Baekhyun tiba-tiba teringat saat Chanyeol pertama kali datang ke sawah. Hampir dua tahun lalu, tetapi dia tak pernah lupa.
"Baekhyun."
Hari itu Baekhyun pergi ke sawah. Sebuah rutinitas setiap harinya sejak pagi hingga matahari mulai terbenam. Dia selalu sendirian, kecuali saat ada Ibu. Jadi, ketika ada seseorang memanggilnya, dia merasa aneh. Takut juga kalau yang menyebut namanya adalah jelmaan hantu penunggu pohon besar.
Bercampur rasa takut, Baekhyun menoleh patah-patah. Matanya menyipit saat mendapati siluet seorang lelaki tinggi sedang berdiri di belakangnya. Wajahnya tidak tampak karena silau matahari, tetapi dari suaranya Baekhyun cukup familiar.
"Hari ini saya bawa pupuk buat timun kamu."
Lega, ternyata Chanyeol yang datang.
"Kamu ngapain kesini?" tanya Baekhyun dengan nada tak senang.
"Saya mau bantu kamu." Chanyeol menggulung lengan kaos hijaunya. Suaranya terdengar bersemangat. "Jadi, saya bisa bantu apa?"
Lelaki berkulit tan itu lalu berjongkok di samping Baekhyun tengah memangkas daun-daun yang menutupi buah mentimun. Ketika menoleh, Baekhyun melihat senyum cerah Chanyeol mengalahkan matahari pagi.
"Enggak ada."
"Yakin?" Pupuk yang ada dalam karung kecil diserahkan pada Baekhyun. "Nih, saya bawakan pupuk. Supaya makin seger timunmu."
Dahi Baekhyun berkerut bingung.
"Saya bawakan juga anggur dari Bali sama ayam goreng krispi supaya kamu semakin semangat kerjanya." Kali ini ada paperbag cokelat lumayan besar. "Saya taruh di gubuk sana, ya?"
Chanyeol memang tukang pamer. Tapi, entah mengapa lelaki itu terlihat tulus di mata Baekhyun. Polos sekali hingga Baekhyun tak tega untuk menolak. "Terserah kamu."
Apalagi setelah melihat langkah riang menuju gubuk tengah sawah miliknya.
"Sudah saya taruh di gubuk sana. Nanti dimakan, ya."
Baekhyun tak menjawab. Tapi, lewat sudut matanya ia melirik Chanyeol yang kembali jongkok. Kali ini lelaki itu mencabuti rumput liar di sekitar bedengan.
"Dari mana kamu tahu sawah saya?"
Kalau Baekhyun tak salah ingat, Chanyeol sudah datang ke rumahnya seminggu berturut-turut hingga ia jengkel dan terganggu. Heran juga mengapa lelaki itu mau menyusulnya ke sawah. Apa tidak cukup mengganggu Baekhyun di rumahnya sambil membawa banyak barang? Sedangkan, sekali lihat Baekhyun tahu kalau Chanyeol bukan anak petani.
"Dari tetangga sebelah rumahmu." Chanyeol nyengir. "Oh, iya. Saya sudah dimaafkan karena masalah kemarin, kan?"
"Iya." Baekhyun menatap Chanyeol lama. Mempertimbangkan untuk menerima maafnya dan ikhlas. "Kalau kamu bantu saya panen mentimun."
Hari itu Chanyeol membantu Baekhyun panen untuk kali pertama. Tetapi, bukannya untung, Baekhyun malah rugi karena mentimunnya rusak lagi. Chanyeol dengan sialnya menjatuhkan karung berisi mentimun ke sungai karena tidak kuat mengangkatnya.
...
Pukul 2 dini hari, Baekhyun menendang gulingnya hingga mencium lantai. Ia tersenyum malu-malu.
Dulunya, Chanyeol jadi sumber masalah karena selalu mengganggu Baekhyun. Sekarang, Chanyeol jadi sumber masalah karena mencuri hati mungil Baekhyun.
"Bajingan! Kapan dia menyatakan cinta pada saya?"
...
"Darimana kamu belajar bertani seperti ini?"
Pagi hari saat matahari belum tinggi Chanyeol datang ke sawah. Lelaki itu menemui Baekhyun yang sudah sibuk sendiri di depan gundukan tanah berlapis plastik mulsa. Parang yang besar sudah ada digenggaman.
"Dari Bapak."
Tanpa menoleh Baekhyun menjawab. Tangannya kali ini repot dengan bambu yang dibelah jadi empat bagian sepanjang dua meter. Bambu ini nantinya akan dijadikan sebagai 'tiang' tempat pohon timun menjalar.
"Kamu hebat, ya." Chanyeol mengambil alih parang milik Baekhyun. Ia menggantikan tugas Baekhyun membelah bambu dan mempersilakannya untuk melakukan tugas lain. "Kuat banget. Bisa cangkul sendiri, kasih pupuk, panen. Wah!"
"Ya, mau bagaimana lagi? Enggak punya pilihan."
Baekhyun menarik polybag berisi pohon mentimun yang berumur 10 hari. Batangnya sudah tinggi dan siap tanam.
"Saya tiba-tiba kepikiran sesuatu," ungkap Chanyeol yang membuat Baekhyun kening berkerut penasaran. "Kenapa tanahnya dikasih plastik hitam?"
"Hah, kok tiba-tiba? Dulu, Mas enggak pernah tanya. Cuma lihatin saya bolak-balik ambil air sama cangkul tanah." Kepalanya menggeleng. Tak habis pikir dengan topik yang tiba-tiba berubah haluan. Chanyeol aneh sekali.
"Tiba-tiba penasaran."
Baekhyun mendengkus. Ia menggali pohon timunnya dari polybag lalu meletakkan di atas tanah berlapis plastik hitam yang telah dilubangi dengan jarak 30 centimeter. "Ini namanya plastik mulsa. Plastik ini gunanya untuk menutup bedengan supaya tidak ada gulma, mempertahankan kelembaban tanah, sekaligus mencegah erosi tanah. Tahukan bedengan? Gundukan tanah ini namanya bedengan."
"Ajarin saya, dong. Saya mau ikutan tanam-tanam juga."
"Dulu pernah, kan?"
"Saya mau belajar lagi. Sudah sebulan lebih saya enggak bantu kamu."
Baekhyun mengambil pohon lain lalu menyerahkannya ke tangan Chanyeol. Dagunya menunjuk pada satu lubang yang telah digali agak dalam. "Masukinnya pelan-pelan, Mas."
"Kalau kasar memang kenapa? Bukannya malah enak?"
"Ya, bisa rusak."
"Enggak akan rusak kok. Dia itu tangguh. Apalagi kamu yang pegang, pasti tahan lama."
Baekhyun menatap bingung. "Hah? Ngomong apa, sih?"
Akar-akar timun ditutupi tanah. Chanyeol nyengir lebar. Tangannya yang kotor ditunjukkan pada Baekhyun. "Enggak apa-apa."
"Dasar sinting," lirih Baekhyun sambil menggeleng kepala pasrah. Tapi, mau bagaimana lagi. Walaupun sinting Baekhyun masih betah melajang untuknya.
"Sinting begini kamu suka, kan?" goda Chanyeol kemudian. Bahunya menyenggol bahu Baekhyun hingga anak itu nyaris jatuh.
"Apa sih, Mas!" tegur Baekhyun seraya memalingkan muka kesal.
"Eum, Baekhyun kamu beneran lajang, kan?"
"Huh?"
"Saya serius." Kali ini Chanyeol menatap Baekhyun sepenuhnya. Ia bahkan menarik bahu Baekhyun hingga lelaki itu mau mengamuk karena bajunya kotor. "Kalau suatu hari saya datang ke rumah kamu, saya enggak akan malu karena ternyata kamu ada yang punya, kan?"
Untuk beberapa waktu keduanya bertatapan lumayan lama. Hingga akhirnya Baekhyun yang duluan berpalinh dengan pipi merah. Ia kemudian menjawab, "kalau saya sudah ada yang punya pasti tidak akan ada disini bersama Mas Chanyeol."
Kepalanya kembali tertunduk, mencari-cari air di ember untuk menyiram timun baru tanam. Namun, bibirnya mengulum senyum saat mendengar helaan napas lega dari seseorang di sampingnya.
"Berarti saya beruntung, ya? Diantara banyaknya yang datang mau melamar, saya masuk dalam pilihan." Kepalanya digaruk canggung. "Walau saya belum datang secara resmi."
"Itu, sih, terserah Mas Chanyeol. Saya enggak ngomong apapun, loh." Baekhyun kembali mengambil satu polybag berisi pohon timun. "Cuma Ibu kadang-kadang minta saya cepat nikah."
"Kamu serius?"
Baekhyun berkedip sambil menatap Chanyeol yang kaget. "Kalau nanti saya ketemu yang cocok, pasti disegerakan. Saya capek juga ditanya setiap hari."
Chanyeol berdecak tak senang. Wajahnya sekeruh air sungai selepas hujan. "Besok kamu datang ke rumah, ya? Kyungsoo ulang tahun. Anak itu mau ulang tahunnya meriah kali ini. Mau kenalin kamu sama orang tua saya juga."
Kyungsoo? Baekhyun sudah dengar tentangnya. Adik perempuan Chanyeol yang masih SMA itu terlihat ceria dari foto. Jadi, tidak salah kalau ia mau merayakan ulang tahunnya besar-besaran. Lagipula dia anak Kepala Desa. Uang ayahnya tak akan habis kalau untuk pesta sehari.
"Dia kan enggak kenal saya. Kalau tiba-tiba datang ya sungkan," ucap Baekhyun mencari alasan. Sebenarnya dia tidak ingin datang ke sana walaupun diundang. Rasanya aneh. "Belum beli kado juga."
Untuk apa juga kenalan dengan orang tua Chanyeol? Membayangkan saja ia sudah malu.
"Enggak perlu bawa kado." Dagu Baekhyun dicolek gemas. "Pokoknya harus datang. Saya tunggu kedatangan kamu."
Baekhyun akhirnya mengangguk setuju setelah Chanyeol merayunya 10 menit kemudian.
—Bersambung—
