E Class
Story by Sky Liberflux
Boboiboy sepenuhnya milik Monsta
Bab 5: Jawaban
Warning: Indonesia!AU, OOC, gaje
Baru saja ditinggal mengambil kopi di pantry, meja kerjanya sudah di invasi Kaizo. Pemuda itu masih mengenakan pakaian olahraga—padahal kelasnya sudah berakhir berapa jam lalu—beserta semerbak bau matahari yang menempel di kaosnya.
"Mau kopi?" tanya Shielda basa basi, tetapi malah dijawab oleh lirikan mata Kaizo yang setajam silet. Shielda menepuk jidatnya sendiri. "Nggak usah ngamuk. Aku lupa, ok."
Kaizo mengetuk-ngetuk permukaan meja kerja Shielda dengan pulpen, sedangkan matanya menatap ke arah lain, seolah sedang menerawang ke suatu tempat nun jauh di sana.
"Ada masalah?" Shielda tahu ini pertanyaan bodoh. Tentu saja ada masalah. Kalau tidak, pemuda itu tidak akan ada di sini sambil berpikir—entah apa itu—karena merasa ruang kerjanya tidak menyediakan privasi baginya.
"Diam dulu."
"Jo, tahu nggak? Kamu kesini, ruangan ini jadi bau."
Kaizo kembali melirik sinis. Pekerjaannya setiap hari memang tidak akan lepas dari bau keringat dan perkataan gadis itu cukup membuatnya tersinggung, apalagi Shielda terang-terangan menyemprotkan pengharum ruangan beraroma jeruk di depan wajahnya.
Shielda puas mengendus ruangannya yang sekarang beraroma kopi dan jeruk, meskipun agak absurd, setidaknya bau keringat Kaizo sudah tertutupi. Daripada mengusir Kaizo—yang sepertinya tidak mempan diusir dengan cara apapun, Shielda memilih duduk di pinggiran tempat tidur yang terletak di belakang meja kerjanya. Tirai putih yang menjadi sekat dibuka agar tidak terlihat pengap.
Kaizo memutar kursinya menghadap Shielda sambil bersedekap, dan punggungnya bersandar pada sandaran kursi. Kemudian Kaizo berkata, "Barusan anak-anak kelas E menemukan akses ruang bawah tanah."
Shielda menyemburkan kopi yang baru saja diminum, dan terbatuk. Cairan hitam berceceran di lantai. Kaizo bersyukur dalam hati karena berhasil memindahkan kakinya tepat sebelum kopi yang diminum Shielda berubah menjadi hujan lokal.
"Apa?"
"Mereka menemukan aksesnya."
"Bukan itu maksudku, kok bisa?"
Kaizo angkat bahu. "Saya tahu dari Nut. Dia bilang, Lily memblokir akses di kelas. Sekarang lagi diprogram ulang."
"Salah tiga kali?"
"Lebih dari tiga kali."
Pantas, Shielda bergumam. Shielda cukup tahu jika Lily diprogram hanya mengizinkan tiga kali kesalahan, lebih dari itu Lily akan memblokir akses siapapun yang mencoba masuk, meskipun itu pemilik sidik jari yang terdaftar. Dan lagi, anak-anak kelas E yang menemukannya, pantas saja mood Kaizo jadi jelek.
"Kamu udah kasih tahu mereka soal ruangan itu?"
"Belum. Saya cuma mampir sebentar, kepala sekolah langsung memanggil."
"Ah, dia pasti kegirangan. Kalau terlanjur begini, mau nggak mau kita terpaksa ikut alur yang mereka buat." Dua jari Shielda membuat gerakan menyerupai tanda kutip saat menyebut kata mereka.
"Saya tahu, tapi ini terlalu cepat."
"Mau gimana lagi. Kita udah berusaha ngulur waktu, tapi siapa yang bisa prediksi kenyataan? Lagian, kalau anak-anak itu dibuat penasaran, bukan nggak mungkin mereka bakal cari tahu sendiri, dan itu pasti lebih ngerepotin kita semua."
Ucapan Shielda memang ada benarnya, tetapi Kaizo benci mengakui hal itu.
~o0o~
Bel pulang berbunyi bersamaan dengan tugas bahasa Inggris mereka yang rampung. Para penghuni kelas E duduk berkumpul melingkari dua meja yang disatukan. Mereka sepakat untuk mengerjakan tugas itu bersama-sama agar cepat selesai, meskipun tetap diluar ekspektasi, karena pengerjaannya diwarnai adu mulut dari beberapa penghuni hanya karena hal sepele.
Ya, sepele. Hanya masalah grammar, tetapi mereka ributnya bukan main.
"Nah, siapa yang mau cerita?" Yaya membuka obrolan setelah teman-temannya rampung menyalin tugas, meminta penjelasan pada ketiga murid laki-laki di kelas ini satu persatu.
Solar langsung melipir menghampiri cermin, sementara itu Halilintar menyibukkan diri dengan bermain ponsel, berpura-pura membalas pesan Hangkasa, atau apa pun itu yang bisa membuatnya terhindar dari kedua gadis itu, dia tidak menghiraukan Taufan yang menendang-nendang kakinya dari bawah meja.
Karena tak ada yang bersedia, Taufan terpaksa menceritakan apa yang terjadi saat Yaya dan Ying pergi. Yaya sempat melotot saat tahu Taufan menyelundupkan bola basket ke dalam kelas, mungkin setelah ini gadis itu akan melakukan inspeksi ketat. Kemudian Taufan buru-buru menceritakan saat dirinya menemukan alat pemindai sidik jari di sudut lemari dan tidak ketinggalan menceritakan bagaimana setelahnya Kaizo tiba-tiba datang ke kelas.
"Dan sekarang udah nggak bisa." Taufan mengakhiri ceritanya.
"Kok kamu bisa kepikiran kalau itu alat fingerprint?"
"Sebenarnya, aku nggak kepikiran kalau itu alat fingerprint. Kamu lihat sendiri kan, Ya? Alatnya kecil, nyempil kayak upil. Aku pikir itu uang koin nempel di pojok lemari."
"Orang sehat mana yang nempelin sebiji uang koin di pojok lemari?" sahut Solar.
"Orang yang tahu sesuatu, tapi nggak mau ngasih tahu mending diem aja lah."
Solar berpaling dari cermin. Ucapan Taufan sukses menghentikan aktivitasnya dalam memperbaiki penampilan. "Aku juga nggak tahu, Fan."
"Mana mungkin. Kalau kamu nggak tahu, pasti nggak akan ngehalang-halangi. Iya nggak, Hal?"
"Bodo amat!"
"Bidi imit!" ucap Taufan sambil memajukan bibir bawah ke depan. Dirinya masih kesal pada Halilintar yang sejak kedatangan Kaizo menjadi sensitif seperti pantat bayi. Taufan mengerti, Halilintar kesal karena terkesan dijadikan kambing hitam, tetapi kalau dari awal temannya itu tidak mau, apa yang menimpanya hari ini tidak akan terjadi. Jadi, kenapa semua kesalahan dilimpahkan padanya?
"Kira-kira apa yang ada dibalik alat itu, ya?" Ying menatap lemari lekat-lekat, meski dari tempat duduknya alat itu tidak akan terlihat.
Tentu saja tidak akan terlihat, Ying membatin. Bahkan mereka baru tahu ada alat aneh di kelas karena ketidaksengajaan, kalau saja ketiga anak laki-laki di kelasnya tidak membuat masalah, entah kapan mereka akan menyadari keanehan itu.
"Dan kenapa alat itu ada di sana." Yaya menambahkan. Ying mengangguk setuju.
Kedatangan Kaizo kembali membuat penghuni kelas kaget, terutama Solar yang masih saja setia di depan cermin. Solar buru-buru berlari ke tempat duduknya, sementara penghuni lain berusaha secepat mungkin merapikan meja, sebelum pemuda itu kembali mengamuk karena posisi kursi di kelas tidak rapi.
"Tidak perlu dirapikan. Saya tidak akan lama," kata Kaizo.
Mereka semua terdiam, kembali duduk di bangku masing-masing dengan kaku, sedang menebak-nebak apa yang akan Kaizo bicarakan terkait alat pemindai sidik jari itu.
"Tentang pertanyaan Ying waktu itu, ada yang sudah tahu jawabannya?" Pertanyaan Kaizo menggantung diudara. Hening segera menyelimuti setiap sudut ruangan. Tangan Kaizo memainkan sebuah pulpen sambil menunggu tanggapan dari kelima muridnya.
Taufan yang biasanya paling cerewet, kali ini mulutnya memilih beristirahat. Begitu pula Solar yang mendadak kehilangan suaranya. Halilintar yang cukup pendiam semakin tenggelam dalam kebisuan. Sedangkan Ying dan Yaya memilih saling melempar pandangan, berkomunikasi dengan bahasa kalbu daripada mengutarakan kebingungan mereka.
Bukan karena mereka tak berusaha mencari. Namun sejujurnya, mereka berlima tidak tahu jawaban seperti apa yang Kaizo inginkan, lebih tepatnya mereka tidak mengerti kenapa pertanyaan itu harus mereka jawab sendiri. Padahal Kaizo bisa dengan mudah menjawab pertanyaan sepele itu, tetapi dia memilih meninggalkan teka-teki alih-alih menjawabnya. Entah apa maksudnya.
"Belum ada yang tahu?" Lagi-lagi hening. Ketika pulpen yang dipegang Kaizo berhenti bergerak di antara jari-jemarinya, dia mengambil nafas dan berkata, "Itu karena kalian bukan siswa biasa."
Dari posisinya, Kaizo bisa melihat berbagai ekspresi tercetak pada kelima wajah muridnya. Kaget, tak mengerti, bahkan ada ekspresi ketakutan.
"Maksud bapak?" tanya Ying begitu dia bisa menguasai diri. "Kalau soal nilai akademik, kami …."
"Ini bukan tentang nilai akademik, Ying," potong Kaizo cepat. "dan juga bukan tentang prestasi non akademik. Tapi tentang rahasia kecil yang kalian punya." Kaizo kembali mendapati ekspresi ketakutan tercetak pada beberapa wajah di sana.
"Contohnya?" kali ini Solar yang bertanya.
"Kamu bisa ingat segala hal yang bisa kamu lihat, dengar, dan rasakan, benar kan?"
Ying melirik Solar untuk memastikan, lagi-lagi berkomunikasi dengan bahasa kalbu. Untungnya Solar mengerti dan memberi anggukan kecil sebagai jawaban.
"Kalau cuma ingat, saya juga bisa, Pak. Apa bedanya?" sahut Taufan. Apa yang menjadi rahasia kecil kalau soal mengingat, semua orang bisa mengingat, kecuali orang-orang yang punya masalah pada saraf otak mereka, begitu pikirnya.
"Kalau begitu, Taufan. Apa yang kamu ingat dari isi pidato sambutan kepala sekolah?"
Taufan langsung terdiam. Jangankan pidato sambutan kepala sekolah, apa yang dipelajari kemarin saja sudah menguap entah kemana. Taufan nyengir sambil menggeleng, mengonfirmasi bahwa tak ada yang bisa diingat dari ucapan kepala sekolahnya.
"Solar, tolong ceritakan."
Solar menceritakan seluruh ucapan kepala sekolah, dengan lugas dan detail, tanpa ada satu kata pun yang tertinggal. Sebenarnya keempat siswa lain tidak begitu ingat ucapan kepala sekolah, apalagi Halilintar yang tidak mendengarkan sama sekali. Karena itu, untuk lebih meyakinkan, Solar juga menceritakan isi sambutan Yaya saat menjadi perwakilan siswa angkatan tahun 2020. Hal itu membuat Yaya berkata spontan semi histeris sambil menutup rasa terkejutnya dengan kedua tangan.
"Ada pertanyaan lain?"
Halilintar mengangkat salah satu tangannya. Wajahnya memyembul dari balik buku. "Kalau kemampuan saya?"
Kaizo terdiam sebentar, lalu berkata, "Sedikit rumit. Intinya tubuhmu bisa memancarkan listrik dalam keadaan tertentu, dan memberikan efek sengatan pada orang yang menyentuh, atau disentuh, entah sengaja, atau tidak sengaja."
"Wow, kayak Pikachu," celetuk Taufan. Namun, cengirannya luntur setelah melihat wajah Halilintar.
Dalam situasi normal, Halilintar pasti akan langsung mengamuk disebut mirip dengan salah satu tokoh animasi dari Jepang itu, meskipun tokoh itu imut-imut dan menggemaskan. Namun kali ini dia tidak langsung meledak, tangannya mengepal di atas meja, menahan sesuatu dalam dirinya.
"Saya tahu di antara kalian ada yang menganggap kemampuan ini sebagai rahasia, ataupun sesuatu yang kurang menyenangkan. Tapi, saya harap kalian bisa menjadi diri sendiri, tidak malu menunjukkan apa yang kalian miliki, meskipun hanya di kelas ini. Anggap saja kemampuan itu adalah bagian tak terpisahkan dari diri kalian.
"Dan yang salah satu teman kalian temukan adalah pintu masuk ke gimnasium bawah tanah. Kita akan mengasah kemampuan kalian di sana." Kaizo melirik jam di pergelangan tangannya. Kemudian berkata lagi, "Sisanya akan saya jelaskan nanti. Saya akan mengadakan kelas tambahan besok, selesai jam terakhir. Persiapkan diri kalian. Kalau ada yang berhalangan hadir, jangan sungkan hubungi saya. Saya ingin kalian berlima bisa hadir bersama, dan untuk sementara rahasiakan dulu tentang kelas tambahan ini dari orang lain."
Kemudian Kaizo meninggalkan kelas. Kelima murid kelas E merasakan perasaan yang sama. Terkejut, aneh, heran, ada pula yang antusias. Namun, ada satu emosi yang kentara berbeda dari yang lain. Kemarahan, dan itu terpancar dari Halilintar.
Ada hal ganjil yang Halilintar sadari dari ucapan Kaizo. Selama ini Halilintar tidak pernah menceritakan tentang kemampuan anehnya pada siapapun. Yang mengetahui hal itu hanya keluarganya dan geng manula. Lalu, bagaimana Kaizo bisa tahu semua itu?
"Gila. Beneran ada ruang rahasia kayak markas pasukan Black Eyes. Amazing! I like it!" ujar Taufan antusias, tetapi senggolan tangan dari Ying cukup membuat euforia yang dirasakan Taufan berhenti. Gadis itu menunjuk Halilintar lewat gerakan kepalanya, Taufan melihat Halilintar melangkah besar-besar keluar kelas.
Tidak lama kemudian, kepala Kaizo kembali muncul dari balik pintu. "Solar, ikut saya sebentar, ada yang mau saya bicarakan."
Solar kebingungan. Apa lagi yang akan Kaizo katakan? Kenapa bukan saat di depan semua penghuni kelas E? Menerka-nerka tak lantas membuat Solar mendapatkan jawabannya, yang ada malah Taufan semakin gencar berkelakar kalau Kaizo akan memarahinya karena gagal merahasiakan pemindai sidik jari itu. Solar balas mendesis. Tidak mengerti lagi bagaimana harus menjelaskan pada Taufan kalau dirinya pun tidak tahu soal itu.
Derap langkah Kaizo membawa mereka menuju ke meja kerjanya di ruang guru. Tidak banyak benda di atas meja, bahkan mungkin bisa dikatakan mejanya yang paling simpel diantara rekan sesama guru. Kaizo duduk di kursinya, mengambil ponsel dari dalam laci, sementara Solar terus berdiri sambil mengamati sekitarnya. Kaizo menunjukkan ponselnya yang mendapat panggilan dari seseorang.
Solar hafal di luar kepala nama si penelepon. Menggeleng adalah satu-satunya jawaban yang bisa diberikan. Dia tidak mau berbicara dengan orang itu. Sekarang atau pun nanti.
Kaizo menghela napas. "Kamu bisa bicara di luar, atau mau bicara di sini sambil saya dengarkan?"
Dalam hatinya Solar merutuki si penelepon yang bisa-bisanya menelepon wali kelasnya. Namun, Solar urung merasa heran, mengingat si penelepon memang bisa melakukan apapun sampai keinginannya terpenuhi. Solar tak punya pilihan, dengan berat hati dia menerima ponsel itu dan menjauhi Kaizo.
"Apa ayah harus begini supaya kamu mau jawab?" Dari intonasi suaranya, Solar bisa merasakan kejengkelan dari seberang sana.
"Ayah mau ngomong apa? Aku mau pulang."
"Kenapa kamu ambil konsentrasi ilmu alam? Ayah sudah bilang, ambil konsentrasi ilmu sosial."
Solar mengangkat bahu, seolah ayahnya bisa melihat hal itu. "Pak Kaizo minta kelas konsentrasi diambil sesuai minat, dan aku minatnya ilmu alam. Berarti bukan salah aku."
"Solar, kita sudah bicarakan ini berkali-kali, ok? Ayah yakin kamu nggak lupa. Sekarang, bilang sama wali kelas E kalau kamu mau pindah konsentrasi, sisanya biar sekretaris ayah yang urus."
"Nggak mau."
"Solar!"
"Aku tutup, Yah."
Solar mengakhiri panggilan itu sepihak. Sebelum mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya, Solar memasukkan nomor itu ke dalam daftar hitam di ponsel Kaizo.
~o0o~
"Kak, ganti baju dulu."
Suara itu terdengar seperti angin lalu, sama seperti suara televisi yang sedang menayangkan acara komedi, sama sekali tidak mampu membuat Halilintar tersenyum apalagi tertawa. Hanya mampu masuk ke telinga kiri lalu keluar dari telinga kanan. Satu-satunya alasan dia menyalakan televisi hanya untuk sedikit meredam suara omelan mamanya yang sejak tadi menyuruhnya makan, mandi, ataupun sekedar mengganti baju dan menyindir kalau tubuhnya bau matahari.
Kakinya bergerak-gerak gelisah, matanya melihat jam setiap lima menit sekali yang rasanya sangat lambat bergerak. Sudah satu jam sejak Halilintar sampai rumah, sudah satu jam pula adiknya belum terlihat.
Semakin lama asumsi dalam pikiran Halilintar semakin liar, meski hati kecilnya berkata adiknya tak mungkin melakukannya. Gempa tak punya alasan kuat untuk memberitahu Kaizo, yang ada adiknya punya lebih banyak alasan untuk menutup-nutupi kemampuan anehnya. Namun, Halilintar tetap merasa harus memastikannya sendiri.
Kedua orang tuanya? Tidak mungkin juga. Apalagi geng manula, mereka mungkin belum tahu ada manusia bernama Kaizo di dunia ini. Lalu siapa? Siapa? Siapa? Pertanyaan itu seperti berputar-putar dalam pikirannya, merangsek masuk ke dalam sel-sel saraf di otaknya, melahirkan banyak dugaan tak masuk akal yang jika dibiarkan lebih lama bisa membuatnya gila.
"Assalamualaikum."
Suara kedatangan Gempa rupanya mampu menarik Halilintar kembali pada kewarasannya. Halilintar diam memperhatikan. Gempa membawa sekantung besar berisi kebutuhan sehari-hari, cukup menjelaskan kepergiannya selama satu jam terakhir. Begitu Gempa naik ke kamarnya, Halilintar mengikutinya dari belakang.
"Gem," panggil Halilintar. Adiknya baru menyentuh gagang pintu kamar, menoleh. "Kamu nggak ngasih tahu wali kelasku, kan?"
"Ngasih tahu apa?"
"Soal aku yang aneh."
"Nggak."
Ada kelegaan yang dirasakan Halilintar saat mendengarnya. Itu artinya tuduhannya memang jelas-jelas tidak terbukti, tetapi juga menambah beban pikiran. Kalau bukan adiknya, keluarganya, atau geng manula, lalu siapa? Tidak mungkin Kaizo tahu dengan sendirinya, bahkan dia baru bertemu Kaizo saat tes fisik dan wawancara.
Halilintar mengacak-ngacak rambutnya sendiri, sebuah kebiasaan kecil yang selalu dilakukan tanpa sadar ketika ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dan Gempa melihat semua itu.
"Pak Kaizo tahu?"
Halilintar mengangguk kaku seperti robot. "Jujur, aku nggak tahu dia tahu dari mana."
Bagi Gempa, tidak penting Kaizo tahu dari mana, menurutnya ada yang lebih penting dari itu. "Kakak nggak akan pindah sekolah, kan?"
"Menurut kamu apalagi?"
"Jangan konyol, Kak! Ini baru tiga hari." Tanpa sadar, intonasi suara Gempa mulai meninggi.
"Biasanya juga gitu, kan?"
"Solusinya nggak cuma itu."
"Terus kamu punya solusi apa?" sergah Halilintar dengan intonasi yang tak kalah tinggi.
Gempa langsung terdiam. Argumen dalam pikirannya tiba-tiba hilang. Selama bertahun-tahun hal itulah yang keluarganya lakukan. Tak ada hal lain.
Awalnya hanya satu orang yang tahu, kemudian perlahan-lahan semua orang tahu. Menyebar dari mulut ke mulut. Jika sudah begitu, mereka berdua akan pindah ke tempat dimana tak ada satupun yang tahu rahasia kecil kakaknya. Berpindah dari satu sekolah ke sekolah lain, dari satu kota ke kota lain, bahkan saat sekolah dasar mereka pernah lebih dari lima kali pindah sekolah kurang dari setahun. Hingga akhirnya mereka tetap berada di kota ini selama bertahun-tahun karena Halilintar memutuskan home schooling.
Semua itu dilakukan hanya karena kemampuan aneh kakaknya diketahui orang lain, sampai sekarang Gempa tak tahu mengapa.
"Ada apa ribut-ribut, Gempa, Halilintar?" suara Mama nyaring terdengar dari lantai bawah. Mereka sama-sama terdiam, tak ada yang mau menjawab.
Punggung Halilintar bersandar pada sandaran kursi di depan meja belajar di kamarnya, meninggalkan Gempa yang terpaku di depan pintu kamar mereka yang saling berhadapan. Ada penyesalan yang Halilintar rasakan setelah adu mulut dengan Gempa berakhir, tetapi tak cukup kuat untuk membuatnya meminta maaf saat itu juga.
Terkadang Halilintar bertanya-tanya sendiri, apa salahnya terlahir berbeda? Namun, Halilintar tak pernah menemukan jawabannya di mana pun.
Halilintar menemukan sebuah bungkusan di atas meja, benda persegi yang dilapisi plastik hitam, paket yang dipesannya sudah datang. Di dalamnya ada sebuah komik Galaxy Heroes volume 37, bergambar sekelompok orang berpakaian serba hitam yang Halilintar kenali sebagai pasukan Black Eyes, antagonis dalam serial komik itu.
Bicara soal pasukan Black Eyes, Halilintar jadi ingat bagaimana pemindai sidik jari ditemukan di kelasnya. Siapa pun tahu letak benda itu terlihat tidak wajar, seolah tak ingin ditemukan oleh siapapun. Berbeda dengan sticky note yang ditemukan di loker ruang ganti. Seolah memang ingin ditemukan, sengaja memakai warna mencolok dan ditaruh di tempat yang mudah dijangkau.
Halilintar memperhatikan sticky note itu sekali lagi. Berwarna kuning mencolok mata. Yang lebih mencolok adalah tulisan di atasnya. Siapapun yang menulisnya, dengan berat hati Halilintar harus mengatakan kalau tulisan itu jelek seperti cakar ayam. Seolah ditulis dengan terburu-buru sehingga menjadi berantakan.
Pintu kamarnya diketuk. Halilintar buru-buru menyelipkan sticky note itu ke halaman paling belakang komik yang baru dibelinya. Tubuhnya bermanuver mendarat di atas tempat tidur, lalu menyembunyikan seluruh tubuhnya di balik selimut. Dari balik selimut, dia bisa merasakan langkah kaki mamanya yang mendekat. Tepukan ringan mendarat di kakinya.
"Kak, bangun sebentar, Mama mau ngomong."
Alih-alih menjawab, Halilintar malah membuat dengkuran kecil, nafasnya sengaja dibuat naik turun dengan tempo yang teratur.
"Kak," panggil mamanya sekali lagi. Halilintar tetap diam.
Kemudian mamanya pergi sambil berkata kalau besok dia ingin membicarakan sesuatu dengannya. Halilintar tahu, pasti topik adu mulut dengan Gempa yang akan dibicarakan. Selalu begitu. Dan untuk saat ini dia tak mau membicarakan hal itu.
~o0o~
Kepala Gempa terbaring lesu di atas meja belajar, wajahnya menghadap ke jendela, mengamati pohon-pohon yang tumbuh di sekitar rumahnya, dahannya bergoyang-goyang diterpa angin musim panas. Tahun ajaran baru sudah terlewati beberapa hari, tetapi Gempa kehilangan selera untuk menikmatinya.
Gempa tahu, masuk ke SMA Budi Asih bukan hal mudah. Di antara banyaknya pendaftar, hanya seratus orang yang diterima. Dua tahun sudah dia habiskan untuk belajar seperti orang gila, dua tahun dia sabar menghadapi kepala sekolah SMP-nya yang tak pernah mendukung kegiatan ekskulnya dan pelit naudzubillah. Apa semua usahanya akan berakhir sia-sia ketika kakaknya pindah?
Andaikata Gempa tak ikut pindah sekolah pun tidak ada yang bisa menjamin semua akan berjalan sesuai keinginannya. Sepanjang sejarah hidup mereka, Halilintar bertahan paling lama kurang dari tiga bulan, dan pada akhirnya mereka semua akan pindah rumah.
Suara ketukan pintu terdengar. Gempa tetap diam di tempatnya. Langkah kakinya bisa Gempa rasakan, kemudian terasa sentuhan hangat di pucuk kepalanya. "Kalian berantem, ya? Kenapa?"
Gempa bangkit dan memberikan senyum terbaiknya. "Bukan apa-apa, Ma."
"Bukan apa-apa gimana? Ributnya kedengaran sampai dapur."
"Aku cuma sedikit kesal sama Kak Hali. Itu aja."
"Ya udah, coba cerita sama Mama."
"Mama mana paham."
"Mama nggak paham soalnya kamu nggak cerita apa-apa."
Gempa menghembuskan nafas. "Ma, dua tahun terakhir aku belajar mati-matian biar lolos SMA Budi Asih. Makanya aku nggak suka kalau Kak Hali ada niat pindah sekolah kalau kemampuannya ketahuan orang. Meskipun cuma Kak Hali yang pindah, kalau ketahuan lagi nanti ujung-ujungnya kita semua pindah rumah lagi, kan?"
"Gem ..."
"Sampai sekarang aku nggak paham," potong Gempa. "kenapa dulu kita selalu pindah rumah setiap kemampuan Kak Hali ketahuan. Apa yang kalian sembunyikan? Apa cuma aku yang nggak tahu apa-apa?"
"Mama bisa cerita semua yang Mama tahu, tapi nggak sekarang. Waktunya nggak pas, sayang. Tapi Mama janji, setelah kalian lulus SMA, Mama akan cerita semuanya. Kamu mau bersabar sebentar lagi, kan?"
"Aku paham, Ma." Gempa tersenyum lagi. Meskipun dia tahu, tiga tahun bukan waktu yang sebentar. "Kalau gitu aku mau istirahat dulu."
"Ya udah, nanti bantu Mama di bawah, ya."
Usai Mama menghilang dari kamarnya, senyum Gempa pun luntur.
.
.
.
Tbc
Makasih banyak udah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini. Kritik dan saran, ataupun pertanyaan bisa dikirimkan di kolom review.
Sampai nanti ^^
SkyLi.
