Alis Hinata bergerak tak nyaman. Samar-samar suara keras entah dari mana menggangu tidur nyenyaknya.

Kemudian, Hinata mengingat bahwa dia tidak seharusnya tidur. Ingatan itu membangunkannya secepat kilat dan membuat posisinya berubah menjadi duduk. Hinata mengamati sekitar, tapi suara gaduh menyita perhatiannya.

"Itu seperti ... Naruto?" Hinata menyibak selimut dan buru-buru beranjak meninggalkan kamar. Dia mengikuti asal suara dan berhenti di ujung tangga karena dikejutkan oleh kedatangan Naruto.

Tidak, bukan kedatangan suaminya, tapi Naruto yang Hinata tahu tidak akan pernah memukul siapa pun baru saja menghajar Toneri secara brutal. Ini adalah kedua kalinya.

"Naruto!"

.

.

Disclaimer : Demi apapun, Naruto bukan punya saya, punya Masashi Sensei, saya hanya pinjam saja.

Pandangan Pertama

(Hati hati typo, tulisan mendadak hilang, OOC, AU dan lain-lain. Udh usahain sebagus mungkin)

by Authors03

.

.

Chapter 09

.

.

.

Naruto menoleh sejenak. Bukannya berhenti, melihat Hinata malah kian mengusik amarahnya dan membuatnya menghajar Toneri lebih keras lagi.

"Hentikan, Naruto!" Jantung Hinata seperti akan meledak dibuat cemas. Bukan karena Naruto tapi karena Toneri yang tidak sekalipun membalas dan membiarkan Naruto memukulnya hingga babak belur. "Hentikan!" Hinata mendorong Naruto untuk menjauhkannya. "Kau sudah gila?" jeritnya, semakin panik ketika melihat wajah Toneri membiru hingga mengeluarkan darah.

Hinata bukan membela Toneri bahkan ketika kekerasan itu salah, hanya dia ingat betul betapa ibu Toneri menyayangi anak semata wayangnya dan bila dia melihat wajah tampan lelaki itu hancur, dia akan sangat membenci pelakunya dan keadaan akan memburuk untuk Naruto.

Ingatkan Hinata bahwa Toneri adalah anak dari salah seorang perempuan terkaya di kota. Orangtuanya lebih dari bisa membungkus dan membuang Naruto ke laut tanpa kesulitan. Hinata tidak mau bermasalah dengan orang seperti itu.

"Toneri, kau baik-baik saja?" Hinata menguncang pundak Toneri tapi lelaki itu tidak banyak merespon, hanya meringis kesakitan tanpa membuka matanya yang sedikit berdarah di bagian bawah alis. "Toneri!" Hinata merasa seperti akan mendapat serangan jantung, tak sengaja dia menepis tangan Naruto ketika disentuh.

"Hina--"

"Keluar, Naruto!" usir Hinata sebelum Naruto sempat mengatakan apa pun. Fokusnya hanya pada Toneri--JANGAN SAMPAI MATI.

"Hinata ...," panggil Naruto pelan, tapi Hinata tidak dalam keadaan untuk memperhatikannya. "Keluar, Naruto. Kita bicara nanti."

Hinata kembali pada Toneri untuk menguncang lengannya. "Buka matamu, Toneri." Perempuan itu berkeringat dingin hingga nafas pun tidak bisa mengalir dengan benar.

Melihat reaksi cemas Hinata menyakiti hati Naruto. Seketika emosinya lenyap digantikan oleh perasaan sedih. Melihat Hinata yang bahkan tidak mau mempertemukan kontak mata melukainya. Dengan berat hati Naruto mengambil langkah mundur dan kemudian pergi meninggalkan tempat itu.

Hinata disentak oleh pintu depan yang dibanting hingga tertutup, tapi perhatiannya dengan cepat kembali pada Toneri. "Apa yang harus aku lakukan?" Hinata tidak bisa mengendong Toneri, satu-satunya hal yang bisa dia pikirkan adalah menelepon rumah sakit.

Hinata beranjak, tapi tiba-tiba dihentikan oleh Toneri. Lelaki itu menangkap pergelangan tangan Hinata dan ketika Hinata menoleh, matanya sudah terbuka. Hinata hanya bisa menatap syok dengan mulut sedikit terbuka. "Kau berpura-pura?" duganya, nada bicaranya jengkel.

Hinata mengamati sedikit darah yang mengenai lantai dan wajah berantakkan Toneri, tidak menyangka dia hanya berlagak lemah entah untuk apa.

"Berpura-pura apa? Dipukuli?" respon Toneri sinis. Benar, dia berpura-pura pingsan tapi bukan berarti rasa sakitnya tidak nyata.

"Kau benar-benar!" Hinata sangat marah, tapi bonyok di wajah Toneri tidak bisa dia abaikan. "Akan aku ambilkan obat."

Hinata menarik tangannya dan pergi untuk mencari kotak obat. Saat kembali ke ruang tamu, Toneri sudah menunggu di sofa.

Dengan berat hati Hinata duduk di samping Toneri, dia membuka kotak obat dan mulai mengurus luka di wajah Toneri, dimulai dari bagian sudut bibir. "Mengapa kau biarkan dia memukulmu?" tanya Hinata setelah hening sesaat. "Padahal kau lebih dari bisa membalasnya." Hinata tidak meminta Toneri memukul Naruto, dia hanya penasaran.

"Tidak ada alasan," jawab Toneri singkat. "Mengapa kau mengusirnya?" Gantian dia bertanya.

"Maksudmu aku harus diam saja dan biarkan dia memukulmu sampai mati?" Hinata menghela nafas, tidak ada yang terasa benar di dalam otaknya.

Toneri memberitahu, "aku meneleponnya dan berkata kau berada di rumahku."

"Kau benar-benar melakukannya?" tanya Hinata penasaran.

Toneri mengganguk kecil. "Hum. Dia datang dan memukulku."

Hinata mengerucutkan bibir, perasaanya tidak senang. Dia mengambil kapas baru dan kembali mengobati luka Toneri pada bagian bawah alis. "Hanya itu?" tanyanya, terselip secuil harapan di sana.

"Dia sudah menyeretmu keluar dari sini jika dia menginginkannya tapi, dia pergi ketika kau menyuruhnya pergi."

Hinata tidak ingin mengakui tapi Toneri benar, membuat dirinya bertanya-tanya sungguhkah Naruto kemari hanya untuk melampiaskan amarah dan bukan membawanya pulang? Hinata akan senang diseret jika tujuan Naruto kemari adalah untuk itu tapi dia bahkan tidak mengatakan apa pun dan mengabaikan ketika mereka saling bertatapan. Hinata merasa kecewa.

Suara dengusan Toneri menyita perhatian Hinata dan membuatnya mengangkat kepala untuk mempertemukan kontak mata. Ekpresi wajah pemuda itu berubah ketus "Bagaimana bisa aku pergi bekerja dengan wajah seperti ini?"

Kata-katanya menakuti Hinata. Toneri bekerja di salah satu perusahaan inti orangtuanya yang artinya akan terdapat begitu banyak saksi mata yang siap mengadu kapan saja bahwa sang atasan pergi ke kantor dengan wajah bonyok. Hinata merasa tidak aman. Dia menggigit bibir bawah, ragu-ragu bertanya, "kau ... tidak akan menuntut Naruto karena sudah memukulmu'kan?"

"Ah, ide bagus," katanya, berlagak seolah tengah memikirkannya. "Mungkin ibuku akan melakukannya."

"Jangan melakukannya," pinta Hinata, suaranya pelan bahkan terkesan memohon. "Aku sampai tidak tahu apa yang harus aku katakan. Tidak ada yang terasa benar tapi jangan melakukan apa pun."

"Itu yang kau inginkan?" tanya Toneri dan Hinata mengganguk sekali. Toneri bersikap selayaknya tengah berpikir sebelum menawarkan, "aku akan melupakan perbuatan Naruto bila kau bersikap baik padaku."

"Itu--"

"Sampai lukaku sembuh," tambah Toneri, menyela penolakkan Hinata. "Kau harus bertanggung jawab menggantikannya. Tetap bersamaku sampai luka ini sembuh dan aku akan memaafkannya."

Hinata berniat menolak karena merasa harus pulang ke Naruto, tapi apa Naruto mau menerimanya? Kejadian tadi meningkatkan keraguan Hinata, dia bahkan tidak tahu harus kemana kalau Naruto tetap gigih melarangnya masuk ke rumah. Di lain sisi, Hinata tidak ingin masalah ini sampai di telinga orangtuanya.

Mungkinkah untuk sementara Hinata sebaiknya menghindar sampai amarah Naruto reda?

Hinata melirik luka di wajah Toneri, terlihat cukup serius dan tidak akan sembuh hanya dalam waktu satu minggu.

"Jadi?" Toneri yang sudah tidak sabar menunggu jawaban memecah keheningan dengan pertanyaan singkat.

Hinata masih terlihat ragu, meski begitu pada akhirnya menggangukkan kepala. Hinata berpikir, sebaiknya menghindari masalah lain--amarah ibu Toneri dan penjara--dan setelah luka Toneri sembuh, dia akan mencari cara untuk memperbaiki hubungannya bersama Naruto.

"Padahal semua ini dimulai darimu. Semua ini juga salahmu, mengapa jadi kami yang harus bertanggung jawab?" cicit Hinata, sedikit binggung dan heran. Semua ini tidak akan terjadi bila Toneri tidak bersikap gila dan mendatangkan salahpaham. Namun, tidak ada yang bisa Hinata lakukan. Melawan Toneri akan menjadi hal bodoh, maka dari itu dia memutuskan untuk menurut sembari mencari jalan keluar.

Toneri tersenyum manis, kemudian mengelus kepala Hinata dan berkata, "Ini masih jam empat pagi, tapi ayo sarapan."

TO BE CONTINUE

Hi guys

Bye guyss

Tinggalkan komentar ya aku penasaran