E Class
Story by Sky Liberflux
BoBoiBoy sepenuhnya milik Monsta
Bab 10: Perjusami
Trigger Warning: blood, violence, kill attempt.
Usai menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga jam, para siswa tingkat pertama SMA Budi Asih akhirnya sampai di area start point. Dari area itu, mereka masih diharuskan berjalan selama lima menit untuk sampai ke tempat yang ditunjuk menjadi lokasi Perkemahan Jumat, Sabtu, Minggu tahun ini.
Bumi perkemahan yang digunakan berupa lapangan luas yang dikelilingi pepohonan setinggi puluhan meter dan berbatasan langsung dengan area taman nasional. Sehari sebelumnya panitia perkemahan sudah mengatur posisi tenda masing-masing kelompok. Lapangan bagian kanan digunakan kelompok perempuan dan lapangan bagian kiri digunakan kelompok laki-laki.
Tak lama setelah semua orang sampai, satu per satu kelompok mulai membangun tenda masing-masing, termasuk kelompok kelas E yang jumlahnya bisa dihitung jari. Sebetulnya, akan lebih efisien jika para siswa kelas E dimasukkan ke kelompok kelas lain, bukanya malah dibuatkan kelompok sendiri berisi tiga dan dua orang yang tampak konyol untuk seukuran kelompok perkemahan.
Ketika ditanyakan tentang hal itu, semua panitia kompak menjawab, "Tanyain aja ke Pak Kaizo."
Pada akhirnya mereka semua batal bertanya. Tidak ada gunanya menanyakan itu pada Kaizo. Mereka cukup yakin, wali kelas mereka tak akan memberi jawaban yang memuaskan. Dan hal itu membuat mereka harus menebalkan muka setiap kali kelompok lain melintas dan menatap lucu tenda kecil mereka yang diapit tenda-tenda besar di sebelahnya.
"Harusnya kita pakai tenda yang sama kayak yang lain, biar nggak jomplang," celetuk Taufan setelah tenda mereka berhasil dibangun.
"Terlalu gede. Kita cuma bertiga."
"Siapa tau kamu mau guling-guling di dalam tenda." Hampir saja Solar mencabut patok terdekat dan menusukkan benda itu ke lubang hidung Taufan.
Sebelum melanjutkan ke acara selanjutnya, mereka mendapat waktu istirahat sampai azan magrib berkumandang. Taufan sudah menggelar tikar di depan tenda, tak lupa mengajak Yaya dan Ying bergabung bersama. Kelimanya duduk melingkar, di tengah-tengah mereka ada beberapa bungkus makanan ringan.
Taufan bilang, berkemah tak lengkap rasanya kalau tak bertukar cerita seram. Empat dari lima kepala mengangguk setuju dan Halilintar menjadi satu-satunya kepala yang tidak satu suara. Baginya, itu hanya kegiatan yang konyol.
"Halah, bilang aja takut, nggak usah banyak alasan," balas Taufan ketika Halilintar mengutarakan pendapatnya.
Solar ikut mendengus geli. "Payah."
"Siapa yang takut!?" Tak terima dikatai, Halilintar urung pergi dari sana, padahal dia sudah mengambil ancang-ancang. Lagipula, kalau pun pergi, dia tak tahu mau kemana.
Merasa tak ada yang pergi, Taufan mulai bertingkah layaknya pendongeng, intonasi suaranya sengaja dibuat serendah mungkin. "Kalian tau, di tahun kelahiran kita pernah ada berita heboh?" Empat kepala menggeleng pelan. Taufan berdecak, "Dasar kalian kurang up to date."
Sebelum benar-benar dipentung empat temannya, Taufan kembali melanjutkan. "Peristiwa itu terjadi diakhir tahun 2003 sampai pertengahan tahun 2004, ada banyak laporan orang hilang, khususnya dari kota-kota besar di Pulau Jawa."
Solar melipat kedua tangannya di dada dan mulai nyinyir. "Apanya yang seram? Dari zaman dulu yang namanya orang hilang pasti ada."
"Makanya dengar dulu sampai selesai. Ini baru opening ceritanya," gerutu Taufan sambil mencomot makanan ringan. "Yang bikin aneh, semua orang yang hilang itu ibu-ibu hamil. Aneh kan kalau ada ibu-ibu hamil hilang berjamaah? Tapi polisi kesusahan cari pelaku, bukti-buktinya kurang. Karena itu, polisi menduga ini ulah mafia, atau kelompok radikal, atau bisa jadi ulah teroris.
"Sampai akhirnya awal tahun 2005, pelakunya baru ketahuan, yaitu sekelompok orang yang lagi belajar ilmu hitam. Mereka tinggal di salah satu desa di Kecamatan Tegaldlimo, nggak jauh dari Alas Purwo. Kalian tau kan Alas Purwo dimana?"
Keempatnya mengangguk. Meskipun belum pernah datang langsung ke tempat itu, mereka tahu bahwa katanya Alas Purwo adalah tempat paling angker di ujung tenggara Pulau Jawa.
"Waktu olah TKP, polisi nemuin puluhan kerangka wanita dan bayi terkubur di halaman depan dan belakang rumah salah satu tersangka. Tapi jumlahnya nggak cocok sama data yang ada di laporan polisi. Tersangka bilang, beberapa mayat emang sengaja dibuang ke laut, karena halaman rumah itu udah nggak cukup."
"Alasannya apa?" tanya Yaya. Dia tak habis pikir ada sekelompok orang yang tega berbuat hal seperti itu.
"Katanya, salah satu syarat buat dapat ilmu hitam itu, mereka harus minum darah bayi yang baru lahir setiap malam bulan purnama paling terang atau hari kelima belas setiap bulan dalam sistem penanggalan Jawa kuno. Ritual itu harus dilakukan selama setahun, nggak boleh ada yang kelewat. Kalau sampai ada satu bulan yang kelewat, berarti harus mulai lagi dari awal. Nah, kalau waktu bulan purnama nggak ada anak yang lahir, mereka bakal paksa ibu-ibu yang sudah diculik itu buat lahirin anaknya."
Perut Yaya mendadak mual. Baik itu Halilintar, Ying, dan Solar merasakan kengerian yang sama. Belum pernah mereka dengar tentang hal itu. Entah Taufan tahu dari mana.
"Mereka pikir, mereka itu vampir Twilight?" cibir Ying. Masih tak habis pikir.
"Memang. Tapi, kabar baiknya, sekarang semua pelaku udah dipenjara."
"Kamu tau cerita ini dari mana, Fan?"
"Diceritain kakakku. Dulu kami pernah tinggal di Surabaya." Melihat reaksi teman-temannya, Taufan tersenyum jahil. Dia buru-buru menambahkan. "Oh, iya. Ada satu lagi. Katanya, mereka bukan cuma minum darah bayi yang baru lahir, tapi juga organ lain kayak kulit, jari tangan, jari kaki, terus dilumuri bumbu, terus digoreng sampai krispi."
Yaya langsung menyambar salah satu sepatunya, diikuti Ying dan Halilintar yang mengambil tongkat pramuka, dan Solar benar-benar mencabut satu patok di dekat kakinya.
"Yang terakhir aku cuma bercanda kok."
"Nggak lucu!" teriak Yaya, Ying, Halilintar dan Solar.
Melihat potensi serangan keroyokan dari teman-temannya, Taufan berlari sambil tertawa terbahak-bahak, lalu masuk ke tenda kelompok lain.
~o0o~
Rupanya apa yang diceritakan Taufan ikut andil membuat kelompok mereka kalah dalam lomba memasak antar kelas yang diadakan selepas solat isya. Bagaimana tidak, empat dari lima anak dalam kelompok kelas E mengalami gagal fokus berjamaah.
Jari tangan Halilintar hampir teriris ketika memotong kentang, lantaran pikirannya malah melayang-layang pada jari tangan yang dipotong. Ying membuat kentang goreng yang mereka buat menjadi agak gosong, karena teringat jari yang digoreng krispi. Yaya merasa mual melihat kelompok lain membuat sambal balado, warna merahnya mengingatkan dia pada darah. Sedangkan Solar sama sekali tak mau memotong, menggoreng, bahkan menyentuh bahan makanan saja tak mau. Dia hanya memilih-milih peralatan makan apa saja yang cocok digunakan untuk menyajikan hasil masakan mereka.
Dengan segala kekacauan itu, penilaian akhir kelas E ada di urutan keempat dari lima kelompok. Setidaknya mereka masih bisa bersyukur, nyatanya ada kelompok yang lebih hancur.
Sementara Yaya, Ying, dan Solar merapikan benda apa saja yang mereka gunakan, Halilintar dan Taufan mendapat jatah membersihkan peralatan, dan baru menjalankan tugasnya ketika sudah tidak terlalu ramai. Taufan cukup mengerti kebiasaan Halilintar yang suka menghindari keramaian, karena itu dia mau menunggu sampai toilet umum sepi dari anak-anak lain.
Mereka berdua berjongkok di depan pancuran air yang posisinya berdekatan dengan bilik toilet umum, membersihkan peralatan yang mereka gunakan satu per satu. Halilintar membersihkan bagiannya dengan kecepatan diatas rata-rata, sementara Taufan bertugas membilas alat-alat itu dengan ikhlas tak ikhlas, sebenarnya dia terlalu malas berurusan dengan air saat cuaca dingin begini. Kemudian fokus mereka—terutama Taufan—pecah saat sekelompok anak laki-laki dari kelas lain menyoroti mereka dengan senter dari jauh.
"Woi, Taufan. Lagi ngapain? Sok rajin!" ledek mereka.
Tanpa memedulikan Halilintar, Taufan langsung lari ke arah teman-temannya dari kelas lain, tangannya langsung merangkul pundak salah satu anak laki-laki dari kelompok itu. "Widih, dapat juara dua. Traktir dong!"
"Minta traktir tuh sama yang juara satu," balas anak laki-laki itu agak lesu.
"Gampang, bisa diatur. Gila, semua makanan buatan Gempa keliatan enak banget."
"Asli. Bukan main." Anak itu menggelengkan kepalanya, berdecak tak percaya. "Tapi kasihan anak-anak BBB bakal punya saingan baru. Gempa keliatan agak ambisius. Nggak di kelas, nggak di luar kelas, sama aja."
"Biarin aja. Itu sih urusan anak-anak pinter."
"Iya juga."
"Eh, lagi cuci piring, kan? Sana kerjain!" sela anak lain sambil tertawa-tawa.
Taufan menepuk jidatnya. Dia lupa Halilintar juga bersamanya. Namun, begitu kembali ke tempat semula, Taufan tak menemukan Halilintar dimanapun. Dia pikir Halilintar sudah menyelesaikan tugas mereka, tetapi semua peralatan masih penuh sabun cuci di dekat pancuran air.
"Hali!" Panggilan Taufan tak mendapat jawaban.
"Halilintar!" Lagi-lagi hasilnya tetap sama. "Dasar nggak setia kawan, makan gaji buta!" omelnya, meskipun sebenarnya mereka juga tidak dibayar.
Terpaksa Taufan yang menyelesaikan semuanya. Dengan wajah masam dan langkah kaki besar-besar, dia menghampiri tenda Yaya dan Ying, mengembalikan sebagian peralatan milik mereka. Kedua gadis itu agak mengernyit, jarang mereka melihat Taufan dalam kondisi suasana hati yang kurang bagus.
Sampai di tendanya, Taufan melihat ke seluruh sudut tenda, mencari-cari Halilintar, tetapi dia hanya menemukan Solar sedang berbaring tengkurap sambil memainkan ponsel. Semua barang-barang yang tadinya berantakan, sekarang sudah tertata di salah satu sisi dalam tenda, seolah tak pernah tersentuh manusia. Tenda sudah rapi, bersih, dan wangi di tangan Solar.
"Si Hali mana?" Tanya Taufan sembari menyimpan alat-alat milik mereka di sembarang tempat, yang langsung dipelototi Solar.
"Mana aku tahu."
"Harusnya dia udah disini. Aku ditinggal sendirian tadi."
Solar mengangkat bahu. "Ke tenda adiknya kali."
Taufan keluar tenda lagi. Dia melangkah besar-besar menuju Tenda kelompok laki-laki kelas A. Taufan sudah siap mengeluarkan unek-unek miliknya, tetapi Halilintar juga tak ada di tenda kelompok itu. Taufan hanya mendapati Gempa sedang mengobrol dengan teman-temannya, melakukan perayaan kecil untuk merayakan kemenangan mereka. Dia hendak berbalik pergi, tetapi Gempa terlanjur menyapanya.
"Ada apa?"
"Omong-omong, Halilintar sempat kesini nggak?"
"Nggak. Emangnya kenapa?"
"Oh. Nggak apa-apa. Cuma tanya." Taufan tersenyum canggung. Dia pamit pergi, tetapi Gempa menghadangnya.
"Kak Hali kemana?"
Taufan menjawab pertanyaan itu dengan gelengan, tetapi Gempa tak kunjung membiarkannya pergi. Alhasil, Taufan menceritakan apa yang terjadi.
"Kenapa dia ditinggal sendiri?!" Respon dari Gempa membuat Taufan terkejut, bahkan teman-teman kelompoknya yang sejak tadi ribut bukan main, mendadak sepi. Beberapa anak lain mengintip dari balik tenda, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tiba-tiba Gempa berlari ke arah posko panitia, Taufan mengikuti dari belakang. Sesampainya di sana, beberapa panitia dan guru memandang mereka dengan dahi berkerut, terutama saat Gempa mengatakan bahwa kakaknya hilang.
Taufan menarik Gempa agak menjauh dari posko panitia. "Nanti dulu, Gem. Siapa tau Hali lagi keluyuran."
Gempa tak menanggapi. Dia kembali menghampiri posko panitia. "Benar, Pak. Halilintar dari kelas E hilang."
"Kamu yang tenang. Coba cari dulu. Siapa tahu dia lagi main ke tenda teman-temannya," kata salah satu guru di sana.
Gempa mengeraskan rahangnya. Ingin sekali dia marah sejadi-jadinya, tetapi kemudian dia tersadar. Mereka tak mengerti dan tidak ada yang tahu apa yang pernah dialaminya beberapa waktu lalu. Inilah yang Gempa takutkan selama beberapa hari belakangan.
Disaat guru lain seolah menganggap itu hanya lelucon, Kaizo menjadi satu-satunya yang menganggap serius apa yang diucapkan Gempa. Pemuda itu langsung menyambar jaketnya yang tergeletak di sandaran kursi, lalu bergegas ke tenda medis. Tak lama kemudian, dia kembali bersama Shielda yang membawa sebuah tas kecil di pundaknya. Sebelum pergi, Kaizo menanyakan kronologinya. Taufan kembali menjelaskan semuanya.
"Taufan jangan terpisah dari Solar. Juga beritahu Ying dan Yaya, jangan terpisah satu sama lain, dan tetap di tenda. Paham?" Taufan mengangguk.
Kaizo beralih pada Gempa. "Kamu juga kembali ke tenda. Jangan kemana-mana."
"Saya mau bantu cari kakak saya."
"Kamu sangat membantu saya kalau tetap berada di tenda."
"Tapi, saya …."
Shielda menghampiri Gempa, menepuk-nepuk pundaknya. "Pokoknya kamu tenang aja. Kita pasti cari Halilintar sampai ketemu. Jadi, sekarang kamu kembali ke tenda, dan tunggu informasi selanjutnya. Ok?"
Dengan berat hati, Gempa mengikuti arahan Shielda. Dia dan Taufan menatap kepergian Kaizo dan Shielda sebelum kembali ke tenda.
~o0o~
Tadi sore, Halilintar sempat pergi ke toilet umum, rasanya tidak ada yang aneh. Hanya memang cahaya lampunya agak lebih redup dari toilet di rumahnya. Akan tetapi, pada malam hari suasananya terasa agak berbeda. Toilet umum di tempat ini punya pencahayaan yang kurang memadai, ditambah bagian belakang bangunan kecil itu terdapat pohon-pohon tinggi. Bayangan-bayangan hitam dari pepohonan itu membuat pikiran negatif berseliweran di kepalanya.
Halilintar menambah kecepatannya dalam melumuri peralatan memasak itu dengan sabun cuci. Dia tak mau berlama-lama di tempat itu. Apalagi Taufan meninggalkannya sendirian.
Setelah semua peralatan itu penuh dengan sabun cuci, Halilintar berniat meninggalkan tempat itu, lagi pula tugasnya hanya melumuri sabun, membilas adalah tugas Taufan. Namun, sebuah tangan memiting batang lehernya dari belakang, tangan lain memegang kepalanya.
"Kupatahkan lehermu kalau melawan," bisik pria bersuara berat dari belakang tubuhnya.
Halilintar berusaha melawan, tetapi pitingan pria itu semakin mencekiknya. Dia kesulitan bernafas.
Halilintar tak tahu akan dibawa kemana, yang jelas pria itu menyeretnya—bahkan tak membiarkan Halilintar berdiri tegak—menjauhi bumi perkemahan, ke kawasan taman nasional di sekitar bumi perkemahan yang gelap. Satu-satunya pencahayaan berasal dari cahaya bulan purnama. Beberapa kali kaki Halilintar tersandung akar pepohonan dan tanaman liar.
Saat pitingan di lehernya mulai terasa longgar, Halilintar sengaja membenturkan kepalanya ke kepala orang di belakangnya, dan tangan kirinya menyikut perut pria itu kuat-kuat. Salah satu teknik yang dia pelajari dari Amato beberapa waktu yang lalu. Kemudian dengan cepat dia melepaskan diri. Sayangnya, tangan pria itu lebih cepat mencengkram tangan Halilintar dan membantingnya ke tanah. Halilintar mengerang.
"Bocah sialan!" raung pria itu sambil memegangi jidatnya.
Pria itu menarik rambut Halilintar, memaksanya berdiri. "Kau pikir aku main-main, hah?" hardik pria itu sambil memukul-mukul wajah Halilintar.
Kedua tangannya refleks melindungi dari serangan, lalu Halilintar menendang perut orang itu, yang dibalas tendangan yang mendarat di tulang betis salah satu kakinya, membuat Halilintar kembali jatuh dalam posisi miring dengan lengan kiri mencium tanah lebih dulu.
"Argh!" teriak Halilintar. Dia bisa merasakan tangannya membentur bebatuan.
Dia berjalan mendekatinya, melayangkan tendangan demi tendangan ke perut Halilintar yang terpojok. Terakhir, pria itu menendang dengan sekuat tenaganya. "Bisa-bisanya semua temanku mati karena bocah sepertimu." Lalu menduduki perut Halilintar. Tangan kanannya mengeluarkan sebuah pisau dari saku. "Harusnya kubunuh dari dulu, sialan!"
Sebelum pisau itu benar-benar menusuk lehernya, Halilintar sigap menahan kedua tangan pria itu. Mereka saling dorong ke arah berlawanan. Dia tahu, seharusnya listrik dalam tubuhnya aktif disaat seperti ini, tetapi seakan tahu Halilintar punya rahasia kecil, kedua tangan pria itu membalut tangannya dengan sarung tangan karet, membuat listrik dalam tubuh Halilintar tidak bisa menembusnya.
"Kenapa … mau membunuhku?"
Pria itu menyeringai, lalu berbisik.
Selain kalah dalam teknik berkelahi, Halilintar juga kalah dari segi tenaga. Ujung pisau itu mulai menggores lehernya, rasanya semakin dalam dan perih. Halilintar pikir riwayatnya akan habis di tangan pria asing itu sebentar lagi. Hingga tiba-tiba seseorang menendang pria itu sampai terguling ke samping, membuat Halilintar terbebas.
Halilintar menghirup udara dengan rakus. Dia bisa merasakan seseorang menariknya mundur tak jauh dari tempat itu. Panik. Halilintar meronta-ronta meski lemah.
"Tenang. Ini Shielda."
"Kak Shielda?" tanyanya dengan suara serak.
"Iya, ini Shielda."
Shielda membantunya duduk bersandar di bawah pohon. Senter yang dibawanya mengarah pada sekujur tubuh, kemudian gadis itu menemukan luka disekitar leher dan bekas kemerahan di sudut bibir Halilintar.
Shielda tak datang sendiri. Gadis itu datang bersama Kaizo, yang sekarang tengah melawan pria itu. Berkali-kali mereka saling melempar pukulan dan tendangan, berkali-kali pria itu berdecak kesal lantaran Kaizo bisa membaca serangannya.
Pria itu memiting leher Kaizo dari belakang, tetapi Kaizo dengan mudah melepaskan diri. Tangan Kaizo menyikut wajah pria itu, lalu menarik kerah belakang pakaiannya, dan membantingnya hingga berguling-guling.
Kaizo mendekati pria itu, melancarkan pukulan berkali-kali ke wajahnya. Dia gagal menyadari pria itu diam-diam kembali mengeluarkan pisau lipat dari kantong celananya, dan menusuk betis bagian kiri Kaizo. Dia pikir Kaizo akan terganggu setelah betisnya terluka, tetapi di luar dugaan, Kaizo tak bereaksi apa-apa, membuat pria itu heran dan lengah.
Kaizo baru berhenti setelah melihat pria itu tidak berdaya. Dia bangkit berdiri, berniat memeriksa keadaan Halilintar, tetapi sebuah suara tembakan terdengar dari balik punggungnya.
Shielda dan Halilintar refleks menunduk. Bahkan Shielda menjadikan dirinya sendiri sebagai tameng bagi Halilintar. Tak ada rasa sakit yang dirasakannya, begitu pula Halilintar yang tak mengeluh apa-apa. Kekhawatiran Shielda muncul kala dia mendengar suara berdebum di belakangnya.
Kaizo ambruk.
"Mampus!" teriak seorang wanita sambil menarik pria yang menyerang Halilintar menjauh.
~o0o~
Teman-temannya sudah jatuh tertidur, tetapi Gempa tak bisa mengistirahatkan tubuhnya barang sebentar. Sudah setengah jam lebih dia menunggu, tetapi belum juga ada informasi apapun dari Shielda maupun Kaizo. Gempa mengintip dari balik tenda, di posko panitia hanya ada tiga orang yang berjaga. Guru dan panitia lain sudah menyebar, melakukan patroli malam. Sesekali Gempa pura-pura tidur saat sama-samar dia mendengar suara sol sepatu yang bergesekan dengan rerumputan.
Hal itu juga terjadi di tenda kelompok laki-laki kelas E. Meskipun Solar sejak tadi memejamkan matanya, Taufan tahu Solar tidak benar-benar tertidur.
"Kira-kira Halilintar kemana, Sol?"
Solar tak menjawab, tetapi dia bergumam tak jelas, menyuruh Taufan diam.
Sejujurnya, Taufan merasa bersalah. Halilintar terakhir kali terlihat bersamanya dan dia juga yang meninggalkan anak itu sendirian. Taufan mengacak-ngacak rambutnya sendiri dan Solar kembali menyuruhnya diam.
Malam itu, seharusnya hanya jangkrik dan desiran angin yang terdengar selagi malam mulai kelam, tetapi ada suara berdentum satu kali terdengar di tengah keheningan malam. Solar langsung bangkit dari posisi berbaring, matanya melotot menatap Taufan. "Suara apa itu?!"
"Jangan-jangan …."
Keduanya tergesa-gesa keluar dari tenda.
Dari posisinya, Taufan dan Solar juga melihat Gempa keluar dari tendanya. Mereka saling berpandangan dalam kebingungan dan kekhawatiran. Sayangnya, itu hanya sebentar. Panitia langsung memarahi mereka karena keluar tenda malam-malam.
~o0o~
Fakta bahwa ada penyerang lain yang datang sempat membuat Shielda ketakutan, walaupun kemudian penyerang itu segera pergi meninggalkan mereka. Akan tetapi, sebetulnya yang membuat Shielda semakin takut adalah ketika melihat Kaizo bangkit perlahan seperti zombie, seolah peluru yang mungkin bersarang di punggungnya bukanlah halangan.
Shielda tertegun. Mulutnya sudah setengah terbuka, tetapi semua perkataannya berhenti di ujung lidah ketika matanya bersirobok dengan Halilintar. Shielda berusaha mengendalikan pikirannya sendiri dan tetap tenang seperti biasa, meskipun rasanya agak sulit.
Kondisi yang temaram membuatnya kesulitan melihat dengan jelas, tetapi Shielda melihat mata Kaizo berkilat tajam. Shielda bangkit berdiri, menarik tangan Kaizo yang berusaha pergi, tetapi segera ditepis.
"Jangan dikejar," bisik Shielda dengan suara gemetar. Sayangnya, Kaizo tak mendengarkan. Shielda sampai harus menarik-narik jaketnya, barulah Kaizo berbalik dan balas menatapnya tajam.
"Kamu ini kenapa?" bisik Shielda lagi. "Aku yakin peluru tadi pasti kena badanmu, tapi kenapa ..." Shielda tak sanggup melanjutkan ucapannya, khawatir Halilintar akan mendengar.
Kaizo bisa merasakan tangan gadis itu yang menarik jaketnya gemetar. Perlahan-lahan, Kaizo mulai melunak. "Kalian jalan di depan, saya di belakang," ucapnya kemudian.
Bumi perkemahan ada di depan sana, terlihat berkilauan dari tempat mereka sekarang. Hanya suara binatang malam dan sol sepatu mereka yang saling bergesekan dengan tanah dan dedaunan. Kaizo mengarahkan mereka agar mengambil jalan memutar ke belakang tenda medis, menghindari posko panitia agar tidak membuat kegaduhan.
Shielda dan Halilintar berhasil diam-diam masuk ke tenda medis, sementara itu Kaizo berdiri menjulang di depan tenda medis, memastikan tidak ada satupun yang masuk untuk sementara waktu. Sejauh ini hanya Taufan, Solar dan Gempa yang memaksa ingin masuk tenda medis. Beberapa kali mereka minta keringanan hanya untuk sekadar mengintip, yang kontan dibalas pelototan Kaizo. Keributan mereka terdengar mereda setelah beberapa menit, entah metode seperti apa yang Kaizo gunakan.
Shielda baru selesai mengobati luka di sudut bibir Halilintar saat Kaizo masuk ke tenda medis. Pemuda itu melangkah mendekati meja, lalu mendudukkan dirinya di atasnya.
"Untuk mencegah kepanikan, semua kejadian ini cukup kita saja yang tahu. Saya akan bicara ke kepala sekolah. Kalau disetujui, besok pagi kalian semua akan dipulangkan."
"Gimana kalau orang itu datang lagi?" tanya Halilintar. Dia merintih saat kapas di tangan Shielda menyentuh luka di lehernya.
"Saya sudah minta unit keamanan tambahan, sebentar lagi mereka sampai. Kamu bisa tenang sekarang."
"Orang itu siapa?"
"Saya pasti cari tahu secepatnya."
Wajah Halilintar semakin keruh. Shielda inisiatif bertanya, "Ada apa?"
"Orang itu bilang, harusnya dia membunuh saya dari dulu."
Kaizo dan Shielda saling pandang sebentar sebelum Shielda angkat bicara. "Jangan terlalu dipikirin. Mendingan kamu istirahat aja. Biar Pak Kaizo yang urus semuanya. Aku antar ke tenda kalau sudah selesai."
.
Sekembalinya dari luar, Shielda mendapati Kaizo berdiri di dekat kotak P3K, sedang menempelkan plester luka di lengannya. Shielda menghela nafas. Melihat keadaan Kaizo yang seperti ini membuatnya percaya bahwa zombie itu benar-benar ada di dunia nyata.
Jaket biru tua yang digunakan Kaizo bernoda darah di bagian punggung dan ada pisau menancap di kaki kirinya. Yang paling membuat Shielda tak habis pikir, Kaizo terlihat tidak terganggu sama sekali dengan semua itu, terdengar merintih saja tidak. Seolah luka-luka itu tidak pernah ada. Berbeda sekali saat Shielda membantu Halilintar mengobati lukanya, anak pendiam itu mendadak jadi berisik oleh rintihan.
"Tidak perlu memperhatikan saya," kata Kaizo tanpa menoleh.
Sekarang Shielda mulai berpikir ada sepasang mata yang tersembunyi di balik rambut belakang Kaizo yang mencuat melawan gravitasi.
"Kita ke Rumah Sakit Silika sekarang, biar aku minta guru lain buat ikut mengantar."
"Saya baik-baik saja."
"Kamu mau nakut-nakutin orang? Ada pisau menancap di betismu, ada bekas peluru di punggungmu, badanmu juga pasti memar-memar habis berkelahi. Masih bisa bilang baik-baik aja? Kamu itu mati rasa atau gimana?"
Kaizo tak menjawab. Dia melirik ke bawah, menemukan seluruh mata pisau sudah terbenam di salah satu betisnya, menyisakan gagang hitam mengkilat yang menyembul dari balik celana jeans yang dikenakan. Tangannya berniat mencabut pisau itu, tetapi Shielda bergerak cepat memukul punggung tangannya. Kaizo tersentak.
"Jangan dicabut sembarangan!"
"Kalau begitu, saya akan ke rumah sakit sendiri," kata Kaizo.
"Nggak boleh!"
"Saya bisa pergi sendiri."
"Astaga, laki-laki nggak sadar diri ini," maki Shielda. Shielda jarang memaki-maki orang, tetapi saat ini Kaizo benar-benar minta dimaki. "Kamu bisa kenapa-napa di jalan sebelum sampai ke rumah sakit. Kalau kamu nggak mau guru lain ikut mengantar, biar aku aja yang ikut."
Kaizo tak berkata apa-apa lagi, tetapi akhirnya menurut. Mereka berangkat setelah Shielda meminjam mobil inventaris sekolah yang sengaja disediakan untuk kondisi darurat. Mereka mulai meninggalkan area bumi perkemahan. Berhubung Shielda tak bisa mengendarai mobil, terpaksa Kaizo yang harus menyetir, walau tetap dalam kecepatan yang diinginkan Shielda.
"Sekarang Gaganaz dan Kikita kelihatan semakin terang-terangan mengganggu anak-anak, " kata Shielda usai menghubungi kenalannya di Rumah Sakit Silika.
"Saya tahu."
"Kira-kira apa yang bikin mereka semakin berani?"
"Mungkin sedang menantang balik."
Shielda mengangguk pelan. "Masuk akal. Bertahun-tahun sembunyi, sekarang malah menampakkan diri. Disebut serampangan pun rasanya nggak cocok."
"Memang bukan serampangan. Mereka sudah merencanakan semuanya."
"Ah, benar. Kamu juga ada di sana waktu mereka hampir menyerang Solar, kan?"
Masih segar dalam ingatan Kaizo ketika dia mendapat panggilan bertemu di Hotel Sky Palace. Pada mulanya Kaizo tak khawatir akan ada serangan semacam itu. Dia pikir, Gaganaz maupun Kikita tidak akan berani mengganggu siapapun disaat banyak orang penting sedang berkumpul. Akan tetapi, alarm kebakaran yang berbunyi menimbulkan firasat buruk, dan benar saja. Kaizo bertemu Kikita di lorong hotel, dia berusaha mengejar sampai ke basement. Sayangnya, Kikita segera masuk ke dalam mobil yang siaga menunggunya dan Kaizo kehilangan jejaknya.
"Sebenarnya waktu itu saya terlambat."
"Mau gimana lagi? Niat kamu ke sana kan memang buat ketemu Pak Direktur, bukan buat menjaga Solar."
Kaizo tak menjawab lagi. Dia menghela nafas sambil memutar setir ke kiri. Shielda mengernyit begitu Kaizo membuat mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah minimarket 24 jam. Jalanan yang dilewati lengang, mengingat mereka berkendara hampir tengah malam.
"Kenapa berhenti di sini?"
"Saya agak mengantuk. Tolong belikan kopi."
Kaizo memberikan selembar uang, lalu Shielda keluar dari mobil. Setelah pintu mobil tertutup, kendaraan itu langsung melaju meninggalkan Shielda, tak peduli dia berteriak memanggil Kaizo berulang kali.
Shielda baru teringat satu hal penting, sepanjang dia mengenal Kaizo, pemuda itu tak pernah menyukai kopi.
.
.
.
Tbc
Halooo.
Aku kembali. Nama lokasi spesifik yang muncul di pertengahan cerita ini nggak ada hubungannya dengan kenyataan. Anyway, makasih banyak sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.
Sampai nanti ^^
SkyLi
