Disclaimer : Demi apapun, Naruto bukan punya saya, punya Masashi Sensei, saya hanya pinjam saja.

Pandangan Pertama

(Hati hati typo, tulisan mendadak hilang, OOC, AU dan lain-lain. Udh usahain sebagus mungkin)

by Authors03

.

.

Chapter 01

.

.

"Seharusnya aku katakan aku jatuh cinta padamu. Seharusnya aku tidak diam. Jika aku lakukan itu, mungkin sekarang kau adalah milikku?"

Hinata Hyuuga mengernyitkan dahi membaca pesan WA dari seorang teman bernama Toneri Otsutsuki. "Dia sedang bercanda?" duga Hinata, perhatiannya buyar ketika masuk lebih banyak pesan dari orang yang sama.

"Aku tidak bisa melihat istriku tanpa memikirkanmu. Satu tahun berlalu dan aku masih ingin kau jadi milikku."

"Bisa kita bertemu?"

"Tidak, aku pikir aku akan memberitahu Naruto. Aku tidak bisa bersabar lebih lama lagi."

Hinata membalas pesan itu, "bercanda atau bermain, aku telah menikah." Hinata menjawab seadanya karena tidak ingin ambil pusing. Toneri tidak membalas tapi meninggalkan pesan dalam keadaan terbaca. Jadi, Hinata anggap masalahnya telah selesai.

Omong-omong Toneri adalah teman Naruto. Mereka sama-sama berusia 26tahun dan Hinata baru mengenalnya satu tahun, tiga bulan yang lalu dan semenjak mereka saling mengenal, Toneri dan Naruto menjadi sahabat. "Dia jatuh cinta padaku ...?" gumam Hinata, dia mengabaikan pesan Toneri untuk melayani pelanggan yang berniat memesan kopi.

Jam menunjuk pukul 12.04 dan hari ini adalah sabtu. Hinata bekerja di cafe keluarga dan Naruto adalah suaminya. Setelah 4 tahun lamanya bersama, mereka memutuskan untuk menikah tiga bulan lalu dan itu adalah keputusan terbaik dalam hidup Hinata. Dia bisa melayani pelanggan dengan senyuman tulus nan indah berkat wajah Naruto di dalam otaknya.

"Terima kasih. Silahkan tunggu sebentar." Hinata menghampiri mesin pembuat kopi tak jauh di belakang kasir tapi hp yang berdering menyita perhatiannya. "Tolong gantikan aku sebentar," pintanya pada seorang pekerja perempuan yang lewat.

Perempuan itu mengganguk patuh dan Hinata pergi setelah diambil alih tempatnya. Hinata memasuki kamar mandi sebelum mengangkat telepon. "Naruto, ada apa?" sapanya terlebih dahulu.

"Aku hanya ingin tahu apa Toneri menghubungimu?" Pertanyaan dari seberang sana tidak langsung Hinata jawab, dia terdiam entah untuk alasan apa. Naruto melanjutkan, "Toneri ingin bertemu denganku. Kau tahu restoran di dekat pantai yang selalu dia katakan? Dia selalu mengajak kita ke sana tapi belum sekalipun kita pergi." Naruto terkekeh sebelum kembali pada point pembicaraan, "katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan."

"Begitu ...?" Nama Toneri membuat Hinata mengingat pesan-pesan sebelumnya. "Uhm ... mungkin sebaiknya kau tidak pergi." Hinata merasa tidak nyaman entah mengapa, dia berlasan, "maksudku, kau tengah bekerja."

"Aku pikir aku akan pergi." Itu pilihan Naruto. "Dia terdengar sangat serius dan aku cukup penasaran." Karena mereka adalah teman baik, Naruto mencemaskan sesuatu yang buruk menimpa Toneri.

"Begitu ..." panggilan terputus setelahnya, entah mengapa membuat Hinata merasa cemas. Dia mengirim pesan ke Toneri.

"Kau serius? Toneri, kau baik-baik saja?"

Kali ini dibalas olehnya. "Aku baik-baik saja dan aku serius."

Hinata menghela nafas geram. "Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi ini sangat mengganguku. Maksudku, Toneri terlalu kaya untuk tidak baik-baik saja dan ini bukan hari ulang tahun siapa pun." Rasanya tidak masuk akal bila pria dewasa itu tiba-tiba membuat lelucon bodoh.

Setelah sakit kepala menimbang-nimbang, Hinata memutuskan untuk pergi ke tempat yang Naruto singgung. Hinata masih binggung, tapi bergabung untuk tahu apa yang akan terjadi terdengar seperti solusi.

Dia menggenakan kemeja putih di balik hoddie bewarna peach dan celana jeans hitam, tiba di pantai yang Naruto singgung setelah satu jam menggunakan motor.

Karena masih tengah hari, tempat itu sepi dari pengunjung. Rasanya seperti tidak ada siapa pun selain dirinya sendiri. Panas matahari di atas kepala menyengat kulit tapi Hinata nyaman di bawah hoddie bigsize nya. Karena motor hanya bisa sampai di area parkiran, dia meninggalkannya dan berjalan menyusuri pinggir pantai.

Silau matahari menyakiti mata, Hinata sedikit menunduk guna menghindari cahaya. Rumah kayu yang Toneri singgung mulai kelihatan meski masih jauh di depan. Hinata berhenti karena tak sengaja mendengar suara kerikil beradu dengan pasir di belakangnya.

Hinata diam sejenak, matanya melirik-lirik sebelum memutuskan untuk berbalik. Dia memejam mata dikala helaan nafas mengalun menyadari keberadaan pria yang tidak lagi asing. Toneri. Dia memegang botol mineral di tangan kanan dan tangan kirinya memegang payung bewarna biru, memayungi diri sendiri.

"Kau menakutiku," kata Hinata sebelum berjalan mendekat. Toneri berbagi payung. Hinata menyibak hoddie dari kepalanya sebelum berbicara, "kau baik-baik saja? Apa maksud dari pesan yang kau kirim? Dan apa maksudmu ingin memberitahu Naruto? Apa yang ingin kau katakan padanya?" Pertanyaan Hinata terlalu banyak. Dia mencari jawaban dari wajah Toneri tapi ekpresinya terlalu datar.

Toneri tidak memberi jawaban, malah mengalihkan pembicaraan. "Bisa bantu aku pegang payung sebentar?" Hinata mengernyitkan dahi, meski begitu mengambil alih payung yang disodorkan. Besar payung itu sedikit berat, Hinata menatap ke atas sebentar sebelum kembali pada Toneri yang membuka tutup air mineral. Dia meminumnya dan tiba-tiba menarik tengkuk Hinata.

Mata Hinata terbelalak. Tubuhnya oleng dan payung terjatuh dari tangannya ketika bibir mereka menyatu. Toneri menekan kedua pipi Hinata untuk membuatnya membuka mulut. Dia memindahkan air dari mulutnya ke dalam mulut Hinata tanpa memberi kesempatan agar Hinata bisa memuntahkannya.

Hinata merontak tapi Toneri memeganginya erat. Toneri menekan hidung Hinata, membuatnya tidak bisa bernafas. Mau tidak mau Hinata menelan semua cairan itu dan Toneri pun melepaskannya.

Perempuan itu terjatuh seketika. Dia menutup mulutnya menggunakan punggung tangan dan terbatuk-batuk.

"Ada apa denganmu!" Hinata menunjukkan amarah setelah berhasil mengontrol diri. Dia berdiri dan menatap tajam ke arah sang pelaku yang hanya diam dan tidak menunjukkan reaksi apa pun. "Itu sama sekali tidak lucu!" Hinata terlalu marah, memilih mengabaikan Toneri dan pergi ke restoran yang dia lihat sebelumnya dengan niat membersihkan mulut.

Toneri tak pernah begitu sebelumnya. Sedari awal mengenalnya, dia adalah pria baik bahkan terkesan sedikit pemalu. Hinata hampir tidak bisa mempercayai apa yang terjadi bahkan ketika hal itu terjadi langsung padanya. "Dia sudah gila!"

Namun, mengapa tiba-tiba rasanya gerah? Hinata berhenti melangkah, tidak tahu bahwa Toneri di belakangnya melakukan hal yang sama. Dia masih sama tenangnya seperti tadi. Berdiri tegap, nyaman di bawah payung besar yang melindunginya dari sinar matahari.

"Mengapa rasanya semakin panas?" Sebelumnya Hinata tidak terganggu tapi panas yang ia rasakan terasa berbeda. Dia mengipas wajah yang memerah menggunakan tangan hingga akhirnya menanggalkan hoddie karena tidak kuat dibuat gerah yang seolah membakar tubuh. Hinata kembali berjalan, tak sengaja menjatuhkan hoddie ke atas pasir.

Toneri mengikuti setiap langkah Hinata dalam jarak dua meter. Matanya tidak satu detik pun lepas dari perempuan itu dan dia baru saja tersenyum.

TO BE CONTINUE.

GUYS GUYSSSSSSS

Aku ingat aku udh lama bangat pengen buat ToneriXHinata dan di saat bersamaan aku pengen cerita cintanya itu seperti racun aaaaa dan akhirnya aku dapat kesempatan itu.

Berhubung salah satu fic udh mau tamat, kita bakal lanjutin ini yaaa

Untuk pecinta NaruHinta sori dlu ya 3

Tinggalkan review and i lope you guyss