PROLOG
Tergantung di atas tebing itulah yang sedang terjadi saat ini. Hidupku hanya bergantung pada cengkeraman ayahku yang kuat namun juga licin di pergelangan tanganku. Kedalaman jurang yang tak terduga seakan mengejek kerentananku. Suara senyapnya seperti lagu sirene yang menakutkan, memikatku ke dalam pelukan kehampaan.
Dia berbaring tengkurap di atas tebing berbatu. Otot-ototnya tegang dan menegang. Darah membasahi wajah, lengan, pakaiannya - semuanya terlihat. Namun, aku tahu dia memiliki kekuatan untuk mengangkatku. Aku meredam naluri untuk menggeliat dan menendang, menaruh kepercayaan pada kekuatannya untuk menarikku kembali dari tepi jurang.
Mengintip dari balik bahuku, dia menatap ke dalam kegelapan. "Beranilah," bisiknya, ia menanamkan satu kata yang mengandung rasa putus asa dan harapan sebelum melepaskanku.
Di tengah gemerlap Kota Fontaine, tersimpan bangunan bernama Benteng Meropide. Bukan di darat, melainkan di genggaman lautan yang dalam, di tempat dimana sinar matahari tidak dapat menjangkau dan harapan sering terlupakan. Penjara bawah air yang tangguh, dengan dinding yang tak bisa ditembus dan kesunyian yang tak pernah termaafkan, berdiri gagah sebagai lambang keadilan Fontaine yang tak kenal lelah. Benteng ini, seperti leviathan yang terbuat dari lapisan batu dan besi, menjadi rumah bagi mereka yang sudah terlalu jauh melanggar aturan masyarakat. Setiap lantai semakin turun ke dalam, sampai ke Celah Erosi di dasarnya—tempat dimana yang terbuang dikabarkan hilang dari waktu dan jati diri.
"Kamu tahu, aku selalu bilang untuk berpikir sebelum bertindak," Ujar seorang pria dengan aura misteri dan wibawa yang keluar dari posturnya yang memukau. Badannya tegap, menarik semua pandangan, sementara rambut hitamnya yang diselipi warna abu menambah kesan membedakan.
"Untuk melanjutkan permainan ini, Naruto, kamu harus memindahkan benteng itu."
Aku memalingkan pandangan dari sinar bulan yang menyelinap lewat jendela berjeruji di ruang penjagaan. Aku menatap lawan mainku, menyembunyikan bayang bayang kenangan pahit dengan tatapan kesal, sebelum kembali fokus pada pion-pion catur di antara kami. Pion-pion itu berkilauan samar di bawah cahaya lentera yang redup, cahaya yang hampir tak memberi penerangan lebih baik dari lampu jalanan di luar. Dengan senyum tipis, aku meraih dan memindahkan pionku, mempertimbangkan setiap kemungkinan dengan hati-hati. Ketika pion itu menetap di tempat baru, mata pria didepanku menyipit, ada semburat kekaguman di wajahnya yang berkerut.
"Akhirnya, ada kemajuan," gumamnya, suaranya kasar tapi ada semacam kegembiraan di dalamnya.
"Tapi jangan terlalu senang. Permainan ini masih jauh dari kata selesai."
Aku mengangguk, penasaran dengan jalannya permainan. Setiap gerakan menambah ketegangan, membuatku sadar bahwa setiap keputusan bisa membawa kejalan kemenangan atau kehancuran.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Wriothesley dengan alisnya yang tebal bergerak-gerak.
Suaranya penuh perhatian.
"Aku baik-baik saja," jawabku.
"Hanya sebuah pikiran tentang Visionsurper yang masih belum bisa membuat aku tenang." Ujarku datar, matanya yang abu-abu pudar itu mulai berkerut. Aku mengerti mengapa dia bertanya.
Aku mengesampingkan kekhawatirannya dan kembali memperhatikan papan catur, mencari pola baru yang mungkin terbentuk. Pengalihan, pikirku, dan aku memilih untuk mengabaikannya. Dengan gerakan cepat dan pasti, aku memindahkan bidak-bidakku, satu demi satu, mengunci kemenangan. Wriothesley sering berbangga dengan terus mengatakan bahwa ia pernah mengalahkan Magnus Carlsen, tapi melawanku, dia tak pernah punya kesempatan. Bahkan sebelum Harbinger—atau Aincard —atau biasa dikenal sebagai Penguasa Dunia yang saat ini sedang menguasai dunia ini, catur sudah dianggap sebagai permainan sempurna untuk mengasah strategi. Ayahku memastikan aku mengenal permainan ini sejak kecil, bahkan seringkali membuatku melawan pemain terbaik dari yang terbaik.
Wriothesley mengerutkan kening, pandangannya bergeser dari papan kepadaku, lalu kembali lagi.
"Aku kehilangan fokus. Kamu terlalu lama berpikir. Itu sama saja curang," keluhnya, suara penuh kekecewaan saat dia mengakui kekalahannya.
"Kamu tahu, aku pernah mengalahkan Magnus Car—," dan ya dia mengatakannya lagi, tapi keluhannya terpotong oleh ketukan keras di pintu batu. Kami berdua berdiri, meninggalkan permainan. Sebenarnya ini masih beberapa jam lagi sebelum giliran kami tiba.
"Siapa disana?" Wriothesley berseru dengan tajam.
Saat aku melangkah ke jendela. Dari balik jeruji besi, seorang pria berpakaian rapi terlihat. Tinggi dan berbahu lebar, aku perkirakan usianya sekitar tiga puluhan. Cahaya bulan menyorot kulit kepalanya yang gelap dan dicukur rapat.
"Baraqiel, aku Scepter," jawabnya, pelan.
"Aku memiliki segel akses." Menyadari pengamatanku terhadapnya, Baraqiel melihat ke arah jendela. Jenggotnya hitam, dipangkas pendek, dan mata cokelat gelapnya yang serius memberikan intensitas. Sambil membungkuk, dia menekan apa yang tampak seperti dokumen resmi Harbringer ke kaca.
"Kami tidak diberitahu tentang kedatanganmu sebelumnya," Wriothesley mengkerut.
"Ini sangat mendesak."
"Bukan begitu prosedurnya."
"Ini benar-benar mendesak, Sentries." Tidak ada perubahan ekspresi, tapi penekanan tidak sabar pada Class yang dimiiliki Wriothesley.
Wriothesley menyipitkan mata ke arah pintu, lalu berjalan ke celah tipis yang ada di Dinding samping, mengetuk kunci Vision-nya dengan bunyi 'klik' yang jengkel dan tajam. Lubang di sisi kami tertutup rapat. Di luar, Baraqiel melihat lubang baru yang berada di depannya, kemudian meletakan semacam kertas dokumentasi. Aku memperhatikan dengan seksama untuk memastikan dia tidak menambahkan hal lain.
Wriothesley menunggu anggukan persetujuanku, lalu membuka penutup pintu di sisi kami untuk mengambil halaman izin Baraqiel. Mulutnya mengerucut saat menyerahkan kertas-kertas itu padaku.
"Surat Izin," ujarnya singkat.
Aku memeriksa surat izin itu dengan seksama. Wriothesley tahu betul akan tugasnya, tapi di sini, di Benteng Meropide, ada baiknya memverifikasi segala sesuatu dua kali. Benar saja, surat izin tersebut memiliki otorisasi penuh untuk masuk, lengkap dengan tanda tangan dan stempel resmi dari Harbringer. Jelas, Baraqiel adalah orang yang punya pengaruh besar, lebih dari sekadar pangkatnya: dia adalah agen khusus, yang ditugaskan secara pribadi oleh IPC untuk menyelidiki ketidakberesan dalam catatan sensus tahun lalu. Kerja sama antara tiga faksi Harbringer—atau bisa dibilang orang yang menugaskan Baraqiel untuk mengawasi secara langsung dan The Favonious yang mengelola penjara Aincard—memberikan akses kepada Baraqiel untuk mengintograsi salah satu tahanan di Benteng Meropide.
"Aku setuju bahwa dokumen ini valid," kataku, memahami ketidaksenangan dari Wriothesley.
Dokumen ini memberikan akses kepada pengunjung kami ke tingkat paling bawah, atau bisa dibilang membangunkan pria dan wanita yang dipenjara di tengah-tengah masa hukuman. Wriothesley mengambil kembali halaman yang bertuliskan segel Harbringer dariku dan memasukkannya ke dalam celah pelepas tipis di pintu luar. Segel itu memutus sirkuit keamanan seefektif kunci Wriothesley, dan pintu batu itu bergeser terbuka dengan mulus, memungkinkan hembusan udara malam Fontaine yang dingin menyelinap masuk melalui celahnya, menampakkan wujud Baraqiel yang mengesankan.
Baraqiel melepas jubah birunya yang elegan dan dengan santai melemparkannya ke kursi terdekat, memberikan senyum ramah. Wriothesley, yang tidak terbiasa dengan orang lain yang mengambil kebebasan di ruangannya, menahan cemberut saat dia mematahkan halaman izin Baraqiel dengan lebih kuat dari yang diperlukan, melepaskan Vision dan membiarkan pintu itu meluncur menutup kembali.
Pria di hadapanku berusaha keras untuk terlihat santai, dan aku mengerahkan seluruh upaya untuk mempertahankan wajah netral, meskipun mungkin tidak signifikan. Pengalamanku selama tiga tahun lebih telah mengasah kemampuanku untuk mengenali kepura-puraan. Pria bernama Baraqiel ini menyembunyikan kegelisahannya.
"Terima kasih," gumam Baraqiel, matanya sejenak memperhatikanku—mengamati penampilanku yang terlihat muda dan kemudian menganggapku tidak penting, perhatiannya beralih kembali ke Wriothesley.
"Ini di luar tugasku, tapi aku membutuhkan detail tentang seseorang. Seorang pria bernama Tobio Ikuse."
Dengan anggukan, Wriothesley meraih buku catatan penjara yang bertengger di rak pojok, membukanya dengan gerakan yang sudah dilatih. Jarinya menelusuri halaman demi halaman.
"Tobio, Tobio… Ah, itu dia. Blok bawah tanah, sel timur nomor lima puluh satu. Naruto, kamu tetap di sini."
Dia meraih kunci dari pengaitnya dan bergerak menuju pintu bagian dalam penjara, yang dikunci dengan sederhana. Namun, pada langkah keempatnya, dia hamper terjatuh. Saat dia menstabilkan diri, pandangannya sejenak tertuju padaku, penuh kebingungan. Momen itu cepat berlalu, tapi aku mengerti artinya.
"Maafkan aku. Sepertinya aku lupa dengan masalah lututmu," kataku cepat, bergerak untuk mengambil kunci sebelum dia bisa bereaksi.
"Ini akan lebih cepat jika aku yang menemani Baraqiel-san." Tatapan Wriothesley tajam, tapi ada rasa terima kasih yang tidak diucapkan. Dia sadar akan kecerobohannya, meski identitas Baraqiel mungkin masih luput darinya.
"Lututku memang perlu istirahat," candanya.
"Keberatan?"
"Tidak masalah," Baraqiel melambaikan tangan padaku dengan tidak sabar. Sepertinya dia tidak menyadari ada yang salah.
Kami memasuki penjara dan aku mengunci pintu lagi di belakang kami, menyembunyikan sosok Wriothesley yang tampak cemas. Sebuah lentera dengan lilin yang telah dinyalakan di awal shift kami, kini hampir habis, masih menyala di dinding. Aku melepaskan lentera itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi, menerangi tangga sempit yang menuju ke bawah. Batu yang dipotong rapi itu berkilau basah.
"Hati-hati, di sini licin," aku memperingatkan Baraqiel.
Aku berjalan di depan, dengan cahaya lentera yang redup menyatu di sekitar kami saat kami menuruni tangga.
Punggungku terasa gatal. Aku tak bisa menghapus rasa penasaran yang mempengaruhi pikaranku sejak melihat Baraqiel. Tapi dokumennya—atau setidaknya, segel yang ditempelkan pada kertas izin—benar-benar ditandatangani langsung oleh Harbringer, sangat mustahil untuk dipalsukan. Dan aku tahu itu. Jadi, aku hanya diam dan berharap bahwa kegelisahannya, dan Upaya yang disembunyikannya, bukan berasal dari sesuatu yang tidak diinginkan. Lebih penting lagi, aku harus berharap bahwa apa pun tujuannya di sini, bukan untuk mengulik identitasku.
Kami telah sampai di ujung tangga. Senterku menerangi koridor yang lembab dan membentang ke kiri dan ke kanan. Ada suara dengungan samar yang nyaris tak terdengar. Meskipun aku sudah berada di sini selama lebih dari satu tahun, aku masih merasa tidak nyaman. Baraqiel batuk di belakangku dan bertanya,
"Bau apa itu?"
"Para tahanan," jawabku.
Aku tidak terlalu memperhatikan bau keringat dan air seni lagi. Tidak terlalu buruk untuk tingkat ini.
"Mengapa kalian tidak menjaga mereka agar tetap bersih?" Baraqiel terdengar marah.
"Kami melakukannya. Kami membersihkan tempat ini dua kali sehari, semampu kami. Tapi mereka benar-benar tidak bisa mengendalikan diri." Aku berusaha menjaga suara tetap tenang, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengatakan,
"Regulasi resmi Aincard mengatakan kami hanya harus membersihkan dua kali seminggu." Baraqiel tidak membalas.
Kami berbelok di beberapa tikungan dan menuruni satu set tangga lagi ke tingkat yang lebih rendah. Di sinilah tempat dimana Bentang Meropide menahan para tahanan yang telah berada di sini selama lebih dari dua tahun, seperti pembunuh atau orang-orang yang bekerja dengan Night Raid. Namun entah mengapa akhir-akhir ini, sepertinya Favonius mengirim lebih banyak orang ke sini.
"Kamu sepertinya tahu jalan di sekitar sini," kata Baraqiel, suaranya menggema di dinding meskipun dia berusaha untuk diam.
Aku tidak benar-benar ingin berbicara, tapi Aku juga tidak ingin bersikap tidak sopan.
"Aku harus datang ke sini setiap beberapa malam, itu bagian dari tugasku."
"Jadi kau dan dia bergantian mengawasi para tahanan?"
"Ya," jawab Aku.
"Meskipun lututnya sakit." Aku mengangkat bahu, berusaha untuk tidak menunjukkan bahwa aku khawatir Baraqiel terus menanyakan hal ini.
"Memang sakit, tapi aku sangat yakin dia bisa mengatasinya. Dia melakukan pekerjaannya dengan sangat serius."
"Aku yakin dia bisa," kata Baraqiel berjalan di sampingku sekarang, dengan tangga yang lebih lebar dari sebelumnya.
Dia lebih tinggi dariku satu kepala. Aku melihat dia melirik ke arahku, sepertinya aku terlalu menarik perhatiannya. Kebalikan dari apa yang ingin Aku inginkan. Lorong-lorong Benteng Meropide yang sunyi, suara langkah kami bergema seperti bisikan hantu.
"Namamu?" tanya Baraqiel, suaranya teredam oleh kegelapan.
"Naruto," jawabku singkat, suara berat dengan beban yang tak terlihat.
"Dan sudah berapa lama kamu membantunya di sini?" Dia bertanya lagi, seolah mencari celah dalam ceritaku.
"Beberapa tahun," kataku, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara, penuh dengan kebenaran yang tidak terucap.
"Kau tahu kamu terlalu muda untuk pekerjaan ini," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada padaku.
"Aku dari House of the Hearth," ujarku, menyebutkan faksi yang dikenal dengan pengaruhnya yang luas, penjaga tradisi dan kepercayaan. Mereka jugalah yang menjaga rahasia kuno.
Baraqiel mengangguk, seolah-olah memasang potongan-potongan puzzle dalam benaknya. Aku, seorang yatim piatu yang ditemukan dan harus bergabung ke panti asuhan yang langsung dikelola oleh House of the Hearth, salah satu dari tiga faksi besar di Aincard, yang mengelola panti asuhan dan memberikan perlindungan bagi anak-anak yang terbuang.
Kami sampai di ujung tangga, di mana dua lorong gelap bercabang ke kanan, dan satu lagi lurus ke depan. Aku memilih lorong timur, langkahku mantap meski hatiku berdebar.
"Kita hampir sampai," kataku, mencoba menenangkan diri sendiri sebanyak menenangkan Baraqiel.
Bau yang menyengat menyambut kami saat kami melangkah lebih dalam, dan Baraqiel menutup hidung dan mulutnya dengan kain. Aku ingat betapa aku hampir muntah saat pertama kali datang ke sini. Sekarang, meskipun aku sudah terbiasa, mataku masih berair saat senterku menyorot nomor sel yang terukir di pintu. Baraqiel berhenti, terpaku, dan hanya bisa berdiri di sana, terkejut oleh apa yang dia lihat.
"Belum pernah melihat Visionsurper, ya?" kataku, suaraku datar, tapi mataku tak bisa menahan rasa ingin tahu saat aku menangkap reaksi Baraqiel.
Sel-sel di Benteng Meropide terbuka ke udara, dinding batu besar mengelilinginya tanpa pintu atau penghalang, memperlihatkan isi dalamnya dengan jelas. Setiap sel tak lebih dari enam kaki lebar dan dangkal. Di dalamnya, setiap tahanan terikat pada Visionsurper yang mencekam.
Baraqiel berdiri diam di sampingku, wajahnya tak memberi petunjuk apakah dia terganggu oleh pemandangan di sekitar kami. Ada sesuatu yang tak beres tentangnya, tentang kehadirannya di sini, yang membuatku ingin memperhatikannya lebih dekat. Namun, keinginanku untuk tidak menunjukkan kecurigaanku lebih kuat. Apapun identitas sejatinya, jika dia menyadari bahwa aku mencurigainya, itu hanya akan menarik lebih banyak perhatian.
"Sel Timur nomor lima puluh satu," ujarku.
Senterku yang berkedip-kedip menyoroti angka besar yang terukir di dinding batu hitam. Tobio Ikuse, nama itu baru saja bergabung dengan penjara ini kurang dari sebulan yang lalu, tidak seperti tahanan lainnya, dia dipindahkan dari fasilitas Visionsurper lain. Dia kurus, pipinya cekung, rambut hitam keritingnya menambah kesan muda. Sulit memperkirakan usia para tahanan, tapi yang ini, aku yakin, tak lebih dari dua puluh tahun.
Ketika aku mengumumkan kehadiran kami, tidak ada jawaban yang terdengar. Aku menoleh ke Baraqiel dan melihatnya tengah memandang Tobio dengan ekspresi yang sulit kuduga—sebuah kerutan halus di bibirnya. Pria yang terikat pada Visionsurper itu membalas pandangan dengan mata yang berkaca-kaca, tanpa sedikit pun pengakuan atau respons terhadap cahaya atau kehadiran kami.
"Aku harus berbicara dengan dia," ujar Baraqiel, suaranya hampir tidak terdengar saat dia melangkah maju.
"Berhenti!" Seruanku terdengar panik, dan aku segera mengangkat tangan sebagai isyarat penyesalan ketika Baraqiel menghentikan langkahnya.
"Maaf, Scepter, Aku tidak bermaksud untuk tidak sopan. Tapi, mendekat kesitu sangat berbahaya. Manusia membutuhkan waktu berhari-hari untuk menyesuaikan diri terhadap seorang tahanan dengan Visionsurper. Menyentuhnya… itu bisa berakibat fatal. Dan itu akan menjadi tanggung jawabku." Visionsurper dapat menyerap Vision bahkan jika tidak dilakukan sesuai dengan prosedur yang tepat bisa mengakibatkan kematian.
Baraqiel mengangguk, memahami peringatan itu dan tidak melanjutkan langkahnya.
"Tapi kamu bisa mematikannya, bukan?" tanyanya, suaranya penuh harap.
"Aku bisa menariknya ke atas. Untuk memutuskan sambungannya," kataku dengan suara yang berat, mempertimbangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Tapi ini tidak akan mudah, terutama untuknya."
Baraqiel mengelus kepalanya, keraguan tergambar jelas di wajahnya. Namun, ketika matanya bertemu denganku, ada tekad yang tak terbantahkan di dalamnya.
"Aku di sini untuk mendapatkan sebuah jawaban. Lakukanlah apa yang bisa dilakukan," katanya dengan tegas.
Dengan langkah hati-hati, aku mengelilingi tempat tidur batu putih di sel nomor lima puluh satu. Aku telah terhindar dari efek Visionsurper selama ini, meski kebanyakan orang dsini mulai merasakannya hanya dalam beberapa bulan. Tiga tahun bekerja di sini, dan aku masih berhati-hati untuk tidak menyentuh apapun. Alat ini dirancang untuk merenggut Vision seseorang seketika mereka menyentuhnya—tidak seperti Harbringer yang hanya mengambil sebagian. Alat ini mengambil semuanya: Vision, konsentrasi, seluruh energi seseorang, dan mengirimkannya ke Penjaga yang berjaga disini. Bagiku, mati akan lebih baik daripada nasib seperti itu. Dan aku tahu, banyak tahanan di sini yang merasakan hal yang sama.
Aku melangkah ke belakang sel, berjongkok, dan menggeser lentera di lantai sampai roda berduri terlihat. Aku mulai memutarnya, merasakan ketegangan di lengan. Di atas, rantai-rantai itu berderak dan mengencang. Pria yang terikat pada Visionsurper itu runtuh di pinggang, terangkat dengan canggung dari lempengan batu putih, tubuhnya berayun pelan. Beberapa putaran lagi, dan dia tergantung beberapa inci di atas lempengan, dan aku mengamankan roda itu.
Berdiri di sana membuatku tak bisa mengalihkan pandanganku dari sosok yang kini tergantung lemah di hadapanku. Pengalaman melihat tahanan dibebaskan adalah hal yang jarang; biasanya, itu adalah tugas penjaga lain di akhir masa hukuman, dan jarang ada alasan lain untuk membangunkan seseorang dari pengaruh Visionsurper.
Di pintu masuk sel, Baraqiel merapikan jas IPC-nya yang masih baru, lambang piramida berwarna biru tua terpampang gagah di dadanya. Seragam itu tampak belum pernah tersentuh oleh debu. Tanpa sepatah kata pun, dia mendekati Visionsurper, memasuki pandangan Tobio yang terikat. Dia membungkuk, menatap langsung ke mata tahanan itu.
"Tobio. Bisakah kau mendengarku? Aku Baraqiel."
"Aku bisa mendengarnya sedikit," sahut Tobio, suaranya serak, mengingatkan pada gesekan paku di batu.
"Berapa lama?" matanya menyapu dinding, seakan mencari jawaban yang terukir di batu.
"Lima tahun," jawab Baraqiel, suaranya mantap.
Tobio menatapnya lagi, matanya tajam, mencari-cari sesuatu di wajah Baraqiel. "Apakah kau datang untuk membebaskanku?"
"Itu harapanku, tapi aku membutuhkan informasi dulu," kata Baraqiel, matanya tidak berpaling dari Tobio yang mulai gelisah. Dia meraih ke depan, menenangkan rantai yang bergetar.
"Aku tahu kau tak bersalah. Aku perlu tahu mengapa kau di sini," tegasnya.
"Mungkin," gumam Tobio, kepalanya terkulai, matanya yang lelah menatap Baraqiel.
Dia menjilat bibirnya yang kering dan mengangguk perlahan, sebuah isyarat pengertian. Mereka sepertinya kenal satu sama lain. Detak jantungku berpacu. Apakah Baraqiel di sini untuk membebaskan Tobio? Aku tak bisa membiarkan itu terjadi; itu akan menjadi akhir bagiku. Namun, aku masih tak berdaya. Dia belum melakukan kesalahan. Surat izin yang dia berikan adalah surat izin resmi dari Harbringer. Aku hanya bisa diam dan menunggu.
"Coba ingat sesuatu tentang Azazel, apapun yang dikatakan olehnya sebelum kejadian itu terjadi" bisik Baraqiel, suaranya hampir tidak terdengar.
Baraqiel menghentikan langkahnya, dan meski aku tak bisa melihat wajahnya dari posisiku, ada kepastian yang tak terucap bahwa dia tengah berat hati.
"Sudah terlalu lama," gumam Tobio dengan tawa yang lebih mirip desah.
"Dia mengirim pesan sebelum semuanya runtuh. Nama-nama yang tak kukenal. Slumbering Court. Midsummer Courtyard. Dia bicara tentang sebuah Domain, sebuah kekuatan kuno yang terlupakan sejak zaman dahulu kala. Kau paham, kan?"
Keheningan menyelimuti kami, hanya dipecahkan oleh suara dentingan halus.
"Aku harus bebas untuk memberitahumu lebih," lanjut Tobio, suaranya tegas.
Aku menutup mata, mengutuk dalam hati sebelum memaksa diri untuk tetap tenang, mengetuk lantai dengan sepatu botku dan melangkah kembali ke dalam pandangan, seolah-olah tak ada yang terjadi. Sebuah pengingat bagi Baraqiel bahwa aku masih di sini.
Aku merasa dia bukan tipe yang akan melarikan diri, tapi aku tak ingin memberinya kesempatan untuk berubah pikiran. Baraqiel menangkap gerakanku, matanya bertemu dengan tatapanku yang penuh pertanyaan. Anggukannya singkat, memberi tahu bahwa dia tak berniat menunda lebih lama. Aku menyembunyikan rasa lega yang muncul.
"Aku akan melakukan apa pun yang bisa aku lakukan." Baraqiel mengalihkan perhatian Tobio dariku.
"Tapi kamu adalah temannya. Tolong. Jika kamu tahu…"
Tobio menatap balik dengan tatapan kosong. Ini adalah kesempatan terakhirnya. Baraqiel menunjukkan kekecewaannya saat ia berdiri tegak dan mundur selangkah.
"Tolong." Tobio memohon.
"Tolong. Jangan kembalikan aku. Kamu tidak tahu rasanya." Kata-katanya adalah penderitaan murni. Kepalanya bergerak-gerak, cukup untuk memasukkan aku dalam pandangannya.
"Kamu. Kamu lebih baik daripada yang lain. Aku tahu- Aku tahu, karena berada di atas batu ini bukan seperti tidur. Ini lebih buruk. Kamu hampir tertidur. Sepanjang waktu. Tapi cukup sadar untuk menyadari bahwa ada sesuatu yang terjadi. Kamu tahu pikiranmu seharusnya bergerak lebih cepat. Kamu tahu dunia berlalu di depanmu." Sekarang ada air mata. Keputusasaan. Dia terisak.
"Lima tahun. Lima tahun. Lihat aku! Aku bahkan tidak—"
Tobio memperhatikan pertukaran singkat kami, napasnya memburu. Rantai yang mengikatnya mulai bergetar lagi, dan ketakutannya bergema dalam keheningan yang menyesakkan.
"Tobio." Baraqiel berusaha menenangkan pria itu.
Kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya, takut rahasia yang dia simpan terancam. Dia melangkah setengah langkah mendekat. Tiba-tiba Tobio bergerak, dengan kecepatan yang tak seharusnya dimiliki oleh seseorang dalam kondisinya. Dia menggeliat, mengaum, memutar tubuhnya dengan keputusasaan, memberikan kekuatan pada anggota tubuhnya yang kurus. Suara logam beradu menggema tajam. Dia menggunakan momentum tubuhnya yang berayun untuk memutar dan melompat, mencengkeram tubuh Baraqiel.
"Hiraishin." Dalam sekejap, gelombang energi mengalir melaluiku, aku bergerak cepat bagai kilat kuning, menabrak lengan Tobio dengan keras, mencegah dirinya dan Baraqiel terjerat pada alat itu. Cengkeraman Tobio terlepas. Besi yang berada ditangannya menggores bahuku hingga keseimbanganku terganggu.
'buagh'
Aku terjatuh ke belakang, rantai melilit tubuhku, permukaan licin Visionsurper menempel di tanganku. Sensasi dingin dan menusuk merayap di telapak tanganku, asam dan terbakar, tajam dan basah. Ketakutan menggelinding dalam diriku. Aku mendorong diriku menjauh, melepaskan diri dari kusutnya rantai logam dan menendang dengan putus asa tuas yang mengunci winch. Roda tanpa pinggiran itu berputar gila saat aku merangkak mundur, menjauh dari jangkauan Tobio yang mungkin bisa menangkapku lagi. Suara gemerincing rantai terurai, dan kemudian hanya terdengar napas berat.
Baraqiel bersandar lemas di dinding sel, matanya tertuju pada sosok Tobio yang tak bergerak, seolah-olah mengantisipasi ledakan kekerasan mendadak. Namun Tobio tetap diam, pandangannya kosong, bertemu denganku dengan tuduhan yang tak terucap.
"Kamu baik-baik saja?" tanyaku dengan suara yang hampir tak stabil, merasakan bekas luka di punggungku menegang karena kecemasan.
Aku telah menyentuh Visionsurper, kulitku bersentuhan dengan alat terkutuk itu. Sekilas pandang ke tanganku memastikan tak ada luka, hanya rasa lebam yang tersisa.
"Ya," jawab Baraqiel.
Perhatiannya kembali ke Tobio, lalu padaku, ekspresinya penuh pertanyaan.
"Jangan khawatir aku tidak terluka," aku meyakinkannya, berharap dia tidak menyaksikan momen bahayaku.
"Aku hampir jatuh ke atas Visionsurper itu." Aku tak bisa menyembunyikan gemetar di suaraku; ketakutanku nyata.
"Tapi kamu tidak jatuh?" Aku memaksakan tawa, mencoba meringankan suasana.
"Apakah jika aku jatuh kita akan bisa kembali berbicara?" Baraqiel mendekat, memberiku tepukan penghibur di bahu.
"Memang benar. Kamu telah melakukan dengan baik, Naruto. Sangat baik. Baguslah kamu ada di sini." Pujian dari seorang Scepter adalah penghargaan yang berarti, orang lain mungkin akan merasa bangga tapi tidak denganku.
Aku mulai mengatur ulang ikatannya, lalu dengan hati-hati menyesuaikan posisi Tobio di atas Visionsurper menggunakan rantai yang hampir kencang, memastikan dia berbaring se-nyaman mungkin lagi. Aku tidak menyalahkannya atas tindakannya. Itu selalu menjadi tanggung jawab mereka yang memasukkannya ke sini. Nyala lilin dalam lentera semakin redup saat kami melakukan perjalanan kembali. Di dasar tangga kedua, aku menyalakan lilin lain dari rak terdekat dan menyerahkannya kepada Baraqiel.
"Aku harus mengambil beberapa barang dari gudang selagi aku di sini." Itu benar, tapi yang lebih penting, aku membutuhkan waktu sendiri, untuk memeriksa tanganku dengan benar, untuk melepaskan ketegangan mengerikan yang mengancam.
"Ruang penjaga ada di depan. Cukup ketuk. Wriothesley akan membiarkanmu masuk." Bukan protokol yang biasa, tapi Wriothesley tidak akan peduli. Baraqiel berhenti saat ia mulai menaiki tangga, berbalik.
"Naruto. Mungkin lebih baik tidak mengatakan apa-apa tentang apa yang baru saja terjadi." Suaranya mendadak terdengar di tengah keheningan.
"Aku tidak ingin kamu mendapat masalah dengan Wriothesley."
"Tentu saja, Scepter. Terima kasih." Sebuah perlakuan khusus? Aku tidak bisa memastikan.
Memang benar bahwa aku akan disalahkan atas insiden itu, tidak peduli apa yang dikatakan. Tapi sepertinya tidak satu pun dari kami yang ingin mendapat perhatian. Itu sesuai dengan yang aku harapkan. Mata tajamnya memperhatikanku. Lalu dia menggali saku dan melemparkan sesuatu yang berkilau kepadaku; aku menangkapnya dengan baik, terkejut menemukan satu kantong mora. Nilainya lebih dari yang akan aku dapatkan dari shift kerjaku malam ini.
"Itu untuk masalah yang terjadi, bagaimanapun juga gerakanmu tadi bagus." Dia menyebutkan tentang Hiraishin yang tadi aku gunakan sebelumnya.
Dia melanjutkan langkahnya. Cahaya lilinnya mulai menjauh. Hanya ketika gema langkah sepatunya benar-benar hilang, aku memasukkan mora kedalam saku dan membiarkan tanganku gemetar. Meletakkan lenteraku di rak, aku merentangkan jari-jariku, telapak tangan menghadap ke atas, memeriksa setiap garis di cahaya redup. Kulitku sedikit merah, tapi aku tidak melihat ada luka parah. Aku menggulung lengan bajuku, hanya untuk memastikan, tapi tidak ada yang salah dengan lenganku juga. Dan sensasi tidak nyaman di dalamnya telah hilang sepenuhnya.
Aku baik-baik saja. Aku menghela napas dengan gemetar dan terduduk di lantai, bersandar di dinding, memberi diriku waktu sebentar untuk membiarkan ketakutan itu meninggalkanku. Aku sering bertanya-tanya apakah aku bisa bertahan menghadapi Visionsurper. Aku tidak pernah menyerahkan dan tidak pernah membiarkan Vision-ku diambil di Highbury Arena—salah satu pilar-pilar kuno yang tersebar di seluruh Aincard, terletak di Camelot, ibu kota Aincard. Hampir semua anak dibawa ke pilar-pilar kuno ketika mereka berusia dua belas tahun, setelah itu mereka bisa menyerahkan Vision mereka kepada siapa saja, kapan saja, tanpa membutuhkan kehadiran artefak yang besar. Teori terbaikku adalah menolak untuk menjalani ritual itulah yang membuatku tetap tidak terpengaruh selama ini. Sekarang, saat lilinku berkedip-kedip, mengancam akan meninggalkanku dalam kegelapan—aku bergegas ke gudang. Di sana, aku mengumpulkan persediaan dan alat-alat pemeliharaan, memikul beban kembali ke dunia atas. Saat aku mendekati ruang penjaga, sambutan paduan suara suara yang tak terduga menyambutku, menyelinap melalui celah-celah seperti bisikan nakal yang ingin mengkhianati rahasia yang tidak dimaksudkan untuk telingaku.
"… Lagipula tidak ada salahnya untuk mencari tahu sedikit." Baraqiel masih di sini, ini kesempatanku untuk mencari tahu informasi sebanyak mungkin.
Ada suara-suara kertas terdengar.
"Tiga tahun dan tujuh bulan lagi," ujar Wriothesley.
"Ada yang lain, Scepter?" Bukan bermaksud mengusir secara kasar, tapi jelas menunjukkan bahwa Baraqiel dipersilakan untuk pergi.
Ada keheningan, dan aku berharap bisa melihat ekspresi Baraqiel.
"Asisten mudamu tampaknya sangat tahu apa yang harus dilakukan." Santai. Seperti sedang berbincang. Hatiku masih berdesir.
"Tentu saja. Dia sudah di sini cukup lama."
"Berapa lama?"
"Tiga tahun," jawab Wriothesley dengan samar.
Aku hampir bisa mendengar bahunya mengangkat.
"Kamu kenal dia dengan baik?"
"Dia pendiam. Agak penyendiri, sebenarnya. Tidak suka berbicara tentang dirinya sendiri terlebih masa lalunya. Kenapa?"
Tidak ada kecurigaan, hanya rasa ingin tahu.
"Dia membuatku terkesan. Aku bertanya-tanya apakah dia benar-benar harus ditempatkan di sini." Wriothesley tertawa.
"Oh, tidak diragukan lagi. Anak itu bermain catur seperti iblis, dia benar-benar berbakat—seorang jenius."
Aku khawatir dengan pujian tinggi Wriothesley. Itu bisa menarik perhatian yang tidak diinginkan kepadaku. Aku mempertimbangkan apakah harus menginterupsi sebelum Wriothesley berkata terlalu banyak. Dia pikir dia membantu dengan memujiku kepada Baraqiel, ia tidak menyadari itu bisa berbahaya bagiku. Tapi jika Baraqiel mencari informasi, menginterupsi tidak akan mengubah apa pun. Lebih baik menunggu dan melihat apa yang dia cari.
"Hm." Baraqiel, untungnya, tidak terdengar sekesan seperti yang aku pikirkan.
"Baiklah, jika aku menemukan pekerjaan yang sesuai dengan usianya di Fontaine, aku akan membawanya," katanya, terdengar seperti hanya basa-basi. Aku menghela napas yang tidak kusadari aku tahan.
Suara sepatu menggesek lantai terdengar selanjutnya, dan kemudian pintu bergetar saat seseorang membuka pintu luar, membiarkan angin masuk.
"Terima kasih, Sentries," suara Baraqiel kini terdengar jauh.
"Tidak masalah, Scepter," jawab Wriothesley dengan formal.
Getaran pintu berhenti. Aku menunggu beberapa menit sebelum mengetuk dan masuk. Wriothesley pasti ingin tahu apa yang terjadi.
"Jadi, apa yang terjadi?" benar saja ia bertanya saat aku masuk ke ruang penjaga.
"Aku tidak benar-benar yakin apa yang mereka bicarakan," kataku. Aku menyimpan persediaan yang kubawa dan kemudian duduk, mencoba bersantai.
Wriothesley tertarik, tapi menyadari tidak ada kesimpulan lebih lanjut yang bisa diambil dari informasi itu.
"Ada masalah?"
"Seperti yang diharapkan. Tahanan tidak terlalu senang saat dia sadar waktu hukumannya belum habis. Sedikit menendang dan berteriak." Aku bisa merasakan sengatan ketakutan Tobio dalam ingatanku, tapi aku tetap tenang.
Wriothesley menepuk punggungku, memberikan pengakuan diam atas perjuangan yang kulakukan.
"Terima kasih," katanya.
Kami menghabiskan waktu dengan obrolan santai sampai waktunya bagiku untuk pergi. Wriothesley akan tetap di sana sepanjang malam, tugasnya sudah sedikit sekarang karena para tahanan sudah terurus. Dia kemungkinan akan menghabiskan sebagian besar malam dengan tidur. Jam kota di luar Fontaine berdentang, menandai transisi dari malam ke dalam malam yang lebih larut. Itu akan tetap diam sampai fajar menyingsing. Sudah waktunya bagiku untuk pergi.
"Naruto," panggil Wriothesley dengan tatapan yang penuh emosi tak terucapkan.
"Tawarannya masih berlaku. Kalau kamu mau lebih lama bekerja disini, kita bisa sesuaikan syaratnya." Usahanya menyembunyikan kesedihannya terlihat jelas, tapi tawarannya tulus.
"Kamu tidak terlalu membutuhkanku di sini." Aku mengambil jubah hitamku, lalu mengenakannya.
"Petinggi tidak akan tahu itu. Ibu pantimu juga tidak akan tahu. Lagipula, bayaranmu sudah diterima."
"Terima kasih, tapi tidak. Itu milikmu." Dia memang jauh lebih baik dari ibu panti.
Aku mencari tanda-tanda dia mau mengingkari perjanjian. Tapi ia benar-benar tulus, ini bukan tentang itu. Kerutan khawatir di sekitar mata Wriothesley mengkhianatinya.
"Bayarannya lebih sedikit memang kalau kamu tetap di sini, dibanding bekerja ditempat lain," katanya, mengonfirmasi.
"Namun ini bisa dibicarakan baik-baik."
Aku mengulurkan tanganku, telapak tangan menghadap ke atas. Wriothesley menghela napas, wajahnya tak menunjukkan kejutan saat dia mengambil bayaranku dari kotak terkunci. Koin mora, masing-masing bertanda delapan garis, jumlahnya enam ribu mora untuk pekerjaan hari ini. Sembilan ribu lainnya, yang Wriothesley simpan. Koin-koin itu berdenting di sakuku, suara yang menenangkan saat aku menuju pintu berat. Aku tidak berterima kasih atas kekhawatirannya. Sebagian diriku ingin melakukannya, tapi aku ingat, jika dia tahu identitasku yang sebenarnya, mungkin dia akan berbalik melawanku seperti yang orang lain akan lakukan.
"Sampai besok," Wriothesley bergema, suaranya meredup saat pintu berat terbuka.
"Sampai besok," jawabku, melangkah keluar.
Udara dingin yang menusuk menyapu jalanan Fontaine. Angin malam tajam, kontras dengan suasana pengap sel yang baru saja kutinggalkan. Aku menarik jubahku lebih erat, kainnya hampir tidak cukup untuk menangkis dingin. Saat aku melintasi jalan-jalan yang remang-remang, kota ini terasa seperti dunia lain—dunia di mana rahasia yang masih tersimpan terjaga seakan tidak menekan beban yang ada di pundakku.
...TBC...
And Cut
Jadi ini versi Indonesia dri fic ku yg Bahasa Inggris karena ada beberapa reader yg pm suruh buat versi indonya wkwkwk, ywdh lah y kubuatin. Chapter 2 mungkin besok atau lusa karena aku lumayan sibuk buat persiapan SNBT sama ngambil N3 JLPT. Ini juga nulis aku sempet sempetin, translate dri inggris ke Indonesia mayan agak ribet karena ada beberapa pilihan kata yg aneh klo langsung translate. Ini semua gara-gara aku nulis ini langsung pake Inggris sebelumnya wkwkwk.
Btw ini beberapa aspek penting story yg bakalan trus kepake sampe tamat:
- Harbringer: Struktur kekuasaan kompleks dan berlapis yang mengatur Aincard, semacam kyk organisasi masyarakat yang berhasil bangkit dari abu peristiwa bencana yang hampir menghancurkan dunia tiga abad sebelumnya. Tugasnya seperti mempertahankan kontrol melalui sistem Class dg memanfaatkan sisa-sisa teknologi Bencana buat mengekstrak energi mental dan fisik, yang disebut Vision, dari Class paling bawah. Yah Vision ini semacam kek Mana, aku ngambil ini dari Genshin Impact, Cuma bedanya Vision disini gaada bentuk fisik kek di Genshin
- Sistem Class: Jadi Masyarakat dibagi menjadi kelas, Contoh missal Exemplar tuh yang paling bawah jadi harus menyerahkan Vision yang mereka punya ke Class yang lebih tinggi. Ya begitulah seterusnya. Sistem ini juga menghasilkan beberapa elit yang bisa memegang kekuatan ribuan orang, pokoknya biar memungkinkan mereka untuk memberi kekuatan pada objek dan mempertahanin dominasi Harbringer.
Peringkat:
Sentinel: 1.000.000 Vision yang diterima
Legion: 500.000 Vision yang diterima
Sovereign: 100.000 Vision yang diterima
Dominator: 10.000 Vision yang diterima
Vanguard: 5.000 Vision yang diterima
Scepter: 1.000 Vision yang diterima
Crusader: 500 Vision yang diterima
Regent: 100 Vision yang diterima
Sentries: 50 Vision yang diterima
Exemplar: 0 Vision yang diterima
- Sisa-sisa Teknologi: Harbringer juga menggunakan teknologi dari sebelum Bencana untuk menegakkan penyerahan Vision. Ini termasuk perangkat seperti Visionsurper, yang digunakan untuk menguras Vision orang. Penyerahan Vision tuh yg dilakukan di Highbury Arena.
Tri-Comission: Harbringer punya sekitar tiga faksi—The Interastral Peace Corporation (IPC), House of the Hearth, dan The Favonious. Ketiga ini mewakili sektor-sektor kekuatan utama dalam Aincard dan terlibat dalam pertarungan kekuasaan karena mereka bersaing untuk dominasi buat wilayah baru untuk ditaklukkan.
- Night Raid: Kelompok yang terus memberontak melawan Harbringer. Mereka menganggap kelompoki mereka sebagai pejuang kebebasan, menentang aturan Harbringer atas ketidakadilan yang dilakukannya kyk penyerahan Vision. Tindakan mereka itu termasuk penggunaan kekerasan terhadap penindasan sistem Class yang kurang adil dan juga ketidak transparan politik Harbringer. Yang nonton akame ga kill pasti tau dong Night Raid
- Chaldea Academy: Akademi elit yang terletak di Camelot, ibu kota Aincard. tempat di mana anak-anak dari keluarga paling berpengaruh Aincard bersaing untuk mendapatkan tempat dalam struktur Harbringer dan juga naikin Class mereka kelebih tinggi lagi.
Dah mungkin segitu aja, jumpa lagi chap 2. Jgn lupa tinggalkan review biar aku tau mana kekurangannya dan kasih aku saran bagian mana yg harus aku kembangkan. Klo mau pm pun silahkan saja but im not promise bisa fast respon wkwkwk. See Youuuuu!
