Just Because

Naruto © Masashi Kishimoto

Genre: Romance & Slice of Life.

Character : Sakura. H, Sasori. A, and others.

Rated : T

Warning : AU, OOC, typo(s), gaje, aneh, bahasa tidak baku, Dan masih banyak keburukan lainnya.

Note: Apapun merk, nama tempat atau suatu judul film lain yang ada di cerita tidak bertujun untuk comercial/promosi apapun ya. Murni hanya sebatas konten dalam cerita.

.

.

Don't like, Just don't read!

Happy Reading~


.

.

Chapter 11

.

.


"Aaahh... Tidak mauu."

Sakura merengek-rengek manja—sudah seperti bocah lima tahun, pada suaminya yang tengah bersiap-siap. Pagi ini Sasori bukan akan pergi ke kantor, malahan ini hari dimana dia harus mulai pergi ke luar kota—yaitu ke Hokkaido, untuk urusan pekerjaannya. Padahal beberapa hari yang lalu dia sudah bilang pada Sakura akan pergi dan dia pikir istrinya itu sudah setuju setelah dibujuk paling lama lima hari saja perginya yang harusnya membutuhkan waktu seminggu penuh.

"Nanti kalau tiba-tiba kontraksi bagaimana?" Ia menarik-narik lengan kemeja berwarna navy yang dipakai Sasori.

"Aku kan perginya lima hari cuma, Tsunade-sensei juga bilang paling cepat kalau akan keluar mungkin minggu depan." Sasori berusaha membujuk, masih dengan kesibukannya memasukkan peralatan-peralatannya seperti tab, berkas proposal dan dokumen, serta beberapa alat tulis ke dalam ransel hitamnya.

"Iyaa, itu kan prediksinya. Kalau ternyata keluarnya diluar prediksi bagaimana?"

Kini Sasori memusatkan atensi penuh pada sang istri, ia memegang kedua lengan atas Sakura dan berucap dengan nada lembut, "kalau itu terjadi, apapun yang terjadi aku akan pulang dengan kecepatan angin." Lelaki berambut merah itu membuat gestur tangan seperti main pesawat-pesawatan, bunyi 'whuss' keluar dari mulutnya. Niatnya mau nge-jokes, tapi gagal. Istrinya hanya masih tetap memandangnya dengan wajah penuh kegusaran. Lantas ia berdehem singkat untuk menetralisir rasa malunya.

"Apa tidak bisa gitu digantikan dengan Kiba-san atau Deidara-san saja?" Sakura masih berusaha mencegah suaminya untuk pergi.

"Tidak bisa, sayang.. Kan aku sudah jelaskan, Dei dan Kiba punya proyek lain, bahkan Sai yang harusnya cuti menikah pun ikut denganku ke Hokkaido untuk mengurus ini."

"Tapi kan dia perginya bareng Ino, mereka bisa sekalian honeymoon." Sakura cemberut, sedikit merasa iri pada sahabatnya yang baru melepaskan masa lajangnya itu.

Sasori mengusap wajahnya frustasi, mau dengan cara apa lagi dia membujuk. "Aku sudah menghubungi Sasuke untuk menemanimu agar tidak bosan." Ucapnya kemudian.

"Lho, kau tidak marah aku menghabiskan waktu bersama Sasuke? Saat kau sedang pergi lagi."

"Aku tidak pernah keberatan kau menghabiskan waktu dengan siapapun, kan? Asal tahu batasannya saja." Sasori mengecek jam di pergelangan tangan kirinya, setidaknya dia masih punya waktu beberapa saat sebelum jadwal keberangkatan pesawatnya. "Di saat seperti ini, kurasa Sasuke jadi salah satu orang terdekat kita yang bisa di percaya. Pegang saja kepercayaanku ya, maka aku juga akan pegang janjiku padamu."

"Meski begitu, tetap saja... Aku lebih membutuhkanmu." Sakura kali ini malah memeluk suaminya dengan erat seperti ingin mengunci pergerakan Sasori agar tidak bisa kabur darinya.

Ampun deh, tingkat manja istrinya bukan main parahnya saat ini. Mungkin ini juga dipengaruhi karena kekhawatiran pada waktu lahiran yang tinggal menghitung hari. Sebenarnya dia juga sangat amat berat meninggalkan istrinya dalam keadaan begini, tapi mau bagaimana lagi dia juga tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya begitu saja. Pelukan Sakura terpaksa harus mengendur kala bel pintu depan mereka berbunyi. Meski enggan, dia melepaskan Sasori yang meminta izin membukakan pintu untuk—siapapun tamu mereka itu.

Yang datang tidak lain dan tidak bukan ternyata orang yang baru beberapa menit lalu mereka sebut namanya. Sasuke menyapa singkat dengan wajah ngantuk khas orang bangun tidur pada Sasori yang menyambutnya di pintu, tanpa dipersilahkan lagi si pemuda Uchiha nyelonong begitu saja masuk melewati Sasori yang memasang tampang biasa saja sambil memutar bola matanya—sudah terbiasa dia.

"Kudengar kau pergi pagi ini, kenapa masih disini?" Sasuke merebahkan dirinya di sofa ruang depan.

Sasori hanya membalas dengan gelengan kepala lesu sambil mengedikkan dagu pada sosok istrinya yang baru keluar menyusul ke ruang depan. Wajah si wanita musim semi terlihat seperti baju kering yang baru diangkat dari jemuran—lecek tak beraturan, sedangkan si suami hanya menghela napas berkali-kali sembari sesekali melirik jam tangannya. Untung IQ Sasuke tinggi, melihat begini saja dia sudah paham situasinya bagaimana.

"Ribet banget sih ini ibu hamil, suami pergi sebentar saja sudah seperti pergi untuk selamanya."

"Jangan sembarangan bicara. Memang kau tahu apa?" Sakura berujar ketus memandang si Uchiha dengan sebal, detik berikutnya pandangannya kembali terlihat sendu menatap punggung sang suami yang kini sudah dilapisi jaket kulit hitam dan ransel yang menggantung dibahunya. Sasori sudah siap untuk pergi, atau jika lebih lama lagi dia akan ketinggalan jadwal penerbangan. Melihat itu, Sakura merasa tidak bisa berbuat apapun lagi.

Setelah merapihkan dirinya, Sasori berbalik dan kembali menghampiri sang istri yang wajahnya seperti menahan berak—sorry, maksudnya nahan nangis. Lelaki bermarga Akasuna itu kembali menghela napas dalam-dalam untuk kesekian kalinya pagi ini. Berat juga kakinya akan melangkah jika dihadapkan pada hal seperti ini. Dulu, kerjaan adalah satu-satunya tujuan hidupnya, kerjaan selalu diatas segalanya, semudah itu memutuskannya. Tapi kini semua terasa berbeda, justru memilih kerjaan jadi hal yang paling berat untuknya saat ini. Hh. Memang tidak ada yang tahu bagaimana roda kehidupan ini berputar ya. Tuhan ahli sekali membolak-balikkan perasaan manusia, semudah membalikkan telapak tangan.

"Aktifkan terus hp-mu, jangan seperti waktu itu sampai aku tidak bisa menghubungi." Akhirnya Sakura menyerah juga memikirkan tipu daya dan muslihat untuk mencegah suaminya berangkat.

"Oke, beres."

"Saat sudah sampai telepon aku."

"Siap, Yang Mulia."

"Harus beritahu aku mau kemana dan akan melakukan apa."

"Hm, iya, iya."

"Jangan lupa makan yang teratur dan istirahat yang cukup."

"Iyaa, sayang..." Sasori mengangkat sebelah alisnya, "ada lagi?" Salah satu kakinya mengetuk-ngetuk tidak sabaran.

"Satu lagi, mana...gombalanmu hari ini." Sakura meminta hal yang sejak dia ngidam menjadi kegiatan rutin Sasori setiap akan berangkat kerja.

Sudut bibir Sasori berkedut. Disini, sekarang? Didepan si Uchiha yang kini sedang duduk sambil membolak-balikkan majalah di tangannya dengan wajah bosan. Aduh, malu banget..

"Hngg..." Sasori memejamkan matanya sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. "Kau tahu, tadi malam di berita tv banyak orang bilang gerhana bulan biru semalam adalah gerhana tercantik setiap sepuluh tahun sekali. Tapi saat kulihat keluar, bulannya terasa biasa saja."

"Kenapa bisa begitu?"

"Ya, mungkin karena aku sudah terbiasa melihat keindahan di mata istriku. Jadi hal lain terlihat biasa saja."

Siiingg...

Keheningan yang menusuk setelah kata-katanya selesai membuat Sasori meringis dalam hati. Sakura sih diam karena ngeblushing malu-malu ya, masalahnya ada pada seseorang yang juga bersama mereka di ruangan itu. Sasori melihat sosok Sasuke yang masih duduk di sofa dibelakang Sakura, pemuda itu saat ini menoleh ke arah mereka dengan wajah horor seperti habis mendengar sesuatu yang sangat mengerikan. Sudut bibirnya mengangkat separuh dengan tatapan mata yang sedang menghujat—adegan menjijikan macam apa ini.

Sasori balik memandangnya dengan wajah yang memelas seolah berkata 'iya, tonjok saja mukaku, bukan cuma kau yang kesal karena mendengarnya, aku yang ngomong saja kesal sendiri.' Sampai kapanpun, sepertinya untuk yang satu ini dia tetap tidak akan bisa terbiasa. Rasa gelinya tetap bikin merinding bulu kuduk.

"Sudah ya, waktuku tidak banyak lagi." Sasori kemudian berkata lagi pada istrinya—meredam rasa malunya. "Aku pergi dulu, Jaga dirimu." Dia lalu kembali beralih pada Sasuke yang sudah mengontrol ekspresinya. Sasori tidak berkata apapun padanya, hanya memberi gestur dengan dua jarinya seolah mengatakan 'jangan macam-macam, aku mengawasimu.'

Dan dia menyempatkan diri mencium kening istrinya sebelum berbalik menuju pintu. Dari arah belakangnya Sasuke berseru keras, "cepatlah pulang, aku ingin berlatih bowling lagi untuk mengalahkan Itachi."

Kemudian lambaian tangan tanpa menoleh menjadi balasan Sasori, disusul bunyi 'blam' pelan dari pintu yang ditutup membuat sosoknya menghilang dari ruangan tersebut.

.

.

.

.

.

.

Haruno Mebuki sedang melipat-lipat pakaian bayi sembari menonton acara gosip siang hari favoritnya. Saat ini dia sedang menginap di rumah putri tunggalnya yang sedang hamil tua tapi sedang ditinggal suaminya dinas kerja ke luar kota—dipikir-pikir kasihan juga, tapi karena menantunya sudah menjelaskan panjang kali lebar beberapa hari sebelum dia pergi—mau tidak mau Mebuki harus memakluminya. Toh Sasori kerja juga demi kesejahteraan keluarganya sendiri kan, meski memang jika ia berdiam diri pun seharusnya uang tetap mengalir ke rekeningnya karena kan perusahaan keluarganya bukan usaha kaleng-kaleng. Walaupun Sasori secara harfiah menyerahkan urusan perusahaan keluarga ke pamannya, tapi namanya tetap saja tercatat sebagai salah satu pemegang saham terbesar—sebagai warisan yang ia terima dari ayahnya. Cuma ya begitulah, laki-laki dan jiwa superioritasnya yang selalu merasa bertanggung jawab atas pekerjaannya.

Sakura datang dari arah dapur menenteng dua cangkir teh chamomile yang baru ia seduh. Cuaca diluar agaknya sudah mulai dingin, minggu lalu salju pertama sudah mulai turun dan saat ini jalanan sedikit demi sedikit sudah tertutupi benda putih dari langit tersebut. Setelah meletakkan cangkirnya, Ia meraih remote tv yang teronggok tak berdaya dan diacuhkan di atas meja. Begitu tangan lentiknya memencet salah satu tombol, acara yang sedang menampilkan berita eksklusif seorang artis yang sedang keciduk kencan tergantikan dengan wajah artis lain—yang bedanya kali ini sedang berakting dalam suatu drama. Suara decakan lidah keluar dari mulut ibunya yang menoleh padanya dengan sebal.

"Kenapa diganti sih, Sakuu.. Lagi seru itu."

"Lebih seru drama ini, tahu. Tuh lihat aktornya ganteng bangett."

Mebuki heran, kalau jadi Sakura rasanya dia tidak perlu repot-repot menonton drama hanya untuk melihat aktor-aktor ganteng seperti itu, orang suaminya sendiri gantengnya bukan main kok. Sudah setara sama oppa-oppa yang digandrungi para ciwi-ciwi itu.

"Heh, apa ketampanan seorang Sasori-kun masih kurang untukmu?" Dalam hati Mebuki menambahkan, 'Kalau tidak mau ya untuk ibu saja'—Eeh.. Inget bapak Kizashi yang lagi di kantor, bu.

"Ya kan orangnya juga sedang tidak ada disini." Sakura cemberut, masih sedikit kesal pada suaminya yang pergi sudah tiga hari itu. Sisa dua hari lagi dari janjinya, awas saja kalau dia tiba-tiba berubah rencana nambah hari lagi—tidak akan Sakura maafkan.

"Dasar kau ini," Wanita paruh baya itu lalu beralih pada setumpuk baju-baju menggemaskan yang sedang ia tata rapih, jika dilihat-lihat model bajunya beragam sekali. "Ngomong-ngomong, Sakura. Kalian sudah cek usg jenis kelamin calon bayi kalian? Kau belum cerita pada ibu."

"Nah, itu dia masalahnya..." Sakura menepuk pelan pahanya sendiri, "setiap di cek usg, pasti tidak bisa dilihat karena kadang ketutup tanganlah, kadang ketutup kaki, atau malah posisinya malah membelakangi jadi sulit sekali mentukan jenis kelaminnya apa." Ia menunjuk baju-baju yang dipandang ibunya dengan tatapan bingung. "Karena itu aku dan Sasori-kun memutuskan membeli pakaian yang beragam begini, jadi mau laki-laki atau Perempuan sudah ada persiapannya."

"Hoo.. Pantas saja. Bayi kalian malu-malu juga ya rupanya." Mebuki mengangguk-angguk sembari mengelus perut putrinya yang sudah membesar. Sebenarnya dia sedikit terharu, bayi kecil yang ada di perutnya dua puluh empat tahun yang lalu kini telah tumbuh dewasa menjadi wanita cantik dan malah sekarang tengah bersiap juga menjadi calon ibu—betapa cepatnya waktu berjalan ternyata. Perasaan bangga memenuhi dadanya, membayangkan akan ada bayi kecil lain dalam hidupnya yang akan memanggilnya dengan sebutan 'nenek'. Dia jadi tidak sabar, membayangkan semenggemaskan apa cucu pertamanya nanti.

"Sebenarnya mau laki-laki atau perempuan pun tidak masalah, Sakura. Kalian berdua punya gen yang unggul, ibu yakin anak kalian pasti cakep-cakep hahah...," Mebuki tertawa membanggakan diri. "Berterima kasihlah pada ibu yang mewarisinya padamu—dan tentu orang tua Sasori-kun yang mewarisi padanya juga."

Mendengar tingkat kepedean ibunya itu, Sakura hanya tersenyum miring, "iya deh yang cantik, nanti kubilangi ayah kalau ibu seolah-olah menyebut ayah jelek."

"Mulai deh, mau memperkeruh rumah tangga orang tuanya," Haruno Mebuki mencubit gemas lengan putrinya yang agak sedikit gembul sekarang. "Ibu tidak bilang ayahmu jelek ya. Hanya saja ...sedikit kurang tampan."

"Yee..., sama saja dong."

Mereka berdua kemudian menyesap teh masing-masing sejenak sebelum Mebuki teringat hal lain, "Oh, iya. Masalah namanya bagaimana, sudah kalian siapkan?"

Sakura mengangguk, "kalau laki-laki aku punya satu kandidat nama. Yaitu Shouta, inspirasinya dari salah satu pasienku yang digabung dengan nama ibunya—Shouko dan Yota."

"Shouta? Bagus juga." Mebuki mengangguk setuju, "kalau perempuan?"

"Sasori-kun yang buat, tanya saja dia nanti langsung."

"Heee.. Kenapa? Katakan saja sekarang, ibu penasaran."

"Tidak ah. Nanti saja biar kejutan. " Sakura menjulurkan lidahnya mengejek lalu tertawa kecil melihat wajah ibunya yang curiga sekaligus kepo bukan main. Pasalnya, nama yang Sasori buat itu gabungan dari nama kedua ibu mereka, kalau diberitahu sekarang nanti ibunya malah ke-geeran lagi.

Setelah itu, Sakura mulai beranjak dari duduknya dengan susah payah—tubuhnya berat sekali rasanya—ia membereskan cangkir tehnya yang telah kandas isinya dan membawanya ke dapur untuk segera ia cuci. Namun, selang beberapa menit setelahnya, Mebuki yang sedang sibuk dengan remote tv mencari channel acara gosip sebelumnya—harus dibuat terkejut oleh suara teriakan putrinya dari arah dapur.

"IBUUU!"

Mebuki bergegas ke sumber suara sembari dalam hati menebak pastilah putrinya itu berteriak karena dikagetkan oleh kecoa terbang atau tikus lewat. Memang putrinya itu penakut sekali. Tapi..., yang didapatinya didapur tak ada dua hewan menjijikan yang ia pikirkan barusan, yang dilihatnya hanyalah Sakura yang berdiri mematung dengan wajah sedikit shock sambil menatap lantai marmer dibawahnya yang terdapat sedikit tetesan air. Saat dilihat, keran air wastafel sedang mati jadi asalnya pasti bukan dari sana. Tidak. Setelah ditelusuri ternyata air tersebut mengalir dari kaki Sakura sendiri yang artinya...,

"Ibuu...,air ketubanku pecah."

Suara parau yang dilanda kecemasan secara tiba-tiba, Mebuki memandang putrinya yang sudah berwajah hampir menangis.

.

.

.

Mebuki berusaha untuk tidak panik mengingat ini bukanlah pertama kalinya dia berada pada situasi demikian—tapi Hei! Yang benar saja. Dia melahirkan sudah dua puluh empat tahun yang lalu ya, beberapa hal saja dia sudah lupa. Lantas, seberapa kuat pun ia kontrol, rasa panik juga menyelimutinya. Apalagi melihat Sakura yang saat ini sudah mulai mengeluhkan rasa sakit di perutnya akibat kontraksi.

"Aduduhh... Ibuu tolong ponselku."

"Di—dimana? Eh, ini mah ponsel ibu." Sampai membedakan ponselnya sendiri pun dia salah. Mebuki mulai kelabakan.

Sakura berusaha menghela napas lambat-lambat berusaha menetralisirkan rasa berdenyut-denyut di perutnya yang intensitasnya hilang-timbul. "Di meja bu, dan ibu tolong telpon ayah atau Sasuke minta tolong mereka untuk kesini—siapapun yang duluan datang kesini, kita bisa minta antar ke rumah sakit." Sedangkan dia berusaha untuk menelpon sang suami yang sedang berada di Hokkaido itu.

Setelah memberitahu suaminya—Kizashi, beberapa detik berikutnya Mebuki berhasil menghubungi Uchiha Sasuke yang memang sedang berniat untuk berkunjung untuk mengantarkan kue beras yang ibunya—Mikoto buat. Sasuke juga heran, tumben sekali ibunya mau repot-repot membuat makanan begitu, biasanya juga tahu beres dan tinggal pesan saja. Saat ditanya kenapa, dijawabnya karena iseng saja lagi gabut dirumah dan kebetulan mendengar temannya Mebuki sedang menginap di rumah putrinya maka sekalian saja nitip pada Sasuke untuk diantarkan.

Sedangkan Sakura, sudah susah payah lagi nahan sakit—panggilannya pun hanya dibalas dengan sapaan operator yang saat ini bagi telinganya merupakan suara yang sangat mengesalkan. Mana sih suaminya itu, padahal tadi pagi mereka masih bertukar pesan ini sekarang dihubungi malah tidak nyambung. Ia menggeram pelan, antara menahan sakit di perutnya atau menahan emosinya. "Arrghhh..., Sasorii! Ini kan yang kutakutkan."

Di tempat lain, lelaki yang namanya dipanggil tersebut sedang duduk gelisah dalam sebuah rapat yang diadakan antara tim dari perusahaannya dan klien dari proyek yang sedang mereka jalankan. Akasuna Sasori dari tadi memang terlihat fokus melihat dokumen didepannya, namun dibawah meja sana—kaki kirinya mengetuk-ngetuk dengan gelisah menimbulkan sedikit getaran kecil bagi rekannya yang duduk di sebelah. Shimura Sai beberapa kali melirik lelaki berambut merah disampingnya atas getaran yang membuat tidak nyaman itu.

"Kakimu itu bisa diam tidak," Bisiknya pelan dengan nada ketus seperti biasa.

Sasori menoleh dengan wajah yang sedikit kosong lalu berkata, "maaf." —sama pelannya dan berusaha menghentikan kegiatan kakinya.

Dari luar memang terlihat fokus, tapi didalamnya sebenarnya pikirannya sedang mengawang-awang entah kemana. Kini jari tangan kirinya yang tidak memegang pulpen mengetuk beberapa kali layar ponsel pintarnya, namun layarnya tetap bergeming—hitam pekat tak menujukkan tanda-tanda kehidupan. Tadi malam dia lupa untuk men-charger hpnya, alhasil saat ini baterainya habis total dan itu benda canggih collapse tak berdaya. Mana dari tadi dirinya merasa tak tenang lagi, sebisa mungkin saat berada jauh begini dia selalu mengaktifkan ponselnya takut-takut jika ada kabar mendadak mengenai istrinya. Hal-hal yang begini nih yang bikin tidak tenang.

Sasori memicingkan hazelnya menatap juru bicara klien mereka yang sepertinya memberikan tanda-tanda akan mengakhiri sesi diskusi kali ini. Begitu pria muda berambut keabu-abuan yang duduk kelang beberapa kursi dari tempatnya itu mengakhiri perkataanya, detik itu juga Sasori bangkit berdiri melesat keluar ruangan—mengakibatkan beberapa orang yang ada didekatnya kaget dengan gerakan tiba-tibanya itu dan memandang kepergiannya dengan heran. Begitupun juga dengan Sai yang tadinya akan menanyakan beberapa hal padanya kini hanya bisa melongo menatap kursi sebelahnya yang tiba-tiba sudah kosong saja begitu dia menoleh—itu orang teleportasi atau gimana, cepat sekali ngilangnya.

.

.

"Ibu, aku tidak kuat.. Tolong hubungi Sasori-kun sekali lagi—atau kirim saja pesan biar bisa dia baca nanti." Sakura meringis kesakitan, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya, bulir-bulir keringat membasahi kening lebarnya.

Sasuke yang hanya melirik dari balik spion melihat ibu dan anak yang ada kursi penumpang belakang—mau tidak mau ikut merasakan juga perasaan tegang dan panik yang mulai menyelimuti seisi mobil. Ternyata antara dirinya dan ayah Sakura, dia yang lebih cepat sampai alhasil dirinyalah yang kini dimintai tolong untuk mengantarkan sahabatnya itu untuk ke rumah sakit. Sasuke kemudian menginjak pedal gasnya lagi untuk menambah kecepatan mobilnya, menyalip, mengklakson—sesekali mengumpat karena ada kendaraan lain yang menghambatnya. Dalam hati salut dia pada dirinya sendiri, padahal sudah lama tidak join balapan liar yang sering ia lakukan dulu di Amerika, tapi skill ngebutnya masih ahli ternyata.

"Sasukeee, lebih cepat lagi tolong!" Sakura berseru dari kursi belakang, diselingi dengan ringisan pelan.

Yang benar saja, padahal sudah pakai kecepatan angin begini malah masih disuruh lebih cepat lagi. Lebih cepat dari ini memang mereka bisa lebih cepat sampai sih...,tapi sampainya ke dunia lain. Tapi toh demi menenangkan sang ibu hamil yang sedang kontraksi, Sasuke menjawab dengan asal saja. "Iya bu, iya sabar..."

.

.

Untung tempat mereka meeting dilakukan di ballroom hotel tempat mereka menginap, jadi Sasori tidak perlu waktu lama untuk kembali ke kamar hotelnya dan segera menyambungkan kabel charger ke hpnya. Begitu benda persegi canggih itu telah tersambung dengan aliran listrik dan ia berhasil menghidupkannya kembali, detik berikutnya layar hp ditangannya diserbu dengan notifikasi beruntun yang membuatnya bergetar-getar tak henti. Jantung Sasori mencelos, firasat buruknya sepertinya akurat.

Notifikasinya menunjukkan puluhan kali misscall dari Sakura dan ibu mertuanya, serta satu pesan singkat yang dikirimkan ibu mertuanya menjadi penjelas dari banyaknya misscall tersebut, kurang lebih Sasori dapat menangkap situasinya saat ini. Lantas tanpa banyak membuang waktu lagi, Sasori meraih tas ranselnya, memasukkan barang-barangnya yang bisa ia jangkau kemudian menyambar jaketnya yang tergantung di kursi dan segera berlari keluar kamar. Di belokan koridor ia hampir menabrak Sai yang sepertinya akan menemuinya. Kebetulan sekali, dia juga mau menitipkan kunci kamarnya.

"Aku pulang duluan ya, ini kunci kamarku—dan.." Ia merogoh tasnya untuk menyerahkan beberapa dokumen yang ada padanya. "—ini dokumen yang mungkin akan kau butuhkan."

"Eh, eh.. Tunggu dulu." Sai yang masih belum mengerti kenapa Sasori berwajah panik dan terburu-buru begini, menghentikan langkah lelaki berambut merah itu yang berniat akan melanjutkan kegiatan berlarinya. "Pulang kemana?"

"Kemana lagi? Ke Tokyo, bodoh!" Sasori melepaskan pegangan tangan Sai di pergelangan tangannya. "Istriku akan melahirkan, kumohon kali ini saja izinkan aku pergi duluan, oke?"

Melihat betapa gusarnya wajah mantan adik kelasnya yang selalu kalem dan tenang itu, membuat Sai yang tadinya hampir naik pitam karena disebut bodoh—akhirnya mengalah juga. Apalagi dengan nada suaranya yang memohon begitu, seperti orang yang sedang putus asa, sekeras-kerasnya hati Sai, luluh juga dia. Akhirnya ia berkata, "Oke, hati-hati."

Sasori menepuk bahu Sai, mengatakan terima kasih singkat lalu kembali berlari dengan cepat. Begitu keluar dari hotel, ia langsung menghentikan taksi untuk mengantarkannya ke bandara

"Tolong cepat ya pak."

Setelah memesan tiket pesawat melalui aplikasi di ponselnya, Sasori mencoba menghubungi Deidara untuk meminta bantuan.

"Hallo? Dei kau sedang sibuk tidak?"

"..."

"Please, aku minta tolong padamu. Kau sedang di kantor, kan? Aku letakkan mobilku di basement gedung kantor, kuncinya ada di laci kiri meja kerjaku. Bisa kau bawa mobil itu ke Bandara? Aku sedang dalam perjalanan kembali ke Tokyo, mungkin penerbangannya membutuhkan waktu satu jam atau satu jam setengah." Sasori meminta tolong sekaligus menjelaskan dengan panjang. Ditambah penjelasan singkat kenapa dia sangat terburu-buru saat ini, akhirnya Deidara yang ada di seberang sana segera mengiyakan juga tanpa banyak bertanya lagi. Meski agak problematik, setidaknya rekan kerjanya itu bisa juga diandalkan dalam keadaan-keadaan yang genting begini.

Satu jam setengah penerbangan Sasori habiskan dengan perasaan tak menentu, ia hanya sempat mengirim pesan singkat pada ibu mertuanya sebelum hpnya kembali mati karena baru terisi sebentar saat di hotel tadi. Begitu tiba di Bandara Haneda Tokyo, Sasori kembali berlari kencang dari gate sampai pintu masuk bandara—tak menghiraukan napasnya yang tersengal-sengal sudah hampir mau putus karena kekurangan oksigen atau pandangan heran orang-orang yang melihatnya seperti sedang dikejar setan. Meh. Bukan setan yang mengejarnya saat ini, lebih tepatnya urusan hidup dan mati istrinya dan...calon anak mereka.

"Aku saja yang nyetir."

Sasori menyuruh Deidara untuk pindah dari kursi pengemudi. Meski agak sedikit ragu karena khawatir melihat tampang kusut Sasori tapi toh lelaki berambut pirang itu menurut juga. Namun begitu mobil melaju, sepertinya Deidara harus menyesali keputusannya itu—seperti berada di ujung jurang kematian, Demi Tuhan! Jantung Deidara berdegup kencang seperti mau copot merasakan cara menyetir Sasori yang ugal-ugalan sekali dengan kecepatan ekstrim, menyalip ke kanan dan kiri, menerobos lampu merah—sudah berapa kali coba mereka melanggar aturan lalu lintas kalau begini caranya. Sepanjang jalan mulutnya komat kamit berdoa meminta keselamatan, karena jika Sasori lengah sedikit—katakan selamat tinggal pada dunia.

Tapi ya, begini-begini Sasori tuh sudah pro. Buktinya mereka bisa sampai selamat sentosa tanpa lecet sedikit pun di rumah sakit Tokyo yang memang menjadi tujuan mereka. Ketika mobilnya berhenti dengan mulus di depan pintu masuk, Sasori langsung saja loncat keluar dan berlari (lagi) untuk memasuki gedung rumah sakit, meninggalkan Deidara yang mengambil alih kemudi untuk memarkirkan mobilnya. Meski telah di teriaki perawat untuk tidak berlarian di koridor rumah sakit—tetap saja Sasori tak menghiraukannya. Pikirannya hanya satu saat ini, sedikit lagi dia akan sampai pada istrinya yang sedang berjuang disana.

Tunggu, Sakura. Tinggal beberapa langkah lagi.

.

.

Setelah tiba di rumah sakit, Sakura ditangani langsung oleh Tsunade sebagai dokter spesialis kandungan yang cukup senior di RS Tokyo sekaligus mentornya selama ini. Wanita yang beberapa tahun lebih tua dari ibu Sakura—namun terlihat awet muda—memerintahkan pada asistennya untuk membawa Sakura ke ruang operasi, sembari menunggu pembukaannya sempurna ia mempersiapkan diri untuk turun tangan langsung membantu persalinan murid bimbingannya yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri itu.

"Tenang saja Mebuki-san, aku akan bertanggung jawab penuh untuk mengantarkan cucumu lahir ke dunia ini dengan selamat dan sempurna." Tsunade berkata pasti untuk menenangkan, mata coklat mudanya bergulir menelusuri sekitar. "Oh, ya. Dimana Sasori? Seharusnya saat ini dia bisa mendampingi Sakura untuk berjaga-jaga jika dibutuhkan."

Haruno Mebuki bergerak gelisah, "diaa...sedang dalam perjalanan. Kuharap akan segera sampai."

"Sou ka?" Tsunade tak mempermasalahkan lebih lanjut, karena asistennya yang sedang mengawasi Sakura di dalam ruangan keluar untuk memanggilnya. Lantas sang dokter senior dengan segera memenuhi panggilan tersebut, setelah sebelumnya menepuk bahu Mebuki pelan sambil berkata, "aku akan segera kembali dengan cucumu ditanganku ya. Tunggu saja."

Tidak lama dari itu ayah Sakura—Haruno Kizashi sampai disana dan segera menghampiri istrinya yang sedang menunggu dengan kalut di depan ruang operasi. Pandangan matanya menelusuri sekeliling namun tidak mendapati sosok menantunya yang memiliki warna rambut semerah darah itu, sebagai gantinya ia menangkap sosok pemuda yang sudah dikenalnya sejak kecil, yang merupakan putra teman sekelasnya semasa sekolah dulu—Uchiha Fugaku, sekaligus memang merupakan sahabat sejak kecil putrinya. Sasuke berdiri tidak jauh dari tempat Mebuki duduk, bersidekap sembari menyandarkan tubuhnya ke dinding putih rumah sakit, wajahnya datar seperti biasa namun siapapun yang memandangnya secara seksama pasti dapat menangkap sorot cemas pada obsidian gelapnya.

Sudah hampir dua jam lebih mereka menunggu di ruangan yang dari tadi dipenuhi suara jeritan seorang wanita di dalam. Kizashi mondar-mandir gelisah didepan istrinya yang duduk sembari mengepalkan tangan dengan mata terpejam—tak henti-hentinya berdoa demi keselamatan putrinya dan calon cucu mereka. Sedangkan Sasuke masih berposisi sama seperti sebelumnya, bedanya kali ini dia memilih untuk duduk di sebelah Mebuki—lama-lama berdiri ya..pegel juga dong.

Keheningan menyelimuti ketiganya karena setiap orang sibuk dengan pikirannya masing-masing—sebelum sebuah derap langkah kaki yang bergema di sepanjang koridor yang sepi mengusik ketenangan mereka. Ketiganya menoleh pada sumber suara yang mulai mendekati posisi mereka berada—Sasori menghentikan langkahnya tepat didepan kedua mertuanya yang menatapnya dengan pandangan tak terbaca, rasa bersalah menyelimuti dirinya.

"Aku..., hah, hah..." Napas Sasori tersengal-sengal, ia menutupi mulutnya yang sedang berusaha menghirup oksigen sebanyak mungkin demi mengganti pasokan yang kian menipis dalam paru-parunya, kemudian ia membungkuk meminta maaf. "Maaf ibu, ayah...aku terlambat."

Pasangan suami istri Haruno saling berpandangan sesaat, detik berikutnya Kizashi yang bediri disebelah istrinya memilih untuk menghampiri lelaki muda didepannya untuk kemudian menepuk bahunya. Tadinya ia berniat ingin memarahi menantunya itu habis-habisan karena tidak bisa berada di sisi putrinya dalam keadaan krusial begini. Tapi melihat tampang Sasori yang begitu berantakan begini, jadi tidak tega juga.

Rambut merah yang memang sangat jarang tertata rapih itu kini tambah terlihat acak-acakan dengan tekstur yang agak lepek karena basah oleh keringat, peluh membanjiri keningnya jatuh mengalir sampai rahang tegasnya, bahunya naik turun masih berusaha menetralisirkan pernapasannya yang belum beraturan. Sasori berusaha menegakkan tubuhnya dan menghadap kearah ayah mertuanya yang menatapnya dengan iba.

"Sakura...bagaimana?"

"Masih didalam." Kizashi mengedikkan dagunya kearah pintu ruang operasi yang diatasnya menunjukkan lampu hijau tanda sedang berlangsung proses persalinan.

Ketika kaki Sasori berniat melangkah untuk mendekati pintu tersebut—suara teriakan nyaring istrinya dari dalam menyentuh gendang telinganya, menembus sampai ke hatinya hingga menghentikan langkahnya. Ia terhenyak sesaat, ketika tangisan lain menyusul terdengar setelahnya. Begitupun juga dengan ketiga orang lain yang sedang bersamanya, mereka saling berpandangan bingung. Detik berikutnya Senju Tsunade keluar ruangan sembari melepaskan penutup kepala dan maskernya—menampilkan senyum sumringah yang sangat kentara.

"Selamat, Sakura melahirkan secara normal dengan proses yang sangat cepat dan lancar. Bayinya sedang dibersihkan saat ini, kalian bisa menemuinya setelah itu, begitu juga dengan Sakura." Tsunade lalu beralih pada sosok Sasori yang berdiri dengan wajah tegang tak jauh dari tempatnya berada, "putri kalian cantik sekali Sasori, mewarisi mata dari ibunya dan warna rambut milikmu—kombinasi yang sempurna." Ia menepuk pundak lelaki yang sekarang resmi berstatus sebagai ayah, kemudian melenggang pergi. Meninggalkan keempat orang—oh kini lima, karena Deidara telah bergabung bersama mereka—sedang mencerna pernyataannya barusan. Maklum, karena terkejut loading otak mereka jadi sedikit lambat.

Orang pertama yang sadar dari keterkejutan itu adalah Deidara, pria yang memiliki rambut lumayan panjang berwarna pirang itu berseru heboh lalu memeluk Sasori yang masih mematung. "Danna, anakmu sudah lahir tuh, Selamat ya!"

Berikutnya disusul dengan suara tangisan yang pecah dari Mebuki—Kizashi yang langsung memeluk istrinya juga ikut menangis bahagia. Sedangkan disisi lain Sasuke masih pada posisinya hanya diam saja mengamati, namun sorot cemas pada matanya kini telah tergantikan menjadi suatu kelegaan.

Setelah lepas dari pelukan Deidara, Sasori melangkah gontai menuju dinding terdekat mencari tempat bersandar. Kakinya tiba-tiba terasa lemas dan sedikit kram akibat dipakai berlari dari tadi tak hentinya—mungkin baru berasa saat ketegangannya mulai menghilang. Tangan kanannya yang terulur bertumpu pada dinding didepannya dengan kepala yang tertunduk. Satu, dua tetes air menyentuh lantai putih didekat kakinya yang terbalut pantofel hitam mengkilat—air mata lolos tak dapat ia cegah untuk keluar. Perasaan lega membuncah dalam dada seolah-olah beban berat dibahunya terangkat begitu saja.

.

.

.

.

.

"Lucunyaa~"

Deidara gemas bukan main melihat bayi kecil dalam gendongan Sakura, ketika tangannya terjulur untuk menyentuh pipi tembam si bayi—langsung di tepak oleh sang ayah yang bersikap protective.

"Tanganmu kotor, Dei."

"Sudah dicuci kok tadi." Deidara meringis pelan merasa agak pedas di pergelangan tangannya yang kena tepak Sasori tadi.

Sakura tertawa pelan melihat perdebatan kecil kedua laki-laki dewasa tersebut. Saat ini dia dan putri kecilnya sudah dipindahkan ke kamar umum setelah satu jam lalu proses kelahirannya selesai. Selain Sasori dan Deidara, di dalam ruangan tersebut juga ada kedua orang tuanya dan Sasuke—yang memilih duduk santai sambil memainkan ponselnya di sofa tidak jauh dari ranjang tempat Sakura berada. Sasori berdiri di sebelah ranjangnya mengamati putri kecil mereka yang sedang menggerak-gerakkan tangannya seperti hendak meraih sesuatu. Ia mendekatkan jari kelingkingnya dan langsung ditangkap oleh tangan kecil itu, tawa kecil menghiasi wajah tampannya yang terlihat lelah—tapi lebih bersinar dari sebelumnya.

"Jadi..., akan diberi nama apa malaikat kecil yang cantik ini?" Mebuki mendekati putrinya dan mengambil alih untuk menggendong cucu barunya. Ia lalu memandangi kedua orang tua si bayi secara bergantian menuntut jawaban.

Sakura melirik suaminya memberi sinyal untuk memintanya menjawab.

Sasori tersenyum simpul pada ibu mertuanya sebelum bersuara, "Ayaki. Akasuna Ayaki."

"—gabungan dari nama kedua neneknya. Ayame dan Mebuki." Sakura memberikan penjelasan tambahan, menghadirkan senyuman terharu di wajah ibunya. Duh. Mebuki rasanya mau nangis lagi nih.

"Cantik sekali."

Kizashi mengangguk menyetujui pujian Mebuki. Melihat bayi kecil di gendongan istrinya, mengingatkannya pada masa dimana Sakura kecil pertama kali lahir ke dunia ini. Rasanya lebih membahagiakan dari memenangkan lotre untuk hadiah utama. Seperti ada sebuah harapan baru dan cahaya terang yang hadir dalam hidupnya. Dan kini, putri kecil dalam gendongannya dulu telah mendapatkan harapan dan cahaya miliknya sendiri. Cepat sekali dunia berputar.

Si kecil yang menjadi pusat perhatian setiap orang dalam ruangan itu bergerak gelisah kemudian menangis nyaring. Mebuki yang sedang menggendongnya berusaha menenangkan sembari menggoyang-goyangkan tubuh mungil dalam pelukannya itu.

"Cup, cupp.. Ayaki-chan."

Tiba-tiba ketukan pintu terdengar lalu berikutnya terbuka menampilkan seorang perawat berambut coklat tersenyum ramah. Semua orang yang ada di ruangan menoleh ke arahnya, Shizune jadi merasa seolah berada di panggung ajang kecantikan yang slogannya—tunjukkan pada dunia karena semua mata tertuju padamu. Ia menelan ludahnya gugup—Dih. Apaan sih, masa begitu saja dia gugup. Padahal karena pekerjaannya selama ini, seharusnya dia sudah biasa menghadapi banyak orang seperti ini. Apalagi ini yang jadi pasien bukanlah orang asing untuknya.

"Sakura-chan, Tsunade-sensei meminta izin untuk melakukan beberapa tes pada bayimu."

"Tentu, silahkan Shizune-san." Sakura membalas.

Mebuki berkata cepat begitu melihat putrinya yang akan mengambil ancang-ancang untuk beranjak dari ranjangnya, "ibu saja yang temani ya, kau istirahat saja, Sakura. Jangan banyak bergerak dulu."

Dan dengan anggukan setuju dari Sakura—meski agak sedikit berat melepaskan putrinya, maka Mebuki membawa Ayaki dalam gendongannya untuk mengikuti Shizune ke ruang pemeriksaan—Kizashi mengekori istrinya untuk menemani juga.

"Sepertinya aku harus kembali ke kantor, un. Kiba mengirim pesan dari tadi." Deidara angkat suara setelah mengecek hpnya yang dari tadi getar-getar membuat tak nyaman di saku celananya. Si kampret Kiba pasti bosan tak ada teman di kantor, karena itu menyuruhnya cepat kembali dengan berbagai macam alasan. Memang orang yang satu itu tidak suka sekali melihat orang lain senang—kan jarang-jarang Deidara bisa minggat dari kantor, mumpung bos mereka juga sedang tidak ada.

"Oh?..iya." Sasori mengangguk, "Terima kasih atas bantuanmu, Dei. Aku sangat terbantu."

Deidara nyengir kuda sebagai balasan. "Tentu, Danna. Panggil saja aku jika butuh bantuan lainnya." Dan sebelum benar-benar angkat kaki si pirang kembali berkata, "sekali lagi selamat ya untuk kalian berdua, Sakura-chan kau hebat sekali!" Sebagai pengiring perkataannya itu, dua jempol ia acungkan didepan wajahnya.

Sakura membalasnya dengan tertawa ringan dan ikut mengacungkan jempolnya juga, kemudian berujar, "kau juga! Terima kasih, Deidara-san."

Dan dengan menghilangnya sosok Deidara dari balik pintu, menyisakan tiga orang dalam ruangan tersebut. Sasuke yang telah selesai dengan kegiatan mengutak-ngatik hpnya kini menumpukan wajah pada sebelah tangan yang ia letakkan di pahanya dengan kaki yang bersilang—memandang sepasang suami istri di depannya dengan senyuman miring.

"Jadi..., perempuan, eh. Sasori?"

Yang namanya disebut hanya berdecak pelan sembari memutar bola matanya malas. Mulai, deh.

"Sudah jelas kan, kau harus memenuhi permintaanku yang mana. Aku sudah menjaga istrimu itu saat kau tidak ada—terlebih lagi, aku juga yang mengantarnya dengan cepat dan selamat sampai ke rumah sakit ini." Sasuke menyibak kebelakang poni yang menutupi jidatnya, berlagak menyombongkan diri. "Jika tidak ada aku, bagaimana nasib istrimu tadi."

Sakura memandang sahabatnya yang berambut emo itu dengan pandangan mencela—lagaknya sudah seperti menyelamatkan alam semesta saja manusia satu ini, "Hoo.. Sombong sekali. Jika kau tidak datang pun, ayahku pasti akan datang asal kau tahu."

Sasori mencegah Sakura yang sekali lagi akan mengoceh. "Biar bagaimanapun, memang benar aku berhutang terima kasih padamu. Terima kasih, Sasuke. Kau memang bisa diandalkan." Sasori berkata dengan tulus.

"Kau tahu, Sasori. Ucapan terima kasih hanyalah omong kosong. Tepati saja janjimu untuk memenuhi permintaanku." Sasuke masih tak mau kalah.

"Begini...," Sasori melangkah beberapa langkah kedepan, sebelah tangannya berkacak pinggang. "Pertama, akan kuturuti apapun permintaanmu, apapun—asal jangan yang kau sebuti kemarin. Kedua, aku tidak pernah janji atau setuju untuk memenuhi yang 'satu' itu."

Sakura menatap suaminya dan Sasuke bergantian dengan alis yang terangkat karena bingung. "Permintaan apa sih yang kalian bicarakan ini?"

"Tanya pada suamimu," Sasuke mengedikkan dagunya begitu tatapan Sakura terhenti padanya.

Dengan enggan Sasori berusaha menjelaskan, "aku minta tolong padanya untuk mengawasi keadaanmu selama aku pergi dan Sasuke—kau tahula otaknya itu...," Ia meletakkan jari telunjuknya membentuk garis miring didepan keningnya, "—agak sinting. Sebagai balasannya dia meminta sesuatu yang diluar logika manusia normal. Dimana, jika anak kita yang lahir perempuan maka..." Sasori kembali menggantung ucapannya, ia menggelengkan kepalanya dengan gerakan cepat—tak sanggup melanjutkan kata-kata berikutnya yang menurutnya konyol itu.

Lantas Sasuke yang melanjutkan, "—jodohkan dia denganku."

"APA?!"

Mata melotot, mulut menganga. Sakura shock berat mendengarnya. Tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabat sejak kecilnya itu, benar kata Sasori sudah sinting rupanya Sasuke. Gila saja menjodohkan anak bayinya yang baru lahir dengan dirinya yang sudah berumur hampir seperempat abad. Jika Ayaki sudah mencapai umur dewasa maka Sasuke sudah jadi laki-laki paruh baya—atau malah sudah jadi kakek-kakek bangkotan.

Mengerti akan tatapan menghardik yang Sakura berikan padanya, Sasuke kembali angkat suara. "Hei! Asal kalian tahu saja, darah keluarga Uchiha itu memiliki kekuatan anti aging yang mutakhir, kami seringkali dikira makhluk imortal karena tak bisa menua. Wajah tampanku ini tidak akan berubah meski telah lewat dua puluh tahun atau bahkan berpuluh-puluh tahun kedepan."

'Omong kosong.' Sasori dan Sakura bergumam dalam hati.

"Jadi tidak akan masalah jika aku harus menunggu sampai Aya-chan dewasa." Sasuke melanjutkan.

"Aya-chan?" Sakura berseru dengan nada tak percaya. "Aku baru menggendong putriku sebentar Sasuke, baru beberapa menit. Dan kau beraninya bicara sembarangan tentang perjodohan dan hal-hal tak masuk akal begini."

Si ibu baru melemparkan bantal yang ada didekatnya pada si lelaki Uchiha—yang tentu dengan mudah dapat dihindarinya. Sakura kemudian lanjut melemparkan sendok, garpu, atau apapun benda yang ada didekatnya. Jika tidak ingat ada selang infus yang menempel di tangan kirinya, daritadi dia pasti sudah bangkit dan menghampiri Sasuke untuk menghajarnya sampai babak belur. Sasori yang melihat kemurkaan istrinya hanya diam mengamati saja—tidak berniat menghentikan aksi Sakura yang melempar-lempar dengan brutal, kalau ia boleh jujur Sasuke memang pantas mendapatkannya.

Kekacauan yang terjadi dalam ruangan itu terhenti seketika kala hp Sasuke yang tergeletak tak berdaya di meja berbunyi nyaring. Sasuke mengangkat tangannya untuk meminta jeda—bisa-bisanya, emang dikira lagi main basket. Tapi untungnya Sakura memang menghentikan aksinya untuk melempar gelas beling yang sudah terangkat diatas kepalanya—kali ini Sasori dengan sigap mengambil alih benda itu dari tangan istrinya. Agak repot kalau benda bening yang keras itu sampai memecahkan kepala si Uchiha.

Wajah Sasuke berubah serius, keningnya berkerut saat mendengar suara orang di seberang sana yang entah mengatakan apa. Setelah panggilannya berakhir, ia memandang dua orang didepannya dengan ekspresi yang sama. "Si keparat Itachi baru sampai di Jepang, aku harus segera menemuinya sekarang juga." Dengan gerakan cepat ia memakai mantel coklat yang diletakkannya di sofa kemudian bergegas hendak meninggalkan ruangan.

Namun sebelum benar-benar pergi, Sasuke kembali berkata pada pasangan Akasuna yang hanya mengamati tingkahnya dengan heran, "kita lanjutkan diskusinya nanti saja, oke calon mertua? Titip salam pada Aya-chan ku."

"SIALAN KAU SASUKE!"

Sakura berjerit heboh dengan kesal, sedangkan Uchiha Sasuke tetap melenggang dengan santai keluar. Ekspresinya saat ini sedikit tak terbaca, datar seperti biasa, namun sudut bibirnya sedikit terangkat keatas—seperti ingin menampilkan senyum tapi tertahan. Entah ia ingin tersenyum karena berhasil mempermainkan sahabatnya atau...senang karena kakaknya yang selama ini ia cari-cari akhirnya kembali.

Sepeninggalan Sasuke, Sakura memejamkan mata berusaha menetralisir emosinya. Memang dasar Sasuke itu, suka sekali cari masalah. Rasanya hidupnya jadi tidak lengkap kalau sehari saja tidak membuat orang lain kesal karena tingkah kekanakannya itu. Sasori duduk di pinggir ranjang menghadap istrinya.

"Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Tahu sendiri kan, Sasuke itu kerjaannya suka sekali main-main." Sasori berkata dengan nada menenangkan.

"Ya, tetap saja. Bikin kesal." Sakura kini telah membuka matanya kemudian menatap wajah sang suami yang tersenyum lembut ke arahnya dengan tatapan yang...entahlah Sakura sulit mendeskripsikannya, "kenapa menatapku begitu?"

Sasori menggeleng pelan, masih dengan senyum di wajahnya, "heran saja. Energimu banyak sekali ya, masih bisa marah-marah begitu padahal baru saja melewati keadaan hidup dan mati beberapa jam yang lalu."

Dibilang begitu, Sakura baru sadar sebenarnya tubuhnya memang masih terasa agak lemas. Tapi karena terus mengingat betapa lucu dan menggemaskan putrinya yang baru lahir itu, rasa lelah di sekujur tubuhnya menguap begitu saja. Terhadap anak-anak orang lain saja dia sangat bersemangat, apalagi satu ini yang merupakan sebagian dari dirinya sendiri—sembilan bulan ia menantikan momen ini terjadi rasanya terbayar dengan kebahagiaan yang membuncah memenuhi dirinya. Sakura lalu menyandarkan dirinya pada pelukan sang suami yang mendekapnya dengan hangat.

"Aku takut sekali tadi, Sasori-kun. Rasa sakitnya sungguh tak tertahankan."

Sasori mengelus surai lembut istrinya, "terima kasih telah berjuang keras, Sakura. Kau memang wanita hebat yang pernah kutemui selama hidupku. Maaf, tidak bisa disampingmu pada saat kau merasakan sakit itu."

Kepala Sakura bergerak ke kanan dan kiri, "aku memang sempat kesal karena tidak bisa menghubungimu tadi. Tapi ayah bilang penampilanmu kacau sekali saat baru sampai tadi, kau pasti panik juga kan?" Ia mendongakkan kepalanya ingin melihat ekspresi macam apa yang ditampilkan wajah Sasori.

"Rasanya campur aduk. Cemas, panik, bingung, dan..takut juga. Seumur hidup aku belum pernah merasakan perasaan sekacau itu."

Sasori meringis pelan membayangkan seberapa kalut dirinya saat pertama kali membaca pesan singkat dari ibu mertuanya yang memberitahu bahwa Sakura akan melahirkan. Perasaannya terombang-ambing kesana kemari seperti naik kapal pesiar yang dilanda badai, carut-marut tak beraturan. Sekali lagi, pengalaman pertama yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya dan takkan terlupakan. Tapi semua itu terasa tak berarti dibanding perasaan pada saat pertama kali ia mendengar suara tangis putri kecilnya yang menyapa dunia ini. Suaranya begitu ...indah, sampai membuat Sasori yang biasanya tidak mudah terharu malah jadi meneteskan air matanya tadi.

"Apapun itu, aku sangat bersyukur kita bisa melewati hal-hal sesulit ini." Sasori menyingkirkan anak rambut Sakura yang menutupi wajahnya, telapak tangannya yang lain mengelus pipi istrinya yang bersemu merah, sembari menatap lekat-lekat wanita didepannya yang sekarang bertambah status baru sebagai ibu dari anaknya.

"Sesulit apapun, seberat apapun itu, asal kita berdua bersama-sama, asal kau selalu disisiku. Aku tidak akan keberatan untuk melaluinya lagi." Sakura berkata sambil balas tersenyum, ia meletakkan tangannya juga di pipi suaminya.

Sasori mengangguk mantap, "Pasti."

Ia lalu mencium kening istrinya dengan lambat, kemudian berpindah ke mata, lalu ke pipi dan terakhir ...pada bibir ranum yang merekah. Bibir Sasori menekan dengan penuh kelembutan pada bibir milik Sakura, tidak ada tuntutan yang berlebih hanya untuk menyalurkan kehangatan, kerinduan, dan rasa sayang—yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Kini, esok dan nanti. Ada kebahagiaan yang akan menanti mereka, ada begitu banyak pengalaman pertama yang menegangkan sedang menunggu untuk dilewati. Hanya karena permulaan cerita mereka diawali dengan keterpaksaan, bukan berarti mereka tak menemukan kebahagiaan pada proses selanjutnya. Hanya karena keduanya memiliki begitu banyak perbedaan, bukan berarti mereka tak diperuntukan untuk satu sama lain. Justru..., perbedaan itulah yang membuat mereka dapat saling melengkapi. Layaknya kutub utara dan selatan walau sejauh apapun, keduanya akan selalu tarik menarik. Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini, semua sudah di gariskan takdir. Masalahnya adalah...

Tidak ada yang tahu, kemana takdir akan membawamu.

.

.

.

.

.

-END-

.

.

.

.

.

.

A/N: Aaaaaa... Mau sungkem dulu. Huhu..

Gomen nee, baru ada bukaan hati buat ngelanjut sekarang:") Ga tau coyy.. Beberapa tahun belakang rasanya ga ada mood dan ide sama sekali buat nulis fiction. Mungkin karena ini otak lagi ngebul mikirin skripsi mulu wkwk dan karena sekarang sudah bebas dari per-skripshit'an dan sedang masa menganggur—baru lah dapat ilham tiba-tiba wekekek..

Tapi jujur, konsepnya tuh udah ada di kepala sejak lama, cuma itu..eksekusi akhir mau nulisnya yang agak mandet—maju mundur syantikkT_T jadi gitu dehh.. Butuh tiga kali puasa, tiga kali lebaran dulu buat nyelesain ini sejak update chapter terakhir di 2021 ya haha—udah kayak bang toyib nih.

Dan sekalinya dapet ilham, niatnya cuma bikin satu chapter terakhir lah malah bablas sampe 15k word Hhh alhasil biar ga kepanjangan di pecah aja jadi dua chapter lagi plus nanti bakal ada epilog tambahan. Nih ambilll, langsung triple update biar puas ya hehe.. btw yang lupa ceritanya, di maratonin aja baca dari awal lagi, gue pun baca dari awal dulu karena lupa ceritanya, baru nulis lanjutannya Hahahah:'v yang nulisnya aja lupa ya, apalagi reader-nya.

Oh, iya.. Disini part favorit gue waktu nulis bagian Sasori sama Sasuke sparing maen bowling—mungkin kepotong dan ada di part sebelum ini, inspirasinya dapet dari aktor korea favorit gue yg hobinya maen bowling juga, inisialnya KSH. Anjirrr liat video doi maen bowling—asdfhdkdljk cakep bet busett—lah malah ngefansgirl*peace Hahah.. Jadi kalo mau ngebayangi visual gimana Saso ngelempar bola bowlingnya search aja di google/yt yahh.. "Kim Soo Hyun main bowling" Dah ya itu, pasti ketemu secara doi lumayan terkenal.

And yeah, last but not least. I just wanna to say my gratitude to everyone who read this random fic, who wait it, and following our beloved pair's journey since begining. I never expect, I can do it till this end if without your support for this story. Thank you so much with all of my heart, your review and comment become my reason to still committed for continuing write it.

Once again, Arigatou Gozaimasu.. Hope we can have a happily life like them^ and find the best partner as companion for our own journey. Love u all~

Eits.. Habis ini silakan lanjut ke epilog yah hehe;D

Palembang, 01-04-24.