Chapter 25: War? Well, I Don't Care


"Kau terlihat senang hari ini." Ron langsung berkomentar begitu Harry duduk di sampingnya, bersantai di atas kasurnya. Ia tidak bicara tanpa alasan. Harry benar-benar terlihat lebih cerah dibandingkan hari-hari sebelumnya. Dan Ron tahu alasannya. "Tidak perlu lagi memikirkan kencan yang pada akhirnya akan terlupakan, huh?"

Harry mengangkat bahunya, tidak peduli. Harry tidak mau lagi membahasnya, jadi sebaiknya ia diam saja. Namun, seolah tidak memberikan Harry waktu untuk bersantai sedikit, Hermione tiba-tiba masuk dengan terburu-buru.

Dari wajahnya saja, Hermione sudah terlihat sangat kesal. Apalagi jika ditambah dengan berbagai ocehan dan umpatan yang dikatakannya. Hermione pun langsung pergi menuju Harry, masih dengan raut kesal di wajahnya.

"He's a shit!" teriak Hermione yang tidak peduli meskipun Mrs. Weasley bisa saja mendengarnya.

Sedangkan Ron dan Harry sampai tersentak karena suara Hermione yang melengking. Mereka mengaku agak ketakukan melihat wajah marah Hermione. Jelas ada sesuatu yang tidak biasa terjadi. Sangat jarang Harry dan Ron mendengar gadis itu berkata kasar.

"Ada apa?" tanya Ron bingung.

"Cedric!" jawab Hermione segera.

Kening Harry berkerut. Apa lagi sekarang? Mereka sudah putus, kenapa Hermione membawa-bawa nama Cedric di hadapannya.

"Temanku bertanya apakah kau dan Cedric putus," jelas Hermione mulai menjelaskan alasan kemarahannya. "Tentu saja aku balas bertanya kenapa dia bisa tahu. Dan ternyata dia tahu dari media sosial Cedric." Hermione pun memperlihatkan ponselnya pada Harry dan Ron.

Kedua pemuda itu pun dengan kompak memajukan tubuh mereka untuk melihat apa yang ada di layar ponsel Hermione. Sebuah tangkapan layar yang dikirim oleh teman Hermione. Sebuah foto yang memperlihatkan story media sosial dari Cedric.

Sebuah latar hitam yang ditambahkan satu-dua kalimat yang sangat kecil. Kata-kata seperti, "Never trust an innocent-looking boyfriend. I mean EX-boyfriend." dengan musik latar yang memutar lagu patah hati.

"Dia bertingkah seperti kaulah yang menipunya." Hermione benar-benar terdengar kesal. Alisnya sampai saling merapat karena marah.

"What a jerk." Ron ikut-ikutan mengatai Cedric. Sekarang ia duet dengan Hermione untuk melemparkan beberapa sumpah serapah pada Cedric.

Namun berbeda dengan kedua sahabatnya, Harry sama sekali tidak terlihat kesal apalagi marah. Hanya ada raut khawatir di wajah Harry. Hal ini pun membuat Hermione dan Ron bingung. Seharusnya Harry sudah mengucapkan sumpah serapah untuk Cedric tapi kenapa dia hanya diam?

"Harry, kau tidak mau mengatakan apa-apa?" tanya Hermione. "Dia menjelek-jelekkanmu, Harry. Dan kau lihat saja, dia mencoba mendapatkan simpati orang lain dengan bertingkah sebagai korban dalam hubungan kalian."

"Well, he's not wrong tho," balas Harry dengan santai. "Tapi," Harry menghela napas, "dia sepertinya tidak hanya menyinggungku. Kalimat itu juga dia tujukan pada Draco."

"Draco?" Hermione tentu bingung. Bagaimana mungkin Cedric bisa tahu tentang Draco.

"Dia tidak bodoh, Hermione," jelas Harry. "Draco menghajarnya karena menjelek-jelekkan aku. Ditambah, dia bertemu dengan Draco tadi siang. Dia bisa berpikir bahwa aku berselingkuh dengan Draco. Yah, memang sih, aku tidak berkencan dengan Draco. Tapi aku tidur dengannya."

"Tapi..." Ron mencoba untuk menyangkal. Namun ia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Apa yang dikatakan Harry adalah kebenaran yang bahkan ia sendiri tidak bisa sangkal.

"Tapi tetap saja, Harry." Hermione lah yang akhirnya bicara, "Kau tidak bisa membiarkannya menyalahkanmu atas segalanya. Bukan dialah yang dikhianati di sini, tapi kau. Kau yang dari awal sudah menjadi korban, Harry."

Harry hanya menghela napas. Ia tersenyum tipis, memaksakan. "Biarkan saja dia untuk saat ini. Palingan, dia akan melupakannya baik cepat maupun lambat dan kemudian sibuk mencari orang baru."

Hermione dan Ron saling pandang. Mereka tahu jika Harry sedang lelah. Mereka tahu jika sebaiknya mereka tidak membicarakan Cedric sekarang. Karena itulah keduanya menyerah. Hanya untuk saat ini. Mereka akan membiarkan Cedric hanya untuk saat ini.

.

Harry tidak akan mengatakannya sebagai sebuah kebetulan. Pertemuannya dengan Draco di tempat dan waktu yang tidak terduga, itu semua bukan kebetulan. Harry yakin akan hal itu, karena ia lah yang membuat semua kebetulan itu terjadi.

Awalnya Harry memang tidak ada niat sama sekali untuk menemui Draco. Karena, meskipun Harry tidak mencarinya, Draco akan muncul begitu saja di depannya. Tapi tidak kali ini. Harry bahkan jarang melihat rambut pirang yang mencolok itu. Karena itulah Harry yang akan menemuinya sekarang. Mereka punya banyak hal yang harus dibicarakan.

Dan sekarang, di sini mereka. Harry yang melihat Draco sedang duduk di perpustakaan langsung menghampirinya. Harry duduk di depan Draco tanpa menyapa pemuda itu terlebih dahulu.

Harry sudah bersiap untuk membalas perkataan Draco padanya, kalau-kalau Draco menyapa dengan kata-kata mengesalkan seperti biasa. Namun, meskipun Harry sudah duduk, pemuda Malfoy itu sama sekali tidak menyadari kedatangannya. Draco hanya terpaku pada ponselnya dengan wajah yang serius. Jempolnya begitu sibuk, menandakan bahwa ia sedang chatting-an dengan seseorang.

Tak kunjung mendapat perhatian Draco, Harry pun menyerah. Ia berdeham dan menjadi yang pertama berbicara. "Urusanmu pasti sangat penting sampai-sampai keningmu berkerut begitu."

Akhirnya Draco mengangkat kepalanya. Ia terkejut mendapati Harry yang duduk di depannya. "Sejak kapan kau datang?" tanyanya bingung.

Harry menghela napas sambil memutar mata. Ternyata Draco tidak sedang berpura-pura mengabaikannya. Draco benar-benar tidak menyadari keberadaannya. Ini adalah pertama kalinya sejak Draco mengatakan bahwa ia menyukainya.

"Apa kau perlu sesuatu?" tanya Draco dengan seringai di wajahnya. Alisnya terangkat, senang mengetahui bahwa Harry lah yang pertama menemuinya. Draco kemudian memajukan tubuhnya, berbisik. "Jangan bilang kalau kau kangen padaku."

Kalau bukan sedang di perpustakaan, Harry mungkin sudah melemparkan kursi yang didudukinya pada Draco. Ingat, Harry sudah mengakui perasaannya, ia juga sudah berhenti menyangkal kebenaran bahwa ia menyukai Draco. Tapi, bukan berarti Harry akan tahan dengan sifat narsis Draco. Pada dasarnya, Draco itu memang menyebalkan terlepas dari perasaan Harry kepadanya.

"Aku hanya ingin tahu. Apa kau memang memberitahu Hermione dan Ron tentang apa yang terjadi malam itu?" tanya Harry. Pertanyaan itu tiba-tiba saja muncul di kepalanya karena Harry sendiri tidak tahu harus bicara apa.

Draco mengangguk dengan ringan. Dan anggukan ringan itu malah membuat Harry memelototinya.

"Kau ini benar-benar..." Harry mengeram, tangannya terkepal ingin memberi Draco satu tamparan di keningnya. "Bagaimana mungkin kau bisa mengakui hal yang memalukan itu pada mereka?"

"Mereka memaksaku," Draco membela diri. "Aku juga tidak mau memberitahu mereka, tapi aku tidak bisa. Temanmu itu terlalu pintar untuk berpikir jika kita tidak mungkin bisa sampai di tempat ini kalau bukan karena sesuatu yang gila terjadi."

Harry mendengus kesal mendengar perkataan Draco. Meskipun Harry juga tahu bahwa suatu hari kedua sahabatnya itu pasti akan tahu tentang apa yang terjadi, tetap saja ia kesal. "Kau benar-benar menyebalkan."

Draco tercengang. Yang dilakukannya hanyalah menjawab pertanyaan Harry dengan jujur, tapi sekarang ia malah membuat Harry kesal? "Setidaknya dengan begini mereka tahu kalau kaulah yang pertama kali datang padaku."

Harry mengambil buku di depan Draco dan memukul kepala pirang itu dengan buku tersebut. Ia puas melihat Draco yang merengek kesakitan. Namun Harry tidak membalas dengan kata-kata sangkalan. Lagi pula apa yang dikatakan oleh Draco adalah kebenaran. Harry lah yang pertama kali memberikan dirinya pada Draco, Harry lah yang meminta Draco untuk menidurinya. Betapa Harry malu setiap kali mengingat kejadian itu.

"Dan aku benar-benar beruntung karena Weasley dan Granger tidak membunuhku saat itu," kata Draco yang merinding mengingat tatapan Hermione dan Ron padanya saat mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Harry tersenyum tipis. Harry tidak akan mengatakannya, tapi ia sungguh senang saat mengetahui bahwa Draco, Ron dan Hermione kini mulai dekat.

"Apa kau tidak mau memangil mereka dengan nama depan mereka?" tanya Harry begitu tiba-tiba.

Draco mengangkat bahu. "Memangnya mereka mau memanggilku 'Draco'?"

"Mereka sudah memanggilmu 'Draco'," jawab Harry tanpa jeda.

Perkataan Harry membuat Draco cukup terkejut. Padahal ia masih yakin jika Ron masih enggan untuk memanggil namanya. "Bahkan si rambut merah?"

Harry mengangguk. "Jadi, kenapa kau tidak memulai memanggil mereka 'Hermione' dan 'Ron'?"

Sebuah seringai muncul di wajah Draco. Ia kembali memajukan tubuhnya, bicara berbisik. "Kau ingin mencoba untuk membuat kami berteman, kan?"

"Eh?"

"Jika kami berteman, maksudku, jika mereka sudah menganggapku teman, maka akan mudah bagi kita untuk berkencan."

"What? N-no!" Harry langsung menyangkal. Sayangnya, kegugupannya secara tidak langsung membenarkan perkataan Draco. Jujur saja, Harry tidak menyadari hal itu sebelumnya. Tapi saat Draco mengatakannya, barulah Harry sadar memang itulah yang ia inginkan.

Draco terkekeh pelan. Betapa ia suka melihat wajah Harry yang tersipu. Namun sebelum Draco mulai kembali menggoda Harry, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk, dan Draco segera membacanya.

Wajah Draco tiba-tiba terlihat cerah. Ia bahkan terlihat bersemangat seolah baru saja memenangkan lotre. Tanpa menjelaskan apa-apa, Draco mengucapkan sepatah dua kata untuk pamit pada Harry. Mengemas semua barangnya, Draco pun keluar dengan terburu-buru sambil mendekatkan ponselnya ke telinga, menelepon seseorang.

Ditinggal tiba-tiba seperti ini membuat Harry bingung. Ia bahkan tidak sempat bertanya ke mana Draco akan pergi dan dia sudah menghilang begitu saja. Menghela napasnya, Harry hanya bisa duduk di tempatnya, menenangkan jantungnya yang berdebar tidak karuan.

.

.

TBC

.

.

.