E Class
Story by Sky Liberflux
Boboiboy sepenuhnya milik Monsta
Bab 7: Alarm Kebakaran
Warning: Indonesia!AU, OOC, gaje.
Setelah memastikan para penghuni kelas E perlahan pergi meninggalkan sekolah, Kaizo langsung naik ke lantai lima, menuju sebuah ruangan yang aksesnya hanya dimiliki oleh beberapa orang yang punya kepentingan. Di ruangan yang dibuat redup itu, satu buah proyektor menjadi sumber cahaya yang memproyeksikan data diri masing-masing penghuni kelas E, dan data apa saja yang berhasil diperoleh hari ini. Kaizo berdiri di depan, tak jauh dari layar besar yang memantul dari mesin proyektor. Pria itu mulai menjelaskan sembari tangannya menunjuk poin-poin tertentu menggunakan pointer.
Di sudut berbeda, kepala sekolah duduk bersandar di kursinya, menatap seksama data-data yang tersaji di depan, tangannya sesekali menulis sesuatu di atas berkas miliknya. Raut puas dan tak senang tercetak bergantian wajahnya.
"Untuk lebih memastikan hal ini, saya butuh bantuan dari tim medis," kata Kaizo.
Kepala sekolah mengangguk-angguk, dan menulis lagi. "Itu bisa diatur."
"Meskipun begitu, ada beberapa hal yang perlu saya garis bawahi." Kaizo menunjuk foto berjudul 070-Taufan menggunakan pointer. "Saya sengaja mengganggu konsentrasi mereka dengan suara peluit, dan Taufan terlihat paling terganggu. Terutama ketika dia berada dalam situasi serius, konsentrasinya mudah terpecah oleh suara di sekitarnya, mungkin ini berkaitan dengan kemampuannya."
Dengan menggunakan pointer, Kaizo memindahkan tampilan sebelumnya menjadi sebuah grafik yang melandai, dengan nama '064-Ying' sebagai sub judul. "Untuk Ying, dia memang yang paling cepat diantara yang lain, tapi terbatas dalam jarak yang relatif dekat dan singkat. Bisa dilihat dalam grafik ini, semakin lama kecepatannya akan semakin menurun. Ini bukan pertanda buruk, tetapi kedepannya mungkin kemampuan Ying bisa lebih baik dari ini.
"Yaya, Solar, dan Halilintar tidak ada masalah. Yaya mampu mengendalikan kemampuannya dengan baik, tetapi tes ini tidak membuat Solar menunjukkan kemampuannya. Mungkin lain waktu kita bisa lakukan kegiatan lain untuk melihat bagaimana perkembangan kemampuannya. Terakhir, Halilintar, saya belum bisa banyak berkomentar. Ini pertama kalinya saya melihat kemampuannya, karena itu saya membutuhkan lebih banyak data. Jadi, untuk saat ini saya akan fokus membuatnya betah dan beradaptasi dengan baik," Kaizo mengakhiri penjelasannya.
"Tentu, seperti yang pernah saya bilang, kita hanya perlu membuatnya nyaman dan merasa diterima. Dengan begitu, anak itu tidak akan pergi kemana-mana." Kepala sekolah menutup berkas di dekatnya, lalu bangkit. Sebelum pergi, wanita itu berbalik dan berkata, "Bagaimana kalau kelas selanjutnya diadakan hari selasa?"
"Bisa, Bu. Mereka tidak ada jadwal ekskul di hari selasa."
"Baguslah. Saya titip anak-anak itu."
Kaizo mengangguk. Sepatu bersol tinggi milik kepala sekolah mengetuk-ngetuk lantai, meninggalkan Kaizo di ruangan itu.
~o0o~
Yaya mulai menurunkan tirai rolling blind menutupi semua jendela, dan Ying yang mendapat giliran piket mulai membersihkan ruangan itu. Selepas kelas olahraga, Kaizo kembali menjadwalkan kelas tambahan, seperti Jumat lalu.
Solar membenahi penampilannya di depan cermin, melapisi kemejanya dengan jaket putih, melepas dasi ke dalam tas, lalu memakai topi putih, dan sentuhan terakhir, kacamata berbingkai bulat bertengger di wajahnya. Puas melihat pantulannya sendiri, Solar melangkah ke luar kelas. Namun, Taufan langsung menghalangi jalannya.
"Eits, mau kemana, Bro?"
"Menghabiskan pendapatan ayahku. Minggir!"
Taufan merentangkan kedua tangannya. "Boleh keluar, tapi aku ikut."
Mendengar hal itu, Yaya ikut nimbrung. "Kita ada kelas tambahan, ingat?"
"Santai, Ya. Lagian kalau Solar nggak hadir, paling-paling pindah hari lagi, kayak waktu Hali nggak masuk. Nah, mending kamu ikut. Gimana?"
Merasa namanya mulai disebut-sebut, Halilintar mengalihkan atensinya dari tugas disela-sela menunggu kedatangan Kaizo. Bukan karena rajin, tetapi karena tak mau dituduh pemalas.
Tadi pagi, di depan seluruh siswa kelas A dan E, Halilintar diusir dari kelas olahraga karena tugas miliknya belum selesai dikerjakan. Sebenarnya bukan karena Halilintar tidak mengerjakan tugas itu dengan sengaja, melainkan dia memang amnesia sesaat. Kalau ada yang bisa disalahkan, dia akan menyalahkan badannya yang encok berhari-hari setelah keluar dari gimnasium dan membuatnya betah berlama-lama mengukur luas kasur sambil berguling-guling. Oleh karena itu, sebelum tugas itu membelah diri seperti amuba, sekarang Halilintar berusaha menaklukannya.
Yaya dan Taufan masih sibuk berdebat, hingga Taufan mulai melebarkan topik pada peluit sakti milik Kaizo yang suaranya mampu merusak gendang telinga, dan kalau disuruh memilih, Taufan tak mau mendengar itu lagi selama yang dia bisa.
Yaya menghela nafas. Dia paham apa yang dirasakan Taufan. Dirinya yang punya pendengaran normal saja merasa terganggu dengan suara itu, apalagi Taufan.
"Ok. Kalau sambil belajar, aku ikut. Kamu gimana, Ying, Hali?"
"Setuju. Tapi aku nggak bisa lama."
"Asal tugasku selesai."
"Ok, nggak apa-apa. Gimana, Sol? Makin rame makin asik lho."
"Terserah." Satu kata dengan sejuta makna, yang kali ini Taufan terjemahkan sebagai tanda persetujuan.
Solar memilih tempat di pusat perbelanjaan paling sibuk di kota itu. Meski awalnya mereka kesulitan karena Halilintar belum terbiasa dengan banyaknya hilir mudik orang-orang di dalamnya. Setelah brainstorming panjang dan saling seret-menyeret, akhirnya kedai Kopi Kapitalis terpilih sebagai tempat nongkrong mereka. Bukan karena menunya yang enak, tetapi karena tempatnya yang dirasa cocok.
Tempat itu tak begitu ramai pengunjung, tetapi tidak terlalu sepi juga. Cukup ideal bagi salah satu diantara mereka yang terlalu parno setiap melihat kerumunan orang. Mereka memilih duduk tempat di samping kaca tebal yang bagian tengah kebawah dilapisi stiker buram. Beberapa dari pengunjung adalah pelajar seperti mereka, datang untuk belajar atau sekadar berswafoto sambil mengobrol tak tentu arah.
Upaya pertama yang dilakukan Taufan untuk menjalankan misi terselubung Solar adalah dengan memesan makanan dan minuman untuk mereka semua di harga paling mahal. Taufan mengira Solar akan protes, tetapi nyatanya anak itu diam saja sambil mengeluarkan kartu debit miliknya, dan semua pembayaran beres seketika.
Sesuai kesepakatan, mereka ada di sana untuk belajar bersama. Ying menunjukkan catatan berisi daftar tugas yang dimilikinya, satu persatu mereka kerjakan, dari mulai yang masa tenggatnya besok, hingga yang masa tenggatnya masih minggu depan.
Tak terasa, gelas-gelas berisi produk olahan kopi dan makanan ringan mulai habis. Tugas demi tugas mulai rampung.
"Hebat lho. Bergaul sama kalian bikin aku merasa pintar, tapi otakku mau meledak." Taufan menggeleng-geleng tak percaya. Ini rekor tercepatnya dalam mengerjakan tugas, padahal biasanya paling cepat dia akan mengerjakan tugas sehari menjelang dikumpulkan.
"Udah kan? Pulang, yuk," ajak Ying.
"Selamat Hali, minggu depan kamu nggak akan didamprat lagi." Wajah Halilintar semakin masam.
Tiba-tiba Taufan menyebut-nyebut nama Kaizo berulang kali, lalu menyembunyikan dirinya di bawah meja. Spontan Halilintar, Yaya, Ying, bahkan Solar ikut menyembunyikan diri mereka. Tak peduli pengunjung lain mulai berbisik, menganggap mereka sekumpulan bocah aneh.
"Ada Pak Kaizo di luar," ucap Taufan sambil berbisik. "Lagi jalan sambil pegang hp, kayaknya lagi nelpon."
Mereka semua menegang. Tak ada yang mengira dari beberapa pusat perbelanjaan yang ada di kota ini, Kaizo malah muncul di sini, tak jauh dari tempat mereka menghabiskan beberapa jam untuk menghindari kelas tambahan darinya.
Mereka sepakat dalam posisi itu selama beberapa saat, meski harus menebalkan rasa malu karena menjadi pusat perhatian pengunjung dan barista. Usul Taufan tentang pura-pura kesurupan langsung ditolak mentah-mentah. Setelah dirasa aman, kepala mereka menyembul satu persatu, lalu duduk kembali selayaknya pengunjung normal.
Mereka mulai mengemasi alat tulis milik masing-masing. Selagi membereskan barangnya, Ying berkata, "Kalian penasaran nggak sih? Pak Kaizo tuh kayak tahu kita lagi dimana aja. Maksudku, waktu Taufan nemuin sensor itu, dia langsung datang ke kelas. Dan sekarang dia berkeliaran di sini waktu kita bolos kelasnya, bukan cuma kebetulan, kan?"
"Setahuku kebetulan itu cuma berlaku satu kali," kata Yaya.
"Tuh kan."
"Berarti Pak Kaizo itu pasti ninja Konoha yang punya jurus teleportasi." Tangan Taufan mulai menirukan beberapa gerakan tangan dalam serial itu.
"Aduh, dia kebanyakan nonton anime."
"Jadi, gimana sekarang?" tanya Halilintar.
"Pulang lah. Apalagi? Kamu mau papasan sama Pak Kaizo, terus didamprat lagi?" Halilintar menggeleng. Cukup sekali saja.
Usai berkemas, mereka buru-buru keluar dari area pusat perbelanjaan dengan menggunakan pintu samping basement dan berjalan kaki keluar dari area itu lewat jalur sepeda motor. Setelah benar-benar keluar dari area itu, Taufan yang pertama kali menyadari Solar tertinggal jauh di belakang. Anak itu terlihat mematung sambil matanya tertuju pada layar ponselnya.
"Solar, cepetan! Lagi ngapain sih?"
Solar tak menjawab, matanya tertuju pada satu pesan singkat yang masuk ke ponselnya. Pesan singkat dari ayahnya.
~o0o~
Sudah lama Solar tinggal terpisah dengan ayahnya, kira-kira sejak tahun-tahun terakhirnya di Sekolah Dasar. Solar dipindahkan ke kota ini, sementara ayahnya tetap tinggal di Jakarta untuk mengurus pekerjaan. Harusnya sudah bisa ditebak, kunjungan ayahnya hari ini hanya untuk urusan bisnis, bukan untuk hal lain. Sai bilang, ada jamuan makan malam yang diadakan oleh rekan bisnis ayahnya.
Solar mengenal Sai sebagai pria muda yang selalu totalitas dalam bekerja. Bertahun-tahun menjadi tangan kanan ayahnya sudah cukup membuat Sai mengenal karakter ayahnya luar dalam. Kalau kata Ayah Solar A, berarti harus A, tidak boleh B, apalagi C. Hal itu seperti tertanam kuat dalam benaknya, sehingga ketika sedang menjalankan pekerjaannya, Sai akan terlihat dua kali lebih menyebalkan dari Ayah Solar.
Sesampainya di rumah, Sai sudah menyediakan semua kebutuhan Solar untuk datang ke acara itu, bahkan dengan sabar terus menunggu di depan pintu kamar untuk memastikan Solar benar-benar hadir, dan tak segan mengancam akan mencabut daun pintu kamarnya kalau sampai Solar tak keluar juga. Ancaman Sai bukanlah candaan, karena beberapa tahun lalu Sai pernah benar-benar mencopot daun pintu kamarnya. Hal itu membuat Solar tak punya pilihan, selain mengikuti kemauan ayahnya dan terjebak dalam suasana canggung bersama Sai selama perjalanan menuju lokasi acara.
Selain caranya dalam menjalankan pekerjaan, ada hal lain yang membuat Solar tidak begitu menyukai pria itu. Kehadiran Sai menandakan ada inspeksi mendadak pada semua barang miliknya, Solar bisa menebak saat ini kamarnya sedang diacak-acak, meskipun pada akhirnya semua barang akan dikembalikan ke tempat semula, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Namun, mereka seolah melupakan fakta bahwa Solar adalah seorang pengingat. Sekecil apapun benda-benda di kamarnya bergeser, Solar mampu menyadarinya.
Dan untuk kesekian kalinya, Sai meminta ponsel Solar. Pria itu memeriksa setiap aplikasi yang terinstal, dan membuka seluruh berkas yang ada. Dia mengernyit melihat hanya ada satu nomor telepon dalam ponsel itu, dan diberi nama ESEF, yang belakangan Sai tahu itu nomor atasanya sendiri.
"Kamu menamai nomor telepon ayahmu pakai kode saham Surya Farma?"
"Ayah memang punya saham di Surya Farma, kan?"
"Benar. Tapi itu nggak sopan." Solar diam saja, menatap bosan pemandangan di luar.
Sai mengganti nama nomor itu dengan nama yang seharusnya sebelum mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya. "Ngomong-ngomong, kenapa nggak ada nomor lain? Punya teman-temanmu, misalnya."
"Aku nggak punya teman."
"Bagus kalau begitu."
Solar langsung menoleh, mengerutkan alis. Apanya yang bagus dari seseorang tidak punya teman?
Sai tertawa kecil, lalu berkata, "Tamu acara ini membawa keluarganya juga, banyak orang penting di sana, bertemanlah dengan mereka."
Bersamaan dengan itu, mobil yang mereka tumpangi segera memasuki area depan Hotel Sky Palace, menunggu giliran mengantar pemiliknya. Sampai di depan hotel, Sai tetap ngotot mau mengantar Solar sampai benar-benar bertemu dengan ayahnya.
Jamuan itu dimulai pukul tujuh malam, Solar terlambat beberapa menit dari waktu yang ditentukan. Ada dua orang petugas yang berjaga di depan pintu junior ballroom yang digunakan untuk acara itu dan minta ditunjukkan kartu undangan padanya. Sai menunjukkan kartu undangan, petugas membawa Solar masuk. Saat itulah Solar baru bisa lepas dari pengawasan Sai.
Solar mendapati ayahnya sedang mengobrol dengan para pria berpakaian necis dan berambut klimis. Ketika mata mereka bertemu, Solar disambut dengan senyum bisnis. Tak butuh waktu lama baginya hinggap dari satu meja ke meja yang lain, dikenalkan pada kolega yang satu ke kolega yang lain, lengkap dengan embel-embel bahwa kelak Solar juga akan berkecimpung dalam dunia bisnis, melanjutkan darah bisnis keluarganya.
Ayahnya berkata, pesta ini diadakan sebagai syukuran karena anak perempuan dari pemilik Kasuta Sekuritas berhasil masuk ke sekolah bisnis di Chicago. "Dia memang lebih tua dari kamu, tapi Ayah harap kalian bisa berteman. Ya … siapa tahu nanti kamu melanjutkan kuliah di kampusnya," kata ayahnya.
Sepertinya skenario pertemanan itu sudah diatur sedemikian rupa, hingga Solar bahkan ditempatkan bersama anak perempuan itu dan beberapa anak lain dalam satu meja bundar. Meja itu terpisah dari para orang tua. Anak muda punya obrolan berbeda dengan kami, kata mereka.
Harus Solar akui, obrolan di meja ini memang benar-benar berbeda dengan meja lain yang sempat Solar kunjungi. Kalau meja para orang tua lebih banyak membahas bisnis, sentimen pasar, hingga melebar ke isu politik, maka obrolan di meja ini terasa lumayan ringan, seputar hobi, orang tua, atau dunia perkuliahan. Namun, Solar belum bisa mengikuti, obrolan mereka masih asing di telinganya.
"Solar, ya? Anak tunggal pemilik Surya Farma. Baru muncul sekarang, kemana aja?" tanya salah satu anak laki-laki yang memakai kacamata berbingkai hitam, dia menyadari sejak tadi Solar lebih banyak diam. Solar bingung harus menjawab apa.
Dia bertukar tempat dengan orang di sebelah Solar. "Namaku Ezra. Aku kakak kelasmu kalau kita satu sekolah. Yang itu," tunjuknya pada gadis berambut merah muda. "Wheely, sang bintang utama kita." Wheely menanggapi gurauan Ezra dengan mengibaskan rambut merah mudanya yang digerai.
Ezra lalu menunjuk orang disebelah Wheely. "Itu Fang, satu-satunya Taruna Akademi Kepolisian yang berkacamata. Pfft, calon polisi kok berkacamata."
Fang mendengus. "Ini cuma aksesoris!"
Selagi Ezra dan Fang mulai adu mulut perihal kacamata dan polisi yang tidak pernah cocok, dan mulai saling tuduh siapa yang paling buta fashion, pramusaji membawa main course yang menggugah selera, membuat Solar tak begitu fokus mendengarkan kelanjutannya.
Selagi Solar menikmati makanan, Ezra mulai menyikut-nyikut lengan Solar, dan berkata lagi, "Sambil ngobrol dong, Sol. Jangan diam aja. Ayahmu ngajak ke sini bukan cuma buat makan-makan, ya kan?"
"Entahlah," jawab Solar asal-asalan.
"Udah, Za. Dia lagi fokus makan, jangan diganggu," saran Fang.
"Aku lagi ngajarin hal penting dalam kehidupan sosial. Acara kayak gini tuh waktu yang tepat buat membangun relasi. Karena hidup di Indonesia itu harus punya banyak teman." Kemudian Ezra berkata dengan setengah berbisik, "Supaya urusan kita jadi lebih mudah."
"Berarti kayak Bandung Bondowoso," jawab Solar.
Ezra mengernyit."Kenapa Bandung Bondowoso?"
"Karena Bandung Bondowoso nggak bisa bangun seribu candi dalam semalam tanpa bantuan pasukan jin," jelas Solar dengan nada final, membuat Ezra langsung terdiam.
Solar menaruh alat makannya di atas piring ke arah jam empat, dan menaruh serbet di kursi, kemudian keluar dari ruangan itu. Nafsu makannya mendadak hilang. Solar benar-benar ingin segera pulang. Semua hal yang ada di sini membuatnya tak nyaman.
Sepeninggal Solar, Wheely mulai nyinyir, "Bocah kemarin sore lagi berlagak sok idealis. Apa katanya? Bandung Bondowoso?"
"Jangan dinyinyirin, El. Dia baru masuk SMA, masih polos," ucap Ezra berusaha tetap tenang, meskipun tidak bisa dipungkiri kalau dia tetap kesal mendengar ucapan anak itu yang seolah menamparnya.
~o0o~
Solar hampir jatuh tertidur kalau saja ponsel di saku jasnya tidak bergetar. Panggilan itu berasal dari nomor Sai yang dia hafal di luar kepala.
"Cepat masuk sana, sebentar lagi juga selesai," kata Sai dari balik sambungan telepon.
Solar hanya bergumam sebagai jawaban.
Rencananya untuk segera pulang ke rumah langsung ditolak mentah-mentah oleh pria itu, karena menurutnya sangat tidak sopan pulang duluan ketika acara itu belum berakhir. Padahal, harusnya Sai bersyukur, pekerjaannya dalam mengawasi Solar jadi cepat selesai, tetapi pria itu tetap teguh pendirian.
Lagipula Solar tidak bisa kembali ke mejanya, mungkin sekarang dirinya sedang menjadi bahan pembicaraan di sana.
Untuk menghabiskan waktu, Solar bermain-main di lift, naik-turun berkali-kali tanpa tujuan yang jelas, sampai akhirnya dia berhenti sebelum dikira punya niat jelek oleh petugas hotel yang beberapa kali berpapasan dengannya di dalam lift. Dan Sekarang, jadilah Solar menyendiri di salah satu bilik toilet, menunggu acara selesai.
Solar bangun dari posisi duduknya, begitu membuka pintu bilik, Solar mendapati sebuah sticky note kuning tertempel di sana. Solar mencabut kertas itu, dan isinya membuatnya berkeringat dingin.
'Lagi cari teman baru nih. Udah lupa ya sama teman kamu yang bunuh diri itu? Eh, tapi kamu kan nggak bisa lupa :('
Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, membuat nafasnya terasa memendek. Solar keluar dari bilik toilet dengan langkah tak beraturan. Hingga dia mematung di depan cermin, poni rambutnya tersisir ke samping, tanpa kacamata, persis seperti penampilannya beberapa tahun lalu. Melihat penampilannya sendiri di cermin membuat nafasnya semakin sesak. Bukan pantulan dirinya yang dilihat, tetapi pikirannya menerawang jauh pada hal lain yang pernah terjadi di masa lalu.
Solar melempar ponselnya pada cermin di hadapannya, menimbulkan retakan kecil yang membuat pantulan dirinya berubah abstrak. Kemudian Solar merintih, mencengkram kepalanya dengan kedua tangan, matanya terpejam. Mendadak kepalanya terasa pusing bukan main, rasanya seperti berbagai ingatan berebut masuk ke dalam kepalanya, merekonstruksi ingatan di masa lalu tanpa diminta.
"Siapa itu!?" teriak Fang dari ambang pintu.
Solar mengira pertanyaan Fang ditujukan padanya, tetapi dugaan itu salah. Setelah membuka mata, Solar melihat ada orang lain di belakangnya yang terburu-buru keluar. Solar tak sempat melihat wajahnya. Fang mencoba menghalangi orang itu, tetapi dia lebih dulu didorong sampai jatuh. Fang langsung bangkit dan mengejar orang itu.
Alarm kebakaran berbunyi nyaring, menggema ke segala penjuru. Terdengar derap langkah dari luar. Awalnya pelan, tetapi lama kelamaan terdengar intens seolah menyerbu dan teriakan-teriakan panik mulai terdengar.
Fang datang kembali, membantu Solar keluar dari gedung itu, menuruni tangga darurat bersama puluhan orang lain yang melakukan hal yang sama. Sesampainya di lobi, bagian informasi memberi pengumuman bahwa pihak hotel sedang melakukan cross check, dan sementara ini tidak terlihat percikan api di mana pun. Maka dari itu, semua orang diminta tenang kembali.
Insiden di toilet, lalu menuruni puluhan anak tangga membuat tenaganya seolah terkuras habis. Alih-alih kembali ke ballroom, Solar memilih duduk di lobi, dia sudah menghubungi Sai dan menjelaskan secara singkat apa yang baru saja menimpanya. Dari sambungan telepon suara pria itu terdengar panik, dan berkata bahwa Sai dan Ayah Solar akan segera datang ke lobi.
"Kamu kenal orang itu?" tanya Fang. Dia ikut menunggu di lobi setelah meneruskan hasrat buang airnya.
Solar menggeleng.
"Punya musuh?"
Solar menggeleng lagi.
"Sekedar informasi, orang yang ada di toilet tadi bawa pisau lipat di tangannya."
"Salah lihat kali."
Sanggahan singkat, padat dan santai dari Solar tidak bisa diterima akal sehatnya. Fang dengan jelas melihat mata pisau di tangan orang itu berkilau terkena cahaya lampu, dan sudah teracung ke atas. Tidak mungkin dia salah lihat.
"Aku memang pakai kacamata hari ini, tapi mataku nggak rabun."
"Bisa aja itu cuma orang iseng."
"Orang iseng?" Fang mendengus. "Orang iseng mana yang bawa pisau ke toilet, hah? Dengar, kalau tadi aku nggak datang ke toilet, bisa aja kamu udah ditikam dari belakang."
"Nggak usah berasumsi terlalu jauh. Koki tanpa seragamnya kalau iseng datang ke toilet sambil bawa pisau juga bisa kelihatan abnormal. Padahal dia koki."
Kerutan di dahi Fang semakin dalam. Dia masih tak habis pikir dengan pola pikir Solar. Namun, dia urung mengutarakan pendapatnya begitu melihat Ayah Solar datang bersama Sai yang mengekor di belakangnya. Pria itu tersenyum tenang seperti biasa, seolah tidak pernah ada sesuatu yang menimpa anaknya.
"Apa kabar, Fang? Sayang sekali ayahmu sedang dalam perjalanan dinas, padahal sudah lama kami tidak bertemu."
"Kabar baik, Om. Akhir-akhir ini jadwal Ayah memang padat."
Ayah Solar mengangguk mafhum. "Gimana sekolahmu? Tingkat berapa sekarang?"
"Tingkat tiga, brigtutar."
"Wah, sebentar lagi lulus, pasti bisa dapat Adhi Makayasa."
Fang tersenyum simpul mendengarnya. "Semoga aja, Om."
"Terima kasih sudah membantu Solar. Saya masih ingin mengobrol, tapi kami harus pulang. Kalau masih ada yang perlu dibicarakan, main saja ke rumah. Ah, tapi kamu harus kembali ke asrama, ya?"
"Saya kembali ke asrama besok, mungkin bisa mampir sebentar kalau ada waktu."
"Baiklah. Titip salam untuk orang tuamu, ya. Semoga pencalonannya berhasil."
"Terima kasih, Om."
Ayah Solar menepuk-nepuk pundak tegap Fang sebelum pergi.
Mobil itu meluncur meninggalkan halaman depan Hotel Sky Palace. Obrolan di dalam mobil didominasi oleh Ayah Solar dan Sai tentang agenda besok hingga melebar pada apa yang dialami Solar hari ini. Sai berkata, akan mencari identitas pelaku secepatnya.
"Oh iya, Ayah senang kamu bisa berteman dengan Fang. Bersikap baiklah sama dia, orang tuanya sudah banyak membantu Ayah," tutur Ayah Solar yang ditanggapi seadanya. Ayahnya berkata lagi, "Tapi jangan tiru kelakuannya. Disuruh kuliah ambil jurusan Ilmu Politik malah mendaftar di Akpol. Padahal keluarganya banyak yang terjun di dunia politik. Anak itu keras kepala seperti ayahnya. Kamu tahu? Ayah Fang itu Walikota di sini, katanya tahun ini mau mencalonkan diri jadi Gubernur."
"Oh, jadi ayahnya yang bantu mengurus izin pembangunan pabrik baru anak perusahaan Ayah?"
Bukannya tersinggung, Ayah Solar justru melebarkan senyumnya. "Tumben kamu peduli? Kamu sudah mulai tertarik berbisnis? Nanti hubungi saja Sai kalau mau coba main ke kantor pusat. Atau kamu mau main ke laboratorium Surya Farma?"
Solar menghela nafas, dia menyesal sudah berkata demikian, yang malah membuat ayahnya salah paham.
"Kamu mau sesuatu?"
"Ya, ada."
"Apa itu? Apapun pasti Ayah belikan."
"Aku mau bisa lupain sesuatu, Yah." Solar bisa melihat senyum di wajah ayahnya seketika luntur. "Kenapa aku nggak bisa lupa?"
Sang ayah menghela napas sebelum mengalihkan pandangannya ke arah lain. Suasana menjadi hening, Sai bahkan tidak berani mengeluarkan suara.
Solar tahu, ayahnya punya jawaban yang dia cari, tetapi pria itu memilih diam. Dia pun beralih memandangi lampu-lampu jalan dari balik jendela mobil, menyaksikan mereka perlahan tertinggal di belakang.
~o0o~
Siang itu pada jam istirahat, SMA Budi Asih dihebohkan oleh kedatangan satu Taruna Akademi Kepolisian beratribut lengkap. Beberapa siswa yang melihatnya mengira akan ada penyuluhan tentang penerimaan Calon Taruna untuk kelas 12, tetapi setelah dipikir-pikir lagi, tidak mungkin taruna itu akan datang sendirian. Minimal dia akan datang bersama beberapa taruna lain dan dosennya.
Pertanyaan itu terjawab sudah ketika taruna itu mengatakan maksud dan tujuannya, kemudian diarahkan menuju satu-satunya ruang kelas bekas ruang kesenian.
Melihat kehadiran Fang, Solar langsung mengusir Ying dan Halilintar yang berdiam diri di kelas bersamanya. Fang melihat-lihat sekeliling ruang itu, dia mengernyit begitu melihat hanya ada lima bangku dan dinding yang banyak dihiasi topeng-topeng. Fang sempat mengira itu bukan ruang kelas, melainkan ruang bagi mereka yang ingin kursus di bidang seni.
Fang duduk di salah satu meja, sementara Solar duduk di mejanya sambil bermain sudoku. "Melanjutkan obrolan kemarin. Yakin kamu nggak punya musuh?"
Mendengar hal itu, Solar tertawa sinis. "Apa mukaku kelihatan kayak public enemy?"
"Nggak sih, tapi tingkahmu, iya." Solar menaikkan satu alisnya. Fang kembali berkata, "Jadi begini, Solar. Ayahnya Ezra itu pemegang saham mayoritas di Skyloft Pacific, perusahaan induk yang mengelola Hotel Sky Palace. Kemarin mereka langsung menyelidiki siapa orang iseng yang menyalakan alarm kebakaran dan bikin kacau jamuan makan malam. Kamu tahu sendiri lah, Kasuta Sekuritas dengan Skyloft Pacific juga punya semacam hubungan kerjasama, makanya kasus itu jadi cepat diproses.
"Sebenarnya ayahnya Ezra pasti langsung ngasih tahu ayahmu, tapi Ezra bilang kayaknya kamu juga harus tahu soal ini. Dia nggak mau ngasih tahu kamu langsung, masih kesal soal Bandung Bondowoso."
"Langsung ke intinya aja," Solar menyela.
"Kamu pikir kejadian kemarin itu cuma kebetulan?"
"Ya, itu kebetulan." Solar mengangkat bahunya cuek.
"Sebenarnya, kejadian kemarin itu bukan kebetulan, tapi udah direncanakan. Pelakunya lebih dari satu orang dan alarm kebakaran jadi pengalih perhatian. Entah apa yang mereka mau, berhasil atau gagal, cara mereka kabur itu dengan menekan alarm kebakaran. Itu intinya."
"Udah ku bilang, nggak usah berasumsi terlalu jauh."
Fang mendengus melihat Solar masih saja mengelak, kedua tangannya bersedekap, matanya langsung menatap Solar dengan seksama. "Kamu punya panic attack?"
Solar berhenti mengisi angka pada permainan sudokunya. Air mukanya menegang sesaat sebelum dia kembali melanjutkan permainan dan menjawab pertanyaan Fang dengan santai. "Nggak."
Selama menjadi Taruna Akademi Kepolisian, Fang dibekali pengetahuan untuk membaca bahasa tubuh seseorang. Meski hanya terlihat sebentar, dan Solar berkata sebaliknya, satu ekspresi yang tanpa sadar ditunjukkan Solar sebenarnya sudah memberikan jawaban. Fang sudah bisa menarik kesimpulan.
"Ok. Itu cuma kebetulan. Kalau gitu, aku punya oleh-oleh." Fang menyerahkan sebuah memory card yang dibungkus plastik zip kecil pada Solar. Dia bilang, memory card itu berisi video CCTV dari beberapa koridor di Hotel Sky Palace kemarin malam. Kemudian Fang pergi.
Selama kelas matematika reguler di jam terakhir berlangsung, Solar tidak fokus mendengarkan penjelasan guru di depan. Matanya sesekali menonton video CCTV yang diberikan Fang tadi, meski agak kesulitan karena jumlah siswa kelas E yang sedikit membuat apa yang dilakukan sekarang lebih mudah ketahuan.
Video-video itu banyak menangkap kegiatan Solar dari mulai kedatangan sampai dia alarm kebakaran berbunyi. Setelah keluar dari junior ballroom, Solar mulai diikuti oleh seseorang berjaket, orang itu sulit dikenali karena menyembunyikan wajah dengan tudung jaket dan masker di wajahnya. Orang itu juga ikut masuk sesaat setelah Solar memasuki toilet, dan semua terjadi seperti yang diingatnya.
Namun, Solar membelalakan mata begitu melihat salah satu objek dilihatnya. Di saat alarm kebakaran berbunyi dan para pelaku membaur dengan orang-orang yang berlarian di koridor, dia melihat satu sosok yang dikenalnya.
Kaizo. Pria itu ada di sana, keluar dari lift dan ikut berlari di koridor sampai ke lobi, lalu pergi meninggalkan hotel. Satu pertanyaan besar muncul di kepala Solar, kenapa Kaizo ada di sana?
Solar melirik jam di pergelangan tangannya. Masih ada lima menit lagi sebelum jam pulang sekolah. Diam-diam Solar mengemasi semua alat tulisnya. Dia harus menemui Fang secepatnya untuk memastikan sesuatu. Namun, setelah guru matematika reguler keluar kelas, Kaizo masuk kelas sambil menutup pintu rapat-rapat.
"Bisa kita mulai kelas tambahan sekarang?"
.
.
.
Tbc
Halooo ^^
Aku kembali dengan bab yang cukup menguras pikiran. Semoga suka :D. Makasih banyak udah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini. Kritik, saran, ataupun pertanyaan bisa dikirimkan di kolom review.
Di bawah ini ada beberapa arti istilah asing yang aku pakai:
Brigtutar: kependekan dari Brigadir Satu Taruna, atau dalam bahasa inggris berarti Cadet Brigadier First Class.
Adhi Makayasa: penghargaan tahunan kepada lulusan terbaik di setiap matra TNI dan Kepolisian.
Sekian dari aku, sampai nanti ^^
SkyLi
