"Akhirnya resmi juga."

Yaya, Ying dan Taufan berbaris dengan rapi di depan pintu masuk, seolah hari ini adalah hari bersejarah bagi mereka. Tentu. Karena hari ini, setelah sekian lama papan nama ruang kesenian diganti menjadi papan nama ruang kelas E. Tiga pasang mata itu menatap takjub setiap prosesi sakral yang sedang berlangsung, hingga membuat seorang tukang yang ditunjuk untuk menjalankan tugas mulia itu salah tingkah.

Setelah tukang itu turun dari tangga portable, Taufan langsung berlagak seperti wartawan profesional, melakukan wawancara sederhana terkait nasib artefak peninggalan ruang kesenian, apakah akan dipindahkan ke ruang kesenian yang baru atau akan dijual pada kolektor barang antik? Walaupun Taufan sendiri tidak yakin mahakarya tersebut akan laku di pasaran.

Gelengan tukang itu cukup membuat rentetan prosesi sakral tadi tampak sia-sia. Bagaimanapun juga, jika topeng-topeng dan lukisan-lukisan di kelas itu tidak dipindahkan, sama saja bohong. Yang berubah hanya label luarnya saja, sedangkan bagian dalam tetap terlihat sama seperti sebelumnya.

Dari kejauhan, Halilintar berlari seperti kuda liar di koridor. Namun, kuda yang satu ini seolah tidak punya teknologi canggih bernama rem dan klakson, barbar sekali dalam menerobos blokade Yaya, Ying dan Taufan di depan pintu masuk.

Yaya dan Ying masih sempat menghindar di saat-saat terakhir, tetapi tidak dengan Taufan. Dia jatuh nyusruk ke depan. Selama beberapa saat Taufan tetap dalam posisi jatuhnya; tengkurap di lantai. Otaknya sedikit loading, karena tubuhnya merasa sensasi aneh sesaat setelah Halilintar menabraknya. Begitu sadar, Taufan langsung bangkit dan menyusul Halilintar ke dalam kelas. Dia mendapati Halilintar bersembunyi di pojok belakang kelas, seperti anak kecil yang ketahuan mendapat nilai jelek saat ujian matematika.

"Kamu bawa stun gun, ya?" semburnya. "Kena tanganku tahu, parah banget bawa alat gituan. Cukup Solar aja yang bawa barang aneh ke kelas, kamu nggak usah ikut-ikutan."

"Stun gun? Emang boleh bawa alat kayak gitu?" tanya Yaya sembari duduk di bangkunya dengan anggun ala putri Solo.

"Tuh, tanya aja sama orangnya."

Ying ikut penasaran dengan jawaban dari Halilintar. Namun, Ying sempat melihat wajah Halilintar menegang, seolah anak itu sudah tertangkap basah mencuri jemuran tetangga. "Beneran bawa?" tanyanya memastikan.

Halilintar buru-buru menggeleng. "Itu cuma halusinasi dia."

"Idih malah ngata-ngatain."

"Masuk akal," timpal Yaya, Taufan langsung mendelik. "Lagian kenapa lari-lari di koridor? Kayak dikejar setan aja."

"Mana ada setan keluyuran jam segini, rajin amat setannya."

"Cuma metafora, Fan."

"Aku dikejar orang-orang ekskul atletik," jawab Halilintar.

Ying menaikkan satu alisnya. "Mereka mau kamu masuk ekskul atletik?" Halilintar mengangguk. "Dan kamu nggak mau?" Halilintar mengangguk lagi. "Kenapa nggak coba dulu aja?"

Halilintar menggeleng. "Padahal udah kutolak kemarin."

Taufan mengangguk-angguk, di dalam kepalanya sudah terdapat kesimpulan dari semua ini. "Setan emang gitu, kalau belum terjerumus pasti ngejar-ngejar terus."

"Sembarangan!"

"Cuma metafora, Ying. Kenapa jadi kamu yang sewot?"

"Aku masuk ekskul atletik kemarin, mau ngata-ngatain lagi?"

Taufan tersenyum kaku pada Ying, dia mengangkat dua jarinya, menyatakan perdamaian sebelum gadis itu lebih dulu mencakarnya.

"Coba aja dulu, atau cari aja ekskul lain," usul Yaya, Ying ikut mengiyakan.

"Halah, ribet banget masalah ekskul. Kayak aku dong, bersolo karir." Taufan tersenyum sambil menepuk-nepuk dadanya bangga. "Apa itu ekskul? Mendingan pulang ke rumah, main game, atau baca komik. Hali, kamu baca komik Galaxy Heroes nggak?"

"Fan," potong Ying. "Nggak ada yang nanya pendapat kamu."

Senyum di wajah Taufan luntur, dia berjalan lesu ke pojok belakang kelas, berjongkok menghadap tembok; pundung.


E Class

Story by Sky Liberflux

Boboiboy sepenuhnya milik Monsta

Bab 4: Sesuatu yang Disembunyikan

Warning: Indonesia!AU, OOC, gaje.


Dalam materi geografi, fenomena siang dan malam bisa terjadi karena peredaran bumi mengelilingi porosnya, seperti roda yang berputar melawan arah jarum jam. Peristiwa itu disebut rotasi bumi.

Siang dan malam terjadi karena bagian bumi menghadap matahari pada waktu yang berbeda. Bagian yang menghadap matahari akan mengalami waktu siang, terang benderang agar manusia bisa beraktivitas; bagian yang membelakangi matahari akan mengalami waktu malam, gelap dan sunyi agar manusia bisa beristirahat. Terkadang, kebiasaan membuat siang menjadi malam, atau malam menjadi siang dilakukan sebagian manusia lain di belahan bumi manapun.

Lalu apa hubungan fenomena siang dan malam dengan wilayah Extre?

Sederhananya, Extre bisa dikatakan memiliki rotasi layaknya bumi. Saat jam belajar berlangsung, hanya terjadi sedikit aktivitas di tempat ini, tetapi begitu jam belajar berakhir, berbagai manusia mulai bermunculan, keluar dari sarang-sarang mereka, meramaikan macam-macam ekstrakurikuler yang ada.

Namun, Extre bukan hanya representasi dari bumi, ia lebih spesial dari itu. Di tempat ini, banyak harapan bertebaran memenuhi setiap sudut, banyak pula cita-cita yang menggantung di langit-langit, seperti halnya galaksi Bima Sakti di malam hari yang bertabur jutaan bintang. Terlihat indah bagi mereka yang tengah mengejar mimpi, cita-cita dan harapan.

Bicara soal cita-cita, kalau sekarang Halilintar ditanya, apa cita-citanya? Kemungkinan besar, dia tidak akan mau menjawab. Halilintar belum memikirkan akan jadi apa dirinya di masa depan. Tujuan hidupnya saat ini hanya ingin cepat lulus sekolah, itu saja. Namun, dulu sekali dia pernah punya satu cita-cita.

Menjadi Power Ranger merah, itu cita-citanya di masa lalu yang kelak ketika dia beranjak dewasa, Halilintar sangat malu untuk mengakuinya. Obsesinya pada Power Ranger merah membuatnya tergila-gila juga pada apapun yang berwarna merah. Tidak berhenti di situ, sedikit-sedikit dia juga mulai meniru adegan perkelahian tokoh utama serial franchise itu dalam melawan para penjahat.

Melihat bakat terpendam anak sulungnya yang mulai suka mencari keributan, terutama dengan geng manula, kedua orangtuanya sepakat mendaftarkannya ke salah satu perguruan pencak silat terdekat. Meski begitu, Halilintar menolak mentah-mentah saat disuruh datang sendiri ke padepokan silat setiap seminggu sekali. Dia baru setuju setelah diiming-iming akan diberi sekotak susu stroberi setiap latihan.

Sayangnya, Halilintar mogok berlatih setelah sang pelatih dan Papanya diam-diam mendaftarkan namanya di turnamen pencak silat kategori SD/Sederajat. Sejak itu pula subsidi susu stroberi yang diberikan padanya berakhir.

Karena itu, dari sekian banyak ekstrakurikuler yang diam-diam Yaya rekomendasikan, Halilintar memilih pencak silat. Selain karena dulu dia pernah menguasai bidang itu, jadwal ekstrakurikuler pencak silat kebetulan bentrok dengan atletik, sehingga dia berharap konfrontasi yang dilakukan anggota atletik akan berhenti.

Tidak sulit menemukan keberadaan ruangan ekstrakurikuler pencak silat di wilayah Extre. Ia menggunakan ruangan nomor tiga dan Halilintar sendiri pernah menyusup ke dalam sana.

Halilintar menemukan Yaya sedang mengobrol bersama seorang anak laki-laki berkacamata. Anak itu memakai dasi berwarna merah, dan dia pernah dilihatnya saat kelas olahraga gabungan kemarin.

Usai melihat Halilintar, anak itu pergi sambil membenarkan letak kacamatanya yang merosot, tak lupa membawa selembar kertas di tangannya.

Yaya tersenyum menyambutnya. Yaya juga memberikan sebuah kertas, blangko form pendaftaran ekskul pencak silat. "Di isi dulu, nanti kumpulin di aku. Kita biasa latihan sehabis shalat jumat."

Selesai memberikan form pendaftaran, Yaya kembali mengunci ruangan itu rapat-rapat. "Mau ke kantin? Ada Ying dan Taufan juga di sana," tawarnya.

Halilintar menggeleng. "Aku istirahat sama adikku."

"Oh. Habis istirahat aku ada kelas biologi, kita ketemu di lobi gedung dua, gimana?"

"Ok."

Mereka berjalan bersama sampai berpisah di persimpangan, Yaya ke arah kantin dan Halilintar ke arah gazebo gedung satu.

Gempa sudah duduk manis di salah satu gazebo gedung satu. Adiknya melambaikan tangan begitu melihat batang hidung Halilintar muncul dari persimpangan. Halilintar duduk berhadapan dengan adiknya. Di depan mereka sudah ada beberapa makanan ringan.

Halilintar terus memandangi tangan kirinya, tangan kanannya memegang roti rasa stroberi, mulutnya mengunyah dengan gerakan lambat karena lebih sering menghela nafas, daripada digunakan untuk melumat makanan.

Gempa perhatikan, kakaknya menghela nafas setiap lima menit sekali, seolah beban hidupnya lebih berat dari superhero yang harus menyelamatkan seisi bumi. Kalau tidak mengenal perangainya, Gempa pasti akan berpikir kakaknya sedang melatih kemampuan menyembunyikan materi ujian lisan di balik telapak tangan.

"Ada apa, Kak?" tanya Gempa kemudian.

Halilintar menggeleng.

"Ada masalah di kelas?"

"Bukan." Untuk sesaat, Halilintar menatap ragu-ragu pada adiknya. "Aku hampir ketahuan lagi."

Gempa tersedak. Dia buru-buru menenggak minuman kemasan dari kantong plastik. "Kapan?"

"Tadi pagi." Halilintar bisa melihat air muka adiknya berubah masam, Gempa mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Mereka kira aku bawa stun gun."

"Oh." Gempa menanggapi seadanya.

Halilintar memandang adiknya yang membuang muka. Tak lama kemudian, dia juga ikut membuang muka ke arah yang berbeda. Halilintar tahu apa yang membuat suasana hati adiknya berubah.

Mereka mungkin saudara kembar, tetapi bukan hanya wajah mereka yang tidak sama, melainkan juga fisik mereka. Tidak banyak yang tahu bahwa Halilintar punya satu keanehan. Jika dihitung-hitung, hanya keluarganya dan geng manula yang tahu mengenai hal ini.

Gempa terlahir sebagai anak yang normal, sedangkan Halilintar tak bisa menyebut dirinya sendiri normal sebesar apapun keinginannya. Sejak anak manusia mulai mencoba memahami dunia, dengan berbagai tingkah ajaib yang dilakukan disertai rasa penasaran yang menjulang setinggi langit, saat itu pula keanehan dirinya mulai disadari.

Dalam situasi tertentu, seperti saat tubuhnya terlalu senang, banyak bergerak, marah atau terkejut, orang-orang yang—sengaja atau tidak sengaja—menyentuh kulitnya akan merasakan sensasi tersengat listrik. Bahkan dulu Halilintar pernah melakukan eksperimen kecil, yaitu menyentuh sebuah tespen—alat pendeteksi aliran listrik—milik Papanya setelah berlari-lari kecil di depan rumah, tespen yang disentuhnya bisa menyala terang.

Kedua orang tua mereka pernah membawanya ke dokter, tetapi dokter sendiri percaya seratus persen bahwa Halilintar anak yang sehat. Dokter malah memberikan kuliah singkat soal biolistrik beserta peran ion positif dan ion negatif dalam tubuh manusia.

"Ini bukan hal yang mengejutkan. Di dalam tubuh manusia memang terdapat sel yang mengandung muatan listrik. Namun, apa yang terjadi pada putra Bapak dan Ibu memang cukup langka. Saya sarankan, agar dia mencoba mengendalikan listrik di tubuhnya. Jika tidak dikendalikan, saya khawatir bisa saja dia tidak sengaja melukai orang lain," ungkap dokter waktu itu.

Sejak saat itu hubungan Halilintar dengan Gempa mulai berbeda. Ada saat-saat dimana mereka mungkin terlihat akur di luar, tetapi untuk urusan tertentu, ada dinding kokoh di antara mereka. Dan Halilintar tahu persis Gempa punya berbagai alasan untuk tidak menyukai kemampuan anehnya.

"Aku udah beli komik Galaxy Heroes volume 37. Harusnya hari ini sampai," ucap Halilintar sambil membuka aplikasi jual beli di ponselnya.

Tak mudah baginya untuk mencairkan suasana. Halilintar tak paham cara berbasa-basi, atau mencari topik paling hangat untuk diperbincangkan. Dia lebih senang diam memperhatikan orang-orang saat bercerita, tetapi kali ini dia merasa harus melakukannya. Suasana siang ini terasa mulai mencekik nafasnya.

"Oh ya? Nanti aku pinjam ya, Kak," Gempa tersenyum, tetapi matanya tidak.

Halilintar tahu, seberapa palsu senyuman adiknya saat ini. Setelah menjejalkan semua roti ke dalam mulut dan hampir mati tersedak, Halilintar memilih pergi, kemanapun asal rasa sesak di hatinya bisa menyusut.

~o0o~

Geser ... geser lagi ... geser terus.

Sejak beberapa menit yang lalu, ibu jari Solar melakukan gerakan kontinu, bergerak dari kanan ke kiri, menggeser foto demi foto di galeri ponsel miliknya. Jika ibu jari bisa berbicara, mungkin ia akan berteriak karena merasa bosan, tak kalah bosan dari pemiliknya.

"Hasilnya nggak ada yang bagus." Wajah Solar tertekuk, bibirnya sedikit maju, manyun. Kontras dengan belasan foto di galeri ponselnya yang menampilkan senyum bisnis.

"Makasih. Udah bagus ada yang mau fotoin." Petugas perpustakaan lebih manyun lagi.

Beberapa menit yang lalu, pekerjaannya terpaksa tertunda karena ada bocah baru puber yang memohon-mohon minta diambilkan foto, katanya untuk diunggah di akun media sosial miliknya. Sebagai manusia baik hati dan tidak sombong, petugas perpustakaan meladeni setiap keinginan bocah itu, mengambil beberapa foto dengan berbagai pose, berganti-ganti background, dan memotret dari berbagai sudut. Namun, bagai air susu dibalas air kobokan, kebaikan hatinya justru dibalas hinaan.

"Sama-sama." Solar nyengir. "Bagus sebenarnya, cuma angle-nya nggak pas terus."

"Ucapan pertama biasanya lebih jujur," jawab petugas perpustakaan berusaha legowo. "Daripada ngeluh soal foto, mendingan bantu saya bereskan buku-buku ini. Anggap aja buat bayar jasa foto-foto." Petugas perpustakaan menepuk-nepuk buku setinggi gunung tak jauh dari meja kerjanya, memperlihatkan seberapa banyak pekerjaannya hari ini.

"Jadi harus bayar?"

Petugas perpustakaan mengangguk. "Saya nggak terima dibayar dua M (Makasih Mas). Di dunia ini, hal-hal gratis cuma oksigen dari Tuhan dan makanan di perangkap tikus."

Solar urung menyanggah. Petugas perpustakaan ternyata sudah lebih dulu mengendus niat jahatnya. Mau tak mau, Solar menuruti keinginan petugas perpustakaan sebagai balas jasa. Buku setinggi gunung itu berpindah ke tangannya, sementara si petugas bertugas mengarahkan kemana buku itu harus disimpan.

"Ngomong-ngomong, kamu jarang masuk kelas ya? Dari kemarin saya perhatikan, kamu lebih sering datang ke sini."

"Masuk kok," kilah Solar sambil mendekati tumpukan buku ke rak yang ditunjuk.

"Iya, masuk. Tapi lebih sering ke sini, kan?"

Solar tersenyum miring. "Santai, Pak. Saya udah pinter, nggak perlu belajar."

Solar tiba-tiba melotot, pucuk kepalanya terasa berdenyut-denyut, hampir saja tumpukan buku di tangannya berjatuhan. Pelakunya adalah petugas perpustakaan. Salah satu tangannya baru saja menjitak kepala Solar.

"Jadi manusia itu jangan sombong." Petugas perpustakaan melangkah lebih dulu sambil mengambil beberapa buku dari tangan Solar, menyimpan beberapa buku sekaligus dalam satu rak. "Saya udah dengar kalau kamu di sekolah sebelumnya terkenal juara kelas, tapi belajar itu tetap perlu, Solar. walaupun kamu ngerasa udah pintar."

Solar sudah menduga, rekam jejaknya selama bersekolah sedikit demi sedikit sudah mulai menyebar di lingkungan ini, bahkan petugas perpustakaan sampai tahu. Solar tak lagi heran kalau si petugas tahu juga rumor soal dia yang punya orang dalam di sini.

"Tenang aja, Pak. Saya kan punya orang dalam." Solar berseloroh, wajahnya tersenyum jahil setelah melihat petugas perpustakaan langsung balik badan usai mengembalikan buku ke dalam rak.

"Rumor itu benar?"

Solar mengangkat bahu, membiarkan petugas perpustakaan penasaran untuk beberapa hari kedepan.

Suara getaran ponsel terdengar dari meja kerja. Petugas perpustakaan melangkah meninggalkan Solar bersama pekerjaan mereka yang tersisa tiga buku lagi. Si petugas memberi petunjuk agar Solar menyimpan buku-buku itu di rak nomor enam dan tujuh, sementara petugas perpustakaan akan memeriksa ponselnya sebentar.

Rupanya, getaran itu bukan berasal dari ponsel miliknya, melainkan ponsel Solar yang tergeletak di atas buku catatan berwarna broken white.

"Solar, ada telepon!"

"Dari siapa?"

Petugas perpustakaan mengintip layar ponsel itu, alisnya mengerut. "Dari ESEF."

"Tolong matiin aja, Pak!"

Petugas perpustakaan masih mengerutkan alis. Dia merasa pernah melihat kombinasi huruf aneh itu sebelumnya. Sebuah lampu imajiner menyala di otaknya.

"Solar, ESEF itu kalau nggak salah kode saham Surya Farma, kan?"

Solar buru-buru menyimpan buku-buku di rak. Panggilan itu berakhir ketika Solar sampai di meja kerja petugas perpustakaan.

"Dari mana Bapak tahu?"

Petugas perpustakaan belum sempat menjawab, ponsel Solar kembali bergetar. Sebuah panggilan masuk berasal dari nama yang sama. Solar terburu-buru meninggalkan perpustakaan.

~o0o~

Jari telunjuk Halilintar menyentuh setiap buku yang tersusun rapi, setiap baris ditelusuri. Ini rak kelima yang dia jelajahi, tetapi dia belum juga menemukan buku yang menarik perhatiannya.

Kakek tetangga seberang rumah yang bijak pernah bilang, membaca buku banyak manfaatnya, salah satunya bisa mengurangi perasaan stres dan tertekan, manfaatnya sama seperti merawat sebuah pohon bonsai. Berhubung Halilintar tidak hobi merawat bonsai—itu hobi Gaharum, dan di sekolah tidak ada yang menanam pohon mungil itu, maka Halilintar memilih ke perpustakaan, surganya para pecinta buku.

"Anak kelas E?"

Jari telunjuknya berhenti di atas buku ekonomi ketika identitas kelasnya disebutkan seseorang. Halilintar menoleh, matanya mendapati petugas perpustakaan menghampirinya. Tak perlu diragukan lagi, orang itu bisa langsung mengenali kelasnya karena warna dasi yang digunakan.

Petugas perpustakaan memberikan sebuah buku catatan pada Halilintar. Katanya, benda itu milik Solar. Anak itu meninggalkan buku catatan miliknya begitu saja usai menerima telepon. Dia pikir, Solar tak akan kembali ke perpustakaan, karena anak itu pergi sejak sebelum jam istirahat dan belum kembali sampai sekarang.

Buku catatan itu berwarna broken white. Pada bagian depan dan belakang tidak terdapat identitas pemilik buku. Dengan ragu, Halilintar membuka sampul depan buku itu, di sana terdapat nama si pemilik yang ditulis dengan huruf tegak bersambung dan di sudut kanan atas terdapat sketsa matahari yang dibuat dengan pensil.

Rasa penasaran Halilintar membuatnya ingin menengok lebih jauh, tetapi buku catatan itu sudah berpindah tangan. Taufan merebut buku catatan itu darinya.

Halilintar bertemu dengan Taufan di koridor dan anak itu ikut mengekor di belakang. Dia tak tahu apa yang merasuki anak berisik itu hingga mau mengikutinya. Halilintar pikir, Taufan bukan orang yang suka datang ke perpustakaan.

"Dari dulu aku penasaran, aku sering liat Solar nulis sesuatu di buku ini. Bisa aja kita nemuin kiat-kiat dapat peringkat paralel. Lumayan, kan?" Kepala Taufan mendadak celingukan sendiri, memperhatikan lingkungan sekitar seperti maling berpengalaman. "Mumpung nggak ada orangnya."

Taufan membuka halaman awal buku itu, seketika kedua matanya membulat seperti bakso. Dia berteriak, "Astagfirullah!"

Beberapa orang menatap menatap mereka galak. Halilintar langsung meminta maaf sebelum berakhir jadi musuh semua orang, sedangkan Taufan mengedikkan badan, tak peduli.

"Ini tulisan atau bihun rebus? Kusut banget kayak muka kamu, Hali," lanjutnya dengan suara setengah berbisik. "Keliatannya ini soal matematika, terus ini …."

Taufan terus mengoceh sambil membuka setiap halaman, mengabaikan Halilintar yang mendelik usai wajahnya disamakan dengan tulisan Solar. Namun, Halilintar tak sengaja mengintip pada halaman lain yang dibuka, ada sebuah kertas kuning terjepit di tengah halaman. Dia berniat melihat isinya, tetapi buku catatan itu kembali berpindah tangan. Kali ini ke tangan pemiliknya.

Solar menjejalkan begitu saja buku itu ke dalam tas, wajahnya merah padam, tangannya mengepalkan tinju, menahan emosi yang hampir meluap seandainya dia lupa sedang berada di tempat paling sedikit terpapar polusi suara di SMA Budi Asih.

Taufan dan Halilintar sudah siap menghadapi Solar yang hampir meledak, tetapi getaran dari ponselnya membuat Solar jauh lebih marah. Kemudian dia pergi sambil mengomel sendiri, entah pada Halilintar dan Taufan, atau pada si penelepon.

"Dia kenapa?"

Halilintar mengangkat bahu.

"Harusnya aku yang marah, tulisan dia bikin aku harus banyak mikir, karena tulisan dia terlalu bagus," omel Taufan tak mau kalah. "Duh, jadi laper."

Halilintar tidak peduli pada tulisan Solar yang menyerupai bihun rebus, juga soal kemarahan Solar karena tulisan mirip bihun rebus itu dibaca seenaknya oleh dua makhluk kepalang kepo. Namun, fokusnya terpusat pada buku catatan berwarna broken white yang beberapa menit lalu mampir di tangannya.

Di dalam buku catatan itu ada benda yang sama seperti yang Halilintar temukan kemarin usai kelas olahraga. Sebuah sticky note kuning yang dilipat menjadi empat bagian.

Halilintar tak mau menuduh Solar begitu saja, apalagi tak ada bukti jelas yang bisa dia jadikan pegangan. Namun, kemarahan Solar terasa aneh. Dari ocehan Taufan yang didengarnya, halaman awal dan pertengahan buku itu berisi penyelesaian soal-soal matematika, fisika dan kimia, tulisan yang bahkan tidak berguna bagi Taufan dan dirinya yang mengambil konsentrasi ilmu sosial, kecuali penyelesaian soal matematika, mungkin berguna kalau mereka berdua bisa memahami tulisan Solar. Lantas kenapa Solar semarah itu?

~o0o~

Halilintar pikir, Solar tipe orang yang sedikit pendendam, karena kemarahannya saat di perpustakaan berlanjut menjadi sesi kemarahan jilid dua. Halilintar mengerti, dia dan Taufan sudah melanggar privasi Solar dengan membuka buku catatannya tanpa izin, dan dia sudah meminta maaf untuk itu, tetapi dia tak mengerti kenapa kemarahan Solar masih berjilid-jilid.

Tidak seperti kemarin dan tadi pagi, pada jam terakhir hari ini, Solar berusaha mengikuti mata pelajaran seperti pelajar pada umumnya. Namun, karena kemarahannya, suasana kelas menjadi sedikit mencekam. Solar menatap sinis pada semua orang. Diberi pertanyaan dijawab sinis, tidak ditanya pun tetap sinis. Tingkahnya sudah seperti perempuan datang bulan.

Sementara itu, Yaya dan Ying si pengendali suasana sudah menyerah sejak tadi, mereka memilih pergi mengambil tugas daripada harus berhadapan dengan Solar yang badmood. Guru bahasa inggris yang seharusnya mengajar, kabarnya baru saja melahirkan, karena itu kelas hari ini hanya diberi tugas.

Halilintar sedikit berharap Taufan akan membuat suasana sedikit cair, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, suasana semakin panas dan dia ikut terkena getahnya.

Semua bermula saat Taufan mencuri kesempatan untuk bermain bola basket di dalam kelas. Entah sejak kapan dia menyelundupkan sebuah bola basket tanpa sepengetahuan siapapun.

Suara bola yang memantul di lantai semakin membuat Solar mendesis. Permainan sudoku yang dimainkan semakin tak keruan, konsentrasinya sudah pecah sejak tadi.

Namun, Taufan tetap melanjutkan permainannya, tak peduli Solar mengomel sejak tadi. Dia terus men-dribble bola sambil berlari ke kiri dan ke kanan, memutar badannya seakan sedang menghindari seseorang, lalu melompat untuk melakukan shoot ke tembok.

"Strike!" teriakan Taufan membahan di ruang kelas. "Kalian lihat, kan? Kalau begini aku bisa ngalahin kelas A minggu depan," ucapnya percaya diri.

Taufan mengulang gerakan yang sama. Sialnya, lemparan kali ini meleset dan bola memantul ke arah Solar.

Untungnya, Solar punya gerak refleks yang bagus. Sebelum bola menghantam kepalanya, dia lebih dulu meninju bola basket itu hingga memantul ke arah lemari tempat penyimpanan artefak peninggalan ruang kesenian. Beberapa vas bunga yang terbuat dari sampah yang didaur ulang berjatuhan.

"Sengaja, ya!?" Solar semakin meradang.

Daripada meladeni omelan Solar, Taufan memilih membereskan kekacauan yang dia buat. Namun, Taufan menemukan hal aneh di sudut lemari, sedikit terhalang oleh guci tanah liat. Pada sisi lemari bagian dalam, ada sebuah bulatan pipih kecil kira-kira seukuran uang koin berwarna hitam dan pada sisi luarnya ada lingkaran seperti cincin berwarna perak.

Karena penasaran, jari telunjuk Taufan menyentuh permukaan benda aneh itu, kemudian lingkaran berwarna perak mengeluarkan cahaya LED berwarna merah, berkedip-kedip tiga kali, lalu terdengar suara seorang wanita berkata, "Verification failed."

Solar bangkit dan menarik Taufan menjauhi lemari. Tangannya mencengkram kuat lengan kiri Taufan, mencegahnya kembali mendekati alat itu.

"Kamu bisa tanyain tentang itu ke Pak Kaizo nanti."

"Mana bisa. Kemarin pertanyaan Ying juga belum dijawab. Bener nggak, Hal?" tanya Taufan mencari pembenaran.

Halilintar yang sejak tadi diam memperhatikan mereka hanya bisa mengangguk kaku.

"Ada banyak hal aneh di sini. Dari mulai kita sekelas cuma lima orang, pertanyaan Ying bukannya langsung dijawab, kita malah disuruh cari tahu sendiri jawabannya, maunya apa coba? Terus sekarang ada alat fingerprint di lemari kelas kita, buat apa?"

Solar paham, keingintahuan Taufan perihal alat itu sangat besar, dia juga merasakan hal yang sama. Namun, instingnya mengatakan agar tidak bertindak gegabah dan berusaha menyikapinya dengan tenang.

"Kali ini Pak Kaizo pasti jawab."

Taufan tak puas dengan jawaban Solar, lalu menyipitkan mata. "Kamu tahu sesuatu, Sol?"

Singkat, padat dan langsung ke inti permasalahan. Solar tak menjawab. Dia memang tahu beberapa hal, tetapi untuk yang satu ini dia benar-benar tidak tahu, dan dia punya firasat aneh soal ini.

Tak kunjung mendapat jawaban, Taufan beralih pada Halilintar. "Hali, kamu baca komik Galaxy Heroes, kan?"

"Ya."

"Bayangin, di kelas kita ada ruang rahasia kayak markas pasukan Black Eyes yang pintu masuknya pakai sistem biometrik. Tapi yang ini pakai sidik jari, bukan retina mata."

"Terus?"

"Kalau kita bisa ganggu sistemnya, orang yang berkaitan sama alat itu pasti datang, kamu nggak penasaran?"

"Cukup, Fan," sela Solar. Wajahnya sedikit gusar.

"Penasaran sih."

"Nah, kamu coba alatnya, aku yang tahan Solar. Deal?"

"Ok."

Solar semakin gusar saat melihat Halilintar mencoba alat itu seperti ketika Taufan mencobanya, tetapi dia sendiri tidak bisa mencegah hal itu karena Taufan terus menghalangi, bahkan tak segan menjambak rambutnya saat dia berhasil melewati anak itu.

Pada percobaan ketiga, alat itu kembali bersuara dengan kalimat lebih panjang. "Attention, your fingerprint is not registered. Please try again later." Kemudian lampu LED padam.

Halilintar kembali menempelkan jari telunjuknya di alat fingerprint itu, tetapi alat itu tidak merespons.

Terlalu asyik mengutak-atik benda itu, Halilintar sampai tak menyadari ada singa badmood di dekatnya. Kaizo sudah berdiri di ambang pintu kelas. Nafasnya tersengal-sengal karena berlari dari lapangan outdoor ke gedung satu.

"Alatnya mati. Terus sekarang gimana?"

Tak kunjung mendapat jawaban, Halilintar menengok ke belakang. Keributan sudah berhenti entah sejak kapan.

Solar dan Taufan yang sebelumnya berusaha saling jambak mendadak berlomba menjadi manusia paling kalem di kursinya masing-masing. Solar kembali menjadi bocah sok pintar bersama permainan sudoku diponselnya dan Taufan bersiul-siul dengan suara mirip burung pipit yang punya riwayat batuk menahun. Satu-satunya persamaan mereka hanya rambut keduanya yang mencuat ke segala arah.

Halilintar benar-benar terpergok seperti maling jemuran. Dengan langkah kaku, dia kembali ke bangkunya. Aura suram yang terpancar dari Kaizo membuatnya sungkan bertanya perihal kedatangan gurunya yang tiba-tiba, masih memakai pakaian olahraga, bahkan stopwatch miliknya menggantung ke belakang punggung. Nyalinya terlanjur seciut kerupuk yang disiram kuah bakso.

Kaizo menghela nafas berat, kesal pada ketiga makhluk yang sekarang duduk manis di bangkunya masing-masing. Ekspresi wajah tanpa dosa yang mereka tunjukkan membuat Kaizo ingin mencakar mereka satu per satu.

"Selesai jam terakhir, tidak ada yang boleh pulang."

Sebelum Kaizo keluar kelas, Yaya dan Ying muncul dari balik pintu.

"Termasuk kalian!" Jari telunjuknya mengarah pada kedua gadis polos yang tak tahu apa-apa. Setelah berkata demikian, Kaizo melangkah pergi. Tak lupa sambil membanting pintu, meninggalkan Yaya dan Ying yang bertampang bingung.

Taufan langsung mengambil nafas dengan rakus. "Aku sesak, jantungku rasanya mau copot."

"Rambutku rontok!" Solar meraung-raung melihat beberapa helai rambutnya tertinggal di telapak tangan setelah dia merapikan penampilannya.

"Bodo amat!" teriak Halilintar pada mereka berdua.

.

.

.

Tbc


Halooo, aku kembali ^^

Ada yang kangen nggak? Kayaknya nggak ya haha :D

Ok, aku mau kasih penjelasan sedikit, sebagai informasi tambahan buat teman-teman yang belum tau. Setiap perusahaan publik yang menerbitkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) pasti punya kode saham. Nah, kode saham yang berlaku di BEI terdiri dari empat huruf kapital, biasanya diambil dari nama perusahaan atau dari produk yang dihasilkan.

Contoh: Surya Farma punya kode saham ESEF yang diambil dari singkatan nama perusahaan, yaitu SF (kalau diucapkan bunyinya jadi es ef).

Anggap aja Surya Farma ini perusahaan publik, sebagian sahamnya di jual di BEI, makanya punya kode saham. Aku bakal ceritain detailnya di bab lain kalau waktunya udah tiba

Sekian dari aku, makasih banyak udah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini. Kritik dan saran, ataupun pertanyaan bisa dikirimkan di kolom review.

Sampai nanti ^^

SkyLi.