Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari saat Baekhyun masih selonjoran. Tangannya sibuk menepuk nyamuk nakal yang beterbangan dan menggigiti kaki. Maklum saja, ia tinggal dekat kebun yang rumputnya mencapai betis. Jadi, cukup lumrah kalau rumahnya banyak berkeliaran hewan kecil itu.

Plafon dari anyaman bambu yang pojoknya bolong dipandangi.

Dulunya Baekhyun tak percaya saat orang-orang bilang ada yang namanya jam overthinking. Tapi sekarang setelah mengalaminya sendiri, Baekhyun baru percaya. Pikirannya menjelajah tak karuan saat jam menunjukkan angka 12. Jam dimana semua manusia sudah lelap, menyisakan dirinya yang berkedip diatas kasur kapuk bertungau.

Tahu-tahu selintas kisah cintanya mampir di otak.

Kalau boleh bercerita, sejak dulu Baekhyun memang bukan anak yang pandai bergaul. Lingkup pertemanannya hanya teman-teman sekelas ditambah beberapa anak dekat rumah.

Namun, anehnya walau Baekhyun tak kenal mereka, Mereka selalu mengenal Baekhyun. Entah sebatas nama dari mulut ke mulut atau sebatas tahu wajah tanpa nama. Suatu hari Baekhyun mendengar perkataan seseorang tentang dirinya,

"Itu loh, Baekhyun yang badannya kecil, kulit putih, sama punya senyum manis. Anaknya ramah sama semua orang."

Oalah, ternyata seperti itu mereka mendeskripsikan Baekhyun. Sebenarnya agak tersinggung karena bukan ketampanan yang dipuji melainkan senyum manis di bibir kotaknya. Tetapi Baekhyun setuju pada kalimat paling akhir.

Ramah pada semua orang sekalipun pada seseorang yang tak dikenalnya. Baekhyun menyapa anak bayi, orang tua, kucing liar, hingga ... "Timun, semoga kamu cepet gede, ya. Supaya saya bisa jual kamu." ... timun di sawah.

Memasuki Sekolah Menengah, Baekhyun punya lebih banyak teman. Kali ini datangnya dari segala segmen murid. Mungkin karena Baekhyun mengikuti OSIS dan ekstrakulikuler pramuka dimana orang-orang bisa mengenal lebih dekat.

"Aku suka sama kamu."

Di kelas 3 SMP, Baekhyun mendapat pernyataan cinta pertamanya dari seorang gadis berkuncir dua di kelas sebelah. Wajahnya menunduk, sesekali terangkat dan melirik Baekhyun yang menggaruk kepala tak paham.

"Aku juga suka kamu," sahut Baekhyun lempeng.

Mata sipit Si Gadis membulat, meluap-luap rasa gembiranya. Baekhyun pun bingung.

"K–kamu mau jadi pacarku?"

Lah?

"Eum ... maaf, ya. Aku enggak diizinin pacaran sama Ibu," jawab Baekhyun setelah lama diam karena kaget. Kedua tangan ditangkup depan dada. "Maaf, ya, Yun? Atau Yul?"

Baekhyun yang polos menolak cinta untuk kali pertama.

"Oh, iya."

Gadis itu berlalu dengan bahu terkulai lemas.

Kisahnya berlanjut di bangku SMA. Kali ini malah ada tiga gadis dan satu lelaki yang terang-terangan menyatakan cinta. Agak mengejutkan tapi Baekhyun bisa mengatasinya dengan baik.

"Maaf, ya, Kim. Aku enggak bisa. Lebih baik kita jadi teman."

"Kalau lebih enggak bisa, ya?" tanya Kim dengan wajah melas. "Aku suka banget sama kamu, Hyun." Tangan Baekhyun juga ditarik menuju dadanya. "Jantungku berdebar cuma buat kamu."

"Waduh, kalau enggak sama aku bisa mati, ya?"

Tangan Baekhyun dilepas canggung. "Ya, enggak mati."

"Ya udah, maaf ya. Kita jadi teman aja."

Lagi-lagi mereka ditolak dengan alasan yang sama. Hanya saja kali ini lebih halus.

Sejujurnya dari semua yang menyatakan cinta, Baekhyun suka dengan salah satunya. Hubungan mereka juga baik dan cukup cocok kalau misal jadi sepasang kekasih. Namun, ketika ditelusuri lebih jauh Baekhyun jadi ilfeel.

Jadilah, Baekhyun yang tak pernah punya pacar.

...

Pikiran Baekhyun kali ini melayang-layang setelah ia lulus sekolah. Enam tahun lalu. Masa-masa yang cukup berat pada jamannya.

"Kamu mau kuliah atau kerja?"

Seminggu setelah kelulusan SMA, Bapak datang dengan secangkir kopi hitam. Duduk di samping Baekhyun yang melamun di teras depan rumah. Telinganya sibuk mendengar nyanyian kodok selepas hujan. Saling bersahutan seperti nyanyian pengantar tidur.

"Hm, enggak tahu, Pak," jawab Baekhyun jujur.

"Kalau mau kuliah mungkin Bapak belum bisa biayain kamu." Wajah Bapak gelap, terlihat bersalah pada anak satu-satunya. "Maaf, ya. Uang kita dipakai terus buat cabai sama timun."

"Iya, Pak."

Dua hari setelahnya Baekhyun mengurung diri di kamar. Tak melakukan apapun, hanya duduk, melamun, kadang membuka ponsel dan main Facebook lalu tidur. Kegiatan itu berulang hingga dua minggu setelahnya. Sampai Bapak dan Ibu sadar akan tingkah lakunya yang aneh.

"Kamu marah sama Bapak?"

" ... Enggak."

"Tapi mata kamu enggak bisa bohong." Bapak mencabuti rumput dekat sulur timun. Sesekali juga membuang ulat hijau yang menempeli daun. Tapi mulutnya tak berhenti bicara. "Enggak apa-apa, kok. Bapak terima. Maaf, ya."

Memang Baekhyun boleh marah setelah dia tahu faktanya? Tidak. Baekhyun tak sanggup untuk meminta lebih lagi. Sawah yang saat ini ditanami sayuran itu hasil sewa milik tetangga dengan uang pinjaman dari orang kaya di kampung. Jadi, ketika panen datang uang yang jumlahnya tak seberapa, Bapak gunakan untuk membayar piutang.

"Baekhyun ikhlas, Pak." Suatu hari, Baekhyun pernah bermimpi. Di mimpinya ia tampil dengan pakaian putih bersih, datang ke bangsal pasien sambil mendorong troli berisi obat. "Walau belum sepenuhnya, tetapi Baekhyun sedang mencoba."

Siklus itu berlanjut hingga bertahun-tahun dan Bapak meninggal karena serangan jantung. Baekhyun yang dulunya bekerja di toko serba ada harus berhenti.

Ia mulai belajar cara menyemai bibit timun di polybag, menyiapkan bambu sebagai media pohon timun menjalar hingga mengenal berbagai jenis pupuk untuk pertanian. Mimpinya jadi perawat pun sudah lenyap.

Baekhyun belajar semuanya.

Utang mereka mulai lunas satu persatu. Kali ini hanya tersisa satu utang paling besar. Semuanya lancar. Baekhyun mulai merasa damai dan menikmati kehidupan sebagai petani.

"Woy, minggir! Awas!"

Lalu ... Chanyeol datang di kehidupannya dengan cara paling dramatis.

...

Baekhyun memutar mata malas saat teringat pertemuan pertamanya dengan Chanyeol. Sangat aneh. Namun, entah bagaimana malah meninggalkan sebuah kesan yang mendalam untuknya sejak dua tahun lalu.

"Awas!"

Sore itu Baekhyun menuntun sepeda onthel seperti biasa dari sawah. Ia membawa satu karung timun segar yang baru dipetik pada bagian boncengan yang ditali karet.

Tiba-tiba entah darimana muncul seorang pria yang ngebut dari arah belakang. Wajahnya panik, menyuruh Baekhyun untuk minggir dari jalan sawah yang lebarnya hanya 2 meter.

"Rem saya rusak. Tolong minggir, mbak!"

Tentu saja Baekhyun ikut panik. Stang sepeda ingin dibawa berbelok tapi sulitnya minta ampun. Kebetulan jalanan licin karena hujan dan sulit untuk menjaga keseimbangan.

"Aaaa!"

Nasib buruk tak ada yang tahu. Tanggalnya apalagi.

Hari itu Baekhyun harus rela sepedanya masuk sungai sementara badan tercelup kubangan lumpur. Karung berisi mentimun segar menggelinding ke sungai. Chanyeol dan sepedanya ikut masuk lumpur tak jauh darinya dengan keadaan yang lebih parah.

"Mbak, enggak apa-apa?"

Chanyeol dengan tubuh penuh lumpur berjalan tertatih pada Baekhyun. Ia membantu yang lebih muda untuk bangun dengan cengiran aneh.

"Mas ini bagaimana?! Bisa naik sepeda atau enggak sih?" Baekhyun murka. "Kalau enggak bisa ya sudah diam aja di rumah. Lagipula sudah tahu jalan becek sama licin masih saja lewat sawah. Saya yang jadi korbannya!"

Mulut Chanyeol terbuka lalu tertutup lagi.

"Saya juga bukan mbak-mbak. Enggak lihat rambut saya pendek dan macho begini?" Baekhyun bahkan menjambak rambutnya sendiri yang kotor sebagai bukti. Dia sudah kepalang kesal pada si jangkung berkulit tan itu.

Sepeda onthel yang terjebak di sungai diangkat. Mentimunnya yang ingin dijual jadi kotor dan rusak.

Beberapa petani datang setelahnya. Ikut membantu walau sambil menahan tawa. Apalagi ini Baekhyun, si kembang desa yang selalu jadi rebutan jejaka diam-diam.

"A-aduh, maaf ya mbak—eh, maksudnya, Mas. Saya beneran enggak sengaja."

Baekhyun menatapnya sengit untuk kali terakhir. Permintaan maaf tak digubris. Sepeda onthel dan pemiliknya yang kotor pulang.

Setelah kejadian, lelaki yang bekerja sebagai drafter itu mulai mencari rumah Baekhyun. Ia berusaha tanggung jawab dengan mengganti kerusakan mentimun dan sepeda onthel yang sadelnya lepas. Namun, Baekhyun menolak. Dengan harga diri setinggi langit ia malah meninggalkan Chanyeol pergi ke sawah.

Hari-hari selanjutnya Chanyeol selalu datang ke sawah. Bukan hanya untuk meminta maaf, tetapi untuk meminta hatinya yang ikut dicuri.

—Bersambung—

Selama nulis cerita ini aku senyum-senyum sendiri. Apalagi bagian chanbaek yang masuk ke lumpur, keinget sama photoshot waktu mereka main lumpur"an sama naik pohon. Romantis banget sih :)