Riinggg... Ringggg...
Suara jam weker yang nyaring bergema memenuhi seisi ruangan, dari ketiga orang yang bergelung dalam selimut yang sama di atas kasur—hanya satu orang yang terusik ketenangannya hingga harus terpaksa bangun dan mematikan jam tersebut. Seorang wanita yang memiliki rambut sewarna dengan permen kapas duduk di tepi ranjang, dinginnya lantai marmer begitu ia menapakkan kaki memberikan serangan kejut yang menyadarkannya. Iris emerald terang miliknya bergulir memandang dua manusia lain yang ada disampingnya—seorang laki-laki dengan rambut semerah darah yang ada disisi lain kasur menenggelamkan wajahnya di bantal, sedangkan di tengah-tengah mereka terdapat seorang bocah kecil berumur sekitar empat tahun sedang terlelap dengan damai.
Akasuna Sakura mengelus kening bocah tersebut, sedikit menyibak surai merah lembut miliknya. Ia terkekeh pelan saat melihat wajah si bocah—mimpi apa anaknya itu, matanya masih terpejam namun wajahnya cengengesan tak karuan.
.
.
Just Because
Naruto © Masashi Kishimoto
Genre: Romance & Slice of Life.
Character : Sakura. H, Sasori. A, and others.
Rated : T
Warning : AU, OOC, typo(s), gaje, aneh, bahasa tidak baku, Dan masih banyak keburukan lainnya.
Note: Apapun merk, nama tempat atau suatu judul film lain yang ada di cerita tidak bertujun untuk comercial/promosi apapun ya. Murni hanya sebatas konten dalam cerita.
.
.
Don't like, Just don't read!
Happy Reading~Reading
.
.
Special thanks to :
lalisa kw, Hikanee, cantik, Shassang, Kuroi Ilna, yukeh, Sheyoo, Pembaca Luknut, cyclonessky, , Dyarha Jenna Sanzenin, Kim Ryuu, Mademoisellenna, NominJJ, Orchidflen, Paok Aho-Chan, Robby, Safitri78, Shassang, Zaidah, aaattthss, ajpblank, alviniwuu, antaresour, cle0patrazxz, cyclonessky, daifukuwmochi, haslili, himauwu, hunkai8895, .2002, liali4, lucemiran, rosaaerith, sasosaku sejati, semestaraya, tatatutetot, valler it's valler, wxs, yorukakusaku, Aimore, , Kadenokoji, KucingOren, Lilia Elfyora, Nisss, Rilialen, Robby1.702, Shassang, White LentLily, aishelusie, aoicchi, daifukuwmochi, liali4, vashappen, nalunafall, zielavienaz96.
This very Last chap is my special gift for you guyss3
.
.
.
.
Epilog
[One Day with Daddy]
.
.
Tahun berganti dengan cepat, bulan bergulir menyesuaikan, musim selisih berganti. Terkadang hari-hari terlewati bahkan tanpa disadari. Ternyata sudah lewat empat tahun sejak rumah keluarga kecil Akasuna kedatangan suara tangis seorang bayi. Sakura melangkah gontai menuruni anak tangga dengan gerakan pelan namun konstan, begitu tiba di anak tangga terakhir ia harus melewati ruang tengah untuk bisa sampai ke dapur.
Di sudut ruangan tersebut terdapat nakas kecil yang diletakkan figura-figura foto yang mengabadikan momen tumbuh kembang putri satu-satunya di keluarga itu. Pada dinding diatas nakas terpasang satu bingkai foto yang paling besar menampilkan dua orang dewasa berbeda jenis kelamin sedang menggendong seorang bayi, kemudian di bingkai foto kecil yang ada di nakas terlihat si bayi sudah tumbuh agak lebih besar hingga bisa didudukan di sebelah sang ibu, berikutnya ada foto seorang balita yang sedang belajar berjalan didampingi seorang wanita berambut merah muda. Lalu di foto lainnya si balita telah berumur sekitar tiga tahun, rambut merahnya tumbuh cukup lebat hingga bisa di kuncir dua kecil—berada dalam gendongan seorang laki-laki yang memiliki rambut sewarna dengannya menunjukkan ekspresi tersenyum lembut kearahnya yang sedang tertawa gembira.
Hal pertama yang dilakukan oleh wanita yang tahun depan akan menginjak usia kepala tiga begitu sampai di dapur adalah membuka kulkasnya yang menampilkan bahan makanan yang tersisa sedikit lagi—mungkin hanya akan cukup dimasak untuk sarapan pagi ini. Sakura menghela napas pelan, melirik jam dinding yang jarumnya menunjukkan ke angka 6, dua jam lagi dia harusnya sudah berangkat ke rumah sakit karena ada konferensi medis yang harus ia hadiri. Padahal ini hari minggu tapi sepertinya weekend kali ini dia tidak akan mendapat jatah libur seperti biasa. Salahkan salah satu rekan sejawatnya yang tiba-tiba terserang sakit tipes hingga terpaksa tadi malam Tsunade-sensei menelpon dan menunjuknya untuk menjadi pengganti sebagai perwakilan dari departmen mereka—departemen kandungan dan anak. Alhasil Sakura jugalah yang akan menjadi salah satu pembicara untuk sesi diskusinya nanti.
Hah..sungguh mengesalkan, seperti tidak ada orang lain saja yang bisa ditunjuk. Terlalu disukai dan menjadi kebanggaan mantan pembimbingnya itu ternyata repot juga, Sakura seringkali jadi andalan untuk melakukan hal-hal merepotkan seperti ini contohnya. Tapi yah, mau bagaimana lagi. Diberi kepercayaan lebih artinya orang lain mengakui kemampuannya, kan. Tidak sepenuhnya buruk juga. Selesai memikirkan keluh kesahnya sendiri, Sakura kemudian bergegas mengambil bahan makanan dan mulai melakukan kegiatan memasak seadanya pagi ini. Mungkin nanti dia minta saja suaminya untuk menggantikannya berbelanja hari ini.
.
.
"Sasori-kun.." Sakura menggerak-gerakkan tubuh lelaki berambut merah ynag masih tergulung dalam selimut itu, namun yang dibangunkan hanya mengerang pelan sama sekali tidak membuka matanya. "Sasori-kun, tolong bangun sebentar." Sakura masih tak menyerah.
"Hmm..."
Sasori bergumam tak jelas dengan tubuh yang masih membelakangi istrinya dan wajah yang ditenggelamkan dalam bantal—apa tidak engap itu napas.
"Ayo bangunn!" Kali ini Sakura menarik selimut yang menutupi tubuh suaminya, lalu menarik tangan Sasori hingga ia sekarang terduduk dengan paksa.
"Apa? Kenapa sih?" Sasori merutuk dengan wajah yang mengkerut masih dengan mata yang setengah terpejam. Demi Tuhan! Satu-satunya hari dia bisa dengan bebas tidur sepuasnya hanyalah hari minggu, kali ini kenapa pula Sakura membangunkannya lebih awal di hari minggu seperti ini.
"Sini ikut aku dulu, ada yang ingin kubicarakan." Sakura kembali menarik tangan suaminya untuk menggiringnya ke arah pintu kamar—agak menjauh dari tempat tidur karena ia takut jika suara pembicaraan mereka berdua akan mengusik putri mereka dan membangunkannya.
Meski masih setengah tersadar dan dengan langkah yang sangat amat berat pada akhirnya Sasori mengikuti kemauan istrinya—jika diabaikan atau ditentang Sakura akan jadi tambah ribut dan berakhir mengamuk, hal itu jauh lebih merepotkan.
"Aku harus segera pergi ke rumah sakit sekarang, sarapan sudah kusiapkan. Nanti kau beri makan Ayaki saat dia sudah bangun ya." Walau sudah menjauh namun nada suara Sakura tetap saja rendah seperti orang berbisik.
"Ke rumah sakit? Ini hari minggu, Sakura. Apa kau tidak libur?" Sasori yang menyenderkan tubuhnya pada daun pintu menanggapi dengan mata yang menyipit—masih sedikit lengket dan tengah menyesuaikan.
"Iyaa, tadi malam Tsunade-sensei menelpon untuk menyuruhku mengikuti konferensi hari ini." Sakura menghela napas sedangkan Sasori mengerjapkan mata untuk melihat dengan jelas sosok istrinya yang sudah berdandan rapih.
"Begitu?"
"Oh, ya. Hari ini harusnya jadwalku untuk belanja mingguan, bahan makanan kita sudah habis Sasori. Tolong kali ini kau saja ya yang pergi belanjanya, nanti list belanjanya akan kukirim di pesan."
"Hmm...oke."
"Ajak saja Ayaki-chan bersamamu, tapi jangan lepaskan dia dari gandenganmu. Jangan lupa juga suruh dia habiskan susunya setelah sarapan. Jangan turuti semua kemauannya saat di supermarket nanti, tidak usah belikan es krim dan—"
"Iya, paham kok paham." Sasori memotong titah Sakura yang jika tidak dihentikan akan berlangsung selama satu jam kedepan. "Kau tidak terlambat?" Ia mengedikkan dagu ke arah jam dinding.
"Eh?!" Sakura yang sadar waktunya tidak banyak langsung kelabakan sendiri, "ya sudah begitu saja, aku minta tolong padamu." Ia kemudian buru-buru meraih tas kerjanya dan segera menuju pintu depan diikuti Sasori yang mengantarnya, berjalan pelan di belakangnya sembari menguap lebar—masih dengan wajah mengantuk.
"Aduh, sayang aku lupa!" Ketika sudah memakai sepatunya dan hendak membuka pintu, Sakura menepuk jidat lebarnya dan kembali berbalik pada suaminya yang bediri mengawasinya di belakang. "Hari ini aku sudah janji pada tukang jahit langgananku untuk mengukur seragam TK Ayaki-chan, sebelum belanja tolong antarkan dia kesana dulu ya."
Sasori mengangguk pasrah.
"Aku pergi ya. Semoga harimu menyenangkan." Sakura mencium pipi suaminya dahulu lalu kali ini benar-benar membuka pintu dan melenggang pergi.
Sasori yang masih berdiri di depan pintu masuk sepeninggalan istrinya hanya bisa menghela napas pelan, menggaruk rambut merahnya yang kusut kemudian bergumam dalam hati. Sepertinya hari minggunya kali ini tidak bisa ia pakai untuk santai-santai. Dan karena masih dalam keadaan yang ngantuk berat, alhasil ia tidak sanggup lagi kembali ke kamar dan hanya menjatuhkan dirinya di sofa ruang depan.
Di atas kasur berukuran king size seorang bocah perempuan menggeliat—merasakan sisi kanan dan kirinya yang seharusnya ditempati kedua orang tuanya kini telah kosong. Akasuna Ayaki meregangkan tubuhnya lalu mulai beranjak dari kasur sembari mengerjapkan matanya yang terasa lengket—mata bulatnya menampilkan manik emerald jernih yang menelusuri sekeliling ruangan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lain selain dirinya, lantas kaki pendeknya mulai melangkah keluar dari kamar orang tuanya itu—iya, sebenarnya Ayaki sudah disediakan kamar sendiri tapi bocah yang baru berumur empat tahun itu kadangkala menyelinap ke kamar orang tuanya dan nyempil tidur disana seperti yang terjadi tadi malam.
"Mama?..., Papa?" Suara cemprengnya memanggil dengan nada pelan, tapi tak ada sahutan. Kaki pendek Ayaki melangkah lambat-lambat karena masih sedikit kesulitan menuruni tangga yang lumayan cukup tinggi untuknya. Ia masih terus memanggil-manggil Mama atau Papa-nya yang tak kelihatan satupun batang hidungnya, hingga hampir membuatnya menangis karena mengira telah ditinggal.
"Mamaaaa? Papaaa?" Suaranya mulai bergetar, namun detik berikutnya perasaan cemasnya karena takut ditinggal sendirian hilang seketika saat melihat sosok sang Papa yang sedang berbaring di sofa ruang depan. Dengan cepat ia berlari kecil menghampirinya. "Papa?" Telapak tangan kecil itu menepuk-nepuk pipi lelaki dewasa didepannya.
Sasori tak menyahut dan hanya mengerang pelan dalam tidurnya. Namun setidaknya respon itu cukup untuk membuat sang anak tidak mengira Papa nya sedang pingsan disana. Ayaki lalu memanjat naik ke sofa dan menelusup dalam pelukan Papanya, ikut tenggelam melanjutkan tidur.
.
.
Mata hazel Sasori terbuka sempurna kala indra pendengarannya menangkap bunyi memekakan dari telepon rumah yang berdering nyaring. Ketika hendak beranjak bangun, ia merasakan beban berat di tangan kanannya—dikira sedang paralyzed ternyata ada seonggok manusia kecil yang menjadikan tangannya sebagai bantalan untuk kepalanya. Lah, ini tadi bocil perasaan masih tidur nyenyak di kamar, kenapa sekarang malah sudah berpindah mengikuti jejaknya tiduran di sofa. Meski perasaan heran masih menyelimutinya tapi dering telpon yang berisik menuntut untuk segera diangkat, lantas Sasori mengangkat kepala putrinya sedikit agar ia bisa menarik tangannya baru kemudian meletakkan kepala berhelai merah itu kembali secara pelan dan hati-hati.
"Hallo?"
"Astaga! Susah sekali sih menghubungimu." Suara di seberang sana menggerutu, sedangkan Sasori berusaha mengenali suara siapa yang didengarnya saat ini, "Aku tahu ini hari minggu, tapi kalau tidur jangan seperti orang mati, kek."
—Ah! Nada sarkas yang familiar itu. Pastilah tidak lain dan tidak bukan adalah atasan kerjanya.
"Hmm...mau menggangguku di pagi minggu yang cerah ini?" Sasori membalas dengan suara serak.
"Intuisimu tajam." Shimura Sai di seberang sana berdehem singkat sebelum kembali berkata, "mau minta tolong padamu."
"Apa?"
"Antarkan berkas perjanjian yang telah ditandatangani kemarin."
Sasori berdecak, "sudah kubilang kan! Kemarin kau saja yang pegang, bikin repot saja deh."
"Iya, maaf." Sai berucap dengan nada tak ikhlas. "Jadi mau tidak? Atau aku saja yang ambil?" Tawarnya.
"Sudahlah, kebetulan aku juga akan keluar. Mau diantar kemana? Ke kantor?"
"Tidak usah, aku akan ke tempat klien habis itu. Kita temuan saja di taman kota."
"Ya sudah..."
"Ya sudah."
Tiit.. Tiit..
Sambungan telpon terputus begitu saja. Sasori menatap jengkel gagang telpon di tangannya, apa-apaan? Bilang terima kasih, kek. Dasar manusia batu yang satu itu, kaku dan tidak tahu diri sekali. Sudah punya keluarga saja sifatnya masih tidak berubah. Jadi kasihan sama istri dan anaknya. Pria berambut merah itu memutar bola matanya malas, meletakkan gagang telpon lalu berbalik hendak kembali ke sofa—dimana yang ia dapati sekarang sang putri tengah duduk memandangnya dengan mata bulatnya dan rambut mengembang—khas orang bangun tidur sambil berkata dengan nada polos.
"Papa, Aya lapar."
Sasori memperhatikan dalam diam putri kecilnya yang sedang asik mengunyah dengan mulut yang belepotan karena selai berwarna merah. Padahal sang Mama sudah susah payah memasakkan sup hangat dan karage kesukaannya untuk sarapan pagi ini, eh si kecil malah memilih untuk makan roti panggang mengikuti Papanya—dilengkapi selai strawberry kesukaannya dan ditambah susu coklat hangat. Memang ada-ada saja maunya. Jika dilihat-lihat, cepat juga proses pertumbuhan putrinya itu. Perasaan baru saja Sasori takut-takut mencoba menggendong bayi kecil yang kerjaannya menangis terus itu, tau-taunya sekarang sudah tumbuh menjadi anak perempuan yang manis, lucu dan bikin gemas siapapun yang melihatnya.
Secara tampilan fisik, Ayaki memang gabungan dari kedua orang tuanya. Warna mata emerald dari sang ibu dan rambut merah gelap dari ayahnya—ini persis gambaran dari yang Sakura bayangkan saat pertama kali melihat Gaara dulu, ternyata jadi kenyataan. Beginilah jadinya wujud anaknya sendiri, definisi perkataan adalah doa ya. Meski begitu, untuk masalah selera, kesukaan dan beberapa karakter kepribadian, Ayaki bisa dikatakan plek-ketiplek duplikat ayahnya. Misalnya saja, Sasori kurang suka udara dingin karena mudah terkena flu, begitupun Ayaki. Makanan favorit keduanya—apapun yang Sakura masak. Sasori sejak kecil sangat sensitif terhadap bulu kucing sehingga tidak pernah mau memelihara hewan tersebut dan ternyata hal itu juga menurun pada Ayaki, ia terus-terusan bersin minggu lalu saat bermain dengan kucing milik Shimura Inoijin—anak Sai dan Ino yang lebih muda setahun darinya. Dan... mungkin masih banyak kesamaan lain yang akan terlihat seiring berjalannya waktu mengiringi pertumbuhan Ayaki.
"Ayaki, Papa nanti akan keluar untuk belanja, mau ikut tidak?" Sasori bertanya sembari menyesap kopi hitamnya.
Yang ditanya langsung mengangkat kepalanya lalu berseru dengan semangat, "MAU, MAU! Asikk..bisa jajan-jajan bersama Papa."
"Yang benar jalan-jalan." Sasori mengoreksi perkataan putrinya yang terkadang masih keliru disana-sini, padahal beberapa bulan lagi dia akan dimasukkan TK tapi ngomongnya memang masih sering keserimpet sama kata lainnya.
Seringkali malah ada beberapa kata yang disebutkan terbalik jadi bikin gagal paham sama maknanya. Tapi yah, alah bisa karena biasa, pada awalnya baik Sasori maupun Sakura harus mikir keras untuk mengartikan setiap kata dari putri mereka, tapi lama kelamaan jadi terbiasa sendiri, kata-kata paling random sekalipun bisa mereka artikan sekarang.
"Tapi perginya pakai shinkansen ya, Pa. Whusss...," Si bocah empat tahun memainkan garpunya seperti sedang main kereta-keretaan.
Hee, dikira belanjanya sampai keluar kota apa? Sasori tersenyum miring. "Supermarketnya masih di kota Tokyo Ayaki, kalau mau naik kereta kita naiknya kereta bawah tanah saja."
"Lho, memangnya shinkansen sama kereta bawah tanah beda ya?" Ayaki memiringkan kepalanya dengan bibir yang dimanyunkan—nah kalau berpose begini, baru keliatan mirip Mamanya.
"Beda dong, shinkansen itu kereta cepat yang tujuannya untuk keluar kota."
"Aaa... Sou ka?"
"Sudah, cepat habiskan sarapannya. Baru setelah itu kita siap-siap."
"Hai'!" Ayaki mengangkat tangannya di depan kening—berpose hormat, dan dibalas sang Papa dengan tawa ringan sembari mengacak-acak poninya.
.
.
.
.
.
Rute yang harus dilalui sepasang ayah dan anak hari ini yang pertama yaitu pergi ke taman kota untuk bertemu Sai yang meminta Sasori menyerahkan berkas perjanjian mereka dengan klien yang sudah ditandatangani kemarin, kemudian pergi ke tukang jahit langganan Sakura untuk mengukur seragam milik Ayaki, baru setelah itu ke tujuan utama yaitu Supermarket untuk belanja kebutuhan mingguan keluarga kecil mereka. Hm.. Jika dilihat, jarak-jaraknya tidak terlalu jauh. Tapi karena kendaraan mereka kali ini menggunakan kereta bawah tanah sesuai permintaan Ayaki, maka mau tidak mau mereka harus banyak berjalan kaki. Seperti dari rumah menuju stasiun, kemudian dari stasiun ke taman kota, dan..., ke tempat-tempat berikutnya. Sasori tidak terlalu yakin putrinya itu sanggup banyak berjalan seperti itu, paling di tengah perjalanan ujung-ujungnya minta gendong juga.
Sesampainya di taman kota Sai sudah menunggu di salah satu bangku taman, berwajah datar sembari membolak-balikkan koran hari ini dengan pandangan bosan. Tidak ada berita menarik yang bisa menggugah hatinya—tapi yah, memang sejak kapan dia peduli sama masalah orang lain. Buang-buang waktu, tenaga dan pikiran saja. Begitu ia melipat koran di tangannya, manik onyx miliknya menangkap sesosok lelaki berambut merah menghampirinya—tangan kanannya memegang sebuah amplop coklat sedangkan tangan kiri menggandeng sosok kecil layaknya duplikat mini si laki-laki namun versi perempuan. Ketika dua manusia itu telah sampai didepannya, Akasuna Sasori tanpa babibu melemparkan amplop di tangannya ke paha Sai yang masih dalam posisi duduk.
"Hallo, Sai Ji-chan." Mini Sasori menyapa dengan wajah berbinar sembari melambaikan tangan kecilnya.
"Hn. Kau ikut juga." Balas Sai.
"Nee. Aya dan Papa mau pergi belanja."
Alis Sai terangkat sebelah, "berdua saja?"
"Iya, karena Mama sedang kerja hari ini."
Sai mengangguk sebagai respon, berikutnya ia lalu beralih pada si lelaki dewasa, "sepertinya kau sibuk hari ini, eh?"
"Yah, begitulah." Sasori mengedikkan bahunya.
"Tadinya aku ingin kau ikut bersamaku untuk menemui klien hari ini, tapi sudahlah aku bisa sendiri."
Bagus. Walaupun sedang tidak sibuk sekalipun Sasori tidak berniat untuk menerima tawaran itu. Ia kemudian mengangguk, "oke, semoga berhasil."
Sai bangkit berdiri sambil memeriksa amplop yang berisikan berkas yang seharusnya ia butuhkan, "oh ya, terima kasih untuk ini."
Alis Sasori sedikit terangkat, ternyata bisa juga mulutnya itu mengucapkan terima kasih.
"Hm, sama-sama. Kalau begitu, kami duluan ya."
"Dadah, Sai ji-chan. Titip salam pada Inoijin-kun ya~" Ayaki melambai-lambai bahkan sampai ia dan Papanya sudah berjalan melewati gerbang taman.
Meski dengan gerakan sedikit canggung dan kaku, paling tidak Sai balas menggoyangkan tangannya ke kanan dan kiri sampai dua orang berambut merah itu hilang dari pandangannya. Walaupun Sai tidak pernah menyukai anak kecil karena sering mengesalkannya, tapi semenjak punya anak sendiri—hm, makhluk kecil yang hobinya menangis itu tidak sepenuhnya buruk juga.
.
.
"Ara-ara, Ayaki-chan.. Hari ini datang bersama Papa, nee?" Seorang wanita paruh baya menyambut dengan wajah ramah begitu Ayaki dan Sasori memasuki sebuah toko pakaian yang Sakura bilang padanya dalam pesan.
"Konnichiwa, istri saya—Sakura bilang dia sudah membuat janji untuk mengukur seragam putri kami." Sasori berkata dengan sopan.
"Hai', Sakura-chan sudah bilang jika hari ini suaminya yang akan menggantikannya. Tak kusangka Papanya Ayaki-chan tampan sekali ya, hohoho..." Wanita berambut coklat yang dicepol mencolek-colek lengan atas Sasori yang hanya bisa tertawa canggung menanggapinya.
"Haha..Yoroshiku onegaisimasu."
"Nee~ ayo Ayaki-chan ikut bibi ke dalam."
Ayaki yang dari tadi hanya berdiri dibelakang kaki sang Papa hanya menatap horor wanita paruh baya yang kini malah menarik tangannya. Memang benar dia sudah sering datang kesini bersama Mamanya untuk membeli ataupun memesan pakaian tertentu, karena sebenarnya toko ini sudah menjadi langganan Sakura sejak lama. Meski begitu, entah kenapa Ayaki masih saja agak takut jika melihat bibi pemilik toko tersebut.
"Papa! Aya mau diculik." Ayaki menjerit heboh kala bibi pemilik toko yang diketahui bernama Matsuri—menarik tangannya untuk mengajaknya lebih masuk ke dalam toko.
Matsuri hanya tertawa renyah melihat tingkah Ayaki yang menurutnya lucu, sedangkan Sasori hanya berwajah heran. Mulai deh, tingkah random anaknya yang kadang membuat dirinya gagal paham.
"Mana ada yang mau menculik Ayaki, ayo ikut bibi sana." Sasori dengan perlahan melepaskan cengkraman tangan Ayaki pada celananya. "Papa tunggu sini."
Mata bulat Ayaki berkaca-kaca menatap Papanya, "Hueee...Papa mau menjual Aya."
Sasori sweatdrop.
"Tidak akan Papa jual, kalo Ayaki-nya anteng."
Beberapa menit berikutnya kegiatan ukur-mengukur pakaian untuk si Putri kecil keluarga Akasuna akhirnya selesai meski dengan sedikit dramatisir.
"Papa~ tinggi dan ukuran badan Aya sudah selesai diukur."
Ayaki berlari kecil menuju sang Papa yang menunggu di sofa depan, wajahnya dihiasi cengiran lebar yang merekah—kontras sekali dengan keadaan awalnya yang sampai harus nangis-nangis bombay dulu saat mau diajak masuk.
"Sudah?"
Sasori beranjak berdiri, memasukan ke saku Jaketnya ponsel pintar yang daritadi ia mainkan untuk mengisi waktu selama menunggu. Matsuri menghampirinya masih dengan senyuman di wajahnya.
"Betul, semuanya sudah beres Akasuna-san. Seragamnya mungkin sudah siap dua atau paling lambat tiga minggu kedepan."
"Aa, begitu?"
"Hai'."
"Hm, karena sudah selesai. Kalau begitu kami permisi dulu ya Matsuri-san. Mohon bantuan untuk selanjutnya."
"Nee~ akan kuhubungi jika sudah selesai Akasuna-san." Matsuri sempat-sempatnya kembali mencolek pundak Sasori sebelum ia berbalik pergi. "—atau kau boleh menghubungiku duluan untuk memastikannya."
Sasori tersenyum tak ikhlas, "sampai jumpa."
"Huh, benarkan. Aya tak suka sama bibi itu." Ayaki berkata dengan cemberut pada ayahnya begitu mereka sudah berjalan menjauhi toko Matsuri.
"Kenapa tak suka?"
"Soalnya bibi itu cetil sekali."
"Centil maksudnya?" Sasori mengoreksi.
"Iya itu!"
"Memang kenapa kalau bibi itu centil sama Papa?"
"Ya.. Tidak boleh. Papa kan cuma untuk Mama seorang."
"Siapa yang bilang begitu?"
"Mama."
Mau tidak mau Sasori senyum-senyum juga dibuatnya. Sempat-sempatnya Sakura bilang begitu pada putri mereka yang masih polos ini. Namun, tiba-tiba Ayaki yang berada dalam gandengannya menghentikan langkahnya yang juga membuat Sasori harus berhenti. Bocah berumur empat tahun itu menoleh kearah kanannya—tepatnya pada restoran makanan cepat saji yang terlihat ramai oleh pengunjung. Mata emeraldnya berbinar seolah menginginkan sesuatu dari dalam sana.
"Papa...Aya lapar. Mau burger seperti ituu." Tangannya menunjuk kearah etalase kaca restoran yang memperlihatkan salah satu pengunjung sedang membawa nampan berisi minuman cola, satu buah burger dan french fries.
Sasori melirik jam tangannya, wajar saja jika restoran tersebut sedang dipenuhi pengunjung ternyata tanpa sadar mereka sudah berada pada waktu makan siang. Dan wajar juga jika ternyata putrinya itu sudah merasakan rasa lapar lagi dan memang anak seumurannya kan sedang mengalami masa-masa nafsu makan yang besar. Tapi disini yang jadi masalah, Ayaki maunya makan-makanan cepat saji yang dimana menurut sang Mama makanan seperti itu tidak baik untuk kesehatan jika di konsumsi terlalu sering. Bisa marah besar Sakura jika tahu putri kesayangannya yang selalu ia jaga ketat baik asupan makanan, kebersihan dan kesehatannya—sekarang malah ingin memakan makanan yang selalu dilarangnya.
Sasori berjongkok menyesuaikan tingginya pada Ayaki untuk memberikannya pengertian. "Kita makannya di restoran lain saja ya, tadi pagi kan Ayaki cuma makan roti panggang. Berarti harusnya sekarang makan nasi saja, oke?"
"Tapi Aya bosan makan nasi, sayurr dan kawan-kawannya...maunya ituu." Suara Ayaki saat berbicara mulai terdengar bergetar.
"Ingat kata Mama, makanan yang seperti itu tidak baik untuk kesehatan. Nanti kalau perutnya sakit bagaimana?"
Ayaki tak menjawab, hanya menatap Papanya dengan mata bulat yang sudah terlihat berkaca-kaca sembari menggigit kecil bibir bawahnya seperti menahan tangis.
Sasori masih berusaha membujuk, "nanti kena marah Mama, lho."
"Ta—tapi, Mama kan... Tidak disini."
Ergh... Apa keras kepala Ayaki ini juga menurun darinya. Entahlah. Yang pasti, Sasori jadi merasa tidak tega melihat wajah putrinya saat ini. Tahu apa kelemahan seorang Akasuna Sasori sekarang saudara-saudara?—Iya, betul. Wajah menangis anaknya. Selain memang karena tidak tega, jika Ayaki sampai menangis didepan umum seperti ini pastilah akan mengundang perhatian banyak orang dan Sasori yang sejak lahir punya jiwa-jiwa introvert ini sangat tidak menyukai jika perhatian semua orang tertuju padanya. Jika dirinya sudah mulai menjadi bahan tontonan banyak orang—mending kabur, atau menenggelamkan diri ke dasar laut yang paling dalam sekalian.
"Ya sudah, untuk kali ini saja. Besok-besok, tidak ada kata lagi, oke?"
Wajah hampir menangis Akasuna Ayaki seketika berubah menjadi cerah, air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya seharusnya siap tumpah itu kembali masuk kedalam lagi, diam-diam saja—sebenarnya ini hanya triknya untuk membujuk Papanya. Ia lalu berseru 'yeay' keras kemudian menarik Sasori untuk masuk ke restoran.
Toh ini tidak dilakukan setiap hari, kan? Jadi belum masuk kategori berlebihan, bukan? Iya, kan?—Sasori mencari validasi dalam dirinya sendiri. Takut sekali kalau ketahuan sang istri memberikan sesuatu yang seharusnya dilarang pada anaknya. Bisa kena hajar Sakura dia.
.
.
Setelah selesai makan siang akhirnya tibalah mereka pada agenda utama hariini yaitu belanja keperluan rumah. Ayaki yang lelah berjalan—apa kan kata Sasori—akhirnya meminta sang Papa untuk menggendongnya dari restoran sampai ke supermarket yang mereka tuju. Untung jaraknya tidak terlalu jauh ya—tinggal menyebrang lampu merah kemudian berjalan sebentar lalu tibalah mereka di tempat tujuan.
Hari ini pusat perbelanjaan ternyata sedang ramai-ramainya. Apa warga kota Tokyo pada janjian untuk berbelanja di hari yang sama?—bisa jadi. Atau mungkin karena ini minggu-minggu awal bulan jadi memang waktunya para pekerja mendapatkan gaji di bulan ini, jadinya ya pas sekali sebagai waktu untuk me-restock kebutuhan hidup masing-masing.
"Huaa..., ramai sekali." Ayaki berseru heboh melihat keramaian yang menyebar begitu memasuki supermarket pada bagian bahan makanan, ia meminta gendong di pundak Papanya saat ini. "Dari atas sini, manusia terlihat seperti sampah."
Sasori sweatdrop—untuk kedua kalinya hari ini mendengar celotehan asal putrinya. Siapa coba yang mengajarinya mengatakan hal yang cukup kasar untuk ukuran anak berumuran sepertinya, jangan-jangan karna keseringan main di rumah keluarga Shimura nih. Kata-kata kasar Sai jadi menular ke anaknya.
"Hei, siapa yang ngajarin bilang begitu?"
"Aya tahu dari anime."
Bukan dari pengaruh Sai rupanya. Sasori tidak merasa bersalah telah berburuk sangka padanya, karena Sai memang orang yang patut di buruk sangka-kan. Emang Kurang ajar bawahan Sai yang satu ini.
Setelah mengambil troli, Sasori mendudukan Ayaki diatasnya baru kemudian mulai berkeliling. Ia membaca dengan seksama list belanja yang dikirimkan istrinya pagi tadi, cukup panjang juga. Ada beberapa sayuran, per-dagingan seperti daging sapi dan ayam, telur, roti, susu, beberapa makanan pokok lainnya, bahkan per-shampoan dan detergen untuk mencuci, serta perintilan-perintilan kecil lainnya.
Ketika sampai pada section makanan beku, Sasori mengambil satu bungkus sosis beku dan nugget yang biasanya menjadi stock makanan urgent mereka jika Sakura sedang terburu-buru dan tidak sempat memasak. Begitu ia hendak mendorong trolinya untuk ke bagian lain, lengan jaketnya terasa seperti ditarik-tarik. Ayaki yang duduk didalam troli memasang wajah memelas dengan menunjukkan puppy eyes andalannya, berkata dengan nada imut meminta perhatian sang Papa.
"Papa...mau es krim."
Aduh. Satu lagi hal yang seharusnya dilarang malah dimintanya. Sasori menghela napas lelah. Ya sudahlah kasih saja satu, biar anteng. Ia lalu mengambilkan satu es krim stik rasa strawberry kesukaan putrinya yang tentu disambut dengan penuh sukacita oleh si tuan putri. Inilah kenapa Ayaki senang sekali kalau pergi bersama Papanya—apalagi kalau cuma berdua begini tanpa sang Mama. Jadinya jika dia menginginkan sesuatu tidak perlu ada yang ngomel-ngomel dulu panjang kali lebar—yang ujungnya tidak juga dituruti, tipikal ibu-ibu pada umumnya ya.. Penuh perhitungan dan pertimbangan ini itu. Sedangkan kalau sama Papanya lebih sering diturutinya, karena bapak-bapak maunya tidak mau ribet apalagi membuat anak menangis—yang ribetnya jadi dua kali lipat.
Selanjutnya pada bagian makanan ringan, saat Sasori akan mengambil sereal dan beberapa makanan kecil untuk camilan—lagi-lagi Ayaki berulah. Sambil sibuk menjilat-jilat es krimnya ia kembali berceloteh.
"Papa tahu kalau Ayaki suka sekali sama coklat?"
"Iya tahu." Sasori menjawab sambil masih sibuk memilih merk sereal yang biasanya mereka beli.
"Disana ada coklat, Pa." Tangan Ayaki yang bebas menunjuk rak paling bawah di dekat mereka.
Sasori mengangkat sebelah alisnya, "terus?"
"Ambiil satu untuk Ayaa..." Si bocah merengek kemudian. Begitu Papanya membuka mulut untuk membalas, ia kembali berkata, "Mama bilang boleh makan coklat satu."
"—iya, satu dalam seminggu kan maksudnya? Minggu ini bukannya sudah."
Ayaki cemberut, "Iyaa, untuk minggu depan ya Pa." Ia masih tidak menyerah membujuk Papanya.
Sasori mendengus pelan—menyerah, berjongkok untuk mengambil benda yang menjadi perdebatan keduanya saat ini dan pada akhirnya memasukkannya ke troli. Ia lalu menatap sang anak dengan mata yang sedikit menyipit, "ingat bukan untuk dimakan sekarang."
"Siapp! Heheh.."
Semua barang yang ada di list satu persatu sudah diambil, Sasori mengklik tanda centang item terakhir yang ia tulis di aplikasi note untuk memudahkannya mengurutkan barang-barang yang harus dia beli saat ini. Baru setelah itu ia mendorong troli menuju ke kasir untuk membayar seluruh barang-barang tersebut.
Saat sedang menunggu barang-barang mereka disusun dalam kantong oleh sang kasir, bola mata emerald Ayaki menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya pada rak yang ada di dekat kasir.
"Papa, ini lucu deh." Ia menunjuk kotak mainan lego yang ada di rak tersebut.
Sasori melirik arah yang ditunjuk, "kemarin bukannya sudah Papa belikan mainan lego seperti itu."
"Tapi ini bentuknya beda, Pa. Yang ini ada kuda poninya, lucuu~"
Kali ini Sasori tidak akan tergoda lagi, ia berucap dengan tegas. "Kali ini tidak dulu, lain kali saja beli mainannya."
"Ah, Papa..." Ayaki mulai merengek.
"Tidak." Bahkan meski jaketnya ditarik-tarik sang anak pun ia tetap tidak merespon, pura-pura tidak dengar sajalah.
Namun ketika sudah keluar dari area kasir, pada akhirnya kotak mainan lego itu ternyata sudah berpindah hak kepemilikan dan sekarang berada di genggaman tangan mungil seorang Akasuna Ayaki juga. Ujung-ujungnya Sasori lagi-lagi menyerah untuk menentang keinganan putrinya itu setelah melihat raut wajah murungnya beberapa menit yang lalu. Ayaki memang tidak menangis dan tantrum seperti kebanyakan anak tapi justru itulah kenapa malah membuat Sasori tambah tidak enak hati kala melihat anaknya yang biasanya lumayan cerewet berceloteh ini itu berubah menjadi pendiam dan murung. Ya sudahlah, sikap tegasnya lain kali saja. Toh, ia juga tidak bisa setiap hari menghabiskan waktu penuh seperti ini bersama anaknya dan menuruti semua keinginannya begini. Sekali-kali tidak masalah lah. Asal jangan keseringan.
"Papa, terima kasih ya~ Aya sayang Papa deh, heheh.." Ayaki berkata tiba-tiba kala mereka berdua tengah berjalan menuju pintu keluar.
Sasori menoleh pada sang anak yang berada dalam gandengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya memeluk kantong belanja yang terlihat penuh. "Iya sama-sama, tapi kalau lagi sama orang lain atau sama Mama mintanya jangan banyak-banyak ya. Tidak baik membuat orang repot."
"Iyah..."
Kecil-kecil begini sebenarnya Ayaki sudah paham, dia minta banyak seperti ini ya beraninya cuma sama sang Papa. Kalau sama Mamanya mah, dituruti satu hal juga sudah syukur, dituruti dua hal sudah masuk kategori keajaiban—artinya jarang terjadi. Mamanya tidak pelit, sih. Cuma agak strict saja.
Selang beberapa lama langkah keduanya terhenti saat melihat kerumunan orang yang sedang mengantri, jika dilihat dari standing banner yang ada disana sepertinya sedang dibuka suatu stan undian.
"Itu apa, Pa?" Ayaki bertanya melihat antrian tersebut.
"Sepertinya permainan undian."
"Permainan?"
"Mau coba?" Sasori menawarkan dan tentu di iyakan dengan semangat oleh putrinya.
"He'em."
Setelahnya mereka membeli tiket dahulu baru ikut mengantri, tapi yang mengantri hanya Ayaki sendiri karena si bocah berumur empat tahun bersikeras untuk tidak mau ditemani sang Papa dan ingin mencoba undian itu sendirian. Alhasil Sasori hanya berdiri didekat tempat pembelian tiket sembari mengawasi putrinya dari jauh. Beberapa menit mengantri akhirnya tiba giliran Ayaki, karena tubuhnya yang pendek dan tidak sampai meja stan akhirnya petugasnya membantu dengan menyodorkan didepannya langsung mangkuk besar berisi bola-bola yang ada tulisan hadiahnya.
"Ngomong-ngomong, apa hadiah utamanya?" Sambil terus mengawasi Sasori bertanya iseng pada penjaga tiket yang ada di dekatnya.
"Hadiah utamanya, tiket sekeluarga untuk ke taman hiburan yang baru-baru saja dibuka di London." Si penjaga tiket menunjuk sebuah pamflet yang terdapat gambar suatu taman bermain yang terlihat begitu megah. "Namanya kalau tidak salah The London Resort yang katanya juga disebut-sebut sebagai Disneyland-nya UK."
"Oh ya?" Sasori mengangguk saja karena katanya tadi baru dibuka jadi wajar jika dia baru pertama kali mendengar nama taman hiburan itu.
Dari kejauhan, pandangan matanya menangkap sosok putrinya yang melambai-lambai kearahnya sambil berseru heboh, "PAPA, AYA DAPAT HADIAH UTAMANYA."
Wahh.. Sasori sendiri masih setengah percaya. Ternyata tangan mungil itu membawa keberuntungan juga ya. Kata si paman penjaga tiket, undian itu sudah berlangsung dari satu minggu yang lalu tapi tak satupun pengunjung yang bisa mendapatkan hadiah utama, bahkan ada beberapa orang yang sampai mencoba berkali-kali tapi tetap belum mendapatkannya. Lah, ini bocil satu cuma sekali coba langsung dapat. Bangga Papa, nak.
"Aya, hebat kan Pa? Hehehhe..." Ayaki cengengesan seperti biasa, merasa bangga pada dirinya sendiri.
"Iya, hebat sekali. Memang bagaimana cara—" Sasori yang daritadi keasikan membaca deskripsi tiket di tangannya jadi kelupaan menggandeng putrinya yang kini...ternyata tidak ada lagi disampingnya. Perasaan panik tiba-tiba menjalar ditubuhnya saat mata hazelnya bergulir ke sekitar namun tetap tak menemukan sosok bocah kecil berambut merah yang dikuncir dua itu.
"AYAKI?!"
.
.
.
Demi Tuhan! Sasori merutuki dirinya sendiri yang bisa seceroboh itu. Mana semakin sore ini pengunjung supermarket malah semakin ramai lagi, ia sampai tidak sengaja beberapa kali menabrak orang karena saking padatnya saat berlarian berkeliling mencari putrinya yang tiba-tiba hilang entah kemana. Lagian, itu anak cepat sekali hilangnya deh, baru juga beberapa menit lepas dari tangannya. Benar kata Sakura, putri mereka itu tidak bisa dilepaskan sedetik pun saat ditengah keramaian, tubuh kecilnya bisa tenggelam diantara orang dewasa dan menyelip kesana kesini seperti belut.
Sasori berlari ke pintu keluar namun tak menemukan tanda-tanda Ayaki disana. Ia kemudian kembali ke stan undian sebelumnya, tapi tetap saja nihil. Napas lelaki berambut merah itu sudah mulai tersengal-sengal, matanya tak lepas mengobservasi setiap manusia yang berlalu lalang silih berganti—siapa tahu menemukan makhluk kecil itu yang terselip diantara orang-orang. Tapi tetap saja tak ada.
Sasori sudah mulai hampir frustasi tapi tetap tak boleh menyerah, bulir-bulir keringat membasahi keningnya. Keringat karena capek habis berlari kesana kemari, juga keringat dingin karena cemas takut hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada putrinya. Anak kecil berumuran segitu ditempat ramai begini tanpa perlindungan orang dewasa benar-benar menjadi incaran yang tepat bagi orang-orang jahat yang sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Dalam keadaan linglung karena pemikiran buruk yang tiba-tiba timbul namun tetap harus memasang mata untuk mencari ke sekeliling—langkahnya terhenti saat indra pendengarannya tidak sengaja mendengar suara pengumuman dari meja pelayanan yang dikumandangkan melalui speaker.
"Para pengunjung yang terhormat, petugas kami baru saja menemukan seorang anak berumur sekitar empat atau lima tahun tanpa pengawasan orang dewasa, dengan ciri-ciri memiliki rambut sebahu berwarna merah gelap yang dikuncir dua, memakai jumpsuit biru muda dan blouse tangan panjang berwarna putih serta—"
Itu dia!
Tanpa menunggu pengumuman lengkapnya selesai—karena ciri-ciri yang disebutkan sudah persis menggambarkan putrinya, lantas Sasori langsung saja berlari menuju sumber suara, pastilah di meja pelayanan yang ada di dekat pintu masuk.
Ketika sampai di meja pelayanan masih dengan napas yang ngos-ngosan sehabis berlari, Sasori segera menghampiri anak kecil yang sedang duduk membelakanginya di dekat petugas pelayanan. Begitu dia membalikkan tubuh si anak dan melihat dengan jelas sosoknya—seketika itu juga Sasori jatuh berlutut dilantai. Kakinya tiba-tiba lemas.
Saat ini didepannya—dihadapannya memang benar ada seorang anak kecil yang memiliki ciri-ciri fisik persis seperti Ayaki bahkan warna baju yang dipakainya sangat mirip, tapi ternyata wajahnya bukanlah wajah putrinya. Anak yang satu ini memiliki mata berwarna coklat tua—yang kontras dengan mata emerald terang milik Ayaki. Detik itu juga Sasori rasanya ingin menangis ditempat—tapi maluu banyak orang. Berikutnya yang ia lakukan hanya bangkit berdiri dan mengontrol ekspresinya yang sempat cengo dan hopeless beberapa saat lalu. Menolak dengan halus ketika petugas menanyai apakah dirinya ayah si anak atau bukan dan tanpa banyak kata lainnya ia mulai melangkah menjauh dari tempat tersebut. Namun baru beberapa langkah kakinya berjalan, sebuah suara cempreng yang sangat familiar untuknya terdengar dari arah belakangnya. Sasori membalikkan tubuhnya mendapati seorang anak kecil lainnya berlarian kearahnya sambil berseru lantang...
"PAPA~"
Dibelakangnya berdiri paman petugas tiket tempat mereka bermain undian sebelumnya.
Sasori akhirnya bisa bernapas lega dan kini kembali berjongkok untuk menyambut sang putri yang dari tadi ia cari sampai hampir gila.
"Ayakiii..., daritadi Papa cari-cari kemana saja." Sasori berucap dengan nada frustasi pada sang anak yang sudah berada dalam pelukannya.
"Tali sepatu Aya tadi copot saat jalan, setelah selesai mengikatnya lagi taunya Papa sudah hilang tidak kelihatan. Aya coba cari tapi tidak ketemu, terus waktu kembali ke tempat undian Aya lihat Papa disana, tapi keburu lari sebelum Aya sempat panggil. Untung Ojii-chan tiket mau mengantar Aya kesini untuk susul Papa." Ayaki mencoba menjelaskan panjang lebar meski dengan beberapa kata yang agak belibet.
Sasori melepaskan pelukannya lalu melihat sepatu sneakers putih Ayaki yang talinya terikat tak beraturan, tangannya mulai bergerak membetulkannya sembari berkata, "ikatan tali sepatu harusnya lepas bukan copot dan seharusnya bukan susul tapi menyusul Papa."—Sempat-sempatnya ia mengoreksi ucapan anaknya. Setelah selesai mengikat tali sepatu kecil tersebut ia memandang wajah putrinya untuk memastikan bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan—keadaannya masih sama persis seperti terakhir kali ia lihat. "Lain kali bilang saja, nanti Papa ikatkan talinya."
"He'em."
Pelajaran hari ini, jangan pakaikan anak berumur empat tahun dengan sepatu yang ada talinya. Selain ribet, juga menaikkan peluang untuk hilang di keramaian.
Dan setelah mengucapkan berkali-kali terima kasih pada paman penjaga tiket yang telah mengantarkan Ayaki padanya—Sasori memastikan sudah menggandeng tangan anaknya dengan erat sampai tidak ada kemungkinan untuk lepas lagi. Mereka berdua selanjutnya benar-benar melangkah keluar dari gedung supermarket dan mendapati langit diluar sudah mulai berubah warna menjadi jingga. Waktu memang berjalan cepat sekali rasanya, apalagi sudah masuk fase musim dingin yang waktu siangnya terbilang lebih singkat.
"Papa," Ayaki memanggil pelan disela-sela langkah mereka.
"Hm?" Sasori menoleh padanya mendapati sang anak sedang mengucek-ngucek matanya, lalu kembali berucap sama pelannya seperti sebelumnya.
"Mata Aya ngantuk, mau tidur sekarang."
"Eeh?"
Alhasil, lelaki berambut merah yang berstatus sebagai Papa muda itu harus menggendong anaknya yang tiba-tiba saja tertidur—menggunakan tangan kanannya, sedangkan tangan kiri tetap memeluk kantung belanjaan. Sasori berwajah pasrah saat beberapa orang melihat kearahnya dengan pandangan antara kasihan, mau ketawa, atau malah kagum—entahlah, ia tak terlalu peduli juga. Dua beban yang ia gendong saat ini sudah cukup berat, tidak perlu menambah beban pikiran atas pandangan orang lain terhadap dirinya pula.
Karena tak sanggup dengan keadaan begini harus berjalan cukup jauh dan naik kereta bawah tanah, pada akhirnya ia memutuskan untuk naik taksi saja sebagai transportasi pulangnya. Dan dengan ini juga menjadi penutup perjalanan penuh dramatisasi sepasang ayah dan anak di hari minggu yang cerah namun dingin ini.
.
.
.
.
.
.
"Aku pulang."
Sakura sudah menduga kalau dia akan pulang cukup telat hari ini karena itu sebelumnya ia sudah mengirim pesan pada sang suami untuk memesan saja makanan di luar untuk makan malam mereka. Dan benar saja kan dia baru bisa sampai di rumah ketika jarum jam menunjuk angka sembilan malam. Sembari melepaskan sepatunya di pintu depan, pandangan matanya bergulir menelisik ruang depan yang terlihat sudah sepi. Mungkin saja dua orang penghuni rumah selain dirinya sudah mulai terlelap tidur karena kelelahan hari ini, Sasori sudah memberitahunya melalui pesan tadi jika mereka juga baru sampai rumah sekitar jam enam sore tadi.
Begitu akan melangkahkan kakinya menuju tangga, langkah Sakura terhenti saat sudut matanya menangkap cahaya tv yang menyala di tengah kegelapan ruang tengah. Ia pikir tidak ada orang disana, ternyata ada suaminya duduk di sofa depan tv sedang menonton. Saat kakinya melangkah mendekati—ah, pantas saja Sasori tidak menggubris kepulangannya. Dia memang sedang duduk bersidekap di depan tv, namun matanya justru terpejam seperti orang yang sedang tidur. Ini mah namanya tv yang menonton orang.
"Sasori-kun.." Sakura menyentuh pipi suaminya begitu ia sudah duduk disebelahnya.
Tidak butuh lama bagi Sasori untuk membuka matanya dan sedikit terperanjat saat melihat kehadiran istrinya. "Kau sudah pulang?"
Sakura mengangguk, "baru saja. Seharusnya tidur saja di kamar kalau lelah, Sayang."
"Aku tidak tidur, hanya...memejamkan mata saja."
Sasori tidak bohong. Ia memang hanya memejamkan matanya sembari mereview dikepalanya beberapa kegiatannya seharian ini. Khususnya kejadian saat Ayaki sempat menghilang sore tadi. Jika dipikir-pikir, ia sendiri baru sadar betapa cemasnya dirinya tadi—perasaan ini hampir sama seperti saat Ayaki akan lahir dulu ketika ia tidak bisa berada di samping istrinya untuk mendampinginya. Mungkin sejak saat itu, ini kali pertamanya lagi ia merasa sebegitu cemasnya sampai ingin menangis. Anehnya justru Ayaki lebih bersikap tenang tadi, bocah berumur empat tahun yang beberapa minggu lagi akan genap berumur lima tahun itu tidak menangis ataupun terlihat raut cemas diwajahnya karena terpisah dari Papanya di tengah keramaian.
"Begitukah? Lalu, apa kau masih ingin disini?" Sakura kemudian bertanya.
"Sepertinya begitu, aku masih belum mau tidur."
Mendengar jawaban suaminya Sakura kembali berkata dengan wajah ceria, "kalau begitu aku membersihkan diri dulu ya. Tunggu disini, aku segera kembali."
Sasori hanya mengangguk sebagai balasan.
Beberapa menit berikutnya Sakura kembali ke ruang tengah dan mereka berdua kembali bercengkrama untuk saling menceritakan kegiatan masing-masing seharian ini. Yah meski memang kebanyakan Sakura yang berceritanya sih, Sasori sebagai pendengar yang baik dan setia sesekali menaggapi beberapa hal yang menurutnya menarik. Kini ia memilih posisi berguling di sofa dengan kepala yang berada di atas paha Sakura sebagai bantalannya, seharian penuh telah mengasuh anak rasanya Sasori pengen juga di manja istrinya. Hhe.
"Oh ya? Ayaki-chan mendapat hadiah utama dari sebuah undian?" Sakura memainkan helaian rambut merah yang ada di pangkuannya.
Sasori menggerakkan kepalanya untuk mengangguk, namun menimbulkan sensasi geli di paha Sakura, "Tangannya membawa keberuntungan sekali."
"Tiket kemana tadi?"
"Taman hiburan yang baru dibuka di London."
"Wah, berarti ini tanda-tandanya kita harus liburan ke London nih." Sakura sih senang-senang saja jika mereka bisa pergi kesana.
Sasori diam sejenak terlihat berpikir, "aku akan cek jadwal. Mungkin kita bisa pergi berlibur saat ulang tahun Ayaki nanti."
Oh iya benar juga, ulang tahun putri mereka memang seharusnya sebentar lagi kan. "Ide bagus, aku juga akan ambil jatah cutiku yang belum digunakan."
Beberapa saat berikutnya mereka sempat terdiam dalam pikiran masing-masing sebelum Sakura kembali membuka suara, "saat di supermarket tadi kau tidak selalu menuruti kemauan Ayaki-chan kan Sasori-kun?" Ia bertanya memastikan.
"Err... Tidak juga. Hanya beberapa saja." Bohong sih, orang Sasori tidak pernah bisa menolak apapun yang diminta putrinya seharian ini.
Sakura memandang curiga pada suaminya, tapi kali ini mencoba untuk percaya. "Dia tidak rewel kan hari ini atau menangis karena sesuatu?" Ia kembali bertanya.
Selain merengek saat meminta sesuatu yang menarik perhatiannya, selebihnya Ayaki kalem-kalem saja. "Tidak sayang, dia pintar sekali bahkan tidak menangis saat berpisah dariku tadi."
"Hah, kenapa bisa berpisah darimu?"
Duh. Sasori malah keceplosan. Kalau sampai Sakura tahu kejadian di supermarket tadi bisa mengamuk besar istrinya itu.
Sasori kemudian reflek bangun dari posisi rebahannya dan duduk menghadap istrinya untuk memberikan penjelasan—yang kini menatap lebih curiga dengan emerald yang persis seperti milik Ayaki namun terkesan lebih tegas. "Maksudku, kami berpisah karena aku harus ke toilet sebentar, tidak mungkin kan aku membawanya masuk ke toilet laki-laki. Jadi aku minta tolong petugas keamanan untuk menjaganya sebentar."—seratus persen berdusta demi menyelamatkan keselamatan jiwa dan raganya.
"Kau, tidak sedang menutupi sesuatu kan Sasori-kun?" Nada suara Sakura terdengar agak sedikit mencekam di telinga Sasori.
"Tidak cantikk, mana mungkin." Jurus andalan sebagai pengalih perhatian, Sasori menyingkirkan helaian rambut merah muda yang menutupi wajah Sakura dengan gerakan seduktif.
Dan aksinya itu sukses membuat wanita yang tadinya berwajah serius didepannya jadi blushing seketika.
Sasori tersenyum menang dalam hati. Kalau sudah begini sekalian saja. "Kau tahu, Sakura. Tidakkah kau pikir Ayaki sudah cukup besar untuk bisa dipanggil dengan sebutan...kakak?"
"Entahlah," Sakura menjawab agak ragu, namun Sasori tahu bahwa istrinya itu tidak akan menolak apapun tindakan yang akan ia lakukan selanjutnya. Ia memajukan tubuhnya dengan gerakan lambat tali pasti lebih mendekat ke arah Sakura, senyum miring terpatri di wajah tampannya yang terlihat bersinar dalam keremangan karena memantulkan cahaya bulan yang berasal dari jendela di sudut ruangan.
"Haruskah kita memberikan Ayaki seorang saudara agar ia tidak kesepian?" Sasori berucap lirih dengan nada menggoda.
Dan Sakura meresponnya dengan senyuman malu-malu sembari berucap sama lirihnya, "Haruskah?"
Detik berikutnya, lelaki berambut merah itu mulai mencium bibir istrinya yang tentu menerima dengan sangat senang hati. Awalnya ciuman tersebut terkesan lembut, namun perlahan ritmenya berubah menjadi lebih intens, lebih dalam, lebih menuntut. Sakura mengalungkan lengannya pada leher Sasori—yang juga memeluk pinggangnya untuk membawanya lebih mendekat, sama sekali tidak membiarkan tubuh mereka berjarak satu inchi pun.
Dalam suasana yang intens tersebut, tiba-tiba indra pendengaran Sakura yang terlatih tajam mendengar derap kecil langkah kaki yang menuruni tangga, begitu matanya yang semula terpejam kini terbuka dan menangkap bayangan hitam dibelakang suaminya—seketika itu juga Sakura melepaskan ciuman mereka dan reflek mendorong tubuh Sasori dengan kuat. Saking kuatnya sampai membuat suaminya limbung sampai jatuh terguling di lantai—karena posisi mereka yang sedang di sofa, jadi tempatnya tidak terlalu luas.
Sasori mengaduh kesakitan, "Ugh.. Apa yang—"
"Mama?"
Ayaki memanggil dengan suara serak khas bangun tidur, sosoknya tengah berdiri di ujung anak tangga sembari mengucek-ngucek matanya demi menjernihkan pandangannya yang sedikit buram.
Sasori yang menangkap sosok sang anak menghela napas sejenak lalu menjatuhkan kepalanya yang tadinya terangkat untuk melihat—kembali ke lantai—tak mau repot beranjak karena Sakura sudah lebih dahulu mengambil alih dengan menghampiri Ayaki.
"Ah, anak Mama terbangun ya?"
"Ehm, Aya haus mau minum."
"Aa, begitu?" Sakura berkata lembut lalu mengangkat putrinya dalam gendongannya untuk membawanya ke dapur, "ayo kita minum dan setelah itu Aya-chan tidur lagi ya karena sudah malam." Sebelum hilang di koridor ia melirik dengan pandangan kasihan pada suaminya yang masih dalam posisi semula terlentang di lantai—sedang meresapi denyutan pada punggungnya yang menghantam lantai keras dengan tiba-tiba.
Setelah memastikan Ayaki kembali tertidur lelap, Sakura merapihkan selimut untuk menutupi tubuh putrinya kemudian beranjak dengan gerakan perlahan agar tak menimbulkan suara. Begitu tubuhnya sudah menghadap ke arah pintu ia mendapati suaminya sedang menunggunya, berdiri dengan posisi bersidekap sambil bersandar pada daun pintu. Dari wajahnya, Sakura tahu kalau Sasori masih sedikit jengkel dengan kejadian sebelumnya. Ia menarik tangan Sasori untuk keluar dari kamar Ayaki lalu menutup pintunya dengan pelan baru kemudian kembali menghadapnya.
"Maaf ya, tenagaku sedikit berlebihan." Sakura meminta maaf dengan wajah yang di imut-imutkan.
Sasori mendengus pelan. "Tidakkah kau harus tanggung jawab?"
"Tentu. Haruskah kita melanjutkan yang tadi?" Sakura tersenyum menggoda. Dan tanpa jawaban secara verbal Sasori mengangkat tubuh istrinya ala bridal style yang membuat Sakura sedikit terpekik pelan karena tindakannya yang tiba-tiba itu.
"Sssttt... Jangan berisik, atau Ayaki bisa bangun lagi."
Sasori menurunkan tubuh Sakura begitu telah tiba di kamar mereka yang memang bersebelahan dengan kamar Ayaki. Tanpa menunda banyak waktu lagi, ia kembali mencium bibir istrinya kali ini lebih dalam dan penuh tuntutan dari yang sebelumnya. Tangan kanannya bergerilya dengan lincah membuka satu persatu kancing piyama Sakura, sedangkan tangan lainnya yang bebas memutar kunci pintu di belakangnya. Maaf ya, Ayaki sayang. Mama dan Papa malam ini sedang sibuk dan tidak bisa diganggu dulu.
Dengan begitu dimulailah aktivitas malam yang melelahkan namun penuh gairah bagi sepasang suami istri tersebut.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Keesokan paginya..
Keluarga kecil Akasuna sedang melakukan rutinitas pagi mereka yaitu sarapan bersama sebelum memulai aktivitas hari ini. Diujung meja, Ayaki menikmati sarapan paginya—nasi omelette buatan sang Mama dengan wajah yang terlihat lesu. Melihat itu Sakura memandang khawatir putrinya kemudian mulai mencari tahu ada apa gerangan si kecil bermurung durja.
"Anak Mama kenapa? Omelette-nya tidak enak ya?"
Ayaki menggeleng pelan, "tadi malam Aya terbangun lagi, sulit tidur karena ada suara-suara berisik sekali, saat mau ke kamar Mama dan Papa pintunya malah tidak bisa dibuka, jadi Aya terpaksa tidur sendiri walaupun takut." Wajahnya cemberut saat menjelaskan.
Mendengar penuturan polos sang anak, Sakura jadi sedikit merasa bersalah. "Aduh, maaf ya sayang.. Suara berisiknya mungkin karena tadi malam ada kucing tetangga yang masuk ke kamar Mama dan Papa, lalu karena takut kucingnya masuk lagi jadi Mama kunci pintunya."
"Oh ya? Kucingnya mengamuk ya Ma? Karena Aya juga sempat mendengar suara Mama berteriak."
"Iya, sayang."
Sakura berusaha memberikan senyum lembut seperti biasa, tapi dalam hati merasa malu pakek banget. Tidak menyangka ternyata aktivitas mereka tadi malam bisa terdengar sampai ke kamar Ayaki—yang memang ada di sebelah kamar mereka. Dibawah meja, Sakura menendang kaki suaminya yang duduk dihadapannya—pura-pura sedang menikmati makanannya sambil menundukkan kepala menahan tawa, sama sekali tidak berniat membantu sang istri untuk memberikan penjelasan logis pada putri mereka demi menutupi 'hal' yang orang tuanya lakukan tadi malam.
Sasori itu, padahal dia penyebab Sakura sampai berteriak malah tidak mau bertanggung jawab.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
~Omake~
Heathrow Airport, London.
Keluarga kecil Akasuna memutuskan untuk melakukan liburan ke London dan tiba di kota itu tepat sehari sebelum tanggal ulang tahun putri mereka yang jatuh pada tanggal 24 Desember—iya memang Ayaki lahir sehari sebelum tanggal natal jadi mudah untuk mengingatnya bahkan untuk orang seperti Akasuna Sasori yang tanggal ulang tahunnya sendiri ia kadang kelupaan.
Dua orang dewasa dan satu anak kecil yang satu hari lagi berumur lima tahun itu sedang menunggu taksi untuk mengantarkan mereka ke rumah paman Sasori saat sebuah suara menyapa mereka. Tidak jauh dari tempat mereka berdiri, dua orang lelaki dewasa yang sama-sama memiliki rambut gelap menghampiri mereka. Salah satu lelaki yang memiliki model rambut emo melonggarkan kacamata hitam yang dipakainya kala ia dan lelaki disampingnya sudah berada tepat di depan ketiga orang yang tersebut.
"Kupikir salah lihat, ternyata benar itu kalian."
"Sasu Onii-chan." Ayaki berseru girang ketika melihat lelaki didepannya yang telah melepaskan sepenuhnya kacamata hitam dan melipatnya di leher kaos putih yang ia pakai.
Uchiha Sasuke tersenyum miring kearah tiga manusia yang sangat ia kenali tersebut, disebelahnya berdiri kakaknya Uchiha Itachi yang menyapa dengan akrab teman semasa kuliahnya dulu di Amerika.
"Yo, Sasori. Sudah lama kita tidak bertemu."
Sasori menyambut tos-an Itachi dan keduanya berpelukan singkat ala sohib akrab pada umumnya. Sejak Itachi pulang ke Jepang lima tahun lalu, mereka sudah sering bertemu hanya untuk hang out atau hanya mengobrol singkat. Namun karena kesibukan keduanya intensitas pertemuan mereka memang agak sedikit jarang akhir-akhir ini.
"Liburan keluarga, eh?" Sasuke memasukkan tangannya ke saku memandang dengan wajah mengejek yang penuh keangkuhan seperti biasa pada Sakura yang memutar bola matanya malas.
Heran juga Sakura, betapa sempitnya dunia ini. Tidak di Jepang, sekarang di London pun mereka bisa bertemu Sasuke yang dengan susah payah sering Sakura jauhkan dari putrinya. Pasalnya ya tahu sendiri, tingkah pedo Sasuke masih saja bertahan sampai Ayaki berumur lima tahun saat ini. Teman setannya itu masih saja menggoda Sakura untuk menjodohkan putrinya dengan dirinya. Memang tidak waras.
"Sasu-nii, besok Aya ulang tahun, lho. Sasu-nii mau ikut tidak bermain ke taman hiburan." Ayaki dengan riang dan gembira bicara putra bungsu keluarga Uchiha itu. Sasuke menolak keras untuk dipanggil dengan sebutan 'Ji-chan' karena menurutnya ia masih jauh lebih muda untuk bisa disebut sebagai paman.
Sasuke berjongkok untuk menyesuaikan tingginya pada bocah berumur lima tahun itu, "Aa. Benarkah? Kedengarannya seru sekali."
Ayaki mengangguk antusias.
"Tapi sayang sekali, sepertinya pangeran tampan ini harus absen dulu untuk menemani sang putri bermain kali ini." Sasuke sengaja sok mendramatisir kata-katanya, ia menyeringai kecil melihat reaksi Sakura yang memberikan pandangan jijik atas perkataannya.
"Eeeeh.."
"Maaf ya cantik, mungkin setelah pekerjaanku selesai aku akan menyusul."
"Sedang apa kalian disini?" Sakura bertanya ketika Sasuke sudah kembali berdiri tegak.
"Bisnis." Jawaban Sasuke begitu singkat, padat dan tidak jelas.
Karena itu Itachi mengambil alih untuk menjelaskan. "Ada suatu kerjasama bisnis yang harus kami selesaikan disini. Mungkin membutuhkan beberapa hari untuk bisa mendapatkan kesepakatan dengan klien."
"Jika kalian punya waktu luang besok sore kenapa tidak mampir saja ke rumah pamanku. Yahh..Chiyo baa-san mengadakan perayaan kecil-kecilan untuk ulang tahun Ayaki." Sasori berinisiatif mengajak si duo Uchiha—yang kemudian mendapat sikutan pelan dari istrinya. Bukannya Sakura ingin bersikap jahat, tapi dia agak sedikit jengkel kalau Sasuke mulai bertingkah tak jelas.
Itachi dan Sasuke berpandangan sejenak untuk mempertimbangkan. Baru setelahnya Sasuke yang bersuara memberi jawaban sembari memandang Ayaki yang menunggunya dengan wajah penuh harap, "tentu. Kenapa tidak untuk hari special my beautiful princess." Ia tersenyum manis kearah si bocah berambut merah yang kemudian ber-hore ria.
"Baiklah kalau begitu, sampai jumpa besok."
Setelah Sasori berucap demikian, mereka lalu berpisah. Si duo Uchiha bersaudara dengan mobil jemputannya dan keluarga kecil Akasuna dengan taksi yang sudah mereka pesan.
Keesokannya...
Setelah seharian penuh Ayaki merasa puas bermain macam-macam wahana yang ada di taman bermain didampingi orang tuanya—yang boleh dibilang malah Sakura-lah terlihat lebih bersemangat dari pada sang anak untuk menjelajahi tempat tersebut. Kemudian untuk menutup hari yang special ini, Sasori memutuskan untuk mengajak keluarga kecilnya mengunjungi makam orang tuanya yang mungkin sudah lama tidak ia kunjungi. Terakhir kali mereka kesini mungkin saat Ayaki masih berumur satu tahun dan sejak saat itu mereka belum sempat kembali lagi.
Ayaki mengatupkan tangannya dengan mata yang tertutup sambil berjongkok ditengah-tengah makam nenek dan kakeknya, Sakura mendampingi disampingnya sedangkan Sasori hanya berdiri di belakang keduanya memperhatikan.
Masih dengan mata yang terpejam, putri kecil keluarga Akasuna itu berceloteh dengan suara cemprengnya. "Aya datang lho, Obaa-chan, Ojii-chan.. Papa bilang kalau mau bertemu Obaa-chan dan Ojii-chan bisanya cuma melalui mimpi, karena hari ini Aya sedang ulang tahun Obaa-chan dan Ojii-chan Aya tunggu dalam mimpi nanti malam yaa untuk memberikan Aya kado heheh.."
Sakura mendengus geli mendengar ocehan putrinya, kemudian menoleh pada Sasori dibelakang yang sedang tersenyum kecil sembari menggelengkan kepala pelan. Ada-ada saja tingkah anak mereka yang satu ini.
Dari kejauhan suara klakson bergema, Sasuke yang menunggu di samping mobil hitamnya melambai dari arah gerbang sana. Ayaki yang sudah selesai dengan kegiatan berdoanya dengan cepat berlari kearah Sasuke yang menunggu, diikuti Sakura yang buru-buru menyusul langkah putrinya. Meninggalkan Sasori yang masih berdiri ditempatnya semula.
Dibawah langit mendung, diiringi semilir angin yang tenang, daun-daun yang gugur berputar membentuk spiral diatas dua pusaran yang berdampingan memberikan tanda eksistensi jiwa yang tak kasat mata namun dapat dirasakan oleh laki-laki yang berdiri didepan dua pusaran tersebut.
Sasori tersenyum tenang sembari menatap lembut tempat pembaringan kedua orang tuanya, sebelum dirinya berbalik pergi ia bergumam 'sampai jumpa' pelan. Karena pastinya ini bukan kali terakhir ia akan berkunjung kesini, kedepannya-seterusnya pasti ia akan selalu kembali. Mengobati rindu yang tersisa seolah kembali pada rumahnya yang hangat dahulu.
Keluarga kecil yang sangat ia rindukan dulu kini dapat terobati dengan keluarga kecil yang ia bentuk sendiri. Senyum manis putrinya menghangatkan hatinya yang selama ini terasa hampa dan beku, sosok istrinya yang selalu berada disampingnya senantiasa menguatkan keyakinannya. Bahwa hanya karena mereka disatukan dengan cara yang bukan mereka inginkan bukan berarti mereka tak bisa menemukan kebahagiaan sendiri.
"Sasu Nii-chann!"
Seruan melengking putrinya yang hari ini genap berumur lima tahun itu selalu sukses menghantarkan sengatan listrik kebahagiaan dalam diri Sasori. Ia menghentikan langkahnya sejenak, menikmati moment berharganya saat ini. Hanya karena dia tidak punya pemikiran mengenai impian yang semacam ini bukan berarti ia tidak dapat meraih impian yang orang lain impikan.
"Sasori-kun, ayolahh.. Kau tidak mau putrimu terlalu nempel dengan Sasuke, kan?" Sakura berteriak memanggilnya.
Sasori tertawa kecil melihat istrinya yang bertingkah seolah putri mereka akan di culik oleh sahabatnya sendiri itu. Ia memasukkan tangannya ke saku, lalu mulai melangkah menyusul mereka yang sudah melewati gerbang areal pemakaman.
'Kini dan nanti, kemudian kami melanjutkan dengan penuh bahagia setiap moment kehidupan yang akan kami lewati, dalam naungan kebahagiaan yang sempurna, selamanya...'
.
.
.
.
.
.
.
.
~FIN~
.
.
.
.
.
.
.
Recomendation song for the last part: A thousand year by Christina Perri (ost twilight)
A/N: huaaa akhirnyaa selesai jugaa;')
Karna di monolog akhir gue ngutip penutup dari novel Twilight: Breaking Dawn, biar feelnya kerasa coba deh sambil putar lagu yang direkomendasikan diatas^. Bagian Sasuke yg iseng minta dijodohin sama Ayaki juga terinspirasi dari Jacob dan Renesmee Hhehe;v lucu aja sih, meski rada ga logis.
Gimana? Hutang gue dah terbayar yaa, udah full smpe end+epilog..
Hayoo ngacung sape yang mau suami modelan Sasori? Sebenernya sih.. Gue bikin cerita gini sekalian jadi manifest doa juga supaya bisa dapet laki tipe2 karakternya kek Sasori ginii heheheh*nyengir mupeng. Ayo tahlilan rame2 biar dpt jodoh kayak mas Sasori Hahaah..
Oh, ya. Untuk visualnya Ayaki gue nulis sambil nonton anime Spy x Family kemaren, jadi si Ayaki bentukannya mirip Anya Forger kalo mau dibayangi. Beberapa partnya juga ngambil dari salah satu scene di anime itu, misalnya part Ayaki pas di toko baju atau waktu Saso gendong Ayaki sambil meluk belanjaan waktu pulang—yang udah nonton pasti berasa familiar deh.
Untuk epilog ini kepanjangan ga sih:') emang kalo ide lagi gacor2nya sering banget sampe kebablasan, giliran kamaren2 mampet macam selokan tertumpuk sampah—sampe ga sadar gini aja udah 8K word lebih, padahal niatnya cuma penutup dikit doang.
Udah lama ga se-excited ini waktu nulis, rasanya seperti...bertemu cinta lama yg dirindukan #eaa *tabok aja tabok. Wkekekkk. . .
Mau cerita tipis2 nih ya, jadi part akhir yang di makam itu sebenernya udah gue tulis di note dari sejak awal fic ini di publish... Bayangan endingnya tuh udah terkonsep lho gaisss. Eh malah di tengah jalan idenya tiba2 ngilang, and then entah kesambet apa dua minggu yang lalu gue dapet pencerahan buat bukak akun ffn dan baru inget masih hutang chapter akhir untuk nih cerita. Yaudah mumpung ada feelnya gass aja, dan jadilah begini.. Semoga suka yaa sebagai salam perpisahan kitaa *muachh.
Ga nyangka beneran harus say good bye kali ini. Doain aja semoga tiba2 dapat wahyu lainnya untuk memulai cerita yg lain ya haha—meski agak ga yakin sih. Setelah mencoba bikin series gini baru nyadar, ternyata bikin cerita tuh susah coy, salut sama penulis2 hebat diluar sana. Duh, bacotnya malah jadi panjang gini ya HAHA ya gpplah namanya juga terakhir ya kan;))
Yaudah gitu aja. Dengan segenap hati sekali lagi gue ucapin terima kasih sekebon buat para reader siapapun kalian dan dimanapun berada. Semoga kalian semua sehat selalu yaa dan berhubung sebentar lagi lebaran mohon maaf lahir batin:D
See u in the next time(^.^)7 Sayonaraa~
Palembang, 06-04-24.
