E Class
Story by Sky Liberflux
Boboiboy sepenuhnya milik Monsta

Bab 6: Gimnasium Bawah Tanah

Warning: Indonesia!AU, OOC, gaje.


Kelas satu sekolah dasar, masa-masa peralihan dari taman kanak-kanak, di mana semua jadi lebih serius dari biasanya. Tidak ada kegiatan bernyanyi sebelum masuk kelas, bahkan sudah jarang ditemui anak-anak yang berlarian di dalam ruangan seperti cacing sawah. Semua duduk diam di kursi masing-masing, berusaha fokus meski hanya bertahan pada lima belas menit pertama.

Hari ini cukup berbeda. Ketika pagi itu Halilintar masuk ke kelas, semua orang panik berlarian keluar sambil berteriak ketakutan, seakan sedang terjadi penyerangan besar-besaran oleh sekelompok orang jahat. Sampai bel berbunyi, tak ada yang mau masuk kelas. Beberapa memilih mengintip dari balik pintu dan luar jendela, sebagian lain bersembunyi di balik guru yang hendak mengajar.

Di depan papan tulis, Halilintar melihat sebuah gambar aneh. Gambar sesosok monster jelek yang terbuat dari kapur putih yang digambarkan bisa memancarkan listrik ke segala arah. Ada satu garis yang membentuk tanda panah mendekati tulisan 'Halilintar' yang setiap hurufnya seolah ditulis menggunakan cakar ayam.

Ibu guru yang dikenal tegas dan galak memarahi anak-anak yang masih di luar kelas, tetapi kemarahan itu tak cukup membuat mereka menjadi anak manis yang penurut. Yang ada malah membuat seorang anak laki-laki di luar kelas berteriak dengan berapi-api.

"Halilintar monster, Bu! Bisa nyetrum!"

Beberapa anak lain di luar mengangguk-angguk, menyetujui kalimat itu.

Halilintar bergeming, telapak tangannya tiba-tiba terasa dingin dan berkeringat. Tatapan ketakutan mereka membuat jantungnya berdegup lebih kencang, rasanya dia kesulitan bernapas, seolah ada batu yang menyumbat paru-parunya.

"Aku bukan monster," bisiknya lirih, tetapi Halilintar tak yakin mereka bisa mendengarnya.

"Semua orang udah tahu."

Halilintar menoleh ke belakang, mendapati empat penghuni kelas E menatapnya dengan pandangan berbeda dari biasanya. Mereka berbisik-bisik sambil tertawa melihatnya, bukan jenis tawa yang menyiratkan kelucuan.

Kemudian Halilintar terbangun.

Azan subuh sedang berkumandang saling bersahutan. Meskipun sudah membuka mata, mimpi yang baru saja dialaminya seolah terlukis di langit-langit kamar. Mimpi barusan pernah dialaminya ketika sekolah dasar. Itu sekolah kedua, atau ketiga yang pernah dia masuki. Halilintar tidak begitu mengingatnya dengan jelas.

Halilintar mengusap wajahnya kasar, berusaha mengenyahkan kenangan pahit itu. Adu mulut kemarin membuat kenangan yang selama ini dikubur dalam-dalam kembali muncul ke permukaan, dan sekarang berputar-putar dalam pikiran. Cara buruk dalam mengawali hari.

Entah apa yang merasukinya, selepas salat subuh Halilintar keluar rumah, berjalan-jalan tanpa alas kaki di sekitar kompleks perumahan, mengitari blok demi blok. Bukan untuk melakukan terapi pijat refleksi kaki ala sobat miskin, tetapi dia memang tidak menemukan sandalnya di mana pun, dan terlalu malas grasah-grusuh di pagi hari hanya demi mencari sepasang sandal.

Alasan sebenarnya, karena Halilintar belum mau bertemu Gempa pagi ini. Pasti akan sangat canggung kalau dia ada di meja makan saat sarapan.

Halilintar tahu sebesar apa usaha Gempa untuk bisa masuk ke SMA Budi Asih. Karena itu, ketika dirinya ditawari sekolah formal lagi, awalnya Halilintar tak mau satu sekolah dengan Gempa. Sebab Halilintar tahu kehadirannya hanya akan mengacaukan semuanya.

Namun, Mama malah memintanya mendaftar di sekolah yang sama dengan Gempa. Selama ini mamanya tak pernah menuntut apapun. Maka ketika satu permintaan meluncur darinya, Halilintar merasa tak sanggup menolak.

Tanpa sadar, langkah kaki membawanya gerbang kompleks. Udara dingin berubah sedikit menghangat ketika matahari mulai menampakkan diri dari ufuk timur. Harusnya sekarang dia sedang bersiap ke sekolah, tetapi Halilintar tak berminat melakukan itu.

~o0o~

"Gempa," sapa Yaya. Gadis itu berlari kecil menghampiri Gempa yang baru saja keluar dari gedung dua. "Habis ini ada kelas apa?" tanyanya.

"Matematika reguler."

"Oh gitu." Mereka berjalan bersama menuju gedung satu, menyusuri pinggiran lapangan outdoor yang sedang digunakan oleh kelas lain. "Hm, hari ini Halilintar nggak masuk, ya? Kenapa?"

Gempa terdiam sebentar, lalu menjawab, "Nggak enak badan." Tidak mungkin dia bilang terus terang kalau kakaknya tidak muncul di meja makan saat sarapan setelah mereka bertengkar, tidak tahu kemana.

Yaya mengangguk-angguk. Mereka kembali terdiam. Kemudian gadis itu pamit pergi setelah melihat Kaizo selesai membubarkan kelasnya, dan mengobrol di pinggir lapangan.

Meskipun begitu, Gempa masih bisa mendengar obrolan mereka. Dia berhenti melangkah. Samar-samar, Gempa mendengar tentang kelas tambahan yang terpaksa harus ganti hari akibat kakaknya tidak masuk sekolah hari ini. Gempa mengerutkan alis. Sejak kapan ada kelas tambahan?

Ketika Yaya selesai mengobrol dengan Kaizo, giliran Gempa yang menghampiri gadis itu. "Yaya, emang ada kelas tambahan apa?" tanyanya.

Bola mata Yaya hampir menggelinding saat mendengar suara Gempa, terlebih lagi yang ditanyakan adalah tentang kelas tambahan yang diadakan wali kelasnya.

"Bukan apa-apa kok. Aku duluan, ya." Gadis itu berlari secepat kilat meninggalkan Gempa sendirian.

~o0o~

"Halilintar!"

Teriakan Hangkasa membuat Halilintar terperanjat. Kertas amplas ditangannya jatuh ke tanah tanpa suara. Hangkasa melotot sambil menganga. Jika dibiarkan terlalu lama, matanya bisa menggelinding keluar. Kemudian Gaharum menoleh ke arah mereka berdua, selang air ditangannya juga ikut terjatuh.

"Kamu mau jadi pupuk kompos?"

"Apa?"

"Itu liat sendiri!" Jari telunjuk Hangkasa menunjuk-nunjuk dengan beringas.

Pagi itu, Gaharum mendapati Halilintar terlihat sedang duduk termenung di selasar rumahnya. Sendirian, tanpa alas kaki, dengan wajah ditekuk mirip kertas fotokopian yang dilipat-lipat. Merasa iba, dia meminta Halilintar ikut ke halaman belakang rumah.

Di sana, Gaharum memberinya sebuah bonsai sancang berukuran sedang, dan kertas amplas. Dia meminta Halilintar membuang bagian kulit arinya—kulit yang telah mati—dengan cara diamplas mulai dari akar sampai batangnya. Gaharum percaya, merawat tanaman bisa membantu menghilangkan stres, dan dia berharap hal itu bisa mengurangi kadar stres Halilintar. Meskipun anak itu berkali-kali mengatakan kalau dia tidak mengerti caranya.

Bukannya mengamplas akarnya, tanpa sadar Halilintar justru mencabuti daun-daunnya. Bonsai milik Gaharum yang awalnya cantik, dengan daun-daun hijau kecil yang menyegarkan mata, sekarang tak ubahnya manusia yang kehilangan separuh rambut di kepalanya.

Halilintar menunduk makin dalam. "Maaf, Kek."

"Sudah nggak apa-apa," kata Gaharum sambil menjauhkan bonsai itu dari Halilintar. Enggan membuat daunnya lebih rontok lagi.

Hangkasa berdecak. "Kalau kamu nggak dianggap cucu sendiri, pasti udah lama jadi pupuk kompos buat semua Bonsai di sini."

"Sudah, Kasa. Nggak apa-apa." Gaharum tersenyum meneduhkan. Hal itu membuat rasa bersalah Halilintar menguap sebagian.

Bel rumah itu berbunyi, suaranya nyaring terdengar sampai halaman belakang. Jarang ada tamu yang berkunjung ke rumah itu—kalau tidak mau dikatakan tidak ada sama sekali. Makanya Gaharum mengatur suara bel pada volume paling tinggi, agar terdengar sampai halaman belakang, tempat di mana dia banyak menghabiskan waktu.

Halilintar mendapati Kaizo sudah berdiri di depan pintu. Kaizo tersenyum simpul begitu matanya berpapasan dengan para manula. Dia kembali memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuannya ada di sini. Para manula mengangguk-angguk takzim. Kemudian mereka pamit pergi menuju ruang baca yang penuh dengan buku-buku tentang tanaman, memberikan ruang pada Kaizo dan Halilintar untuk bicara empat mata, meskipun awalnya Hangkasa ngotot ingin mendengar obrolan mereka.

Kepergian para manula membuat Kaizo kembali ke sifat aslinya. Tidak banyak senyum, lebih sering tampak mengintimidasi.

"Adikmu bilang kamu tidak enak badan, tapi saya lihat kamu baik-baik saja." Kaizo duduk bersandar pada sofa sambil menyesap teh yang disuguhkan Gaharum untuknya. "Apa karena ucapan saya kemarin?"

Kaki Halilintar bergerak-gerak gelisah. Halilintar pikir, pola serat kayu di lantai lebih menarik perhatiannya dibanding harus bertemu mata dengan Kaizo. "Sebenarnya saya ada rencana mau pindah sekolah, Pak."

"Kenapa?"

"Rasanya aneh buat saya. Kenapa saya dikumpulkan di kelas E?"

Kaizo menurunkan cangkir tehnya. Dia mulai duduk dengan punggung tegap, jari-jari tangannya saling bertaut di atas kedua lututnya. "Kamu tahu? Prinsip SMA Budi Asih adalah menyediakan tempat yang nyaman dan aman untuk setiap siswa dalam mengembangkan setiap potensinya. Kami hanya ingin kalian bisa berkembang seperti siswa lain, tanpa harus menghiraukan pandangan orang terhadap kalian. Jadi daripada membuat kalian berpencar di berbagai kelas, akan lebih mudah bila menyatukan kalian dalam kelas yang sama."

"Terus dari mana Bapak tahu kemampuan saya dan siswa lain?"

"Intinya dengan dibentuknya kelas E, saya bisa bantu mengendalikan kemampuan kalian, termasuk kemampuanmu."

Halilintar menoleh cepat ke arah Kaizo. Setengah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Mengendalikan kemampuan saya?"

Kaizo mengangguk tanpa suara. "Jadi, kamu tetap akan pindah?"

Halilintar termenung. Keyakinannya perlahan tenggelam oleh keraguan yang muncul semakin besar saat dia mendengar ucapan wali kelasnya.

"Ok. Saya anggap kamu tetap pada keputusanmu. Tapi coba pikirkan lagi, Halilintar. Ada empat remaja lain yang sama-sama punya kemampuan spesial. Saya yakin mereka pasti bisa lebih memahami kamu." Lalu Kaizo menambahkan. "Dan kalau kamu tetap mau pindah, saya tidak akan memaksa kamu terus bersekolah di SMA Budi Asih. Tapi, saya jamin tempat lain belum tentu bisa terima kemampuan kamu. Kalau soal itu, saya yakin kamu sendiri yang paling tahu."

Halilintar masih terpaku menatap langkah Kaizo yang semakin jauh. Pemuda itu pamit pergi karena harus mengurus pekerjaannya di sekolah, sosoknya semakin menghilang dari pandangan.

"Ucapan wali kelas kamu ada benarnya juga sih," kata Hangkasa.

Halilintar menoleh pada sumber suara. Dia mendapati manula itu tengah duduk pada anak tangga ketiga dari bawah.

"Atok nguping?"

"Siapa bilang? Atok mau ambil minum dan nggak sengaja dengar." Hangkasa mengangkat bahu tak peduli. Kemudian pria tua itu duduk tepat di tempat yang baru saja Kaizo duduki. "Bukannya itu bagus? Coba ingat berapa sekolah yang memaklumi kondisi kamu?"

Belum pernah ada, Halilintar menjawab dalam hati. Baik itu dikalangan siswa maupun guru, mereka semua memanganggap kemampuannya sebagai sesuatu yang menakutkan.

~o0o~

Melihat semua murid di bawah tanggung jawabnya ada di dalam kelas, senyum tipis terbit di kedua sudut bibir Kaizo. Suasana hatinya benar-benar baik.

Semua itu tidak lepas dari kemunculan batang hidung Halilintar di sekolah. Kaizo langsung menjadwalkan kelas tambahan selepas salat jumat. Mereka berdua sempat bicara empat mata—di ruang kesehatan tentunya, dan dia senang Halilintar memikirkan ucapannya kemarin.

"Bisa kita mulai sekarang?"

Yaya dan Ying kompak mengangkat tangan. Kaizo mempersilahkan mereka berbicara bergantian.

"Saya dan Halilintar ada jadwal ekskul, Pak."

"Saya juga," imbuh Ying.

"Tidak usah khawatir. Saya sudah meminta izin dari penanggung jawab ekskul kalian. Lagipula hanya hari ini. Nanti saya berikan jadwal yang baru."

Setelah merasa tidak ada lagi yang keberatan, Kaizo berjalan mendekati lemari. Seperti yang dilakukan Taufan tempo hari, Kaizo menempelkan jari telunjuk tangan kanannya di atas permukaan alat pemindai sidik jari.

Lingkaran berwarna perak pada alat itu mengeluarkan cahaya LED berwarna biru muda, berkedip-kedip, lalu muncul suara wanita.

"Verification success. Welcome back Mr. Kaizo. I'm Lily, your personal assistant. The door will open in a few seconds."

Kaizo mundur beberapa langkah. Lemari itu bergeser sedikit demi sedikit ke depan dengan gerakan lambat dan halus. Barang-barang di lemari ikut bergetar, tetapi tidak sampai jatuh.

Dari balik tubuh Kaizo, ada lima pasang mata yang menatap takjub dengan mulut menganga. Baru pertama kali mereka melihat lemari bisa bergerak sendiri. Padahal biasanya hal-hal seperti itu hanya bisa mereka lihat dalam film bertema fiksi ilmiah.

Setelah geseran lemari berhenti, terlihat sebuah ruangan yang gelap dibaliknya. Kaizo melangkah masuk, sensor di atas kepalanya membuat lampu menyala. Kaizo melambaikan tangan agar semuanya ikut masuk, tetapi mereka semua terdiam di posisinya masing-masing.

"Kok aku jadi takut, ya?" bisik Taufan, bulu tangannya ikut meremang.

"Udah telat kalau kamu mau kabur," celetuk Ying.

Selain karena pintu aneh itu sekarang sudah terbuka, sebelum dimulai Kaizo mengunci pintu ruang kelas dari dalam, dan menurunkan semua tirai rolling blind menutupi jendela. Mereka semua tidak akan bisa keluar tanpa izin Kaizo.

Tidak ada yang mau berlajan di depan, mereka berlima saling dorong untuk menentukan siapa yang masuk lebih dulu. Kaizo mulai kesal dan menyuruh mereka masuk sesuai abjad. Mendengar hal itu, Taufan langsung tertawa puas bersamaan dengan kelegaan yang dirasakan oleh Yaya, Ying, dan Solar. Sebab bukan mereka yang ada di urutan pertama. Entah kenapa Halilintar merasa dirinya yang paling sial, padahal namanya bukan diawali abjad pertama.

Pintu menutup sendiri setelah kelimanya mengekor di belakang Kaizo, dan mereka benar-benar ditelan kegelapan. Ada puluhan anak tangga yang menjorok ke bawah, di antara anak tangga itu ada lampu kecil berwarna putih yang akan menyala saat mereka mendekatinya, memudahkan mereka berjalan dalam gelap.

Setelah melewati tangga, ada lorong panjang dan gelap yang juga dihiasi lampu di kedua sudutnya di sepanjang jalan. Cukup lama mereka berjalan, hingga di ujung lorong ada sebuah gimnasium dengan langit-langit yang tinggi dan punya pencahayaan lebih bagus dibandingkan lorong tadi.

Gimnasium itu berukuran setengah luas sport centre, dengan cermin super besar yang memenuhi seluruh dinding bagian depan, lantai yang memiliki motif kotak-kotak raksasa, loker berisi lima sekat, dua pintu kamar mandi di ujung gimnasium, dan pada sisi lain ada satu set komputer dengan layar yang lebih lebar dari biasanya.

"Wah." Para penghuni kelas E kembali menganga lebar, tidak bisa menyembunyikan rasa takjubnya. Mereka tidak menyangka ada fasilitas seperti ini di SMA Budi Asih.

Kaizo meminta kelimanya menyimpan barang-barang yang mereka bawa ke dalam loker termasuk ponsel yang harus diatur dalam mode senyap, lalu mengganti pakaian dengan apa yang sudah disediakan. Di dalam loker sudah ada satu set pakaian olahraga berwarna hitam dengan hiasan garis-garis berwarna hijau, handuk kecil dan sebotol air minum.

Mereka kembali berkumpul tak jauh dari cermin besar, semuanya duduk di lantai, termasuk Kaizo.

"Sebelum ke inti kegiatan, saya ingin kalian menjelaskan kemampuan masing-masing. Kalian boleh menceritakan apa saja terkait kemampuan itu. Ada yang mau duluan?"

Mereka saling tatap satu sama lain. Tak ada yang bersedia lebih dulu, mereka kembali saling sikut untuk menentukan siapa yang duluan memperkenalkan diri, dan baru berhenti setelah Kaizo meminta perkenalan itu dimulai dengan urutan abjad, tetapi kali ini dimulai dari belakang.

"Saya nggak tahu ini bisa disebut kemampuan spesial atau bukan, guru olahraga saya di Sekolah Dasar yang pertama kali sadar kalau saya bisa berlari lebih cepat dari yang lain. Tapi waktu mau ikut lomba, saya sempat dituduh menggunakan doping, karena perubahan rekor berlari yang drastis. Sejak saat itu, saya tidak pernah menunjukkan kemampuan ini lagi," tutur Ying.

"Itu juga kemampuan spesial, Ying. Teman-temanmu di sini belum tentu secepat kamu. Jangan berkecil hati." Kaizo tersenyum tipis.

Ying duduk kembali sambil mengulum senyumnya.

Yaya berdiri dan mulai menceritakan kemampuannya. "Saya punya tenaga yang besar, memang terlihat nggak cocok dengan tubuh saya. Kadang kalau orang-orang melihat saya bisa mengatasi benda berat, mereka menganggapnya aneh. Jadi, saya selalu beraktivitas dengan tenaga seminimal mungkin."

"Kamu tahu berapa batas berat yang bisa kamu atasi?" tanya Kaizo.

Yaya menggeleng. Setelah itu, Kaizo memintanya duduk kembali. "Selanjutnya."

Taufan berdiri. "Saya tahu punya kemampuan ini waktu umur delapan tahun. Kalian sebut aja kemampuan saya ini pendengaran yang keren. Saya bisa tahu posisi benda lewat gema suara yang dipantulkan benda-benda di sekitar saya."

"Apa kamu masih bisa tahu posisi benda itu ada di mana walaupun tanpa melihat?"

"Iya, Pak. Selama ada suara di sekitar saya, saya bisa dengar gema suara pantulannya."

Kaizo mengangguk-angguk. "Selanjutnya."

Solar merenung dengan kepala miring ke kanan dan berpangku pada tangan kanan, matanya menatap kosong pantulannya sendiri di cermin.

"Solar," panggil Kaizo lagi.

Solar menoleh. "Apa, Pak?"

"Giliran kamu."

"Tapi kalian udah tahu. Kemampuan saya nggak ada yang berubah."

"Baiklah. Saya rasa kalian juga sudah tahu kemampuan Halilintar, jadi tidak perlu diceritakan lagi. Seperti yang saya katakan tempo hari, saya harap kalian bisa menjadi diri sendiri. Jangan sungkan menunjukkan kemampuan kalian. Di sini, tidak akan ada yang menganggap kalian aneh."

Kaizo mengeluarkan lima jam tangan dari saku celananya. Pada bagian dalam jam tangan itu terdapat nomor urut dari satu sampai lima. Kaizo membagikan jam tangan itu pada mereka dengan nomor urut satu dimulai dari Ying, disusul Taufan, Halilintar, Yaya, dan Solar.

"Pakai ini dan lakukan pemanasan."

"Hah?" Mereka semua terbengong.

"Saya ingin menguji fisik kalian. Instruksi selanjutnya akan saya berikan nanti."

Mereka berlima masih terbengong saat Kaizo mulai berkutat dengan komputer di sana.

"Harusnya aku curiga waktu disuruh ganti baju," keluh Taufan.

"Udah, udah. Ayo mulai." Yaya menengahi.

Mereka mulai membentuk lingkaran kecil dan melakukan pemanasan dipimpin oleh Yaya.

Sementara Kaizo sedang menyinkronkan jam tangan yang dia berikan pada para siswa kelas E dengan data diri mereka di dalam komputer. Jelang beberapa menit, Lily memberitahu bahwa seluruh data diri dan jam tangan sudah sesuai dengan data masing-masing anak.

Kaizo mengamati para siswa kelas E yang belum selesai melakukan pemanasan. Ponsel dalam saku celananya bergetar. Ada panggilan masuk dari kepala sekolah.

"Apa sudah dimulai?" tanya kepala sekolah saat Kaizo menerima panggilan itu.

"Kami sudah di gimnasium. Sebentar lagi dimulai."

"Selesai dari sana, segera datang ke lantai lima. Saya ingin tahu hasilnya."

"Baik, Bu." Sambungan telepon itu mati.

Kaizo beralih menatap komputer yang menampilkan lima nomor urut, tiga nomor kombinasi, serta grafik kosong.

~o0o~

Hari mulai gelap begitu para penghuni kelas E keluar dari gimnasium bawah tanah, sebenarnya mereka lebih senang menyebut tempat itu neraka. Kali ini mereka semua setuju pada komentar Taufan yang mengatakan bahwa Kaizo adalah manusia tak berperasaan.

Mereka pikir hanya akan menjalani tes fisik seperti saat tes masuk SMA Budi Asih, yaitu berlari di lapangan outdoor selama 12 menit. Rupanya mereka salah.

Yang mereka jalani bukan hanya berlari selama 12 menit, tetapi juga berlari cepat dari ujung depan gimnasium ke ujung lain, squat, push up, back up, dan sit up. Selain mengawasi kelima siswanya yang melakukan tes, Kaizo tak henti-hentinya meniupkan peluit saat ada yang tidak sesuai keinginannya, suara peluit itu menggema ke seluruh gimnasium, membuat telinga mereka pengang.

"Harusnya aku curiga waktu liat ada handuk dan botol minum di loker," komentar Taufan lagi. Siapa sangka kedua benda itu benar-benar berguna.

Handuk kecil untuk mengelap keringat mereka yang tidak ada bedanya dengan banjir Citarum, dan air minum untuk mencegah dehidrasi. Khusus bagi Taufan, ada kegunaan lain, botol minumnya bisa digunakan untuk mengetes kemampuan Halilintar, dengan cara sengaja disenggol-senggolkan ke tangan pemuda itu. Bagian luar botol minum terbuat dari stainless steel, sehingga ketika beradu dengan bagian tubuh Halilintar akan memunculkan percikan listrik kecil. Taufan akan tertawa-tawa setiap terdengar suara listrik konslet, tingkahnya seperti anak kecil yang menemukan mainan baru.

Begitu langkah kaki mereka sampai di gerbang sekolah, di sana sudah ada mobil beserta supir pribadi Solar yang menunggu tuannya. Mobil itu melaju meninggalkan sekolah tak lama setelah Solar masuk, tanpa basa basi menawarkan tumpangan pada teman-temannya.

"Aku juga pengen dijemput supir, tapi aku miskin."

Halilintar, Yaya, dan Ying menatap Taufan prihatin. Mereka kompak menepuk-nepuk kedua pundak Taufan. Bukan cuma Taufan yang mau dijemput supir pribadi, mereka juga mau. Jangankan supir, andai ada pintu kemana saja milik Doraemon, pasti akan mereka gunakan dengan sebaik-baiknya.

"Nepuknya agak ketengah dikit dong."

Ying memukul kuat-kuat pundak Taufan. "Yeee … dia malah keenakan."

Taufan nyengir, membuat Ying dan Yaya tertawa. Yaya sempat menawarkan sentilan mautnya pada Ying dan Taufan, tetapi setelah tahu kemampuan Yaya, mereka menggeleng kompak.

Mau tak mau, Halilintar ikut tersenyum. Benar apa kata Kaizo, ada empat orang aneh lain di sini dan tak ada yang menganggap Halilintar aneh. Mereka bersikap seolah kemampuan aneh yang mereka miliki adalah sesuatu yang normal.

Saat di dalam gimnasium mereka banyak bertukar pengalaman di sela-sela waktu istirahat. Ying pernah dikejar anjing ketika berangkat sekolah, yang berakhir dengan anjing itu depresi karena tak bisa mengejarnya; Yaya pernah tak sengaja membuat pintu lemari lepas dari engselnya; dan Taufan sesumbar soal dirinya yang bisa main basket dengan mata tertutup.

Halilintar tak mengerti. Mungkin bagi sebagian orang, pengalaman-pengalaman dan cerita unik mereka pasti terdengar aneh. Namun, entah kenapa mendengar semua itu membuat perasaannya menghangat. Keputusannya untuk tetap berada di sekolah ini sepertinya tidak salah.

Di tengah gurauannya, Taufan tak sengaja mendapati Halilintar tersenyum seperti orang mabuk cincau. Dia langsung menunjukkan apa yang dilihatnya pada Ying dan Yaya. "Liat tuh, dia mulai gila. Efek samping tes dari Pak Kaizo emang mantap.."

Mereka jarang melihat Halilintar tersenyum, apalagi tertawa. Paling hanya kedua sudut bibirnya sedikit naik dengan tak ikhlas, tetapi kali ini sudut bibirnya naik lebih tinggi dari biasanya. Kalau Solar melihat itu, dia pasti akan menghitung sudut kemiringannya.

Senyum Halilintar luntur, berganti dengan air mukanya yang biasa. Dia berjalan cepat meninggalkan yang lain sambil menutup sebagian wajahnya dengan tangan.

.

.

.

Tbc


Holaa aku kembali ^^
Makasih banyak udah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini. Kritik, saran dan pertanyaan bisa dikirim ke kolom review.

Sampai nanti ^^

SkyLi