Bokuto Kotaro X Ogasawara Sachiko

Takane No Hana

Chapter 3

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Selembar kertas putih berhiaskan ukiran warna emas dan perak seolah menjadi pusat perhatian Sachiko saat ini.

Jemarinya membolak-balik lembaran, menelaah setiap bagian kertas, atau lebih tepatnya tulisan di bagian depan dan belakang. Minimalis, namun terlihat cantik.

Ia melirik singkat pada amplop dengan desain senada yang membersamai lembaran putih di tangannya. Memastikan nama yang tertera pada amplop.

Untuk Ogasawara Sachiko - sama

Undangan pernikahan : Mizuno Yoko dan Nagamori Takao

Dari keterangan yang ditulis dalam undangan, pemberkatan dan resepsi akan dilaksanakan di hari yang sama. Minggu pukul 10 pagi hingga pukul 12 siang.

Lokasinya cukup jauh dari tempat tinggal Sachiko, meski masih di pusat kota. Hall hotel berbintang yang biasa digunakan para aristokrat untuk menggelar acara.

Sachiko menghela nafas pelan.

Kakak sepupu sekaligus seniornya di sekolah dulu akhirnya menikah.

Pasangannya tidak lain adalah putra dari keluarga konglomerat yang dijodohkan dengan Yoko sejak usia lima tahun.

Sachiko ingat betul betapa jengkel Yoko setiap kali mereka menyinggung topik perjodohan mereka.

Namun, semakin bertambah usia, Yoko mulai berubah, yang tadinya pembicaraan sensitif kian lama menjadi sesuatu yang terdengar manis.

Sachiko ingat betul, Yoko akhirnya mengakui pada Sachiko di pesta ulang tahunnya yang ke-20.

'Tidak ada lagi yang kuinginkan selain menjadi ibu dari anak-anaknya.'

Mungkin penilaian Yoko selama ini hanya berdasarkan kekesalannya pada keputusan orang tua, tanpa ia tahu bahwa sesungguhnya, keputusan itu adalah yang terbaik.

Benarkah?

Sachiko menumpukan dagunya dengan dua tangan, mendadak lesu.

Tidak semuanya harus berjalan seperti kisah Yoko onee - sama, kan?

.

.

.

.

.

.

Hari ini Sachiko benar - benar sibuk.

Selesai memberikan kelas untuk tingkat pertama, ia menyisihkan waktu untuk evaluasi mahasiswa tingkat akhir di universitas tempatnya mengajar sebagai dosen musik, spesialisasi piano, dilanjutkan dengan rapat divisi.

Sachiko baru bisa meninggalkan kampus pukul setengah sembilan malam.

Biasanya, selesai bekerja Sachiko langsung memanggil taksi untuk mengantarnya pulang, Namun kali ini rasanya ia akan kesulitan tidur jika tidak datang ke tempat yang hampir rutin dikunjungi ketika tidak merasa nyaman.

Apalagi besok pagi Sachiko harus mengajar kelas tambahan, sebelum pulang ke rumah orang tuanya. Hari Minggu nanti, ia akan berangkat menghadiri acara pernikahan Yoko dari sana.

Pekan ini Sachiko sibuk sekali.

Kalau dipikir - pikir…

Teater Rakugo.

Kenapa Rakugo?

Sebagai pekerja di bidang seni, Sachiko sangat menghargai segala bentuknya. Dirinya sendiri jatuh cinta dengan seni musik sejak pertama kali mendengar alunan dari kaset CD yang diputar ibunya ketika Sachiko masih bayi.

Tapi untuk Rakugo sendiri, Sachiko mengakui bidang seni ini bukan ranahnya.

Lalu kenapa sampai saat ini justru dijadikan tempat pelarian?

Karena…

Ia menghentikan langkah dan pikirannya ketika sudah berdiri tepat di bangunan dua lantai yang sudah hafal bentuknya. Hampir tak ada perubahan sejak pertama kali Sachiko ke sini.

Sachiko meraih ponsel yang tersimpan di tas tangan, mengecek jam digital yang terpampang di layar.

Pertunjukan baru akan dimulai 40 menit lagi. Sachiko tiba terlalu cepat.

Lensa matanya beralih pada loket penjual tiket di dekat pintu masuk. Pria paruh baya yang familiar sudah ada di balik jendela sambil menenggelamkan diri

Sachiko menghampiri loket, mengetuk pelan pada kaca jendela, mencari perhatian paman yang sudah lama ia kenal, meski belum tahu namanya hingga sekarang.

"Oji-san," ucapnya dengan sedikit nada tinggi, di luar bising sekali, "apa sudah boleh masuk?"

Paman itu menaikkan sebelah alis, lalu mengecek jam tua yang bertengger di atas mejanya, "Masih 40 menit lagi," sahutnya, "duduk saja dulu di kursi itu. Ruangan masih dibersihkan."

Sachiko menghela nafas. Apa boleh buat, ia menuruti saran dari paman berkacamata bulat yang berkabut. Mengambil posisi duduk di kursi besi yang diposisikan bersebelahan dengan loket penjualan tiket.

Bingung apa yang harus dilakukan, Sachiko merogoh kembali isi tasnya, mengeluarkan ponsel putih dan mengecek kembali pesan - pesan masuk yang belum sempat ia balas.

Ada tiga pesan masuk yang belum terbaca. Dari ibu, adiknya dan…

Bokuto Kotaro.

Kalau tidak salah ingat, pesan itu masuk sejak beberapa hari lalu.

Sachiko menarik nafas, dia lupa sekali.

Lagipula biarlah, apa pentingnya?

Tapi…

Jemarinya menyentuh layar di atas nama yang tercantum.

'Selamat pagi, ini hari Rabu. Tidak ada pertunjukan Rakugo hari ini, tapi restoran ramen buka setiap hari. Kabari aku kalau kau ingin makan lagi, Sachiko.' - Bokuto Kotaro

Sachiko mengernyit, pesan yang sama lagi.

Sachiko belum pernah membalas lagi pesan dari Bokuto Kotaro. Orang asing yang entah apa tujuannya terus muncul di depan gedung teater.

Ia bukan wanita naif. Dua puluh delapan tahun, sudah mulai paham apa maunya lelaki yang datang menghampiri. Semua dengan motif hampir sama. Apalagi yang nampaknya seusia dengan Bokuto Kotaro.

Dia terlalu antusias. Bukan tipe yang Sachiko senangi.

Hanya… aneh.

Dari dua kali pertemuan mereka, ada saat Sachiko tidak bisa menolak apa yang Bokuto katakan. Entahlah, instingnya berkata jangan tapi ada hal lain yang mendorongnya untuk lepas saja.

Dia merasa sedikit rileks.

Mungkin.

Sachiko menggelengkan kepala. Menghapus pikiran - pikiran yang tidak perlu disisipkan saat ini.

Ngomong - ngomong…

Sachiko menutup mata sebentar.

'Hari ini dia datang tidak, ya?'

.

.

.

.

.

.

"Selamat kembali ke rumah, Sachiko."

Sachiko memeluk singkat sang ibu, rindu juga setelah hampir satu bulan tidak kembali ke rumah.

Ogasawara Sayaka yang sudah berkepala enam mengelus rambut panjang putri sulungnya, "Kamu semakin kurus, apa makanmu terjaga? Kamu kurang tidur juga, ya?"

Sachiko melepas pelukan sembari menggeleng, "Aku baik - baik saja, oka - sama," jawabnya halus, "mana Yuki dan Yumi?"

Sayaka membimbing Sachiko masuk ke ruang utama kediaman Ogasawara. Rumah bergaya tradisional dengan luas hampir dua ribu meter persegi sudah menjadi bagian dari dirinya seumur hidup.

"Mereka ada kegiatan kampus hari ini. Yumi senang sekali waktu dengar kakak kesayangannya pulang hari ini."

Sachiko tersenyum tipis, "Padahal hampir setiap hari dia menelfon, suka mengirim video kesehariannya juga."

Ibunya ikut tertawa tipis, "Yuki juga kelihatannya senang sekali. Dia tanya kira - kira onee - sama akan mengenakan pakaian warna apa supaya dia bisa menentukan warna setelannya."

Kali ini giliran putri sulungnya yang tertawa pelan, "Manis sekali."

"Begitulah kedua saudara kembar keluarga ini," sambung Sayaka,"ngomong - ngomong Sachiko, sudah beri tahu Suguru - san kalau kamu ada di rumah? Besok kalian berangkat bersama, bukan?"

Senyum riang Sachiko samar menipis, "Sudah, oka - sama. Besok pagi Suguru - san akan menjemput."

"Begitukah? Syukurlah, oto - sama sudah beberapa hari ini menanyakan kabar Suguru - san." jawab ibunya, berusaha netral meski menyadari perubahan raut dari wajah Sachiko.

Putrinya hanya tersenyum tipis, "Besok oto - sama bisa bertemu dengannya."

Sayaka mengangguk. Memberikan jeda sejenak.

"Sachiko,"sambungnya ketika detik terlewat, "kamu bisa ceritakan apa saja pada oka - sama. Tidak perlu ditahan."

Sachiko tak menghilangkan senyum sedikitpun dari sang ibu.

"Aku baik - baik saja, oka - sama. Sungguh."

.

.

.

.

.

.

Kedatangan Kashiwagi Suguru disambut oleh kepala keluarga Ogasawara, yang semakin terlihat berwibawa dengan setelan kimononya.

"Selamat pagi, Ogasawara - sama," sapa Suguru seraya membungkuk sembilan puluh derajat, "sudah lama tidak bertemu."

Ogasawara Tooru menepuk bahu Suguru, membuatnya kembali berdiri tegak.

"Bagaimana kabar ayahmu? Kudengar bulan lalu kudengar ia harus menjalani perawatan?" tanya pria yang usianya sebaya dengan sang ayah.

"Beliau sudah mulai membaik," jawab Suguru, "meski begitu, dokter tetap menyarankan agar beliau istirahat total. Jadi sementara ini, aku masih harus menggantikannya."

Tooru menampilkan raut simpati, "Kudoakan semoga ayahmu kembali pulih," ucapnya, "dan berjuanglah melaksanakan tugas yang dititipkan ayahmu. Kau sangat layak untuk mewakili posisinya."

Pria tiga puluh tahunan itu menunduk hormat, "Saya hanya berusaha yang terbaik."

Ketukan pada pintu kayu oak menjeda percakapan di antara keduanya.

Dari balik daun pintu, putri sulung Ogasawara menampakan diri. Ia memberi bungkukan salam kepada kedua pria yang berdiri di tengah ruangan.

Mengenakan gaun bodycon berwarna putih tulang yang panjangnya menutupi setengah betis. Kerahnya hanya menutupi sebagian bahu, tepat di persendian. Sedangkan kulit lengan dibiarkan bebas. Tak terlalu ketat maupun longgar, membentuk lekuk tubuhnya dengan elegan. Dipadukan dengan sepatu berhak tak lebih dari lima sentimeter berwarna senada, bisa dipastikan ia akan membuat sebagian wanita lain iri dengan tubuhnya.

Wajahnya dirias dengan natural, namun tetap terlihat elegan. Rambut panjang dibiarkan terurai menutup punggung, hanya sedikit dibuat agar bagian tengah hingga ujungnya bergelombang halus.

Kashiwagi muda itu berjalan mendekati Sachiko, mengangguk singkat, seolah mengakui penampilannya yang merebut nafas.

"Mari, Sa - chan."

.

.

.

.

.

Tamu undangan yang datang saat pemberkatan dan resepsi cukup banyak, pantas saja mereka menggunakan aula yang besar untuk menampung tamu, agar mereka tetap merasa nyaman selama acara.

Sebagian besar dari tamu undangan sudah Sachiko kenal. Dibiasakan oleh orang tuanya sejak kecil untuk menghadiri perjamuan, membuatnya hafal wajah dan nama aristokrat yang ikut hadir. Meski kenalannya tak sebanyak Suguru, yang sejak tadi tak berhenti bersosialisasi dengan orang yang berbeda - beda.

Sachiko hanya menyempatkan mengucapkan selamat dan berbincang dengan sang pengantin yang tak lain adalah kakak sepupu dan suami barunya. Yoko mengingatkan Sachiko untuk ikut acara privat setelah pesta pernikahannya bulan depan, dan tak akan Sachiko tolak. Sachiko sangat menghargai kakak sepupu yang ia sayangi selayaknya saudara kandung.

Meski wajah tak melepaskan raut senyum, Sachiko merasa energinya semakin terkuras seiring dengan menit yang berlalu. Tak henti - hentinya pertanyaan mengenai dirinya dan Suguru disuguhkan. Membuatnya menjawab seperti pesan suara otomatis dengan template yang sama.

"Bertahanlah, Sa - chan," bisik Suguru, lengannya melingkari pinggang Sachiko, memberikan gambaran yang ideal untuk dipertontonkan, "sebentar lagi selesai."

Sachiko hanya menarik nafas dalam - dalam.

"Tiga puluh menit lagi," timpal Sachiko, "lebih dari itu, aku akan pulang lebih dulu."

.

.

.

.

.

.

Tak ada sepatah kata keluar dari keduanya sepanjang perjalanan kembali.

Selesai dari acara, Sachiko merasa sudah kehabisan energi bahkan untuk kembali ke rumah keluarganya sendiri. Ia meminta Suguru untuk mengantarkan sampai jalan yang terdekat dari apartemennya saja.

Sachiko tidak memberi tahu dimana dirinya tinggal selama dua tahun belakangan kepada Suguru. Pria itu bahkan baru mengetahui Sachiko memutuskan untuk tinggal sendiri ketika datang berkunjung ke rumahnya.

Sampai kini, Suguru hanya pernah mengantarkan Sachiko sampai jalan utama menuju arah apartemen Sachiko, tanpa pernah benar - benar mengetahui dimana lokasinya.

Suguru pun tidak memaksa Sachiko untuk memberitahunya.

Lagipula keduanya sepakat untuk tidak mengganggu kehidupan pribadi kecuali untuk urusan formalitas saja.

Tradisi keluarga yang tak bisa keduanya abaikan.

"Berhenti," ucap Sachiko mendadak, "sampai sini saja."

Suguru memindai kondisi jalan sekitar. Mereka kini sudah sampai di selisir sungai yang mengalir di tengah perumahan.

"Bukankah ini masih jauh dari apartemenmu?"

Sachiko mengabaikan pertanyaan Suguru.

"Terima kasih untuk tumpangannya," tanpa basa - basi, Sachiko melepaskan sabuk pengaman, "hati - hati di jalan."

Belum sempat Sachiko bergerak untuk keluar, tangan Suguru menahannya.

"Tak bisakah kau bersikap lebih baik, Sa - chan?" suara Suguru sedikit meninggi, meski tetap berhati - hati agar tak terdengar kasar, "kita hanya punya sedikit waktu."

Sachiko menoleh ke arah Suguru, dingin.

"Kita sudah berjanji untuk tidak saling mengganggu kehidupan pribadi," sanggahnya, "aku sudah berperan dengan baik di depan mereka."

Begitu saja Sachiko meninggalkan Suguru.

.

.

.

.

.

.

"Ono! Perhatikan titik jatuh bola, jangan terus - terusan lihat gerakan lawan!"

"Baik, coach!"

Teriakan Bokuto terdengar seperti bentakan bagi orang - orang yang melintas. Meski begitu, murid - muridnya menganggap biasa saja. Mereka sudah terbiasa dengan pelatihan yang keras dari Bokuto.

Ketika di dalam lapangan, Bokuto memang terkenal sebagai pelatih yang tegas, namun arahannya jelas dan mudah diikuti. Di luar lapangan, Bokuto juga memberikan arahan mengenai nutrisi dan pola istirahat untuk menyeimbangkan latihan fisik.

Bokuto seperti dua orang yang berbeda. Ia bisa menjadi teman dan pelatih. Waktu latihan bersamanya tidak pernah terasa berat dan monoton.

"Tenaga, Honda! Pukul bola lebih kuat!"

Setter muda yang bertinggi tak kurang dari 182 cm itu memposisikan tubuh, mengumpulkan segenap tenaga mengikuti arahan Bokuto.

Bukk!

Bola terlempar jauh sampai keluar lapangan, terbang ke atas melewati tanjakan yang mengarah ke jalan.

"Kontrol, Honda!" Kontrol!"

Anak muda itu membungkuk dalam, menyerukan "Maaf, coach!" sebelum berlari ke arah bola itu terpental.

Bokuto bertolak pinggang, menghembus nafas pelan. Memikirkan beberapa bahan evaluasi yang perlu disampaikan setelah latihan hari ini. Mungkin besok atau latihan Rabu depan, Bokuto masukan latihan stamina sebelum latih tanding.

Ia menoleh ke atas, arah jalan dimana bola tadi menyasar. Honda belum kembali juga.

"Kalian lanjutkan dulu, aku lihat ke atas sebentar!" titah Bokuto, yang dijawab dengan patuh oleh muridnya.

Bokuto berjalan menanjaki gundukan tanah berumput yang menjadi pemisah antara lapangan di sisi sungai dengan jalan perumahan.

Apa Honda kehilangan bolanya? Seharusnya tidak perlu waktu lama untuk mengambilnya.

Tak jauh dari pinggir jalan perumahan, Bokuto bisa melihat muridnya. Tengah membungkuk berkali - kali seperti sedang meminta maaf.

Kelopak mata Bokuto melebar saat otaknya mengidentifikasi sosok yang ada di hadapan Honda. Ia mempercepat langkah mendekati keduanya.

"Sachiko?" suara Bokuto setengah menyiratkan nada panik, "Kau baik - baik saja?"

Hanya ketika Bokuto sedang mengalihkan fokus pada hal lain, wanita ini malah muncul tanpa ia cari.

Apalagi dia terlihat lain dari hari - hari sebelumnya.

Bokuto bisa menerka tubuh rampingnya mengenakan sejenis gaun bodycon yang membentuk lekuk tubuh berwarna gading. Tidak terlalu ketat ataupun longgar. Ukuran yang pas. Panjang gaun itu menutupi kaki jenjang hingga bawah betis dan dihangatkan dengan wrap coat berwarna senada dengan gaun sebatas pinggul.

Wajahnya dirias dengan natural, bulu mata terlihat panjang dan lentik. Bibir yang merona muda, membuat Bokuto ingin tahu bagaimana rasanya.

Rambut panjang Sachiko dibiarkan terurai seperti biasa, hanya ditata sedikit untuk memberikan tampilan bergelombang halus di bagian tengah hingga ujung helai.

Ia mengenakan anting panjang segaris leher, mempertegas garis rahang dan lehernya yang putih.

Terlalu menawan hingga membuat dada Bokuto terasa nyeri.

Dari kilas matanya yang berkilau, Sachiko terlihat sama terkejutnya dengan Bokuto.

"Ya," ucapnya pelan, "hanya terkejut bolanya tiba - tiba muncul di depanku."

Bokuto menyergap belakang leher murid yang tingginya hampir menyamai dirinya, memaksa untuk membungkuk 90 derajat, "Maafkan kecerobohan anak - anak ini. Kupastikan mereka akan mendapat latihan yang lebih baik." sesalnya, terdengar sedikit nada geram dan cengkramannya yang sedikit lebih kuat pada belakang si leher murid.

"Saya mohon maaf!" kata Honda mengikuti permintaan maaf Bokuto, sembari meringis dengan nyeri yang ada di belakang leher. Pelatih Bokuto memang tidak main - main kalau sampai ada yang terluka.

Sachiko menggeleng, "Tidak apa - apa, sungguh."

Bokuto menegakkan tubuh, cengkraman pada belakang leher muridnya ia lepas. Senyum lega nampak dari wajahnya yang sedikit terbakar matahari.

Ia menepuk bahu Honda, "Kembali ke teman - temanmu, nanti kususul."

Pemuda tujuh belas tahun itu mengangguk, memberi bungkukan sekali lagi ke arah Sachiko, sebelum berlari ke bawah.

Ada sedikit perasaan grogi yang mengintip dalam diri Bokuto ketika mereka ditinggalkan berdua. Padahal jalanan itu dilalui oleh beberapa orang dan kendaraan yang lewat.

Antara Bokuto yang sekarang berubah penakut atau perempuan di sebelahnya yang terlalu elok untuk dilihat.

Ia berdeham sekali, berusaha meredakan rasa groginya, "Kebetulan sekali," kata Bokuto membuka percakapan, "bagaimana kabarmu?"

Sachiko mengalihkan pandang dari perkumpulan anak - anak yang tengah melanjutkan latihan voli, ke arah Bokuto.

Hanya Bokuto yang tahu bagaimana satu ketukan jantungnya berdegup saat mata Sachiko bertemu dengannya.

Mungkin perasaan saja, tapi cara Sachiko memandang kini lebih rileks dibandingkan pertemuan mereka yang lalu.

"Aku baik, terima kasih." jawabnya, masih dengan tata bahasa yang formal. "Kotaro - san sedang latihan?"

Bokuto menggeleng, "Lebih tepatnya sedang melatih," ia menyembunyikan kedua telapak tangan pada saku belakang celana jins, "kebetulan hari ini aku libur. Jadi bisa menemani mereka latihan dari pagi."

Wanita itu bergumam singkat. Helaian rambutnya terbawa hembusan angin, tak terlalu kencang, namun membuat tangannya sibuk untuk memegang agar tak menghalangi pandang.

Membuat Bokuto menelan ludah.

"Mau lihat?" tanyanya bahkan sebelum sempat berpikir.

Mencari alasan agar Sachiko lebih lama berada di sana.

Sachiko menggeleng sekali, "Aku agak kelelahan hari ini." tolaknya halus.

"Aah," maklum Bokuto, setitik patah hati, "perlu kuantar?"

Lagi, wanita itu menggeleng, "Terima kasih, tapi Kotaro - san masih ada pekerjaan, bukan?"

Bokuto beralih pandang ke bawah.

Kasihan muridnya kalau dikorbankan hanya karena keinginan naif Bokuto.

Ia mengangguk, setitik kekecewaan bertambah lagi, tapi apa boleh buat, masih ada waktu lain, "Kalau begitu, sampai nanti Sachiko."

Ingin rasanya mulut berucap agar wanita itu menghubunginya jika ada apa - apa. Tapi, dari respon sebelumnya yang nihil, Sachiko nampak tak terlalu peduli.

Wanita itu tersenyum tipis, menunduk sekali sebelum beranjak.

Bokuto hanya memperhatikan Sachiko tanpa merubah posisi.

Biarlah ia di sana, meski hanya beberapa detik melihat, setidaknya sampai bayangan Sachiko hilang.

Baru ia berjalan menjauh beberapa langkah, tiba - tiba kakinya terlihat goyah, sebelum langkahnya berhenti.

Bokuto menaikan sebelah alis, tanpa pikir panjang menyusul Sachiko yang mulai tertunduk, memperhatikan sesuatu di kakinya.

"Ada apa?"

Sachiko menoleh singkat ke arah Bokuto yang sudah sampai lagi di sebelahnya, satu tangannya menyentuh pergelangan kaki kanan.

"Hak sepatuku… sepertinya patah." aku Sachiko pelan.

Pria itu berjongkok di samping Sachiko, mencari lebih seksama belakang sepatu berhak dengan tinggi sedang berwarna putih.

"Patah," konfirmasi Bokuto, tangannya ikut menyentuh bagian hak sepatu Sachiko, "aku punya lem serbaguna di motor. Sachiko tunggu saja di bawah, aku ambil lem dulu."

Tanpa berpikir panjang, Bokuto meraih tangan Sachiko, membimbingnya untuk turun ke bawah dimana ada bangku yang bisa Sachiko tempati selama Bokuto membetulkan sepatunya.

Tinggi sepatu yang tidak seimbang membuat Sachiko sedikit kesulitan berjalan. Bokuto membantu Sachiko untuk menyeimbangkan dengan membiarkan ia bertumpu pada lengan Bokuto.

"Tunggu di sini, ya." ajak Bokuto lembut. Sebelum segera beranjak menuju motor besarnya yang terparkir tak jauh dari lapangan.

Sekitar dua menit kemudian, Bokuto kembali. Ia berjongkok di depan Sachiko yang tengah terduduk. Tanpa basa - basi, Bokuto melepas kedua sepatu putih Sachiko dan menggantinya dengan selop hitam. Ukurannya lebih besar dari kaki Sachiko.

"Sementara pakai punyaku dulu, supaya kakimu tidak kotor."

Sachiko hanya bergeming, entah kenapa pertahanan dirinya seakan tidak ikut serta kali ini. Ia patuh saja mengikuti arahan Bokuto.

Dengan cekatan, tangan Bokuto memperbaiki bagian hak sepatu yang terlepas. Membubuhkan lem pada bagian yang seharusnya menyatu. Tak butuh waktu lama sampai selesai. Ia meletakkan kedua sepatu secara terbalik, membiarkan bagian yang terkena lem yang masih basah menghadap ke atas.

Bokuto menepuk debu yang ada di tangan, sebelum berdiri. Raut puas nampak di wajahnya.

"Paling hanya tiga puluh menit sampai lemnya kering," ucap Bokuto menundukan pandangan pada Sachiko yang masih memperhatikan gerak - geriknya sambil duduk, "kamu haus?"

Sachiko menggeleng.

Bokuto mengembangkan senyum. Refleks, telapak tangannya menyentuh belakang kepala Sachiko, mengelus rambut panjangnya yang halus.

Tak sampai berapa detik, ia langsung menjauhkan tangan. Seakan tersadar, Bokuto gelagap, "Maaf."

Wanita itu hanya mengalihkan pandangan.

Bokuto menggaruk belakang lehernya yang tidak terasa gatal. Canggung.

Agar tak menimbulkan keanehan lebih lama, Bokuto berbalik, memutuskan untuk fokus saja pada latihan tim Fukurodani muda.

Mendadak suara lantang Bokuto mengejutkan semua yang ada di lapangan, termasuk Sachiko.

"Honda! Mundur! Lari lima set!"

Pemuda yang dimaksud menghentikan gerakannya, terkejut dan memelas atas titah pelatihnya yang tanpa ada angin atau hujan, "Hee? Kenapa coach?" komplainnya.

Sorot mata Bokuto dari kejauhan membuatnya bergidik. Ia segera melantangkan 'baik, coach!', sebelum melaksanakan perintahnya.

Telinganya terasa panas.

Bokuto merasa konyol sekali, menumbalkan murid untuk mengaburkan rasa malu dan jengkel. Layaknya pemuda tanggung yang bergairah ketika ada gadis lucu.

Bokuto sudah terlalu matang untuk itu.

.

.

.

.

.

.

Tanpa terasa waktu sudah berlalu selama hampir dua jam. Bokuto kini tengah memberikan pengarahan terakhir sebelum latihan selesai dan tim dibubarkan.

Selama latihan berlangsung, Bokuto hanya sesekali mengecek Sachiko. Ia benar - benar fokus memberikan pengarahan pada para atlet muda.

Sachiko yakin lem yang terbubuh di sepatunya sudah kering sejak berapa saat lalu, tapi ia merasa tidak sopan kalau mengganggu Bokuto lagi di tengah pengarahannya. Tak mungkin juga dia diam - diam pergi tanpa pamit. Jadi Sachiko putuskan untuk menunggu saja.

Lagipula menarik juga melihat kumpulan pemuda ini berlatih tanding. Sachiko merasa cukup terhibur, meski tidak mengerti peraturannya.

Seruan yel menandakan latihan selesai. Para pemuda itu mulai mengambil barang bawaan mereka dan memberikan salam terakhir pada Bokuto. Beberapa dari mereka bahkan mengarahkan salam juga pada Sachiko yang masih belum bergeming dari bangku besi. Sachiko menjawab dengan anggukan singkat saja.

Bokuto terlihat masih bercakap dengan dua pemuda lain yang masih tinggal. Terlihat lebih santai dibandingkan tadi. Mereka bahkan saling bertukar canda dan tawa.

Barulah setelah keduanya berpamitan, Bokuto berbalik, berjalan menuju tempat Sachiko duduk dalam langkah yang ringan dari kaki jenjang dan terlihat kokoh.

"Bagaimana?" ucapnya riang, canggungnya seperti sudah terlupakan, "Menarik juga, bukan?"

Sachiko tersenyum tipis, "Benar."

Bokuto terkekeh, sebelum berjongkok lagi untuk mengecek sepatu Sachiko. Jarinya menarik pelan hak yang sudah tertempel pada sol sepatu.

Setelah memastikan bahwa sudah aman untuk dikenakan, Bokuto melepas selop yang masih dikenakan kaki ramping Sachiko, menggantikannya dengan sepasang sepatu putih gading yang terlihat seperti tidak pernah rusak.

"Sudah aman." puasnya.

Sachiko melirik ke arah kakinya, merasa lega.

"Terima kasih banyak."

Bokuto mengangguk sekali, ujung bibirnya masih mengembang. Ia menempatkan diri duduk di bangku besi panjang, bersebelahan dengan Sachiko. Tanpa sadar mengambil sedikit jarak.

Ia menumpukan sebagian beban tubuh pada telapak tangan yang diletakkan pada bangku. Torsonya agak menyandar.

Bagi Bokuto yang biasanya tak pernah kehabisan kosa kata, untuk kali ini ia lebih menikmati keheningan. Entahlah, Bokuto hanya merasa wanita di sebelahnya mungkin akan lebih nyaman jika dia yang memulai percakapan.

Matahari senja mulai menampilkan pancaran gradasi warna jingga dan kuning. Pantulan dari sungai membuat seolah2 matahari itu tenggelam ke dalam sungai.

Tak terasa malam sudah menjelang.

Hembusan angin lembut memainkan helaian rambut Sachiko, kali ini dibiarkan saja. Toh, tidak sampai menghalangi pandangan dan membuat tatanannya berantakan.

Sunyi dan tenang sekali.

Suasana yang nyaman ini membuat Sachiko nyaris lupa dengan laki - laki yang masih terduduk di sampingnya. Kelihatannya ia juga tengah menikmati sore hari di sana.

"Apa Kotaro - san bekerja sebagai guru?" tanya Sachiko, merasa saatnya keheningan disudahi.

Bokuto menggeleng, "Hanya pelatih lepas," jawabnya, "pekerjaan utamaku mekanik di showroom Shibuya."

Sachiko menggumam, "Kalau tidak salah, Kotaro - san mantan atlet juga, ya? Berarti atlet voli?"

"Benar sekali."

Lagi, Sachiko hanya menggumam pelan.

Belum ada sambungan lagi dari jawaban terakhir Bokuto.

Meregangkan lengan kekarnya ke atas kepala, Bokuto bangkit dari duduknya.

"Udara mulai dingin, aku juga sudah mulai lapar," ujarnya, "kamu mau makan apa hari ini?"

Sachiko mencerna pertanyaan, atau lebih tepatnya ajakan Bokuto untuk menemaninya makan malam lagi hari ini.

Sejujurnya, Sachiko hanya ingin pulang. Setelah seharian ini bertemu banyak orang, baterai sosialnya sudah mulai lemah.

Namun melihat sepatu yang sudah diperbaiki dengan bantuan Bokuto, rasanya tidak enak kalau menolak ajakan pria tinggi dan kekar itu.

Ia berpikir sebentar, membayangkan apa makanan yang bisa membantunya berselera.

"Umm," gumamnya ragu, "hamburger?"

Sachiko sembarang sebut saja. Hanya makanan yang sempat dikenalkan oleh adik perempuannya,Yumi, yang bisa terbayang di kepala. Rasanya enak, tapi Sachiko tidak menjadikannya sebagai makanan yang bisa sering - sering ia konsumsi.

Bokuto mengacungkan jempolnya, "Pilihan bagus," sambut Bokuto, bersemangat, "naik motor tidak apa - apa, kan?"

Wanita itu berkedip sekali, menimbang apakah pakaiannya aman untuk duduk di atas motor.

Sadar gerak gerik Sachiko yang memperhatikan pakaiannya, Bokuto menenangkan, "Tenang, duduk menyamping juga aman kok."

Kalimat meyakinkan Bokuto masih dirasakan ragu oleh Sachiko, tapi ia menurut saja.

Semoga angin tidak menghembuskan rok dan mantelnya.

.

.

.

.

.

.

Restoran cepat saji menjadi tempat makan malam mereka hari ini.

Memiliki metabolisme yang super cepat, membuat Bokuto menghabiskan tiga buah hamburger double patty dengan kentang goreng dan soda. Sedangkan Sachiko memesan paket hamburger dan kentang goreng kecil dengan teh dingin.

Di sela - sela kegiatan makan, mereka saling bertukar kalimat, atau lebih tepatnya Bokuto yang paling banyak bersuara. Sachiko hanya bergantian bertanya dan menanggapi seperlunya saja.

Dari situ mereka saling bertukar sedikit informasi tentang satu sama lain.

Bokuto yang pensiun dari atlet profesional tujuh tahun lalu karena cedera pada bahu. Meski begitu, dia tetap aktif melatih dan bermain tanding sesekali. Untuk menjaga stamina, setiap bangun tidur dia menyempatkan diri untuk berolahraga seperti lari dan angkat beban. Dia anak terakhir dari tiga bersaudara, kedua kakaknya perempuan dan sudah mempunyai dua orang keponakan. Dalam seminggu, Bokuto bekerja di workshop selama enam hari, mulai pukul delapan pagi hingga tujuh malam. Kadang sampai tengah malam, tergantung beban kerja di hari itu. Di akhir pekan, jika tidak sedang membina latihan voli, dia sekedar berkumpul dengan teman - teman atau olahraga saja.

Sachiko sendiri saat ini mengajar sebagai dosen musik di universitas katolik khusus perempuan. Dia bekerja selama lima hari dari jam sembilan pagi hingga enam sore. Di akhir pekan, dia sering melakukan pelayanan sebagai pengiring di gereja. Hanya itu saja informasi yang Bokuto peroleh.

Meski irit kalimat, Bokuto berusaha mengingat bagaimana suara yang keluar dari bibir merona Sachiko. Setiap nada yang terdengar selalu stabil, namun terdengar mengalun di telinganya.

Sachiko selalu menggunakan bahasa formal, membuatnya terlihat seperti berada di tempat yang salah. Bukan restoran keluarga bising begini yang cocok untuknya, tapi selama ia nyaman, tak masalah.

Ada kalanya Bokuto membayangkan bagaimana suara yang akan terdengar dari bibirnya jika ia mendesah, berpeluh dalam rangkuman Bokuto-

-yang segera ia hapus. Bokuto lupa ia sudah menekankan kepalanya agar tidak berfantasi seperti itu lagi.

Tapi, sulit.

Apalagi hari ini Sachiko sedang cantik - cantiknya. Warna putih gading nampak serasi, membuat kulit Sachiko tampak lebih bercahaya dan lembut untuk disentuh.

Dan lengan ramping yang memeluk pinggang Bokuto dari belakang ketika mereka berkendara di atas motor. Awalnya pelukan itu terasa kaku, namun seiring waktu ia melunak.

Bokuto menelan ludah, ia mesti berkonsentrasi pada jalanan di hadapannya. Ada nyawa yang lebih berharga dari dirinya sedang duduk di belakang. Menunggu diantarkan dengan selamat hingga depan tempat tinggalnya.

Persetan dengan libidonya yang selalu datang di saat tak tepat.

.

.

.

.

.

.

Bokuto melepaskan kaitan, dengan hati - hati melepaskan helm yang ukurannya terlalu besar untuk kepala Sachiko. Apa boleh buat, dia tidak membawa pelindung kepala lain.

"Jadi disini?" ucapnya memastikan, kaki kiri menahan beban motor yang belum ia tinggalkan.

Sachiko mengangguk sekali, "Terima kasih untuk hari ini. Kotaro - san sudah banyak direpotkan olehku."

Bokuto mengembangkan senyum, "Bertemu denganmu hal yang langka. Jadi harus kumanfaatkan dengan baik supaya kau terkesan." tangkasnya.

Sachiko hanya menaikan sebelah alis, yang membuat Bokuto terkekeh.

"Bercanda." sambungnya.

Padahal setengah serius.

"Ayo, cepat masuk ke dalam, sudah mulai dingin." ajak Bokuto, yang sudah siap mengenakan kembali helmnya yang tadi Sachiko pinjam.

Wanita itu bergumam pelan, sebelum menambahkan, "Maaf, aku tidak membalas pesan dari Kotaro - san."

Bukan karena tidak mau. Ya, setengahnya memang tidak mau, tapi kali ini ia mulai menyesal. Apalagi setiap kali bertemu, ada saja kejadian yang membuatnya direpotkan.

Pria bertinggi 187 sentimeter itu menyeringai singkat, "Tak apa," bujuknya, "lagipula aku pernah bilang juga, 'kalau kamu mau saja.'"

Kalimat penenangan darinya tidak membuat Sachiko nyaman, justru malah merasa seperti punya kewajiban jika kali lain Bokuto mengirimkan pesan.

Biarlah.

Bokuto menjulurkan tangan, mengindikasikan Sachiko untuk menerimanya. Sekedar berjabat tangan saja tak merugikan, bukan?

Ia menerima uluran tangan Bokuto. Tangan ramping dan kulit halusnya terasa kontras dengan milik Bokuto yang besar dan kasar.

Anehnya, terasa pas.

"Selamat tidur," ringkas Bokuto, "sekali lagi, hubungi aku kalau kamu mau."

Sachiko mengangguk sekali, senyum tipis menghias di wajahnya. Nampak anggun dan melankolis disinari cahaya yang ada di sekitar.

Bokuto lepas landas, meninggalkan sedikit demi sedikit sensasi yang ada di dada pada setiap meter yang dilaluinya.

.

.

.

.

.

.

Besok Bokuto harus bangun pagi - pagi sekali, tapi hingga lewat tengah malam ia tidak juga tertidur.

Tubuhnya gelisah.

Rasanya ada yang belum diselesaikan. Belum lega.

Tanpa pencahayaan, tangan Bokuto meraba sisi tempat tidur, mencari ponsel yang diletakkan sembarang entah di bagian mana. Ia segera membuka layar dan membuka daftar kontak, mencari beberapa nama.

Dengan perasaan gusar, ia mempertimbangkan nama beberapa teman wanita, yang merupakan satu sirkel sosial. Jika mereka tidak ada kegiatan lain, Bokuto tahu mereka tidak akan menolak jika malam ini ia ajak untuk bertemu.

Setelah berpikir beberapa saat, ia menutup layar ponsel, menutup matanya dengan lengan. Menghembus nafas dengan berat, suaranya terasa serak.

'Dasar brengsek.' kutuknya, yang tak lain ditujukan untuk dirinya sendiri.

Apa bedanya dia dengan Oikawa?

Malah Bokuto lebih parah.

Setidaknya Oikawa berani untuk mendeklarasikan diri pada satu wanita saja, meski kebanyakan hanya bertahan satu bulan.

Lupakan soal Oikawa.

Kondisinya lebih penting sekarang.

Kepala Bokuto dipenuhi dengan gambaran kaki jenjang dan mulus, pinggang berlekuk dan pinggul yang ramping namun berisi, seakan menantang untuk digenggam dalam kepalan tangannya. Meminta untuk diremas kuat - kuat.

Bokuto membayangkan apa yang tersembunyi di balik mantel berwarna putih gading itu.

Gaun seperti apa yang menyelimuti tubuhnya? Apakah membentuk garisnya dengan sempurna? Bagaiman rona kulit? Ukuran payudara, akankah telapak tangan Bokuto cukup untuk meremas salah satunya? Apakah warna putingnya sepucat warna kulit payudaranya yang kenyal dan bulat?

Pikiran yang sibuk membuat Bokuto tak sadar kalau tangan kanan sudah menyelinap di balik celana olahraga panjang yang ia gunakan untuk tidur. Melewati celana dalam boxer, jemarinya menyentuh kejantanan yang sudah mengeras.

Ia meremas batangnya sendiri, membayangkan tangan lain membantunya di sana.

Otaknya meliar, sejalan dengan gerakan tangan yang semakin cepat dengan gerakan berulang.

Bayangan akan leher putih dan jenjang, ditelusuri dengan lidahnya, meninggalkan jejak liur. Terus ke atas, melewati dagu bulat telur, hingga sampai ke bibir yang warnanya lebih merona karena dikulum.

Telinganya seakan mendengar nyata desahan yang lembut dari bibir itu. Sensual. Membuat gairah Bokuto semakin tergoda.

Ia merebut nafas yang tersengal dari bibir mungil nan ranum, selagi tubuh kekarnya menyentak tubuh yang lebih ramping di bawahnya. Berulang kali.

Wanita itu hanya sanggup menggumamkan namanya samar, dengan nafas yang seadanya, seolah berusaha merebut oksigen dari mulut Bokuto. Lengan telanjangnya kini dilingkarkan erat pada bahu bidang Bokuto, nyaris mencakar kulit punggung. Ia tak berhenti bergerak, semakin kuat, semakin dalam menyentak bagian intimnya.

Hampir keluar.

Bokuto memejamkan erat mata, nafas memburu. Sedangkan wanitanya mulai terisak.

'Kotaro - san.'

"Hh-!"

Lepas.

Cairan berlendir itu keluar, menyelimuti telapak tangan Bokuto, sampai mengenai kain pakaian dalamnya.

Bokuto mengatur nafas, belum membuka mata. Pelan - pelan rasa tegangnya mengendur.

Digantikan rasa bersalah yang perlahan mendominasi.

"Maaf," suaranya serak, nafas masih terengal, "Sachiko."

Lama - lama Bokuto bisa gila, kalau setiap kali bertemu dengannya, harus terus menahan hasrat yang tak pantas dikeluarkan.

Ada apa dengannya?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC

Withlove,

Dinda308