Waktu menunjukkan pukul dua dini hari, jalanan lengang, kendaraan hampir tidak ada yang melintas, dan tanpa teman bicara. Seharusnya Shielda sudah ada di alam mimpi sekarang, tetapi nyatanya dia masih duduk termenung sendiri di depan minimarket 24 jam; sejak Kaizo meninggalkannya begitu saja.
Kasir minimarket berwajah lelah—sebagaimana orang-orang yang bekerja sif malam—menegurnya. Gadis itu meminta ponsel yang ada di genggaman Shielda. Dia baru tersadar, lalu buru-buru mengucapkan kata maaf berkali-kali, tak lupa memberikan beberapa lembar uang sebagai pengganti pulsa yang terpakai. Guru olahraga berhati jahat itu bahkan meninggalkannya tanpa ponsel—walau sebenarnya itu salahnya sendiri meninggalkan ponselnya di dalam mobil.
Masih tiga jam lagi sebelum orang-orang mulai melakukan aktivitas rutin mereka setiap pagi. Mungkin nantinya dia bisa menemukan kendaraan umum atau taksi. Shielda menimbang-nimbang, apa dia akan kembali ke bumi perkemahan, atau langsung pulang ke rumah saja. Sepertinya opsi kedua terdengar lebih menyenangkan, meskipun berisiko dikatai makan gaji buta.
Ketika masih asyik terbengong, sebuah mobil berhenti di depan minimarket, wajah menyebalkan Kaizo muncul dari balik jendela, tangannya melambai-lambai, memberi kode agar Shielda segera masuk ke dalam mobil.
Pintu mobil ditutup tanpa perasaan, Kaizo melirik Shielda lewat ekor matanya. "Saya pikir kamu sudah pulang."
Shielda balas menatapnya sinis, lalu tangannya memukul-mukul pundak Kaizo menggunakan botol minum yang isinya tersisa setengah. "Ponselku ketinggalan di mobil, dasar jahat! Kamu pikir aku bisa minta dijemput orang lain pakai telepati, hah?"
"Maaf."
Setelah puas menganiaya teman sendiri, Shielda bersandar di sandaran kursi, kepalanya disandarkan ke pintu mobil.
Kaizo sudah berganti penampilan, dia memakai kaus polos lengan pendek berwarna merah terang. Agak sedikit aneh melihatnya dalam balutan warna cerah, mengingat pemuda di sampingnya lebih suka memakai pakaian berwarna suram. Sementara itu, kaus dan jaket bernoda darah sudah terdampar di jok belakang mobil.
Selagi Kaizo membawa mereka kembali ke bumi perkemahan, Shielda mengambil bungkusan plastik putih di atas dashboard mobil. Plastik itu berisi obat-obatan.
"Kupikir kamu kenapa-napa di jalan." Kaizo membalasnya dengan dengusan. "IGD Rumah Sakit Silika rame banget, ya? Soalnya kamu lama."
"Lumayan."
"Dokter bilang apa?"
"Pelurunya tidak mengenai organ vital, jadi proses pemulihannya tidak akan lama."
"Syukurlah."
Kaizo melirik Shielda sebentar, dia mengernyit karena gadis itu tiba-tiba tertawa kecil. Ketika ditanya, Shielda bilang, dia teringat kejadian lucu saat di minimarket tadi. Kaizo hanya balas bergumam, lalu kembali fokus mengemudi.
Shielda berhenti tertawa, lalu menarik nafas panjang. Laki-laki di sampingnya jelas berbohong. Shielda tidak menyangkal bahwa dia sempat khawatir terjadi sesuatu pada Kaizo di jalan. Dia cukup waras untuk tidak membiarkan seseorang dengan luka tusuk dan tembak berkeliaran sendirian sambil mengendarai mobil, tetapi seseorang yang terluka itu justru lebih tidak waras.
Karena itu dia meminjam ponsel kasir minimarket untuk menghubungi salah satu temannya di Rumah Sakit Silika, memastikan Kaizo datang, dan minta dijemput temannya itu seandainya Kaizo sudah tiba di sana.
Sayangnya, jawaban temannya adalah apa yang tidak pernah terpikirkan oleh Shielda. Batang hidung Kaizo tak pernah muncul di Rumah Sakit Silika. Berkali-kali menelepon, berkali-kali pula dia mendapat jawaban yang sama.
Shielda melirik Kaizo sekali lagi. Apa karena itu dia ingin pergi sendiri? Padahal Kaizo bisa pergi ke rumah sakit lain, tanpa meninggalkannya.
.
E Class
Story by Sky Liberflux
BoBoiBoy sepenuhnya milik Monsta
Bab 11: Garib
.
Sepertinya hanya tenda mungil itu yang seluruh penghuninya masih terjaga. Ada Solar yang duduk bersila dengan kedua tangan terlipat di dada, tampangnya sudah seperti bapak-bapak yang tengah mencari strategi meloloskan diri dari utang-utang yang jatuh tempo besok pagi. Ada Taufan yang duduk di samping Solar, bertampang mirip anak dari bapak-bapak yang punya banyak utang. Sedangkan Halilintar harus pasrah diinterogasi dua orang bertampang aneh itu setibanya di tenda.
Solar berdeham, sadar ada hal yang lebih penting untuk dibahas, dia menyudahi tampang bapak-bapak banyak utangnya. "Pak Kaizo bohong, kan?"
"Bohong tentang apa?"
Solar menunjuk-nunjuk lehernya sendiri. "Luka itu. Tadi ada pisau di betis Pak Kaizo. Agak samar sama celana yang dia pakai, tapi aku liat gagangnya."
Akan tetapi, tenggelam oleh suara teriakan Taufan yang bisa membuat mereka digerebek panitia perkemahan. "HAH? KENAPA NGGAK BILANG DARI TADI!?"
Solar berusaha menenggelamkan Taufan dalam sleeping bag, tetapi gagal. Lalu mereka bertiga bergegas pura-pura tidur begitu mendengar suara langkah kaki di luar. Mereka bisa merasakan cahaya senter menerpa wajah masing-masing selama beberapa detik. Ketika suara langkah kaki itu menjauh, mereka kembali bangun.
"Dia habis berantem dan kamu juga habis berantem. Iya, kan?" bisik Solar. Melihat wajah kaget Halilintar, Solar mengibaskan poni rambutnya, dan berkicau, "Aku pinter, kan? Tapi, bukan itu intinya."
"Bukannya orang pinter itu dukun?"
"Nggak usah ngalihin pembicaraan!" potong Solar cepat, lalu mengecilkan suara setelah sadar sudah berteriak. "Dia bohong, kan? Nggak mungkin cuma terperosok gara-gara ada ngejar botol minum yang menggelinding."
Halilintar hampir tersedak ludahnya sendiri. Kalau boleh jujur, ucapan Kaizo lebih terdengar seperti ucapan ngawur anak SD dibandingkan sebuah alasan.
Sebenarnya, ucapan Solar memang tepat sasaran. Halilintar memang sedang membutuhkan pengalihan dari topik tersebut. Dia tidak ingin menceritakan itu sekarang, Kaizo juga ingin semua cerita itu tetap menjadi rahasia, setidaknya sampai besok pagi. Akan tetapi, melihat gerak-gerik kedua temannya, Halilintar rasa dia tidak punya pilihan lain. Dengan terpaksa dia menceritakan garis besar kejadian yang baru saja dialaminya.
Percobaan pembunuhan saat perkemahan sedang berlangsung. Berita panas yang akan menyebar seperti api kecil di atas rumput kering begitu diketahui oleh seorang tukang gosip.
Usai mendengar itu, mereka terdiam mematung, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Pantas saja Kaizo ingin merahasiakan hal itu. Kemudian Solar dan Taufan sepakat, malam ini tidak ada yang boleh tidur, meskipun kalau ditotalkan mereka bertiga sudah menguap lebih dari tiga puluh kali secara bergantian.
Kemudian satu tangan Taufan teracung. "Biar nggak ngantuk. Ayo kita main tebak-tebakan."
Solar dan Halilintar mengangguk setuju. Dibanding bengong tak jelas, tentunya berpikir akan membuat mereka tetap terjaga. Sebagai pencetus ide, Taufan mendapat giliran pertama.
"Apa bedanya cicak sama putri Jasmine?"
Solar mengurut dagu, gestur yang selalu diperlihatkan ketika sedang berpikir serius. Kemudian dia berkata, "Cicak itu hemidactylus platyurus, kalau putri Jasmine itu homo sapiens."
Taufan takjub, tidak bisa berkata-kata. Baru kali ini ada orang yang menjawab tebak-tebakan darinya dengan sangat ilmiah. Dia tidak suka. "Nggak pernah main tebak-tebakan, ya?"
Melihat reaksi loading teman-temannya, Solar kembali bersuara, "Emangnya salah?"
"Ya … nggak sih. Tapi, kita kan lagi main tebak-tebakan, bukan lagi ujian lisan biologi. Jawabnya pakai imajinasi aja, jangan pakai unsur ilmiah." Taufan beralih pada Halilintar. Berharap Halilintar bisa memberikan jawaban sesuai keinginan. "Udah ada jawaban?"
"Cicak itu hewan, putri Jasmine itu manusia."
"Itu jawabanku!" protes Solar.
"Tadi jawabannya hemi ... apa tadi?"
"Hemidactylus platyurus itu nama ilmiahnya cicak. Masuk ke genus hemidactylus, famili gekkonidae, ordo—"
"Stop!" potong Taufan. "Udah kubilang, kita ini lagi main tebak-tebakan, bukan lagi ujian lisan." Lalu jari telunjuk Taufan menusuk-nusuk dahi Solar dengan beberapa kali tusukan. "Lagian silsilah keluarga cicak nggak penting, pinter! Jawab aja pakai imajinasi. I-MA-JI-NA-SI!"
Solar melempar apapun yang ada di dekatnya, meski tentu saja Taufan langsung berkelit. "Jangan keras-keras! Nanti semua orang bangun."
"Jadi jawabannya apa?"
"Jawabannya, cicak itu melata, putri Jasmine itu melati," jawab Taufan tanpa minat. "Giliran siapa, terserah."
Solar terdiam sebentar, mulutnya terlihat komat-kamit tak jelas. Kemudian berkata, "Suatu pintu air punya 523 cabang saluran. Dalam seminggu terpakai 8891 liter air. Berapa liter air rata-rata yang dipakai tiap-tiap keluarga waktu itu?"
Taufan membuang nafasnya kuat-kuat, lalu menyembunyikan dirinya dalam sleeping bag, diikuti Halilintar yang merasa kepalanya mendadak macet.
"Kenapa nggak ada yang jawab? Padahal tinggal ditebak aja."
Taufan langsung melirik sinis. "Tinggal ditebak, Mbahmu!"
Melihat tidak akan ada yang menjawab, Solar memilih ikut berbaring. Mereka semua terdiam setelah mendengar pertanyaan tak sesuai konteks. Pelan-pelan terdengar dengkuran halus yang saling bersahutan. Rupanya pertanyaan dari Solar cukup ampuh membuat mereka tertidur. Melupakan kesepakatan untuk saling terjaga dan melupakan sejenak apa yang sudah terjadi malam ini.
~o0o~
Seperti janji Kaizo kemarin malam, hari sabtu pagi yang seharusnya diisi dengan apel pagi dan olahraga bersama, mendadak panitia perkemahan meminta semua siswa membereskan barang-barang, dan bersiap pulang ke rumah masing-masing. Semua bertanya-tanya, semua bingung dengan keputusan itu, kecuali tiga kepala yang sudah lebih dulu tahu garis besarnya.
Sampai kapanpun rumah akan selalu menjadi tempat paling aman baginya, tetapi kali ini Halilintar benar-benar takut pulang ke rumah. Alasannya, luka di tubuhnya belum kering benar dan dia tidak bisa terus menyembunyikan luka itu dengan jaket yang resletingnya dinaikkan sampai ke leher, juga masker medis selama berada di dalam rumah.
Pada akhirnya dia ketahuan juga ketika Mama tak sengaja melihat noda keunguan di sudut bibirnya saat makan malam.
"Kok bisa luka di situ? Kamu berantem, ya?" tanya Mama mulai menyelisik yang dibalas gelengan. "Terus lagi ngapain?"
"Aku … mau lanjut kerjain tugas." Halilintar langsung kabur ke kamarnya. Bukan hanya pertanyaan Mama yang mengganggunya, tetapi juga tingkah Gempa.
Gempa memang terlihat tidak banyak bertanya tentang luka itu, tetapi matanya terus saja menatapnya dengan alis berkerut. Terpaksa Halilintar banyak menghabiskan akhir pekan di dalam kamar, dan di rumah para manula tetangga, demi menghindari adiknya sendiri.
Tanggapan dari para manula tetangga memang tak jauh berbeda dengan tanggapan Mama, tetapi Halilintar merasa bisa lebih terbuka kepada mereka. Sebab biasanya mereka akan melupakan apa yang baru saja didengar keesokan harinya.
Akan tetapi, ada satu hal yang tidak pernah Halilintar ceritakan pada siapapun. Termasuk pada Kaizo, teman-temannya, maupun para manula tetangga. Malam itu, pria yang hampir membunuhnya membisikkan satu kalimat yang sampai saat ini masih terngiang-ngiang di dalam pikirannya.
'Bocah sepertimu harusnya nggak pernah ada.'
Halilintar masih tak paham apa maksud kalimat itu. Jika kalimat itu diartikan sebagai 'tidak pernah lahir ke dunia', seharusnya bukan hanya Halilintar yang mendapat perlakuan tersebut, tetapi Gempa juga. Ini bukan berarti Halilintar ingin Gempa mengalami hal yang sama. Hanya saja ada sesuatu yang terasa ganjil baginya. Seperti ada banyak kepingan puzzle yang hilang, tetapi kemana dia harus mencari kepingan-kepingan itu?
Halilintar mengacak-acak rambutnya sendiri.
.
Kehadiran Amato pada senin sore juga merupakan sebuah keganjilan lain, mengingat ekstrakurikuler pencak silat biasanya berlatih setiap jumat siang. Kecuali saat-saat menjelang pertandingan, Amato biasanya membuka sesi latihan khusus menjadi dua kali seminggu.
Sore itu lapangan cukup sepi, tidak banyak ekstrakurikuler yang mengadakan kegiatan di awal minggu, jadi mereka bisa berbicara leluasa di sana.
"Ayah nggak salah dengar, kan? Kamu kerasukan apa sampai mau sering latihan?" Amato melipat kedua tangan di dada. Pandangannya menyelisik ke arah Halilintar yang duduk di sebelahnya.
"Bukan apa-apa."
Amato menempelkan telapak tangannya di dahi Halilintar, lalu menyamakan dengan dahinya sendiri. "Nggak demam," gumamnya sambil menggeleng-geleng.
Halilintar menjauhkan tangan Amato dari dahinya, wajahnya merengut. Memang siapa yang demam?
"Apa ini karena kejadian tempo hari? Wali kelas kamu cerita sesuatu." Amato melirik anak di sebelahnya, anak itu terlihat kaget. "Ayah udah tahu semuanya," tambahnya.
"Itu salah satunya." Halilintar membuang nafas.
Beberapa hari ini dia berpikir ingin meningkatkan kemampuan bela dirinya. Orang yang waktu itu menyeretnya ke hutan lindung gagal membunuhnya, bukan tidak mungkin orang itu akan kembali lagi suatu hari nanti, dan berniat membunuhnya dengan berbagai cara. Memikirkannya saja membuat nafasnya terasa tercekik.
Karena itu, Halilintar pikir, dengan meningkatkan kemampuan bela dirinya, saat dia bertemu orang itu lagi, dia punya kesempatan untuk melawan sendiri. Entah dia akan menang atau kalah dan terbunuh, itu urusan nanti.
Halilintar merasakan sentuhan di pucuk kepalanya. Tangan besar Amato mengacak-acak rambutnya, sadar dia melamun sejak tadi.
"Ok, Ayah bakal melatih kamu setiap hari."
"Setiap hari?"
Amato mengangguk. "Setiap hari, dikurangi satu hari buat melatih anak-anak yang mau bertanding, dan istirahat di hari minggu. Jadi totalnya lima hari." Kemudian Amato nyengir.
Meskipun begitu, Halilintar lega mendengarnya. Dia tersenyum tipis.
"Tapi, syaratnya …," Senyum di wajah Halilintar luntur seketika. "kamu ikut Ayah ke kejuaraan pencak silat dua minggu lagi."
"Mana bisa!"
Amato berdecak, "Bukan jadi peserta, tenang aja."
"Nggak!"
"Biar kamu bisa nonton langsung dan punya gambaran berkelahi itu harus gimana."
"Aku bisa nonton dari situs Aingtube."
"Kalau begitu buat melatih kamu biar terbiasa ada di tempat ramai. Kamu diganggu waktu lagi sendirian dan ini bukan yang pertama, kan?"
Amato menatapnya lurus. Seketika Halilintar merasa tersudut, kalimat-kalimat protes yang hendak diucapkan mendadak tersendat di ujung lidah. Kemudian pandangannya beralih pada kedua kakinya yang menendang-nendang rerumputan. Ucapan Amato benar, ini bukan gangguan pertama yang dia terima. Beberapa kali gangguan itu hanya berupa sticky note yang tertempel di berbagai tempat, berisi kalimat-kalimat aneh yang tidak dimengerti maksudnya.
"Saran Ayah, sementara ini jauhi tempat sepi dulu. Ayah tahu kamu nggak terbiasa, tapi ini semua buat mencegah hal-hal yang nggak diinginkan."
"Aku cuma bingung. Apa alasan mereka melakukannya?"
"Mungkin pelan-pelan kamu bisa cari tau."
"Mulai dari mana?"
"Cuma kamu yang tau."
Halilintar tepekur, dia bahkan tak tahu harus mulai dari mana.
Amato mengacak rambut Halilintar lagi. "Ayo pulang. Latihannya mulai besok jam pulang sekolah. Jangan terlambat!"
~o0o~
"Aneh. Aneh banget."
Taufan memicingkan mata. Pandangannya tak lepas dari Kaizo yang berdiri di sisi lain lapangan, memandu para siswa kelas A untuk berlari jarak pendek.
"Dia kelihatan lebih sehat dari orang yang habis ditikam pisau, terus kena tembakan juga. Bukannya aneh?" tanya Taufan lagi.
Solar berdiri di samping Taufan, mengurut dagu. Disaat Solar, Taufan, dan Halilintar mengira kelas olahraga hari ini akan dibatalkan, Kaizo justru sudah berada di lapangan outdoor, dengan penampilannya yang biasa; mengenakan pakaian olahraga, stopwatch dan peluit menggantung di leher. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
"Kamu yakin nggak salah lihat?"
"Aku yakin. Lagian dia juga bilang," Solar menunjuk Halilintar dengan dagunya. "ada suara tembakan, dan dia sempat jatuh."
Halilintar mengangguk.
"Ini memang baru empat hari, tapi apa bakal secepat itu?"
"Apanya yang cepat?" tanya Yaya dari belakang mereka. Baru kembali sehabis mengambil absensi kelas E yang tertinggal di ruang guru. Ying mengekor di belakang Yaya.
"Oh itu, ada anak kelas A larinya cepat," jawab Taufan sambil nyengir.
Ying menoleh ke arah lapangan, mencari orang yang dimaksud. "Mana? Apa anak atletik?"
"Mana aku tau." Taufan mengangkat kedua bahunya. "Itu absensi nggak dikasihin ke Pak Kaizo?"
Yaya menepuk dahinya sendiri, lalu pergi sambil mengajak Ying. Taufan menghela nafas lega. Hampir saja dua temannya itu tahu. Yaya dan Ying memang belum tahu kejadian sebenarnya di perkemahan hari itu. Solar pikir, itu yang terbaik untuk saat ini.
"Kayaknya kita nggak bisa ngomongin ini di sini."
"Emangnya siapa yang mulai duluan?"
Taufan nyengir.
Sementara itu, di sisi lain lapangan, Kaizo memanggil satu persatu siswa kelas A. Meminta mereka berlari jarak pendek, lalu dia akan mencatat waktu berlari mereka di absensi, dan Gempa membantu Kaizo mencatat waktu mereka lewat stopwatch.
Yaya memberikan absensi kelas E pada Kaizo. Lalu berdiri tak jauh darinya. Sementara itu Ying menghampiri teman-temannya dari kelas A. Kemungkinan ingin membuktikan ucapan Taufan.
Tak lama kemudian, para siswa kelas E mulai dipanggil. Halilintar mendapat urutan pertama, disusul yang lain. Awalnya tak ada yang aneh, tetapi catatan waktu yang disebutkan Gempa membuat Yaya mengernyit.
Yaya menghampiri Gempa yang duduk lesehan di sebelah Kaizo yang berdiri menjulang. "Kamu yakin 10,78 detik, Gem?" bisik Yaya.
"Yakin," ucapnya. Gempa bahkan memperlihatkan stopwatch di tangannya. "Ada apa, Ya?"
Yaya tak menjawab. Tiba urutan Ying, catatan waktu yang disebutkan Gempa kembali membuat Yaya mengernyit.
"12,32 detik?" gumamnya.
Sebetulnya, Yaya tidak begitu paham bagaimana mekanisme berlari jarak pendek, tetapi dia merasa ada yang salah di sini. Ying pernah bilang bahwa kadang-kadang dia sengaja menurunkan kecepatan agar dianggap normal oleh orang-orang. Akan tetapi, Yaya merasa Ying bisa lebih cepat dari itu, bahkan seharusnya lebih cepat dari Halilintar.
Gempa sempat terlihat penasaran, tetapi Kaizo meminta semua anak berkumpul, jadi dia pergi ke kerumunan kelas A. Seperti biasa, sebelum membubarkan kelas, Kaizo akan memaparkan tugas untuk minggu depan.
Yaya tidak begitu memperhatikan apa yang dijelaskan Kaizo sampai kelas dibubarkan. Pikirannya terganggu oleh catatan waktu berlari jarak pendek hari ini, bahkan Ying dibuat mengernyit karena beberapa kali kedapatan sedang diabaikan.
"Ying, sekali berlari, biasanya catatan waktu kamu berapa?" tanya Yaya saat mereka keluar dari ruang ganti.
"Biasanya sekitar 11,74 detik."
"Kalau rekor terbaiknya?"
Ying terdiam sebentar, lalu berkata, "Waktu itu pernah 11,19 detik. Memangnya kenapa?"
Yaya menghentikan langkahnya. Meskipun hanya berbeda 0,41 detik, bukankah itu artinya Halilintar lebih cepat dari Ying? Kalau begitu, ini menjadi sebuah anomali. Ying adalah yang tercepat diantara anak-anak kelas E, Kaizo sudah mengakui hal itu. Akan tetapi, kenapa realitanya berbeda?
Kemudian tepukan dari Ying menyadarkan Yaya. "Kamu dari tadi melamun terus. Ada apa sih?"
"Aku? Oh, nggak apa-apa, kok. Ying, kamu duluan aja, aku baru ingat mau ke ruang guru dulu."
"Kalau ada sesuatu, cerita aja, Ya."
Yaya mengangguk. Membiarkan Ying pergi lebih dulu, lalu dia berbelok ke ruang guru. Yaya menghampiri meja kerja guru fisika, mengambil setumpuk buku catatan yang ditaruh di atas meja. Kemudian matanya tak sengaja melihat meja kerja Kaizo.
Ruang guru terlihat sepi, beberapa guru sedang mengajar ataupun sedang berpindah kelas, termasuk Kaizo. Ada rasa penasaran yang mendorongnya melihat absensi sekali lagi. Yaya lalu berjalan pelan mengitari meja kerja Kaizo. Dari absensi kelas E yang tergeletak begitu saja di atas meja, Yaya melihat catatan waktu Ying dan Halilintar yang ditukar.
"Kenapa ditukar …."
"Ada perlu dengan saya, Yaya?" Kaizo muncul dari ambang pintu, melihat Yaya dengan pandangan datar.
Yaya terkesiap. "Saya cuma … itu, ambil tugas fisika …, iya, tugas fisika. Permisi, Pak."
Yaya langsung berjalan cepat meninggalkan ruang guru. Sebelum benar-benar berbelok, Yaya sempat berbalik dan mendapati pandangan Kaizo mengikutinya.
.
.
.
Tbc
Halo, aku kembali. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini. Seperti biasa, kalau ada kritik dan saran, bisa dikirimkan ke kolom review.
Sampai nanti,
SkyLi
