Disclaimer! I do not own the characters, no profit is taken from this fanfic. Indonesian highschool AU, non-formal words.


kita tidak pernah benar-benar saling menunggu;

hanya saja kadang semesta mampu berpihak

pada siapa ia meluluskan mimpi


Now playing │ Seandainya — Vierra


Tiba-tiba wajahku membuang pandangan ke arah lain—tidak mau dan tidak mampu menatap raut wajah Kak Kaito. Kini kedua kakiku berdiri persis berhadapan dengan lelaki tampan itu, sebelum beberapa menit lalu aku mengejar langkahnya. Ada sesuatu yang mengganjal di dada, menyesakkan bilik-bilik itu untuk bernapas. Aku hanya sibuk menahan rok abu selutut yang berkibar-kibar diterpa angin hingga akhirnya berhasil menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan berat.

"Nggak nyangka lu udah lulus aja," ucapku, masih dengan tatapan yang berkeliaran ke mana-mana.

Kak Kaito terkekeh kaku. "Emang kenapa? Masih betah liatin muka gua?"

Aku tersenyum tipis menanggapi candaan narsis Kak Kaito yang separuhnya benar. "Jangan kepedean."

Kak Kaito tidak membalas, membuatku memberanikan diri mendongak untuk melihat wajahnya. Mata kami sempat bertabrakan sepersekian detik karena dia melirik ke arahku dan buket bunga warna-warni di genggamannya bergantian. Malu dan gugup, aku menumpahkan pandangan pada setelan jas hitam yang dipakainya—membuatnya terlihat semakin rapi dan gagah.

"Thanks bunganya," ucapnya kemudian.

Aku mengangguk. "Itu dari Kak Meiko," sahutku cepat, mencoba meluruskan kesalahpahaman yang mungkin akan terjadi.

Sejenak aku dapat menangkap raut kecewa di wajah Kak Kaito. "Yah, kirain dari lu."

"Ngapain juga gue—"

"Eh, kayaknya gua harus pergi. Temen gua manggil."

Sontak aku melempar pandangan pada Kak Kaito yang sedang mengangguk-angguk menjawab pertanyaan dari kerumunan teman-temannya. Selanjutnya dia menatapku, meminta persetujuan undur diri. Seluruh otot wajahku mengendur, seolah tak ingin lelaki biru ini menghilang.

Jari-jemariku bergelayut manja satu sama lain. Kepalaku tertunduk. "Ya udah, sana."

Bukannya segera pergi, Kak Kaito malah mengambil salah satu tangkai bunga mawar merah dan menyerahkannya ke genggaman tanganku. Tangan kami bersentuhan—membuat sensasi aneh yang langsung direspons oleh degup jantung. Aku mengangkat kepala, memberi tatapan kebingungan pada dua iris biru ocean yang indah itu. Tangan Kak Kaito mengelus puncak kepalaku, membalas sinyal mataku dengan senyuman tipis yang sangat kusuka dari dulu.

"Tenang aja, gua gak bakal pergi jauh, kok."

Padahal masih ada beberapa orang yang berkumpul di sekolah, tapi atmosfer di sudut lapangan terasa tenang—seperti tidak terdengar apa-apa, dibumbui sedikit rasa-rasa kesedihan.

Mulut ini terpaksa tertawa kecil, dengan mata yang masih terkunci pada netra tegas itu. "Lu… kuliah di Bandung, kan?"

"Masih satu pulau, cantik," jawab Kak Kaito sambil mengedipkan satu matanya, menggoda.

Aku reflek memukul lengannya pelan. "Apaan, sih!"

"Aku serius," balas Kak Kaito, memegang tangan kananku untuk menghentikan pukulan tadi. Sorot matanya benar-benar berubah serius. "Lu gak perlu mikirin gua. Sekarang fokus aja sama OSIS dan masa-masa kelas sebelas lu. Gua bakal tetep menyayangi lu kayak adek gua sendiri."

Seperti ada ribuan paku yang menusuk hati saat mendengar kalimat terakhirnya. Kali ini aku harus ditampar kenyataan lagi bahwa Kak Kaito hanya menganggapku adiknya. Tak jauh berbeda dari Kaiko dan Akaito. Aku mengalihkan pandangan ke objek lain, apa pun yang bisa dijangkau—mencoba menepis rasa sakit ini.

Kak Kaito menepuk bahuku pelan, lalu meringis memamerkan deretan gigi putihnya. "Jangan lupa cari pacar."

Aku mendengus. "Emangnya ada yang mau?"

Kak Kaito tidak menjawab. Dia hanya tersenyum tipis, menatapku agak lama, lalu berbalik mengambil ancang-ancang ingin pergi. Aku dan Kak Kaito sama-sama menghela napas berat. Perlahan langkahnya mulai mengukir jarak di antara kami.

Aku tidak ingin semuanya berakhir secepat ini.

"Aku suka Kak Kaito!"

Teriakan itu berhasil membuat Kak Kaito menghentikan langkahnya.

"Gua udah tau, Miku cantik!" balasnya ikut berteriak. Sebentar saja, karena dia langsung bergabung bersama teman-temannya.

Aku lega—merilekskan seluruh sel dalam tubuh yang sempat tegang. Akhirnya perasaan terpendam selama tiga tahun belakangan ini berhasil diungkapkan. Aku penasaran dengan ekspresi yang Kak Kaito buat ketika mendengar pengakuanku. Entahlah, aku hanya sibuk tersenyum lebar untuk menyembunyikan air mata yang menggenangi pelupuk.

Kami sama-sama tahu, aku juga tahu. Mana mungkin aku melupakan fakta bahwa Kak Kaito hanya memilih Kak Meiko, kakakku sendiri.

Perasaanku meluruh bersama raga yang mulai menjauh.

fin.

note: I also published this story on AO3 with the same title.