan diantara para sepupu, tapi Ino tetep kekeh sama pendiriannya bahwa dia punya tipe idealnya sendiri. Setelah jadi begini Deidara jadi bertanya-tanya apa Sai itu tipe idealnya Ino, bagian mananya coba? Dia jadi pengen tahu gimana cara manusia kejam dan bermulut pedas seperti Sai bisa menaklukkan sepupunya yang sok perfeksionis itu—oh atau mungkin kebalikannya. Saat ia tanya cara bagaimana bosnya itu melamar sepupunya, tak disangka Sai mau juga bercerita—dan ternyata malah agak bikin bengek ketiga orang yang mendengarnya.
Flashback..
Malam itu Sai sengaja mengundang Ino untuk makan malam di apartemennya. Biasanya mereka berdua sering menghabiskan waktu kalau bukan di kantor membahas pekerjaan ya paling makan berdua di restoran atau dutai—duduk santai di sebuah cafe. Namun entah kesambet apa kali ini, lelaki berkulit pucat itu kini mengajak sang 'pacar' untuk mampir ke rumahnya selepas dari meeting di kantor tadi, kemudian berinisiatif untuk membuat makan malam spesial dengan tangannya sendiri. Owh ya tentu, begini-begini jangan remehkan seorang Shimura Sai. Kalo soal masak memasak, Sai tak kalah jago dari pemenang masterchef. Dia itu tipe orang yang selektif sekali soal makanan, makanya daripada kebanyakan trust issue saat makan diluar dia lebih memilih memasak sendiri makanannya—yah. kecuali kalo lagi sibuk sih, boro-boro mau masak, bernafas saja kadang kelupaan. Emang dasar si workaholic satu ini.
Dan ya, sambil menyelam minum air. Sambil kencan tak apalah pamer skill sama sang pacar. Mau masakan dari negara mana saja Sai bisa mengeksekusinya. Seperti malam ini saja, Ino bahkan dibuat takjub dengan berbagai hidangan yang tersaji di meja makan Sai. Hanya dalam waktu dua jam saja dia bisa membuat makanan sebanyak itu, hm..dia curiga sebentar lagi Sai bakal pensiun dini jadi konsultan bangunan dan beralih profesi sebagai chef dan membuka restoran sendiri.
Ada spagetti bolognese, steak daging, Greek Chicken Salad, Creame Soup, kemudian untuk makanan manisnya ada Creme brulee, Cinnamon Rolls—dan beberapa makanan yang Ino pun tak tahu namanya apa karena baru pertama ini melihatnya. Hm, ini mah namanya empat sehat lima kekenyangan. Semoga pulang dari sini berat badan Ino tidak akan naik.
Dibalik sifat ketus dan blak-blakannya Sai, sedikit demi sedikit Ino bisa menemukan beberapa kelebihan dari diri lelaki berambut gelap tersebut. Selain tampan rupawan dan mapan, ternyata jago masak juga. Pas sekali jadi tipe-tipe suamiable, apalagi untuk Ino yang skill memasaknya sedangkal air becekan di pinggir jalan alias tidak bisa diandalkan. Tidak salah keputusan Ino untuk nembak duluan sebelumnya, beberapa waktu lalu dia sering menyesali perbuatannya itu karena meruntuhkan harga dirinya sebagai seorang wanita yang harusnya dikejar bukan mengejar. Tapi ya untuk tipe laki-laki yang begini, dikejar secara ugal-ugalan pun rasanya tak rugi dong. Heheh..
Setelah acara dinner mereka selesai dan perut Ino rasanya seperti mau meledak saking kalapnya mencicipi hidangan-hidangan tersebut, Sai mengajaknya untuk bersantai sejenak di balkon sambil menikmati semilir angin dan suasana hiruk pikuk kota yang terlihat begitu kecil dari atas ketinggian gedung ini. Masing-masing ditangan mereka memegang mug berisikan cairan kopi yang masih mengepul. Dalam keheningan keduanya Ino berucap pelan untuk memecah suasana.
"Indah sekali ya pemandangan disini."
Sai mengangguk pelan, kemudian menanggapi. "Ya, itulah salah satu alasan kenapa aku memilih tempat ini. Kalau pagi hari dari sini juga kita bisa melihat matahari terbit."
"Oh, ya? Wah seru sekali." Ino berkata antusias.
Tanpa sadar seulas senyum terbit diwajah pucat seorang Shimura Sai yang dikenal sangat. Amat. Jarang—atau bahkan tidak pernah terlihat tersenyum sudah sejak lama, mungkin bahkan sejak lahir.
Selagi sibuk menikmati pemandangan, tiba-tiba saja ada seekor makhluk kecil yang berbulu menyelinap di kaki wanita berambut pirang—membuatnya menjerit kaget, namun detik berikutnya jeritan itu berubah menjadi kegirangan.
"Wahh, daritadi aku tidak lihat ada kucing disini." Ino mengangkat kucing berbulu putih gading dari kakinya sembari mengelus-elus bulu lebat nan lembutnya.
"Mungkin dia hanya berdiam di dalam kamar tadi." Sahut Sai.
"Sai-kun memelihara kucing?"
"Hm, baru-baru ini."
"Siapa namanya?"
"Belum kuputuskan, kau saja yang memberinya nama jika mau."
"Hmm, siapa yaa.." Wajah Ino terlihat berpikir. "Karena bulunya yang putih, maka kupanggil Shiro saja ya."
"Ternyata kau suka kucing, kulihat."
"Iya, suka. Tapi terakhir kali aku memelihara kucing, dia malah kabur entah kemana." Ino memanyunkan bibirnya, meski enggan tapi dalam hati Sai diam-diam mengakui, imut juga ya ternyata...kucingnya—hm yah, yang gendong juga sih.
"Kalau begitu kau saja yang merawatnya."
"Huh, bolehkah?" Sai mengangguk kecil. "Beneran boleh kalo kubawa pulang?" Ino kembali bertanya untuk memastikan.
"Aku tidak bilang kau boleh membawanya pulang."
"Lho, tadi katanya aku boleh merawatnya."
"Ya merawatnya disini, bersamaku. Kau suka kan pemandangan di rumah ini. Kalau kau tinggal disini, kau bisa menikmatinya baik pagi maupun sore, kau juga bisa menikmati masakanku yang lezat seperti tadi kapanpun kau mau." Obsidian kelam milik Sai menatap bola mata sewarna Aquamarine milik Ino yang perlahan melebar. "Kau lihat cincin yang ada di kalung kucing itu? Kalau kau mau merawatnya dan menerima tawaranku kau bisa memakai cincin itu di jari manismu."
Ino melihat kalung yang melingkar di leher kucing yang ada dalam gendongannya, kemudian kembali lagi beralih pada wajah laki-laki pucat didepannya dengan tampang datarnya seperti biasa menatap balik kearahnya. Tunggu dulu, apa barusan Sai...melamarnya?
"EH?!"
End Flashback.
"Pakai modus ngerawat kucing segala lagi." Deidara masih terkikik geli.
Sasori mengangkat kepala, berdehem singkat baru kemudian ikut bersuara. "Kuakui, jalan pikiranmu memang selalu out of the box."
"Pertama dikasih makanan enak dulu ya, terus diliatin pemandangan dari rumah mewahnya, lalu kenapa tidak sekalian kau bilang begini saja 'jadilah ibu dari kucing baruku ini, dan bantulah aku membesarkannya selayaknya anak sendiri' hahah..." Hari ini rasanya hormon adrenalin Kiba sedang tinggi-tingginya, tidak takut mati dia melihat tatapan Sai yang sudah setajam...silet. Siap mencabik-cabiknya kapanpun dia mau.
"Semua ini juga gara-gara kau, Sasori." Sai beralih menunjuk pada lelaki berambut merah yang duduk dihadapannya. Sang objek penunjukkan hanya mengangkat sebelah alisnya heran.
"Lho, kok nyalahi aku?"
"Kau kan yang bilang padaku menikah lebih asik daripada lama-lama pacaran."
"Ya memang, tapi kan aku tidak memberi ide bagaimana cara kau harus melamarnya." Sasori mengedikkan bahunya. "Lagipula, aku tidak bilang itu konyol. Yang antimainstream dan kreatif seperti itu memang sangat mempresentasikan dirimu yang otentik dan...unikk." Sasori mengepalkan tangannya sebagai gestur tambahan kemudian ikut tertawa renyah.
Sudut mata dan bibir Sai berkedut tak nyaman, ingin sekali tangannya menggeplak kepala setiap orang diruangan ini. Jengkelnya mencapai ubun-ubun sudah. Sepertinya akhir-akhir ini dirinya terkesan melunak sehingga ketiga bawahannya itu agaknya mulai lancang. Baru saja Sai ambil ancang-ancang mengangkat tangannya, ketukan pintu menginterupsinya—seorang crew acara datang memberitahu bahwa sang pengantin harus bersiap karena lima menit lagi acara akan dimulai.
Keempat laki-laki di ruangan tersebut segera bubar jalan dan bersiap masing-masing. Sasori menghampiri Sai yang sedang memandang jam di pergelangan tangannya, ia tahu kegiatan tersebut hanyalah pengalihan atensi dari pikirannya yang sedang berkecamuk. Ia menepuk punggung si lelaki berambut hitam sembari berkata pelan, "Jangan gugup, santai saja. Kau sudah sering menghadapi hal yang lebih buruk dari ini."
"Kau bercanda? Mana mungkin aku gugup."
Sai memang berucap dengan nada tegas dan penuh percaya diri seperti biasa, tapi tubuhnya tidak bisa berbohong—pergelangan kakinya yang dilapisi pentofel hitam mengkilat itu mengetuk-ngetuk lantai dengan tidak sabaran. Hal itu tidak lepas dari pengamatan mata hazel Sasori yang terbiasa jelih, ia tersenyum miring menyadari artinya. Tentu, mantan kakak kelasnya itu tidak gugup—cuma agak tegang saja.
.
.
- sasori bakal dinas keluar pdhl kehamilan sakura sdh di akhir bln dan nunggu minggu2 lahiran, dia ngajak sasuke main bowling utk mnta ngawasi sakura saat dia pergi. Sasuke taruhan klo anak mereka cowok dia bakal jadi ayah baptisnya, kalo cewek sasuke jd menantu mereka
Setelah melakukan tugas mereka masing-masing—Sasori sebagai groomsmaid dan Sakura sebagai bridesmaid, sepasang suami istri tersebut kini duduk di meja tamu berbentuk lingkaran sembari menyantap hidangan yang memang telah disediakan. Naruto dan Hinata juga duduk di meja yang sama bersama mereka. Upacara pemberkatan telah berlangsung dengan sangat lancar dan tanpa insiden apapun. Dan kedua orang yang telah terikat dengan hubungan baru sebagai suami-istri tersebut sedang sibuk menyapa beberapa kolega atau kerabat yang menghampiri mereka untuk mengucapkan selamat di depan sana.
Ketika sedang menyesap jus jeruk di gelasnya yang tinggal sedikit, Sasori teringat sesuatu kemudian bertanya pada istrinya yang sedang sibuk dengan ponsel pintarnya, "Setelah ini jadi mau belanja bersama ibu?"
"Ah, iya. Jadi kok." Sakura sedikit tersentak mendengar pertanyaan itu karena sedang fokus mengetik.
Sasori mengangguk, "serius tidak mau kutemani?" Jeda beberapa detik namun Sakura belum juga menanggapi, Sasori mau tidak mau jadi penasaran juga..apa sih yang membuat istrinya itu fokus sekali. "Sedang apa? Penting sekali sepertinya." Matanya menggerling ke arah ponsel di tangan Sakura saat wanita berambut merah muda itu menoleh kearahnya.
"Ini lho, aku mengirim pesan pada Sasuke, jam segini belum datang. Ino kan termasuk teman dekatnya juga, masa' tidak bisa meluangkan waktu sebentar untuk datang." Sakura menunjukkan pesan yang baru saja dia kirimkan pada sahabat Uchiha-nya itu. "Dan oh—iya tidak apa-apa Sasori-kun tidak usah temani. Kita kan sudah membeli sebagian besar perlengkapannya kemarin, hari ini cuma mau beli beberapa perintilan kecilnya saja."
"Hm, ya sudah. Setelah selesai nanti aku jemput ya."
"Iya, sayang."
Di sisi meja lainnya, Naruto dan Hinata hanya pura-pura sibuk menikmati makanan mereka dalam diam. Tidak apa-apa, tak usah hiraukan, anggap saja mereka hanya sebuah vas bunga yang teronggok tak berdaya sebagai hiasan semata. Meskipun juga sama-sama berstatus sebagai pasangan suami istri, tapi mendengar percakapan manis pasangan lain secara live—tetap saja membuat kokoro ini merasa gimanaa..gitu. Geli-geli sedap.
"Kandunganmu sudah memasuki bulannya ya Sakura-chan?" Hinata kemudian membuka suara.
"Iya, heheh..."
"Kapan perkiraan lahirnya?"
"Tsunade-sensei bilang mungkin beberapa minggu kedepan."
"Wah tidak lama lagi," Kini Naruto juga ikutan angkat suara—asal jangan angkat meja ya Nar, bisa ambyar semua makanan diatasnya. "Tidak sabar mau lihat keponakanku, semoga saja si kecil lebih mirip dengan ayahnya ya."
"Memang kenapa?" Sasori menanggapi.
Naruto menggeleng pelan sembari melambaikan tangan dengan gerakan cepat—wajahnya meringis kecil, "kau tidak akan kuat jika melihat betapa merepotkannya Sakura dulu—yaa.. Sekarang juga masih, sih. Tapi tak separah sebelumnya."
Sakura merengut kesal, "Memang aku dulu kenapa?"
"Tidak usah minta dijelaskan, nanti kau malu sendiri didepan suamimu."
"Ish..., kau ini!" Sakura sudah mengambil ancang-ancang untuk melemparkan garpu yang kemudian langsung di sergah Naruto dengan seruannya.
"Lihat, lihat! Itulah salah satu contohnya, Sakura itu satu-satunya anak cewek paling pemarah yang kutemui sepanjang hidupku." Naruto menyibak helaian kuning miliknya, menampilkan jidat putihnya yang memiliki segaris bekas luka. "Nih, bukti bisunya. Dia waktu itu sampai melemparkan batu karena marah saat Sasuke-teme dan aku menjahilinya. Alhasil itu batu mendarat dengan sempurna di kening mulusku yang tidak lagi mulus ini."
Diingatkan pada hal itu, Sakura sedikit merasa bersalah juga pada Naruto—tapi hei! itu kan karena salah mereka duluan makanya dia jadi esmosi begitu. "Salah kalian sendiri sudah tahu aku takut kumbang, kalian malah meletakkan makhluk itu diatas kepalaku. Karena panik ya tanganku sembarangan melemparkan apapun yang ada didekatku."
"Ya, tapi tidak batu juga, Sakura."
"Mana kutahu kalo batu itu akan mengenai jidatmu."
Kini Naruto beralih pada Sasori yang mengamati percakapan mereka dengan senyum kecil, "lihat kan Sasori, istrimu itu tidak akan pernah mau kalah meski sudah jelas salah sekali pun."
Sasori mengangguk setuju sebagai balasannya lalu tertawa kecil melihat wajah istrinya yang kesal.
"Disini bukan cuma aku yang salah sepenuhnya ya!"
"Oke, 50 banding 50. Clear ya?" Naruto mengambil jalan tengah, takut-takut wajah tampannya kembali menjadi sasaran lemparan maut Sakura.
"Deal!—"
"Hoi! Lagi transaksi barang gelap kalian?"
Tiba-tiba seseorang datang menghampiri meja mereka. Uchiha Sasuke berdiri dengan kedua tangan dimasukkan dalam saku celananya, wajah bosannya memandang malas kedua sahabatnya secara bergantian.
"Kalau ada yang menguntungkan ngajak-ngajak, dong."
"Yang telat tidak diajak ya." Sakura berkata sambil menjulurkan lidahnya—mengejek.
Sasuke hanya melirik sahabat pinky-nya itu sambil berdecih.
"Oi, Teme. Kenapa datangnya sekarang? Coba sekalian saja saat semua orang sudah bubar nanti." Naruto berujar dengan nada menyindir.
"Niatku sih...sekalian saja tidak datang." Obsidian kelam Sasuke sekali lagi melirik pada satu-satunya wanita berambut merah muda diantara mereka—setelah sebelumnya beralih sebentar pada Naruto. "—tapi ada yang cerewet sekali, mengirim pesan berkali-kali sampe hp-ku ngelag, memberiku titah untuk segera datang."
"Titah ratu tak bisa dibantah ya emang."
"...Iyalah, kan aku masih mau melihat matahari terbit besok."
Setelah berkata begitu Sasuke dan Naruto ber-tos ria—merasa sukses menyindir seseorang. Tumben nih berdua akur, biasanya juga saling gelud kaya Tom & Jerry kalau tidak saling ejek. Tapi yah, kalau masalah menjahili sobat pinky mereka, nih duo laki-laki emang selalu sejalan dan sepemikiran. Tidak heran hubungan persahabatan mereka bisa awet sampe sekarang, emang penuh warna dan perseteruan tapi saling melengkapi.
Sang pelaku pengiriman pesan hanya bisa nyengir-nyengir tak berdosa. "Memang kenapa sih tidak mau datang? Malu karena diantara kita-kita kau sendiri yang datang tanpa gandengan."
Sasuke memasang tampang masam lalu kembali berdecih, ia bergumam pelan. "Itu tau kenapa nanya."
Si wanita yang sedang membawa beban cukup berat di perutnya itu kemudian bangkit berdiri, lalu mengajak laki-laki yang baru datang itu untuk menemui sahabat mereka yang sedang berbahagia di depan sana. "Sudahlah, ayo temui Ino sebentar. Setidaknya kau harus tunjukkan batang hidungmu itu dulu meski sebentar."
Sakura yang akan menyeret Sasuke ke tempat Ino dan Sai berdiri, menoleh dahulu pada suaminya yang masih berposisi duduk di sampingnya. Sasori menggeleng pelan sembari menunjukkan hp-nya yang sedang bergetar, "kalian saja, aku harus angkat telpon dulu."
"Kalau begitu tunggu sini ya, aku temui Ino dulu sekalian pamit untuk pulang."
Sasori hanya membalas dengan tangan yang membentuk gestur 'Ok' dan berucap tanpa suara karena ia sudah mulai memasang telinga untuk menerima teleponnya saat ini.
Beberapa menit berikutnya Sasuke kembali duluan ke meja dengan wajah sebal yang ditutupi tampang stoic andalannya, sepertinya pemuda Uchiha itu sengaja kabur dari teman-temannya yang sedang mengolok-olok dirinya untuk kapan segera menyusul. Memang sialan semua teman-temannya itu, inilah kenapa dia sebenarnya enggan datang ke pesta pernikahan begini. Meh. Peduli amat sama pernikahan, Sasuke belum mau terkekang dengan hal yang merepotkan begitu. Tidak lama darinya, Sasori juga kembali setelah selesai dengan urusan telponnya.
"Hei, Sasuke." Sasori berusaha menyapa, sedangkan yang disapa hanya bergumam 'hn' pelan sambil menyeruput jus jeruk yang baru ia ambil dalam perjalanan kembali tadi.
"Apa kau luang setelah ini?"
Sasuke menoleh kearah Sasori yang mengambil tempat duduk di sebelahnya, setelah menurunkan gelas yang ada dimulutnya barulah ia bersuara, "kenapa bertanya?"
Sasori hanya mengedikkan bahu tak menjawab, Sasuke mengangkat sebelah alisnya. "Jawabanku tergantung pada apa yang akan kau tawarkan."
"Sakura akan pergi dengan ibunya, jadi aku punya waktu luang. Kau mau bermain denganku?"
Heh, tiba-tiba sekali. Memang hubungan keduanya sudah pada tahap sedekat itu apa sampai Sasori repot-repot mengajaknya bermain begini. Biasanya juga kerjaan mereka cekcok mulut terus setiap bertemu. Pasti ada udang dibalik bakwan nih, Sasuke memasang raut curiga.
Paham dengan tatapan Sasuke itu lantas Sasori kembali berkata, "kupikir suasana hatimu sedang tidak bagus hari ini dan sejujurnya aku juga merasa bosan, kenapa tidak kita habiskan waktu bersama dan juga..ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu."
Sebelah alis Sasuke terangkat, "Apa?"
Sasori lagi-lagi tidak menjawab pertanyaan Sasuke dan hanya tersenyum miring kembali melemparkan pertanyaan, "mau tidak?"
Setelah memikir, menimbang, menelaah dan menganalisa—Bah. Sok sekali sudah kayak ingin memutuskan perihal hidup dan mati saja. Namun, pada akhirnya si putra bungsu Uchiha berkata begini juga, "sebenarnya aku itu punya kesibukan setiap detik, tapi..., kalo untuk hal yang seru, ya bisa diatur ulang lah."
Sasori mendengus geli, bilang iya saja daritadi apa susahnya sih. Sok-sok'an sibuk segala, gengsian sekali. Ia lalu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul tiga sore, kalau habis ini mereka pulang sebentar dulu baru setelah itu Sasori mengantar istrinya ke rumah mertuanya rasanya waktunya cukup, deh.
"Kita ketemuan lagi jam 5 sore bagaimana? Lokasinya nanti kukirim."
"Hn, Oke."
Dan dengan kesepakatan itu maka disinilah mereka berada... Sasuke mengangkat sebelah alisnya dengan kening yang berkerut kala dirinya berdiri di depan gedung dengan papan nama 'Tokyo Plaza Bowl'. Hah?! Seriusan Sasori mengajaknya untuk bermain Bowling? Ia melirik laki-laki berambut merah yang menyusul berdiri di sampingnya setelah memarkirkan mobil miliknya. Sasuke kira 'bermain' yang dimaksud Sasori itu seperti datang ke tempat penuh musik keras yang ajeb-ajeb begitu, atau minimal tempat bermain billiard-lah yang me-representasikan kegiatan cowok bangets gitu lho. Yah..cowok juga banyak yang main bowling sih, tapi agak kurang seru.
Padahal Sasuke sudah susah payah tampil pakek outfit yang keren dan kece begini—Leather jacket hitam yang menutupi kaos berwarna senada dipadu dengan ripped jeans gelap dan sepatu boots berwarna coklat tua, tidak lupa sunglass yang terpasang dengan kokoh di batang hidungnya yang memang mancung. Bagaimana tidak membuat setiap orang yang melewatinya tersilau-silau dengan aura kegantengannya itu—ahh..., indahnya ciptaan Tuhan yang satu ini. Sedangkan laki-laki yang bersamanya hanya memakai pakaian casual yang santai—hoodie berwarna putih yang dilapisi jaket jeans berwarna wash blue, celana jeans hitam dan sepatu high converse hitam-putih. Status calon papah mudanya sama sekali tertutupi dengan aura muda nan fresh dari penampilan dan wajahnya yang memang terkesan babyface.
Sasori melirik pemuda Uchiha di sampingnya, "kita tidak sedang akan nonton konser musik rock atau pergi clubbing ya." Ucapnya menyindir penampilan Sasuke yang memang agak nyentrik untuk digunakan ketempat seperti ini.
Yee... Sialan. Bilang kek dari awal, dia kan jadi tidak salah kostum begini. Tapi ya bodo amat, Uchiha Sasuke tetap tampan dan sempurna apapun yang ia pakai dan dimanapun. Ia mendengus angkuh sebelum membalas ucapan Sasori, "tidak kusangka tempat bermainmu se-remeh ini."
"Aku bertaruh ini pasti pertama kalinya kau datang dan bermain disini."
"Mau bertaruh? Meski pertama kalinya aku datang kesini tapi kau pasti bisa kukalahkan dengan mudah."
Sasori tertawa meremehkan, "No one can beat me in this field. Bahkan Itachi pun dulu tidak pernah bisa mengalahkan skor-ku."
Sasuke melongokkan matanya dari kacamata hitam yang dipakainya, lalu menoleh pada Sasori dengan wajah yang meragukan ucapannya. Apa?! Kakaknya yang serba bisa dan selalu dibangga-banggakan ayahnya itu bisa juga kalah dalam hal remeh begini? Baru kali ini Sasuke mendengar fakta itu.
"Tidak percaya? Buktikan saja sendiri kalau mau." Setelah mengatakan itu Sasori mulai melangkahkan kaki memasuki gedung arena bowling tersebut.
Sasuke yang masih bertampang ogah-ogahan pada akhirnya toh mau tidak mau mengikuti juga langkah Sasori yang sudah menduluinya. Sudah capek-capek kesini ya masa' mau pulang lagi, ibaratnya tuh sudah kepalang basah langsung saja nyemplung sekalian.
Setelah bermain selama satu jam lebih mereka berdua berhasil menyelesaikan satu set permainan dengan skor akhir Sasori mendapat 11 strike* dan 1 Spare* dan Sasuke yang yah begitulah...cukup lumayan sih untuk hitungan pemula, meski memang ia beberapa kali mendapat strike dan spare juga namun kebanyakan kebanyakan splitsplit* dan open frame* yang ia lakukan membuat skor miliknya tetap sulit mengejar ketertinggalan dari skor Sasori yang nyaris sempurna.
"See..., it can prove what I said." Sasori mengelap telapak tangannya yang terasa berkeringat setelah melakukan lemparan terakhir pada gilirannya, sembari berjalan menghampiri Sasuke yang tengah duduk dengan wajah masam.
"Kau pasti sudah bermain ini sejak bayi kan? Ayo ngaku!" Sasuke menunjuk pria berambut merah di depannya dengan jari telunjuk yang mengacung. Leather jaketnya sudah ia tanggalkan dari tadi, menyisakan kaos hitam berlengan pendek yang membalut tubuh proposional miliknya, berapa bulir keringat meluncur di pelipisnya. Main beginian saja bikin keringatan juga ternyata, padahal ruangannya lumayan sejuk karena AC.
Sasori menangkap telunjuk Sasuke lalu menekuknya hingga berbunyi 'krek' pelan yang membuat sang pemilik telunjuk mengaduh kesakitan. Tenang, Sasori tidak sekuat itu kok sampai mau mematahkan telunjuk Sasuke, cuma iseng di kretek-kretekin saja.
"Mana ada dari bayi, pertama kali aku mulai mencoba ini saja waktu SMA."
"Cih, bohong! Skill-mu itu rasanya sudah setara dengan pemain pro yang sering ikut liga kejuaraan."
Tangan Sasori menyentuh dagunya seolah sedang mengingat-ingat sesuatu, "ya... Waktu di Amerika dulu beberapa kali aku ikut liga bowling sih ketika punya waktu luang."
Sasuke kembali berdecak pelan, "apa kan kubilang. Kau curang mengajakku bertanding pada permainan yang kau ahli-kan."
"Untuk ukuran pemula, kau juga tidak buruk sebenarnya." Sasori mengakui secara jujur. "Kalau sering bermain, lama-lama juga pasti ahli. Itachi dulu juga begitu, kudengar dia tidak pernah bermain bowling sebelum bertemu denganku."
"Oh, pantas saja dia selalu kalah." Sasuke bergumam pelan—lebih kepada dirinya sendiri. "Ngomong-ngomong, hal apa yang ingin kau bicarakan padaku?"
Sasori mengambil bola untuk kembali melakukan lemparan, namun sebelum benar-benar melempar bola tersebut ia lebih dulu melemparkan pertanyaan pada Sasuke—atau pernyataan lebih tepatnya.
"Itachi tidak menghubungimu? Minggu depan sepertinya dia akan kembali ke Jepang."
CTAAR!
"APA?!"
Lemparan bola Sasori menyisakan satu pin yang berada di ujung kiri. Ia berbalik kearah Sasuke yang tadinya duduk kini berdiri dengan tampang kaget kearahnya.
"Sebelumnya dia menghubungiku jika pekerjaan Volunteer-nya akan berakhir...," Sasori menggantung ucapannya karena dia sedang memilah bola yang tepat untuk lemparan keduanya, Sasuke menunggu kelanjutannya dengan tidak sabaran. "—dia minta tolong pada Sakura untuk diberikan rekomendasi agar bisa bekerja di rumah sakit tempat Sakura bekerja. Dan kebetulan ada, departmen emergency selalu kekurangan orang dan ternyata itu sesuai dengan spesialisasinya juga."
"Jadi dia akan kembali...dan bekerja di Rumah sakit Tokyo?" Sasuke dengan nadanya yang masih tak percaya.
"Ya..., itu sih yang dia katakan kemarin saat menelponku, semoga saja dia tidak berubah pikiran."
Sasuke menggeram, "si keparat itu..selalu saja bertindak seenaknya." Obsidian kelam miliknya melotot kearah Sasori. "Kenapa juga dia memilih menghubungimu daripada aku yang adiknya sendiri." Ada yang cemburu tuh.
"Mana kutahu," Sasori mengedikkan bahunya. "Mungkin dia takut kau bakal menghajarnya nanti."
"Memang benar..." Sasuke mengepalkan tangannya kemudian membunyikan buku-buku jarinya sampai menimbulkan bunyi kretek-kretek yang mengerikan. Sasori bahkan sampai harus menelan ludahnya begitu melihat aura-aura gelap yang dipancarkan oleh putra bungsu keluarga Uchiha itu.
"...,akan kubuat wajahnya babak belur tak beraturan begitu ia berhadapan langsung denganku nanti. Lihat saja." Camkan perkataan seorang Uchiha Sasuke, dia sudah cukup lama menahan dendam kesumat dengan kakaknya. Memang dasar Itachi itu licin sudah seperti belut, dikejar kesana kemari masih juga tak ketemu dan sulit didapatkan. Sekarang dia sendiri menyerahkan dirinya ke kandang macan, rawrr... Sasuke tak sabar menanti untuk menikamnya. Kekehan bernada licik tanpa sadar keluar dari mulutnya, Sasori sweatdrop melihatnya.
Setelah dirasa seorang Uchiha Sasuke kembali pada karakternya yang cool dan jaim seperti sedia kala. Sasori kembali membuka pembicaraan.
"Ada satu hal lain yang ingin kubicarakan."
Sasuke membalas 'hn' singkat sambil menyeruput minuman energi yang baru ia beli dari vending machine, dari matanya menunjukkan bahwa ia memperhatikan si lelaki Akasuna atas apapun yang akan disampaikannya.
"...,sebenarnya ini permintaan sih, boleh tolong kau awasi dan cek keadaan Sakura sesekali saat aku tidak ada."
"Hn, kau punya firasat akan mati?"
Sasuke berkata demikian dengan tampang tanpa dosanya yang membuat Sasori gemas ingin melemparkan bola bowling seberat 14kg yang ada ditangannya ke wajah tanpa cela adik temannya itu.
"Aku sehat sentosa ya Uchiha—brengsek. Hanya saja, minggu depan aku punya pekerjaan di luar kota jadi terpaksa harus meninggalkannya sebentar."
"Istri sedang hamil begitu bisa-bisanya kau tinggal ke luar kota, kalau tiba-tiba dia melahirkan dan kau tidak ada bagaimana?"
"Itu dia yang kutakutkan, Ini proyek sudah jalan sejak lama dan tidak ada yang bisa menghandle-nya selain aku. Karena itu, aku minta tolong padamu."
Sebagai seorang pembisnis, ya..., kurang lebih Sasuke bisa pahamlah posisi kejepit tentang urusan pekerjaan begini. Ia lalu melipat tangannya didepan dada, sebuah ide muncul di kepala yang ditumbuhi rambut model emo itu.
"Boleh, sampai menginap pun aku tidak keberatan untuk menjaga Sakura." Sasuke menyeringai.
"Jangan harap. Akan kuminta ibu mertuaku yang akan menemaninya dirumah dan kau cek saja keadaannya sesekali atau jika dia merasakan keluhan apapun tolong antarkan saja ke rumah sakit. Aku akan segera pulang begitu mendengar kabar apapun." Ucap Sasori panjang kali lebar dengan satu tarikan napas sudah seperti mau lomba nge-rapp.
"Hal seperti itu juga butuh effort, tahu, apalagi untukku yang sibuk begini. Kau berhutang padaku."
"Ya, ya. Apapun sebagai gantinya yang kau minta katakan saja." Sasori memutar bola matanya dengan malas, lalu melanjutkan kesibukannya mengelap bola berwarna hitam di tangannya.
Harta, tahta, dan tampang telah ia miliki sejak lahir. Memang masih ada celah bagi seorang Uchiha Sasuke untuk minta-minta sesuatu dari orang lain lagi? Hm...kecuali untuk hal-hal diluar prediksi BMKG yang sering terlintas dalam otak encernya. Kali ini ide gila apa lagi yang terbesit dalam benaknya.
"Ada dua hal, ini tergantung dari anakmu nanti."
Sasori tak menjawab, hanya memandangnya dengan alis terangkat.
Lantas Sasuke melanjutkan perkataannya, "jika ternyata anak kalian yang lahir berjenis kelamin laki-laki..., jadikan aku sebagai ayah baptisnya."
Meski merasa aneh sekaligus heran, setelah pertimbangan beberapa saat Sasori pikir tidak ada salahnya permintaan itu. Lagipula Sakura juga pernah bilang bahwa ia sudah menganggap Sasuke dan Naruto itu sudah seperti saudaranya sendiri, rasanya tidak masalah.
"Oke, bisa dipertimbangka—"
Sasuke memotong ucapan Sasori, jangan berharap ia selesai sampai disitu. "—tapi, jika ternyata yang lahir adalah perempuan, maka...,
...,jodohkan dia denganku."
—WHAT THE FUCK?!
Hah? Apa? Bisa-bisanya dia sampe kepikiran kesitu. Apa ini yang dinamakan 'ibunya tak dapat anaknya pun jadi'. Wahh. Sudah tidak waras nih orang. Sasori sampai tak habis pikir dengan jalan pikiran manusia satu ini. Mungkin Sasuke sudah terlalu lama tinggal di luar negeri, otaknya jadi gesrek hingga mulai melupakan moral dan nilai-nilai yang dianut negeri kelahirannya.
"Sasuke, bola yang ada di tanganku ini berat, lho." Sasori memberikan warning.
"Ya iyalah, daritadi juga aku main tau kalau bola itu berat." Yang dikasih warning ternyata tidak peka—atau pura-pura saja.
"Ya, kalau gitu mau kulemparkan pada wajahmu yang mulus itu, hah? Dari tadi mulutmu itu bikin emosi terus, heran."
Tidak tahu. Apa tekanan dari orang-orang sekitarlah yang sudah membuat Sasuke mencapai tingkat frustasi akut untuk mencari cewek lain sebagai pasangan hingga ia mau berbelok saja untuk menjadi...pedofil(?)
"Jadi, mau tidak? Atau aku tidak akan mau repot-repot melakukan permintaanmu." Sasuke menyenderkan punggungnya dengan santai pada sandaran kursi, kaki disilangkan, tangan bersidekap dengan mata yang mengawasi punggung Sasori yang kini membelakanginya, tengah bersiap untuk melemparkan bola lagi untuk kesekian kalinya.
Lelaki bermarga Akasuna itu tidak menghiraukan pertanyaan Sasuke dan memilih untuk melemparkan bola ditangannya pada jalur didepannya sembari mengumpat, "Dasar sinting." —pelan, namun masih tetap dapat ditangkap oleh telinga si pemuda Uchiha.
Sasuke dapat melihat lelaki berambut merah itu melakukan lemparan dengan sekuat tenaganya sampai-sampai pin bowling yang dihantam bolanya mental berserakan kemana-mana. Ia bersiul kecil melihat aksi tersebut, jika memang itu bola dihantamkan ke wajahnya—waduh..pasti remuk berkeping-keping wajah tampan nan sempurnanya ini. Bibirnya membentuk seringai tipis, moodnya yang hancur siang tadi kini kembali naik. Terima kasih pada calon papa muda yang reaksinya selalu membuat Sasuke puas, membuatnya ingin lagi dan lagi mencari cara menjahilinya.
.
.
.
.
.
-TBC-
.
.
.
.
.
.
A/N: ini tuh chapter terakhir niatnya huhuT_T tapi busett...ternyata kepanjangan, jadi dibagi dua lagi yaa...
Yaudah yuklah capcus, langsung aja klik tombol next-
Enjoy~
Palembang, 01-04-24.
