Toneri tak mau kecewa karena seperti yang telah diduga-duga, tidak akan mudah meluluhkan hati Hinata. Karena itu dia bisa memaksa senyuman untuk mekar dengan indah di wajahnya.
"Ayo berenang!" ajaknya penuh semangat. Sebelum Hinata sempat menolak, dia menarik pergelangan tangannya dan membawanya menuju kolam renang yang terletak di bagian belakang rumah.
"Aku tidak mau!" tolak Hinata yang akhirnya berhasil menarik tangannya lepas dari genggaman Toneri, tepat sebelum lelaki itu menceburkan diri ke kolam. "Aku mau mandi saja." Hinata malu mengaku tapi dia belum mandi sadari masalah mereka dimulai, bahkan pakaiannya masih tidak berubah.
Namun, Toneri tak mendengarkan. Dia terkekeh nakal dan menarik tangan Hinata sebelum melempar tubuhnya ke dalam kolam.
"Toneri!!!" pekik Hinata, sialnya terlambat karena dia telah tertarik terjun mengikutinya.
Tinggi air kolam mencapai dada Toneri dan leher Hinata ketika mereka berdiri. Hinata melotot tajam sembari menyipratkan air, tapi Toneri menggangapnya candaan. Dia membalas cipratan air Hinata.
"Hentikan!" Hinata membalasnya kian cepat karena kesal tapi Toneri malah tertawa. Mereka saling mencipratkan air hingga Hinata mulai lelah dan kehilangan tenaga sementara Toneri seolah tak kenal lelah. Air yang dia cipratkan kian besar hingga akhirnya membuat Hinata menyerah.
"Aku bilang hentikan!" Hinata menunduk karena sudah lelah mengelap mata yang dikenai air. Dia mengambil langkah mundur tapi berat tekanan air malah membuatnya tersungkur ke belakang.
Toneri dengan gesit menangkapnya sebelum terjatuh. Dia menarik pinggangnya terlalu kuat hingga menyebabkan wajah Hinata berakhir mengenai dadanya. Kaki Hinata berjinjit di atas kaki Toneri. Dia perlahan mengangkat kepala dan kontak mata tak sengaja bertemu.
Hinata membeku untuk sejenak dan lamuannya buyar ketika lagi-lagi lelaki itu tersenyum secerah mentari pagi dan semanis gula. Dia mengambil langkah membuat keseimbangan Hinata oleng. Spontan Hinata menarik pundak Toneri untuk dijadikan pegangan. Beruntung Hinata tak jatuh tapi sialnya mereka menjadi terlalu dekat hingga pipi Hinata mulai bersemu merah.
Tidak ada jarak pada pakaian mereka yang basah kuyup. Toneri menarik wajahnya mendekat. Sejengkal menjadi setengah jengkal.
.
.
Disclaimer : Demi apapun, Naruto bukan punya saya, punya Masashi Sensei, saya hanya pinjam saja.
(Hati hati typo, tulisan mendadak hilang, OOC, AU dan lain-lain. Udh usahain sebagus mungkin)
Treat You Better
by Authors03
.
.
Chapter 14
.
.
.
Hinata segera membuang wajah guna menghindar. Dia mendorong Toneri dan mengambil dua langkah mundur sebelum berkata, "aku kedinginan! Aku masuk dulu." Dia beranjak meninggalkan kolam dan Toneri, setelahnya memasuki rumah dalam keadaan basah kuyup.
Hinata meraih sembarang handuk yang dia temukan di wilayah belakang rumah dan buru-buru memasuki kamar tamu di lantai dua. Dia membanting pintu hingga tertutup dan menempelkan punggungnya di sana, takut Toneri mungkin menyusul.
Hinata ... deg-degan. Jantungnya berdetak sangat kencang sampai bisa dia dengar. Perempuan itu merasakan wajahnya memerah dan dia menepuk-nepuk dadanya guna menenangkan diri. "Kau adalah manusia normal, Hinata." Hinata berbicara kepada dirinya sendiri. "Bahkan malaikat akan tergoda bila digoda oleh pria setampan dan seseksi itu. Itu normal. Itu sangat normal, Hinata."
Hinata merasa sangat buruk sekarang. Berkali-kali dia meniup nafas dan menepuk-nepuk pipinya yang masih terasa panas.
Sementara itu, Toneri juga ikut bersemu merah wajahnya. Bukan karena cinta tapi malu akan penolakkan. Dia baru saja menenggelamkan dirinya.
...
Pukul delapan malam Hinata turun degan keadaan rapi, berbalut piyama coklat berlogo Canel. Ini bukan pertama kali Toneri telah menunggunya di ruang makan bersama makanan.
"Hi!" Pria itu menyapa tanpa dosa, senyuman manisnya tidak pernah ketinggalan. "Ayo makan."
Hinata tidak punya tenaga untuk membantah. Dia menurut dan duduk di depan Toneri, meja keramik putih setinggi dada memisahkan.
Acara makan dimulai dalam kebisuan sampai kemudian suara dering hp terdengar. Toneri mengambil benda pipih itu dari atas kursi di sampingnya dan menekan tombol hijau. Dia membuka loudspeaker sebelum meletakkannya di atas meja.
"Di mana kau?" Suara itu menyentak Hinata, membuatnya spontan menatap Toneri.
Itu adalah Naruto, dia berkata, "aku di depan rumahmu sedari tadi." Naruto sudah setengah jam mengetuk pintu dan menunggu tapi tidak ada respon. Dia menelepon Hinata tapi diabaikan, maka dari itu dia menelepon Toneri.
"Aku tidak ada di rumah. Apa yang kau inginkan?" kata dan tanya Toneri. Hinata tak bersuara karena penasaran apa tujuan Naruto menelepon. Dia sedang menunggu waktu yang tepat.
"Soal surat perceraian--" Toneri menekan tombol merah sebelum Naruto menyelesaikan kata-katanya.
"Mengapa kau matikan?" Hinata panik mendengar kata 'surat cerai'. "Naruto tidak berencana menceraikan aku, kan?"
Toneri tak menanggapi. Dia mematikan hp ketika Naruto menelepon lagi dan melanjutkan acara makan. "Toneri!" seru Hinata yang cemas tapi Toneri malah tidak mau memberikan penjelasan.
"Kau sudah dengar sendiri. Apa yang kau ingin aku katakan?" Hanya itu respon Toneri.
Hinata berdiri karena tidak bisa lagi tenang. "Aku tidak mau!" tegasnya. "Aku tidak akan pernah menceraikannya. Aku mau pulang!"
Lagi-lagi Toneri tak merespon dan yang bisa Hinata pikirkan adalah membujuknya, "aku moho--"
Toneri meletak kasar alat makan ke atas meja, suara yang tercipta menyela Hinata. "Aku akan sangat marah bila kau memohon untuknya." Hinata seharusnya menjadi orang yang marah di sini, tapi Toneri malah terlihat lebih kesal darinya. Andai tahu Hinata akan bereaksi seperti itu, Toneri berpikir lebih baik mengabaikan panggilan Naruto karena itu hanya berakhir dengan merusak mood baiknya.
Merasa tidak bisa berbicara, Hinata meninggalkan ruang makan setelah kalimat, "aku mau pulang."
Toneri menggerutu sebelum menyusul. Dia tarik lengan Hinata untuk menghentikan langkah kakinya. "Aku tak akan pernah membiarkanmu kembali padanya. Apa yang akan kau lakukan? Memohon padanya untuk tidak meninggalkanmu?"
"Mungkin," jawab Hinata sembarang. Dia menepis kasar tangan Toneri hingga terlepas tapi lagi-lagi Toneri menariknya. "Kau masih belum puas mempermainkan kami?" Hinata berbicara ketika gagal menarik lengannya terlepas dari cengkraman Toneri. Pria itu sangat keras kepala.
"Kau berpikir aku bermain-main denganmu?"
"Benar!"
"Berapa kali lagi harus aku katakan aku benar-benar mencintaimu?" Mereka saling menyela. "Aku mencintaimu pertama kali aku melihatmu. Aku ingin bersamamu, kau tidak mengerti itu?"
"Kau memperlakukan aku sesuka hatimu dan berani meminta aku untuk mengerti?" Hinata menarik tangannya. "Lepaskan aku!"
Berdebat dengan Hinata adalah hal yang paling menjengkelkan dari semua hal, apalagi di saat dia membela pria lain. Toneri sangat marah tapi bahkan tidak tahu bagaimana cara membuat Hinata mengerti apa yang ada di dalam hatinya.
"Aku bilang lepaskan aku!" Hinata merontak tapi Toneri malah meraih tengkuknya untuk mengikis jarak di antara mereka.
Hinata tak bisa banyak bergerak, semua yang bisa dia lakukan hanya menatap lurus mata Toneri yang berjarak satu jengkal darinya. Detik itu Hinata sadar itu adalah pertama kali dia melihat Toneri tidak tersenyum dan bereaksi marah. Dia terlihat sangat terluka, sedih dan kesal.
"Kau benar-benar ingin aku memperlakukan dirimu sesuka hatiku? Baik! Aku akan menciummu bila kau bersikeras meninggalkan rumah Ini." Hinata merontak tapi tak Toneri lepaskan. Ketika dia mendorong, Toneri menangkap tangannya untuk memastikan dia tidak bergerak meski hanya satu inci.
"Aku akan menciummu kalau kau berani menyebut namanya. Aku akan menciummu jika kau berdebat denganku untuknya dan aku bersumpah bila kau berani hanya sekedar memikirkannya, aku akan ..." Rahang Toneri mengeras mengatakan betapa dia geram pada Hinata. Tidak ada kepedulian pada sorot mata perempuan itu membuatnya kian jengkel.
"Aku akan ..."
TO BE CONTINUE
Akan apa? Hehe
Hi guys
Hehe publish satu bab lg ya soalnya aku gregetan bangat. Dua bab kedepan pun aku suka sekali hehehehe
Bye guys
