Pasca perkemahan yang gagal, Gempa mengamati tidak ada lagi yang mengganggu kakaknya. Seharusnya itu menjadi kabar baik, tetapi yang Gempa rasakan justru sebaliknya. Pikirannya penuh dengan prasangka buruk yang menebak-nebak kapan kejadian itu akan terulang lagi.
Tiga hari sudah Gempa selalu pulang terlambat. Bukan kegiatan ekskul yang menyita waktunya, melainkan akibat menunggu seseorang. Terkadang Gempa dengan sengaja mencari sudut-sudut tertentu tak jauh dari gerbang sekolah, kadang pula dia menunggu sambil membeli beberapa barang di toko alat tulis terdekat. Barulah pada hari keempat, Gempa melihat orang yang ditunggu-tunggu.
Seorang wanita yang pernah tak sengaja ditemui di depan kelas E kembali muncul dari gang kecil. Wanita itu memakai jaket merah tua dengan celana jeans tiga per empat, dan kepala tertutup tudung jaket. Tatapan menyelidik dilemparnya begitu dia melihat Gempa tiba-tiba datang memblokir jalannya. Kepalanya dimiringkan seraya tersenyum sinis. "Apa maumu bocah?"
Gempa memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. "Bisa kita bicara?"
"Apa untungnya?"
"Nggak ada, tapi aku perlu bicara."
"Kalau nggak ada untungnya buat apa? Buang-buang waktu."
Wanita itu mendengus, lalu melanjutkan langkahnya dengan pelan, ketika bahunya sengaja beradu dengan bahu Gempa, saat itulah Gempa mengatakan bahwa dia tahu sedikit tentang identitas Halilintar. Seketika wanita itu menghentikan langkah, lalu berjalan ke arah sebaliknya tanpa banyak bicara. Gempa mengikuti langkahnya dari belakang. Mereka menyusuri gang kecil sampai tiba di sebuah kafe di ujung jalan.
Keduanya duduk di meja dekat pintu keluar. Wanita itu memesan secangkir kopi, segelas jus jeruk, scones rasa vanila dan macaron aneka warna. Saat pesanan datang, wanita itu langsung menyesap minumannya, lalu kedua tangannya terlipat di dada. "Seberapa jauh apa yang kamu tau?"
"Apa arti MG2-072?"
"Kenapa mau tau?"
"Karena ini menyangkut keluargaku."
Wanita itu tersenyum sinis. "Keluarga, ya? Bocah naif."
"Kenapa kalian mengganggunya? Di sekolah sampai di tempat perkemahan. Dia salah apa?"
"Daripada nganggur," jawab wanita itu sambil mengangkat kedua bahunya. Seolah perbuatannya hanya sekadar main-main.
Meskipun Halilintar tak berterus terang tentang apa yang terjadi saat malam perkemahan tempo hari, Gempa sudah bisa menebaknya sendiri. Bagaimanapun juga, luka yang dimiliki Halilintar terlihat tidak wajar, bahkan alasannya mengada-ngada. Gempa mengeraskan rahangnya, tangannya mengepal di dalam saku jaket.
"Aku bisa laporkan perbuatan kalian ke pihak sekolah."
Gempa terkejut ketika wanita itu tertawa terbahak keras sekali. Beberapa pengunjung kafe mulai memusatkan perhatian pada mereka, ikut penasaran dengan topik yang sedang dibahas. Pelan-pelan wanita itu menghentikan tawanya.
"Sekalian aja laporkan ke polisi. Bilang, Kikita yang mengganggu Halilintar." Wanita bernama Kikita itu merendahkan suaranya sebelum menambahkan. "Tapi, yakin laporanmu bakal ditanggapi? Aku dan dua temanku bahkan bisa keluar masuk SMA Budi Asih kapanpun kami mau."
Kedua alis Gempa menukik. Jika pihak sekolah sudah tahu hal ini, kenapa mereka mendiamkan saja?
"Bingung?" tanya Kikita lagi. "Aku nggak akan bosan mengingatkan. Nggak usah cari tau. Pura-pura nggak tau apa-apa malah lebih bagus. Ini bukan urusan anak kecil."
Kikita bangkit berdiri, tetapi ucapan Gempa membuatnya menghentikannya barang sejenak. "Tunggu! Kata kunci waktu itu … sebenarnya tentang kelas E, kan? Ada apa dengan kelas E? Apa kalian juga mengganggu anak lain selain Halilintar?"
"Bocah pintar. Sayangnya aku nggak mau jawab. Silahkan cari sendiri kalau bisa."
Gempa masih bergeming setelah Kikita meninggalkannya di kafe itu. Tangannya mengeluarkan ponsel dari saku jaket. Ponsel itu merekam semua obrolan mereka sejak bertemu di depan gang kecil. Sayangnya, Gempa tidak mendapat jawaban yang sangat ingin dia ketahui, tetapi sebagai gantinya dia tahu fakta lain.
Gempa menghela nafas. Ini belum akan berakhir dalam waktu dekat.
.
E Class
Story by Sky Liberflux
BoBoiBoy sepenuhnya milik Monsta
Bab 12: Meluap Ke Permukaan
.
Ying terengah-engah, tangannya bertumpu pada kedua lutut, keringat membanjiri kedua sisi wajahnya. Kemudian tangannya bergerak menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak. Meskipun begitu, telinganya masih bisa menangkap helaan nafas dari seseorang di dekatnya. Ying mendongak, menatap wajah pelatihnya yang kecewa.
Tak perlu bertanya dua kali, Ying paham situasi. Dia sendiri tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Yang dia sadari, catatan waktunya sedang kurang baik akhir ini, tidak seperti saat dirinya masih SMP, padahal dia merasa dalam kondisi baik. Ying sering memaksakan diri sampai rasanya paru-parunya bisa meledak kapan saja, tetapi catatan waktunya tidak kunjung membaik.
"Anak itu harusnya bergabung ke sini," gumam sang pelatih.
Ying mengikuti arah pandang sang pelatih dan menemukan Halilintar dan beberapa anggota ekstrakurikuler pencak silat sedang bersiap sebelum mengikuti technical meeting.
Pelatih atletik sudah berkali-kali mengeluhkan hal ini, terutama setiap kali ekstrakurikuler atletik latihan, yang kebetulan di hari yang sama dengan latihan pencak silat. Negosiasi bersama Amato pun tidak membuahkan hasil. Amato bilang, semua tergantung kemauan Halilintar. Sayangnya, Halilintar sendiri sama sekali tidak ada niatan untuk bergabung dengan ekskul pelari ini. Maka pupus sudah keinginan sang pelatih.
Setelah semua anak mendapat giliran tes, evaluasi singkat diberikan sebelum kegiatan berakhir. Ying tidak begitu mendengarkan, bahkan setelah sang pelatih membubarkan mereka, tahu-tahu langkah kakinya telah mengantarnya ke sebuah panti asuhan.
Seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun langsung memeluk kakinya begitu Ying masuk ke dalam bangunan itu. "Yeay, Kak Ying pulang! Ayo bantu Pipi belajar!"
"Kakak ganti baju dulu, ok?"
"Ok, Kak!"
Ying mengelus pucuk kepala Pipi sebelum anak itu melesat ke ruang kreasi, bergabung dengan anak-anak lain seusianya.
Nama tempat itu adalah Panti Asuhan Kasih Ibu, sebuah tempat yang menjadi rumah baru bagi Ying sejak tiga tahun terakhir. Ada sekitar 24 anak yang menggantungkan hidupnya di rumah ini dan menjadi salah satu anak yang paling tua di sini berarti ada tanggung jawab lebih yang harus dipikul.
Membantu membuat makanan sehari-hari, membereskan rumah, sekaligus membimbing anak-anak lain dalam belajar. Semua itu membuat Ying hampir tak punya waktu untuk dirinya sendiri, termasuk untuk memikirkan bagaimana jika kondisinya tidak kunjung membaik, dan pelan-pelan dia akan kehilangan beasiswanya. Memikirkannya saja terkadang membuat kepala Ying sakit, apalagi sejak sebuah sticky note berwarna kuning selalu mengganggunya.
Salah satunya Ying temukan hari ini, terselip diantara buku sekolahnya yang dia simpan di dalam loker.
'Makin kacau, ya? Coba kita tebak, kali ini siapa yang akan lebih dulu membuangmu?'
Ying meremas kertas itu hingga berbentuk bulatan kecil, lalu membuangnya ke tempat sampah.
~o0o~
Suara gong menggema di gedung olahraga, pertanda babak kedua di gelanggang satu telah usai. Suara announcer saling tumpang tindih dengan sorak-sorai penonton yang menyaksikan pertandingan hari ini. Tinggal satu babak lagi, maka mereka akan tahu siapa pemenangnya.
Sudut bibir Amato sedikit terangkat saat melihat anak didiknya datang menghampiri. Diberinya handuk kering dan sedikit wejangan sebelum babak ketiga dimulai. Di samping Amato, Halilintar duduk sambil mengunci mulutnya rapat-rapat. Dalam diam, dia mengamati jalannya pertandingan sejak partai pertama yang dimulai jam delapan pagi tadi.
Sesuai kesepakatan mereka, Halilintar terpaksa ikut Amato ke kejuaraan Pencak Silat antar SMA dan SMP sebagai asisten pelatih. Amato serius tentang keinginannya membuat Halilintar terbiasa berada di keramaian. Tidak tanggung-tanggung, Halilintar dibawanya duduk di salah satu sudut gelanggang, menjadi pendamping atlet yang tengah bertanding, dan berkesempatan melihat pertandingan dari jarak sangat dekat, lebih dekat dari apa yang bisa dia lihat dari situs Aingtube.
Sayangnya, Halilintar punya batasannya sendiri.
Semakin beranjak siang, gedung olahraga semakin ramai. Halilintar merasa mulai kewalahan melihat penonton yang memadati tribun, dan melihat panitia yang sibuk hilir mudik bersama wasit juri. Beruntung, Amato bisa memaklumi. Ada banyak hal penting yang perlu diurus, bukan hanya mengurusi satu anak yang sedang menyesuaikan diri dengan keramaian. Sebagai gantinya, dia meminta Halilintar mencari Yaya, memastikan kesiapan logistik untuk teman-temannya.
Sebetulnya, Halilintar kagum dengan gadis itu. Sejak mereka menginjakkan kaki di tempat kejuaraan, Yaya menjadi orang yang paling sibuk menyiapkan semuanya. Mulai dari penginapan, peralatan penunjang, sampai logistik untuk empat hari kedepan, semuanya gadis itu yang mengatur.
"Dia sudah biasa," kata Amato saat mereka mengikuti technical meeting.
Amato sendiri tidak banyak ikut campur—jika tidak ingin dikatakan tidak ikut campur sama sekali. Dia percaya sepenuhnya pada Yaya dan gadis itu dengan senang hati menerimanya, meskipun Halilintar tahu, Yaya juga punya sesuatu yang perlu diurus untuk dirinya sendiri. Salah satunya, urusan berat badan.
Halilintar tak sengaja dengar—bukan berarti dia sengaja mendengarkan—bahwa Yaya khawatir dengan berat badannya yang hampir mendekati batas atas kelas tanding yang dia ikuti. Hal ini membuatnya lebih fokus menurunkan berat badan dibandingkan fokus melihat siapa lawannya nanti.
Karena itu, Halilintar sedikit kesulitan mencarinya. Tempat itu dipenuhi para peserta kejuaraan yang keseluruhannya memakai baju pangsi silat berwarna hitam. Sedikit sulit membedakan dari perguruan mana mereka datang. Kalau tidak ingat wajah, Halilintar pasti akan kesulitan mencari teman-teman seperguruannya.
Setelah hampir menyerah, Halilintar menemukan Yaya tengah berlari-lari kecil di lapangan yang ada di depan gedung pendopo. Lapangan itu juga ada beberapa peserta lain. Ada yang berlari kecil seperti Yaya, ada juga yang berlatih pukulan dan tendangan di sudut lain.
Sambil menunggu Yaya selesai, Halilintar duduk di kursi panjang di samping tas kecil berwarna merah muda. Entah sudah putaran keberapa, Yaya baru menyadari ada Halilintar di pinggir lapangan. Dia menyudahi kegiatannya dan bergabung dengan Halilintar.
"Dari tadi?"
Halilintar menggeleng. "Ayah nanyain makan siang."
"Oh. Makan siang udah dipesankan." Yaya menyeka keringat dengan handuk kecil dan mengambil ponsel dari dalam tas. "Kayaknya sebentar lagi diantar."
Lantas keduanya terdiam. Yaya sibuk dengan ponselnya, sementara Halilintar memainkan kakinya ke depan dan ke belakang, menendang kecil rumput di sekitar kakinya.
"Yaya," panggilnya.
Yaya menoleh. "Ya, kenapa?"
"Kenapa pilih ekskul pencak silat?"
"Memangnya kenapa?"
"Kupikir kemampuanmu nggak cocok."
"Kenapa nggak cocok?"
"Itu …," Halilintar tiba-tiba menggantungkan ucapannya, bingung sendiri bagaimana mengatakannya.
"Jadi, maksud kamu, kemampuan aku ini berkaitan sama stamina dan tenaga, jadi kamu merasa kemampuan aku nggak cocok. Karena setiap pertandingan ada kontak fisik. Begitu?"
"Memang gitu, kan?"
"Memang. Tapi, aku bisa kendalikan. Jadi, nggak masalah."
"Gimana caranya?"
Yaya tertawa melihat ekspresi penasaran anak laki-laki di sampingnya. "Ya ampun, kalau mau tanya itu, kenapa harus muter-muter dulu sih?"
Halilintar mengusap leher belakangnya. Wajahnya berpaling ke arah lain.
"Nggak ada trik khusus. Aku merasa yang penting aku harus tenang. Kalau nggak tenang, aku juga bisa lepas kendali."
"Cuma itu?"
"Cuma itu." Yaya meletakkan ponselnya, wajahnya menatap ke atas, menerawang jauh. "Aku juga nggak langsung bisa. Kalau nggak salah, waktu aku SMP aku pernah lolos ke semifinal cuma dengan satu kali tendangan, dan lawanku nggak bisa melanjutkan pertandingan." Yaya kembali tertawa kecil saat melihat ekspresi Halilintar yang seolah mengatakan bahwa hal itu tidak masuk akal. "Aku serius."
"Nggak mungkin."
"Kenyataannya gitu, kok. Itu hasil diskusi para wasit juri, mereka sepakat tendanganku sah, memang secara teknis tendanganku mendarat di body protector. Jadi, mereka buat kesimpulan kalau lawanku terlambat menangkis. Karena dia nggak bisa melanjutkan pertandingan, jadi aku yang menang. Tapi, aku nggak senang."
"Kenapa?"
"Lawanku … tulang rusuknya patah."
Tanpa sadar, Halilintar menyentuh dadanya sendiri. Tak terbayangkan bagaimana sakitnya jika dirinya sendiri yang mengalami hal itu.
Yaya kembali melanjutkan, "Sehabis aku tau keadaan lawanku, aku langsung kabur dari tempat pertandingan, sembunyi di masjid sampai ketiduran. Besoknya aku walk out dari semifinal."
"Kenapa walk out?"
"Waktu itu kupikir kalau aku bertanding lagi, aku bakal menyakiti orang lain lagi."
"Terus, kenapa kamu masih di ekskul pencak silat? Kenapa masih ikut bertanding?"
"Aku punya alasan. Nah, kamu sendiri kenapa ada di ekskul pencak silat? Kemampuan kamu kan bisa nyengat orang."
Ditanya begitu, Halilintar jadi gelagapan sendiri. Untungnya Yaya tidak berniat melanjutkan obrolan itu lantaran orang yang mengantar makan siang sudah datang. Halilintar ikut membantu Yaya menghitung jumlah makanan yang dipesan selagi gadis itu menuntaskan pembayaran.
"Kamu pesan itu juga, Ya?" tanya Halilintar saat melihat bungkusan plastik hitam di tangan Yaya.
Yaya menggeleng. Satu tangannya bergerak memasukkan sesuatu ke dalam tas kecil miliknya. "Nggak, katanya titipan buatku dari yang punya restoran. Aku belum bisa banyak makan. Daripada mubazir, mau kamu makan nggak?"
Halilintar menggeleng. "Ini cukup, buat yang lain aja," katanya sambil menunjuk kotak nasi.
~o0o~
Pukul lima sore, IGD rumah sakit itu kedatangan banyak pasien. Mereka adalah tujuh orang siswa SMA Budi Asih yang mengikuti pertandingan pencak silat. Ketujuh orang itu mengeluh pusing, sakit perut, dan mual. Beberapa diantaranya bahkan muntah-muntah. Amato, dibantu beberapa panitia membawa mereka ke rumah sakit terdekat.
Di depan meja resepsionis, Amato dan beberapa wali murid berkerumun. Dia langsung diberondong berbagai pertanyaan, seputar bagaimana makanan itu bisa sampai pada anak-anak mereka. Amato tidak bisa memberi banyak penjelasan, dirinya sendiri tidak ikut terlibat mengurusi kebutuhan logistik. Meskipun begitu, Amato sangsi, Yaya tidak mungkin sengaja melakukan semua ini.
"Saya akan menghubungi pemilik restoran itu, untuk memastikan," ucap Amato berusaha menenangkan para wali murid. "Mana Yaya?" tanyanya pada Halilintar.
Halilintar mengangkat bahu. Sejak melihat satu persatu teman-teman sekolahnya tumbang, Halilintar selalu mengekori Amato kemana-mana seperti anak ayam. Seingatnya, Yaya juga mengikutinya di belakang, tetapi sejak memasuki IGD Halilintar tak lagi melihatnya.
Atas permintaan Amato, Halilintar menyusuri koridor demi koridor untuk mencari keberadaan Yaya. Kemudian dia menemukan gadis itu sedang bersama dengan orang tuanya di koridor dekat pelataran rumah sakit. Wajah ayahnya terlihat memerah, sementara Yaya membelakangi Halilintar sambil menunduk, dia tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresinya. Namun, yang pasti Halilintar melihat tangan pria itu melayang menghantam wajah Yaya, membuat gadis itu mundur beberapa langkah ke belakang sambil memegangi pipinya. Sementara ibunya hanya diam di samping ayahnya, tidak melakukan apapun.
"Beraninya kamu mempermalukan Bapak," sergah pria itu, beberapa pengunjung rumah sakit melihat hal itu, tetapi tak ada yang berani membantu.
Halilintar segera berjalan cepat mendekati mereka. Dia masih sempat menarik gadis itu ke belakang punggungnya sebelum tamparan kedua mendarat di wajah Yaya.
Kedua pupil gadis itu melebar. "Hali, ngapain kamu di—"
"Siapa kamu?" potong pria itu. Wajahnya terlihat semakin merah padam.
Halilintar tidak menghiraukan pertanyaan itu, tidak pula menghiraukan Yaya yang tampak gelisah di belakangnya sembari terus berbisik menyuruhnya pergi. Dia hanya ingin bersikap sesuai dengan apa yang dia anggap benar.
Pegangannya pada lengan atas Yaya terlepas ketika kerah bajunya dicengkram erat. Postur pria itu tinggi besar, membuat Halilintar harus berjinjit saat tarikan pada kerah bajunya semakin tinggi. Lalu dia mengernyit. Hidungnya mencium bau alkohol dari jarak dekat dan aromanya semakin menyengat saat pria itu berbicara.
"Jangan ikut campur!"
"Bapak boleh pukul saya, tapi jangan pukul perempuan."
"Mau jadi jagoan? Berani lawan orang tua?!" Satu tangan pria itu melayang ke arahnya. Panas dan perih segera menjalar di pipi. Seakan belum puas, tamparan lainnya ikut melayang bersama sumpah serapah yang terlontar dari pria itu.
"Sudah, Pak. Ayo pulang," timpal Ibu Yaya.
"Anak-anak kurang ajar ini harus dikasih pelajaran!"
"Sudah! Malu dilihat orang, Pak."
Pria itu melepaskan Halilintar, pandangannya mendapati banyak orang yang berkerumun tak jauh dari mereka. Beberapa diantaranya ada yang menunjuk-nunjuk keluarga itu, ada pula yang merekam apa yang terjadi dengan ponsel mereka. "Apa? Kalian juga mau ikut campur?" Lalu dia meludah di sembarang tempat.
Kemudian Ibu Yaya menarik paksa pria itu dari sana. Kerumunan itu pun membubarkan diri seraya orang tua Yaya menghilang dari pelataran rumah sakit. Halilintar menyayangkan, bahkan sampai akhir tidak ada sedikitpun pembelaan dari wanita itu.
"Kamu nggak apa-apa, Hali?"
Halilintar hanya menggeleng. Bohong kalau dia berkata baik-baik saja. Nyatanya, kedua pipinya terasa panas, bahkan rasa perihnya masih bisa diingat. Ini yang baru saja dialaminya, Halilintar tak bisa membayangkan apa yang dialami Yaya selama ini.
"Kamu dicari Ayah."
Gadis itu menegang. Sembari berjalan, Yaya memainkan jari-jarinya. Kali ini Halilintar memastikan gadis itu mengikutinya. Mereka berdua menemukan Amato masih di depan meja resepsionis ditemani seorang dokter. Obrolan mereka terhenti saat melihat Yaya dan Halilintar mendekat. Wajah Amato seketika mengerut. "Kenapa pipi kalian merah?"
"Bukan apa-apa, Yah," kata Yaya sambil tersenyum. "Katanya, Ayah nyari aku, ada apa?"
"Dari mana kamu dapat makanan ini?" Amato memperlihatkan sebuah bungkusan hitam berisi jajanan pasar. "Ayah tadi hubungi restoran tempat kamu pesan makanan. Mereka bilang, itu bukan makanan buatan mereka."
"Aku juga nggak tau, Yah. Kata orang yang antar, itu buat aku dari yang punya restoran. Tapi, barusan aku tanya, mereka nggak titip apa-apa."
Halilintar melihat Amato dan dokter itu saling pandang. Kemudian dia bertanya, "Makanan itu kenapa?"
"Makanan ini yang buat teman-teman kalian keracunan."
~o0o~
'Kaget ya? Orang tuanya emang gitu. Aku nggak bisa kesana sekarang. Bisa tolong temani Yaya nggak? Biar dia nggak merasa sendirian.'
Pesan singkat dari Ying masuk ke ponsel Halilintar satu jam setelah dia berbicara dengan Amato. Halilintar keluar dari kantin sambil membawa kantong berisi makanan, lalu menemui Yaya yang duduk di kursi salah satu lorong rumah sakit.
Yaya mendongak melihat Halilintar meletakkan sekantong makanan dan air mineral di dekat tempat duduknya. Kamu belum makan dari tadi siang, katanya. Memang benar, sejak menyelesaikan babak penyisihan, Yaya belum makan apapun sampai sekarang. Selera makannya benar-benar hilang entah kemana.
Sementara itu Halilintar memilih duduk bersila di lantai, sengaja memilih tempat yang terjauh dari pintu ruangan paling ujung koridor ini. Tempat mereka berada sangat sepi, mengingat sepertinya tidak akan ada banyak orang yang betah berlama-lama di koridor menuju kamar mayat.
Halilintar tidak menyangkal, tempat ini memang ideal untuk menenangkan diri. Sepi dan tidak banyak orang berlalu lalang, walaupun dia pikir, akan lebih cocok jika dipakai sebagai tempat uji nyali saja.
"Bukan salahmu," ucap Halilintar memecah keheningan diantara mereka.
Yaya menggeleng. "Nggak. Ini salah aku. Coba kalau makanan itu dibuang aja."
Setiap kali teringat dia sendirilah yang membuat teman-temannya memakan makanan itu, Yaya selalu merasa dadanya penuh sesak oleh penyesalan, rasa penyesalan itu seperti berusaha menyumbat paru-parunya dari dalam, membuatnya kesulitan bernafas.
"Omong-omong maaf buat yang tadi, kamu jadi kena tampar juga."
"Apa mereka sering main tangan?"
"Nggak kok. Mereka tuh sebenarnya baik."
Halilintar tahu itu hanya alibi. Dari wajahnya saja dia bisa melihat kekecewaan yang sudah tidak bisa ditelan, barangkali sudah kehabisan tempat.
"Jujur aja. Ini bukan yang pertama, kan?"
Yaya menoleh pada Halilintar yang menatap lurus ke depan, lalu dia mengembuskan nafas berat. "Iya. Mereka nggak jarang main tangan."
Pandangannya menunduk, terpaku pada kakinya yang bergerak-gerak gelisah. "Tadi siang kamu tanya, kenapa aku masih ada di ekskul pencak silat, kan? Kenapa masih ikut bertanding, padahal kemampuanku berkaitan sama kegiatan fisik? Sebenarnya … itu semua karena mereka. Semenjak tahu kalau aku menang pasti bakal dapat uang, mereka memaksaku ikut setiap pertandingan. Mereka selalu bilang butuh banyak uang.
"Aku memang takut menyakiti orang lain, tapi kenyataannya aku lebih takut orang tuaku sendiri."
"Karena itu kamu ikut banyak ekskul?"
Yaya tertawa, "Ya nggak lah. Aku ikut banyak ekskul karena kemauan sendiri. Kan bagus, aku bisa—"
"Menghindari mereka," potong Halilintar.
Yaya menggigit bibir bawahnya, lalu mengusap wajahnya seraya tersenyum pahit. "Kelihatan jelas, ya? Jujur … aku capek."
"Lawan aja."
"Nggak bisa. Mau gimanapun mereka tetap orang tuaku."
"Tapi, mereka udah kelewatan, Ya! Mana ada orang tua yang suka mukul—"
"Ada! Orang tuamu beda, makanya kamu nggak ngerti. Hidup nggak ngasih aku pilihan, Hali. Aku nggak bisa memilih lahir dari orang tua kayak apa dan aku nggak seberuntung kamu! Punya keluarga yang rukun, saling dukung, nggak pernah mabuk-mabukan dan main judi."
Yaya terdiam sejenak. Deru nafasnya naik turun seraya air mata yang mulai menganak sungai di pipi gadis itu. Suara yang keluar sangat lirih, "Aku nggak seberuntung kamu."
Mereka berdua terdiam. Keheningan diisi oleh isakan dari anak perempuan yang sudah terlalu banyak menelan kekecewaannya dan anak laki-laki terdiam disampingnya, meski tak mampu mencegah luapan kekecewaan itu.
Mereka terdiam sampai Halilintar menyadari ada kertas kecil berwarna kuning familiar yang sedikit menyembul dari kepalan tangan kiri Yaya. Halilintar langsung merebutnya.
"Darimana kamu dapat ini?" tanyanya setelah membaca pesan yang tertulis dalam sticky note itu.
"Apa-apaan sih, Hali? Balikin!"
"Dari mana!?"
Yaya mengaduh. Ketika akan merebut kembali kertas itu, ujung jarinya yang tak sengaja bersentuhan dengan Halilintar merasakan sengatan listrik kecil.
"Aku dapat dari bungkusan hitam yang Ayah tunjukkan tadi. Memang kadang-kadang aku dapat sticky note itu di sekolah."
"Kamu tau isinya, tapi kamu biarin?"
"Nggak. Aku baru baca isinya tadi. Kupikir cuma buatan orang yang nggak suka aku, atau orang iseng aja. Makanya aku nggak peduli. Tapi, kali ini aku nyesel … aku nggak tau kalau efeknya bakal kayak gini."
Halilintar mengeluarkan sebuah kertas kuning kecil yang sama persis dari balik saku celananya. "Aku juga dapat tadi pagi."
Pada akhirnya mereka membuat kesimpulan, pesan tersebut berasal dari orang yang sama.
.
.
.
Tbc
Yuhuu, aku update lagi. Jujur, aku ngerasa kurang feel-nya waktu nulis ini. Semoga nggak jelek-jelek amat :'))
Sampai nanti,
SkyLi
