"Sok misterius," komentar siswa yang duduk di pojok kiri depan setelah Kaizo pergi dari kelas. Dia ikut pergi tak lama setelah itu, tidak menghiraukan ajakan siswa lain untuk berdiskusi soal kelas olahraga.
Siswi yang duduk di tengah depan berbalik, menyerong ke arah Halilintar. Tangannya menunjuk dirinya sendiri, sambil berkata, "Namaku Ying," tangan Ying kembali menunjuk ke arah lain: gadis berjilbab dan anak laki-laki yang juga duduk di jajaran belakang. "itu Yaya dan itu Taufan. Yang tadi keluar namanya Solar."
Halilintar mengikuti arah yang ditunjuk Ying dan menemukan Yaya tersenyum sambil membawa kursi mendekati mejanya dari arah kanan. Hal serupa juga dilakukan Ying, gadis itu berbalik dan mendorong kursinya hingga berhadapan dengannya. Halilintar mengerutkan alis. "Kalian mau apa?"
"Diskusi soal kelas olahraga," jawab Yaya. Gadis itu meletakkan beberapa lembar kertas di atas meja, berisi jadwal pelajaran dengan beberapa kolom yang masih kosong dan kertas lainya berisi jadwal kelas konsentrasi. Yaya membagikan kertas itu pada mereka.
"Kita di sini cuma berempat, tapi aku ngerasa lagi dipelototin orang sekampung," keluh Taufan sambil menggeser kursinya ke sebelah kiri Halilintar. Matanya melirik ke dinding bagian kanan beberapa kali.
Halilintar ikut melirik. Cara masuknya yang selonong boy membuat dia baru menyadari ada puluhan topeng menggantung di dinding bagian kanan dan kiri. Topeng-topeng itu berwarna-warni dengan berbagai jenis dari beberapa daerah di Indonesia. Selain topeng, di dinding bagian belakang juga terdapat bermacam-macam lukisan dan rak besar di pojok kiri depan menyimpan banyak karya seni rupa tiga dimensi.
"Wajar, ruangan ini kan bekas ruang kesenian," imbuh Yaya.
Taufan mencondongkan tubuhnya ke depan, kemudian berbisik, "Kalian tahu nggak? Kata kakak kelas, di ruangan ini kalau malam ada bunyi gamelan."
"Itu cuma rumor, Fan. Mana ada yang kayak gitu."
"Terus katanya, kalau malam lukisan-lukisan di sini juga sering keluar dari kanvas."
Ying memutar kedua bola matanya. "Halilintar, kalau orang ini ngomong aneh-aneh lagi nggak usah didengerin."
Yaya mengetuk-ngetuk meja, meminta semuanya fokus. Konferensi meja kotak pun dimulai.
E Class
Story by Sky Liberflux
Disclaimer: Boboiboy sepenuhnya milik Monsta
Bab 2: Anak-anak Buas
Tangannya bergerak mengetuk pintu berukiran elang dan awan tiga kali, usai mendapat jawaban dari dalam, Kaizo melangkah masuk ke salah satu ruangan di lantai lima. Ruangan itu luasnya mirip dengan ruang guru, bedanya tidak ada sekat-sekat yang memisahkan setiap orang, hanya ada satu set sofa di tengah ruangan dengan beberapa fasilitas meja kerja yang lengkap dan dapur kecil.
"Kaizo, kah? Duduklah," ucap wanita yang sejak tadi berkutat di depan dapur kecil.
Kaizo duduk di salah satu sofa, kemudian wanita itu berjalan sembari membawa nampan berisi dua cangkir teh. Asap tipis mengepul di atasnya disertai semerbak harum bunga melati. Wanita itu duduk berhadapan dengan Kaizo, senyuman di wajahnya tidak juga hilang.
"Ini kali pertama kita bertemu langsung. Saya dengar kamu suka teh hijau, saya ganti teh biasa, tidak apa-apa, kan?"
"Tidak apa-apa."
Wanita itu mengambil teh miliknya, menyesapnya perlahan-lahan. "Bagaimana situasinya?"
"Sejauh ini semuanya lancar. Hanya saja, saya ingin memberi mereka sedikit waktu untuk bermain."
Wanita itu berhenti menyesap tehnya. Alisnya bertaut. "Berapa lama?"
"Tergantung bagaimana mereka mengakhirinya."
Air mukanya berubah kelam. Terlihat jelas ketidak sukaannya. "Kamu pikir ini main-main? Jangan sesumbar hanya karena kamu orang yang dipilih langsung oleh Beliau."
"Jangan khawatir. Orang seperti Beliau pasti sering menghadapi ketidakpastian. Ini tidak ada apa-apanya."
"Ini hanya saran, Kaizo. Kamu pasti sudah dengar kejadian hari itu, bukan? Jika kejadian itu terulang lagi, saya harap kamu paham akibatnya."
Kaizo meminum tehnya dengan tenang, tidak memedulikan tatapan kepala sekolah yang berubah tajam.
~o0o~
Halilintar meninggalkan konferensi meja kotak setelah Ying dan Yaya berebut ingin olahraga di hari rabu dan jumat, sedangkan Taufan tidak membantu sama sekali, malah menjadi kompor meleduk di antara keduanya. Karena itu Halilintar memilih golput. Mengejar Kaizo terdengar lebih penting sekarang.
Namun, saat ditemui di ruang guru, Kaizo tidak ada, dicari di tempat lain pun tidak ada. Rupanya ucapan pemuda itu di kelas tidak lebih dari secuil kebohongan. Entah apa tujuannya berkata bisa ditemui di ruangannya tapi batang hidungnya saja tak ada. Yang dia temukan malah adiknya yang baru selesai konsultasi dengan wali kelasnya. Kemudian, mereka berjalan keluar bersama.
Sepanjang jalan Gempa bercerita dengan semangat empat lima soal teman-teman di kelasnya, tetapi Halilintar sendiri tidak begitu mendengarkan. Pikirannya malah sibuk memikirkan pertanyaan wali kelasnya tadi.
Halilintar pertama kali bertemu dengan pemuda itu pada tes wawancara. Kaizo menggantikan pewawancara sebelumnya yang mendadak dipanggil kepala sekolah. Awalnya semua berjalan normal. Sepanjang wawancara berlangsung, Kaizo hanya memberikan pertanyaan-pertanyaan umum, seperti: bagaimana sekolahnya dulu? Mata pelajaran apa yang menjadi favoritnya? Aktif dalam bidang apa? Dan lain-lain. Namun, pertanyaan terakhir Kaizo terasa cukup aneh bagi Halilintar.
Kaizo berkata, bagaimana jika SMA Budi Asih adalah tempat yang cocok untuknya? Saat itu juga Halilintar merasa otaknya macet dalam menyusun kalimat balasan. Pikirannya mulai bertanya-tanya sekaligus merasa terintimidasi tatapan Kaizo yang lurus menatap matanya. Seolah sedang berkata, saya tahu kalau kamu mencoba berbohong, jadi jangan pernah lakukan itu. Alhasil, Halilintar hanya tertunduk demi menghindari tatapan setajam silet itu.
Setelah lima menit—tanpa jawaban—yang terasa bagai lima abad, Kaizo mengakhiri sesi wawancara itu dan meminta Halilintar tidak memikirkan pertanyaan terakhirnya, tetapi tetap saja gara-gara itu Halilintar tak bisa tidur nyenyak tiga malam berturut-turut.
Langkah kaki mereka berhenti di gazebo yang terletak di depan gedung satu. Untuk sekarang tidak banyak siswa yang berkeliaran di sana, jadi Halilintar tidak banyak protes. Kemudian, mereka duduk berhadapan.
"Aku ambil konsentrasi Ilmu Alam, Kakak rencananya mau ambil apa?" tanya Gempa masih dengan semangat empat lima.
Halilintar mengangkat bahu. "Nggak tahu."
"Sudah paham soal kelas konsentrasi?"
Halilintar menggeleng.
Sudah Gempa duga. Kakaknya lebih suka berkeliaran mencari tempat sepi daripada mendengarkan informasi soal sekolah ini, makanya informasi soal kelas konsentrasi tidak ada yang tersangkut di otaknya.
Gempa mengeluarkan buku catatan miliknya. Dia membuka halaman paling belakang dan mulai membuat beberapa coretan menggunakan pulpen. Dari coretan itu, Gempa menjelaskan, ada dua kelas konsentrasi di lingkungan SMA Budi Asih, Ilmu Alam dan Ilmu Sosial. Sedikit mirip dengan sistem jurusan di SMA biasa. Bedanya, pembelajaran non konsentrasi akan dilaksanakan di kelas reguler; kelas A sampai E. Para siswa yang memilih kelas konsentrasi Ilmu Alam akan berkumpul dengan siswa dari kelas lain yang memilih konsentrasi serupa. Begitu juga dengan kelas konsentrasi Ilmu Sosial. Karena itu, sekolah mengadopsi sistem pembelajaran moving class. Jadi, kelas reguler dan kelas konsentrasi dilaksanakan di gedung yang berbeda.
"Sudah paham?"
Halilintar mengangguk-angguk seperti hiasan mobil berkepala besar.
Baru saja Gempa mau bertanya lagi, tetapi perhatian mereka teralihkan oleh suara berdebum dari arah salah satu pohon belimbing yang ada di sekitar gazebo. Keduanya menoleh mendapati seorang anak laki-laki baru saja jatuh dari atas pohon dengan pantat lebih dulu mencium tanah, beberapa buah belimbing dan sepasang sepatu berserakan di sekitarnya. Sadar sudah menjadi tontonan, anak laki-laki itu menoleh dan memamerkan senyum pasta gigi miliknya.
"Hai," katanya.
"Kenal, Kak?" bisik Gempa.
"Taufan, murid di kelasku."
"Oh."
Taufan menghampiri Halilintar dan Gempa sambil menenteng sepatu miliknya. Kemudian duduk di samping Gempa.
"Kamu temannya Halilintar?" tanya Taufan setelah puas mengeluh soal pantatnya yang terasa berdenyut-denyut sakit.
"Aku adiknya. Namaku Gempa." Gempa mengulurkan tangannya pada Taufan.
"Seumuran? Kalian kembar? Wah, kalian sedikit … nggak mirip, ya." Taufan menjabat tangan Gempa dengan mata membulat dan wajah terheran-heran seperti baru pertama kali melihat harta peninggalan Genghis Khan.
Halilintar dan Gempa hanya tersenyum seadanya. Kalimat itu tak asing lagi bagi mereka berdua, lagipula tidak semua anak kembar berwajah mirip bagai pinang dibelah dua—yang setiap belahannya sama besar dan simetris. Anggap saja mereka ini bagai pinang dibacok asal-asalan, makanya tak mirip.
Taufan berdehem, kemudian berkata, "Oh iya, Halilintar. Kelas olahraga nanti kita digabung sama kelas A. Hari selasa."
Halilintar mengerutkan alis. "Bukannya tadi Ying dan Yaya ribut mau hari rabu atau jumat?"
"Mereka pakai pendapatku." Taufan menepuk-nepuk dadanya. Ada kebanggaan tersendiri bisa memberikan solusi di tengah keributan Yaya dan Ying, padahal dialah yang membuat keributan itu menjadi semakin panas.
"Tunggu, kenapa digabung sama kelasku?" tanya Gempa.
"Kamu kelas A, ya. Murid di kelas kita cuma lima orang. Makanya Pak Kaizo maunya digabung sama kelas lain."
"Aku lupa bilang," imbuh Halilintar.
"Jadi, selain aku dan Halilintar, ada Ying, Yaya, dan Solar, mereka bertiga itu Trio BBB."
"Hah?" ucap Halilintar dan Gempa kompak.
"Kalian penasaran, hm?" tanya Taufan sambil nyengir dengan kedua alis naik turun. Melihat raut penasaran di wajah keduanya membuat Taufan mengolah vokal sebentar sebelum menumpahkan pengetahuan yang dia punya.
"Mereka dijuluki Trio BBB—Bukan Buas Biasa. Julukan ini nggak asal-asalan, karena mereka bertiga ada di puncak hierarki anak-anak Buas. Tahu piramida, kan? Nah, ibaratnya mereka itu ada di puncak piramida, sedangkan kita ada di bagian tengah atau mungkin bagian bawah."
"Bukannya nggak sopan nyebut mereka anak-anak buas?"
"Kalian pendatang baru di sekolah yayasan ini ya?" Gempa mengangguk ragu. "Buas itu singkatan dari Budi Asih, kalian berdua udah resmi jadi siswa SMA Budi Asih, jadi, kalian juga anak-anak Buas. Tapi, mereka ini bukan anak-anak Buas biasa. Yang pertama, Yaya. Waktu SMP, dia ketua dari sebagian besar ketua—kecuali ketuaan. Dia aktif di berbagai kegiatan sekolah, ikut banyak ekskul sampai OSIS dan kalian tahu? Tahun kemarin dia dapat juara pesilat terbaik putri di pertandingan silat tingkat provinsi. Kemampuan akademik Yaya juga nggak kalah bagus. Sejak nilai Solar ancur-ancuran, Yaya niat banget buat gantiin posisi Solar di peringkat paralel angkatan.
"Kedua, Ying. Dia jarang aktif di kegiatan sekolah, kecuali di ekskul atletik, bahkan Ying sering menang perlombaan di bidang atletik, kayak lari jarak pendek 100 meter dan lari estafet. Tapi, Ying juga lumayan aktif dibidang akademik, beberapa kali Ying ikut seleksi olimpiade dan dia juga nggak mau kalah dari Yaya soal gantiin posisi Solar. Mereka berdua itu sering berantem sebelum ujian, tapi bakal saling dukung kalau soal ekskul masing-masing. Aneh, kan?
"Dan terakhir, Solar. Dia itu yang paling nggak manusiawi diantara mereka. Peringkat paralel angkatan selalu jatuh ke tangan Solar, hampir mustahil dikalahin, walaupun itu sama Ying atau Yaya. Udah gitu, lahir dari keluarga kaya, pintar, rajin dan jago nembak—bukan nembak perempuan. Dia itu sering ikut turnamen menembak." Taufan celingukan mengamati keadaan sekitar, kemudian berbisik, "Dengar-dengar, waktu SMP ada pistol di lokernya." Lalu berdehem, kembali menormalkan suaranya. "Tapi, itu dulu. Sekarang nilainya udah lebih manusiawi. Ya … lebih cocok disebut terjun bebas sih, walaupun nggak sampai peringkat terakhir."
"Kok bisa?" tanya Gempa.
Tiba-tiba air muka Taufan berubah masam. "Dia bilang, bosan dapat peringkat paralel terus. Dasar sombong. Tapi, yang bikin aku heran, kenapa mereka ada di kelas E, ya? Puncak hierarki itu kan ada di atas dan A itu abjad pertama. Harusnya di kelas A, kan?"
Ketiganya mendadak diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Ucapan Taufan ada benarnya. Jika sistem pembagian kelas memang dikategorikan dari yang terpintar sampai yang kurang pintar, otomatis Yaya, Ying dan Solar harusnya ada di kelas A. Namun, jika pembagian kelas diacak—bukan berdasarkan kepintaran— pun mereka bertiga tidak wajar ada di kelas yang sama, apalagi berkumpul di kelas E, kelas terakhir dengan jumlah murid paling sedikit.
Omong-omong soal kelas E, Halilintar jadi teringat Kaizo. Gara-gara obrolan ini dia sampai lupa mencari pria itu. Halilintar langsung berdiri, mengundang tatapan heran dari Gempa dan Taufan.
"Aku pergi dulu," ucap Halilintar sambil berlari masuk ke gedung satu.
"Kakak kamu kenapa kabur-kaburan terus sih, Gem? Sampai sering diomongin anak OSIS. Tadi di kelas juga gitu."
"Dia belum terbiasa. Tolong dimaklumi."
~o0o~
Hampir saja Halilintar kembali mendatangi ruang guru, untungnya dia bertemu dengan Yaya dan Ying di lobi. Mereka bilang, Kaizo ada di depan ruang kesehatan. Halilintar langsung berlari secepat yang dia bisa, khawatir pria itu akan kembali cosplay menjadi avatar.
Namun, karena terlalu buru-buru, dia tidak sengaja menabrak seseorang di tikungan sebelum ruang kesehatan. Orang itu jatuh terduduk dan barang-barang miliknya ikut berserakan di lantai.
"Maaf, saya nggak sengaja," ucap Halilintar sambil memungut beberapa buku catatan, sticky note kosong dan pulpen milik pria itu.
Pria berjaket hijau gelap itu hanya diam sambil menerima barang-barangnya, Halilintar tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena tertutup tudung jaket, tetapi kedua tangannya terlihat seperti terserang tremor.
"Saya benar-benar nggak sengaja," ucapnya lagi, tetapi pria itu tetap diam. "Kalau begitu, saya pergi dulu. Maaf sebelumnya."
Halilintar kembali meneruskan langkahnya, kali ini tidak berlari, hanya berjalan dengan kecepatan tinggi. Akhirnya dia melihat Kaizo tengah berbicara dengan seorang perempuan berjas putih di depan ruang kesehatan. Mereka berhenti bicara setelah melihat Halilintar dalam radius sepuluh meter. Perempuan berjas putih itu terlihat masuk ke ruang kesehatan setelah menepuk-nepuk pundak Kaizo.
"Mau konsultasi kelas konsentrasi, Halilintar?" tanya Kaizo setelah Halilintar sampai di depannya.
"Bukan, eh tapi iya, tapi bukan sih."
Kaizo mengerutkan alis mendengar jawaban Halilintar yang berputar-putar seperti bianglala. "Ada yang mau kamu bicarakan?"
"Sebenarnya saya mau bicara soal kelas E."
Kaizo menimbang-nimbang sebentar, lalu dia mengajak Halilintar masuk ke ruang kesehatan. Halilintar mengekor Kaizo di belakang dengan wajah bingung.
Begitu masuk ke ruangan itu, Halilintar merasa seperti masuk ke dunia lain. Ruangan itu bernuansa serba putih dengan tirai-tirai besar yang digulung di samping dipan. Dari dalam ruangan itu tercium aroma khas obat-obatan yang terasa seperti sedang social distancing dengan pengharum ruangan beraroma jeruk, membuatnya berpikir ada obat rasa jeruk tumpah di sudut ruangan ini. Tidak tahan menghirupnya, Halilintar bersin berkali-kali.
"Shielda, saya pinjam ruangan ini."
"Silahkan." jawab perempuan bernama Shielda acuh tak acuh, tangan perempuan itu sibuk menumpuk kertas di meja. Begitu pandangannya bertemu dengan Halilintar, Shielda langsung menyapa, "Halo, anak hilang. Maaf untuk yang tadi."
Halilintar mengenali wajahnya. Perempuan itulah yang mengantarnya sampai ke depan pintu ruang kesenian yang sekarang bertransformasi menjadi kelas E.
Sebelum pergi Shielda berwasiat agar tidak ada yang menyentuh tumpukan kertas di atas meja kerjanya atau dia akan menggantung mereka di pohon tauge.
"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Kaizo setelah Shielda menghilang dari ruangan itu. Kaizo meminta Halilintar duduk berhadapan di depan meja Shielda.
"Sebenarnya, saya merasa tidak cocok ada di sini. Saya rasa ada kesalahan di penerimaan siswa, mungkin saya harusnya tidak diterima."
Kaizo bersandar di sandaran kursi, kedua tangannya dilipat di depan dada seraya bertanya, "Kenapa?"
Halilintar mendadak diam. Tidak mungkin dia berkata jujur kalau dia mengerjakan soal tes tulis asal-asalan dengan sengaja agar tidak lolos penerimaan siswa. Namun, sebenarnya itu alasan pertama. Alasan lainnya, Halilintar sering mendengar rumor bahwa SMA Budi Asih gudangnya anak-anak berprestasi, tetapi dia sendiri merasa tak punya hal seperti itu.
Selama sembilan tahun terakhir, Halilintar hanya menjalani home schooling. Sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah, belajar secukupnya, terkadang dia menghabiskan waktu dengan menemani kakek tetangga sebelah rumah bermain gitar. Sepadan dengan apa yang dilakukan, nilainya hanya berhenti di tingkat lumayan, tidak begitu bagus dan lebih banyak kurangnya.
Halilintar semakin merasa ada batu yang mengganjal hatinya setelah mengobrol dengan Taufan dan adiknya di gazebo. Mendengar latar belakang Yaya, Ying dan Solar membuatnya merasa begitu kecil, apalagi setelah mendengar teori Taufan soal hierarki piramida. Dengan latar belakangnya itu, dia merasa ada di bagian paling dasar dari piramida itu. Meski awalnya Halilintar legowo menerima kenyataan, tetapi sekarang dirinya jadi bertanya-tanya sendiri, apakah kedepannya dia benar-benar cocok ada di sini?
"Jangan merasa terbebani. Kamu akan tahu jawabannya setelah menjawab pertanyaan saya di kelas," ujar Kaizo lagi, seakan tahu apa yang dipikirkan Halilintar.
"Tapi …."
"Apa ini karena teman-teman di kelasmu?" tebak Kaizo. Mata anak didiknya sedikit membulat sebelum kembali menatap pola kotak-kotak di lantai. Kaizo paham sekarang. "Saya pikir, kamu bukan orang yang suka membandingkan sesuatu. Tetapi, kalau boleh jujur, dilihat dari sisi manapun, kalian tidak layak dibandingkan."
Halilintar meringis, apa begitu parah nilainya sampai wali kelasnya sendiri bilang bahwa dia dan teman-temannya tidak layak dibandingkan.
"Ini seperti membandingkan pelari amatir dengan pelari profesional. Apa yang kamu lihat sekarang adalah hasil dari latihan panjang yang mereka jalani. Tetapi, kalau kamu mau mengikuti jejak mereka, saya pikir masih ada waktu dan semua keputusan itu ada di tangan kamu. Untuk sekarang, lihat sisi positifnya saja. Ada ratusan orang yang mendaftar, tetapi hanya seratus orang yang diterima dan kamu salah satunya. Anggap saja ini keberuntungan," lanjut Kaizo. Melihat awan mendung perlahan pergi dari wajah Halilintar, Kaizo sudah bisa menarik kesimpulan. Di balik diamnya, Halilintar mungkin sudah paham apa yang dia bicarakan.
"Ada lagi yang mau ditanyakan? Soal kelas konsentrasi, mungkin."
Halilintar tampak ragu. Tangannya terlihat beberapa kali mengusap leher belakangnya. Namun, setelah matanya menatap sang guru, Halilintar berkata, "Kelas konsentrasi yang jumlah siswanya paling sedikit, yang mana, Pak?"
Kaizo tersenyum, tangannya meraih setumpuk kertas di meja, dilinting seperti rokok, kemudian dihadiahkan ke pucuk kepala Halilintar.
"Ambil konsentrasi sesuai minatmu!"
.
.
.
Tbc
Halooo aku kembali ^^
Terima kasih sudah membaca cerita ini. Jika berkenan, boleh kirimkan kritik dan saran di kolom review. Sampai nanti ^^
