E Class
Story by Sky Liberflux
BoBoiBoy sepenuhnya milik Monsta
Bab 9: Lorong-lorong Gelap
"Halilintar out! Over," ucap Solar saat menggunakan handy talkie miliknya. Setelahnya, dia tersenyum miring sambil mengambil ban lengan milik Halilintar, lalu meniup moncong senapannya dengan bangga. Solar kembali menelusuri lorong, mencari mangsa lain.
Suara Kaizo muncul dari handy talkie milik Halilintar, memberi petunjuk untuk keluar dari arena itu.
Di depan dinding cermin, Halilintar menemukan Taufan dan Ying sedang duduk-duduk sambil minum. Taufan melambaikan tangannya, meminta Halilintar mendekat, dan memberinya sebotol air. Tak jauh dari mereka, Kaizo menatap serius layar komputer yang menampilkan sebuah gambar labirin dengan dua titik merah yang bergerak-gerak dan berkedip-kedip.
Seminggu setelah kekompakan mereka dalam membolos dari kelas Kaizo, guru muda itu tak pernah lagi memberikan jadwal kelas. Dia lebih senang datang tiba-tiba seperti jelangkung, tak peduli anak-anak didiknya punya kegiatan lain.
Seperti hari ini, di jam terakhir, pemuda itu sudah menunggu di luar ruang kelas E, lalu mengajak mereka berlima bermain paintball di gimnasium, dengan peraturan yang dimodifikasi seenak jidatnya yang mulus.
"Hanya intermezo. Kalian pasti jenuh menjalani kelas tambahan bersama saya setelah seharian belajar. Sampai-sampai kalian bolos," sindir Kaizo setelah sampai di gimnasium.
Mendengar itu rasanya mereka berlima ingin menghilang dari muka bumi.
Setelah mengganti seragam dan memakai alat pelindung diri, Kaizo meminta kelima anak didiknya berkumpul di sudut gimnasium, setelah itu dia asyik memasukkan perintah-perintah tertentu ke dalam komputer. Dari pola kotak-kotak di lantai, muncul dinding-dinding besi setinggi dua meter yang membentuk labirin berpola khusus dengan dua jalan masuk.
Para penghuni kelas E mendadak lupa caranya berkedip. Kaizo tak pernah mengatakan bahwa pola kotak-kotak di lantai bisa mengeluarkan dinding besi. Mereka pikir itu hanya pola biasa.
"Perasaanku nggak enak." bisik Ying pada Yaya. Dia curiga Kaizo akan meminta mereka melakukan hal-hal aneh berkedok permainan paintball.
"Aku juga," jawab Yaya ragu-ragu.
Kaizo mulai membagikan senapan paintball, handy talkie, dan ban lengan; secarik kain berisi nama para penghuni kelas E yang harus dipasang di lengan. Setelah itu, dia menjelaskan aturan permainan.
Tidak seperti permainan paintball biasa yang dimainkan beregu dan lokasinya di luar ruangan, dalam permainan kali ini mereka diminta mengincar satu sama lain, hingga hanya menyisakan satu dari mereka berlima. Labirin itu dilengkapi dengan pintu-pintu rahasia yang bisa digunakan sebagai jalan pintas. Sayangnya, pintu-pintu rahasia itu hanya bisa dibuka satu arah. Jika dibuka dari arah selain yang sudah diprogram, pintu akan tampak terkunci.
Sementara itu, handy talkie digunakan untuk mengonfirmasi kekalahan lawan, lewat benda itu, Kaizo akan membantu mereka yang kalah untuk keluar dari arena permainan.
"Lalu ban lengan untuk apa?" tanya Yaya.
"Untuk mengenali satu sama lain. Simpan sebagai bukti kalau kalian sudah mengalahkan lawan."
Mereka semua mengangguk-angguk mengerti.
"Kalau menang?" tanya Solar.
"Pemenang boleh minta apapun dari saya."
Mendadak Solar bersemangat. Dia langsung mengutak-atik senapan pemberian Kaizo, mencoba berbagai fitur bawaannya. Itu sinyal bahaya bagi empat siswa lain. Hobi Solar dalam bidang olahraga menembak sudah menjadi rahasia umum, senapan paintball bukan masalah baginya.
"Ini sih pemenangnya udah bisa ditebak," gerutu Taufan.
Halilintar mengangguk setuju.
Sebelum permainan dimulai, Kaizo membagikan lima butir peluru cat pada mereka. Hanya lima butir per orang. Hal itu membuat kedua alis mereka kompak menukik tajam.
Jika berniat mengalahkan empat orang, maka hanya boleh melakukan satu kali kesalahan. Jika melakukan kesalahan dua sampai tiga kali, maka setidaknya masih punya peluang, meskipun tipis sekali. Namun, jika tak bisa menembak dengan akurat, tamat sudah riwayat mereka.
Satu per satu dari mereka mulai memasuki labirin, mencari posisinya masing-masing. Ketika semua orang telah masuk ke arena, kemunculan suara Kaizo dari handy talkie menandakan dimulainya permainan.
Begitulah. Tak banyak yang Halilintar persiapkan, tidak juga memikirkan strategi. Dia hanya mengikuti insting, berbelok ke kanan, atau ke kiri, lalu memutar balik jika bertemu jalan buntu. Halilintar sempat melepaskan satu tembakan saat kebetulan melihat Taufan melintas di dekatnya. Sayangnya, Taufan pandai menghindar, peluru yang dilepaskan Halilintar meleset mengenai dinding besi. Ketika Halilintar pikir posisi teman-temannya cukup jauh, saat itulah tiba-tiba Solar muncul dari balik pintu rahasia dan langsung membidiknya dengan peluru cat tepat di dada.
"Parah. Solar licin kayak belut," komentar Ying. Noda cat di lengan kirinya cukup menjelaskan bagaimana dia keluar dari arena.
Halilintar mengangguk setuju. Tidak seperti Taufan yang kehadirannya bisa diprediksi—karena anak itu selalu membuat bunyi-bunyian dari mulutnya, Solar bergerak lebih senyap dan penuh perhitungan. Ying bercerita kalau dia sempat berpapasan dengan Solar, dan Solar langsung melarikan diri lewat pintu rahasia, ketika dia mengejar, Solar sudah menghilang entah kemana.
"Dia mengingat seluruh pola labirinnya," sahut Kaizo. Rupanya diam-diam ikut mendengarkan.
"Caranya?"
"Dia melirik ke arah komputer berulang kali sebelum permainan dimulai."
"Bapak biarin gitu aja? Berarti Solar curang," Taufan ikut menyela.
"Walaupun kamu lihat, belum tentu kamu ingat."
"Iya sih, tapi tetap aja curang."
"Kalian diuntungkan oleh kemampuan masing-masing."
Taufan urung membalas. Dalam hati dia mengakui hal itu. Kemampuan miliknya beberapa kali membuatnya lolos dari yang lain. Dinding-dinding besi itu tidak begitu tebal maupun tipis. Meskipun bukan ruang tertutup, dia masih bisa mendengar pantulan suara langkah kaki dari lorong di sekitarnya. Sayangnya, Taufan tidak bisa membuat labirin itu menjadi sebuah peta imajiner seperti yang bisa dilakukan Solar. Itu bukan kapasitasnya.
Di sisi lain Halilintar tak setuju. Halilintar yakin, dalam situasi ini Ying, Yaya dan dirinya sama sekali tidak merasa diuntungkan oleh kemampuan masing-masing. Jika itu interaksi jarak dekat, kemampuanya memang menguntungkan, tetapi dalam permainan ini dia diharuskan menjaga jarak dari lawan. Sejauh ini, dia hanya diuntungkan oleh kemampuan berlarinya. Dan boleh jadi, sebenarnya Yaya yang paling tidak diuntungkan. Hanya saja gadis itu cukup beruntung bisa lolos dari yang lain.
"Tapi kayaknya Solar yang lebih diuntungin. Apa game ini buat nguji kemampuan Solar?" imbuh Taufan. Tanpa sadar, baik Ying maupun Halilintar mengangguk setuju. Itu alasan masuk akal. Namun Kaizo tak menjawab lagi.
Sementara itu dari arah labirin terdengar suara dentuman keras diiringi teriakan kecil agak melengking. Mereka bertiga menoleh.
"Yaya pasti merusak pintu." Ying berkomentar.
"Nggak mungkin," sanggah Halilintar.
"Besi bukan masalah buat Yaya. Kalau mau, semua pintu rahasia bisa dijebol sama dia."
"Bisa," Taufan ikut berkomentar. "tapi efeknya fatal banget. Kita yang ada di sini aja bisa dengar suaranya, apalagi Solar. Lewat suara tadi, pasti Solar bisa tau posisi Yaya ada di sekitar mana." Samar-samar mereka bisa mendengar suara Solar muncul dari handy talkie. "Tuh kan."
Permainan berakhir dengan kemenangan mutlak Solar yang berhasil menumbangkan tiga penghuni kelas E. Lewat perintah-perintah komputer, dinding-dinding besi kembali tenggelam di lantai, menyisakan Yaya dan Solar.
Setelah melepas semua atribut, mereka berenam duduk melingkar di lantai. Kaizo memaparkan sedikit evaluasi untuk mereka satu persatu. Lalu matanya beralih pada Solar. "Sebagai pemenang, kamu mau minta apa dari saya?"
"Apa permintaannya boleh ditunda? Saya mau pikir-pikir dulu," ujar Solar sambil minum air.
~o0o~
Esoknya, Yaya membagikan sebuah kartu sebelum mereka beranjak ke gedung satu. Kartu itu berisi data dirinya dan bergambar logo sebuah rumah sakit swasta. Sebelum berangkat ke rumah sakit, Yaya menjelaskan padanya bahwa sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan Pendidikan Sang Perintis mempunyai program pemeriksaan kesehatan rutin setiap awal semester, yang bertempat di Rumah Sakit Silika. Kartu yang baru saja dibagikan harus dibawa saat pemeriksaan kesehatan, untuk memudahkan petugas dalam menginput data.
Saat pemeriksaan berlangsung, semua kelas siang itu ditiadakan. Sebagai ketua kelas, Yaya bertugas memastikan semua temannya datang ke Rumah Sakit Silika—tanpa terkecuali, dan memastikan mereka membawa kartu itu.
Namun, Halilintar baru menyadari kartunya tertinggal di kelas saat mereka sampai di pelataran rumah sakit. Alhasil dia harus kembali ke sekolah untuk mengambilnya dan Gempa menawarkan diri menemani.
Setelah puas berkeliling taman rumah sakit, disinilah Halilintar sekarang, duduk termenung seorang diri di depan kolam, menonton ikan-ikan koi berenang-renang cantik. Halilintar enggan menunggu di dalam gedung itu. Ada terlalu banyak orang yang membuat kepalanya pusing. Gempa sudah meninggalkannya sendirian, tak lama setelah mereka datang kembali ke rumah sakit. Sebagai siswa kelas A, dia mendapat urutan awal, sedangkan Halilintar yang berada di kelas paling ujung mendapat urutan diakhir.
"Sedang apa sendirian di sini?" tanya seseorang dari belakang.
Halilintar membalikkan badan, mendapati seorang pria tua dengan kepala penuh uban, tetapi sejumput rambutnya dicat warna biru eksentrik. Pria tua itu berdiri tak jauh darinya. Halilintar menebak orang di depannya berusia sekitar tujuh puluhan. Hampir seusia para manula tetangga. Bedanya, pria di depannya punya badan yang kekar berotot—terlihat sekilas dari bentuk pakaiannya—meskipun sudah berumur.
"Tidak bergabung dengan teman-temanmu?" tanya pria tua itu lagi. "Ada banyak anak-anak sekolah di lobi dan ruang tunggu."
Halilintar menggeleng.
"Daripada bengong, mau bermain catur bersama saya?"
"Saya nggak pintar main catur."
Pria tua itu tertawa renyah. "Santai saja, ini bukan pertandingan. Anggap saja untuk menghabiskan waktu. Gimana?"
Halilintar mempertimbangkan tawaran itu. Sebenarnya dia pernah melihat para manula tetangga bermain catur dan mendapat kesempatan main beberapa kali. Namun, dia tak begitu mahir memainkan permainan strategi itu.
Kemudian, pria tua itu mengajaknya duduk di kursi taman, lalu memanggil pria muda yang berdiri tak jauh dari mereka. Pria muda itu membawakan sebilah papan catur. Tanpa meminta persetujuannya, pria tua itu memberikan semua bidak catur berwarna putih pada Halilintar, sedangkan dia mengambil semua bidak catur berwarna hitam, lalu menyusunnya di atas papan.
"Saya nggak bilang mau main," ucap Halilintar terus terang.
"Ada ungkapan bilang, diam berarti setuju. Karena kamu diam saja, saya menganggapnya begitu. Atau kamu lebih senang mengobrol dengan ikan-ikan koi?"
"Siapa yang mengobrol dengan ikan koi?"
"Kamu. Dari belakang terlihat begitu."
Lagi-lagi tanpa persetujuan, pria tua itu menyusun semua bidak catur berwarna putih di atas papan, kemudian meminta Halilintar menggerakkan bidaknya lebih dulu, sesuai dengan aturan permainan dimana pemain dengan bidak putih berkesempatan memulai jalannya permainan.
Halilintar menggerakkan satu Pion sebelah kanan untuk memulai. Hangkasa pernah bilang, mulailah sesuatu dari yang kanan dulu, seperti makan dengan tangan kanan, atau melangkah dengan kaki kanan lebih dulu. Pria tua itu tersenyum misterius, lalu menggerakkan Pion miliknya.
Selagi bermain, pria tua itu mengamati gambar di saku seragam sekolah Halilintar yang sedikit tersembunyi oleh jaket merah yang dipakainya, logo bergambar seekor elang yang mengepakkan sayapnya lebar-lebar dengan dua tangkai bunga hollyhock di kedua sisinya. "Bagaimana rasanya sekolah di SMA Budi Asih? Anak-anak seusiamu yang saya kenal juga bersekolah di sana."
"Lumayan."
"Cuma lumayan?"
"Lumayan menyenangkan."
Pria tua mengangguk-angguk. Lalu menggerakkan Benteng setelah Halilintar menggerakkan Pion. "Kamu tahu arti elang dalam logo SMA Budi Asih?"
Halilintar diam sejenak. Kalau tidak salah, Amato pernah memberitahu makna elang dalam logo sekolahnya. "Pantang menyerah?" tanyanya ragu-ragu.
"Betul. Kalau bunga hollyhock?"
Halilintar menggeleng; tak tahu jawabannya. Mendengar nama bunga itu saja baru pertama kali saat dia masuk ke SMA Budi Asih, mana mungkin dia tahu artinya.
"Bunga hollyhock bermakna ambisi. Kalau digabungkan, berarti: untuk mencapai tempat yang tinggi, pantang menyerah saja tidak cukup, kamu juga membutuhkan ambisi," jelas pria tua itu.
Kemudian pria itu menggerakan Ratu ke atas petak putih. Jika diambil garis diagonal, maka garis tersebut akan langsung mengarah pada Raja Putih yang terlihat tidak terhalang bidak catur yang lain. Sekak pertama terjadi.
Halilintar buru-buru memindahkan Gajah yang bergerak pada petak diagonal putih untuk melindungi Raja. Halilintar tidak menyangka akan mendapat sekak pertama secepat ini. Padahal biasanya butuh waktu cukup lama untuk sekak pertama ketika dia bermain dengan para manula tetangga. Karena para manula tetangga suka berpikir lama sekali sebelum menggerakkan satu biji catur.
"Suka permainannya?" tanya pria tua itu setelah menggerakkan Kuda Hitam untuk memakan satu Benteng Putih.
Halilintar menggeleng dengan wajah masam. "Nggak terlalu."
"Bidak mana yang membuat kamu tidak suka?"
"Raja."
Satu alis pria itu terangkat naik. "Kenapa?"
"Raja nggak bisa apa-apa. Cuma bisa jalan satu petak, nggak jauh beda dari Pion, tapi harus dilindungi semua bidak."
Pria itu tertawa kecil, sekarang gantian alis Halilintar yang terangkat naik. "Berarti kamu tidak paham kemampuan Raja, Nak."
"Memangnya apa?"
Jari telunjuk pria tua itu mengetuk-ngetuk kepalanya. Halilintar masih belum paham. Pria tua itu kembali melanjutkan, "Bukan tidak punya kemampuan, tapi kemampuan Raja adalah mengatur orang lain demi mencapai tujuannya tanpa terlihat sedang mengatur. Makanya, semua bidak akan melakukan apapun untuk melindunginya. Tujuannya hanya satu, membuat permainan tetap berjalan. Seperti yang kamu lakukan tadi, Halilintar."
Sejujurnya Halilintar tidak begitu mengerti, tetapi dia mengangguk saja. Tunggu, dari mana pria tua itu tahu namanya? Baru saja akan bertanya, ponselnya berdering, panggilan itu berasal dari Yaya, gadis itu menanyakan keberadaannya.
"Maaf, saya harus ke dalam," pamit Halilintar.
"Ah sayang sekali."
Halilintar membantu membereskan bidak-bidak catur di atas papan, lalu menyerahkan papan catur itu pada si pria tua, lalu si pria tua memberikan papan catur pada pria lain yang berdiri tak jauh dari mereka. Kemudian Halilintar pamit pergi. Namun, ternyata mereka mengikutinya sampai di depan lift, bahkan ikut masuk bersamanya.
Seakan tahu kebingungan Halilintar, pria tua itu berkata, "Saya juga harus kembali ke kamar."
"Bapak sakit?"
"Sedang ada urusan. Sekalian saja menyewa satu kamar supaya bisa istirahat."
"Memangnya ini hotel?"
Pria tua itu tertawa saja. Halilintar tak menanggapi lagi. Lift mulai merangkak naik, lalu berdenting ketika sampai di lantai lima. Halilintar sudah sampai di lantai tujuannya. Sekali lagi, dia pamit pergi.
"Saya senang bisa mengobrol denganmu. Pertemuan kita selanjutnya, saya mau punya waktu lebih banyak untuk mengobrol," ucap pria tua itu sebelum pintu lift tertutup.
"Memangnya kita bakal bertemu lagi?"
"Mungkin."
Halilintar baru ingat ada pertanyaan yang ingin ditanyakan, dia menahan pintu lift sebelum pintu besi itu benar-benar tertutup. "Bapak siapa? Dan dari mana Bapak tahu nama saya?"
"Pak Tua, panggil saja begitu. Itu panggilan dari seorang anak seusiamu yang mengenal saya. Dan saya tahu namamu dari name tag di seragam sekolahmu."
Kemudian mereka berdua tenggelam di balik pintu lift menuju lantai dua belas.
~o0o~
"Gempa, belum pulang?"
"Belum. Nunggu kakakku."
"Oh, aku duluan ya."
Gempa mengangguk singkat pada temannya dari kelas D. Sebelum pergi, mereka melakukan tos kekinian.
Ruang tunggu mulai lengang. Kebanyakan para siswa yang sudah mendapat giliran akan langsung pulang ke rumah masing-masing. Hanya sedikit diantara mereka yang menunggu teman atau saudara seperti Gempa. Hal itu membuatnya sadar ada seseorang yang memanggil-manggil namanya. Gempa celingukan lalu mendapati seorang pria seumuran ayahnya mendekat, menatapnya dengan ragu, dan menyelisik. "Nama kamu benar-benar Gempa?"
Gempa mengangguk kaku. Berusaha mengenali pria kepo di depannya.
"Kamu udah besar," kata orang itu lagi. "Ah benar. Kamu pasti nggak ingat. Saya teman sekolah Papa kamu."
Meski berkata begitu, Gempa sama sekali tidak mengenal pria itu. Gempa pernah berkenalan dengan beberapa teman kerja papanya, tetapi dia belum pernah sekalipun bertemu pria itu. Kemudian, pria itu mengajak Gempa ke kafetaria rumah sakit. Dia pikir, tak ada salahnya mengobrol sebentar, sambil menunggu Halilintar yang mendapat urutan akhir.
Untuk sampai ke kafetaria, mereka harus melewati koridor yang terhubung dengan taman rumah sakit. Saat menuju ke sana, Gempa sempat melihat kakaknya tengah bermain catur dengan seorang pria tua, tak jauh dari kolam ikan. Mendadak Gempa merasa lega. Setidaknya, kakaknya tidak sendirian di tempat ini.
Mereka duduk di meja pojok dekat jendela. Gempa bisa melihat taman rumah sakit dari kejauhan. Pria itu memesankan beberapa makanan ringan dan minuman.
"Omong-omong, dari mana Om tahu saya anak teman Om?"
"Tadi saya dengar nama kamu dipanggil. Cuma ada satu orang yang saya kenal menamai anaknya pakai kata berkonotasi bencana." Pria itu tertawa tanpa malu. Suara tawanya terdengar di penjuru kafetaria.
Gempa tersenyum meskipun agak tersinggung. Ini bukan kali pertama dia mendengar ungkapan serupa. Sampai sekarang Gempa juga tak mengerti kenapa dia dinamai Gempa. Alasan paling masuk akal adalah dia dan kakaknya lahir kebetulan saat sedang terjadi gempa bumi diiringi geluduk-geluduk petir. Untuk mengenang hal itu, maka mereka dinamai demikian.
"Gimana kabar orang tua kamu?"
"Papa dan Mama baik, Kak Hali juga baik."
Pria itu mengerutkan alis. "Kak Hali siapa?"
"Halilintar. Kakak saya."
"Oh. Kakak sepupu kamu, ya?"
"Saudara kembar saya. Om lupa?"
Pria itu tampak semakin mengerutkan alis. "Kembar?"
"Iya … kembar."
Seorang pelayan membawakan pesanan mereka. Ketika pelayan pergi, pria itu dengan sengaja menjejalkan banyak makanan ke mulutnya. Gempa jadi sungkan bertanya. Selama beberapa waktu mereka saling diam menikmati makanan masing-masing. Ketika makanan di piring pria itu hampir habis, Gempa langsung melempar pertanyaan.
"Kenapa Om kelihatan bingung? Bukannya Om harusnya tahu."
Pria itu menyeruput teh manisnya sebelum bicara. "Gempa, boleh saya minta nomor telepon Papa kamu?" tanyanya dengan sopan.
"Om jawab dulu."
"Saya ada urusan penting sama Papa kamu."
Giliran Gempa yang diam. Dengan sengaja memakan makanannya sedikit demi sedikit, lalu mengunyah dengan gerakan lambat.
Melihat Gempa yang kukuh pendirian, pria itu menghela nafas berat, seolah ada beban berat di punggungnya. "Yang saya tahu, kamu itu anak pertama."
Gempa tersedak. Dia buru-buru minum dengan rakus. "Maksud Om apa?"
"Kalau Halilintar itu adik kamu, saya masih bisa percaya, tapi kamu bilang kalian kembar. Terlepas dari siapa adik, siapa kakak, itu tetap nggak mungkin. Lima belas tahun lalu Mama kamu cuma melahirkan satu anak laki-laki."
"Ini nggak mungkin."
"Apa saya sudah boleh minta nomor telepon Papa kamu?"
Setelah mendapatkan nomor papanya, pria itu pergi ke sudut lain, meninggalkan Gempa sendirian. Tidak tahu harus berkata apa, tidak tahu harus melakukan apa, Gempa masih bergeming selama beberapa waktu sebelum akhirnya pergi meninggalkan kafetaria.
Selama perjalanan pulang, Gempa lebih banyak diam, memandangi jalanan dari balik kendaraan umum. Melihat sepeda motor yang saling menyalip dan klakson mobil yang seolah berteriak memaki siapapun yang menghalangi jalannya. Gempa berharap dengan melihat hilir mudik kendaraan di jalanan bisa membuatnya lupa dengan pembicaraannya beberapa waktu yang lalu.
Namun, semakin dia berusaha melupakan, justru malah semakin mengganggu pikirannya. Pernyataan teman papanya itu seolah menjawab keraguan orang-orang yang baru pertama kali bertemu dengannya dan sang kakak. Selama ini tidak sedikit orang yang meragukan status anak kembar yang disandangnya, hingga dengan sendirinya Gempa malas menjelaskan apapun yang dia tahu.
Dulu Gempa menganggap bahwa anak kembar tak identik memang wajar tak punya wajah serupa satu sama lain, tetapi kalau cukup jeli, seharusnya ada beberapa kemiripan. Seperti halnya kakak beradik yang punya jarak kelahiran. Sayangnya, Gempa baru menyadari hal ini sekarang. Jika diperhatikan lebih teliti, baik Gempa maupun Halilintar tidak ada yang memiliki kesamaan. Dari mulai garis rahang, sorot mata, hingga cara berjalannya tidak ada yang sama.
Lagi-lagi Gempa menggeleng pelan, berusaha menjauhkan pikiran negatif itu. Bisa saja Halilintar mewarisi semua itu dari kakek nenek mereka, dan teman ayahnya yang salah orang, tidak menutup kemungkinan juga ada orang lain bernama Gempa di belahan bumi lain.
Gempa merasakan ada yang menyikut-nyikut tangannya. Gempa menoleh ke samping, mendapati Halilintar menatapnya dengan kerutan di wajahnya.
"Dari tadi ditanya malah diam aja."
"Hah? Apa?" Gempa sama sekali tidak mendengar apapun. Gempa jarang menjadi pelamun, tetapi belakangan ini seakan ada sesuatu yang terpilin dalam kepalanya. Rasanya seperti memasuki lorong-lorong gelap. Tak tahu apa yang akan ditemui di sepanjang lorong dan dimana lorong itu akan berakhir.
"Aku mau beli bekal buat perkemahan nanti. Mau bareng?"
"Kak Hali duluan aja."
"Ok."
Mereka kembali terdiam. Sesekali Halilintar melirik adiknya yang terus melihat ke luar jendela. Jarang sekali Gempa menjadi pendiam. Biasanya Gempa suka berkata sepatah dua kata, meskipun itu hanya untuk basa-basi. Berbeda dengan dirinya yang kadang-kadang, kalau tidak diberi pertanyaan, dia akan lebih banyak diam.
Kendaraan yang mereka tumpangi masih melaju membelah jalanan, melintasi rute familiar menuju rumah mereka. Begitu kendaraan melintasi kawasan pasar dan pertokoan yang tak jauh dari rumah, mereka berpisah. Halilintar turun dari kendaraan umum, sementara Gempa melanjutkan perjalanan.
Sesampainya di rumah, dia mendapati mamanya berada di dapur, tengah menyiapkan makan malam. Gempa langsung mengambil alih sayuran yang belum terpotong dan membawanya ke meja makan. Tas sekolahnya tergeletak begitu saja di atas meja.
"Kakak kamu mana? Akhir-akhir ini kalian biasanya pulang bareng," tanya Mama sambil berkutat dengan bahan makanan lain, mencampurkan mereka satu persatu dengan takaran yang sudah di ingat diluar kepala.
"Lagi cari peralatan kemah."
Mama menoleh dengan antusias. "Dia jadi ikut perkemahan?" Gempa mengangguk. "Alhamdulillah, dia mulai mau berbaur."
Gempa ikut tersenyum simpul, tetapi hanya sebentar. Gempa pun merasa demikian. Ada berbagai kemajuan dari Halilintar setelah bersekolah di SMA Budi Asih. Beberapa diantaranya saat Halilintar mengikuti kegiatan ekskul dan berkemah. Gempa pikir, kakaknya akan mengalami banyak kesulitan setelah memutuskan akan bersekolah formal lagi, tetapi rupanya Halilintar bisa beradaptasi dengan baik. Meskipun kebiasaan menghindari kerumunan orang belum juga hilang.
"Ma, aku mau tanya."
"Tanya apa?"
Gempa menghembuskan nafas teratur, mencoba setenang mungkin. Gempa akui, dirinya sedikit gugup. Gugup akan jawaban seperti apa yang akan didapatnya nanti. "Kak Hali itu siapa?"
"Kakak kamu lah. Pertanyaannya aneh banget."
"Bukannya aku anak pertama? Kenapa aku bisa punya kakak?"
Mama berhenti mengaduk makanan. Ada jeda cukup lama sebelum Mama kembali berkutat dengan pekerjaannya. Namun, Gempa bisa melihat tangan mamanya sedikit bergetar saat memegang alat masak.
"Aku tadi ketemu temannya Papa. Om itu bilang, aku anak pertama. Apa itu benar?"
"Ceritanya panjang, Gem."
"Apa itu benar?" desak Gempa.
"Ya."
Giliran Gempa yang terdiam. Jadi memang orang yang dia temui di rumah sakit itu benar teman papanya. Mama mematikan kompor, meletakkan semua alat masaknya, lalu duduk di meja makan, persis di depannya.
"Kalau kamu mau tanya siapa Halilintar, Mama juga nggak tahu," kata Mama seolah tahu Gempa akan bertanya demikian. Sebelum bercerita lebih banyak, dia terlihat gusar. "Yang tahu cerita lengkapnya cuma nenek kamu, Mama cuma tahu sebagian. Kita sepakat memberitahu semuanya kalau kalian sudah lulus SMA.
"Singkatnya, ada perempuan yang menitipkan Halilintar ke Nin. Nin nggak tahu siapa namanya, dimana rumahnya, perempuan itu cuma bilang dari Banyuwangi. Karena umur kalian nggak berbeda jauh, akhirnya Mama yang merawatnya."
"Tunggu, kenapa perempuan itu nggak ngambil Kak Hali lagi?"
"Perempuan itu sudah meninggal."
"Meninggal?"
Mama mengangguk. "Dari berita yang beredar, kasus pembunuhan berencana. Tapi karena kurangnya bukti, sampai sekarang siapa perempuan itu, dan pelaku pembunuhannya nggak pernah terungkap."
"Jadi, karena itu kita sering pindah rumah?"
"Kurang lebihnya begitu. Kamu bisa jaga rahasia, kan? Cuma sampai kalian lulus SMA."
Gempa mengangguk ragu, meskipun sebenarnya tak yakin. "Kalau gitu, apa Mama juga tahu arti MG2-072?"
Gempa terkejut. Mama tiba-tiba memegang kedua bahunya dengan erat sambil matanya sedikit melotot menatap Gempa.
"Kamu tahu dari mana!?"
Bersamaan dengan pertanyaan itu, Halilintar masuk ke dalam rumah. Mama menjauhi meja makan, kembali berkutat dengan kompor dan peralatan masak, tetapi Gempa tahu, mamanya tengah berusaha menyembunyikan pengetahuan yang dia punya. Ketakutan dalam sorot matanya membuat Gempa terganggu.
Sampai besok dan seterusnya, Mama tak pernah mau membahas tentang arti dari kombinasi huruf dan angka itu. Jika disinggung, selalu menghindar. Jika ditanya, selalu mengalihkan pembicaraan. Seminggu kemudian, Gempa berhenti mencoba bertanya tentang hal itu lagi. Mungkin lebih baik dia mencari tahu sendiri.
.
.
.
Tbc
Halo SkyLi di sini.
Maaf agak terlambat dari jadwal update yang biasanya. Semoga masih bisa dinikmati. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini. Seperti biasa, kalau ada kritik, saran, dan pertanyaan bisa dikirimkan ke kolom review.
Sekian dari aku, sampai nanti ^^
SkyLi
