E Class
Story by Sky Liberflux
BoBoiBoy sepenuhnya milik Monsta
Bab 8: Kata Kunci
Warning: Indonesia!AU, OOC, gaje, violence
Semua orang punya rencana, begitu pula Solar. Maka inilah satu-satunya rencana yang dia punya: mengunjungi Fang di Akademi Kepolisian. Meskipun harus mengalami perubahan rencana sebelumnya, lantaran Kaizo tiba-tiba datang ke kelas tanpa diprediksi, dan dia baru bisa keluar beberapa jam kemudian.
Solar pikir, Fang nantinya bisa memberikan jawaban yang dia mau; memberi tahu apa yang Kaizo lakukan sebelum alarm kebakaran berbunyi. Karena itu, dia bersedia menempuh perjalanan selama beberapa jam dengan supir pribadinya yang keberatan sepanjang perjalanan. Solar tak peduli. Dia harus tiba di Akademi Kepolisian bagaimanapun caranya. Namun, begitu sampai, dia malah dihadiahi kernyitan Fang.
"Jauh-jauh kesini mau apa?" tanya Fang ketus.
"Ada yang mau kutanyakan."
Fang bersedekap, tubuhnya bersandar pada gerbang kompleks akademi. "Tentang?"
"Kejadian kemarin."
"Oh ... bukan kerjaan orang iseng rupanya. Kukira cuma kerjaan orang iseng." Fang mengangguk-angguk. Solar paham, pemuda itu tengah menyindirnya.
Sebenarnya kunjungan Solar mendapat penolakan dari banyak pihak, terutama dari kepala asrama Fang, bahkan sampai satpam yang berjaga di depan pintu masuk kompleks akademi. Jam berkunjung dibatasi hanya sampai sore, dan sebelumnya tidak pernah ada keluarga taruna yang berkunjung pada malam hari.
Kalau bukan karena ayahmu sering membantu ayahku, pasti sudah kuusir dari sini, kata Fang usai berdebat sengit dengan satpam di depan pintu masuk, dan akhirnya diberi izin bertemu sampai sebelum absen malam dilakukan. Kemudian Fang mengajak Solar mengobrol di sebuah kedai tak jauh dari lingkungan Akademi Kepolisian.
"Aku nggak bisa lama-lama. Jadi, mau tanya apa?"
Solar merogoh ponsel dari kantong celananya, dia menunjukkan video CCTV yang Fang berikan tadi siang. Solar menghentikan video itu tepat ketika layarnya menyorot wajah Kaizo dengan cukup jelas. "Kenal orang ini?"
"Jauh-jauh kesini cuma mau tanya itu? Hotel itu punya keluarga Ezra."
Solar langsung buang muka, entah Fang sudah lupa ucapannya tempo hari, atau dia memang sengaja.
"Makanya, kalau ngomong jangan sembarangan. Bisa-bisanya bilang begitu."
"Ya, aku tahu."
Fang mencibir, tetapi akhirnya menjauh dari tempat mereka duduk sembari menempelkan ponsel ke telinganya. Sambil menunggu, Solar melihat-lihat sekeliling. Beberapa kali Solar melirik Fang yang mengacak-acak rambutnya sendiri, sepertinya ada perdebatan sengit. Tak lama kemudian Fang kembali duduk di hadapannya dan meletakkan ponselnya di meja.
"Ezra lagi cari tau, kita tunggu aja," ucapnya. "Omong-omong, apa orang itu pelakunya?"
"Entahlah," jawab Solar sekenanya.
"Terus buat apa dicari tau?"
"Cuma mau tau kenapa dia di sana."
Fang mendengus. Solar datang jauh-jauh ke tempatnya hanya karena penasaran. Sia-sia waktu istirahatnya digunakan untuk meladeni bocah kepo yang punya terlalu banyak waktu luang. Fang melirik layar ponselnya berkedip-kedip. Ada satu pesan masuk. Matanya bergerak dari kiri ke kanan.
"Aku dapat pesan dari Ezra." Solar mengalihkan perhatiannya. "Orang itu pengunjung restoran hotel, dia masuk ke privat room yang sudah direservasi orang lain."
"Siapa yang reservasi?"
"Tamu VIP. Ezra nggak bisa kasih tahu identitasnya."
"Kalau gitu, gimana ciri-cirinya?"
Fang mengangkat bahu. "Kalau dilihat dari video, pertemuan itu batal, orang yang kamu maksud itu datang duluan, dan setelah alarm kebakaran berbunyi, dia nggak kembali lagi ke privat room."
Solar menghela nafas. Pencariannya mengalami jalan buntu.
~o0o~
"Ayaaah!" teriak Yaya. Gadis itu berlari-lari kecil menghampiri seorang pria yang berdiri di pinggir lapangan indoor, meninggalkan Halilintar di belakang. Yaya terlihat memberi salam sebelum menunjuk-nunjuk Halilintar. Pria itu menoleh dan tersenyum jahil.
"Halo, bocah lemari," sapa Amato.
Halilintar meringis, rupanya Amato masih mengingat bagaimana Halilintar kedapatan bersembunyi dan kemudian jatuh tengkurap dari dalam lemari. Itu memalukan.
"Nggak usah malu. Sini, sini."
Dengan langkah ragu, Halilintar berjalan mendekati mereka, menyalami Amato, lalu bertanya dengan sedikit berbisik pada Yaya. "Ayah kamu, Ya?"
"Bukan." Yaya tertawa melihat Halilintar kebingungan. "Semua anak pencak silat memanggilnya Ayah," jelasnya.
"Kamu juga boleh memanggilku Ayah." Amato mengedipkan sebelah matanya, lalu mengacak-acak rambut Halilintar sebelum melangkah ke tengah lapangan indoor, dan berseru kepada anak-anak lain yang tengah duduk melingkar di tengah lapangan. "Mana yang lain? Kenapa belum datang? Pokoknya yang telat harus lari keliling lapangan sepuluh kali."
Perkataan Amato disambut sorak-sorai dari anak-anak lain. Apalagi setelah melihat ada beberapa anak yang datang terlambat.
Pertama kali dalam sejarah pendidikannya, Halilintar mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Namun, Halilintar baru tahu bahwa ekstrakurikuler pencak silat selalu digabung dengan sekolah lain. Mereka yang datang berlatih hari ini bukan hanya siswa satu angkatan dengannya dan para senior, tetapi juga anak-anak dari SD dan SMP Budi Asih. Kalau tahu akan seramai ini, mungkin dia akan berpikir berulang kali, tetapi nasi sudah menjadi bubur.
Memasuki pukul satu, Amato mulai memberi instruksi untuk berkumpul di tengah lapangan indoor, melakukan pemanasan, dilanjut berlari keliling lapangan, dan menonton mereka yang menjalani hukuman karena terlambat.
"Sudah pernah ikut pencak silat sebelumnya?" tanya Amato ketika semua siswa kembali dipecah dalam beberapa kelompok kecil.
"Pernah, tapi …,"
"Ok. Sebentar." Amato berlari meninggalkannya, lalu datang lagi dengan sebuah peching box di tangannya. "Nah, sekarang kamu serang sasaran peching box ini, terserah mau pakai pukulan atau tendangan. Ayah mau mengukur kemampuanmu. Biar latihannya bisa disesuaikan."
Halilintar mulai memasang kuda-kuda. Amato menggerakkan peching box ke kiri dan kanan secara acak, sementara Halilintar melancarkan pukulan dan tendangan. Lalu pria itu akan berkomentar satu dua patah kata setiap kali serangan hampir meleset. Semakin lama, Amato mulai menaikkan kecepatan, bahkan tak segan mendorong peching box ke depan, memaksa Halilintar mundur beberapa langkah sebelum kembali menyerang.
Beberapa anak yang melihat aksi mereka, bersorak mendukung Amato, meskipun apa yang Amato dan Halilintar lakukan bukanlah sebuah pertandingan. Amato semakin menaikkan kecepatan transisi arah sasaran, membuat Halilintar kewalahan, dan terakhir Amato sengaja mendorong peching box hingga mengenai wajah Halilintar, serangan tiba-tiba itu membuatnya jatuh dengan pantat lebih dulu mencium tanah.
Amato mengulurkan tangan, berniat membantu, tetapi Halilintar memilih bangun dengan usahanya sendiri. Amato menarik tangannya lagi.
"Nah, sekarang kamu bisa gabung sama mereka." Amato menunjuk sekumpulan anak-anak SMP Budi Asih.
"Bukan disana?" tunjuknya pada anak-anak seangkatannya.
Amato menggeleng. "Walaupun kamu udah pernah berlatih pencak silat sebelumnya, gerakan kamu yang sekarang masih kaku, kuda-kudamu lemah, tendanganmu sudah bagus, tapi kurang bertenaga, dan sasaran pukulanmu terlalu ke atas. Lagipula latihan teman-teman seangkatanmu sudah jauh, kamu akan sulit mengimbangi mereka."
Halilintar pasrah ketika harus bergabung dengan barisan anak SMP dan mendapat tatapan jahat dari mereka yang sudah lebih jago darinya.
~o0o~
Kedua tangannya terentang ke atas, merenggangkan otot-otot yang membuat pinggangnya berbunyi dramatis. Jam baru menunjukkan pukul setengah sembilan malam, sementara semua tugas sekolahnya telah selesai dibantai. Gempa pikir masih ada waktu sebelum memasuki jam tidur rutinnya.
Gempa melangkah ke depan rak buku yang dominan diisi oleh komik yang semuanya bernomor genap. Bukan karena dia menyukai bilangan itu, tetapi mempunyai hobi yang sama dengan saudara kembarnya adalah keuntungan tersendiri, dengan begitu Gempa tak perlu mengoleksi seluruh volume komik favoritnya seorang diri. Dia bisa berbagi koleksi bersama Halilintar, dengan kesepakatan Gempa akan mengoleksi volume komik bernomor genap, sedangkan Halilintar akan mengoleksi volume komik bernomor ganjil.
Ada satu komik yang terpisah dari jajaran komik lain, diletakkan di atas jajaran koleksi komik miliknya. Itu komik Galaxy Heroes volume ke 37 milik kakaknya. Komik itu dipinjamkan padanya, meskipun Gempa tahu Halilintar belum sempat membacanya.
Itulah cara Halilintar meminta maaf padanya atas pertengkaran mereka tempo hari. Gempa cukup paham, kakaknya tak begitu pintar dalam berkata-kata, dan Halilintar akan melakukan sesuatu sebagai penggantinya. Meminjamkan barang yang belum sempat dia gunakan adalah salah satunya. Padahal Gempa sendiri sudah tidak begitu memikirkan apa yang terjadi tempo hari, toh kakaknya tetap bersekolah seperti biasa. Itu artinya, dia tak perlu mengkhawatirkan apapun lagi. Namun, Halilintar tetap memaksa. Apa boleh buat?
Gempa membuka halaman yang diberi penanda, aroma buku baru masih bisa tercium samar dari setiap halaman yang terbuka. Gambar-gambar yang tersaji mulai merajut imajinasi, bergerak-gerak seperti sebuah visual di kepalanya. Dia harus menyelesaikan ini dengan cepat, Gempa tahu kakaknya sedang menunggu untuk bisa membaca buku itu. Tak sampai lima belas menit, komik itu telah selesai dibacanya. Gempa harus puas dengan akhir menggantung yang diberikan si penulis.
Namun, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah kertas kuning terlihat sedikit menyembul dari halaman paling belakang. Membaca isinya membuat Gempa mengerutkan alis.
Gempa bergegas keluar kamar, menerobos masuk ke kamar kakaknya tanpa permisi hanya untuk mendapati Halilintar sudah tidur tengkurap di atas kasur seperti biawak. Dia kembali menutup pintu kamar kakaknya pelan-pelan.
Sejauh ini Gempa cukup yakin Halilintar tak punya musuh. bagaimana mau punya musuh? keluar rumah pun kadang-kadang, biasanya hanya untuk mengunjungi kediaman para manula. Mungkin ada beberapa teman sekolah dasarnya yang kesal karena pernah tersengat listrik dari tubuhnya, tetapi itu sudah lama sekali, bahkan mereka sudah tidak pernah bertemu lagi. Lalu siapa?
Esok pagi selepas subuh, Gempa kembali mendapati kamar kakaknya kosong. Di seluruh rumah pun tak ada.
"Kakakmu lagi jogging," kata Mama dari arah dapur.
"Halilintar jogging? Tumben," sahut Papa.
"Kemarin dia ikut ekskul pencak silat. Waktu latihan disuruh gabung sama anak-anak SMP, dan dia malu, katanya."
Papa tertawa renyah. "Ya ampun."
Hingga mereka berada ke sekolah pun, Gempa belum bisa banyak bertanya apapun tentang sticky note temuannya. Sebagai ketua kelas, dia punya banyak kesibukan. Selain itu, kegiatan ekskul juga lumayan menyita waktu.
Hari ini saja Gempa harus menghadiri rapat bersama pengurus OSIS sebagai perwakilan kelas, yang membahas tentang perkemahan yang akan diadakan bulan depan. Mengatur pembagian kelompok, apa saja yang perlu dipersiapkan, dan teknis lain. Rapat itu baru berakhir jam lima sore. Gempa baru bisa mengecek ponselnya setelah mereka semua keluar dari ruang OSIS, ada satu pesan dari kakaknya yang baru bisa terbaca sekarang.
'Masih di sekolah? Bisa tolong ambilin jaketku di kelas? Aku lupa.'
Untungnya Gempa belum meninggalkan sekolah. Gempa berpamitan pada teman-temannya dan melangkah kembali ke gedung satu, dari lobi mengambil jalan berbelok menuju kelas E, ruangan yang berada di pojok lantai satu. Ini pertama kalinya Gempa memasuki ruang kelas itu dan takjub sendiri melihat begitu banyak topeng yang menggantung di dinding.
Gempa paham sekarang kenapa Halilintar minta diambilkan alih-alih mengambil jaketnya sendiri, topeng-topeng inilah alasannya. Sejak kecil Halilintar punya ketakutan terhadap hal-hal berbau mistis, dan melihat topeng-topeng ini di waktu sore menjelang maghrib—apalagi sendirian—pasti akan memunculkan imajinasi liar tentang makhluk tak kasat mata itu.
Dia tertawa kecil, teringat satu kenangan saat mereka masih anak-anak, Gempa pernah iseng memakai topeng tengkorak untuk mengagetkan kakaknya sampai menangis. Setelahnya dia dimarahi, tetapi kalau ada kesempatan Gempa akan mengulangi hal itu keesokan harinya. Dari sana jugalah keluarga mereka tahu ada sesuatu yang berbeda dari Halilintar, dengan dirinya yang menjadi korban pertama. Sejak itu dia berhenti berbuat iseng pada kakaknya.
Begitu keluar dari ruangan itu, dia berpapasan dengan seseorang di dekat pintu, wajahnya tertutup oleh tudung jaket, tetapi dia yakin orang itu bukanlah penghuni kelas E ataupun siswa di sekolah ini. Sadar Gempa memperhatikannya, orang itu semakin menunduk; menyembunyikan wajah. Saat itulah Gempa tak bisa mengabaikan kertas kuning kecil yang berada di tangan orang itu.
"Cari siapa?" tanya Gempa.
Bukannya menjawab, orang itu mengambil langkah mundur, dan berlari begitu saja. Gempa tak tinggal diam, penulis sticky note itu ada di depan matanya, dia harus tahu siapa dan apa tujuannya.
Disaat-saat begini Gempa menyayangkan kemampuan berlarinya yang tak sebagus Halilintar. Karena dengan mudahnya dia tertinggal di belakang, berkali-kali tempat sampah sengaja digulingkan agar Gempa kesulitan, untungnya dia cukup gesit menghindar. Orang itu terus berlari sampai ke arah belakang sekolah, lalu memanjat dinding pembatas tanpa kesulitan.
Gempa berhenti sambil membungkuk; memegangi kedua lutut. Dia terpaksa puas melihat dinding setinggi dua meter yang menghalanginya.
.
Gempa baru menyadarinya sekarang, kejadian itu tak hanya sekali, tetapi kakaknya tak pernah mengatakan apapun, barangkali memang tidak menyadarinya. Pada kesempatan lain, Gempa tak sengaja melihat seseorang tengah memperhatikan kakaknya dari jauh saat pulang sekolah. Begitu Gempa terlihat berjalan bersama Halilintar, orang itu langsung pergi begitu saja. Tidak begitu sering, tetapi itu cukup mengganggu.
Di lain hari, Gempa sengaja meminjam jaket Halilintar, dan meminta kakaknya menunggu di sekolah sampai dia kembali. Gempa sengaja memakainya saat keluar gerbang sekolah. Tak lupa menutup kepalanya dengan tudung jaket.
Seperti dugaannya, ada satu orang yang terus mengikutinya cukup jauh di belakang. Gempa mengambil jalan bukan ke arah rumah, melainkan berjalan mengelilingi daerah pertokoan, sengaja berputar-putar tak tentu arah sembari menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan aksinya. Jika salah langkah, orang itu akan kembali kabur dan dia tak bisa mengejarnya.
Sayangnya, waktu tak pernah tepat. Ketika Gempa pikir semuanya berjalan sesuai rencana, saat itulah dari samping sebuah toko sepatu, seseorang bertubuh kekar menarik paksa dirinya ke kawasan belakang toko dan membantingnya dengan keras.
Gempa mengerang, merasakan sakit disekitar punggung yang langsung mencium tanah. Ketika berusaha berdiri, seseorang lagi mencoba memukulkan kayu ke kepalanya. Beruntung Gempa sempat melindungi kepalanya dengan tangan, sehingga hanya tangannya yang terkena pukulan.
"Tahan," ucap suara serak dan berat sebelum rekannya kembali mengayunkan potongan kayu ke arah Gempa.
Ada tiga orang yang berdiri mengelilinginya. Satu wanita dan dua orang pria; satu bertubuh kekar, satu lagi bertubuh kurus. Si pria kurus melempar potongan kayu dari tangannya. Kali ini tangan pria kekar itu menarik kerah jaket, membuka paksa tudung jaketnya, lalu kembali mendorong Gempa hingga terjatuh terduduk.
"Dia bukan target kita," suara serak dan berat itu milik si pria kekar. Kemudian mereka saling melirik satu sama lain.
Sadar kedua pria itu melempar kesalahan pada si wanita, dia mengelak. "Bukan salahku! Itu jaket yang biasa dipakai si Halilintar."
"Siapa kalian? Kenapa kalian mengganggu kakakku?" tanya Gempa memberanikan diri. Namun, pertanyaannya dijawab gelak tawa dari ketiganya. Gempa mengerutkan alis, tak mengerti. Apanya yang lucu?
Kemudian wanita itu berjongkok di dekatnya, tangan wanita itu bergerak memainkan name tag di bajunya. "Maksudnya Halilintar?"
Gempa menyingkirkan tangan wanita itu dari name tag-nya.
"Ingat ya, Gempa. Jangan terlibat terlalu jauh. Lebih bagus kalau kamu nggak tahu apa-apa. Tapi, kalau kamu penasaran," Gempa bergerak mundur begitu wanita itu mendekatkan wajahnya, wanita itu kemudian menarik dasinya hingga kepala Gempa yang mendekatinya dan berbisik. Setelah itu mereka meninggalkannya begitu saja.
Getaran ponsel menyadarkannya dari lamunan. Halilintar menelepon untuk bertanya dimana keberadaannya. Gempa bangkit berdiri, kembali ke sekolah. Untuk sementara waktu dia tak akan membiarkan kakaknya pulang sendirian.
Sepanjang perjalanan pulang, Gempa tak banyak bicara. Begitu sampai rumah, dia langsung mengurung diri di kamar. Sedikit banyak ucapan terakhir wanita itu menambah beban pikiran. Sekarang ada begitu banyak pertanyaan yang berlari-lari dalam kepalanya.
Kata kuncinya Yayasan Pendidikan Sang Perintis, bisik wanita itu sebelum pergi. Gempa tak mungkin salah dengar.
Dengan ragu, jari jemarinya mulai menari di atas keyboard laptop miliknya, memasukkan kata kunci yang diinginkan. Tak sampai satu menit, berbagai situs muncul dari mesin pencari, Gempa memilih situs resmi yayasan yang muncul paling atas.
.
'TENTANG YPSP
Yayasan Pendidikan Sang Perintis (YPSP) merupakan yayasan pendidikan yang secara khusus dibentuk oleh PT Surya Farma Tbk untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang berfokus dalam bidang pendidikan. Pendirian Yayasan Pendidikan Sang Perintis memiliki maksud dan tujuan di bidang sosial, pendidikan dan kemanusiaan dalam rangka turut serta membantu pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis ilmu pengetahuan guna menghadapi persaingan global serta menciptakan sumber daya manusia unggul dan profesional. Untuk mencapai hal tersebut, kami telah menyelenggarakan lembaga pendidikan selama lebih dari 14 tahun. Mulai dari lembaga pendidikan dasar sampai dengan lembaga pendidikan menengah atas.
YPSP IN NUMBERS
PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
5 SD | 5 SMP | 3 SMA | *Data per 7 Agustus 2020
JUMLAH TOTAL SISWA
5.400 Siswa | *Seluruh siswa SD, SMP, SMA di bawah YPSP per 7 Agustus 2020
JUMLAH GURU PENDIDIK
336 Guru | *Seluruh guru SD, SMP, SMA di bawah YPSP per 7 Agustus 2020
ALUMNI
51.600 Alumni | *Alumni dari seluruh SD, SMP, SMA di bawah YPSP per 7 Agustus 2020'
.
Awalnya tak ada yang aneh dengan data tersebut, tetapi begitu membacanya sekali lagi, Gempa baru menyadarinya. Apabila data itu diperbaharui pada tanggal 7 Agustus 2020—yang mana itu tak lama setelah tahun ajaran baru dimulai, jumlah seluruh siswa di sekolah yang berada di bawah Yayasan Pendidikan Sang Perintis seharusnya berjumlah 5.405 siswa, karena tahun ini sekolahnya menerima 105 siswa.
Gempa membuka tab baru, kali ini dengan kata kunci SMA Budi Asih. Dari situs resmi yang dibukanya, Gempa mendapat informasi yang tak jauh berbeda. Situs itu menyebutkan jumlah total siswa yang bersekolah di sana hanya 300 siswa, dari yang seharusnya 305 siswa, dan situs itu diperbaharui satu hari setelah situs resmi Yayasan Pendidikan Sang Perintis. Juga dalam informasi kelas, situs itu hanya mencantumkan empat kelas, tak ada informasi lain yang menyebutkan tentang keberadaan kelas baru yang hanya berisi lima siswa.
Tangan Gempa langsung menyambar buku apapun yang ada di atas meja, lalu menuliskan semua hal ganjil yang ditemuinya di halaman paling belakang.
Kata kunci selanjutnya adalah kelas E, tetapi mesin pencari sekali pun tak mampu mencarikan jawabannya.
.
.
.
Tbc
Halooo ^^
Makasih banyak udah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini. Kritik, saran, ataupun pertanyaan bisa dikirimkan di kolom review.
Sekian dari aku, sampai nanti ^^
SkyLi
